• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENANGANAN DAGING YANG BAIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENANGANAN DAGING YANG BAIK"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

TEKNOLOGI HASIL TERNAK “PENANGANAN DAGING YANG BAIK”

Oleh: Kelompok 4

Kelas E

M Raihan Gustavian 200110130147 Gugus Andromeda Iqra 200110130161

Farisa Athia H 200110130164

Rizki Yusfahrizal 200110130208 Ssangiyang M Iqbal 200110130209 M Andira Kazhim 200110130359 Erinne Dwi Nanda 200110130362

Farid Akbar 200110130364

Aprita Zakiah 200110130367

Dita Fahnuzia 200110130378

M Ali Rahman 200110130389

Riszkey Leonardo 200110130400

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG 2015

I

(2)

1.1 Latar Belakang

Daging merupakan salah satu hasil ternak yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan manusia, khususnya sebagai sumber protein hewani. Sejauh ini penyediaan daging di Indonesia masih belum cukup memadai, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Daging merupakan bahan pangan yang bernutrisi tinggi, kandungan gizi yang tinggi tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme.

Saat ini masih banyak ditemukan proses penanganan karkas di rumah potong yang belum memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Seperti misalnya proses penirisan darah yang kurang sempurna saat penyembelihan yang dapat menyebabkan warna daging menjadi kehitam-hitaman dan mudah tercemar mikroba yang menyebabkan masa simpan daging menjadi singkat. Penanganan sejak di rumah potong hingga ke konsumen dapat merubah mutu secara alamiah akibat pencemaran dari lingkungan.

Daging sangat sensitif terhadap mikroba pembusuk karena sifat fisikokimianya (water activity, pH, zat gizi/nutrisi) mendukung pertumbuhan mikroba. Sebagian besar mikroba patogen terdapat pada kulit atau permukaan luar daging yang terkontaminasi selama proses penyembelihan. Oleh karena itu, walaupun ternak yang dipotong sehat jika proses penyembelihan tidak memenuhi syarat maka kecenderungan menimbulkan bahaya dan penyakit sangat besar. Karena kandungan zat-zat makanan di dalam daging mudah sekali rusak oleh lingkungan sekitar, diperlukanlah penanganan daging yang baik agar kandungan gizi serta kualitas daging tetap terjamin.

1.2 Identifikasi Masalah 1. Apa itu daging?

2. Bagaimana cara penanganan daging yang baik? 1.3 Maksud dan Tujuan

(3)

2. Mengetahui cara penanganan daging yang baik. II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Daging

Menurut Soeparno (2005) daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang dapat dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Organ-organ misalnya hati, paru-paru, limpa, pankreas, otak, jantung, ginjal dan jaringan otot termasuk dalam definisi ini.

Lawrie (1998) mendefinisikan daging dalam arti khusus sebagai bagian dari hewan yang digunakan sebagai makanan. Pada praktiknya, definisi ini terbatas hanya pada beberapa lusin dari sekitar 3000 spesies mamalia. Pengertian daging juga dapat diperluas mencakup organ-organ seperti hati, ginjal, otak dan jaringan lain yang dapat dimakan. Definisi daging yang lebih sesuai dengan kondisi di Indonesia adalah definisi menurut SNI 01-3947-1995, yaitu urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga (Dewan Standardisasi Nasional, 1995).

Salah satu daging ternak yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah daging sapi (Soeparno, 2005). Daging sapi memiliki ciri–ciri warna merah segar, seratnya halus dan lemaknya berwarna kuning. Daging sapi memiliki kandungan kalori 20,7%, protein 18,8% dan lemak 14% (Buege, 2001). Kandungan protein daging olahan lebih sedikit dibandingkan kandungan protein daging segar (Soeparno, 2005).

(4)

Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging terbentuk dari otot yang telah berhenti fungsi fisiologisnya setelah pemotongan (Soeparno, 2005). Otot tersusun dari banyak ikatan serabut yang disebut fasikuli yang terdiri atasserabut-serabut otot yang terdiri atas myofibril (kumpulan fibril). Miofibril tersusun dari banyak filament dan disebut miofilamen. Berdasarkan ukuranya ( dari terbesar sampai dengan ukuran terkecil), otot tersusun dari fasikuli, serabut otot, myofibril, dan miofilamen (Lawrie, 1998). Sebagian besar serabut otot mengandung lebih dari 50 % protein myofibril. Di dalam myofibril terdapat 55 % sampai 60 % myosin dan kira-kira 20 % akttin (Abarle dkk, 2001).

Kualitas daging diartikan sebagai sejumlah sifat yang menenyukan daging itu yang berpengaruh terhadap penerimaan konsumen. Warna, daya mengikat air, dan beberapa aroma daging dapat dideteeksi baik sebelum maupun sesudah pemasakan dan akan memberikan sensasi yang lebih lama terhadap konsumen dibandingkan dengan juiciness, tekstur, keempukan, rasa, dan kebanyakan aroma yang terdeteksi saat pengunyahan (Lawrie, 1998).

pH daging pada ternak hidup berkisar antara 7,2-7,4. Setelah ternak disembelih terjadi penurunan pH karena adanya penimbunan asam laktat dalam jaringan otot akibat proses glikolisis anaerob. Pada beberapa ternak, penurunan pH terjadi satu jam pertama setelah ternak dipotong dan pada saat tercapainya rigormortis. Peningkatan pH dapat terjadi akibat pertumbuhan mikroorganisme. Nilai pH daging sapi setelah proses perubahan glikolisis menjadi sam laktat berhenti berkisar antara 5,1-6,2.

Keempukan daging dipengaruhi oleh faktor antemortem seperti genetic termasuk bangsa, spesies dan fisiologis, faktor umur, manajemen, jenis kelamin, stress, dan faktor postmortem yang meliputi pelayuan, dan pembekuan termasuk faktor lama dan suhu penyimpanan, metode pengolahan, ermasuk pemasakan, dan penambahan bahan pengempuk. Semakin halus teksturnya maka daging semakin empuk (Soeparno, 2005).

(5)

penyimpanan daging yang dikemas diketahui dapat mengurangi resiko kontaminasi mikroba, namun tidak dapat menghilangkanya. Keuntungan daging disimpan dalam suhu beku yaitu memperpanjang waktu simpan dan dalam menghambat perubahan-perubahan kimiawi daging. Penyimpanan daging dalam bentuk beku juga cenderung diimbangi dengan eksudasi cairan atau drip dalam proses pencairan kembali atau yang dikenal dengan thawing (Lawrie, 1998).

2.2 Penanganan Daging

Penanganan daging adalah kegiatan yang meliputi pelayuan, pemotongan bagian-bagian daging, pelepasan tulang, pemanasan, pembekuan, pendinginan, pengangkutan, penyimpanan, dan kegiatan lain untuk menyiapkan daging guna penjualannya (Manual Kemavet, 1993).

Selama postmortem kerusakan dapat terjadi karena adanya kontaminasi oleh mikroorganisme serta kerusakan kimiawi, biologis dan fisik. Awal kontaminasi mikroorganisme pada daging berasal dari lingkungan sekitarnya dan terjadi pada saat pemotongan, hingga dikonsumsi. Pada umumnya sanitasi yang terdapat di rumah-rumah potong belum memenuhi persyaratan kesehatan daging sesuai standar yang telah ditetapkan. Keadaan ini menyebabkan mikroorganisme awal pada daging sudah tinggi. Selain itu penyimpanan daging di rumah potong dan di pasar-pasar umumnya belum menggunakan alat pendingin, di mana daging hanya dibiarkan terbuka tanpa dikemas dalam temperatur kamar. Kondisi yang demikian dapat menyebabkan perkembangbiakan mikroorganisme semakin meningkat yang mengakibatkan kerusakan atau pembusukan daging dalam waktu singkat (Costa, 2011).

2.2.1 Pengangkutan

(6)

Menurut Aberle et al., (2001), defisiensi glikogen terjadi apabila ternak yang mengalami stres, seperti yang berkaitan dengan kelelahan, latihan, puasa dan gelisah, atau yang langsung dipotong sebelum mendapat istirahat yang cukup untuk memulihkan cadangan glikogen ototnya. Defisiensi glikogen otot pada ternak dapat menyebabkan proses glikolisis pascamati yang terbatas dan lamban, sehingga daging yang dihasilkan mempunyai pH yang tinggi dengan warna merah gelap atau dikenal dengan istilah daging DFD (Dark Firm and Dry).

Penanganan ternak setelah pengangkutan dimaksudkan untuk memberi kesempatan ternak dalam memulihkan cadangan glikogen ototnya, antara lain dengan mengistirahatkan ternak sebelum dipotong. Selain itu, untuk mempercepat pemulihan kondisi tubuh ternak tersebut adalah memberikan larutan gula. Selama transportasi ternak mengalami stres dan berupaya untuk mempertahankan kondisi fisiologis tubuhnya, sehingga otot berkontraksi lebih cepat. Keadaan ini memerlukan laju aliran darah yang meningkat dalam otot, kondisi ini menyebabkan peningkatan mobilisasi glukosa. Hormon insulin merangsang pemasukan glukosa darah ke dalam sel-sel target, yang dalam hal ini kembali ke otot (Turner-Bagnara, 1976).

Berdasarkan hasil penelitian Dewi (2012) menyatakan bahwa penanganan ternak setelah pengangkutan, dengan lama istirahat 2 jam, pemberian gula 6 g/kg bb dari bobot badan dapat menurunkan pH akhir daging. Pemberian insulin sebanyak 0,3 IU dapat memperbaiki kadar glikogen daging. Dengan demikian dapat mencegah terjadinya daging DFD yang mempunyai kualitas rendah. Selain itu, terdapat korelasi positif yang nyata antara glikogen dan asam laktat dengan, tetapi antara kadar glikogen dan pH daging terdapat korelasi negatif yang nyata. Asam laktat daging dan nilai pH daging kolerasi negatif yang nyata, sedangkan nilai pH daging dan susut masak daging korelasinya tidak nyata.

2.2.2 Pelayuan Daging

(7)

titik beku daging (-1,5oC). Daging sapi biasanya dilayukan selama 2X24 jam. Tujuan pelayuan adalah untuk memperoleh lapisan luar daging yang Iebih kering sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar bisa ditahan (Komariah dan Surajudin, 2005).

Pada pelayuan daging terjadi denaturasi protein yang mengakibatkan keempukan daging meningkat, tetapi sebaliknya water holding capacity (WHC) daging menurun yang mengakibatkan cooking lost meningkat (Lawrie, 1979). Lama pelayuan daging sebelum dibekukan akan meningkatkan jumlah cairan daging segar (weep) dan cairan daging beku (drip) yang keluar pada saat pencairan kembali (thawing), yang akan menyebabkan terjadinya penurunan kandungan gizi daging karena sebagian zat-zat dalam daging ikut terlarut dalam drip (Lawrie, 1979 dan Judge et al.,1989).

Lama pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigormortis (proses kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigormortis belum selesai dan daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging mengalami proses cold shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor (kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan dihasilkan daging yang tidak empuk/alot (Buckle et al.,1978).

Temperatur pembekuan yang digunakan akan mempengaruhi kecepatan pembekuan cairan daging. Daging yang membeku dengan cepat akan menghasilkan kristal es yang lembut (halus) yang terletak dalam jaringan daging, dan akan menghasilkan drip yang lebih sedikit pada saat thawing sehingga penurunan gizi daging dapat dicegah, berbeda dengan pembekuan lambat akan menghasilkan drip yang lebih banyak sehingga akan menurunkan kualitas daging beku (Lawrie, 1979 dan Judge et al., 1989).

Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992) pelayuan daging bertujuan antara lain:

(8)

b. Pengeluaran darah secara lebih sempurna sehingga pertumbuhan bakteri terhambat, karena darah merupakan medium yang baik bagi pertumbuhan mikroba;

c. Lapisan luar daging menjadi lebih kering, dan akan mencegah kontaminasi mikroba pembusuk;

d. Memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum serta cita rasa yang khas.

Berdasarkan hasil penelitian Sunarlim dan Setiyanto (2000) menyatakan bahwa proses pelayuan pada suhu kamar selama 12 jam, suhu 4oC selama sehari dan seminggu menyebabkan penurunan pH secara nyata, akan tetapi tidak nyata peningkatan daya mengikat air dan susut masaknya. Kehilangan bobot karkas terbanyak pada domba lokal selama pelayuan terjadi pada pelayuan suhu 4oC selama seminggu (13,58%), dibandingkan dengan domba Merino yang ternyata susut bobot karkasnya relatif rendah, hanya 2,90%. Pelayuan lainnya dalam penelitian ini ternyata persentase susut bobot karkas pada suhu 4oC selama sehari adalah 2,90% dan pada suhu kamar selama 12 jam adalah 2,42%. Pelayuan dapat meningkatkan keempukan daging secara nyata pada pelayuan suhu kamar selama 12 jam, suhu 4oC selama sehari dan seminggu dibandingkan dengan daging segar (tanpa pelayuan).

2.2.3 Pemotongan Bagian-bagian Daging

Daging yang telah melalui proses pelayuan kemudian akan dipotong menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Untuk sapi, pemotongan bagian-bagian tubuhnya berbeda-beda di setiap negara bergantung dari pemakaian atau permintaan di negara tersebut.

(9)

terkadang sub-primal cuts dibagi lagi menjadi potongan ukuran porsi individual (Undang, 1995).

Teknik pemotongan sapi di Indonesia menurut Undang (1995) adalah sebagai berikut :

Keterangan :

1. Daging sapi paha depan (chuck), berbentuk potongan segiempat dengan ketebalan 2-3 cm.

2. Daging iga sapi (rib).

3. Has dalam (tendrloin), terdiri dari bagian–bagian otot utama , karena otot ini jarang dipakai untuk beraktifitas maka otot ini merupakan otot yang paling lunak.

4. Has luar (sirloin), daging bagian ini masih lumayan keras karena otot ini paling banyak digunakan untuk bekerja.

5. Has atas (top sirloin) 6. Has bawah (bottom sirloin) 7. Paha belakang (round)

8. Senkel (shank), daging yang berasal dari bagian depan atas kaki sapi. 9. Sandung lamur (brisket), berasal dari bagian dada bawah sekitar ketiak. 10. Sancan depan (plate), merupakan daging sapi yang berasal dari otot perut ,

bentuknya panjang dan datar tetapi kurang lunak. 11. Sancan Belakang (Flank)

(10)

2.2.4 Pelepasan Tulang

Deboning merupakan proses pemotongan karkas yang telah dilayukan menjadi potongan-potongan daging komersial. Deboning dibagi menjadi tiga tahapan yaitu boning, cutting dan trimming (Lawrie, 1998).

Boning dilakukan untuk memisahkan daging dengan tulang. Cutting dilakukan untuk memotong bagian-bagian daging sesuai dengan potongan komersilnya. Sedangkan trimming dilakukan untuk membersihkan lemak yang menempel pada daging dan daging yang menempel pada tulang. Pemotongan dimulai dari karkas bagian bahu yaitu blade, chuck dan chuck tender. Hot carcass yang ada dibagi menjadi dua dengan menggunakan bond saw. Karkas bagian dada-perut dan karkas bagian punggung akan dikerjakan di atas meja, sedangkan pemisahan daging karkas bagian paha belakang dan betis akan dilakukan dalam posisi menggantung (Lawrie, 1998).

2.2.5 Penyimpanan Daging

Perkembangan mikroorganisme dalam daging sangat cepat. Mikroba patogen yang biasanya mencemari daging antara lain : E. Coli, Salmonella sp. dan Stahpylococcus sp. yang merupakan kontaminan utama pada daging sapi dan unggas segar (Ho et al., 2004 ; Usmiati, 2010). Oleh karena itu, daging harus segera disimpan dalam ruangan dengan temperatur rendah.

(11)

2.2.6 Pembekuan Daging

Pembekuan merupakan tahap selanjutnya dari penyimpanan daging setelah karkas melalui proses maturasi (aging) yang optimal dimana proses komplit rigor mortis telah terpenuhi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya cold shortening dan thaw rigor pada saat daging dicairkan dari kristal es yang meliputinya sebelum dimasak (Abustam, 2009).

Untuk pengawetan daging dengan menggunakan suhu sangat rendah, maka potongan–potongan karkas terlebih dahulu harus dikeluarkan tulang-tulangnya dan menghilangkan lemak dipermukaan karkas/daging, sehingga benar-benar hanya daging yang dibekukan. Ini dimaksudkan selain untuk efisiensi tempat, juga untuk menghindari perubahan–perubahan yang dapat terjadi pada daging selama penyimpanan terutama lemak, pada suhu rendah masih dapat mengalami proses ketengikan (Abustam, 2009).

2.2.7 Pendinginan Daging

Pendinginan berguna dalam menghambat perkembangan bakteri tanpa membunuh bakteri. Pendinginan dimaksudkan pula untuk meningkatkan kualitas daging terutama keempukan dan citarasa yang terjadi selama proses penyimpanan karena adanya maturasi pada daging (Abustam, 2009).

Pada akhir proses pemotongan, suhu karkas berkisar 35–37° C. Peranan pendinginan cukup penting didalam menurunkan suhu karkas tersebut agar dapat disimpan pada suhu sekitar 0-2° C. Pendinginan karkas dengan menggunakan suhu mendekati titik nol (0 – 5° C) pada suhu karkas masih tinggi, dimana pada saat itu karkas masih dalam kondisi pra rigor, dapat mengakibatkan kelainan mutu daging yang dikenal dengan nama cold shortening atau pengkerutan karena dingin. Pengkerutan akibat dingin menyebabkan otot memendek bisa mencapai 50 % dan daging menjadi keras dan kehilangan cukup cairan yang berarti selama pemasakan (Abustam, 2009).

(12)

pertama dimana pada saat tersebut rigor mortis telah terbentuk. Kecepatan terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada suhu dan kondisi ternak pada saat disembelih. Rigor mortis dapat pula terbentuk dalam waktu yang cepat pada ternak-ternak yang telah kekurangan atau kehabisan glikogen akibat habis terkuras karena perlakuan-perlakuan yang keras sebelum pemotongan dilakukan (Abustam, 2009).

Karkas yang telah mengalami rigor mortis, kemudian disimpan pada kamar pendingin (+2° C) selama beberapa hari. Selama penyimpanan ini terjadi maturasi yakni proses transformasi kimia di dalam otot dan memperlihatkan efek terhadap perbaikan keempukan daging secara progresif sampai tingkat optimal. Keadaan dimana daging menjadi matang, pada tingkat inilah daging sebaiknya dikonsumsi (Abustam, 2009). Untuk memperoleh tingkat maturasi yang baik, pada umumnya karkas sapi disimpan antara 10–15 hari pada suhu 2° C sebelum daging tersebut di konsumsi.

2.2.8 Pengawetan Daging

Pengawetan atau preservasi daging dapat dilakukan dengan berbagai metode. Metode yang dimaksud antara lain proses termal, dehidrasi, pengeringan beku, iradiasi, dan preservasi secara kimiawi (Soeparno, 2005).

2.2.8.1 Proses Termal

(13)

2.2.8.2 Dehidrasi

Dehidrasi daging dengan penggunaan udara panas akan menurunkan aktivitas air yang secara langsung menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Hasil pemrosesan ini menghasilkan daging dengan masa simpan lama tanpa refrigerasi. Contoh produk yang sudah umum di masyarakat adalah dendeng dengan masa simpan lebih dari 6 bulan, dengan kadar air ±15% dan pH 4,5-5,1 (Soeparrno, 2005).

2.2.8.3 Pengeringan Beku

Selama proses pengeringan, daging tetap dalam keadaan beku. Air dikeluarkan menjadi uap tanpa melalui fase cair yang disebut sublimasi. Preservasi ini akan menghasilkan daging dengan kualitas yang tidak berbeda dengan kualitas daging segar (Soeparno, 2005).

2.2.8.4 Iradiasi

Metode pengawetan dengan radiasi umumnya menggunakan radiasi mengion terhadap produk. Radiasi mengion adalah radiasi yang mempunyai energi dan cukup untuk melepaskan elektron dari atom serta menghasilkan atom. Radiasi ini akan membunuh mikroorganisme di dalam daging yang akan menyebabkan perubahan kimia, fisik dan organoleptik daging termasuk diskolorisasi (Soeparno, 2005).

2.2.8.5 Preservasi Secara Kimiawi

(14)

Contoh produk metode ini adalh cured-meat. Cured meat adalah produk daging yang telah diperlakukan dengan memberikan garam curing (mengandung garam, sodium nitrit dan atau nitrat, gula dan bumbu lain) kemudian disimpan (beberapa hari). Setelah curing, produk daging dibilas dan siap disajikan atau diasap.

III KESIMPULAN

1. Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang dapat dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya.

2. Penanganan daging yang baik meliputi pelayuan, pemotongan bagian-bagian daging, pelepasan tulang, pembekuan, pendinginan, pengangkutan, penyimpanan, dan kegiatan lain untuk menyiapkan daging guna penjualannya

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, E. D., J. C. Forrest, H. B. Hendrick, M. D. Judge and R. A. Merkel. 2001. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.

Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas.

Buckle, K.A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton, 1978. Food Science. Watson Ferguson & Co. Brisbane. Australia.

Buege, D. 2001. Information on sausage and sausage manufacture. http://www. uwex.edu/ces/flp/meatscience/sausage.html diakses pada 16 September 2015.

Costa , Wiwiek Yuniarti. 2011. Penanganan Pasca Panen. Tabloid Sinar Tani. Edisi 3387.

(15)

Dewi, Sri Hartanti C. 2012. Korelasi Antara Kadar Glikogen, Asam Laktat, pH Daging dan Susut Masak Daging Domba Setelah Pengangkutan. [Jurnal] Agrisains Vol. 4 No. 5. Universitas Mercu Buana. Yogyakarta.

Judge, M. D., E. D. Aberle, J. C. Forrest, H. B. Hedrick, dan R. A. Merkel, 1989. Principles Of Meat Science. 2nd., Kendall/Hunt Publishing Co. Dubuque, Iowa.

Komariah dan Surajudin. 2005. Aneka Olahan Daging Sapi. Agromedia Pustaka.

Lawrie, R. A., 1979. Meat Science. 3rd ed. Pergamon Press. Oxford

. 1998. Lawrie’s Meat Science. 6 Edition. Woodhead Publishing Ltd., Cambridge.

Manual Kesmavet. 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.. PAU IPB. Bogor.

Rachmawan, O. 2001. Penanganan Daging. Modul Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

. 2005. Ilmu Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sunarlim, Roswita dan Hadi Setiyanto. 2000. Pelayuan Pada Suhu Kamar dan Suhu Dingin Terhadap Mutu Daging dan Susut Bobot Karkas Domba. Jurnal Ilmu Ternak Dan Veteriner 6(1):51-58.

Turner-Bagnara. 1976. Endokrinologi Umum. Ed. Ke-6. Airlangga University Press. Surabaya.

Usmiati, Sri. 2010. Pengawetan Daging segar dan Olahan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Kampus Penelitian Pertanian. Bogor.

. 2010. Keempukan Daging. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Kampus Penelitian Pertanian. Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Pemohon memahami proses asesmen untuk skema Klaster Perawatan Pencegahan ( Preventive Maintenance ) Alat Berat Big Bulldozer yang mencakup persyaratan dan ruang

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, didalamnya terkandung pesan moral yang

4. Menetapkan tindakan atau prosedur untuk mengurangi potensi bahaya. Teknik ini bermanfaat untuk mengidentifikasi dan menganalisis bahaya dalam suatu pekerjaan. Hal ini

Serat Wedhatama, yang merupakan karya besar Sri Mangkunegara IV dapat dijadikan rujukan utama dalam pembelajaran muatan lokal Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa,

Maka dari itu, pemerintah sebagai wadah yang sangat berperan penting dalam menyelesaikan masalah ini, sangat dibutuhkan untuk mengambil sebuah sikap tegas terkait permasalah

Dilihat dari bauran komunikasi pemasaran serta media yang digunakan merupakan sebuah kegiatan yang mempunyai unsur ekonomi (bisnis) dan seni yang di padukan menjadi satu

Menurut Manuaba (2008; h.389) disebutkan perdarahan terjadi karena gangguan hormon, gangguan kehamilan, gangguan KB, penyakit kandungan dan keganasan genetalia. 55)