• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Sosial Dalam Novel The Da Peci Code Karya Ben Sohib Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kritik Sosial Dalam Novel The Da Peci Code Karya Ben Sohib Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Septian Cahyo Putro

109013000024

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ii

Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 9 September 1991

NIM : 109013000024

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Judul Skripsi : Kritik Sosial dalam Novel The Da Peci Code

karya Ben Sohib dan Implikasinya terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Dosen Pembimbing : Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum.

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 Juli 2013

Septian Cahyo Putro

(3)

iii

Kata Kunci: kritik, sosial, novel.

Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib adalah novel yang menyajikan

kebudayaan masyarakat Betawi keturunan Arab yang tinggal di daerah Condet. Novel semacam ini seakan menjadi oase di tengah keringnya novel-novel bernuansa Betawi. Penelitian terhadap novel ini perlu dilakukan untuk menggali sejauh mana realitas kebudayaan masyarakat Betawi keturunan Arab ditampilkan dalam novel ini. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkap kritik sosial yang disampaikan pengarang melalui karyanya ini.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yaitu mengkaji hubungan antara karya sastra dan masyarakat, bagaimana hubungan itu terjadi, dan apa akibat yang ditimbulkan atas hubungan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi unsur intrinsik novel, menganalisis kondisi sosial masyarakat Betawi keturunan Arab pada novel tersebut, barulah kemudian mengungkapkan kritik sosial yang terdapat dalam novel. Terakhir yang tidak kalah penting adalah menemukan implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

Akhirnya diperoleh bahwa kondisi sosial masyarakat Betawi keturunan Arab pada novel tersebut merupakan hasil dari proses akulturasi, sehingga kebudayaan masyarakat Arab masih dapat dirasakan di tengah dominasi kebudayaan Betawi. Kritik sosial dalam novel ini merupakan kritik yang umum dalam kehidupan sehari-hari, seperti kebiasaan menggunakan peci putih yang oleh sebagian orang dianggap wajib diluruskan dengan gagasan bahwa peci hanyalah simbol belaka, anggapan bahwa maulid adalah perbuatan yang sia-sia dijelaskan

dengan dalil pada surat Al-A’raf ayat 157, maupun pernyataan untuk tidak

mempercayai dukun (paranormal).

(4)

iv

Keywords: Critics, Social, Novel

Novel The Da Peci Code by Ben Sohib is a novel describe the culture of

Betawi for generations of Arabian people live in Condet. This novel though be a oasis in the midst of crip the novels Betawi nuance. The research for this novel need for excavating so far how the reality of Betawi for generations of Arabian people culture shown in this novel. Beside, the purpose of this research is to reveal the social critics that want to telling by authors with his work.

The research use sociology of literature approach investigate how the context between literature and society, how the context occur, and what the result of that related. The research do with identification of intrinsic novel, analysis social condition of Betawi for generations of Arabian people in the novel, then revealing social critics in the novel. The important last is finding this research implication for language and literature of Indonesian learning.

The conclusion is social condition of Betawi for generations of Arabian people in the novel is the outcome of acculturation process, so that the culture of Arabian people still be find in the midst of domination the culture of Betawi people. The social critics in this novel is the common critics in daily live, like habbit wear the “peci putih” that belief by part of people is obligatory justify that “peci putih” just symbol.

(5)

v

ridhaNya, penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tidak

lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, beserta para

sahabatnya.

Perjuangan selama empat tahun diakhiri oleh sebuah titik pada bagian

terakhir skripsi ini. Titik ini bukan hanya menandakan akhir, tapi juga merupakan

titik awal dimulainya petualangan baru dalam dunia yang berbeda yaitu dunia

kerja.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada

orang-orang yang telah membantu baik dalam bentuk moral maupun materi dan

kepada orang-orang yang telah berjasa memberikan secercah ilmu pengetahuan

kepada penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Kedua orang tua penulis yang selalu mencurahkan segala kasih

penulisngnya kepada penulis. Kasih penulisng yang tidak akan mampu

penulis ganti dan tergantikan oleh apapun. Tak akan kusia-siakan semua

peluh dan air matamu wahai ayah dan ibu. Juga kepada adik penulis Arif

Saputra atas pengertiannya dan teman berbincang di rumah.

2. Ibu Mahmudah Fitriyah selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia yang telah mengajarkan penulis berbagai ilmu kehidupan.

3. Bapak Jamal D. Rahman selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang

telah dengan sabar dan cermat membimbing penulis menyelesaikan skripsi

ini. Serta selalu memberikan nasihat-nasihat juga pengetahuan untuk

memperluas wawasan penulis. Terima kasih atas semua waktu yang Bapak

berikan kepada penulis, maaf jika selama ini penulis sering “meneror”

Bapak, maaf pula untuk semua perkataan dan sikap yang mengecewakan

Bapak selama bimbingan ini.

4. Dosen-dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang

sangat luar biasa. Memberikan berbagai ilmu yang sangat berarti bagi

(6)

vi

penulis dalam melengkapi data-data di skripsi ini.

6. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia khususnya Adi, Hamid, dan Sa’i yang telah merelakan kosannya

sebagai tempat tinggal kedua penulis. Juga untuk Raras yang telah ikut

memberikan warna bagi kehidupan penulis selama di kampus. Semoga

kita bisa berkumpul lagi suatu saat nanti dalam keadaan sehat dan sukses.

Aamiin.

Semoga skripsi ini dapat memperluas wawasan pembaca terkait teori

sosiologi sastra dan memperkaya khazanah pengetahuan sastra Indonesia. Penulis

menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak

kekurangan, untuk itu jika ada tulisan atau kata-kata yang kurang berkenan

penulis mohon maaf. Kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini sangatlah penulis

harapkan.

Jakarta, 17 Juli 2013

(7)

vii

Kata Pengantar ... i

DaftarIsi ... iii

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Metodologi Penelitian ... 7

G. Manfaat Penelitian ... 7

H. Kajian Pustaka ... 8

I. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II Landasan Teori A. Pengertian Novel ... 10

B. Pengertian Unsur-Unsur Intrinsik Novel ... 11

C. Mimetik ... 17

D. Sosiologi Sastra ... 18

E. Kritik Sosial... 22

F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 23

BAB III Profil Ben Sohib A. Biografi dan Pemikiran Ben Sohib ... 26

B. Karya-Karya Ben Sohib ... 28

(8)

viii

karya Ben Sohib ... 55

D. Implikasi Penelitian Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 68

BAB V Penutup A. Simpulan ... 72

B. Saran ... 73

Daftar Pustaka ... 74

Lampiran-Lampiran ... 77

(9)

1

A.

Latar Belakang

Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budaya masyarakat yang

dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis yang mengandung

keindahan. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman manusia, baik dari

aspek manusia yang memanfaatkannya bagi pengalaman hidupnya, maupun

dari aspek penciptanya, mengekspresikan pengalaman batinnya ke dalam

karya sastra. Ditinjau dari segi penciptanya, karya sastra merupakan

pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam kurun

waktu dan situasi budaya tertentu.

Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu

masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang

diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra mempersoalkan

manusia dalam berbagai kehidupannya. Karya sastra berguna untuk mengenal

manusia, kebudayaan serta zamannya.1 Dikatakan oleh Abrams2 bahwa karya

sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan

dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada

zamannya.

Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial,

melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat,

karya yang memiliki kapasitas untuk mengevokasi energi-energi yang

stagnasi.3

Salah satu bentuk karya sastra yang kita kenal adalah novel. Sebutan

novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang kemudian masuk ke

Indonesia—berasal dari bahasa Italia novella berarti sebuah barang baru yang

1

Zulfahnur, dkk., Teori Sastra, (Jakarta: Depdikbud, 1996), h. 254. 2

Rachmat Djoko Pradopo, Prinsip-Prinsip Kritik Sastra, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), h. 254.

3

(10)

kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.4

Novel terbagi lagi dalam dua jenis yaitu novel serius dan novel populer.

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak

penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan

masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai

pada tingkat permukaan. Novel serius di pihak lain, justru “harus” sanggup

memberikan yang serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra

yang sastra. Membaca novel serius, jika kita ingin memahaminya dengan

baik, diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk

itu.5

Salah satu bentuk novel populer adalah novel The Da Peci Code6 karya

Ben Sohib. Novel tersebut merupakan novel yang mengisahkan tentang

kehidupan seorang pemuda bernama Rosid keturunan Arab-Betawi yang

hidup di tengah keluarga saleh yang sangat taat memegang adat istiadat

leluhurnya.

Novel yang berhasil meraih predikat best-seller ini mencoba

menampilkan kehidupan sosial masyarakat Betawi keturunan Arab yang

hidup di zaman teknologi informasi. Melalui novelnya ini Ben Sohib

berusaha mengkritisi kehidupan sosial masyarakat Arab-Betawi yang

cenderung ortodoks. Gaya penceritaannya yang sederhana membuat novel ini

enak dibaca ditambah lagi dengan alur ceritanya yang begitu mengalir dan

selalu membuat penasaran. Meski dalam sampulnya tertulis, “Tidak

Mengguncang Iman”, namun ternyata novel ini cukup mengguncang

keimanan.

4

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), h. 9.

5

Ibid., h. 18.

6

(11)

Ben Sohib dalam novel The Da Peci Code, menceritakan sebuah

tradisi masyarakat Betawi keturunan Arab yang begitu menganggap peci

sebagai syarat utama bagi komunitasnya. Komunitas tersebut bernama

al-Gibran. Sebuah komunitas yang beranggotakan masyarakat Betawi keturunan

Arab. Peci putih sebagai penutup kepala merupakan ciri khas dari komunitas

tersebut, jadi jika ada anggota dari komunitas tersebut yang tidak

mengenakan peci putih ketika diadakan acara-acara keagamaan al-Gibran

maka ia pasti akan disisihkan atau dengan sadar diri ia akan menjauhkan diri

pada acara tersebut.

Di tengah tradisi berpeci yang begitu kuat pada komunitas tersebut,

tampillah sosok Rosid, anak dari Mansur al-Gibran. Rosid adalah seorang

pemuda berambut kribo yang berusaha melawan tradisi berpeci komunitas

al-Gibran. Menurut Rosid, peci hanyalah simbol belaka seperti halnya peci yang

dipakai oleh kaum Nasrani ataupun Yahudi dan bukan merupakan ajaran

agama. Peci tidak dapat menjamin apakah seorang itu baik atau tidak. Ia pun

ditentang habis-habisan oleh ayahnya bahkan diusir dari rumah. Segala daya

dan upaya telah dilakukan sang ayah untuk membuat Rosid mau mencukur

rambut kribonya namun gagal. Alhasil Mansur, sang ayah akhirnya menyerah

kepada pendirian Rosid. Tapi bersamaan dengan itu Rosid pun menyadari

kekeliruannya karena telah berselisih paham dengan ayahnya. Rosid

mendapat pencerahan dari Ustaz Abu Hanif (ayah Mahdi—teman Rosid)

tentang peci putih yang dikenakan oleh komunitas al-Gibran merupakan

penanda saja bahwa mereka kaum muslim, seperti halnya belangkon yang

dipakai sebagai penanda orang Jawa atau Sunda, maupun ulos yang

menandakan orang Batak.

Sebenarnya persoalan sederhana ini tidak perlu bertele-tele jika saja

sang ayah mampu mematahkan pendapat sang anak dengan cara yang tepat.

Namun apa daya, sang ayah malah terus memaksakan kehendaknya pada sang

anak dengan alasan bahwa peci putih adalah ajaran leluhur al-Gibran

(12)

permasalahan yang sederhana ini cerita dibangun secara utuh. Konflik-konflik

ditampilkan secara runtut dari tahap pemunculan sampai penyelesaian.

Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga

dewasa ini, boleh dikatakan, mengandung unsur pesan kritik sosial walau

dengan tingkat intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik

dapat bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Sastra

yang mengandung pesan kritik biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika

terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat.

Paling tidak, hal itu ada dalam penglihatan dan dapat dirasakan oleh

pengarang yang berperasaan peka, yang dengan kekuatan imajinasinya boleh

dikatakan sebagai orang yang memiliki indera keenam.7 Inilah yang

dilakukan oleh Ben Sohib, ia menemukan kejanggalan pada kehidupan sosial

masyarakat Betawi keturunan Arab dan mencari jawabannya lalu dituangkan

ke dalam bentuk fiksi yang imajinatif namun tidak terlepas dari kebenaran

yang ada.

Ben Sohib yang memang dibesarkan di lingkungan Betawi ini dengan

cemerlang menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Betawi (terutama

keturunan Arab) lengkap dengan tabiat dan kebiasaan masyarakatnya. Latar

sosial yang dilukiskan dalam novel ini telah berhasil membawa pembaca

menyelami kehidupan masyarakat Betawi beserta intrik-intriknya. Sebuah

novel yang sangat jarang ditemukan di era saat ini.

Novel ini juga masih sangat jarang diteliti dalam suatu penelitian

ilmiah. Jadi, kesan orisinalitas pada penelitian ini terasa sangat kuat. Oleh

karena alasan itulah, peneliti bermaksud menganalisis kritik sosial yang ada

pada novel The Da Peci Code karya Ben Sohib. Sebelum menganalisis kritik

sosial pada novel tersebut, peneliti akan menganalisis unsur-unsur intrinsik

dari novel The Da Peci Code karya Ben Sohib kemudian mendeskripsikan

kondisi sosial masyarakat Betawi keturunan Arab pada novel tersebut.

Implikasi penelitian ini dalam dunia pendidikan yaitu membantu

membentuk karakter siswa. Saat ini pembentukan karakter siswa menjadi

7

(13)

prioritas utama kurikulum di Indonesia. Sehingga lahirlah silabus berkarakter

dan rencana pelaksanaan pembelajaran berkarakter (RPP berkarakter). Salah

satu karakter yang dapat digali dari novel ini adalah sikap kritis. Sikap kritis

ini sangat dibutuhkan ketika siswa mendengarkan penjelasan-penjelasan dari

gurunya sehingga dengan ditanamkannya sikap kritis diharapkan siswa

mampu menjadi seorang pelajar yang aktif dalam kegiatan pembelajaran

(active learning). Melalui karya sastra siswa dapat belajar tentang kehidupan,

belajar menghargai karya orang lain, dan bahkan memotivasi mereka secara

positif dalam bertindak.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

sosiologi sastra. Sebuah pendekatan multidisipliner yang mengkaji hubungan

antara kondisi kehidupan sosial masyarakat dengan karya sastra. Pendekatan

sosiologi sastra pada penelitian ini akan peneliti fokuskan pada sosiologi

karya yang memiliki keterkaitan dengan sifat dan kondisi sosial masyarakat.

Kemudian peneliti juga menggunakan pendekatan teoritis yaitu pendekatan

mimetik. Dengan pendekatan ini peneliti ingin mengkaji hubungan antara

kondisi sosial yang terkandung dalam novel The Da Peci Code karya Ben

Sohib ini dengan kenyataan yang terjadi pada masyarakat Betawi keturunan

Arab pada umumnya. Karena, pendekatan mimetik memandang karya sastra

sebagai tiruan kehidupan. Akhirnya, peneliti menarik sebuah judul dalam

penelitiannya ini yaitu, “Kritik Sosial dalam Novel The Da Peci Code

Karya Ben Sohib dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia.”

B.

Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, penelitian ini akan

membahas mengenai kritik sosial dalam novel The Da Peci Code karya Ben

Sohib. Berdasarkan latar belakang tersebut dapat disimpulkan berbagai

masalah yang diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Novel ini belum pernah diteliti dalam penelitian ilmiah sehingga

(14)

2. Novel ini adalah novel populer yang dapat dijadikan media

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

3. Penyebab terjadinya berbagai kritik sosial dalam novel The Da

Peci Code karya Ben Sohib.

4. Penjabaran mengenai tercermin atau tidaknya kondisi sosial

masyarakat dalam novel ini dengan kondisi sosial masyarakat

aslinya.

5. Nilai pendidikan yang terkandung dalam novel The Da Peci Code

karya Ben Sohib.

C.

Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu akan membahas

mengenai permasalahan sosial dalam kehidupan masyarakat Betawi

keturunan Arab yang terdapat dalam novel The Da Peci Code karya Ben

Sohib.

D.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana perwujudan kritik sosial yang terkandung dalam novel

TheDa Peci Code karya Ben Sohib?

2. Apa implikasi penelitian novel The Da Peci Code karya Ben Sohib

terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?

E.

Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan kritik sosial pada novel The Da Peci Code karya

Ben Sohib.

2. Mendeskripsikan implikasi penelitian novel The Da Peci Code

karya Ben Sohib terhadap pembelajaran bahasa dan sastra

(15)

F.

Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif. Metode deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran, deskripsi,

atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,

sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Kemudian pengertian

dari metode kualitatif adalah metode yang menghasilkan temuan-temuan data

tanpa menggunakan prosedur statistik atau dengan cara lain dari pengukuran

(kuantifikasi). Metode ini lebih berkenaan dengan interpretasi data yang

ditemukan. Jadi, metode deskriptif kualitatif adalah sebuah metode yang

bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis sebuah fenomena yang

diselidiki dengan cara menginterpretasi data yang ditemukan tanpa

perhitungan statistik.

G.

Manfaat Penelitian

1) Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan

memperkaya khazanah pengetahuan sastra bagi pembaca secara umum

dan siswa sekolah secara khusus dalam kaitannya dengan pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia. Penelitian ini juga berusaha

menyumbangkan sedikit pemahaman tentang Sosiologi Sastra dalam

mengungkap novel The Da Peci Code karya Ben Sohib.

2) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan sikap kritis pembaca

mengenai hal-hal yang umum dalam kehidupan sehari-hari,

memberikan sedikit gambaran tentang kondisi sosial masyarakat

Betawi, serta memberikan pandangan yang benar mengenai kebiasaan

mengenakan peci putih. Penelitian ini juga diharapkan mampu

membantu mengungkap misteri di balik novel The Da Peci Code karya

Ben Sohib dengan cara menguraikan wujud kritik yang ingin

(16)

H.

Kajian Pustaka

Sepengetahuan peneliti novel The Da Peci Code karya Ben Sohib ini

belum pernah diteliti oleh orang lain. Hal ini didapat setelah melakukan

penelusuran di internet dan pencarian di perpustakaan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Universitas Terbuka, Universitas Negeri Jakarta, dan

Universitas Indonesia. Namun, banyak penelitian yang terkait dengan kritik

sosial salah satunya skripsi dari Rita Martini dari Universitas Muhammdiyah

Surabaya yang berjudul Kritik Sosial dalam Novel Tuhan, Izinkan Aku Jadi

Pelacur! Karya Muhidin M. Dahlan (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra).

Penelitian lainnya yang terkait dengan nilai sosial adalah skripsi Mega

Fiyani dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang

berjudul Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya

Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra. Penelitian tersebut

menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Dalam penelitian tersebut

disimpulkan bahwa novel Bukan Pasar Malam memuat nilai-nilai sosial

melalui interaksi sosial di dalam keluarga dan masyarakat seperti nilai kasih

sayang, nilai pengayoman, nilai religiositas, nilai kepedulian, nilai kesetaraan,

nilai kebersamaan, dan nilai keikhlasan. Nilai-nilai tersebut dapat

diimplikasikan pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat

SMA kelas XI, dalam aspek mendengarkan.

I.

Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, peneliti membagi

pembahasan ke dalam lima bab yang terbagi lagi menjadi sub-sub bab sebagai

berikut:

Bab I berisi Pendahuluan, yang membahas latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, manfaat

penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II berisi Kajian Teoritis, yang membahas Pengertian Novel,

Pengertian Unsur-Unsur Intrinsik Novel, Sosiologi Sastra,

(17)

Bab III berisi Profil Ben Sohib, Karya-Karya Ben Sohib, dan Penghargaan

bagi Ben Sohib.

Bab IV berisi Analisis Unsur-Unsur Intrinsik Novel The Da Peci Code

karya Ben Sohib, Deskripsi Kondisi Sosial Masyarakat Betawi

keturunan Arab dalam novel tersebut, Perwujudan Kritik Sosial

dalam Novel tersebut, dan Implikasi Penelitian ini terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

(18)

10

A.

Pengertian Novel

Sebutan novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang kemudian masuk

ke Indonesia—berasal dari bahasa Italia novella berarti sebuah barang baru

yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.

Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang

berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun

melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan

penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja

bersifat imajinatif.1

Novel terbagi dua yaitu novel populer dan novel serius. Novel populer

yang mengandung kritik sosial akan memberikan jawaban atau solusi atas

kritik yang disampaikan pengarang. Jawaban atau solusi tersebut biasanya

terdapat pada bagian akhir cerita. Sedangkan pada novel serius kritik tersebut

bertujuan untuk mempertanyakan keyakinan pembaca terhadap suatu hal.

Novel serius tidak memberikan jawaban secara langsung atas kritik yang

disampaikannya melainkan membebaskan pembaca menentukan jawabannya.

Istilah novel sama dengan istilah roman. Kata novel seperti yang

disebutkan di atas berasal dari Italia yang kemudian berkembang di Inggris

dan Amerika Serikat. Sedangkan istilah roman berasal dari genre romance

dari Abad Pertengahan yang merupakan cerita panjang tentang kepahlawanan

dan percintaan. Istilah roman berkembang di Jerman, Belanda, Perancis, dan

bagian-bagian Eropa Daratan yang lain. Berdasarkan asal usul istilah tadi

memang ada sedikit perbedaan antara roman dan novel, yakni bahwa bentuk

novel lebih pendek dibanding dengan roman, tetapi ukuran luasnya unsur

cerita hampir sama.2

1

Ibid., h. 4. 2

(19)

B.

Pengertian Unsur-Unsur Intrinsik Novel

Menurut Fananie3 unsur intrinsik adalah struktur formal karya sastra

yang dapat disebut sebagai elemen-elemen atau unsur-unsur yang membentuk

karya sastra. Unsur-unsur tersebut secara utuh membangun karya sastra fiksi

dari dalam, unsur-unsur intrinsik yang paling pokok terdiri dari: (1) tokoh dan

penokohan, (2) latar, (3) alur, dan (4) tema.

Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro,4 terdapat delapan unsur fiksi

yang terdiri atas: (1) Tema, (2) Cerita, (3) Pemplotan, (4) Penokohan, (5)

Pelataran, (6) Penyudutpandangan, (7) Bahasa, dan (8) Moral. Lain halnya

dengan Wahyudi Siswanto,5 ia membagi unsur fiksi menjadi tujuh jenis,

yaitu: (1) Tokoh, watak, dan penokohan, (2) Latar cerita, (3) Titik

pandang/sudut pandang, (4) Gaya bahasa, (5) Alur, (6) Tema dan amanat, dan

(7) Gaya penceritaan.

a. Tema

Tema berasal dari kata “thema” (Inggris) ide menjadi pokok suatu

pembicaraan, atau ide pokok suatu tulisan. Tema merupakan

omensional yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan dasar itu

pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya bagaimana cerita

akan dibangun dan berakhir. Dengan adanya tema pengarang

mempunyai pedoman dalam ceritanya pada sasaran. Jadi tema adalah

ide sentral yang mendasari suatu cerita.6

Aminuddin7 berpendapat seorang pengarang memahami tema cerita

yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan,

sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah

selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema

tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu

menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.

3

Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000), h. 58.

4

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 23. 5

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 142. 6

Zulfahnur, Op. Cit., h. 24. 7

(20)

Sementara itu terdapat lima tingkatan tema menurut Shipley.8 Dalam

Dictionary of World Literature ia mengartikan tema sebagai subjek

wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam

cerita. Shipley membedakan tema karya sastra berdasarkan tingkatan

pengalaman jiwa yaitu sebagai berikut:

Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat

kejiwaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini

lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas

fisik daripada kejiwaan.

Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat

kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat

ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah

seksualitas—suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk

hidup.

Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as

socius. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat

aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam,

mengandung banyak permasalahan ekonomi, politik, pendidikan,

kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan

atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang

biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.

Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as

individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus

juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan

atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk

individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik,

misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah

sosial yang dihadapinya.

Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi,

yang beum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya.

8

(21)

Masalah yang menonjol dalam tingkat ini adalah masalah hubungan

manusia dengan sang pencipta, masalah religiositas, atau berbagai

masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi,

dan keyakinan.

b. Latar

Abrams9 yang menyebut latar sebagai landas tumpu, menyaran pada

pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Menurut Sayuti,10 deskripsi latar fiksi secara garis besar dapat

dikategorikan dalam tiga bagian, yakni:

1. Latar tempat

Latar tempat menyangkut deskripsi tempat suatu cerita terjadi.

Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat

dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa

nama jelas.

2. Latar waktu

Latar waktu mengacu kepada saat terjadinya peristiwa secara

historis dalam plot. Dengan jelasnya saat kejadian akan tergambar

pula tujuan fiksi tersebut. Secara jelas pula rangakian peristiwa yang

tidak mungkin terjadi terlepas dari perjalanan waktu dapat ditinjau

dari jam, hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu yang

melatarbelakanginya.

3. Latar sosial

Latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat

seorang atau beberapa orang tokoh di dalam masyarakat yang ada di

sekelilingnya.

9

Ibid., h. 216 10

(22)

c. Alur

Menurut Abrams alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh

tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang

dihadirkan oleh para pelaku dalam cerita.11

Menurut Zulfahnur,12 berdasarkan fungsinya alur dibagi atas:

1. Alur utama

Alur utama adalah alur yang berisi cerita pokok, dibentuk oleh

peristiwa pokok atau utama.

2. Alur bawahan (subplot)

Alur bawahan adalah alur yang berisi kejadian-kejadian kecil

menunjang peristiwa-peristiwa pokok, sehingga cerita tambahan

tersebut berfungsi sebagai ilustrasi alur utama.

d. Tokoh dan penokohan

Tokoh cerita (character) menurut Abrams13 adalah orang-orang yang

ditampilkan dalam karya naratif, atau drama yang oleh pembaca

ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti

yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam

tindakannya.

Menurut Sayuti14 ditinjau dari segi keterlibatannya dalam

keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yakni:

1. Tokoh sentral atau tokoh utama

Tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar

dalam peristiwa atau tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh

sentral atau tokoh utama dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu (1)

tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema, (2) tokoh itu

yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan (3) tokoh

itu paling memerlukan waktu penceritaan.

11

Siswanto, Op. Cit., h. 159. 12

Zulfahnur, Op. Cit., h. 27. 13

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 165. 14

(23)

2. Tokoh periferal atau tokoh tambahan (bawahan)

Tokoh bawahan merupakan tokoh yang mengambil bagian kecil

dalam peristiwa suatu cerita atau tokoh yang sedikit diceritakan.

Penokohan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita; baik keadaan

lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa: pandangan hidupnya,

sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya. Penokohan

mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan

bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga

sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.15

Dalam penokohan, dikenal ada dua cara atau metode yang digunakan

pengarang untuk menggambarkan tokoh cerita yaitu:16

1. Metode diskursif atau metode analitik

Metode ini digunakan pengarang dengan menyebutkan secara

langsung masing-masing kualitas tokoh-tokohnya.

2. Metode dramatis atau metode tidak langsung

Metode ini digunakan pengarang dengan memberikan

tokoh-tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri. Metode ini dapat

dilakukan dari beberapa teknik antara lain: (1) teknik pemberian

nama, (2) teknik cakapan, (3) teknik pikiran tokoh, (4) teknik arus

kesadaran, (5) teknik lukisan persoalan tokoh, (6) teknik perbuatan

tokoh, (7) teknik pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap

tokoh lain, (8) teknik lukisan fisik, dan (9) teknik pelukisan latar.

e. Sudut pandang

Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari

tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat,

15

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 166. 16

(24)

waktu dengan gayanya sendiri.17 Sudut pandang terbagi menjadi tiga

macam yaitu:

1. Sudut pandang persona ketiga: “dia”

Narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang

menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata

gantinya; ia, dia, mereka.

2. Sudut pandang persona pertama: “aku”

Dalam pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang

persona pertama, “aku”, narator adalah seseorang yang ikut terlibat

dalam cerita.

3. Sudut padang campuran

Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja

lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik

yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang

dituliskannya.18

f. Gaya bahasa

Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan

gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan

harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat

menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.19

g. Gaya penceritaan

Gaya penceritaan mencakup teknik penulisan dan teknik penceritaan.

Teknik penulisan adalah cara yang digunakan oleh pengarang dalam

menulis karya sastranya. Teknik penceritaan adalah cara yang

digunakan pengarang untuk menyajikan karya sastranya, seperti teknik

pemandangan, teknik adegan, teknik montase, teknik kolase, teknik

asosiasi.20

17

Siswanto, Op. Cit., h. 151. 18

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 256. 19

Siswanto, Op. Cit., h. 158. 20

(25)

h. Moral

Moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk

sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral. Moral dalam

karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang

bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal

itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca.21

C.

Mimetik

Abrams berpendapat mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang

menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan

di luar sastra. Pendekatan yang memandang sastra sebagai imitasi dari

realitas. Kajian semacam ini dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Plato

berpendapat bahwa seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang

ada dalam kenyataan yang tampak. Dunia empirik tidak mewakili kenyataan

yang sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya lewat mimetik,

peneladanan, pembayangan, atau peniruan. Bagi plato tidak ada pertentangan

antara realisme dan idealisme dalam seni. Seni yang terbaik lewat mimetik.

Sedangkan bagi muridnya, Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan,

manusia, dan peristiwa sebagai mana adanya. Seniman menciptakan dunianya

sendiri. Apa yang terjadi dalam penciptaan seniman masuk akal dalam

keseluruhan dunia ciptaan itu.22 Dalam kebudayaan Barat, khususnya Abad

Pertengahan, pikiran-pikiran Aristoteles mengenai peniruan diterima sebagai

dasar estetik dan filsafat seni. Karya seni meniru alam sebagai ciptaan Tuhan

(The Great Model), karya seni mencerminkan keindahan Tuhan, manusia

hanya menciptakan kembali, manusia sebagai homo artifex. Di Indonesia,

tampak dalam puisi-puisi Jawa Kuno, melalui konsep persatuan antara

manusia dengan Tuhan lewat keindahan, sebagai penjelmaan Tuhan.23

21

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 320. 22

Siswanto, Op. Cit., h. 189. 23

(26)

Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah atau

sederhana. Hubungan itu merupakan interaksi yang kompleks dan tak

langsung: ditentukan oleh konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan

konvensi sastra.

D.

Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari

akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan,

teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Selanjutnya

terjadi perubahan makna, socius berarti masyarakat, logos berarti ilmu. Jadi,

sosiologi adalah ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan masyarakat.

Sastra dari akar kata sas (Sanskerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi

petunjuk, dan intruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti

kumpulan alat untuk mengajar atau buku pengajaran yang baik.

Sesungguhnya kedua ilmu memiliki objek yang sama yaitu manusia

dalam masyarakat. Perbedaan sastra dan sosiologi merupakan perbedaan

hakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri, sebagaimana ditunjukkan melalui

perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta.24

Teori-teori sosial sastra sesungguhnya sudah ada sejak zaman

Plato/Aristoteles (abad ke-5/4 SM), filsuf Yunani. Dalam buku yang berjudul

Ion dan Republik dilukiskan mekanisme antarhubungan sastra dengan

masyarakatnya. Menurut Plato, karya seni merupakan tiruan (mimesis) yang

ada dalam dunia ide. Jadi karya seni merupakan tiruan dari tiruan, secara

hierarkis seni berada di bawah kenyataan. Filsafat ide Plato yang semata-mata

bersifat praktis di atas ditolak oleh Aristoteles. Menurutnya, seni justru

mengangkat jiwa manusia, yaitu melalui proses penyucian (khatarsis), sebab

karya seni membebaskan manusia dari nafsu yang rendah.25

24

Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 2.

25

(27)

Istilah sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya

dengan pendekatan sosiologis atau sosiokultur terhadap sastra.26 Menurut

Sapardi Djoko Damono, ada dua kecenderungan utama dalam telaah

sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan

bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini

bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra. Kedua,

pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode

yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk

mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.

Masalah pokok sosiologi sastra adalah hubungan antara sastra dengan

masyarakat, bagaimana hubungan tersebut terjadi, dan bagaimana

akibat-akibat yang ditimbulkannya baik terhadap karya sastra maupun masyarakat

itu sendiri.27

Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan

pencerminan kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang pengarang

mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam

karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu

memberi pengaruh terhadap masyarakat bahkan seringkali masyarakat sangat

menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara

sastrawan itu sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat

mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang

membesarkannya dan sekaligus membentuknya.28

Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia

merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu

yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada

agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta

26

Ibid., h. 2. 27

Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 268.

28

(28)

hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan

dunia sekitarnya.29

Sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra (kesusastraan)

merupakan refleksi pada zaman karya sastra (kesusastraan) itu ditulis yaitu

masyarakat yang melingkupi penulis, sebab sebagai anggotanya penulis tidak

dapat lepas darinya.

Selain itu, Laurenson30 mengemukakan ada tiga perspektif yang

berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain:

1. Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di

dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut

diciptakan;

2. Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya;

3. Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi

sosial budaya atau peristiwa sejarah.

Wellek dan Warren mengemukakan tiga klasifikasi yang berkaitan

dengan sosiologi sastra yaitu:

1. Sosiologi pengarang

2. Sosiologi karya sastra

3. Sosiologi pembaca

Menurutnya, hubungan sastra dengan masyarakat dapat diklasifikasikan

sebagai berikut: Pertama, sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan situasi

sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi, produksi sastra,

latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat

dari berbagai kegiatan di luar karya sastra. Kedua, isi karya sastra, tujuan,

serta hal-hal lain tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan

dengan masalah sosial. Ketiga, permasalahan pembaca dan dampak sosial

karya sastra. Sejauh mana sastra dikembangkan atau tergantung dari latar

sosial, perubahan dan perkembangan sosial adalah pertanyaan yang termasuk

29

Fananie, Op. Cit., h. 117. 30

(29)

dalam ketiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra

yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat.31

Kemudian Jabrohim mengungkapkan sasaran dari sosiologi sastra, yaitu

sebagai berikut.

a. Konteks sosial sastrawan

Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial

sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat

pembaca. Dalam bidang ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang

dapat mempengaruhi sastrawan sebagai individu di samping dapat

mempengaruhi karya sastranya. Dalam hal ini kaitan antara sastrawan

dan masyarakat sangat penting, sebab seringkali didapati bahwa macam

masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra

mereka.

b. Sastra sebagai cerminan masyarakat

Sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan

masyarakatnya. Dalam hubungan ini terutama harus mendapat

perhatian yaitu: (1) sastra mungkin tidak dapat dikatakan

mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, (2) sifat “lain dari

yang lain” seseorang pengarang atau sastrawan sering mempengaruhi

pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (3) genre

sastra sering merupakan sikap sosial seluruh kelompok tertentu, dan

bukan sikap sosial seluruh masyarakat, (4) sastra yang berusaha

menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin

saja tidak bisa diterima atau dipercaya sebagai cerminan masyarakat.

Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak

dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali

masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan

masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila

sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat.

31

(30)

c. Fungsi sosial sastra

Ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) sudut pandangan

yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta

atau nabi. Dalam pandangan ini tercakup juga pandangan bahwa sastra

harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, (2) sudut

pandangan lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai

penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan “seni untuk seni” misalnya,

tak berbeda dengan usaha untuk melambungkan dagangan agar menjadi

best seller. (3) sudut pandangan kompromistis seperti tergambar dalam

slogan “sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur”.32

E.

Kritik Sosial

Pengertian ‘kritik’ (sastra) berasal dari kata krites (Yunani Kuno) yang

berarti ‘hakim’. Krites sendiri semula berasal dari kata krinein ‘menghakimi’.

Pengertian kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

“kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan

baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.”33

Adinegoro mengungkapkan bahwa kritik adalah salah satu ciri dan sifat

penting dari peristiwa otak manusia, sehingga kritik dapat dijadikan dasar

untuk berpikir danmengembangkan pikiran. Kritik tidak dimaksudkan untuk

meruntuhkan sesuatu melainkan untuk memperbaiki hal yang dianggap tidak

sesuai dan akhirnya untuk mendapatkan kemajuan.34

Kata sosial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti

“berkenaan dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum.”35

Dari definisi kritik dan sosial tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang

dimaksud kritik sosial adalah pandangan atau tangggapan penulis melalui

32

Jabrohim dan Ari Wulandari (ed.), Metodologi Penelitian Sastra, (Jogjakarta: Hanindita Graha Widya, 2002), h. 158.

33

Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2008), Cet. IV, h. 742.

34

Djamaludin Adinegoro, Tata Kritik, (Djakarta: Nusantara, 1958), h. 10. 35

(31)

karyanya yang berisi kecaman terhadap fenomena sosial yang menyimpang.

Astrid Susanto berpendapat bahwa kritik sosial adalah suatu aktifitas yang

berhubungan dengan penilaian (juggling), perbandingan (comparing), dan

pengungkapan (revealing) mengenai kondisi sosial suatu masyarakat yang

terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang dijadikan

pedoman.36 Kritik sosial memiliki fungsi sebagai kontrol terhadap jalannya

suatu proses bermasyarakat.

Adanya pengaruh lingkungan masyarakat terhadap hasil karya seorang

pengarang akan memunculkan kritik sosial terhadap ketimpangan yang terjadi

dalam masyarakat. Sastra yang mengandung kritik sosial akan lahir di

masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial

masyarakat. Kritik sosial yang membangun tidak hanya berisi kecaman,

celaan, atau tanggapan terhadap situasi tertentu, tetapi juga berisi inovasi

sosial sehingga tercapai sebuah harmonisasi sosial.

Kritik dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung.

Media yang tersedia untuk menyampaikan kritik juga cukup beragam. Karya

sastra merupakan salah satu media untuk menyampaikan kritik sosial secara

tidak langsung. Kritik sosial banyak dijumpai dalam karya sastra sebagai

bentuk gambaran realita sosial di masyarakat.37

F.

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Secara luas dan tradisional pengajaran sastra memang mencakup

sejumlah aspek, mulai sari teori sastra, sejarah sastra, sastra perbandingan,

apresiasi sastra, sampai pada akhirnya kritik sastra. Tujuan pengajaran sastra,

baik di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi adalah untuk membentuk

anak didik dan pemuda-pemuda kita menjadi pembaca-pembaca yang dapat

menemukan kenikmatan dan nilai-nilai dalam cipta sastra, dan tetap menjadi

36

Anonim, “Kritik Sosial,” artikel diakses pada 8 Maret 2013 dari http://sebuahcatatansastra.blogspot.com/2009/02/kritik-sosial.html

37

(32)

pembaca-pembaca yang setia, bangga, serta bertanggung jawab terhadap cipta

sastra kita (Indonesia) sepanjang hayatnya.38

Tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam

kurikulum 2004 yaitu: (1) agar peserta didik mampu menikmati dan

memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas

wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan

berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia

sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan,

berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mmendengarkan

meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi karya

sastra. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan

mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks

lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan

membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu

melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi

kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati dalam bentuk sastra

tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam

sastra yang sudah dibaca.

Selain tujuan di atas dapat juga dikembangkan pendidikan melalui

sastra. Melalui sastra kita bisa mengembangkan peserta didik dalam hal

keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, estetika, logika, dan

kinestetika; pengembangan kecakapan hidup; belajar sepanjang hayat; serta

pendidikan menyeluruh dan kemitraan.39

Maman S. Mahayana juga menyoroti proses pengajaran sastra di

sekolah yang cenderung hanya sebatas memberi penjelasan tentang

pengertian alur, latar, tokoh, tema, sudut pandang, dan berbagai jenis gaya

bahasa. Padahal seperti kita ketahui bahwa tujuan pembelajaran sastra di

38

Mukhsin Ahmadi, Strategi Belajar-Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra, (Malang: YA3, 1990), h. 85.

39

(33)

sekolah sesuai dengan kurikulum tahun 2004 adalah agar siswa mampu

mengapresiasi dan membanggakan khazanah sastra Indonesia.

Menurutnya, itulah malapetaka nasional dalam dunia pendidikan

Indonesia (khasnya pelajaran sastra Indonesia), ketika siswa terus-menerus

dijejali teori-teori dan konsep sastra, sementara karyanya sendiri tidak pernah

dilihat dan disentuh. Suatu hal yang utama dalam pembelajaran sastra di

semua tingkatan pendidikan dasar dan menengah adalah menyuruh siswa

membaca karya sebanyak-banyaknya. Dari karya sastra yang dibaca itulah

guru dapat menerangkan soal-soal konsep. Tetapi itu pun sebatas

pengetahuan belaka. Bukankah tujuannya adalah apresiasi?40

Pembelajaran sastra tidak hanya memahami unsur-unsur intrinsik atau

ekstrinsik saja tapi juga dapat digali berbagai pelajaran hidup dari karya sastra

yang disampaikan pengarang melalui caranya yang khas. Cara penyampaian

inilah yang membuat pengarang berbeda dengan penceramah. Konsekuensi

model pengajaran seperti itu, menuntut guru pandai melakukan pilihan atas

karya-karya yang baik dan bermutu. Oleh karena itu, setiap guru atau calon

guru bahasa dan sastra Indonesia wajib menyukai sastra dan membaca banyak

karya sastra. Tugas utama guru adalah mampu membuat siswa menghayati

karya sastra.

40

(34)

26

A.

Biografi dan Pemikiran Ben Sohib

Ben Sohib lahir pada tanggal 22 Maret di Jakarta. Dua novel best seller

-nya, The Da Peci Code dan Rosid dan Delia, diangkat ke layar lebar dengan

judul Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta (sutradara Benni Setiawan) dan

mendapatkan banyak penghargaan, termasuk film terbaik Festival Film

Indonesia 2011. Ia mulai menulis sejak di bangku SMP. Beberapa tulisannya

berupa puisi, cerpen, dan features dimuat di Sinar Harapan, Pelita, dan Hai.

Saat ini bergiat di Majelis Sastra Masjid Al-Makmur di Cililitan Kecil,

Jakarta Timur.

Ben Sohib adalah sastrawan yang tertutup. Ia sendiri mengakui bahwa

dirinya tidak pernah memberitahukan tentang biogarfi hidupnya kepada orang

lain. “Saya hanya berusaha sok misterius,” begitu selorohnya ketika saya

bertanya mengenai tempat tanggal lahirnya. Ben Sohib mengakui ketika ada

media yang ingin menulis data dirinya, ia minta sesingkat mungkin. Ia juga

tidak menjawab ketika saya tanya mengenai nama aslinya. Ia hanya bilang,

“Ya, Saya lebih suka dikenal dengan nama itu (Ben Sohib).” Meski begitu, ia

adalah sosok yang sangat ramah dan rendah hati. Bahkan penyuka rokok

Marlboro putih ini sempat beberapa kali menelpon saya untuk menanyakan

kepastian waktu wawancara.1

Riwayat pendidikan beliau adalah SD, SMP, dan SMA umum. Saya

ragu ketika hendak menanyakan lebih lanjut mengenai riwayat

pendidikannya, karena teringat sikapnya yang sangat menjaga rahasia data

pribadinya. Meski karya-karyanya begitu kuat bernafaskan Islam ternyata ia

sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren seperti yang saya

duga. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri dan ia dibesarkan di keluarga

yang juga tidak terlalu fanatik dengan Islam. Ben Sohib mengakui bahwa

1

(35)

latar Islam yang ditampilkannya dalam novel The Da Peci Code merupakan

hasil pengamatan dan pembacaannya terhadap lingkungannya.

Sastrawan yang saat ini tinggal di Bukit Duri, Kampung Melayu ini,

memiliki darah keturunan Arab yang berasal dari Hadramaut (Yaman). Garis

keturunan tersebut diwariskan oleh kakeknya. Sedangkan neneknya adalah

keluarga keraton Yogyakarta. Jadi sebenarnya, ia memiliki gelar Raden Mas

pada namanya. Namun, gelar ini enggan ia gunakan. Ia lebih suka dipanggil

Ben Sohib saja.

Kesibukan Ben Sohib sehari-hari ialah menulis. Saat ini ia sedang

menggarap novel terbarunya yang belum diberi judul dan mengisahkan

tentang kehidupan seorang haji. Ia juga melatari novel ini dengan nuansa

ke-Islam-an yang kental dengan latar yang sama (dengan novel sebelumnya)

yaitu masyarakat Betawi.

Ayah satu anak ini mengakui kalau ia bukanlah orang Condet asli. Ia

hidup berpindah-pindah sejak kecil. Ia pernah tinggal di Bandung, Bali, Jawa

Timur, kemudian terakhir di Jakarta. Hampir separuh usianya ia habiskan di

Jakarta, itulah yang membuatnya merasa sebagai bagian dari masyarakat

Betawi. Meski begitu, ia tidak pernah mengakui dirinya sebagai sastrawan

Betawi. Berbeda dengan S. M. Ardhan, Muntaco, atau Chairil Gibran

Ramadhan yang memang sastrawan Betawi. Ia hanya menggunakan latar

Betawi agar novelnya tidak kaku dan mudah diterima masyarakat.2

Inspirasi penulisan novel ini adalah melalui pengamatan yang ia lihat di

lingkungan Condet. Meskipun ia bukan warga Condet ia sering datang ke

daerah itu untuk berdiskusi dengan rekan-rekannya mengenai sastra, politik,

filsafat, maupun agama. Akhirnya ia dan rekan-rekannya membentuk sebuah

komunitas bernama Majelis Sastra Masjid Al-Makmur. Komunitas inilah

yang menginspirasi terciptanya Sanggar Banjir Kiriman pada novel The Da

Peci Code. Kebiasaan umat Islam menggunakan peci putih dan baju koko

pada komunitas di daerah Condet juga menjadi inspirasi utamanya menulis

novel ini.

2

(36)

Ben Sohib yang memang tidak dibesarkan dalam lingkungan kehidupan

Islam yang kuat menganggap bahwa agama adalah kehidupan itu sendiri yang

di dalamnya terdapat arahan-arahan dan nilai-nilai. Masalah celana di atas

lutut adalah persoalan remeh temeh dalam Islam yang tak perlu menjadi

perdebatan. Ia juga tidak menyukai tindakan-tindakan anarkis yang

mengatasnamakan Islam apalagi sampai menganggap kelompok atau

komunitas tertentu paling benar dan semua dianggap salah. Sebuah

pertanyaan klasik yang masih belum terjawab dalam benaknya adalah

mengenai hal-hal yang telah ditetapkan di Lauh Mahfudz. Ketika saya tanya

pandangannya mengenai hal-hal yang maktub di dunia ini ia hanya

memberikan jawaban, “Itu adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya tidak

akan memuaskan siapapun.”3

Ben Sohib pernah menjadi peserta Literary Biennale. Literary Bienale

adalah sebuah festival sastra yang diadakan oleh Komunitas Salihara dan

Komunitas Utan Kayu. Acara yang digelar pada awal Oktober 2011 ini telah

memasuki tahun keenam dan pada waktu itu mengambil tema Klasik Nan

Asyik. Acara ini diisi tidak hanya oleh para sastrawan muda saja namun juga

sastrawan-sastrawan senior yang namanya telah banyak dikenal orang seperti

D. Zawawi Imron, Danarto, Joko Pinurbo, dan masih banyak lagi. Pada acara

tersebut Ben Sohib bersama A. Fuadi (penulis trilogi Negeri Lima Menara),

Hasan Al Banna, Okky Madasari, dan Syaiful Alim berkesempatan menjadi

narasumber yang membahas tema “Sastra dan Tradisi Islam”.4

B.

Karya-Karya Ben Sohib

Ben Sohib telah menelurkan tiga karya. Buku pertama dan keduanya

merupakan novel dwilogi yang telah difilmkan pada tahun 2010 dengan judul

Tiga Hati Dua Dunia, Satu Cinta, sedangkan buku ketiganya adalah

3

Wawancara Pribadi dengan Ben Sohib, Jakarta, 19 April 2013. 4

(37)

kisah nyata dari tayangan Kick Andy. Berikut ini adalah deskripsi singkat dari

karya-karya Ben Sohib.

1. The Da Peci Code: Misteri Tak Berbahaya di Balik Tradisi

Berpeci yang diterbitkan oleh Ufuk Press pada tahun 2008. Novel best

seller ini kemudian diterbitkan lagi oleh Bentang Pustaka pada tahun

2010 dengan judul Hikayat The Da Peci Code: Misteri Tak Berbahaya

di Balik Tradisi Berpeci.

2. Rosid dan Delia juga diterbitkan oleh Ufuk Press pada tahun yang

sama dengan buku pertamanya. Kemudian diterbitkan ulang oleh

Bentang Pustaka tahun 2010 dengan judul Balada Rosid dan Delia.

Berbeda dengan buku sebelumnya, buku ini mempersoalkan masalah

yang lebih pelik dari sekedar ‘peci putih’, yaitu pernikahan beda agama

antara Rosid dan Delia.

3. Seven Heroes yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun

2009. Sesuai dengan judulnya, buku ini mengulas tentang tujuh orang

pahlawan terbaik pilihan Kick Andy. Pahlawan yang berjuang dalam

kesunyian. Dalam kesederhanaan atau bahkan hidup kekurangan,

mereka merelakan sebagian besar waktu, tenaga, dan hartanya demi

menolong orang lain.5

5

(38)

30

A.

Unsur-Unsur Intrinsik Novel

The Da Peci Code

karya Ben

Sohib

1. Tema

Novel ini bertemakan kritik sosial. Sesuai dengan lima tingkatan tema

menurut Shipley, tema tersebut terdapat pada tingkatan ketiga yaitu

manusia sebagai makhluk sosial (man as socius). Shipley menjelaskan,

kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat aksi-interaksinya

manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung

banyak permasalahan dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul

dalam karya yang berisi kritik sosial.

Ben Sohib melalui novelnya berusaha mengkritik kebiasaan

masyarakat yang cenderung ortodoks, hanya mengikuti tradisi leluhur

tanpa dilandasi pemikiran yang kritis. Hal utama yang dikritik oleh Ben

Sohib adalah tradisi berpeci putih yang dianggap ajaran agama bagi sebuah

komunitas padahal hal tersebut tidak lebih hanya sebuah tradisi warisan

leluhur. Selain mengkritik peci putih Ben Sohib juga mengkritik

kesederhanaan pemikiran-pemikiran umat Islam mengenai busana muslim

dan penyelenggaraan maulid Nabi Muhammad Saw.

Umat Islam sering berpendapat bahwa baju koko dan sarung adalah

busana yang tepat untuk mengerjakan ibadah, sampai-sampai berpikir

bahwa itu adalah busana wajib hingga mereka menganggap busana yang

lain itu tidak layak, padahal kita semua tahu baju koko dan sarung

masing-masing berasal dari Cina dan India. Kemudian mengenai maulid Nabi

yang dianggap bidah oleh sebagian orang, Ben Sohib menjawab masalah

ini dengan cukup baik sehingga tidak menimbulkan pertanyaan bagi

(39)

157. “...ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk mengagungkan Nabi

diantaranya surat al-A’raf ayat 157.”1

2. Alur

Ben Sohib menggunakan alur campuran dalam menuliskan ceritanya.

Hal ini didapat setelah melakukan pembacaan novel tersebut dengan

cermat. Kisah ini menggunakan alur campuran, yaitu dengan menceritakan

keadaan tokoh utama, setelah itu barulah menceritakan hal-hal yang

melatarbelakangi terjadinya keadaan tersebut. Tidak berhenti sampai di

situ, ternyata masih ada peristiwa-peristiwa baru yang dialami tokoh untuk

mencapai klimaks cerita dan berakhir dengan bahagia.

Kisah ini dimulai dengan menceritakan kondisi Rosid setelah terusir

dari rumah dan penyebab pengusirannya oleh Mansur, sang ayah. Ia

terlibat konflik hebat dengan Mansur (ayahnya) akibat usaha Rosid yang

hendak menggugat tradisi peci putih yang telah diwariskan selama

berabad-abad. Ketika itu Rosid mengalami kebingungan, ia berjalan tanpa

arah tujuan. Perhatikan kutipan berikut. “Rosid termasuk salah satu

diantara mereka. Ia mengayunkan kakinya. Rambutnya yang kribo

terangguk-angguk mengikuti setiap gerak langkahnya. Tapi ia tidak sedang

dalam rangka ikut menyemarakkan suasana jalan raya, melainkan baru saja

terusir dari rumahnya.”2

Selanjutnya dikisahkan pula keadaan Mansur dan istrinya Muzna

setelah peristiwa pengusiran itu. Betapapun marahnya orangtua kepada

anak, tetap saja kasih sayangnya tak pernah luntur. Setelah peristiwa

pengusiran itu Mansur merasakan kesusahan dalam hatinya, hal itu terbaca

oleh Muzna sang istri. “...Muzna menatap wajah lelap sang suami. Ia tahu

suaminya sedang masygul. Kemarin ia terlibat pertengkaran hebat dengan

Rosid... Pertempuran itu berakhir dengan diusirnya Rosid dari rumah.”3

1

Ben Sohib, The Da Peci Code, (Jakarta: Ufuk, 2008), h. 282 2

Ibid., h. 4 3

(40)

Pada tahap pengenalan ini juga diceritakan mengenai Mahdi sahabat

baik Rosid yang rumahnya sering dijadikan tempat menginap Rosid.

Setelah pengusiran malam itu Rosid memutuskan untuk menginap di

rumah Mahdi. Diceritakan pula tentang pekerjaan Mansur sang ayah,

sebagai pedagang pakaian yang cukup sukses.

Ia masih menerka-nerka di manakah gerangan ia berada. Tapi ketika tangannya meraba-raba sesuatu di bawah kepalanya, ia sadar; ini pasti

rumah Mahdi.4

Mansur al-Gibran bangkit dari kursi untuk melayani seorang calon pembeli... Sebenarnya ia cukup puas dengan perkembangan usaha toko yang dimulainya sejak dua tahun lalu... Semakin hari toko

Mansur semakin ramai. Ia mensyukuri kehidupannya.5

Pada bagian selanjutnya digambarkan mengenai kehidupan Rosid yang

ingin kuliah di IKJ namun dilarang oleh ayahnya, kegemaran Rosid

‘nongkrong’ di Taman Ismail Marzuki (TIM), sampai pertemuan dengan

pujaan hatinya Delia. Dari titik inilah mulai dimunculkan konflik-konflik

antara Rosid dengan dirinya, ayahnya, dan Delia. Perhatikan

kutipan-kutipan berikut ini. Pada titik ini pula pengarang menceritakan latar

belakang pengusiran Rosid dari rumah yang merupakan bentuk alur

mundur.

Ia berjanji bertemu Delia di warung tenda langganan mereka di Taman Ismail Marzuki.

Jalan Cikini Raya merupakan area yang paling ia sukai. Ini ada sejarahnya sendiri. Dua tahun yang lalu, sewaktu baru lulus SMU, Rosid berkeinginan kuat untuk belajar sinematografi di Institut Kesenian Jakarta yang berlokasi di TIM. Tapi Mansur sama sekali tak

setuju. Ini membuat Rosid sangat kecewa.6

Bagi Rosid, Delia bukan sekedar nama. Ia sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Ini semua bermula dari sebuah perkenalan yang

mengguncang sukma.7

Selain memunculkan konflik antara Rosid dengan ayahnya terkait peci

putih, pengarang juga menampilkan permasalahan Rosid dan Delia yang

4

Ibid., h. 32. 5

Ibid., h. 37. 6

Ibid., h. 47. 7

(41)

terkait dengan kepercayaan agama. Masalah inilah yang nantinya akan

mendasari lanjutan novel dwilogi ini. “Jawaban atas pertanyaan ini

dengan mudah dapat ditemukan Rosid pada kalung salib dari bahan

perunggu yang menggantung di leher Delia.”8

Kemudian pada bagian ketiga sampai kedua belas diceritakan

bagaimana perjuangan Rosid mengungkap sejarah peci dan kaitannya

dengan agama Yahudi dan Nasrani. Pada bagian tersebut juga diceritakan

bagaimana

Referensi

Dokumen terkait

karya Tere Liye.. Mendeskripsikan kritik sosial yang terkandung dalam novel Negeri Para Bedebah karya Tere Liye. Mengimplementasikan atau melibatkan novel Negeri Para bedebah

Objek dalam penelitian ini adalah pesan religius dan kritik sosial dalam novel Yang Miskin Dilarang Maling karya Salman Rusydie Anwar, sumber data yang dipakai

Arah atau penekanan dalam penelitian ini adalah kritik sosial dengan tinjauan sosiologi sastra pada novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma

Menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “KRITIK SOSIAL DAN NILAI MORAL DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE SERTA RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN

Hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai kritik sosial dalam novel 86 ini meliputi: (1) Kritik sosial dalam novel 86 karya Okky Madasari yaitu (a) kritik sosial

Krtik Sosial dalam Novel La Muli Karya Nunuk Y.Kusmiana dan implikasi dalam pembelajaran sastra di SMA Kajian Sosiologi Sastra 233 dalam jurnal tersebut mendeskripsikan bentuk

Penelitian ini membahas tentang bentuk kritik sosial yang terjadi dalam novel Calabai karya Pepi Al-Bayqunie Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

SIMPULAN Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian, terdapat lima dari sembilan kritik sosial dalam novel Padang Bulan karya Andrea Hirata, dengan data yang ditemukan 10 kritik