• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN HUTAN MANGROVE DI DESA MARGASARI KECAMATAN LABUHAN

MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR Oleh

Askasifi Eka Cesario

Kerusakan hutan mangrove sebagai sabuk hijau di pesisir timur Lampung sudah sangat memprihatinkan. Partisipasi kelompok masyarakat Desa Margasari terdiri dari kelompok Margajaya Utama, Margajaya Satu, Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), Pengolah Terasi, Gabungan Kelompok Tani, Nelayan dan Pengolah Ikan berpengaruh dalam pelestarian hutan mangrove. Tujuan penelitian adalah mengetahui tingkat partisipasi anggota kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove dan tipe kelembagaan partisipatif. Penelitian dilaksanakan bulan April 2014 di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan pemberian skor pada setiap kategori jawaban dan deskriptif kualitatif untuk memaparkan tipe kelembagaan partisipatif yang merupakan partisipasi dari seluruh anggota lembaga atau organisasi untuk kemajuan lembaga tersebut (IIRR, 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe kelembagaan partisipatif di lokasi penelitian adalah partisipasi pasif yaitu gabungan kelompok tani, kelompok pengolah ikan, kelompok pengolah terasi dan kelompok nelayan, partisipasi konsultatif yaitu kelompok Pendidikan Lingkungan Hidup, dan partisipasi mobilisasi swakarsa pada kelompok margajaya. Tingkat partisipasi kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove pada kategori tinggi adalah (73,68%) yang didukung oleh kelompok PLH dan kelompok margajaya, kategori sedang (19,74%) terdiri dari gabungan kelompok tani, pengolah ikan, dan nelayan, kategori rendah (6,58%) yang termasuk di dalamnya adalah gabungan kelompok tani dan kelompok pengolah terasi.

(2)

ABSTRACT

(3)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

E. Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Hutan Mangrove ... 6

1. Pengertian Hutan Mangrove ... 6

2. Fungsi Hutan Mangrove ... 7

3. Keadan Mangrove di Indonesia ... 9

4. Karakteristik Hutan Mangrove ... 9

B. Sistem Pengelolaan Hutan Mangrove ... 11

(4)

ii

D. Pengertian Partisipasi ... 14

E. Tipe-Tipe Kelembagaan Prtisipatif ... 15

III. METODE PENELITIAN ... 19

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

B. Alat da Objek ... 19

C. Batasan Penelitian ... 19

D. Definisi Operasional ... 20

E. Metode Pengumpulan Data ... 20

F. Metode Pengambilan Sampel ... 21

G. Analisis Data ... 24

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 26

A. Kondisi Fisik Wilayah ... 26

B. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk ... 28

1. Jumlah Penduduk ... 28

2. Tingkat Pendidikan ... 28

3. Mata Pencaharian ... 29

4. Suku dan Agama ... 30

5. Prasarana Ekonomi ... 31

C. Profil Kelompok Masyarakat Desa Margasari ... 32

1. Kelompok Mangrove Margajaya ... 31

2. Kelompok Mangrove PLH ... 33

3. Kelompok Pengolah Terasi ... 34

4. Gabungan Kelompok Tani ... 34

(5)

iii

6. Kelompok Pengolah Ikan ... 35

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Tipe Kelembagaan Partisipatif ... 36

1. Partisipasi Pasif ... 36

2. Partisipasi Konsultatif ... 37

3. Partisipasi Mobilisasi Swakarsa ... 37

B. Tingkat Partisipasi Kelompok Masyarakat ... 38

1. Pengetahuan Kelompok Masyarakat tentang Hutan Mangrove . 39 2. Pengetahuan Kelompok Masyarakat tentang Pelestarian Hutan Mangrove ... 40

3. Partisipasi Kelompok Masyarakat terhadap Pelestarian Hutan Mangrove ... 43

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

A. Kesimpulan ... 48

B. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(6)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Definisi operasional variabel dan parameter pengukuran ... 21

2. Jumlah responden ... 23

3. Pembagian luas Desa Margasari menurut tata guna lahannya... 27

4. Presentase tingkat pendidikan penduduk Desa Margasari ………... 29

5. Jumlah guru dan sarana pendidikan di Desa Margasari ... 29

6. Kategori tingkat pengetahuan dan pemahaman kelompok masyarakat terhadap hutan mangrove ... 31

7. Kategori tingkat pengetahuan dan pemahaman kelompok masyarakat pelestarian hutan mangrove... 33

8. Kategori tingkat partisipasi kelompok masyarakat terhadap pelestarian hutan mangrove... 35

9. Tabulasi skoring kelompok pengolah ikan... 57

10.Tabulasi skoring kelompok pengolah terasi...……….. 57

11.Tabulasi skoring kelompok nelayan...………... 57

12.Tabulasi skoring gabungan kelompok tani ... 58

13.Tabulasi skoring kelompok margajaya ... ... 58

(7)
(8)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Peta lokasi penelitian ... 51

(9)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya yang sangat luar biasa ini untuk Mama dan Papa tersayang. Terimakasih atas kasih sayang

yang tak terhingga kepadaku, berkat doa dan dukungan kalian aku bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terimakasih atas ketulusan kalian mendidikku dengan kesabaran yang luar biasa hingga aku bisa menjadi lebih

baik hingga saat ini.

Terimakasih kuucapkan kepada Desmayanti eka saputri atas doa, dukungan, bimbingan dan semangat yang tak ada

habisnya. Terimakasih kuucapkan kepada saudara-saudaraku Ardiansyah (KOMTI), Pimen, Sabrok, Pite, Frans, Willy, Tomi, Mail Masha, Madi Caul, Anggara, Zazuli, Ekindo, Viktor, Ancha, Abdian, Wawan, Broy, 2pm(Nay, Bagus, Adunt, Aplita, Evi J), Anggun, Ema, Rafin, Dea, Fadilla, Insani, Eva, Dewi, Dina, Novia A & E, Ade, Anisa, Kurnia, Leoni, Bella dan

seluruh saudara KHT10 (SYLVATEN) yang selalu

mendukungku. Semoga kebersamaan ini takkan lekang oleh waktu. Salam SYLVATEN TILL THE END.

Terimakasih kuucapkan kepada Abang atas bimbingannya serta sahabat-sahabat KKN desa Margasari(Andre, Alen, Satrio, Ami, Aming, Icha, Anisa, Amel) atas dukungannya

dan kerjasamanya untuk penelitian ini.

Terimakasih juga kuucapkan kepada almamater tercinta Jurusan Kehutanan

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

(11)

RIWAYAT HIDUP

melanjutkan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Utama 3

Bandarlampung dan selesai pada tahun 2007. Pendidikan Sekolah Menengah

Atas penulis selesaikan di SMAN 12 Bandarlampung dan lulus pada tahun 2010.

Pad tahun yang sama, penulis diterima di Jurusan Kehutanan Universitas

Lampung melalui jalur Ujian Mandiri. Selama masa perkuliahan, penulis pernah

mengikuti Praktek Umum pada tahun 2013 di BKPH Gunung Kencana KPH

Banten selama 30 hari. Pada awal 2014 penulis mengikuti Kulih Kerja Nyata

(KKN) di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung

Timur selama 40 hari.

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 05 Mei

1993 dari pasangan Bapak Aswal Junaidi, SH dan Ibu

Susilaningsih, SH. Penulis memulai pendidikannya dari

Taman Kanak-kanak Pembina I Pahoman pada tahun 1997

dan Sekolah Dasar di SDN 2 Teladan Rawalaut pada tahun

(12)
(13)
(14)

SANWANCANA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul “Partisipasi Kelompok

Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Margasari Kecamatan

Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur". Skripsi ini sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan,

Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu,

kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna langkah penulis

berikutnya yang lebih baik. Namun terlepas dari keterbatasan tersebut, penulis

mengharapkan skripsi ini akan bermanfaat bagi pembaca.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan

ke-murahan hati dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini

perkenan-kanlah penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang

setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Slamet Budi Yuwono, M.S sebagai pembimbing pertama dan

ibu Rommy Qurniati, S.P, M.Si sebagai pembimbing kedua yang telah

memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada penulis mulai dari

(15)

2. Ibu Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P selaku dosen penguji atas saran dan kritik

yang telah diberikan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung.

5. Kepala Desa Margasari, Bapak Narto dan sekeluarga yang memberikan arahan

saat penelitian dan membantu dalam pengumpulan data skripsi penulis.

6. Bapak Suyani yang telah mendampingi, memberikan arahan saat penelitian

dan membantu dalam pengumpulan data skripsi penulis.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan mereka semua yang telah

diberikan kepada penulis. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun

untuk kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat

bagi para pembaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

(16)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut

atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan

dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani,

2013). Lebih dari itu, hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah

yang unik dan memiliki nilai ekologis dan ekonomi yang tinggi. Berdasarkan

data ITTO (2012) Asia Tenggara memiliki luas hutan mangrove mencapai

5.104.900 ha atau 33,5% dari luas hutan mangrove dunia, dan Indonesia

merupakan negara terbesar di Asia Tenggara dengan luasan hutan mangrove

3.189.000 ha. Lampung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

memiliki ekosistem hutan mangrove dengan luas 10.533,676 ha (Bakosurtanal,

2009; Saputro, 2009) dalam Ghufran dan Kordi (2012).

Ekosistem mangrove memiliki fungsi penyangga kehidupan manusia yang lebih

tinggi daripada ekosistem manapun karena tingkat produktivitas primer yang

sangat tinggi. Masyarakat awam lebih menganggap hutan mangrove sebagai

tempat sarang nyamuk, banyak ular, tempat yang menyeramkan, angker dan tidak

memiliki nilai ekonomi. Karena anggapan tersebut, hutan mangrove banyak

dikonversi menjadi lahan tambak, real estate, taman hiburan atau rekreasi yang

(17)

2

tahun terakhir 3,6 juta ha (sekitar 20%) hutan mangrove telah dikonversi menjadi

peruntukan lain. Vegetasi hutan mangrove memiliki fungsi sebagai penahan

ombak dan mencegah abrasi. Ketebalan mangrove selebar 200 m dari garis pantai

dengan kerapatan 30 pohon/100 m dengan diameter batang 15 cm dapat meredam

sekitar 50% energi gelombang tsunami (Rusdianti, 2012).

Kerusakan hutan mangrove sebagai sabuk hijau (green belt) di pesisir timur

Lampung sudah sangat memprihatinkan. Lebih dari 50% kerusakan telah terjadi

yang disebabkan oleh konversi lahan, pencemaran pantai oleh sampah, kurangnya

kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove sebagai penyangga

kehidupan darat dan lautan, kurangnya usaha penataan dan penegakan hukum

(Lembaga Penelitian Unila, 2010). Tahun 1994 terjadi abrasi sampai 500 meter

ke arah daratan dan menyebabkan suksesi alami yaitu tanah timbul. Munculnya

tanah timbul tersebut membuat status kepemilikan lahan menjadi milik

Pemerintah Daerah Lampung Timur (Kustanti, 2014). Melihat kondisi tersebut,

masyarakat Desa Margasari berinisiatif untuk menyerahkan pelestarian hutan

mangrove kepada Universitas Lampung sebagai hutan pendidikan.

Permohonan tersebut kemudian telah disetujui oleh Pemerintah Daerah Lampung

Timur dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lampung Timur yaitu penetapan

lokasi untuk pengelolaan hutan mangrove dalam rangka pendidikan, pelestarian

lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat seluas 700 ha di Desa Margasari

Kecamatan Labuhan Maringgai (Lembaga Penelitian Unila, 2010). Kegiatan

pelestarian hutan mangrove melibatkan kelompok masyarakat. Kelompok

(18)

3

pengolah ikan, kelompok nelayan, gabungan kelompok tani, kelompok PLH,

kelompok margajaya utama, dan kelompok margajaya satu. Luas hutan mangrove

di Desa Margasari saat ini menurut Bakosurtanal (2013) adalah 817,59 ha

meningkat 117,59 ha (14,4%) selama 3 tahun. Bersarkan uraian di atas maka

dilakukan penelitian tentang tingkat partisipasi kelompok masyarakat terhadap

pelestarian hutan mangrove dan tipe kelembagaan partisipatif kelompok

masyarakat di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabuputen

Lampung Timur.

B. Rumusan Masalah

Apakah peningkatan luas hutan mangrove di Desa Margasari disebabkan oleh

tingkat pengetahuan dan partisipasi anggota kelompok masyarakat?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui tingkat pengetahuan dan partisipasi anggota kelompok

masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Desa Margasari.

2. Mengetahui tipe kelembagaan partisipatif kelompok masyarakat di Desa

Margasari.

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan bagi masyarakat Desa

Margasari untuk memperbaiki kinerja yang berkaitan dengan pelestarian

(19)

4

2. Sebagai bahan informasi untuk penelitian yang sejenis pada masa yang akan

datang.

E. Kerangka Pemikiran

Kawasan Hutan Mangrove memiliki potensi sumber daya alam yang seharusnya

dapat dimanfaatkan secara optimal, bijaksana, dan berkelanjutan. Pelestarin hutan

mangrove dalam upaya mendukung pengembangan wilayah Kabupaten Lampung

Timur harus memperhatikan tiga aspek keberlanjutan, yang meliputi aspek

ekonomi, sosial, dan lingkungan atau ekologi. Ketidakserasian dalam pengelolaan

ketiga aspek keberlanjutan tersebut dapat berdampak negatif terhadap salah satu

aspek. Kondisi hutan mangrove sampai saat ini masih mengalami kerusakan

akibat pemanfaatan dan pelestarian yang kurang memperhatikan aspek kelestarian

(Mawardi, 2010).

Hutan mangrove di Desa Margasari sudah di rehabilitasi sejak tahun 1995 dan

sampai sekarang telah dilakukan pelestarian seluas 700 ha (Lembaga Penelitian

Unila, 2010) yang melibatkan seluruh lapisan kelompok masyarakat yang ada di

Desa Margasari. Kelompok masyarakat yang dimaksud adalah terdiri dari

kelompok pengolah terasi, kelompok pengolah ikan, kelompok nelayan,

kelompok tani, dan kelompok mangrove. Selanjutnya menurut Bakosurtanal

(2013) luas hutan mangrove sekarang adalah 817,59 ha meningkat 117,59ha

selama 3 tahun. Untuk itu, perlu dikaji tipe kelembagaan partisipasipatif dan

(20)

5

Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur.

Bagan alur kerangka pemikiran dapat disajikan pada Gambar 1.

Hutan Mangrove

Kerusakan Hutan Mangrove Rehabilitasi Hutan Mangrove

Peran serta Kelompok Masyarakat

Tipe Kelembagaan Partisipasipatif Kelompok

Masyarakat

Gambar 1. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Penelitian.

Tingkat Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pelestarian

(21)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan Mangrove

1. Pengertian Hutan Mangrove

Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah

pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang

komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap kadar garam. Ekosistem mangrove

merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang

berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat

mangrove (Kusuma, 2009).

Mangrove merupakan suatu tipe hutan tropik dan subtropik yang khas, tumbuh di

sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak

dan daerah dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir

yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung

lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan

vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sukar tumbuh di wilayah pesisir yang

(22)

7

memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat

bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003). Hutan mangrove adalah komunitas

vegetasi pantai tropis, dan merupakan komunitas yang hidup di dalam kawasan

lembap dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove

disebut juga sebagai hutan pantai, hutan payau, atau hutam bakau. Pengertian

mangrove sebagai hutan pantai (pesisir), baik daerah yang dipengaruhi oleh

pasang surut air laut maupun wilayah daratan pantai yang dipengaruhi oleh

ekosistem pesisir. Sedangkan pengertian mangrove sebagai hutan payau atau

hutan bakau adalah pohon-pohonan yang tumbuh di daerah payau pada tanah

aluvial atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar muara sungai. Pada

umumnya formasi tanaman didominasi oleh jenis-jenis tanaman bakau. Oleh

karena itu, istilah bakau hanya untuk jenis-jenis tumbuhan dari genus Rizhopora,

sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di

sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut

(Harahab, 2010).

2. Fungsi Hutan Mangrove

Wilayah mangrove mempunya sifat khas dan unik. Sifat unik mangrove

disebabkan oleh luas vertikal pohon dengan organisme daratan menempati bagian

atas dan organisme lautan menempati bagian bawah. Kondisi pencampuran antara

antara organisme daratan dan lautan ini menggambarkan suatu rangkaian dari

darat ke laut dan sebaliknya. Secara ekologis mangrove memegang peranan kunci

dalam perputaran nutrien atau unsur hara pada perairan pantai di sekitarnya yang

(23)

8

dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi iklim yang sesuai untuk

kelangsungan proses biologi beberapa organisme akuatik, yang termasuk

melibatkan sejumlah besar mikroorganisme dan makroorganisme. Dapat

dikatakan apabila terdapat mangrove berarti disitu pula merupakan daerah

perikanan yang subur, karena terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara

hutan mangrove dengan tingkat produksi perikanan (Ghufran dan Kordi, 2012).

Nilai penting mangrove lainnya adalah dalam bentuk fungsi ekologisnya sebagai

penyeimbang tepian sungai dan pesisir, serta memberikan dinamika pertumbuhan

di kawasan pesisir. Dinamika tersebut adalah pengendalian abrasi pantai,

menjaga stabilitas sedimen dan bahkan turut berperan dalam menambah luasan

lahan daratan dan perlindungan garis pantai. Selain itu juga berperan penting

dalam memberikan manfaat untuk ekosistem sekitarnya, termasuk tanah-tanah

basah pesisir terumbu karang, dan lamun. Manfaat mangrove selain ditinjau dari

fungsi ekologisnya, juga diketahui memiliki nilai ekonomis yang mendorong

kegiatan eksploratif, sehingga mangrove rawan terhadap kerusakan (Saputro, dkk,

2009). Maka dari itu, setidaknya ada tiga fungsi utama ekosistem mangrove

yaitu:

1. Fungsi fisik: Pencegah abrasi, perlindungan terhadap angin, peredam

gelombang, penahan dan perangkap sedimen, pencegah intrusi garam, dan

sebagai penghasil energi serta hara.

2. Fungai biologis: Sebagai habitat alami biota dan tempat bersarang jenis aves.

3. Fungsi ekonomi: Sebagai sumber bahan bakar (kayu bakar dan arang), bahan

(24)

9

kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat sintesis penyamakan kulit, dan

obat-obatan (Ghufran dan Kordi, 2012).

3. Keadaan Mangrove di Indonesia

Indonesia memiliki hutan mangrove terluas, akan tetapi laju deforestrasi hutan

mangrove tetap tinggi dan merupakan penyebab utama rusaknya hutan mangrove.

Menurut data, akibat deforestasi hutan mangrove menyebabkan hutan mangrove

dalam kondisi rusak berat mencapai luas 42%, kondisi rusak mencapai luas 29%,

kondisi baik mencapai luas < 23% dan kondisinya sangat baik hanya seluas 6%.

Saat ini keberadaan hutan mangrove semakin terdesak oleh kebutuhan manusia,

sehingga hutan mangrove sering dibabat habis bahkan sampai punah (Wiyono,

2009). Jika hal ini terus menerus dilakukan maka akan mengakibatkan terjadinya

abrasi, hilangnya satwa atau biota laut yang habitatnya sangat memerlukan

dukungan dari hutan mangrove.

4. Karakteristik Hutan Mangrove

Menurut Arief (2003) hutan mangrove umumnya tumbuh pada daerah yang jenis

tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut

secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada pasang saat

purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove,

menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat melalui aliran air sungai, serta

(25)

10

a. Struktur Vegetasi dan Daur Hidup Mangrove

Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak, vegetasi hutan Mangrove di

Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis

tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19

jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun hanya terdapat kurang lebih

47 jenis tumbuhan yang termasuk jenis mangrove.

b. Zonasi Ekosistem Mangrove

Menurut Sukardjo (1993) dalam Ghufran dan Kordi (2012) terdapat lima faktor

utama yang mempengaruhi zonasi mangrove di kawasan pantai tertentu, yaitu

gelombang yang menentukan frekuensi tergenang, salinitas yang berkaitan dengan

hubungan osmosis mangrove, substrat, pengaruh darat seperti aliran air masuk dan

rembesan air tawar, dan keterbukaan terhadap gelombang yang menentukan

jumlah substrat yang dapat dimanfaatkan. Sedangkan MacNae (1968) dalam

Supriharyono (2000) membagi zona mangrove berdasarkan jenis pohon ke dalam

enam zona, yaitu:

1. Zona perbatasan dengan daratan

2. Zona semak-semak tumbuhan Ceriops

3. Zona Hutan Bruguiera

4. Zona hutan Rhizophora

5. Zona Avicennia yang menuju ke laut

6. Zona Sonneratia

Zonasi mangrove juga dilakukan berdasarkan salinitas, sebagaimana

dikembangkan oleh de Haan (1931) dalam Supriharyono (2000) yang terbagi

(26)

10-11

30 ppt, dan zona air tawar ke air payau dengan salinitas antara 0-10 ppt pada

waktu air pasang.

B. Pelestarian Hutan Mangrove

Pelestarian merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan

penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil.

Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekositem atau

memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian,

pelestarian mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove

atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang

memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman dan level ekosistem

(Sunito, 2012).

1. Pola pembangunan hutan mangrove

Pola pembangunan hutan mangrove menurut Departemen Kehutanan dan

Perkebunan (1999) terbagi atas tiga macam pola sebagai berikut:

a. Pola Swadaya

Hutan mangrove pola swadaya adalah hutan mangrove yang dibangun oleh

kelompok atau perorangan dengan modal dan tenaga kelompok atau perorangan

sendiri.

b. Pola subsidi

Hutan mangrove pola subsidi adalah hutan mangrove yang dibangun dengan

subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi

(27)

12

yang lainnya. Hutan mangrove yang secara hidro-orologis kritis dan dan

masyarakatnya mempunyai keterbatasan pengetahuan dan kemampuan.

c. Pola kemitraan

Hutan mangrove pola kemitraan adalah hutan yang dibangun atas kerjasama

perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat

dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan adalah perusahaan memerlukan bahan

baku dan rakyat memerlukan bantuan modal.

Perincian komponen yang terdapat pada setiap subsistem adalah:

1. Subsistem produksi adalah tercapainya keseimbangan produksi dalam jumlah

jenis dan kualitas tertentu serta tercapainya kelestarian usaha dari para pemilik

lahan hutan mangrove. Subsistem ini terbagi menjadi empat bagian yaitu

pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.

2. Subsistem pengelolaan hasil adalah proses sampai menghasilkan bentuk,

produk akhir yang dijual oleh para petani hutan mangrove atau dipakai sendiri.

3. Subsistem pemasaran hasil adalah tercapainya tingkat penjualan yang optimal,

dimana semua produk yang dihasilkan dari hutan mangrove terjual di pasar.

Kerusakan dan kepunahan ekosistem mangrove akan berdampak pada kehidupan

manusia, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Karena itu, pengelolaan

ekosistem mangrove tentu diupayakan untuk melestarikan ekosistem mangrove.

Menurut Ghufran dan Kordi (2012) bentuk-bentuk pelestarian ekosistem

mangrove adalah sebagai berikut:

1. Konservasi Ekosistem Mangrove

Pemerintah Republik Indonesia (melalui Departemen Kehutanan) telah

(28)

13

adalah perlindungan terhadap kelangsungan proses ekologis beserta sistem-sistem

penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman plasma nutfah, pelestarian

dan pemanfaatan jenis ekosistemnya.

2. Pengembangan Ekowisata Mangrove

Untuk menekan kerusakan ekosistem mangrove maka pariwisata mangrove

diarahkan pada pengembangan ekowisata pesisir dan laut. Ekowisata adalah

perpaduan antara pariwisata ke wilayah-wilayah alami, yang melindungi

lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.

3. Pengembangan Akua-forestri

Akua-forestri atau lebih dikenal sebagai silvofishery merupakan kombinasi

pengelolaan sumberdaya alam secara terpadu, yaitu kehutanan dan perikanan.

Pengembangan sistem ini dapat dilakukan tanpa merusak ekosistem mangrove.

Budidaya kepiting dengan menggunakan hampang atau keramba di bagian-bagian

terbuka secara alami, tanpa perlu menebang vegetasi hutan mangrove.

4. Rehabilitasi Ekosistem Mangrove

Rehabilitasi hutan mangrove melalui penanaman kembali ekosistem mangrove

yaang rusak telah menjadi program nasional, yang didukung oleh dunia

internasional. Bahkan sejak tahun 2005, penanaman mangrove mengalami

peningkatan. Penanaman mangrove mulai melibatkan berbagai kelompok

masyarakat, tidak hanya masyarakat pesisir dan pulau-pulau. Penanaman

mangrove juga dilakukan oleh seluruh kalangandari mulai anak-anak, remaja,

(29)

14

C. Kelompok Masyarakat

Menurut Horton (1999) dalam Torang (2012) kelompok adalah sejumlah orang

yang memiliki persamaan ciri-ciri tertentu, sejumlah orang yang memiliki pola

interaksi yang terorganisir dan terjadi secara berulang-ulang, dan setiap kumpulan

orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling

berinteraksi. Suatu kelompok dapat didefinisikan sebagai unit sosial yang terdiri

dari sejumlah individu pada suatu waktu tertentu dengan peranan hubungan

tertentu satu sama lain dan secara eksplisit atau implisit memiliki seperangkat

norma atau nilai yang mengatur perilaku para anggotanya, paling tidak dalam hal

konsekuensi terhadap kelompok. Sedangkan Dahama (1980) dalam Torang

(2012) mengungkapkan bahwa dinamika kelompok meliputi banyak kegiatan

untuk menunjukkan bagaimana kelompok dapat berbuat sebaik mungkin agar

setiap anggota kelompok dapat memberikan sumbangan yang maksimal terhadap

kelompoknya.

D. Pengertian Partisipasi

Menurut Wardoyo (1992) partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat baik dalam

bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai

akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang

lain dalam pembangunan. Soekanto (2009) juga menyatakan bahwa partisipasi

mencakup tiga hal, yaitu:

1. Partisipasi meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau

(30)

15

2. Partisipasi adalah suatu konsep perilaku yang dapat dilaksanakan oleh

individu-individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Partisipasi juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu, yang penting bagi

sosial masyarakat.

E. Tipe-Tipe Kelembagaan Partisipatif

Tipe kelembagaan partisipatif menurut International Institute of Rural

Reconstruction (IIRR) (1998) dibedakan menjadi:

1. Partisipasi Pasif

Partisipasi masyarakat dengan diberitahu tentang hal-hal yang sudah terjadi. Hal

ini merupakan tindakan sepihak dari ketua kelompok tanpa menghiraukan

tanggapan anggota.

Kriteria:

a. Dalam pelaksanaan kegiatan, tidak melibatkan masyarakat selain anggota

kelompok.

b. Pengambilan keputusan dilakukan oleh ketua kelompok secara sepihak.

2. Partisipasi dalam pemberian informasi

Partisipasi masyarakat dengan menjawab pertayaan-pertanyaan yang diajukan

peneliti dengan menggunakan kuisioner atau pendekatan serupa. Masyarakat

tidak memiliki kesempatan mempengaruhi cara kerja karena temuan-temuan

peneliti tidak dibagikan kepada mereka.

Kriteria:

a. Memberikan banyak informasi tentang kelompok dan hutan mangrove kepada

(31)

16

b. Memberi arahan dan data-data yang dibutuhkan oleh peneliti.

3. Partisipasi Konsultatif

Partisipasi dengan melibatkan masyarakat dalam analisis, merumuskan

permasalahan, dan mengumpulkan informasi. Akan tetapi, bentuk konsultasi

tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dan

pihak luar tidak berkompeten mewakili pandangan masyarakat.

Kriteria:

a. Masyarakat ikut terlibat dalam memberikan saran, pandangan, dan masukan

kepada kelompok terhadap suatu hal/masalah tertentu.

b. Pengambilan keputusan tetap ditangan kelompok dan tidak ada campur tangan

masyarakat lain.

c. Dalam pelaksanaan kegiatan melibatkan masyarakat.

4. Partisipasi dengan Imbalan Material

Partisipasi masyarakat dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya yang

dimiliknya, misalnya sebagai tenaga kerja untuk memperoleh imbalan makanan,

uang tunai maupun imbalan material lainnya. Masyarakat boleh menyediakan

lahan dan tenaga kerjanya, namun tidak terlibat dalam proses eksperimentasi dan

proses pembelajaran. Proses inilah yang selama ini lazim disebut sebagai

partisipasi. Dalam konteks seperti ini, masyarakat tidak memiliki pijakan

melanjutkan kegiatannya tatkala imbalan dihentikan.

Kriteria:

a. Dalam pelaksanaan kegiatan, masyarakat mengharapkan imbalan dalam

(32)

17

b. Tidak akan ada kegiatan selanjutnya jika imbalan ditiadakan.

c. Mengedepankan kepentingan material diatas kepentingan kelestarian hutan

mangrove.

d. Tidak merasa memiliki sehingga tidak harus menjaga sumberdaya yang

tersedia.

5. Partisipasi Fungsional

Partisipasi masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek yang

telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan masyarakat tidak hanya pada tahap

awal proyek atau perencanaan, tetapi juga setelah keputusan pokok dibuat pihak

luar. Kelompok masyarakat cenderung tergantung terhadap pemrakarsa dan

fasilitator luar, tetapi menjadi mandiri.

Kriteria:

a. Suatu instansi/lembaga melibatkan masyarakat dalam kegiatan.

b. Intansi/lembaga sebagai pelindung dan membentuk kelompok masyarakat

untuk keberlajutan kegiatan.

c. Segala bentuk kegiatan dari awal perencanaan sampai pelaksanaan diserahkan

kepada kelompok masyarakat dengan lembaga/intansi terkait memberikan

arahan terlebih dahulu.

6. Partisipasi Interaktif

Partisipasi masyarakat dalam tahap analisis, pengembangan rencana kegiatan

pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal. Partisipasi dipandang sebagai

hak, dan bukan sebagai cara mencapai tujuan proyek. Proses tersebut melibatkan

(33)

18

membutuhkan proses pembelajaran yang sistematik dan terstruktur. Sebagai

kelompok, masyarakat memegang kendali sepenuhnya atas keputusan lokal,

sehingga masyarakat memiliki kewenangan yang jelas untuk memelihara struktur

kegiatannya.

Kriteria:

a. Anggota kelompok tidak harus terlibat dalam kegiatan kelompok.

b. Adanya transparasi tentang segala bentuk rumah tangga kelompok, baik

kepada anggota maupun pada lokasi sekitar kegiatan.

7. Mobilisasi Swakarsa

Partisipasi masyarakat dengan mengambil inisiatif secara mandiri untuk

melakukan perubahan sistem. Masyarakat membangun hubungan konsultatif

dengan lembaga eksternal mengenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal

yang mereka butuhkan, namun memegang kendala pendayagunaan sumberdaya.

Kriteria:

a. Membentuk kelompok secara mandiri.

b. Adanya koordinasi atau kerjasama dengan pihak luar untuk menunjang

(34)

19

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai

Kabupaten Lampung Timur pada bulan April 2014.

B. Alat dan Objek

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: alat tulis, kamera, kuisioner,

dan laptop. Sedangkan objek pada penelitian ini adalah kelompok masyarakat di

Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur.

C. Batasan Penelitian

Batasan dalam penelitian ini adalah:

1. Kelompok masyarakat yang dimaksud adalah seluruh kelompok yang terdapat

di Desa Margasari yaitu kelompok pengolah terasi, kelompok pengolah ikan,

kelompok nelayan, kelompok tani, dan kelompok mangrove.

2. Partisipasi kelompok masyarakat yang merupakan bentuk keikutsertaan

masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove yang meliputi pembibitan,

(35)

20

D. Definisi Operasional

Untuk lebih memudahkan dalam pengukuran konsep, maka suatu konsep

dijabarkan dalam bentuk definisi operasional. Definisi operasional adalah

penentuan suatu nilai/harga sehingga menjadi variabel atau variabel-variabel yang

dapat diukur (Sugiono, 2009).

Tabel 1. Definisi operasional variabel dan parameter pengukuran faktor-faktor yang mempengaruhi peran kelompok masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove.

Data primer merupakan data yang belum tersedia dan dapat diperoleh langsung di

lapangan dengan menggunakan metode survei yaitu wawancara langsung kepada

(36)

21

masyarakat (umur, jenis kelamin, mata pencaharian, tingkat pendidikan),

pengetahuan kelompok masyarakat tentang pelestarian hutan mangrove,

partisipasi kelompok masyarakat dalam pengelolaan pelestarian hutan mangrove,

dan tipe partisipasi kelompok.

b) Data sekunder

Data sekunder merupakan data penunjang penelitian yang menggunakan metode

studi kepustakaan. Metode ini digunakan untuk mencari, menganalisis,

mengumpulkan, dan mempelajari buku-buku, tulisan-tulisan umum, dan literatur

lainnya yang dipakai sebagai bahan referensi. Selain itu, data sekunder juga

meliputi keadaan umum lokasi penelitian seperti letak geografis, keadaan fisik

lingkungan, sarana dan prasarana di lokasi penelitian.

F. Metode Penentuan Jumlah Sampel

Jumlah kepala keluarga di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai

Kabupaten Lampung Timur sebanyak 1.894 kepala keluarga dan jumlah kepala

keluarga yang tergabung dalam kelompok masyarakat adalah 269 kepala keluarga

yang terdiri dari kelompok pengolah terasi, kelompok pengolah ikan, kelompok

nelayan, kelompok tani, kelompok Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH),

kelompok marga jaya utama, dan marga jaya satu. Untuk kelompok mangrove

yaitu kelompok pendidikan lingkungan hidup (PLH), kelompok Marga Jaya

Utama, dan Marga Jaya Satu sampel diperoleh dengan metode sensus yang

berjumlah 44 responden. Sedangkan yang bukan kelompok mangrove memiliki

populasi berjumlah 110. Sampel diperoleh dengan menggunakan rumus menurut

(37)

22

N : jumlah total kelompok masyarakat e : presisi 15%.

Untuk jumlah sampel dari masing-masing kelompok, dihitung dengan

menggunakan rumus menurut (Sugiono, 2009), yaitu:

Keterangan:

n : jumlah sampel yang akan diambil pada setiap kelompok. N : jumlah total populasi pada semua kelompok.

Ni : jumlah populasi pada kelompok ke (i). ni : jumlah sampel pada semua kelompok

(38)

23

d. Gabungan Kelompok Tani: n= 80/110x32

= 22

Berdasarkan uraian rumus di atas maka jumlah responden pada setiap kelompok

disajikan pada Tabel 2.

- Kelompok Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)

Kelompok Pengolah Ikan 5 2 Sampling

Kelompok Nelayan 20 6 Sampling

Gabungan Kelompok Tani 80 22 Sampling

Jumlah 110 32

Total 76

Sumber: Monografi Desa Margasari, 2012.

Pengambilan sampel dalam penelitian dilakukan dengan teknik simple random

sampling, yaitu seluruh anggota populasi memiliki peluang untuk dijadikan

anggota sampel.

Sampel di atas digunakan untuk mencari tingkat pastisipasi anggota kelompok

masyarakat terhadap pelestarian hutan mangrove. Sedangkan untuk memperoleh

tipe kelembagaan partisipatif, dilakukan wawancara secara mendalam dan sampel

diperoleh dengan metode Snowball sampling. Metode snowball sampling

merupakan teknik pengambilan sampel yang akan berhenti prosesnya jika

jawaban yang diterima sudah dapat menjawab semua pertanyaan dan dapat

(39)

24

yang merupakan tokoh kunci dalam penelitian, apabila dengan dua orang tersebut

informasi belum lengkap maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih

mengetahui dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya

begitu seterusnya sampai data menjadi lengkap. Penentuan titik sampel dianggap

cukup apabila telah sampai pada titik jenuh atau tidak memperoleh data baru

(Sugiyono, 2009).

G. Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah

pengolahan data melalui tahapan-tahapan berikut:

1. Pemeriksaan data, dilakukan untuk mengetahui kelengkapan data dan

kepastian data apakah sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.

2. Klasifikasi data, dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan

permasalahan yang diteliti yaitu tingkat pengetahuan masyarakat dalam

pelestarian hutan mangrove.

3. Sistemasi data, dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan data pada

tiap kelompok dan bahasan secara sistematis sehingga mempermudah

pembahasan.

Data-data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kuantitatif untuk mengetahui

partisipasi anggota kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove

dengan memberi skor 2 pada pilihan jawaban a, 1 pada pilihan jawaban b, dan 0

pada pilihan jawaban c. Menurut Yitnosumarto (2000) dalam menentukan nilai

(40)

25

pelestarian hutan mangrove digunakan interval yang diformulasikan sebagai

berikut:

Keterangan : I = interval

NT = total nilai tertinggi NR = total nilai terendah K = kategori jawaban

Tingkat partisipasi anggota kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan

mangrove dianalisis berdasarkan penjumlahan skor dari aspek pengetahuan

anggota kelompok masyarakat tentang hutan mangrove (4 pertanyaan),

pengetahuan anggota kelompok masyarakat tentang pelestarian hutan mangrove

(6 pertanyaan) serta partisipasi anggota kelompok masyarakat dalam pelestarian

hutan mangrove (10 pertanyaan). Berikut angka intervalnya:

a. Pengetahuan kelompok masyarakat tentang hutan mangrove

Kategori rendah: 0-2,66

Kategori sedang: 2,67-5,33

Kategori tinggi: 5,34-8

b. Pengetahuan kelompok masyarakat tentang pelestarian hutan mangrove

Kategori rendah: 0-4

Kategori sedang: 5-8

Kategori tinggi: 9-12

c. Partisipasi kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove

Kategori rendah: 0-6,66

Kategori sedang: 6,67-13,33

(41)

26

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Kondisi Fisik Wilayah

Kabupaten Lampung Timur dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun

1999 dan diresmikan pada tanggal 27 April 1999, pusat pemerintahan berada di

Sukadana. Secara Geografis berada pada 1050 14’ - 1050 55’ BT dan 40 45’- 50 39’ LS. Saat ini terdiri atas 24 kecamatan dan 246 desa dengan luas wilayah

sekitar 5.325,03 km2, atau 15% dari total wilayah Provinsi Lampung. Dua

diantara 24 kecamatan tersebut merupakan daerah pesisir, yaitu Kecamatan

Labuhan Maringgai dan Kecamatan Pasir Sakti.

Desa Margasari terletak di Kecamatan Labuhan Maringgai dengan luas 1.002 ha.

Desa ini memiliki 12 dusun yang berbatasan langsung dengan wilayah-wilayah

sebagai berikut:

a. Sebelah Timur : Laut Jawa

b. Sebelah Selatan : Desa Sriminosari

c. Sebelah Barat : Desa Srigading

d. Sebelah Utara : Desa Suko Rahayu

Desa Margasari berada pada ketinggian 1,5 mdpl ini memiliki suhu rata-rata

harian 28-400C dengan bentang wilayah yang memiliki kemiringan 900. Desa

(42)

27

pasiran yang didominasi oleh tanah berwarna hitam (Monografi Desa Margasari,

2012). Rata-rata curah hujan di Desa Margasari berkisar 2.500 mm per tahun

dengan jumlah bulan hujan selama 6 bulan. Bulan-bulan hujan terjadi antara

bulan November sampai dengan bulan April, sedangkan bulan-bulan kering

terjadi antara bulan April sampai dengan bulan Oktober. Kondisi topografi Desa

Margasari adalah dataran rendah dan tepi pantai pesisir, kawasan gambut, aliran

sungai dan bantaran sungai, dengan ketinggian tanah dari permukaan laut adalah

kurang lebih 1,5 meter.

Menurut penggunaannya, lahan di Desa Margasari terdiri dari pemukiman,

persawahan, perkebunan, pemakaman, pekarangan, perkantoran, dan prasarana

umum lainnya. Penggunaan lahan di Desa Margasari disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Penggunaan lahan di desa Margasari (ha).

No Nama Penggunaan Lahan Luas (ha) %

Ket: *) tidak termasuk dalam luas desa

Sumber : Monografi Desa Margasari, 2012.

Lahan di Desa Margasari paling luas yaitu tanah kering (31,24%) dibandingkan

(43)

28

hujan, ladang, empang, pemukiman, fasilitas umum dan tanah yang belum

dikelola.

B. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk

1. Jumlah Penduduk

Berdasarkan Monografi Desa Margasari tahun 2012, jumlah penduduk Desa

Margasari adalah 7.537 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak

1.894 Keluarga. Penduduk Desa Margasari terdiri dari laki-laki sebanyak 3.824

jiwa (50,73%) dan perempuan sebanyak 3.713 jiwa (49,27%).

2. Tingkat Pendidikan

Dapat dijelaskan pada tabel 4 bahwa sebagian besar (63,40%) yaitu 1.784 jiwa

penduduk hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD). Fenomena ini

sangat berbanding terbalik dengan ketetapan Pemerintah tentang wajib belajar 9

tahun. Jumlah penduduk yang berpendidikan sampai ke jenjang Sarjana pun

sangat minim sekali karena hanya berjumlah 17 jiwa (0,6%).

Tabel 4. Presentase Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Margasari

No. Tingkat Pendidikan (Jiwa) (%) 1. Tamat Sekolah Dasar 1784 63,39 2. Tamat SMP 686 24,37 3. Tamat SMA 309 10,98 4. Tamat Akademi/D1-D3 30 1,06 5. Tamat Perguruan Tinggi/S1-S3 17 0,60 6. Tamat SLB C 5 0,17 Jumlah 2814 100,00%

(44)

29

Tabel 5. Jumlah Guru dan Sarana Pendidikan di Desa Margasari

No. Sarana Pendidikan Jumlah (Unit) Guru (Orang)

Sumber: Monografi Desa Margasari Tahun 2012.

Sarana pendidikan yang dimiliki Desa Margasari juga masih kurang lengkap.

Tabel 5 memperlihatkan bahwa Desa Margasari hanya memiliki 4 Sekolah Dasar,

1 Sekolah Menengah Pertama, 3 Taman Kanak-kanak, dan 1 Madrasah. Untuk

melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi penduduk harus ke ibukota

provinsi atau ibukota kabupaten/kota.

3. Mata Pencaharian

Penduduk Desa Margasari yang memiliki pekerjaan berjumlah 1.700 jiwa.

Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan (66,12%) yaitu

1.124 jiwa. Hal ini terkait dengan Desa Margasari sebagai Desa Pesisir yaitu

merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian

daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut

seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut

meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi

di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh

kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Dahuri,

2001). Sehingga mendukung masyarakat untuk memenuhui kebutuhan hidup dari

hasil laut. Selain nelayan, mata pencaharian yang dominan adalah petani

(22,17%) yaitu 377 jiwa. Luas total tanah sawah para petani adalah 328,5 hektar

(45)

30

dari hasil sawah. Masyarakat lainnya bermata pencaharian sebagai karyawan

(0,58%) yaitu 10 jiwa, pedagang (0,64%) yaitu 11 jiwa. Masyarakat yang

berdagang membuka warung kecil atau toko sekitar desa guna menyediakan

kebutuhan sehari-hari masyarakat lainnya karena pasar tradisional Desa Margasari

hanya diadakan hari Selasa dan Jumat. Selanjutnya adalah peternak (0,17%) yaitu

3 jiwa, montir (0,34%) yaitu 6 jiwa, bidan (0,17%) yaitu 3 jiwa, pembantu rumah

tangga (3,24%) yaitu 55 jiwa, tukang kayu (1,59%) yaitu 27 jiwa, tukang batu

(1,40%) yaitu 24 jiwa, guru honor (0,82%) yaitu 14 jiwan, dan wiraswasta

(0,88%) yaitu 15 jiwa. Beberapa diantara wiraswasta memanfaatkan hasil hutan

mangrove sebagai bahan dasar usaha kecil yang dikelola masyarakat, seperti

rebon yang dimanfaatkan untuk pembuatan terasi, dan daun jeruju yang

dimanfaatkan untuk membuat keripik daun jeruju.

4. Suku dan Agama

Penduduk Desa Margasari terdiri dari berbagai macam suku diantaranya yaitu

Minang, Sunda, Jawa, Madura, dan Bugis. Mayoritas penduduk Desa Margasari

bersuku Jawa dan Bugis. Bahasa pergaulan sehari-hari yang digunakan adalah

bahasa Jawa, Bugis, dan Bahasa Indonesia. Hampir seluruh penduduk Desa

Margasari beragama Islam, yaitu sebanyak 7.357 jiwa atau 97,61% dari jumlah

seluruh penduduk di desa tersebut. Sedangkan sisanya beragama Kristen

sebanyak 109 jiwa (1,45%), dan Budha sebanyak 71 jiwa (0,94%). Sarana

(46)

31

5. Prasarana Ekonomi

Desa Margasari yang terletak di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten

Lampung Timur dapat dicapai dengan baik oleh kendaraan roda dua maupun roda

empat, Keadaan jalan khususnya jalan kecamatan kurang begitu baik karena

masih terdapat banyak lubang di ruas jalan. Hingga saat ini, belum ada bis dan

angkutan desa. Akan tetapi, hal ini teratasi dengan tersedianya jasa angkutan ojek

yang siap mengantar ke Desa Margasari dengan biaya antara Rp.10.000,00 sampai

Rp.15.000,00 dari depan kantor Kecamatan Labuhan Maringgai dan jasa travel

dengan biaya Rp.25.000,00 sampai Rp.40.000,00 (Bandar Lampung-Margasari,

Sukadana-Margasari). Terdapat beberapa alternatif jalur untuk mencapai lokasi,

antara lain:

1. Bandar Lampung – Metro – Sukadana – Sribhawono – Desa Margasari, dengan jarak 115 km.

2. Bandar Lampung – Tanjung Bintang – Sribhawono – Desa Margasari, dengan jarak 121km.

3. Pelabuhan Bakauheni – Bandar Agung – Labuhan Maringgai – Desa

Margasari, dengan jarak 155 km.

4. Bandar Branti – Metro – Sukadana – Sribhawono – Desa Margasari, dengan

jarak 130 km.

5. Pelabuhan Bakauheni – Bandar Lampung – Tanjung Bintang – Sribhawono – Desa Margasari, dengan jarak 211 km.

Penduduk Desa Margasari melakukan kegiatan jual beli di pasar yang terletak di

desa ataupun yang terletak di ibukota kecamatan. Kegiatan ini tidak dapat

(47)

32

Jumat, sedangkan pasar yang terletak di ibukota kecamatan diadakan pada hari

Rabu dan Sabtu. Kecuali pada hari-hari tersebut, masyarakat berbelanja di

warung-warung atau toko yang terdapat di sekitar rumah (Monografi Desa

Margasari, 2012).

C. Profil Kelompok Masyarakat Desa Margasari

Desa Margasari memiliki 6 kelompok masyarakat yang terdiri dari kelompok

mangrove margajaya, kelompok mangrove PLH, kelompok pengolah terasi,

gabungan kelompok tani, kelompok nelayan dan kelompok pengolah ikan.

Masing-masing profil kelompok dijelaskan pada bagian di bawah ini.

1. Kelompok Margajaya

Pada tahun 1994, hutan mangrove masih sangat jarang sekali dan hanya berjarak

150m dari laut. Setelah terkena abrasi, tambak-tambak milik pribadi masyarakat

Desa Margasari habis rata dengan tanah. Sehingga pada masa kepala desa (Alm)

Bapak Sukimin, beliau meminta kepada ketua RT pada masa itu yaitu Pak Subag

untuk bersama-sama menggerakkan masyarakat sebanyak 50 orang untuk

menanam mangrove. Setelah itu, mangrove yang ditanami mulai tumbuh dan

pada tahun 1997 ada kegiatan penanaman yang diadakan oleh Pemerintah

Provinsi. Kegiatan tersebut melibatkan seluruh masyarakat Desa Margasari dan

dibentuklah kelompok mangrove margajaya yang diketuai oleh Pak Subag dengan

jumlah anggota 40 orang yang terbagi menjadi 7 kelompok untuk melestarikan

hutan mangrove agar terhindar dari abrasi. Kondisi kelompok margajaya saat ini

terbagi menjadi dua kelompok yaitu margajaya utama dan margajaya satu.

(48)

33

sekretaris adalah Pak Sumaji dan bendahara adalah Pak Kasan. Selanjutnya

margajaya satu memiliki ketua yaitu Pak Karwan, sekretaris Pak Gunawan dan

bendahara Pak Sutio. Masing-masing kelompok beranggotakan 10 orang. Tujuan

dari kelompok ini adalah untuk melestarikan hutan mangrove di Desa Margasari

dan untuk menjadi anggota dari kelompok margajaya tidak ada persyaratan atau

kriteria apapun. Program kerja rutin yang masih berkelanjutan adalah

penyulaman hutan mangrove. Seluruh anggota kelompok margaya sudah sangat

menyadari betapa pentingnya nilai dari keberadaan hutan mngrove. Kelompok

margajaya mempunyai jadwal perkumpulan rutin setiap 2 bulan sekali untuk

membahas kegiatan yang akan dilaksanakan selanjutnya.

2. Kelompok mangrove PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup)

Pada tahun 1994-2001 pernah terjadi abrasi besar-besaran dan selanjutnya

dilakukan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Margasari. Pada tahun 2004

inisiatif masyarakat oleh Kepala Desa Margasari (Alm. Bapak Sukimin) untuk

menyerahkan hutan mangrove kepada Universitas Lampung sebagai hutan

pendidikan. Pada tahun 2005 telah dilaksanakan penyerahan hutan mangrove

seluas 700 ha dan dibentuk pengajuan berupa persetujan kepada Pemerintah

Kabupaten Lampung Timur. Setelah proses administrasi telah selesai dan berjalan

dengan baik, serah terima ijin lokasi kepada Universitas Lampung dari Bupati

Lampung Timur melalui Surat Keputusan Bupati Lampung Timur No. B.

303/22/SK/2005 pada tanggal 23 Desember 2005 tentang ”Penetapan Lokasi

untuk Pengelolaan Hutan Mangrove dalam Rangka Pendidikan, Pelestarian

Lingkungan, dan Pemberdayaan Masyarakat seluas 700 ha di Desa Margasari

(49)

34

Bersamaan dengan acara tersebut, kelompok Pendidikan Lingkungan Hidup

(PLH) dibentuk oleh Universitas Lampung sebagai fasilitator dalam pelestarian

hutan mangrove dengan jumlah anggota 24 orang. Struktur organisasi kelompok

ini adalak Pak Rusyani sebagai ketua, Pak Sukari sebagai wakil ketua, Pak Adi

sebagai sekretaris dan Ibu Muslikah sebagai bendahara. Tujuan kelompok PLH

ini adalah untuk melaksanakan pengamanan dan pelestarian hutan mangrove dan

untuk mengajukan beberapa program yang berkaitan dengan mangrove tersebut.

Anggota dari kelompok PLH banyak rekrutmen dari PNS Guru. Hal ini dilakukan

karena untuk menarik minat anak sejak dini untuk melestarikan hutan mangrove.

Program pelestarian hutan mangrove seperti pembibitan dan penanaman tidak

rutin dilakukan oleh kelompok ini, karena jika ada kontrak kerjasama dengan

pihak luar baru kegiatan-kegiatan tersebut berjalan kembali. Sehingga

keberlanjutan program untuk pelestarian hutan mangrove tidak ada.

3. Kelompok pengolah terasi

Kelompok pengolah terasi terbentuk pada tahun 2008 pada saat Kuliah Kerja

Nyata (KKN) Universitas Lampung masuk di Desa Margasari. Kelompok ini

hanya terdiri dari ketua kelompok yaitu Ibu Sudarlis. Jumlah anggota sebanyak 5

orang yang seluruhnya terdiri dari ibu-ibu yang memiliki tujuan untuk

memperkenalkan terasi khas Margasari dan juga meningkatkan pendapatan

kelompok. Kegiatan rutin kelompok ini adalah membuat terasi dengan

menggunakan rebon segar yang yang hidup di sekitar hutan mangrove. Rebon

tersebut dicari bersama oleh semua anggota kelompok serta proses pengolahan

(50)

35

diperoleh dari bantuan Universitas Lampung. Kelompok pengolah terasi tidak

memiliki keberlanjutan program kerja sehingga kegiatan yang ada selalu statis.

4. Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani)

Kelompok tani sudah terbentuk sejak lama, sebelum adanya kelompok-kelompok

masyarakat yang lain. Pada tahun 2008, dibentuklah gapoktan yaitu gabungan

kelompok tani yang memiliki tujuan untuk mengkoordinasikan

kelompok-kelompok tani guna meningkatkan kinerja di bidang pertanian, tidak ada

pembagian hasil keuntungan, karena status lahan sawah adalah milik pribadi.

Struktur organisasi gapoktan hanya terdiri dari ketua yaitu Pak Sunarko. Jumlah

anggota gapoktan sampai saat ini adalah 80 orang dan setiap anggota kelompok

memiliki lahan garapan ataupun sawah. Instansi/lembaga yang menaungi

kelompok ini adalah Dinas Pertanian. Kelompok ini juga mendapat penyuluhan

dari Dinas Pertanian Kabupaten tentang perawatan lahan sawah sebelum dan

pasca panen dengan rentang waktu 2 kali dalam setahun. Sehingga untuk

kemajuan dan keberhasilan kelompok, gapoktan melakukan pertemuan rutin

setiap bulan.

5. Kelompok nelayan

Kelompok nelayan terbentuk karena munculnya isu akan adanya bantuan dari

Dinas Kelautan dan Perikanan pada tahun 2012. Kelompok ini memiliki anggota

sebanyak 10 orang dan struktur organisasi hanya terdiri dari ketua yaitu Bapak

Halimi. Tujuan dari kelompok ini adalah meningkatkan pendapatan kelompok

dengan cara menangkap ikan secara bersama, dan hasil penjualan digunakan

(51)

36

adalah menangkap ikan. Perencanaan kegiatan dan pertemuan kelompok tidak

pernah ada, karena setiap harinya kelompok nelayan hanya menangkap ikn secara

terus menerus.

6. Kelompok pengolah ikan

Kelompok pengolah ikan ini terbentuk pada saat pelatihan yang diselenggarakan

oleh PNPM pada tahun 2013. Kelompok pengolah ikan hanya memiliki ketua

yaitu Ibu Wahyu Jaya dan beranggotakan 10 orang yang terdiri dari ibu-ibu warga

Desa Margasari dan PNPM sebagai pendamping kelompok ini. Tujuan kelompok

ini adalah menambah penghasilan anggota kelompok melalui pengolahan ikan.

Kegiatan dalam kelompok ini adalah mengolah ikan menjadi produk yang bernilai

jual kebih seperti pembuatan nugget, bakso ikan, dan ikan asin. Kegiatan ini

merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari oleh kelompok pengolah

ikan begitu seterusnya sampai sekarang. Tidak ada pengembangan dalam inovasi

(52)

48

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Tingkat partisipasi kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove

pada kategori tinggi adalah (73,68%) yang didukung oleh kelompok PLH dan

kelompok margajaya, kategori sedang (19,74%) terdiri dari gabungan

kelompok tani, pengolah ikan, dan nelayan, kategori rendah (6,58%) yang

termasuk di dalamnya adalah gabungan kelompok tani dan kelompok

pengolah terasi.

2. Tipe kelembagaan partisipatif terdiri dari partisipasi pasif yaitu pada gabungan

kelompok tani, kelompok pengolah ikan, kelompok pengolah terasi dan

kelompok nelayan, partisipasi konsultatif yaitu pada kelompok PLH, dan

partisipasi mobilisasi swakarsa pada kelompok margajaya.

B. Saran

1. Perlu adanya penguatan kelembagaan untuk mengaktifkan organisasi

kelompok terutama kelompok pada tipe partisipasi pasif.

2. Pemerintah Daerah perlu memajukan kelompok masyarakat yang berada pada

tipe partisipasi pasif untuk menukung pengembangan pelestarian hutan

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, J. 2012. Kondisi Ekosistem Mangrove di Sub District Liquisa Timor Leste. Jurnal Pascasarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. 1(3): 136-143.

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta.

Arikunto, S. 2000. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.

Badrudin. A. 2003. Sekilas mengenai hutan bakau di Propinsi Riau. Fakultas Perikaan Universitas Riau. Pekanbaru.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Demanhuri. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Erwianto. 2006. Kajian Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang-Banyuwangi. Jurnal Sosial Ekonomi Perikanan. 3(1): 44-50.

Ghufran, M. dan Kordi, K.M. 2012. Ekosistem Mangrove: potensi, fungsi, dan pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta.

Harahab, N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Hasan, R. 2004. Pengembangan Kelembagaan Partisipatif untuk Melestarikan Ekosistem Hutan Mangrove. Thesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hardhani. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peran Serta Masyarakatcd alam Pengelolaan Hutan Manggrove di Kecamatan Pulau Laut Utara

Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Semarang. Program

(54)

Ibori, A. 2012. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Pembangunan di Desa Tembuni Distrik Tembuni Kabupaten Teluk Bintuni. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 2(1): 161-175.

International Tropical Timber Organization (ITT0). 2012. Tropical Forest Update. Yokohama 220-0012. Japan.

International Institute of Rural Reconstruction [IIRR]. 1998. Participatory Method in Community Based Coastal Resource Management. Volume I: Introductory Papers. Institute of Rural Reconstruction. Silang, Captive, Philippines.

Kustanti, A. 2010. Manajemen Hutan Mangrove. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.

Kusmana, C. 2010. Kolaborasi antara Masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam Pelestarian Hutan Mangrove. Jurnal Fakultas Kehutanan IPB. 1(1): 22-30.

Kusuma, C. 2009. Pengelolaan Sistem Mangrove Secara Terpadu. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institu Pertanian Bogor. Bogor.

Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 2010. Pengelolaan Kolaboratif Hutan Mangrove Berbasis Pemerintah, Masyarakat dan Perguruan Tinggi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Mawardi, A. 2010. Peran Pendampingan Masyarakat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa Pulau Pahwang Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran. Skripsi Fakultas

Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Lampung. Tidak

Dipublikasikan.

Monografi Desa Margasari. 2012. Format Potensi, Perkembangan, dan Laporan Profil Desa dan Kelurahan. Provinsi Lampung.

Muluk. 2010. Pengelolaan Ekosistem Mangrove oleh Masyarakat Pesisir. Jurnal Ilmu Lingkungan. 1(2):24-35.

Mulyani, E dan Fitriani, N. 2013. Konservasi Hutan Mangrove sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 2(2): 11-18.

Natalina, U. 2012. Peran Serta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Batu Gajah Kabupaten Natuna. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(55)

Kabupaten Jepara. Tesis Pascasarjana Magister Manajemen Sumber Daya PantaiUniversitas Dipnegoro. Semarang.

Purnobasuki, H. 2010. Ancaman terhadap Hutan Mangrove di Indonesia dan Langkah Strategis Pencegahannya. Jurnal Biologi. 3(1):121-132.

Rusdianti, K. 2012. Konservasi Lahan Hutan Mangrove serta Upaya Penduduk Lokal dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove. Jurnal Sosiologi Pedesaan. 6(1): 1-17.

Saputok, G.B. 2009. Peta Mangrove Indonesia. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Jakarta.

Sugiono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Sukmana. 2011. Hutan Mangrove sebagai Penyangga Ekosistem Kehidupan. Jurna Ilmu Perikanan dan Kelautan. 3(2): 1-14.

Sunito, S. 2012. Peran serta Masyarakat Pedesaan dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove. Jurnal Sosiologi Pedesaan. 3(1): 24-35.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Torang, S. 2012. Metode Riset Struktur dan Perilaku Organisasi. Alfabeta. Bandung.

Yitnosumarto, S. 2000. Dasar-dasar Statistika. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Gambar

Gambar 1.   Bagan Alur Kerangka Pemikiran Penelitian.
Tabel 1. Definisi operasional variabel dan parameter pengukuran faktor-faktor yang mempengaruhi peran kelompok masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove
Tabel 2. Jumlah responden
Tabel 3.  Penggunaan lahan di desa Margasari (ha).
+3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui tingkat kemandirian masyarakat Pelestari Lingkungan Hidup (PLH) dan masyarakat pengelola hutan mangrove serta untuk mengetahui faktor-faktor kelembagaan,

Lokasi pengamatan areal mangrove di Habitat 1 (berbatasan dengan laut) di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur pada bulan April tahun 2013. Tipe

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Lampung Timur dan bertujuan untuk mengetahui status kondisi ikan berdasarkan nilai

Lain halnya dengan nilai guna langsung daun nipah yang dimanfaatkan menjadi atap rumah (woka) dalam penelitian Benu, Timban, Kaunang dan Ahmad (2011) di Desa Palaes,

Aspek pemberdayaan dan aksi politik yang terdapat di Desa Margasari dan Desa Muara Gading Mas termasuk kategori rendah.Kelompok di kedua desamemiliki beberapa kelompok

1.. pendidikan yang tinggi akan berusaha keras memperoleh pekerjaan yang baik untuk memenuhi kebutuhannya. b) tingkat pendidikan non formal di Desa Margasari dan Desa Muara

Keanekaragaman jenis spesies di hutan mangrove Desa Margasari tergolong pada kriteria sedang, yaitu hutan yang berbatasan dengan laut dengan nilai 2.109,

Karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk menganalisis kelayakan usaha sirup pidada, mengkaji strategi pemasaran sirup pidada yang tepat di Desa Margasari dan mengkaji