• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan su

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan su"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti

pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.

Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian, namun pertanian hanya menyumbang 4% dari PDB dunia. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto.

Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya. Inti dari ilmu-ilmu pertanian adalah biologi dan ekonomi. Karena pertanian selalu terikat dengan ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung, seperti ilmu tanah, meteorologi, permesinan pertanian, biokimia, dan statistika, juga dipelajari dalam pertanian. Usaha tani (farming) adalah bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai contoh "petani

tembakau" atau "petani ikan". Pelaku budidaya hewan ternak (livestock) secara khusus disebut sebagai peternak.

Pertanian dalam pengertian yang luas mencakup semua kegiatan yang melibatkan pemanfaatan makhluk hidup (termasuk tanaman, hewan, dan mikrobia) untuk kepentingan manusia. Dalam arti sempit, pertanian juga diartikan sebagai kegiatbudidayakan jenis tanaman tertentu, terutama yang bersifat semusim.

Usaha pertanian diberi nama khusus untuk subjek usaha tani tertentu. Kehutanan adalah usaha tani dengan subjek tumbuhan (biasanya pohon) dan diusahakan pada lahan yang setengah liar atau liar (hutan). Peternakan menggunakan subjek hewan darat kering (khususnya semua vertebrata kecuali ikan dan amfibia) atau serangga (misalnya lebah). Perikanan memiliki subjek hewan perairan (termasuk amfibia dan semua non-vertebrata air). Suatu usaha pertanian dapat melibatkan berbagai subjek ini bersama-sama dengan alasan efisiensi dan peningkatan

keuntungan. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan mengakibatkan aspek-aspek konservasi sumber daya alam juga menjadi bagian dalam usaha pertanian.

(2)

Usaha pertanian yang dipandang dengan cara ini dikenal sebagai agribisnis. Program dan kebijakan yang mengarahkan usaha pertanian ke cara pandang demikian dikenal sebagai

intensifikasi. Karena pertanian industrial selalu menerapkan pertanian intensif, keduanya sering kali disamakan.

Sisi pertanian industrial yang memperhatikan lingkungannya adalah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Pertanian berkelanjutan, dikenal juga dengan variasinya seperti pertanian organik atau permakultur, memasukkan aspek kelestarian daya dukung lahan maupun lingkungan dan pengetahuan lokal sebagai faktor penting dalam perhitungan efisiensinya. Akibatnya, pertanian berkelanjutan biasanya memberikan hasil yang lebih rendah daripada pertanian industrial.

Pertanian modern masa kini biasanya menerapkan sebagian komponen dari kedua kutub "ideologi" pertanian yang disebutkan di atas. Selain keduanya, dikenal pula bentuk pertanian ekstensif (pertanian masukan rendah) yang dalam bentuk paling ekstrem dan tradisional akan berbentuk pertanian subsisten, yaitu hanya dilakukan tanpa motif bisnis dan semata hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau komunitasnya.

(3)

MEDAN - Lembaga Studi dan Advokasi Kebijakan (Elsaka) Sumatera Utara mengungkapkan, sekira 4,2 persen lahan pertanian pangan di Sumatera Utara, beralih fungsi untuk peruntukkan lain, khususnya untuk perkebunan tanaman keras. Kondisi ini pun telah mengancam produksi pangan di Sumut, yang tercatat menurun lebih dari 20 persen setiap tahunnya.

Ketua Badan Pengurus Elsaka, Effendi Panjaitan mengatakan, tingginya angka alih fungsi lahan ini sebagai dampak langsung dari pertumbuhan industri kelapa sawit di Sumatera Utara. Laju peralihan fungsi lahan pertanian pangan ini memang mulai melambat dibandingkan periode sebelumnya, namun tetap menunjukkan

pergerakan yang mengkhawatirkan terhadap ketahanan pangan di Sumut.

"Sejak periode 1998-2006, telah terjadi pengalihan fungsi lahan pertanian

khususnya sawas, seluas 39.669 hektare (ha). Jumlah itu merupakan 7,55 persen dari luas baku lahan sawah berpengairan di Sumut," sebutnya, saat mengisi

Seminar bertema Konversi Lahan Pertanian dan Pangan oleh Industri Kelapa Sawit, di Medan, Kamis (4/4/2013).

Pada umumnya, tambahnya, alih fungsi itu dilakukan untuk penanaman kelapa sawit dan subsektor lain di luar sektor pertanian tanaman pangan. Tapi faktanya lagi, kondisi itu telah membuat produksi padi kita turun higga 23 persen di periode tersebut. Sementara sejak 2006-2012, laju pertumbuhannya 1,13 persen setiap tahun.

Effendi juga mengatakan, tingginya tingkat alih fungsi lahan ini, antara lain karena tidak adanya rehabilitasi oleh pemerintah lokal terhadap lahan pertanian yang rusak. Kondisi ini menyebabkan petani memilih mengalihfungsikan lahan atau malah menjualnya. Selain itu kesulitan sarana dan prasaran pertanian dan pastinya banyaknya gangguan hama yang menyerang tanaman pangan.

(4)

mahal, bencana alam, serangan hama, dan persoalan pembudidayaan lainnya," tambahnya.

Oleh karena itu, ia menilai pemerintah harus segera mengantisipasi kondisi ini karena dengan merehabilitasi lahan pertanian hingga membuat aturan strategis dan teknis yang melarang alih fungsi lahan pertanian pangan. Pemerintah juga harus meretas persoalan pembudidayaan serta infrastruktur pertanian. Bukan hanya irigasi, tapi juga jalan ke areal pertanian.

"Perlu langkah-langkah strategis untuk meningkatkan produksi pangan. Pemberian insentif kepada petani pangan perlu baik berupa jaminan harga, subsidi pupuk atau benih. Dan yang terpenting adalah secepatnya membangun dan merehabilitasi infrastruktur pertanian terutama irigasi. Permodalan juga penting saya pikir," pungkasnya. (ade)

Langkah itu harus segera dilakukan pemerintah karena penurunan luas lahan pertanian di Indonesia tiap tahun semakin meningkat.

"Selain itu akan banyak petani yang terancam pekerjaan dan pendapatannya kalau lahan pertanian terus berkurang khususnya di wilayah pedesaan," kata

Suryadharma Ali Ketua Umum PPP, disela Panen Raya di Desa Watugaluh, Diwek, Jombang, Jawa Timur, Senin (8/4/2013).

Kondisi yang memprihatinkan ini, menurut Surya, harus segera disikapi semua pihak khususnya kementerian pertanian yang punya peran penting dalam mengatasi semakin berkurangnya lahan pertanian.

Selain itu, Suryadharma Ali juga minta pada semua kadernya di DPR-RI untuk memperjuangkan nasib petani khususnya dalam mendapatkan jaminan ketersediaan pupuk.

"Untuk itu, dalam waktu dekat PPP juga akan membentuk Paguyuban Petani Penyanggah Ketahanan Pangan Indonesia (PPPKPI) yang akan menjamin semua petani di Indonesia, mendapatkan akses kemudahan untuk memperoleh jaminan ketersediaan pupuk dan harga jual padi yang tinggi," ujar Surya.

Upaya itu dilakukan PPP karena selama ini perhatian kader dan pengurusnya pada sektor pertanian, perdagangan dan nelayan masih sangat kurang.

(5)

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengatakan ribuan lahan pertanian kini telah beralih fungsi menjadi kawasan industri maupun perumahan. Kondisi ini mendesak pemerintah untuk menyiapkan lahan pertanian lebih banyak minimal 10 ribu hektare (ha) per tahun.

"Di banyak Kabupaten, pusat industrilisasi dan perumahan yang berdiri di atas lahan pertanian produktif. Ini merupakan ancaman serius bagi petani," tegas Ketua Bidang Perdagangan Dewan Pimpinan Nasional HKTI, Ismed Hasan Putro saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (7/4/2013).

Menurutnya, konversi ribuan lahan pertanian tersebut terjadi akibat tata ruang yang tidak konsisten. Bekasi misalnya, kata dia, hampir seluruh persawahan telah beralih menjadi kawasan industri. Sehingga keberadaan lahan pertanian produktif saat ini jumlahnya semakin menyusut.

"Pemerintah harus menjamin tidak semakin banyak lahan pertanian yang tergerus untuk dibangun kawasan industri maupun perumahan karena alasan lebih

menguntungkan," ucapnya.

(6)

Pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) dibutuhkan suatu kearifan dan menjaga keseimbangan; pilihan yang lestari, untuk memenuhi kebutuhan sekarang maupun generasi mendatang. Dalam pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya lahan pertanian diperlukan perencanaan dan

penanganan yang tepat dan bertanggung jawab, agar lahan tersebut tidak terdegradasi dan tetap memberikan keuntungan. Degradasi lahan untuk tanah-tanah tropis umumnya disebabkan oleh erosi. Penanggulangan erosi telah banyak dilakukan dan dikembangkan melalui tekonologi-teknologi konservasi tanah dan air.

(7)

Lahajir (2001), bahwa dari perspektif sosial budaya, sistem perladangan berpindah secara umum dianggap sebagai satu-satunya sistem pertanian yang sesuai dengan ekosistem hutan tropis. Disamping itu, sistem perladangan dari segi ekologi, lebih berintegrasi ke dalam struktur ekosistem alami (Geertz, 1976). Sedangkan dalam hal biodeversiti di dalam sistem perladangan berpindah lebih tinggi dari sistem pertanian permanen seperti sawah. Tingginya

biodeversiti/keanekaragaman hayati adalah berasal dari pemberaan dan tanaman beraneka (mixed cropping).

Dalam perladangan berpindah, tahapan pemberaan (fallow) merupakan persentasi tertinggi dalam proses penggunaan lahan, di mana tanah digunakan dalam waktu periode yang pendek, sehingga erosi dan sedimentasi di sungai rendah. Memang, praktek pembakaran bisa menyebabkan kehilangan nutrient, tetapi dapat meningkatkan pH yang baik untuk pertumbuhan tanaman, sedangkan kandungan bahan organik disimpan selama pemberaan. Dalam sistem dengan periode pemberaan stabil tidak menyebabkan peningkatan CO2 pada atmosfir karena penghutanan kembali. Rendahnya produktivitas dapat dipecahkan jika institusi penelitian agrikultural mengambil peranan yang lebih baik dalam mengalokasikan sumberdaya dalam peningkatan agronomik pada sistem perladangan berpindah. Oleh sebab itu, sistem perladangan berpindah dapat dijadikan alternatif sistem agrikulture yang permanen di wilayah tropis basah.

Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan suatu sistem yang dibangun berdasarkan pengalaman masyarakat dalam mengolah lahan dan tanah yang dipraktekan secara turun

menurun. Berbagai hasil penelitian, dengan dasar yang berbeda, akan menghasilkan suatu yang positif dan negatif. Secara negatif, perladangan berpindah dianggap menyebabkan penggundulan hutan dan erosi tanah yang sangat kritis. Tuduhan yang paling sering, saat kebakaran hutan di Kalimantan, salah satu yang dianggap menjadi sebab adalah sistem perladangan berpindah. Kemudian, dari segi produktivitas dianggap sangat rendah, apalagi bila dibandingkan dengan resiko lingkungan yang akan terjadi.

Namun demikian, sisi positifnya, bahwa sistem perladangan berpindah ini lebih akrab dengan sistem alami yang tentunya lebih adaptif, karena mempertahankan struktur alami dari pada melakukan perubahan ekosistem yang sangat baru. Pada kesempatan ini, sisi positif perlu

mendapat perhatian yang lebih mendalam, terutam bila dihubungkan dengan konservasi, yaitu (i) pemberaan (fallow) dalam konservasi tanah dan (ii) sistem perladangan berpindah sebagai suatu bentuk pertanian konservasi.

Konservasi Tanah dan Air

Konservasi tanah merupakan cara penggunaan yang disesuaikan dengan kemampuan dan berupaya menghindari terjadi kerusakan tanah, agar tanah dapat berfungsi secara lestari (Arsjad, 2000). Konservasi tanah berhubungan erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, dan usaha untuk mengkonservasi tanah juga

(8)

Ciri alam yang penting di daerah tropis seperti Indonesia adalah adanya intensitas penyinaran matahari dan curah hujan yang tinggi dan hampir merata sepanjang tahun. Faktor geologi dan tanah dibentuk oleh kondisi tersebut dan menghasilkan suatu proses yang cepat dari

pembentukan tanah baik dari pelapukan serasah maupun bahan induk. Sebagai hasil dari proses tersebut, sebagian besar hara tanah tersimpan dalam biomassa vegetasi, dan hanya sedikit yang tersimpan dalam lapisan olah tanah. Hal yang berbeda dengan kondisi di daerah iklim sedang dimana proses pertumbuhan vegetasi lambat dan sebagian besar hara tersimpan dalam lapisan olah tanah. Oleh karena itu pengangkutan vegetasi ataupun sisa panen tanaman keluar lahan pertanian akan membuat tanah mengalami proses pemiskinan.

Jadi jelas, tanah di luar Jawa sebagian besar merupakan tanah lanjut yang miskin, dan sumber utama kesuburan tanah adalah bahan organik yang berasal dari pelapukan sisa-sisa tanaman hutan. Karena keterbatasan pengetahuan, tuntutan keuntungan bisnis, dan batasan waktu, dalam membuka lahan, biasanya persayaratan yang tertentu untuk usaha pertanian tidak dipahami. Sehingga untuk mempercepat pekerjaan, digunakanlah mesin-mesin besar dalam memotong pohon, mengangkutnya dan meratakan tanah. Hasilnya, dalam bentuk permukaan tanah menjadi rata, tetapi ditinjau dari kualitas tanah telah menjadi rusak, karena bahan organik tanah yang juga merupakan bahan semen agregat, telah teraduk dan hilang. Jika kemudian turun hujan, maka dengan mudah tanah dihancurkan untuk kemudian hara terangkut oleh air limpasan permukaan. Disamping itu, menurut Wani Hadi Utomo (1989) bahwa sampai saat ini tanah masih

diperlakukan sebagai objek saja, yang masih sebatas bagaimana mendapatkan hasil yang setinggi-tingginya dari usaha yang dilakukan, tanpa memikirkan apa akibat dari tindakan tersebut. Memang akhir-akhir ini telah tercetus “pertanian konservasi” atau pertanian yang berkelanjutan, tetapi masih jauh dari pelaksanaannya. Karena, prioritas jangka pendek lebih diutamakan untuk bagaimana caranya mendapatkan produksi maksimum, sedangkan usaha konservasinya pada urutan terakhir.

Padahal, seperti yang dikemukakan G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, Mul Mulyani Sutedjo (2000), bahwa kunci penting dari pengelolaan tanah ditempat mana saja adalah bagaimana menjaga atau memelihara sebaik-baiknya lapisan tanah-atas (top soil layer) yang tebalnya tidak lebih dari satu jengkal (kurang lebih 35 sentimeter) agar tetap dalam keadaan baik serta tidak terangkut ke lain tempat. Jadi pengertiannya adalah mencakup semua tindakan yang bertujuan melindungi atau mengawetkan tanah agar kesuburannya bertahan dalam jangka panjang. Untuk mencapai pembangunan pertanian berkelanjutan, maka dalam memilih teknologi konservasi tanah dan air untuk diterapkan oleh petani di lahan pertaniannya, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu teknologinya harus sesuai untuk petani, dapat diterima dan dikembangkan sesuai sumberdaya (pengetahuan) lokal. Kegagalan penerapan teknologi konservasi tanah selama ini karena pembuat kebijakan bertindak hanya berdasarkan pikiran sendiri tanpa memahami keinginan ataupun kemampuan petani. Dengan kata lain dalam pembangunan pertanian berkelanjutan perlu ada bottom up planning. Pemilihan teknologi dengan melibatkan pendapat petani adalah salah satu cara untuk mencapai pertanian berkelanjutan.

(9)

Pada wilayah tanah hutan, ada suatu area yang dibersihkan dan ditanami setiap tahun untuk pertanian perladangan. Sistem pertanian ini dapat didefinisikan secara sangat umum sebagai suatu sistem pertanian yang menerapkan konservasi secara langsung, sehingga dapat dikatakan sebagai sistem pertanian berkelanjutan di mana penebasan dilakukan secara tidak menetap, atau hanya sementara dan ditanami dengan tanaman untuk beberapa tahun saja, kemudian tanah hutan itu ditinggalkan untuk pemberaan lahan yang cukup lama.

Namun, menurut Lahajir (2001), sistem perladangan ini masih sangat sulit ditemukan dalam penelitian dalam hal: soal-soal mengenai tipe penggunaan tanah perladangan, batas-batas kritis tanah yang luar biasa dan relasi-relasi yang bermakna di antara waktu, tempat, teknik dan ekologi lokal. Metode yang beraneka ragam dan konsekuensi-konsekuensi perladangan ini bagi manusia, tumbuhan, dan tanah tampaknya baru-baru ini mulai dipahami oleh para peneliti perladangan di dunia.

Dalam perladangan, secara teknologi dapat dilihat dari cara-cara dalam mana lingkungan secara artifisial dimodifikasi dan mencakup perawatan tanaman, tanah, hama, dan lain-lain, yang berhubungan sangat kompleks. Pembedaan yang bersifat sementara menunjuk pada lamanya fase suksesif perladangan, seperti (1) pemilihan (selecting), (2) penebasan (cutting), (3)

pembakaran (burning), (4) penanaman (cropping), dan (5) pemberaan (fallowing). Fase 1 sampai 2 merupakan pembersihan vegetasi-vegetasi tua yang tidak relevan bagi keperluan pengolahan ladang, sedangkan dua fase terakhir merupakan kontrol terhadap vegetasi-vegetasi baru (baru ditanam atau tumbuh/bertunas). Di sini, terlihat fase 4 dan 5 menujukkan bahwa keadaan lingkungan yang telah ada, lamanya yang relatif tentang periode-periode penanaman bisa berubah-ubah dari pada fase pembersihan sebelumnya (fase 1 sampai 3). Selanjutnya, periode terlama yang proporsional adalah sebagai representasi dari pemberaan.

Perladangan berpindah ini juga merupakan sistem pertanian yang terintegrasi dan

berkesinambungan dalam ruang dan waktu. Sistem perladangan ini dilakukakan secar berpindah-pindah sebagai ciri utama kearifan ekologi, dari lokasi lahan ladang yang satu ke lokasi lahan ladang berikutnya guna mengistirahatkan (fallow) hutan tanah lahan perladangan yang telah diolah beberapa kali dalam siklus tahun ladang untuk jangka waktu bera yang ideal, yaitu sekitar 10 – 15 tahun sebelum digunakan kembali pada rotasi berikutnya. Di sini jelas terlihat bahwa waktu bera sangat berpengaruh besar pada kesuburan tanah dan tingkat produksi yang

dihasilkan. Lahajir (2001) mengklasifikasikan hutan sekunder berdasarkan masa bera seperti berikut ini, yakni: (1) hutan sekunder tua dengan masa bera 10 -15 tahun, (2) hutan sekunder muda dengan masa bera 10 – 5 tahun, dan (3) hutan sekunder termuda dengan masa bera kurang dari 5 tahun.

Bentuk Pertanian Konservasi

(10)

Perladangan berpindah tidak menyebabkan efek yang berbahaya terhadap lingkungan, bahkan mampu menyediakan alternatif yang aman dibandingkan dengan sistem pertanian lainnya di hutan tropis basah. Adapun kurangnya peningkatan produktivitas adalah merupakan konsekuensi dari pengabaian dari sistem ini di dalam kebanyakan penelitian pertanian. Hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian Lahajir, yang menemukan bahwa hasil perladangan berpindah tidak sanggup lagi mencukupi kebutuhan subsisten mereka.

Dalam konteks pembahasan di sini, perladangan berpindah sebagai sistem pertanian yang menggunakan pemberaan sebagai hal yang utama dalam menjaga produktivitas. Sistem

perladangan dikerjakan hanya 1 – 2 tahun dalam penanaman yang kemudian dilanjutkan dengan periode bera yang panjang.

Erosi sudah lama disadari sebagai masalah utama dalam perladangan berpindah, tetapi sangat sedikit studi kuantitatif yang ada tentang erosi dari perladangan berpindah, sehingga masih begitu terbatas. Dari studi yang pernah dilakukan menunjukkan pembersihan lahan pada

perladangan berpindah secara tradisional lebih rendah jumlah erosi dan kehilangan sedimin dari sistem dibandingkan pada beberapa bentuk pembersihan lahan (land clearing) dan sistem

pengolahan tanah (tillage). Alasan rendahnya erosi adalah sangat pendiknya periode terbukanya tanah (setelah pembakaran, sebelum tanaman mantap), tanpa atau sedikit pengolahan tanah (tillage), dan dengan membentangkan pohon-pohon yang tidak terbakar secara horisontal terhadap kemiringan (slope). Dengan sedikit sedimin yang hilang dari sistem dan pemakaian bahan kimia yang terbatas sekali, maka sumberdaya air tidak terpengaruh secara serius.

Selama penanam, nutrient kehilangan utamanya akibat pembakaran dan beberapa dari pencucian (leaching), tetapi hanya jumlah terbatas yang dipindahkan oleh tanaman sebagai sisa tanaman yang tertinggal di lapangan dan pertumbuhan kembali pada masa bera dapat menahan kembali nutrient.

Peningkatan penyimpanan karbon dalam jangka panjang, kalau bisa sampai 20 – 50 tahun di dalam tanah, tanaman dan produksi tanaman mempunyai efek menguntungkan terhadap

lingkungan dan pertanian. Lahan tanaman budidaya, padang gembalaan dan hutan dapat dikelola baik untuk aspek produksi maupun penyimpanan karbon. Kedua pendekatan pengelolaan lahan tersebut dapat dicapai dengan penerapan pengelolaan lahan yang sudah banyak dikenal seperti pengolahan tanah konservasi, pengelolaan unsur hara yang efisien, pengontrolan erosi,

penggunaan tanaman penutup tanah, dan restorasi lahan-lahan terdegradasi.

Konservasi lahan melalui pemberaan (fallow) yang panjang dapat dengan cepat meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah. Peningkatan bahan organik tanah secara global dalam jangka waktu yang lama akan mampu memberikan efek yang menguntungkan terhadap penurunan rata-rata peningkatan CO2 atmosfer dan peningkatan produktivitas tanah, khususnya dalam banyak areal tanah yang telah terdegradasi.

(11)

tempat pesemaian, tempat bertanam, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan sisa tanaman, dan memberantas gulma. Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar, apabila pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan rusak. Kebiasaan petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana tanah diolah sampai bersih permukaannya merupakan salah satu contoh pengolahan yang keliru karena kondisi seperti ini mengakibatkan butir tanah terdispersi oleh butir hujan, menyumbat pori-pori tanah. Untuk mengatasi pengaruh buruk pengolahan tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil terjadinya erosi. Cara perladangan berpindah dengan :

1. Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa-sisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman. Penanaman dilakukan dengan tugal

2. Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah

3. Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah atau dengan melintangkan pohon yang tidak terbakar (logs) dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah. Dari sistem perladangan berpindah, cara pengolahan tanah sudah diterapkan, sehingga dapat menggunakan sesuai dengan keperluan dan kemampuannya. Penyesuaian dengan ekologi setempat inilah yang menjadikan sistem perladangan berpindah dapat dikatakan sebagai sistem pertanian konservasi. Sistem ini memang perlu lebih ditingkatkan, atau diberikan sentuhan ilmu pengetahuan yang juga disesuaikan.

Berdasarkan penggunaan teknik tradisional, perladangan berpindah sangat sesuai dengan lingkungan dan dapat lebih berkelanjutan dari sistem pertanian permanen dalam kondisi tropis basah. Kebanyakan studi tentang perladangan berpindah telah memfokuskan pada efek terhadap praktek manajemen dan sangat sedikit penelitian yang telah dilakukan untuk peningkatan secara agronomi terhadap produksi tanaman di dalam sistem, karena sistem tersebut sudah melekat sebagai primitif dan anti pembangunan. Masalah lainnya, adalah bahwa perladangan berpindah lebih sering dibandingkan dengan kegiatan kehutanan (seperti agroforentry yang hampir sama dengan shifting cultivation) atau bahkan sumberdaya hutan daripada dengan sistem pertanian lainnya. Hal ini sangat tidak realistis untuk mengharapkan perladangan berpindah menjadi sama tidak berbahaya seperti hutan alami. Ini adalah sistem pertanian, yang dibuat dengan

(12)
(13)

PENGEMBANGAN agrobisnis nasional, tak terlepas dari peningkatan kemampuan sumber daya manusia pertanian. Ini di antaranya diperoleh melalui pengembangan ilmu dan kemampuan usaha berbagai komoditas bernilai jual dan daya saing tinggi di pasaran.

MENTERI Pertanian, Anton Apriyantono, mengamati tampilan produk sayuran dan buah-buahan spesifik yang dikembangkan alumni magang Jepang, saat Temu Karya Nasional Ikamaja ke-2/2006, di Desa Cibodas, Kec. Lembang, Kab. Bandung, Kamis (9/11) lalu. *KODAR SOLIHAT/"PR"

Adalah para lulusan magang pertanian di Jepang atau disingkat Ikamaja (Ikatan Keluarga Alumni Magang Jepang), yang menjadi salah satu pionirnya. Mereka memperkenalkan produk-produk spesifik asal Jepang, untuk dikembangkan dan dibisniskan secara lokal sampai dikenal menjadi produk agro "asli" daerah.

Magang usaha pertanian ke Jepang merupakan program dari Departemen Pertanian mulai tahun 1984, bekerja sama dengan asosiasi pertanian Jepang. Siswa peserta umumnya para

pelajar/lulusan Sekolah Pembangunan Pertanian-Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPP-SPMA)/ sederajat berusia 22-27 tahun dengan pengalaman usaha bertani minimal 2,5 tahun.

Mereka dididik di Jepang selama 8-12 bulan yang sampai tahun 2006 ini sudah menghasilkan 856 orang lulusan tergabung dalam Ikamaja. Selama di Jepang, para peserta magang

diperkenalkan cara bertani dengan teknik modern, pengembangan wawasan bisnis, pengenalan komoditas berprospek bisnis, manajemen usaha tani modern, informasi pasar, dll.

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Pertanian Departemen Pertanian, Ato Suprapto, menyebutkan, para alumni magang pertanian di Jepang, diharapkan menjadi agen pembangunan di daerahnya dengan membuka lapangan kerja di lingkungannya. Ilmu pengembangan bisnis dan usaha tani dari Jepang, diterapkan untuk memperoleh wawasan dan peluang bisnis baru dengan memanfaatkan potensi sekitar.

(14)

Menurut Ato, magang pertanian ke Jepang tetap menjadi program tahunan Departemen

Pertanian, di mana tahun 2006-2007 saja, dikirimkan lagi 56 orang pemuda tani. Ini diharapkan pula menjadi salah satu daya tarik dan inovasi bagi berbagai sekolah pertanian untuk lebih menarik minat calon siswa.

Menurut Ketua Ikamaja Nasional, Ishak, para lulusan magang pertanian di Jepang sebagian besar muncul menjadi para pelaku agrobisnis berhasil, sebagian menjadi tenaga penyuluh andal di daerah, dan sangat sedikit yang gagal. Tentu saja, ini diperoleh melalui keseriusan oleh masing-masing individu yang magang usaha bertani di Jepang tersebut.

Pengamat dari sebuah organisasi pertanian Jepang, Takumi Yamazaki, menilai, secara

kemampuan teknis para pemuda tani Indonesia sudah menyamai dengan Jepang. Namun mereka mesti dipacu dalam pemanfaatan waktu, di mana para pemuda tani asal Indonesia masih di bawah peserta magang asal negara lain.

**

IKUT program magang bertani umumnya bukan ajang memperoleh pekerjaan, namun kesempatan memperdalam dan mengembangkan ilmu bidang yang ditekuni untuk berusaha. Prinsip ini disadari dan diterapkan oleh Ishak, sehingga berhasil menjadi seorang usahawan pertanian di daerah asalnya, Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kab. Bandung.

Di atas lahan seluas lima hektare milik keluarga, Ishak bersama saudaranya, Bon Bon

Purbansyah, kemudian merintis dan berbisnis berbagai produk pertanian asal Jepang. Sebut saja, tomat momotaro atau tomat daging, satoimo atau talas jepang, edamame atau kacang kedelai, bawang daun jepang, kacang bulu jepang, terong nasubi atau terong jepang, cabe jepang, dll., menjadi andalan bisnis mereka.

Menurut Ishak, apa yang diperoleh, tak terlepas dari ketekunan, pantang menyerah, dan jeli menerapkan ilmu magang usaha bertani dari Jepang. Sebelumnya, kemampuan dan pengetahuan bisnis pertaniannya pun masih pas-pasan dan sama seperti umumnya para petani lain.

Menurut Ishak, bisnisnya dimulai dengan memanfaatkan sisa uang saku yang diperoleh selama magang di Jepang selama delapan bulan pada tahun 1987. Sepulangnya, ia masih memiliki uang 240.000 yen atau jika dirupiahkan sebesar Rp 1,2 juta, kemudian dijadikan modal usaha bertani.

Berbagai benih buah-buahan dan sayuran asal Jepang yang dibawa, kemudian ditanam dan tumbuh baik di Desa Cibodas, yang kebetulan memiliki iklim dan syarat tumbuh sesuai. Kontan saja, produk-produk yang dibudidayakan lalu dikembangkan menjadi bisnis itu menarik

(15)

Disebutkan, pada awalnya produk buah-buahan dan sayuran yang diusahakan, sebatas untuk memasok konsumsi masyarakat Jepang di Indonesia yang sekira 8.000 orang. Belakangan, usaha dikembangkan dengan memasok berbagai pasar modern sebagai pasaran utama.

Walau asalnya impor Jepang, karena sudah lama dibudidayakan lokal, produk-produk yang diusahakannya kini sudah menjadi produk "asli" Kecamatan Lembang. Omzet usaha pun berkembang menjadi bernilai ratusan juta rupiah per tahun, dan mampu mempekerjakan 60 orang karyawan.

Masih Banyak Petani Terbelit Utang ke Tengkulak

PALEMBANG, KOMPAS.com – Sebagian besar petani padi di Sumatera Selatan masih banyak terbelit utang pada tengkulak.

Itu terjadi karena mereka kekurangan modal usaha dan kesulitan memperoleh pinjaman lunak dari perbankan. Akibatnya, produktivitas petani di Sumsel dalam mengelola sawah rendah. Ini menjadi salah satu kendala peningkatan panen padi di provinsi yang ditargetkan menjadi lumbung pangan nasional itu.

Tokoh Petani Desa Sumber Mulya, Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Wawan Darmawan mengatakan, petani di daerah masih kesulitan memperoleh pinjaman modal usaha.

Sekitar 85 persen di antaranya terpaksa berhutang pada tengkulak setiap kali memasuki musim tanam.

“Rata-rata petani di sini masih butuh tambahan modal usaha setiap musim tanam karena panen kami baru bisa sekali tanam dalam setahun. Hasil panen sudah habis untuk kebutuhan hidup, tak bisa lagi menabung,” katanya, Minggu (9/12/012).

Modal menanam padi di Sumsel saat ini berkisar Rp 4 juta per hektar. Modal itu untuk membeli bibit, pupuk, serta obat hama.

Menurut Badan Pusat Statistik Sumsel, jumlah petani di Sumsel tahun 2010 berjumlah sekitar 1,9 juta jiwa. Bunga pinjaman pada tengkulak sangat tinggi, mencapai 5-7 persen per bulan. Meskipun memberatkan, petani tak punya pilihan selain meminjam ke tengkulak karena tak mampu memenuhi syarat jaminan untuk meminjam kredit dari bank.

Sekretaris Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel Taufik Gunawan mengatakan, kurangnya modal usaha membuat daya beli petani turun.

(16)

Biasanya, petani padi mengurangi asupan pupuk NPK dan hanya memberi urea. Untuk sawah pasang surut, petani juga mengurangi penebaran kapur.

Padahal, tebaran kapur dibutuhkan guna menetralkan derajat keasaman air rawa agar padi dapat tumbuh baik.

Saat ini, rata-rata produksi sawah di Sumse 4,4 ton gabah kering giling (GKG) setiap kali panen atau di bawah produktivitas rata-rata nasional sebesar 4,9 ton GKG.

Produktivitas sawah ini juga masih kurang dari target produktivitas 5 ton GKG sekali panen. Hasil panen yang cukup baik hanya terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yang mencapai 5,2 ton GKG sekali panen.

Kerja sama BUMN Untuk mengatasinya, Pemerintah Provinsi Sumsel berupaya menggalang kerja sama dengan sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) untuk menjadi penjamin pinjaman lunak oleh petani.

Saat ini terdapat tiga BUMN dalam program tersebut, yaitu PT Pusri, PT Pertani, dan PT Sang Hyang Sri.

Di tingkat petani juga dirintis sistem tanggung renteng, yaitu penjaminan atas nama satu orang. Cara ini diharap mengatasi banyaknya petani yang sertifikat lahannya tidak atas nama sendiri. Metode tanggung renteng dilakukan dengan mengumpulkan sertifikat lahan petani hingga mencapai 25 orang kemudian kredit diajukan atas nama satu orang yang sertifikat lahannya atas namanya sendiri.

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Porang (Amorphophallus oncopphyllus) Terhadap Kadar Protein, Serat Pangan, Lemak, dan tingkat Penerimaan

Walau berbagai upaya telah dilakukan untuk menyajikan data dan/atau informasi seakurat mungkin, tim KKS Pengabdian UNG tidak bertanggung jawab atas segala kesalahan

Dengan bantuan pasukan Singhasari yang kembali dari Sumatra, Raden Wijaya menjadi raja pertama kerajaan Majapahit bergelar Krtarajasa Jayawardhana (1293-1309), mempunyai 4

Seluruh teman – teman mahasiswa program studi elektro Universitas Muhammadiyah Ponorogo yang telah banyak memberikan bantuan dan dorongan selama penyelesaian

Reformasi birokrasi pemerintahan daerah merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh pemerintahan daerah di Indonesia dengan berpedoman kepada Grand

Hasil penelitian juga menunjukkan variabel pencahayaan dengan nilai OR = 1,333 yang berarti kesembuhan penyakit TB Paru pada responden dengan pencahayaan tidak memenuhi

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah proporsi BBLR dan BBLSR, dan faktor resiko BBLR yaitu usia ibu, usia kehamilan, paritas, riwayat abortus,