• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Predator serta Musuh Alami Lain pada Agroekosistem Wortel di Wilayah Cikajang Kabupaten Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Predator serta Musuh Alami Lain pada Agroekosistem Wortel di Wilayah Cikajang Kabupaten Garut"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PREDATOR SERTA MUSUH ALAMI LAIN PADA

AGROEKOSISTEM WORTEL DI WILAYAH CIKAJANG

KABUPATEN GARUT

SITI SYARAH MAESYAROH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

SITI SYARAH MAESYAROH. Peran Predator serta Musuh Alami Lain pada Agroekosistem Wortel di Wilayah Cikajang Kabupaten Garut. Dibimbing oleh DADAN HINDAYANA.

Produktivitas wortel di Indonesia masih rendah yang disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Dalam mengendalikan OPT, petani umumnya masih menggunakan pestisida sintetik yang menimbulkan efek negatif. Oleh karena itu pendekatan lain yang lebih berwawasan lingkungan perlu diupayakan untuk diterapkan. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan metode pengendalian hama yang berwawasan lingkungan dan telah ditetapkan sebagai kebijakan utama pengendalian hama dan penyakit di Indonesia. Predator merupakan salah satu kelompok musuh alami yang sangat penting dalam pengendalian biologi dan merupakan komponen yang dapat membantu menurunkan populasi hama. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan dan kelimpahan musuh alami, khususnya predator yang dapat dijadikan komponen dalam strategi PHT. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah hama dan musuh alami lain yang berada pada pertanaman wortel dan sekitarnya secara langsung serta menggunakan pitfall trap. Pengambilan sampel dilakukan setiap minggu dengan jumlah sampel sebanyak 25 yang ditentukan secara acak sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah predator dapat ditemukan dalam jumlah yang cukup besar dari mulai awal tanam sampai menjelang panen. Predator-predator yang dapat ditemukan umumnya dari kelompok Lycosidae dan Formicidae. Pengamatan langsung dan pitfall trap menghasilkan perbedaan komposisi arthropoda yang teramati. Pada pengamatan langsung, yang dominan teramati adalah hama Tagasta marginella, sementara pada pitfall trap adalah serangga lain Collembola. Secara umum, pertanaman wortel pada daerah pengamatan dalam kondisi daun yang rusak karena gejala dari Tagasta marginella, dengan hasil panen sebesar 2.02 kg /m2.

(3)

PERAN PREDATOR SERTA MUSUH ALAMI LAIN PADA

AGROEKOSISTEM WORTEL DI WILAYAH CIKAJANG

KABUPATEN GARUT

SITI SYARAH MAESYAROH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Peran Predator serta Musuh Alami Lain pada Agroekosistem Wortel di Wilayah Cikajang Kabupaten Garut

Nama Mahasiswa : Siti Syarah Maesyaroh

NRP : A34080010

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dadan Hindayana NIP 19670710 199203 1 002

Diketahui,

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP 19650621 198910 2 001

(5)

RIWAYAT HIDUP

(6)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. atas berkah dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Peran Predator serta Musuh Alami Lain pada Agroekosistem Wortel di Wilayah Cikajang Kabupaten Garut. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjunan kita Nabi Muhammad saw beserta seluruh keluarga dan para sahabat, termasuk kita umatnya yang setia melaksanakan sunah-sunahnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Dadan Hindayana selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan saran dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Abah Endang, Mamah Idos, Aa Yufi, Teh Ima, Teh Novi, A Roni, Upah, Ajay, Akang Supyan, dan keluarga besar penulis atas motivasi baik secara moril maupun materi, bimbingan, dan do’a yang tidak bisa terbalas. Tidak lupa buat Pak Wawan dan Pak Soleh beserta keluarga yang sudah membantu dalam kerja di lapang dan laboratorium. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Asep, Kunkun, Mila, Elisa, Eulis, Lani, Isma, Rizky Nazareta, Agus, Tia, Iky, Wulan, Innes, dan teman-teman Proteksi Tanaman angkatan 45. Serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi semua pihak yang membutuhkan, terutama bagi penulis sendiri.

Bogor, Juni 2012

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Taksonomi Tanaman Wortel ... 4

Morfologi Tanaman Wortel ... 4

Varietas Wortel ... 5

Syarat Tumbuh Tanaman Wortel ... 5

Hama Utama Tanaman Wortel ... 6

Pengendalian Hama Terpadu ... 8

Budidaya Tanaman Sehat ... 9

Pelestarian Musuh Alami ... 10

Serangga Predator ... 11

BAHAN DAN METODE ... 13

Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

Budidaya Wortel ... 13

Pengamatan Hama dan Musuh Alami ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 15

Komposisi dan Peran Arthropoda pada Agroekosistem Wortel .. 16

KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

Kesimpulan ... 25

Saran ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem

wortel dengan pengamatan secara langsung ... 16

2 Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem

wortel dengan pitfall trap ... 17

3 Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem

wortel dengan pitfall trap (tanpa serangga lain) ... 17

4 Perkembangan populasi hama dengan pengamatan secara langsung ... 19

5 Perkembangan populasi hama dengan pitfall trap ... 20

6 Perkembangan populasi predator, musuh alami lain, dan pengurai dengan pengamatan secara langsung ... 21

7 Perkembangan populasi predator , musuh alami lain, dan pengurai dengan pitfall trap ... 22

8 Perkembangan populasi predator, musuh alami lain, dan pengurai dengan pitfall trap (tanpa Collembola) ... 23

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Perkembangan populasi hama dengan pengamatan secara langsung... 30 2 Perkembangan populasi hama dengan pitfall trap…....………... 30 3 Populasi predator dan musuh alami lain dengan pengamatan secara

langsung………..……….………... 31 4 Populasi predator , musul alami lain, dan pengurai dengan pitfall trap.. 31 5 a. Gryllidae, b. Chelisochidae, c. Gryllotalpidae, d. Formicidae,

e. Lycosidae, f. Acrididae, g. Muscidae, dan h. Cicadellidae..……... 32 6 a. Lahan pertanaman, b. Pemasangan pitfall trap, c. Pemindahan

sampel, d. Pengamatan langsung, e. Pemanenan, f, g dan

(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wortel merupakan salah satu sayuran yang ditanam di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang bersuhu 15.6o C sampai dengan 21.1o C. Daerah tersebut umumnya berada pada kisaran ketinggian 1000 sampai dengan 1200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Suhu dingin diperlukan untuk pertumbuhan yang optimum karena wortel berasal dari wilayah subtropis. Daerah yang disinyalir sebagai asal-usul wortel adalah Timur Dekat (Asia Kecil, Traus-Caucasia, Iran, dan dataran tinggi Turkmenistan) dan Asia Tengah (Punjab, Kashmir, Afganistan, Tajikistan, dan bagian barat Tian-shan) (Rukmana 1995).

Meskipun bukan tanaman asli Indonesia, wortel telah dibudidayakan secara meluas. Menurut BPS (2010), luas areal panen wortel nasional mencapai 27.149 ha yang tersebar di 21 propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, NTT, NTB, Aceh, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Papua, Maluku, Banten, dan Jambi. Meskipun demikian daerah sentra wortel yang termasuk kategori empat besar, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

(11)

Cercospora, hawar daun, dan bengkak akar (Root Knot) wortel. Sejauh ini petani menggunakan pengendalian secara sintetik, yang menimbulkan efek negatif dan mulai dirasakan misalnya muncul resistensi hama, resurjensi, makhluk bukan sasaran binasa, ledakan hama sekunder, predator dan parasitoid ikut mati, mencemari lingkungan, meninggalkan residu di dalam dan bagian-bagian tanaman, pembesaran biologik, dan menimbulkan kecelakaan bagi manusia (Oka 1995). Oleh karena itu pendekatan lain yang lebih berwawasan lingkungan perlu diupayakan untuk diterapkan. Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan metode pengendalian hama yang berwawasan lingkungan dan telah ditetapkan sebagai kebijakan utama pengendalian hama dan penyakit di Indonesia (UU No 12 tahun 1992).

Pengendalian hama terpadu (PHT) pada prinsipnya adalah berusaha untuk bekerjasama dengan alam, bukan melawannya, sedangkan aktivitas kelompok tani menggambarkan, bagaimana petani dalam kelompoknya merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat ekologi, sosial maupun ekonomi secara bersama (Efenly 2006). Komponen pengendalian hama secara terpadu salah satunya adalah pengendalian dengan menggunakan musuh alami. Teori dasar dalam pengelolaan hama adalah mempertimbangkan komponen musuh alami dalam strategi pemanfaatan dan pengembangannya. Musuh-musuh alami dimanfaatkan sebagai pengendali hama agar fluktuasi kepadatan rata-rata populasi hama selalu rendah. Musuh-musuh alami ini digolongkan menjadi predator, parasitoid, patogen serangga (jamur, bakteri, virus, nematoda), dan vertebrata (mamalia, burung, amphibia, ikan). Potensi musuh alami khususnya parasitoid dan predator cukup besar untuk menurunkan populasi hama, ditinjau dari laju pertumbuhan dan kemampuan memangsa.

(12)

Informasi mengenai komposisi predator dan musuh alami lainnya yang dominan pada tanaman wortel belum diketahui secara detail. Oleh karena itu, penelitian mengenai peran predator serta musuh alami lainnya dilaksanakan pada pertanaman wortel di Kecamatan Cikajang. Kecamatan Cikajang merupakan salah satu sentra pertanian yang memiliki potensi dan keadaan wilayah yang sangat sesuai dalam penanaman sayuran, diantaranya wortel. Hasil panen dari wilayah ini sudah bisa mencukupi permintaan pasar di sekitar Garut, sehingga sebagian dipasarkan di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, dan kota besar lainnya.

Tujuan Penelitian

(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Wortel Taksonomi Tanaman Wortel

Dalam taksonomi tumbuhan, wortel diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas : Dicotyledone (biji berkeping dua) Ordo : Umbelliferales

Famili : Umbelliferae (Apiaceae) Genus : Daucus

Spesies : Daucus corata L.

Dari suku pegagan-pegagan (Umbelliferae) ini, kerabat dekat wortel adalah seledri (Apium graveolens L.) dan petroseli atau Parsley (petroselinum crispum Mill.). Seledri dan petroseli sudah dibudidayakan secara komersial di beberapa negara di dunia sebagai sayuran daun. Di Indonesia wortel dikenal dengan nama daerah, di antaranya disebut bortol (Sunda, Priangan), wertel, wertol atau bortol (Jawa), dan ortel (Madura) (Pitojo 2006).

Morfologi Tanaman Wortel

(14)

atau jingga. Secara alami tanaman wortel dapat berbunga dan berbuah (berbiji). Bunga wortel berbentuk payung berganda. Kuntum-kuntum bunganya terletak pada bidang lengkung yang sama, warnanya putih atau merah jambu agak pucat. Bunga-bunga wortel dapat menghasilkan buah dan biji yang ukurannya kecil-kecil dan berbulu. Biji-biji ini dapat digunakan sebagai alat (bahan) perbanyakan wortel secara generatif (Pitojo 2006).

Varietas Wortel

Wortel memiliki banyak varietas, karena tiap tahun perusahaan-perusahaan benih di dunia kontinu menghasilkan varietas baru. Meskipun demikian dari ragam varietas tersebut, Sunarjono (1984) mengelompokkan jenis wortel berdasarkan bentuk umbinya ke dalam 3 golongan, yaitu :

1. Tipe Imperator, yaitu golongan wortel yang bentuk umbinya bulat panjang dengan ujung runcing, hingga mirip bentuk kerucut.

2. Tipe Chantenay, yaitu golongan wortel yang bentuk umbinya bulat panjang dengan ujung tumpul dan tidak berakar serabut.

3. Tipe Nantes, yaitu golongan wortel yang mempunyai bentuk umbi tipe peralihan antara tipe Imperator dan Chantenay.

Syarat Tumbuh Tanaman Wortel

(15)

Hama Utama Tanaman Wortel

Hyposidra sp.. Spesies ini termasuk famili Geometridae dari genus Hyposidra. Serangga ini bertubuh kecil, berukuran panjang 40 mm, dan memiliki pelindung kulit berwarna abu-abu terang, seperti kulit kayu. Di bagian punggung terdapat bintik-bintik kecil, dan memiliki dua pasang kaki belakang dan tiga pasang kaki depan. Larva Hyposidra bersifat polifag, memakan daun muda dan bunga tanaman. Tanaman inangnya antara lain tanaman sayuran, termasuk tanaman wortel. Pupa (kepompong) berada di dekat permukaan tanah dan setelah beberapa hari berubah menjadi ngengat. Ngengat berukuran kecil, lembut, bertubuh ramping, bersayap agak lebar, dan ditandai dengan adanya garis bergelombang. Ujung antena tidak menggelembung, ngengat Hyposidra tertarik pada cahaya, terbang lemah, dan aktif pada malam hari. Gejala serangan yang ditimbulkan oleh hama ini adalah terdapat luka gigitan serangga pada daun muda (Pitojo 2006).

Heliothis assulta Gn.. Spesies Heliothis assulta termasuk ordo Lepidoptera, famili Noctuidae, dan genus Heliothis. Hama ini dikenal sebagai ulat pupus. Telur ulat diletakkan secara tunggal di atas permukaan daun, sehingga pada satu tanaman biasanya hanya terdapat satu ulat. Warna larva beragam, tetapi kebanyakan hijau dengan strip membujur. Larva muda agak berambut. Ulat bersifat kanibal dan fitofag. Stadium larva berlangsung antara 2-3 minggu, sementara daur hidup berlangsung selama 4 minggu. Ngengat berupa kupu kecil, suka menghisap madu bunga, dan mampu memproduksi telur sebanyak 500-2000 butir. Tanaman inang Heliothis assulta relatif terbatas dibandingkan dengan Heliothis armigera. Beberapa tanaman inang hama ini yaitu tembakau, ceplukan, jagung, sorgum, kapas, kentang, jarak, dan kedelai. Gejala serangan yang ditimbulkan oleh hama ini adalah terdapat kerusakan pucuk tanaman karena ulat memakan pucuk daun yang mengakibatkan pertumbuhan daun salah bentuk. Daun-daun muda berlubang (Pitojo 2006).

(16)

berlangsung selama 18 hari, stadium pupa 6-7 hari, dan stadium telur hingga imago sekitar 45 hari. Tanaman inang hama ini antara lain jagung, kacang-kacangan, dan tanaman sayuran. Hama ini menyerang bagian pucuk tanaman muda hingga putus sehingga tanaman layu dan terkulai (Pitojo 2006).

Nezara viridula. Hama ini termasuk ordo Hemiptera, famili Pentatomidae, genus Nezara, dan spesies Nezara viridula. Kepik berwarna hijau polos, bagian kepala dan pronotum berwarna jingga atau kuning keemasan. Induk mampu menghasilkan telur sekitar 250 butir. Telur berwarna putih, diletakkan secara berkelompok 10-50 butir. Telur yang akan menetas berwarna merah bata. Nimfa mengalami pergantian kulit sebanyak 5 kali. Nimfa instar 1 dan 2 berwarna hitam dan berbintik-bintik putih. Instar 3, 4, dan 5 masing-masing berwarna hijau, berbintik-bintik hitam dan putih, serta berukuran semakin besar. Stadium imago maksimal berlangsung selama 47 hari, stadium telur 6 hari, dan stadium nimfa 23 hari. Gejala serangan hama ini berupa bintik coklat pada kulit batang muda dan daun (Pitojo 2006).

Coccinella spp.. Kumbang Coccinella bertubuh besar dan berbentuk oval mendekati bulat. Kepala tersembunyi di bawah pronotum dan memiliki antena pendek. Serangga dewasa berwarna cerah, yaitu kuning, orange, atau merah dengan noda-noda hitam, kuning, atau merah. Serangga dewasa bertelur setelah kawin. Telur berwarna kuning, diletakkan pada permukaan daun dengan posisi berdiri. Larva berwarna gelap dan ada yang bebercak kuning. Coccinella memakan mesofil daun, meninggalkan daun berlubang seperti jendela kecil. Selain menyerang daun, serangga ini juga memakan tangkai daun (Pitojo 2006).

Chrysodeixis chalcites. Serangga hama ini dikenal dengan ulat jengkal atau green semilooper, termasuk ordo Lepidoptera, famili Noctuidae dan mempunyai daerah penyebaran di Indonesia. Telur C. chalcites diletakkan pada daun, berwarna keputihan. Stadium telur 3-4 hari. Larvanya berwarna hijau dengan stadium larva 14-19 hari. Pupanya di daun dengan stadium 6-11 hari. Ngengat berwarna coklat tua. Daun yang terserang C. chalcites akan tampak tinggal epidermis dan tulang daunnya (Harnoto 1981) .

(17)

Pengendalian Hama Terpadu

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan pendekatan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. Ini berarti bahwa pengendalian hama harus terkait dengan pengelolaan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan ekosistem dimaksudkan agar tanaman dapat tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap hama. Untuk itu, petani harus melakukan pemantauan lapang secara rutin. Dengan demikian, perkembangan populasi dan faktor-faktor penghambat lainnya dapat diatasi/diantisipasi dan faktor-faktor pendukung dapat dikembangkan. Apabila dengan pengelolaan ekosistem tersebut masih terjadi peningkatan populasi dan serangan hama, langkah selanjutnya adalah tindakan pengendalian.

Smith (1983) mendefinisikan Pengendalian Hama Terpadu sebagai pengendalian hama yang menggunakan semua teknik dan metode yang sesuai dalam cara-cara yang seharmonis-harmonisnya dan mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang menyebabkan kerusakan ekonomi di dalam keadaan lingkungan dan dinamika populasi spesies hama yang bersangkutan. Pengendalian Hama Terpadu bertujuan untuk membatasi penggunaan pestisida sesedikit mungkin tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi pertanian masih dapat dicapai. Oleh karena itu PHT tersebut secara global telah memperoleh penerimaan dan tanggapan yang positif dari para pengambil keputusan, para petani, dan tentunya para konsumen produk pertanian di seluruh dunia yang merindukan bahan makanan yang bebas residu (Untung 1993). Penggunaan pestisida masih diperbolehkan dalam PHT, tetapi aplikasinya menjadi alternatif terakhir apabila cara-cara pengendalian lainnya tidak mampu mengatasi peledakan hama atau penyakit. Pestisida yang dipilih pun harus yang efektif dan diizinkan (Sabirin & Elfahmi 2010). Penggunaan pestisida dilakukan apabila populasi hama meningkat dan berada di atas suatu aras populasi hama yang dinamakan sebagai Ambang Ekonomi (AE).

(18)

tanaman karena serangannya tetap berada pada tingkatan yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) Pengurangan resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua taktik atau metode pengendalian hama. Taktik PHT, terutama adalah: 1) Pemanfaatan proses pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami, 2) Pengelolaan ekosisem melalui usaha bercocok tanam, yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi perikehidupan hama serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati, 3) Pengendalian fisik dan mekanis yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama yang normal, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama, dan 4) Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi hama pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida didasarkan atas sifat fisiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida diputuskan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan direkomendasikan. Ada empat prinsip yang harus dilaksanakan dalam penerapan PHT, yaitu pembudidayaan tanaman sehat, pelestarian musuh alami, pemantauan secara rutin, dan pengambilan keputusan pengendalian oleh petani (Arifin 1999).

Budidaya Tanaman Sehat

(19)

a. Penanaman varietas tahan

Penanaman varietas tahan sebagai salah satu komponen sistem PHT berfungsi sebagai cara pengendalian utama dan juga sebagai tambahan terhadap cara pengendalian lain. Penggunaan varietas tahan memiliki keunggulan, antara lain bersifat spesifik, kumulatif, persisten, murah, dan kompatibel dengan cara pengendalian lain, khususnya pengendalian hayati. Kelemahan penggunaan varietas tahan adalah kemungkinan terjadinya perkembangan biotipe serangga yang mampu menyerang varietas tahan.

b. Penanaman benih/bibit sehat

Benih/bibit yang akan ditanam dipilih berdasarkan kriteria: bersertifikat dan sehat, unggul, dan tahan hama. Benih/bibit yang sehat apabila ditanam akan tumbuh lebih cepat dan lebih tahan terhadap gangguan hama. Untuk itu, jangan menggunakan benih/bibit yang berasal dari pertanaman yang terserang hama. c. Sanitasi

Sisa-sisa tanaman, gulma, dan tanaman inang lainnya di sekitar pertanaman merupakan tempat bertahan hidup hama. Oleh karena itu, pemusnahannya perlu dilakukan untuk memperkecil sumber inokulum awal (Arifin 1999).

Pelestarian Musuh Alami

(20)

maka inangnya akan segera mati. Parasitoid dapat menyerang telur, larva, nimfa, pupa atau imago inang. Contoh parasitoid penting adalah lebah Cephalonomia stephanoderis yang memarasit kumbang penggerek buah kopi, Hypothenemus hamperi. Berbagai jenis patogen serangga dapat menyebabkan infeksi pada inangnya. Kelompok patogen serangga utama adalah cendawan, virus, dan bakteri. Contoh patogen serangga penting adalah cendawan Beauveria bassiana yang menginfeksi kumbang penggerek buah kopi, virus Baculovirus oryctes yang menginfeksi kumbang nyiur, Oryctes rhinoceros, dan bakteri Bacillus thuringiensis. Patogen serangga dapat diproduksi secara massal dengan biaya relatif murah dalam bentuk cairan atau tepung yang dalam pelaksanaannya di lapang dapat disemprotkan seperti halnya dengan pestisida (Arifin 1999).

Usaha melestarikan musuh alami dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: 1) Pendayagunaan teknik budidaya tanaman sehat yang mendorong berperannya musuh alami, misalnya penanaman varietas tahan, sanitasi selektif dan penanaman dengan sistem tumpangsari, 2) Pengumpulan dan pemeliharaan kelompok telur. Parasitoid telur yang muncul dibiarkan lepas ke pertanaman, sedangkan telur yang menetas menjadi ulat, dimusnahkan, 3) Penggunaan pestisida secara bijaksana. Pestisida digunakan secara selektif, sebagai pilihan terakhir apabila populasi hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain dan apabila berdasarkan hasil pemantauan, populasi hama telah melampaui ambang kendali (Arifin 1999).

Serangga Predator

(21)
(22)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kampung Sukamukti RT 05 RW 09 Desa Cibodas Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut dari bulan November 2011 sampai Februari 2012. Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Budidaya Wortel

Penelitian dilaksanakan pada lahan petani milik Ahmad Soleh. Lahan yang menjadi lokasi penelitian terletak pada ketinggian sekitar 1700 m dpl yang terdiri dari 6 gundukan. Lokasi penelitian yang digunakan adalah wilayah Cikajang. Pemilihan lokasi ini berdasarkan survei dengan pertimbangan luas lahan seluas 4200 m2 dan umur tanaman 2 MST. Wortel ditanam oleh petani dengan cara ditebar, varietas yang digunakan adalah varietas lokal. Budidaya tanaman yang dilakukan meliputi pembajakan tanah, pembersihan, pemupukan awal, penebaran benih, dan sanitasi. Pupuk yang diberikan adalah pupuk kandang, EM4, dan urea. Tindakan pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani adalah sanisati lahan dengan intensitas 2 minggu sekali.

Pengamatan Hama dan Musuh Alami

Pengamatan hama dan musuh alami dilakukan mulai umur tanaman wortel 2 minggu setelah tanam (MST). Pengamatan dilakukan dengan mengkombinasikan metode pengamatan langsung dan pemasangan perangkap jebakan (pitfall trap).

a. Pengamatan Langsung

(23)

dicatat, jika ada yang tidak diketahui maka dibawa dan diidentifikasi di Laboratorium Ekologi Serangga.

b. Pemasangan Perangkap Jebakan (Pitfall trap)

(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Cikajang memiliki luas wilayah 12.495 ha yang terdiri dari sebelas desa, yaitu Desa Giriawas, Desa Cikajang, Desa Cikandang, Desa Margamulya, Desa Simpang, Desa Mekarjaya, Desa Cipangramatan, Desa Mekarsari, Desa Padasuka, Desa Cibodas, dan Desa Girijaya. Secara geografis, kecamatan ini dibatasi oleh Kecamatan Cisurupan, Kecamatan Cigedug, Kecamatan Banjarwangi, Kecamatan Pamulihan, Kecamatan Pakenjeng, Kecamatan Cisompet, dan Kecamatan Cihurip.

Sumber daya alam di Kecamatan Cikajang ini terdiri dari tujuh sektor, yaitu : sektor pertanian (cabe besar, kentang, kubis, petsay, tomat, wortel, labu siam, jeruk, alpukat), sektor peternakan (ternak besar, unggas), sektor perkebunan (kina, kopi, teh), sektor kehutanan (kayu pinus, kayu rimba, getah pinus), sektor perikanan (budi daya ikan air tawar), sektor kelautan, dan sektor pertambangan (toseki, emas, batu, andesit).

Proporsi wilayah menurut penggunaan lahan di kecamatan ini adalah : perkampungan 8%, pesawahan 2%, tegalan/kering semusim 8%, kebun campuran 15%, perkebunan 37%, dan hutan 28%. Petani di desa ini sudah lama menanami lahannya dengan sayur-sayuran termasuk wortel. Berdasarkan profil desa di atas maka desa ini termasuk daerah yang memenuhi kriteria penanaman sayuran. Kebanyakan petani menggunakan budidaya yang konvensional dimana dalam aplikasi penggunaan pestisida dan pupuk dalam dosis yang cukup tinggi.

(25)

Komposisi dan Peran Arthropoda pada Agroekosistem Wortel

Komposisi dan peran Arthropoda pada agroekosistem wortel selama 12 kali pengamatan dengan metode langsung ditunjukan pada gambar 1, sedangkan dengan pitfall trap pada gambar 2 dan 3.

Gambar 1 Komposisi dan perkembangan populasi Arthropoda pada agroekosistem wortel dengan pengamatan secara langsung

Melalui pengamatan langsung (Gambar 1) ditemukan bahwa hama mendominasi dari predator, dan pengurai. Keberadaan hama dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 23 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 9 MST dengan jumlah 366 imago. Keberadaan predator dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 40 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 11 MST dengan jumlah 56 imago. Sedangkan keberadaan pengurai dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 20 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 5 MST dengan jumlah 22 imago. Populasi predator dan hama terlihat tidak terkait erat dengan adanya waktu jeda antara kenaikan populasi hama dan predator. Ini diungkapkan karena predator yang ditemukan umumnya predator yang bersifat general.

0 50 100 150 200 250 300 350 400

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Juml ah se ra ng g a (imag o)

Minggu setelah tanam (MST)

(26)

Gambar 2 Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem wortel dengan pitfall trap

Melalui pitfall trap (Gambar 2) yang mendominasi adalah pengurai dengan keberadaannya dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 20 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 11 MST dengan jumlah 622 imago. Di sini terlihat bahwa keberadaan pengurai jumlahnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan hama, predator, dan parasitoid. Untuk melihat keberadaan dari hama, predator, dan parasitoid dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3 Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem wortel dengan pitfall trap (tanpa pengurai)

0 100 200 300 400 500 600 700

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Juml ah se ra ng g a (imag o)

Minggu setelah tanam (MST)

Hama Predator Pengurai Parasitoid 0 10 20 30 40 50 60

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Juml ah se ra ng g a (imag o)

Minggu setelah tanam (MST)

(27)

Gambar 3 menjelaskan keberadaan dari hama, predator, dan parasitoid. Keberadaan hama dimulai pada saat tanaman berumur 3 MST dengan jumlah 1 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 9 MST dengan jumlah 7 imago. Keberadaan dan puncak populasi predator terdapat pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 50 imago. Sedangkan keberadaan hanya ditemukan pada saat tanaman berumur 3, 5, dan 9 MST dengan jumlah 1 imago.

(28)

Gambar 4 Perkembangan populasi hama dengan pengamatan secara langsung

Hama-hama yang ditemukan pada metode pitfall trap (Gambar 5) adalah Acrididae, Cicadellidae, Gryllotalpidae, Gryllidae, dan Crysomellidae. Hama yang mendominasi adalah Gryllidae dengan keberadaannya dimulai pada saat tanaman berumur 6 MST dengan jumlah 2 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 7, 8, dan 12 MST dengan jumlah 3 imago. Acrididae keberadannya dimulai pada saat tanaman berumur 3 MST dengan jumlah 1 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 5 dan 9 MST dengan jumlah 2 imago. Keberadaan Empoasca sp. terdapat pada saat tanaman berumur 4, 5, 7, 8, dan 9 MST dengan jumlah masing-masing 1 imago. Gryllotalpidae (orong-orong) keberadaannya ditemukan pada saat tanaman berumur 6 dan 7 MST dengan jumlah masing-masing 1 imago. Orong-orong dapat merusak tanaman pada semua fase tumbuh, merusak akar muda dan bagian pangkal tanaman yang berada di bawah tanah. Sedangkan Crysomellidae keberadaannya hanya pada saat tanaman berumur 9 MST dengan jumlah 1 imago.

0 50 100 150 200 250 300

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Juml

ah

se

ra

ng

g

a

(imag

o)

Minggu setelah tanam (MST)

(29)

Gambar 5 Perkembangan populasi hama dengan pitfall trap

Hasil dari gambar 4 dan gambar 5 mempunyai kesamaan hama yang didapat, yaitu Acrididae, Cicadellidae, dan Gryllidae. Tetapi untuk mengetahui populasi hama lebih efektif menggunakan metode pengamatan langsung. Hal ini terlihat dari jumlah populasi antara hama yang sama dari hasil pengamatan langsung dan pitfall trap, di mana hasil pengamatan langsung jumlah populasinya lebih banyak.

Predator serta musuh alami lain yang ditemukan pada pengamatan secara langsung adalah Formicidae, Lycosidae, Coccinellidae, Mantidae, dan Sphecidae. Populasi yang dominan pada hasil pengamatan adalah Formicidae dan Lycosidae. Sedangkan untuk Coccinellidae, Mantidae, dan Sphecidae populasinya rendah (Gambar 6).

Formicidae keberadaannya dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 25 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 11 MST dengan jumlah 35 imago. Peran semut sangat beragam, yaitu sebagai pemakan bangai, cendawan, nektar, sekresi tumbuhan, biji, sekresi kutu daun (aphid), dan predator (pemangsa) artropoda lainnya (Holldobler & Wilson 1996). Sebagian besar spesies semut adalah sebagai predator, sehingga memiliki peran penting dalam ekosistem. Semut yang ditemukan pada pengamatan pun bersifat sebagai predator. Lycosidae (Lycosa pseudoannulata) keberadaannya dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 15 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 3 MST dengan jumlah 21

0 1 2 3 4

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Juml ah se ra ng g a (imag o)

Minggu setelah tanam (MST) Acrididae

(30)
(31)

Gambar 6 Perkembangan Populasi predator musuh alami lain, dan pengurai dengan pengamatan secara langsung

Predator serta musuh alami lain yang ditemukan pada pengamatan dengan metode pitfall trap adalah Collembola, Muscidae, Formicidae, Braconidae, Chelisochidae, Carabidae, dan Lysocidae. Keberadaan Collembola dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 20 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 11 MST dengan jumlah 622 imago. Collembola memiliki kerapatan tertinggi pada metode ini, karena merupakan artropoda penghuni tanah dan serasah yang semakin tua umur tanaman serasah yang ada pada permukaan tanah juga semakin banyak (Johan 2011). Collembola mendominasi dari segi kelimpahan individu ini karena ordo Collembola merupakan penghuni tanah yang berukuran kecil antara 0,23-9 mm dan ordo ini makan bahan tumbuhan yang membusuk, jamur, bakteri , serta tinja arthropoda dan bahan lainnya (Rizali 2002). Menurut Boror et al. (1992) menyatakan bahwa populasi Collembola dalam tanah bisa mencapai 100.000 tiap m3, sehingga memungkinkan jumlah Collembola yang didapatkan dalam pitfall trap banyak. Secara tidak langsung Collembola berpengaruh dalam pelepasan karbon dan nitrogen dari bahan-bahan organik. Persebaran Collembola salah satunya dipengaruhi oleh faktor kelembapan relatif tanah. Ketika musim kemarau populasinya menurun karena terjadi peningkatan aktivitas Collembola untuk

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Juml ah se ra ng g a (imag o)

Minggu setelah tanam (MST)

[image:31.595.116.492.102.509.2]
(32)

mencari makan dan air pada keadaan kering dan meningkatnya pemangsaan Collembola, antara lain oleh pemangsa kelompok Arachnida.

Gambar 7 Perkembangan populasi predator , musuh alami lain, dan pengurai dengan

pitfall trap

Gambar 8 menjelaskan Populasi predator, musuh alami lain, dan pengurai dengan pitfall trap (tanpa Collembola). Formicidae awal keberadaan dan puncak populasinya terdapat pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 39 imago. Braconidae keberadaannya ditemukan pada saat tanaman berumur 3, 5, dan 9 MST dengan jumlah 1 imago. Lycosidae awal keberadaan dan puncak populasinya pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 11 imago. Muscidae awal keberadaan pada saat tanaman berumur 3 MST dengan jumlah 1 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 5 MST dengan jumlah 8 imago. Keberadaan Carabidae selama pengamatan hanya ditemukan pada saat tanaman berumur 3 MST dengan jumlah 1 imago. Fase imago Carabidae berbentuk pipih, berwarna metalik, dan memiliki mandibula yang kuat (Kalshoven 1981). Carabidae biasanya hidup dalam atau dekat tanah, aktif pada malam hari (nokturnal), pada siang hari serangga ini bersembunyi di bawah daun, di bawah batu ataupun di bawah batang tanaman. Larva maupun imago Carabidae merupakan musuh dari serangga terutama ulat dan kepompongnya. Sedangkan Chelisochidae (cecopet) keberadaannya ditemukan pada saat tanaman berumur 6,

0 100 200 300 400 500 600

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Juml ah se ra ng g a (imag o)

Minggu setelah tanam (MST)

[image:32.595.111.500.133.354.2]
(33)

hari dan bersembunyi di siang hari dalam celah-celah dan lubang-lubang kecil di bawah kulit kayu atau serasah. Biasanya memakan bagian tumbuhan yang mati dan busuk, tetapi beberapa jenis lainnya adalah pemangsa, dan beberapa jenis berasosiasi dengan mamalia.

Gambar 8 Perkembangan populasi predator, musuh alami lain, dan pengurai dengan

pitfall trap (tanpa Collembola)

Hasil dari Gambar 6 dan gambar 7 mempunyai kesamaan predator, musuh alami lain, dan pengurai dengan pitfall trap (tanpa Collembola) yang didapat, yaitu Formicidae dan Lycosidae. Populasi Formicidae dan Lycosidae hasil pengamtan langsung dan pitfall trap tidak begitu beda jauh. Tetapi untuk mengetahui populasi Collembola lebih efektif menggunakan metode pitfall trap karena terlihat dari gambar 7 yang jumlahnya sangat jauh dari yang lain dan Collembola merupakan Arthropoda tanah.

Hasil dari pengamatan dapat kita ketahui populasi hama pada pertanaman wortel tidak mencapai Ambang Ekonomi (AE) yang dapat menyebabkan kerusakan pada pertanaman wortel. Selain itu populasi predator dan musuh alami lain dapat menekan populasi hama, sehingga pengendalian sintetik tidak perlu dilakukan. 0 5 10 15 20 25 30 35 40

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Juml ah se ra ng g a (imag o)

[image:33.595.114.489.190.414.2]
(34)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah predator dapat ditemukan dalam jumlah yang cukup besar dari mulai awal tanam sampai menjelang panen. Predator-predator yang dapat ditemukan umumnya dari kelompok Lycosidae dan Formicidae. Pengamatan langsung dan pitfall trap menghasilkan perbedaan komposisi arthropoda yang teramati. Pada pengamatan langsung, yang dominan teramati adalah hama Tagasta marginella sementara pada pitfall trap adalah serangga lain Collembola. Secara umum, pertanaman wortel pada daerah pengamatan dalam kondisi daun yang rusak karena gejala dari Tagasta marginella, dengan hasil panen sebesar 2.02 kg /m2.

Saran

(35)

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2010. Produksi sayuran holtikultura Indonesia. [internet]. [diunduh 2012 Maret 10]; Tersedia pada: http://www.bps.go.id.[16/.

Anonim. 1992. Petunjuk bergambar untuk identifikasi hama dan penyakit kedelai Indonesia. Penerbit Prognas PHT, Puslitbangtan, Balittan, dan JIC. Jakarta. P. 43-83.

Arifin M. 1999. Pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama utama tanaman teh, kopi, dan kelapa. Seminar Pemasyarakatan PHT Tanaman Perkebunan. Dinas Perkebunan Kabupaten Bogor, 4-5 Agustus 1999. 19 p.

Backus EA, Hunter WB. 1989. Comparison of feeding behavior of the potato leafhopper Empoasca fabae (Homoptera: Cicadellidae) on alfalfa and broad bean leaves. Environ Entomol. 18: 473-480.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1989. Pengenalan Pelajaran Serangga. Ed ke-6. Soetiono Porto Soejono, Penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect (Sixth Edition).

Busniah M. 1995. Pengaruh Kerapatan dan Jenis Gulma Terhadap Arthropoda Predator Pada Pertanaman Kedelai [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Efenly D. 2006. Analisis pelaksanaan sekolah lapang pengendalian hama terpadu dan hubungannya dengan aktivitas kelompok tani di Kabupaten Belitung [Tesis]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Harnoto. 1981. Pengaruh beberapa formulasi insektisida terhadap biologi Plusia chalcites Esper. Thesis FPS-IPB. 61 p.

Holldobler B, Wilson EO. 1996. The Ants. Cambridge: Belknap Press. Harvard University.

(36)

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru- van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Kartohardjono A, T Teryana, WR Atmadja dan Nursasongko. 1989. Peranan Predator Cyrtorhinus sp. dalam Memangsa Wereng Coklat pada Tanaman Padi. Edisi Khusus No. 2. Penelitian Wereng Coklat 1987/1988. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor.

Laba IW. 1999. Aspek biologi dan potensi beberapa predator hama wereng pada tanaman padi. Jurnal Litbang Pertanian 18 (2).

Oka IN. 1995.Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pitojo S. 2006. Benih Wortel. Jakarta: Kanisius.

Rahadian R, Tarwotjo U, Hadi MH . 2009. Entomologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Rukmana R. 1995. Bertanam Wortel. Yogyakarta: Kanisius.

Sabirin Elfahmi M. 2010. Study dampak sekolah lapang pengendalian hama terpadu. Medan: Balai Besar P2TP.

Santoso T. 1993. Dasar-dasar Patologi Serangga. Prosiding Makalah Simposium Patologi Serangga I. Kerjasama PEI Cabang Yogyakarta, Fak. Pertanian UGM dan Program Nasional PHT/BAPPENAS Yogyakarta 12-13 Oktober 1993.

Smith Ray F. 1983. Multidisciplinary conceptual statement: Integrated Pest Control. An introductory statement from the FAO/UNEP Panel on Integrated Pest Control Consortium for Internatl Crop Protection. Berkeley, USA, 30 pp.

Sunarjono Hendro. 1984. Kunci Bercocok Tanam Sayur-sayuran Penting di Indonesia. C.V Sinar Baru, Bandung.

(37)
(38)

Lampiran 1 Perkembangan Populasi Hama dengan Pengamatan secara Langsung

Famili Jumlah serangga (ekor) pada saat MST ke-

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Acrididae 23 30 40 65 61 150 115 265 95 134 150 240

Gryllidae 0 0 1 17 17 19 10 10 20 30 14 5

Cicadellidae 0 0 0 13 62 43 60 90 20 25 45 25

Noktuidae 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0

Lampiran 2 Perkembangan Populasi Hama dengan Pitfall trap

Famili Jumlah serangga (ekor) pada saat MST ke-

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Acrididae 0 1 0 2 0 0 0 2 0 0 1 0

Cicadellidae 0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0

Gryllotalpidae 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0

Gryllidae 0 0 0 0 2 3 3 2 2 0 3 2

(39)

30

3

0

Lampiran 3 Perkembangan Populasi Predator dan Musuh Alami Lain dengan Pengamatan secara Langsung

Famili Jumlah serangga (ekor) pada saat MST ke-

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Formicidae 25 24 25 9 14 4 3 8 9 35 33 22

Lysocidae 15 21 9 16 17 10 10 15 17 20 16 7

Coccinellidae 0 2 1 2 1 2 1 1 2 0 0 0

Muscidae 20 15 11 22 15 6 20 14 2 5 2 1

Mantodae 0 0 0 0 1 0 1 2 0 1 0 2

Sphecidae 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Lampiran 4 Perkembangan Populasi Predator , Musul Alami Lain, dan pengurai dengan Pitfall trap

Famili Jumlah serangga (ekor) pada saat MST ke-

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Formicidae 39 8 5 11 5 2 10 17 22 6 8 20

Lysocidae 11 4 2 3 2 7 1 5 2 1 1 1

Braconidae 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0

Collembola 20 13 477 256 176 416 175 458 355 622 470 540

Muscidae 0 1 2 8 0 0 3 0 0 0 0 0

Carabidae 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

(40)

a b

c d

e f

g h
(41)

a b

c d

e f

g h
(42)

ABSTRAK

SITI SYARAH MAESYAROH. Peran Predator serta Musuh Alami Lain pada Agroekosistem Wortel di Wilayah Cikajang Kabupaten Garut. Dibimbing oleh DADAN HINDAYANA.

Produktivitas wortel di Indonesia masih rendah yang disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Dalam mengendalikan OPT, petani umumnya masih menggunakan pestisida sintetik yang menimbulkan efek negatif. Oleh karena itu pendekatan lain yang lebih berwawasan lingkungan perlu diupayakan untuk diterapkan. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan metode pengendalian hama yang berwawasan lingkungan dan telah ditetapkan sebagai kebijakan utama pengendalian hama dan penyakit di Indonesia. Predator merupakan salah satu kelompok musuh alami yang sangat penting dalam pengendalian biologi dan merupakan komponen yang dapat membantu menurunkan populasi hama. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan dan kelimpahan musuh alami, khususnya predator yang dapat dijadikan komponen dalam strategi PHT. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah hama dan musuh alami lain yang berada pada pertanaman wortel dan sekitarnya secara langsung serta menggunakan pitfall trap. Pengambilan sampel dilakukan setiap minggu dengan jumlah sampel sebanyak 25 yang ditentukan secara acak sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah predator dapat ditemukan dalam jumlah yang cukup besar dari mulai awal tanam sampai menjelang panen. Predator-predator yang dapat ditemukan umumnya dari kelompok Lycosidae dan Formicidae. Pengamatan langsung dan pitfall trap menghasilkan perbedaan komposisi arthropoda yang teramati. Pada pengamatan langsung, yang dominan teramati adalah hama Tagasta marginella, sementara pada pitfall trap adalah serangga lain Collembola. Secara umum, pertanaman wortel pada daerah pengamatan dalam kondisi daun yang rusak karena gejala dari Tagasta marginella, dengan hasil panen sebesar 2.02 kg /m2.

(43)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wortel merupakan salah satu sayuran yang ditanam di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang bersuhu 15.6o C sampai dengan 21.1o C. Daerah tersebut umumnya berada pada kisaran ketinggian 1000 sampai dengan 1200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Suhu dingin diperlukan untuk pertumbuhan yang optimum karena wortel berasal dari wilayah subtropis. Daerah yang disinyalir sebagai asal-usul wortel adalah Timur Dekat (Asia Kecil, Traus-Caucasia, Iran, dan dataran tinggi Turkmenistan) dan Asia Tengah (Punjab, Kashmir, Afganistan, Tajikistan, dan bagian barat Tian-shan) (Rukmana 1995).

Meskipun bukan tanaman asli Indonesia, wortel telah dibudidayakan secara meluas. Menurut BPS (2010), luas areal panen wortel nasional mencapai 27.149 ha yang tersebar di 21 propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, NTT, NTB, Aceh, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Papua, Maluku, Banten, dan Jambi. Meskipun demikian daerah sentra wortel yang termasuk kategori empat besar, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

(44)

Cercospora, hawar daun, dan bengkak akar (Root Knot) wortel. Sejauh ini petani menggunakan pengendalian secara sintetik, yang menimbulkan efek negatif dan mulai dirasakan misalnya muncul resistensi hama, resurjensi, makhluk bukan sasaran binasa, ledakan hama sekunder, predator dan parasitoid ikut mati, mencemari lingkungan, meninggalkan residu di dalam dan bagian-bagian tanaman, pembesaran biologik, dan menimbulkan kecelakaan bagi manusia (Oka 1995). Oleh karena itu pendekatan lain yang lebih berwawasan lingkungan perlu diupayakan untuk diterapkan. Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan metode pengendalian hama yang berwawasan lingkungan dan telah ditetapkan sebagai kebijakan utama pengendalian hama dan penyakit di Indonesia (UU No 12 tahun 1992).

Pengendalian hama terpadu (PHT) pada prinsipnya adalah berusaha untuk bekerjasama dengan alam, bukan melawannya, sedangkan aktivitas kelompok tani menggambarkan, bagaimana petani dalam kelompoknya merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat ekologi, sosial maupun ekonomi secara bersama (Efenly 2006). Komponen pengendalian hama secara terpadu salah satunya adalah pengendalian dengan menggunakan musuh alami. Teori dasar dalam pengelolaan hama adalah mempertimbangkan komponen musuh alami dalam strategi pemanfaatan dan pengembangannya. Musuh-musuh alami dimanfaatkan sebagai pengendali hama agar fluktuasi kepadatan rata-rata populasi hama selalu rendah. Musuh-musuh alami ini digolongkan menjadi predator, parasitoid, patogen serangga (jamur, bakteri, virus, nematoda), dan vertebrata (mamalia, burung, amphibia, ikan). Potensi musuh alami khususnya parasitoid dan predator cukup besar untuk menurunkan populasi hama, ditinjau dari laju pertumbuhan dan kemampuan memangsa.

(45)

Informasi mengenai komposisi predator dan musuh alami lainnya yang dominan pada tanaman wortel belum diketahui secara detail. Oleh karena itu, penelitian mengenai peran predator serta musuh alami lainnya dilaksanakan pada pertanaman wortel di Kecamatan Cikajang. Kecamatan Cikajang merupakan salah satu sentra pertanian yang memiliki potensi dan keadaan wilayah yang sangat sesuai dalam penanaman sayuran, diantaranya wortel. Hasil panen dari wilayah ini sudah bisa mencukupi permintaan pasar di sekitar Garut, sehingga sebagian dipasarkan di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, dan kota besar lainnya.

Tujuan Penelitian

(46)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Wortel Taksonomi Tanaman Wortel

Dalam taksonomi tumbuhan, wortel diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas : Dicotyledone (biji berkeping dua) Ordo : Umbelliferales

Famili : Umbelliferae (Apiaceae) Genus : Daucus

Spesies : Daucus corata L.

Dari suku pegagan-pegagan (Umbelliferae) ini, kerabat dekat wortel adalah seledri (Apium graveolens L.) dan petroseli atau Parsley (petroselinum crispum Mill.). Seledri dan petroseli sudah dibudidayakan secara komersial di beberapa negara di dunia sebagai sayuran daun. Di Indonesia wortel dikenal dengan nama daerah, di antaranya disebut bortol (Sunda, Priangan), wertel, wertol atau bortol (Jawa), dan ortel (Madura) (Pitojo 2006).

Morfologi Tanaman Wortel

(47)

atau jingga. Secara alami tanaman wortel dapat berbunga dan berbuah (berbiji). Bunga wortel berbentuk payung berganda. Kuntum-kuntum bunganya terletak pada bidang lengkung yang sama, warnanya putih atau merah jambu agak pucat. Bunga-bunga wortel dapat menghasilkan buah dan biji yang ukurannya kecil-kecil dan berbulu. Biji-biji ini dapat digunakan sebagai alat (bahan) perbanyakan wortel secara generatif (Pitojo 2006).

Varietas Wortel

Wortel memiliki banyak varietas, karena tiap tahun perusahaan-perusahaan benih di dunia kontinu menghasilkan varietas baru. Meskipun demikian dari ragam varietas tersebut, Sunarjono (1984) mengelompokkan jenis wortel berdasarkan bentuk umbinya ke dalam 3 golongan, yaitu :

1. Tipe Imperator, yaitu golongan wortel yang bentuk umbinya bulat panjang dengan ujung runcing, hingga mirip bentuk kerucut.

2. Tipe Chantenay, yaitu golongan wortel yang bentuk umbinya bulat panjang dengan ujung tumpul dan tidak berakar serabut.

3. Tipe Nantes, yaitu golongan wortel yang mempunyai bentuk umbi tipe peralihan antara tipe Imperator dan Chantenay.

Syarat Tumbuh Tanaman Wortel

(48)

Hama Utama Tanaman Wortel

Hyposidra sp.. Spesies ini termasuk famili Geometridae dari genus Hyposidra. Serangga ini bertubuh kecil, berukuran panjang 40 mm, dan memiliki pelindung kulit berwarna abu-abu terang, seperti kulit kayu. Di bagian punggung terdapat bintik-bintik kecil, dan memiliki dua pasang kaki belakang dan tiga pasang kaki depan. Larva Hyposidra bersifat polifag, memakan daun muda dan bunga tanaman. Tanaman inangnya antara lain tanaman sayuran, termasuk tanaman wortel. Pupa (kepompong) berada di dekat permukaan tanah dan setelah beberapa hari berubah menjadi ngengat. Ngengat berukuran kecil, lembut, bertubuh ramping, bersayap agak lebar, dan ditandai dengan adanya garis bergelombang. Ujung antena tidak menggelembung, ngengat Hyposidra tertarik pada cahaya, terbang lemah, dan aktif pada malam hari. Gejala serangan yang ditimbulkan oleh hama ini adalah terdapat luka gigitan serangga pada daun muda (Pitojo 2006).

Heliothis assulta Gn.. Spesies Heliothis assulta termasuk ordo Lepidoptera, famili Noctuidae, dan genus Heliothis. Hama ini dikenal sebagai ulat pupus. Telur ulat diletakkan secara tunggal di atas permukaan daun, sehingga pada satu tanaman biasanya hanya terdapat satu ulat. Warna larva beragam, tetapi kebanyakan hijau dengan strip membujur. Larva muda agak berambut. Ulat bersifat kanibal dan fitofag. Stadium larva berlangsung antara 2-3 minggu, sementara daur hidup berlangsung selama 4 minggu. Ngengat berupa kupu kecil, suka menghisap madu bunga, dan mampu memproduksi telur sebanyak 500-2000 butir. Tanaman inang Heliothis assulta relatif terbatas dibandingkan dengan Heliothis armigera. Beberapa tanaman inang hama ini yaitu tembakau, ceplukan, jagung, sorgum, kapas, kentang, jarak, dan kedelai. Gejala serangan yang ditimbulkan oleh hama ini adalah terdapat kerusakan pucuk tanaman karena ulat memakan pucuk daun yang mengakibatkan pertumbuhan daun salah bentuk. Daun-daun muda berlubang (Pitojo 2006).

(49)

berlangsung selama 18 hari, stadium pupa 6-7 hari, dan stadium telur hingga imago sekitar 45 hari. Tanaman inang hama ini antara lain jagung, kacang-kacangan, dan tanaman sayuran. Hama ini menyerang bagian pucuk tanaman muda hingga putus sehingga tanaman layu dan terkulai (Pitojo 2006).

Nezara viridula. Hama ini termasuk ordo Hemiptera, famili Pentatomidae, genus Nezara, dan spesies Nezara viridula. Kepik berwarna hijau polos, bagian kepala dan pronotum berwarna jingga atau kuning keemasan. Induk mampu menghasilkan telur sekitar 250 butir. Telur berwarna putih, diletakkan secara berkelompok 10-50 butir. Telur yang akan menetas berwarna merah bata. Nimfa mengalami pergantian kulit sebanyak 5 kali. Nimfa instar 1 dan 2 berwarna hitam dan berbintik-bintik putih. Instar 3, 4, dan 5 masing-masing berwarna hijau, berbintik-bintik hitam dan putih, serta berukuran semakin besar. Stadium imago maksimal berlangsung selama 47 hari, stadium telur 6 hari, dan stadium nimfa 23 hari. Gejala serangan hama ini berupa bintik coklat pada kulit batang muda dan daun (Pitojo 2006).

Coccinella spp.. Kumbang Coccinella bertubuh besar dan berbentuk oval mendekati bulat. Kepala tersembunyi di bawah pronotum dan memiliki antena pendek. Serangga dewasa berwarna cerah, yaitu kuning, orange, atau merah dengan noda-noda hitam, kuning, atau merah. Serangga dewasa bertelur setelah kawin. Telur berwarna kuning, diletakkan pada permukaan daun dengan posisi berdiri. Larva berwarna gelap dan ada yang bebercak kuning. Coccinella memakan mesofil daun, meninggalkan daun berlubang seperti jendela kecil. Selain menyerang daun, serangga ini juga memakan tangkai daun (Pitojo 2006).

Chrysodeixis chalcites. Serangga hama ini dikenal dengan ulat jengkal atau green semilooper, termasuk ordo Lepidoptera, famili Noctuidae dan mempunyai daerah penyebaran di Indonesia. Telur C. chalcites diletakkan pada daun, berwarna keputihan. Stadium telur 3-4 hari. Larvanya berwarna hijau dengan stadium larva 14-19 hari. Pupanya di daun dengan stadium 6-11 hari. Ngengat berwarna coklat tua. Daun yang terserang C. chalcites akan tampak tinggal epidermis dan tulang daunnya (Harnoto 1981) .

(50)

Pengendalian Hama Terpadu

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan pendekatan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. Ini berarti bahwa pengendalian hama harus terkait dengan pengelolaan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan ekosistem dimaksudkan agar tanaman dapat tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap hama. Untuk itu, petani harus melakukan pemantauan lapang secara rutin. Dengan demikian, perkembangan populasi dan faktor-faktor penghambat lainnya dapat diatasi/diantisipasi dan faktor-faktor pendukung dapat dikembangkan. Apabila dengan pengelolaan ekosistem tersebut masih terjadi peningkatan populasi dan serangan hama, langkah selanjutnya adalah tindakan pengendalian.

Smith (1983) mendefinisikan Pengendalian Hama Terpadu sebagai pengendalian hama yang menggunakan semua teknik dan metode yang sesuai dalam cara-cara yang seharmonis-harmonisnya dan mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang menyebabkan kerusakan ekonomi di dalam keadaan lingkungan dan dinamika populasi spesies hama yang bersangkutan. Pengendalian Hama Terpadu bertujuan untuk membatasi penggunaan pestisida sesedikit mungkin tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi pertanian masih dapat dicapai. Oleh karena itu PHT tersebut secara global telah memperoleh penerimaan dan tanggapan yang positif dari para pengambil keputusan, para petani, dan tentunya para konsumen produk pertanian di seluruh dunia yang merindukan bahan makanan yang bebas residu (Untung 1993). Penggunaan pestisida masih diperbolehkan dalam PHT, tetapi aplikasinya menjadi alternatif terakhir apabila cara-cara pengendalian lainnya tidak mampu mengatasi peledakan hama atau penyakit. Pestisida yang dipilih pun harus yang efektif dan diizinkan (Sabirin & Elfahmi 2010). Penggunaan pestisida dilakukan apabila populasi hama meningkat dan berada di atas suatu aras populasi hama yang dinamakan sebagai Ambang Ekonomi (AE).

(51)

tanaman karena serangannya tetap berada pada tingkatan yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) Pengurangan resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua taktik atau metode pengendalian hama. Taktik PHT, terutama adalah: 1) Pemanfaatan proses pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami, 2) Pengelolaan ekosisem melalui usaha bercocok tanam, yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi perikehidupan hama serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati, 3) Pengendalian fisik dan mekanis yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama yang normal, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama, dan 4) Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi hama pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida didasarkan atas sifat fisiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida diputuskan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan direkomendasikan. Ada empat prinsip yang harus dilaksanakan dalam penerapan PHT, yaitu pembudidayaan tanaman sehat, pelestarian musuh alami, pemantauan secara rutin, dan pengambilan keputusan pengendalian oleh petani (Arifin 1999).

Budidaya Tanaman Sehat

(52)

a. Penanaman varietas tahan

Penanaman varietas tahan sebagai salah satu komponen sistem PHT berfungsi sebagai cara pengendalian utama dan juga sebagai tambahan terhadap cara pengendalian lain. Penggunaan varietas tahan memiliki keunggulan, antara lain bersifat spesifik, kumulatif, persisten, murah, dan kompatibel dengan cara pengendalian lain, khususnya pengendalian hayati. Kelemahan penggunaan varietas tahan adalah kemungkinan terjadinya perkembangan biotipe serangga yang mampu menyerang varietas tahan.

b. Penanaman benih/bibit sehat

Benih/bibit yang akan ditanam dipilih berdasarkan kriteria: bersertifikat dan sehat, unggul, dan tahan hama. Benih/bibit yang sehat apabila ditanam akan tumbuh lebih cepat dan lebih tahan terhadap gangguan hama. Untuk itu, jangan menggunakan benih/bibit yang berasal dari pertanaman yang terserang hama. c. Sanitasi

Sisa-sisa tanaman, gulma, dan tanaman inang lainnya di sekitar pertanaman merupakan tempat bertahan hidup hama. Oleh karena itu, pemusnahannya perlu dilakukan untuk memperkecil sumber inokulum awal (Arifin 1999).

Pelestarian Musuh Alami

(53)

maka inangnya akan segera mati. Parasitoid dapat menyerang telur, larva, nimfa, pupa atau imago inang. Contoh parasitoid penting adalah lebah Cephalonomia stephanoderis yang memarasit kumbang penggerek buah kopi, Hypothenemus hamperi. Berbagai jenis patogen serangga dapat menyebabkan infeksi pada inangnya. Kelompok patogen serangga utama adalah cendawan, virus, dan bakteri. Contoh patogen serangga penting adalah cendawan Beauveria bassiana yang menginfeksi kumbang penggerek buah kopi, virus Baculovirus oryctes yang menginfeksi kumbang nyiur, Oryctes rhinoceros, dan bakteri Bacillus thuringiensis. Patogen serangga dapat diproduksi secara massal dengan biaya relatif murah dalam bentuk cairan atau tepung yang dalam pelaksanaannya di lapang dapat disemprotkan seperti halnya dengan pestisida (Arifin 1999).

Usaha melestarikan musuh alami dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: 1) Pendayagunaan teknik budidaya tanaman sehat yang mendorong berperannya musuh alami, misalnya penanaman varietas tahan, sanitasi selektif dan penanaman dengan sistem tumpangsari, 2) Pengumpulan dan pemeliharaan kelompok telur. Parasitoid telur yang muncul dibiarkan lepas ke pertanaman, sedangkan telur yang menetas menjadi ulat, dimusnahkan, 3) Penggunaan pestisida secara bijaksana. Pestisida digunakan secara selektif, sebagai pilihan terakhir apabila populasi hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain dan apabila berdasarkan hasil pemantauan, populasi hama telah melampaui ambang kendali (Arifin 1999).

Serangga Predator

(54)
(55)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kampung Sukamukti RT 05 RW 09 Desa Cibodas Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut dari bulan November 2011 sampai Februari 2012. Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Budidaya Wortel

Penelitian dilaksanakan pada lahan petani milik Ahmad Soleh. Lahan yang menjadi lokasi penelitian terletak pada ketinggian sekitar 1700 m dpl yang terdiri dari 6 gundukan. Lokasi penelitian yang digunakan adalah wilayah Cikajang. Pemilihan lokasi ini berdasarkan survei dengan pertimbangan luas lahan seluas 4200 m2 dan umur tanaman 2 MST. Wortel ditanam oleh petani dengan cara ditebar, varietas yang digunakan adalah varietas lokal. Budidaya tanaman yang dilakukan meliputi pembajakan tanah, pembersihan, pemupukan awal, penebaran benih, dan sanitasi. Pupuk yang diberikan adalah pupuk kandang, EM4, dan urea. Tindakan pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani adalah sanisati lahan dengan intensitas 2 minggu sekali.

Pengamatan Hama dan Musuh Alami

Pengamatan hama dan musuh alami dilakukan mulai umur tanaman wortel 2 minggu setelah tanam (MST). Pengamatan dilakukan dengan mengkombinasikan metode pengamatan langsung dan pemasangan perangkap jebakan (pitfall trap).

a. Pengamatan Langsung

(56)

dicatat, jika ada yang tidak diketahui maka dibawa dan diidentifikasi di Laboratorium Ekologi Serangga.

b. Pemasangan Perangkap Jebakan (Pitfall trap)

(57)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Cikajang memiliki luas wilayah 12.495 ha yang terdiri dari sebelas desa, yaitu Desa Giriawas, Desa Cikajang, Desa Cikandang, Desa Margamulya, Desa Simpang, Desa Mekarjaya, Desa Cipangramatan, Desa Mekarsari, Desa Padasuka, Desa Cibodas, dan Desa Girijaya. Secara geografis, kecamatan ini dibatasi oleh Kecamatan Cisurupan, Kecamatan Cigedug, Kecamatan Banjarwangi, Kecamatan Pamulihan, Kecamatan Pakenjeng, Kecamatan Cisompet, dan Kecamatan Cihurip.

Sumber daya alam di Kecamatan Cikajang ini terdiri dari tujuh sektor, yaitu : sektor pertanian (cabe besar, kentang, kubis, petsay, tomat, wortel, labu siam, jeruk, alpukat), sektor peternakan (ternak besar, unggas), sektor perkebunan (kina, kopi, teh), sektor kehutanan (kayu pinus, kayu rimba, getah pinus), sektor perikanan (budi daya ikan air tawar), sektor kelautan, dan sektor pertambangan (toseki, emas, batu, andesit).

Proporsi wilayah menurut penggunaan lahan di kecamatan ini adalah : perkampungan 8%, pesawahan 2%, tegalan/kering semusim 8%, kebun campuran 15%, perkebunan 37%, dan hutan 28%. Petani di desa ini sudah lama menanami lahannya dengan sayur-sayuran termasuk wortel. Berdasarkan profil desa di atas maka desa ini termasuk daerah yang memenuhi kriteria penanaman sayuran. Kebanyakan petani menggunakan budidaya yang konvensional dimana dalam aplikasi penggunaan pestisida dan pupuk dalam dosis yang cukup tinggi.

(58)

Komposisi dan Peran Arthropoda pada Agroekosistem Wortel

Komposisi dan peran Arthropoda pada agroekosistem wortel selama 12 kali pengamatan dengan metode langsung ditunjukan pada gambar 1, sedangkan dengan pitfall trap pada gambar 2 dan 3.

Gambar 1 Komposisi dan perkembangan populasi Arthropoda pada agroekosistem wortel dengan pengamatan secara langsung

Melalui pengamatan langsung (Gambar 1) ditemukan bahwa hama mendominasi dari predator, dan pengurai. Keberadaan hama dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 23 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 9 MST dengan jumlah 366 imago. Keberadaan predator dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 40 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 11 MST dengan jumlah 56 imago. Sedangkan keberadaan pengurai dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 20 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 5 MST dengan jumlah 22 imago. Populasi predator dan hama terlihat tidak terkait erat dengan adanya waktu jeda antara kenaikan populasi hama dan predator. Ini diungkapkan karena predator yang ditemukan umumnya predator yang bersifat general.

0 50 100 150 200 250 300 350 400

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Juml ah se ra ng g a (imag o)

Minggu setelah tanam (MST)

[image:58.595.109.497.181.387.2]
(59)
[image:59.595.104.502.76.803.2]

Gambar 2 Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem wortel dengan pitfall trap

[image:59.595.113.495.78.318.2]

Melalui pitfall trap (Gambar 2) yang mendominasi adalah pengurai dengan keberadaannya dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 20 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 11 MST dengan jumlah 622 imago. Di sini terlihat bahwa keberadaan pengurai jumlahnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan hama, predator, dan parasitoid. Untuk melihat keberadaan dari hama, predator, dan parasitoid dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3 Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem wortel dengan pitfall trap (tanpa pengurai)

0 100 200 300 400 500 600 700

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Juml ah se ra ng g a (imag o)

Minggu setelah tanam (MST)

Hama Predator Pengurai Parasitoid 0 10 20 30 40 50 60

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1

Gambar

Gambar 1  Komposisi dan perkembangan populasi Arthropoda pada agroekosistem
Gambar 2  Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem
Gambar 4  Perkembangan populasi hama dengan pengamatan secara langsung
Gambar 5  Perkembangan populasi hama dengan pitfall trap
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat kondisi sekarang ini yang lebih mengutamakan pertanian modern yang lebih banyak menggunakan bahan-bahan yang berbahan dasar kimia, sehingga dapat berakibat

Bu çalışmada, Çalışma ve Sosyal Güvenlik Bakanlığı’nın hazırladığı Ulusal İstihdam Stratejisi’nin orta vadeli programı göz önünde bulundurularak,

dengan sistem penambahan tekanan udara melalui penghasilan alat Wiz merupakan salah satu cara untuk meninggikan kecekapan isipadu dapat meningkatkan kuasa keluaran enjin pada

Sehubungan dengan itu, pengkaji telah menghasilkan modul pembeiajaran elektronik (MPE) Pengenalan Pelancongan H i l l berbentuk cakera padat interaktif bagi menangani masalah

Hasil analisis ragam maka diperoleh hasil pemberian pakan jerami dengan berbagai perlakuan teknologi dalam pakan domba jantan lokal memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

Halaman X-Presi Riau Pos telah mendapat perhatian dari siswa MAN 1 Pekanbaru, maka proses selanjutnya adalah mengerti terhadap halaman X- Presi Riau Pos, berdasarkan

Sayangnya membandingkan H hasil ukur (H merupakan sebagai acuan) dengan H hasil hitung (Q merupakan sebagai acuan) dan membandingkan Q hasil ukur (Q merupakan sebagai

Analisis kandungan logam berat Timbal (Pb) pada air laut dan kerang darah (Anadara granosa) dilakukan dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy) .Adapun