• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Paraquat, Difenoconazol, dan BPMC (Buthylphenylmethyl Carbamate) Terhadap CO2 yang Dilepaskan dari Bahan Gambut dengan Inkubasi Tertutup dan Terbuka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberian Paraquat, Difenoconazol, dan BPMC (Buthylphenylmethyl Carbamate) Terhadap CO2 yang Dilepaskan dari Bahan Gambut dengan Inkubasi Tertutup dan Terbuka"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

(Buthylphenylmethyl Carbamate) TERHADAP CO2 YANG DILEPASKAN DARI BAHAN GAMBUT DENGAN INKUBASI TERTUTUP DAN

TERBUKA

YULI HERDIANI A14080066

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RINGKASAN

YULI HERDIANI Pengaruh Pemberian Paraquat, Difenoconazol, dan BPMC (Buthylphenylmethyl Carbamate) Terhadap CO2 yang Dilepaskan dari Bahan

Gambut dengan Inkubasi Tertutup dan Terbuka. Dibawah bimbingan SUPIANDI SABIHAM dan BUDI NUGROHO.

Penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian dianggap praktis dalam membasmi hama dan penyakit tanaman. Namun kemudian muncul kehawatiran akan dampak pencemaran lingkungan baik pada air maupun tanah. Selain itu masalah lingkungan lain yang penting pada tanah gambut yaitu emisi karbon. Tanah gambut memiliki kandungan C-organik yang tinggi, sehingga apabila karbon hilang melalui proses oksidasi maka akan mempercepat pelepasan karbon yang sebagian besar dipancarkan ke atmosfer. Akan tetapi bahan organik juga mampu menjerap bahan aktif pestisida, dengan demikian diharapkan aplikasi pestisida di tanah gambut dapat mengurangi proses pelepasan karbon.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Paraquat, Difenoconazol, dan BPMC terhadap CO2 yang dilepaskan dalambentuk konsentrasi

dan fluks dari bahan gambut dengan inkubasi tertutup dan terbuka. Waktu inkubasi terdiri dari 1 hari, 2 hari, 4 hari, 5 hari, dan 7 hari. Waktu ini dipilih sesuai dengan masa retensi pestisida yaitu ± 2 minggu. Pengukuran konsentrasi dan fluks CO2

menggunakan alat IRGA (Infrared gas Analysis) tipe LI-802. Gas dari sungkup tertutup (closed chamber) dialirkan ke IRGA dengan menggunakan sebuah pompa dan konsentrasi CO2 langsung dibaca oleh IRGA setiap detik selama kurang lebih 2,5

menit. Penelitian terdiri dari inkubasi tertutup dan terbuka. Pada inkubasi tertutup dilakukan pengukuran konsentrasi CO2, sedangkan pada inkubasi terbuka dilakukan

pengukuran fluks CO2.

Hasil penelitian menunjukan pada tujuh hari pertama inkubasi konsentrasi CO2

meningkat. Pada inkubasi tertutup perlakuan pemberian paraquat, difenoconazol, dan BPMC konsentrasi CO2 yang terukur masing-masing sebesar 6.282,98 ppm, 5.043,72

ppm, dan 5.112,69 ppm. Sedangkan kontrol tanah konsentrasi CO2 yang terukur

adalah sebesar 4.716,70 ppm. Pada perlakuan inkubasi terbuka setelah tujuh hari inkubasi fluks CO2 yang terukur pada perlakuan paraquat, difenoconazol, dan BPMC

adalah 0,009 mg/m2/sec, 0,005 mg/m2/sec dan 0,015 mg/m2/sec serta kontrol memiliki fluks CO2 sebesar 0,001 mg/m2/sec. Dosis aplikasi yang rendah serta waktu

inkubasi yang singkat belum dapat menurunkan konsentrasi CO2 pada tanah gambut

secara nyata karena dosis aplikasi yang rendah dan waktu aplikasinya yang relatif singkat.

(3)

SUMARRY

YULI HERDIANI Effect of Paraquat, Difenoconazol, and BPMC (Buthylphenylmethyl Carbamate) on CO2 Release from Peat Materials with Opened

and Closed Incubation. Under Supervision of SUPIANDI SABIHAM and BUDI NUGROHO.

The use of pesticides in agriculture is considered practically to eradicate the pests and plant diseases. However there are woried about the impact of environmental pollution on soil and water. In addition, other important environmental issues from the peat soil is carbon emissions. Peat soils have high organic carbon, so that when the carbon is lost through oxidation process, it will be speed up the release of the carbon emitted into the atmosphere. However, the organic material from peat soil is able to absorb the active materials of pesticides. Therefore, the application of pesticides in peat soils can be expected reduce the carbon release.

This study aimed to find out the effect of Paraquat, Difenoconazol, and BPMC (Buthylphenylmethyl Carbamate) on CO2 release from Peat in the form of

concentrations and fluxes Materials with Opened and Closed Incubation. Incubation time consists of 1 day, 2 days, 4 days, 5 days, and 7 days. The time was selected according with the retention of pesticides is less than 2 weeks. CO2 concentration and

flux measurements is used by IRGA (Infrared Gas Analysis) type LI-802. Gases from a closed chamber flowed into the IRGA by using a pump and CO2 concentration

directly read by IRGA every second for approximately 2,5 minutes. The study consisted of closed and opened incubation. In a closed incubation measured of CO2

concentrations, while the open incubation measured of CO2 flux .

The results showed in the first seven days of closed incubation, can be increased of the CO2 concentration. In a closed incubation treatment of paraquat,

difenoconazol, and BPMC CO2 concentration measured at 6.282,98 ppm, ppm

5.043,72, and 5.112,69 ppm. While control of soil is equal to 4.716,70 ppm. In the opened incubation treatment of paraquat, difenoconazol, and BPMC CO2 flux

measured is 0,009 mg/m2/sec, 0,005 mg/m2/sec, and 0,015 mg/m2/sec and control of soil has 0,001 mg/m2/sec. The low rate application of pesticide has not impacted significantly on reducing CO2 concentrations and the relatively short time of

application.

(4)

4

PENGARUH PEMBERIAN PARAQUAT, DIFENOCONAZOL, DAN BPMC (Buthylphenylmethyl Carbamate) TERHADAP CO2 YANG DILEPASKAN

DARI BAHAN GAMBUT DENGAN INKUBASI TERTUTUP DAN TERBUKA

YULI HERDIANI A14080066

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut

Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

(5)

(Buthylphenylmethyl Carbamate) Terhadap CO2 yang

Dilepaskan dari Bahan Gambut dengan Inkubasi Tertutup dan Terbuka

Nama Mahasiswa : Yuli Herdiani

NRP : A14080066

Departemen : Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Menyetujui,

Dosen pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr Dr. Ir. Budi Nugroho, M.Si NIP. 19490105 197403 1 001 NIP. 19601021 198703 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr.Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 17 Juni 1990 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Alm. Aan Sulaeman (Ayah) dan Yeni Yulia Andayani (Ibu). Penulis memulai studinya di Taman Kanak-Kanak (TK)

Bhayangkari Talaga pada tahun 1996. Kemudian melanjutkan sekolah dasar di SD Talaga Kulon I sampai tahun 2002. Tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan dari SMP Negeri I Talaga. Selanjutnya pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri I Talaga kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(7)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Paraquat, Difenoconazol, dan BPMC (Buthylphenylmethyl Carbamate) Terhadap CO2 yang Dilepaskan dari Bahan Gambut dengan

Inkubasi Tertutup dan Terbuka”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr selaku Dosen Pembimbing I atas arahan,

motivasi, dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Budi Nugroho, M.Si selaku Dosen Pembimbing II atas bimbingan,

arahan, dan saran yang telah di berikan dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc selaku Dosen Penguji yang telah memberikan

kritik, saran, dan masukan kepada penulis dalam memperbaiki penulisan skrpisi

ini.

4. Kak Indri Hapsari Fitriyani atas bantuan, masukan, bimbingan, dan arahan

selama kegiatan penelitian berlangsung.

5. Pegawai Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah serta seluruh staff dan

karyawan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. 6. Teman-teman MSL 45 atas kebersamaannya selama perkuliahan.

Kritik dan saran yang membangun penulis harapkan dalam skripsi ini sehingga bisa menjadi lebih baik. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, 2013

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

I. PENDAHULUAN... 1

1.2. Latar Belakang... 1

1.3. Tujuan... 2

II.TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1. Gambut... 3

2.2. Genesis dan Proses Pembentukan Gambut... 3

2.3. Sifat dan Ciri Tanah Gambut... 4

2.4. Fungsi Lingkungan Tanah Gambut... 6

2.5. Pestisida... 7

III. METODE PENELITIAN... 11

3.1.Waktu, Lokasi Pengambilan Bahan Gambut, dan Tempat Penelitian... 11

3.2. Bahan dan Alat Penelitian... 11

3.3. Metode... 11

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 15

4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah... 15

4.2. Hasil Analisis Sifat Kimia dan Kadar Serat... 15

4.3. Pengukuran Konsentrasi CO2 Pada Inkubasi Tertutup... 19

4.4. Pengukuran Fluks CO2 Pada Inkubasi Terbuka... 23

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 26

5.1. Kesimpulan... 26

5.2. Saran... 26

DAFTAR PUSTAKA... 27

(9)

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Sifat Kimia dari Bahan Gambut Kedalaman 0-20 cm... 16

2. Nilai Kisaran Kadar C-organik Pada Tiap Kematangan Gambut di Kalimantan Tengah... 17

3. Hasil Analisis Kadar Serat dan Tingkat Dekomposisi... 18

4. Konsentrasi CO2 dari Bahan Gambut dengan Herbisida Paraquat... 19

5. Konsentrasi CO2 dari Bahan Gambut dengan Fungisida Difenoconazol... 20

6. Konsentrasi CO2 dari Bahan Gambut dengan Insektisida BPMC... 21

7. Konsentrasi CO2 dari Kontrol Bahan Gambut... 21

8. Fluks CO2 dari Bahan Gambut dengan Herbisida Paraquat... 23

9. Fluks CO2 dari Bahan Gambut dengan Fungisida Difenoconazol... 24

10. Fluks CO2 dari Bahan Gambut dengan Insektisida BPMC... 24

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Gambar saat Pengukuran gas CO2 dengan IRGA (Infrared Gas

Analysis)... 13 2. Kriteria Tes Laboratorium Untuk Indeks Pirofosfat Dan Presentase

(11)

Nomor Halaman

1 Grafik pH Tanah Setelah Inkubasi... 31

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan lahan gambut untuk sektor pertanian pangan saat ini banyak dilakukan mengingat sulitnya mendapatkan lahan yang lebih berkualitas. Salah satu kendala yang dihadapi petani di lahan gambut adalah adanya serangan hama dan penyakit, yang tidak hanya mengganggu produksi tetapi juga mengakibatkan kegagalan panen. Upaya petani untuk menanggulangi masalah tersebut diantaranya dengan menggunakan pestisida.

Tanah gambut memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Menurut Sriyani dan Salam (2008) bahan organik tanah merupakan komponen tanah yang memengaruhi persistensi, mobilitas, degradasi, dan ketersediaan suatu herbisida dalam tanah. Tanah dengan kandungan bahan organik tinggi umumnya mempunyai daya jerap yang tinggi terhadap herbisida, sehingga mobilitas dan ketersediaan herbisida menjadi menurun. Aplikasi herbisida di lahan gambut diharapkan dapat efektif dijerap oleh tanah dan tidak mencemari lingkungan.

Penggunaan lahan gambut yang tidak bijak untuk kegiatan pertanian dapat menyebabkan kerusakan ekosistem lahan gambut tersebut. Masalah lahan gambut yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini adalah emisi karbon dari lahan gambut.

Tanah gambut memiliki kandungan C-organik yang tinggi, sehingga apabila karbon hilang melalui proses oksidasi akan menambahkan karbon yang cukup signifikan ke atmosfer.

Menurut Setyanto (2008), penggunaan herbisida paraquat dan glifosat mampu menurunkan emisi metana secara nyata antara 60-70% dibandingkan yang tidak menggunakan herbisida. Penggunaan herbisida berdampak positif terhadap emisi gas metan, akan tetapi penelitian terhadap emisi CO2 belum banyak diketahui. Pemberian

(13)

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian paraquat, difenoconazol, dan BPMC terhadap emisi CO2 dari bahan gambut dengan

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambut

Gambut secara harfiah didefinisikan sebagai sisa tanaman yang tertimbun dalam masa dari ratusan sampai ribuan tahun. Menurut epistemologi, gambut adalah material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sebagian yang

mengalami perombakan (decomposed). Menurut konsep pedologi, gambut adalah bentuk hamparan daratan yang morfologi dan sifat-sifatnya sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik yang dikandungnya. Menurut konsep ekologi, gambut adalah sumber dan rosot (sink) karbon sehingga dapat masuk sebagai sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global (Noor, 2001).

Menurut Radjagukguk (2000), akumulasi gambut yang membentuk lahan gambut berlangsung pada lingkungan yang jenuh atau tergenang air, kadang-kadang disertai oleh kondisi-kondisi lain yang menghambat aktivitas mikroba. Vegetasi yang menghasilkan akumulasi gambut adalah yang sangat adaptif pada kondisi jenuh atau tergenang air seperti bakau (mangrove) semak rumput rawa (reed swamp), dan hutan air tawar

Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang berdrainase buruk (Agus dan Subiksa, 2008)

2.2Genesis dan Proses Pembentukan Gambut

Gambut terbentuk secara bertahap sehingga menunjukkan berlapis-lapis seiring

(15)

gambut terjadi pada periode Holosine antara 5000-10.000 tahun, kemudian dalam ribuan tahun lambat laun terbentuk lapisan gambut yang semakin tebal sehingga membentuk kubah gambut (peat dome) (Noor, 2001). Hipotesis lain menyatakan pembentukan rawa gambut diawali oleh pengendapan dan pertumbuhan vegetasi bakau yang kemudian menjadi hutan padang, khususnya pada dataran pantai (Noor, 2009).

Menurut Radjagukguk (2000), di dataran rendah dan daerah pantai, proses akumulasi bahan organik tersebut menghasilkan pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen, yang hamaparannya berbentuk kubah (dome). Gambut ombrogen terbentuk dari vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun. Gambut ini terbentuk dari vegetasi rawa yang sepenuhnya bergantung pada masukan hara dari air hujan dan bukan lagi dari tanah mineral di bawah atau dari rembesan air

tanah, sehingga miskin hara dan bersifat masam.

2.3Sifat dan Ciri Tanah Gambut

(16)

5

Pada umumnya tanah gambut Indonesia mempunyai pH berkisar antara 2.8-4.5 dan kemasaman potensial mencapai >50 cmol/kg. Ketersediaan unsur-unsur makro N, P, K serta sejumlah unsur mikro pada umumnya berharkat rendah (Maas et al.,

2000).

Karaktristik kimia tanah gambut bersifat spesifik, menjadikan tanah gambut berbeda dengan tanah mineral bahkan dengan tanah organik lainnya. Gambut adalah timbunan bahan organik yang mempunyai laju perombakan lambat. Lambatnya perombakan tanah gambut akibat rendahnya aktivitas mikroorganisme. Hal tersebut dipengaruhi antara lain oleh potensial redoks, nisbah C/N, pH, suhu, dan kelembaban. Karakteristik kimia utama pada tanah gambut antara lain kemasaman tanah, ketersediaan hara tanah, KTK, kadar abu, kadar asam organik tanah, dan kadar pirit atau sulfur (Noor, 2001).

Kapasitas Tukar Kation (KTK) gambut tergolong tinggi, tetapi kejenuhan basa (KB) sangat rendah. Muatan negatif pada tanah gambut seluruhnya merupakan muatan tergantung pH (pH dependent charge) (Widyati dan Rostiwati, 2010). Menurut Soepardi (1983), muatan negatif tergantung pH adalah muatannya bersifat tidak permanen tetapi langsung berhubungan dengan pH tanah. Muatan ini diduga berasal dari berbagai sumber. Pada tanah gambut sumber utama adalah kelompok karboksilat (COOH) dan fenol (fenil-OH) pada koloid humus. Tiap kelompok itu mempunyai hidrogen terikat secara kovalen yang tidak didesosiasikan pada pH rendah, akan tetapi dengan menaiknya pH, hidrogen berdesosiasi sambil meninggalkan muatan negatif pada koloid.

(17)

Sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting untuk dipertimbangkan dalam pemanfaatannya untuk pertanian maupun kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008).

2.4. Fungsi Lingkungan Tanah Gambut 2.4.1. Emisi Gas Rumah Kaca

Gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida, uap air, klorofluorokarbon (CFC), metan dan nitrogen oksida merupakan gas-gas yang dapat memicu meningkatnya panas di permukaan bumi (global warming). Meningkatnya GRK ini dapat menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri diartikan

sebagai proses masuknya radiasi matahari dan terjebaknya radiasi tersebut di atmosfer akibat GRK sehingga menaikkan suhu permukaan bumi. Sekitar 80-90 % radiasi yang terjebak memberikan kehangatan bagi makhluk hidup di bumi (Kartikawati et al., 2011).

Gas rumah kaca dilepaskan (diemisikan) dari lahan gambut dalam bentuk CO2,

CH4 (metan), dan N2O. Di antara ketiga gas tersebut, CO2 merupakan GRK terpenting

karena jumlahnya yang relatif besar, terutama dari lahan gambut yang sudah berubah

fungsi dari hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Emisi CH4 cukup besar

pada gambut yang berada dalam keadaan alami yang pada umumnya terendam atau

jenuh air. Bila gambut didrainase maka emisi CO2 menjadi dominan dan emisi CH4

menjadi sangat berkurang. Jumlah emisi GRK dari tanah gambut untuk selang waktu

tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan cadangan karbon pada tanah gambut

yang terjadi pada selang waktu tersebut (Agus et al., 2011).

2.4.2.Emisi Karbondioksida dari Lahan Gambut

Simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada tanah gambut itu

sendiri dan yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan seterusnya pada tanaman

(18)

7

tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung pada faktor alam dan campur

tangan manusia. Kemarau panjang berakibat pada penurunan muka air tanah yang

selanjutnya dapat mempercepat emisi CO2 dari tanah gambut. Cara pengelolaan lahan

pertanian pada lahan gambut, seperti pembakaran, pembuatan drainase, dan

pemupukan mempengaruhi tingkat emisi CO2 Pembakaran/kebakaran lahan gambut

dapat menurunkan cadangan karbon di dalam jaringan tanaman dan didalam gambut

yang berarti meningkatkan emisi dari kedua sumber tersebut. Pemupukan dapat

meningkatkan emisi disebabkan meningkatnya aktivitas mikroba. Sebaliknya, pada

lahan gambut yang sudah terlanjur didrainase, penurunan kedalaman muka air tanah,

misalnya melalui pemasangan empang pada saluran (canal blocking) dapat

memperlambat emisi (Agus et al., 2011).

Penggunaan herbisida paraquat dan glifosfat dapat menurunkan emisi gas CH4.

Kandungan bahan aktif dalam herbisida tersebut diduga menghambat aktivitas bakteri metanogen namun mekanisme penghambatannya belum diketahui secara jelas. Selain herbisida paraquat dan glifosat, penggunaan organoklorin dan hexakloro-sikloheksan (HCH) juga dapat menekan perkembangan bakteri metanogen. Meskipun herbisida dapat digunakan untuk mereduksi emisi CH4, penggunaannya harus sesuai dengan

anjuran sehingga tidak meninggalkan residu dalam tanah yang akan menimbulkan pencemaran lingkungan (Kartikawati et al., 2011).

2.5. Pestisida

(19)

rupa hingga berada di bawah batas ambang ekonomi atau ambang kendali (Anonim, 2010).

Menurut Kementrian Pertanian (2012), pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:

a. memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,

bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;

b. mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan c. memberantas atau mencegah hama air.

d. memberantas atau mencegah binatang dan jasad renik.

e. memberantas atau mencegah binatang yang dapat menyebabkan penyakit

pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

Pestisida merupakan salah satu zat yang banyak dijumpai dan digunakan secara luas oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, serta mudah didapatkan mulai dari pedesaan sampai perkotaan. Penggunaan pestisida meliputi bidang pertanian subsektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan karantina pengawetan hasil pertanian. Berbagai uji coba penggunaan pestisida pada tanaman padi menunjukkan bahwa pestisida dapat melindungi tanaman dari serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Selanjutnya tanaman dapat tumbuh dengan baik sehingga mampu memberikan hasil yang lebih tinggi daripada tanaman tanpa aplikasi pestisida (Rahayuningsih, 2009).

(20)

9

2.5.1. Klasifikasi Kimiawi Pestisida

Pestisida dikelompokan ke dalam kelas, golongan, atau kelompok kimia berdasarkan persamaaan struktur dasar rumus kimianya. Umumnya, bahan aktif pestisida yang tergabung dalam kelompok kimia yang sama memiliki kemiripan sifat kimiawi. Insektisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai di lingkungan (tidak peresisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Salah satu nama insektisida golongan karbamat adalah fenobukarb, yang di Indonesia lebih dikenal dengan BPMC (buthylphenylmethyl carbamate). BPMC merupakan insektisisda non sistemik dengan kerja mengendalikan wereng, thrips pada tanaman padi.

Difenoconazol termasuk dalam golongan fungisida yang bersprektum cukup luas terutama mengendalikan berbagai jenis jamur dari kelas Ascomycetes,

Basidiomycetes, dan Deutromycetes. Difenoconazol bersifat sistemik dan diserap lewat daun. Fungisida ini digunakan untuk pengendalian secara kompleks penyakit pada tanaman buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian termasuk padi.

Paraquat merupakan golongan herbisida non selektif termasuk dalam golongan garam bipiridilium. Jika ada cahaya matahari, herbisida ini bekerja dengan sangat cepat akan memengaruhi fotosintesis dengan terbentuknya superoksida yang akan menghancurkan membran sel dan sitoplasma (Djojosumarto, 2008).

2.5.2. Penjerapan Pestisida oleh Tanah

(21)

masing-masing dengan makhluk hidup). Fase tanah dapat mengakumulasi pestisida sampai konsentrasi tinggi karena tanah mempunyai daya jerap yang tinggi, disamping itu sebagian besar pestisida bersifat hidrofobik. Peruraian pestisida di fase padatan tanah lebih dominan daripada di fase larutan tanah karena padatan tanah mengandung berbagai senyawa yang berfungsi sebagai katalis dan merupakan tempat mikroorganisme tumbuh (Rahayuningsih, 2009).

2.5.3. Penjerapan pestisida oleh tanah gambut

Tanah gambut banyak mengandung asam alifatik dan aromatik. Gambut menunjukkan afinitas yang tinggi terhadap adsorbsi pestisida paraquat dan memiliki sifat elektrostatis saat bahan organik berinteraksi dengan bahan pestisida tersebut. Dalam kondisi asam muatan pada bahan organik tanah gambut ditentukan oleh

ionisasi gugus karboksilat yang akan mendukung terhadap adsorpsi pestisida kationik. Paraquat, dengan kation bipirilidium merupakan pestisida yang dapat teradsorpsi baik pada permukaan tanah, dengan mengganti kation anorganik atau oleh mekanisme interaksi ionik dengan muatan negatif pada permukaan tanah, di mana efek elektrostatik menjadi faktor penentu (Arce et al., 2011).

(22)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu, Lokasi Pengambilan Bahan Gambut dan Tempat Penelitian Bahan gambut diambil dari Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah. Contoh tanah gambut yang digunakan diambil secara komposit dari lahan padi pasang surut pada bulan April 2012 pada kedalaman 0-20 cm. Analisis sifat kimia dan fisik tanah serta pengukuran gas CO2 dilakukan di Laboratorium Kimia dan

Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang berlangsung dari bulan Mei 2012 sampai Agustus 2012.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi bahan tanah gambut, herbisida Paraquat merk dagang Gramoxone, insektisida Difenoconazol merk dagang Score, fungisida BPMC merk dagang Bassa, aquades, serta bahan kimia untuk analisis N-total, P-total, K-total, Ca-total, Mg-total dan kadar serat bahan gambut.

Alat-alat yang digunakan meliputi gelas ukur, gelas piala, ayakan 100 μm, buku Munsell Soil Color Chart, cawan porselen, termometer, kertas saring, botol film, cawan alumunium, oven, timbangan, laptop, IRGA (Infrared gas Analysis) LICORE Li-802.

3.3 Metode 3.3.1.Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut

(23)

3.3.2.Inkubasi Bahan Gambut

Sebelum dilakukan penimbangan, bahan gambut yang digunakan untuk inkubasi dicampur, tanpa dihomogenkan dengan cara ditumbuk, diayak untuk memisahkan bagian kasar dan halus. Inkubasi bahan gambut dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Penetapan Kadar air tanah untuk menentukan volume tanah yang akan

ditimbang. Rumus yang digunakan untuk menghitung bobot tanah yang akan ditimbang adalah:

⁄ ⁄

2. Bobot tanah yang akan diinkubasi sebanyak 263.7 gram (kadar air 316%)

dimasukkan kedalam tabung inkubasi yang terbuat dari PVC.

3. Bahan gambut yang akan diinkubasi kemudian ditambahkan herbisida

(Paraquat diklorida), insektisida (difenoconazol), fungisida (BPMC) masing-masing sebanyak 10 ml dan diaduk secara merata. Konsentrasi yang diaplikasikan untuk herbisida paraquat adalah 5,5 ppm, insektisida Difenoconazol 5 ppm, dan fungisida BPMC 5 ppm.

4. Tabung inkubasi ditutup dengan plastik dan karet, untuk mencegah adanya udara yang masuk dari luar. Contoh bahan gambut yang telah diberi pestisida kemudian diinkubasi dengan waktu inkubasi yang terdiri dari 1 hari, 2 hari, 4

hari, 5 hari, dan 7 hari. Waktu inkubasi dipilih sesuai dengan waktu paruh pestisida (DT 50) yaitu ± 2 minggu.

3.3.3.Pengukuran Konsentrasi dan Fluks CO2

Pengukuran konsentrasi dan fluks CO2 pada tanah gambut yang diperlakukan

herbisida, fungisida, dan insektisida dilakukan dengan menggunakan IRGA (Infrared gas Analysis) tipe LI-802. Pada inkubasi tertutup dilakukan pengukuran konsentrasi CO2 akumulasi selama waktu inkubasi dan pada inkubasi terbuka dilakukan untuk

(24)

13

dengan menggunakan sebuah pompa dan konsentrasi CO2 langsung dibaca oleh

IRGA setiap detik selama kurang lebih 2,5 menit. Hubungan linear antara waktu pengamatan dengan konsentrasi gas CO2 digunakan untuk menghitung fluks CO2

yang keluar ke permukaan tanah (Agus et al., 2011).

Gambar 1. Gambar Saat Pengukuran gas CO2 dengan IRGA (Infrared Gas Analysis)

Perhitungan fluks CO2 dilakukan dengan langkah:

a. Perubahan konsentrasi CO2 (dCc/dt) berdasarkan grafik linear pengukuran fluks CO2di lapangan (μmol/mol) atau ppm versus waktu pengukuran (det). Persamaan

grafik linear tersebut adalah sbb:

y = konsentrasi CO2(μmol/mol) atau ppm

a = gradien konsentrasi CO2(μmol/mol/det)

b = intercept konsentrasi CO2(μmol/mol)

(25)

b. Menghitung fluks CO2

= fluks CO

2 (μmol/m 2

/det)

P = tekanan atmosfer (berdasarkan rata-rata cell Press pembacaan LI-820) h = tinggi chamber (cm)

R = konstanta gas (8,314 Pa m2/oK/ mol) T = suhu (oK)

dCc/dt = perubahan konsentrasi CO2(μmol/mol/det)

dt = waktu pengukuran (det)

3.3.4. Analisis Data

Konsentrasi CO2 yang terukur kemudian dianalisis dengan Microsoft excel

(26)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah Kabupaten Pulang Pisau merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah yang secara geografis terletak di daerah khatulistiwa, yaitu antara 0-100 LS dan 110-1200 BT. Kabupaten Pulang Pisau termasuk daerah beriklim tropis dan lembab, dengan suhu berkisar antara 26,5oC-27,5oC, suhu maksimum mencapai

32,5oC, dengan panjang penyinaran matahari di atas 50%. Hujan terjadi hampir sepanjang tahun berkisar antara 2.000-3.500 mm setiap tahun dan curah hujan terbanyak jatuh pada bulan Oktober - Desember serta Januari – Maret. Bulan kering terjadi pada bulan Juni-September (Kabupaten Pulang Pisau, 2012).

Persebaran jenis tanah di wilayah Kabupaten Pulang Pisau mengikuti pola kondisi topografinya. Di bagian Selatan, jenis tanah yang dominan adalah tanah gambut pada wilayah ini terdiri dari pantai/pesisir, rawa–rawa dengan ketinggian antara 0-5 meter. Luas lahan gambut di wilayah ini tercatat sebesar 2.789 km2

4.2. Hasil Analisis Sifat Kimia dan Kadar Serat Gambut

Tanah gambut di Kalimantan Tengah memiliki sifat kimia masam, unsur hara sangat rendah, KTK sangat tinggi, tetapi kejenuhan basa sangat rendah (Hardjowigeno, 1996). Sifat-sifat kimia tanah gambut sangat beragam, dibedakan menjadi gambut eutropik (subur), gambut mesotropik (sedang), dan gambut

oligotropik (miskin). Hasil analisis sifat kimia dari bahan gambut Kabupaten Pulang Pisau disajikan pada Tabel 1.

4.2.1 Nitrogen total dan Kandungan C-organik

Sebagian besar N-total tanah dalam bentuk organik. Menurut Hardjowigeno (1996), kandungan N-total umumnya berkisar antara 2004000 kg/ha pada lapisan 0-20 cm dan umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi, yang

(27)

Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Dari Bahan Gambut Pada Kedalaman 0-20 cm.

Sifat Kimia Nilai

pH (H2O) 4.69

C organik (%) 39.45

N-total (%) 1.37

P-total (ppm) 13

K-total (%) 14.59

Ca-total (%) 10.60

Mg-total (%) 9.34

Tanah gambut dapat menyimpan cadangan karbon jauh lebih besar dari tanah mineral, tergantung ketebalan lapisan tanah gambut tersebut. Semakin tebal lapisan

gambut, maka semakin besar cadangan karbonnya. Konsentrasi karbon di dalam tanah gambut berkisar antara 30-70 g/dm3 atau 30-70 kg/m3 atau setara dengan 300-700 t/ha/m. Dengan demikian, apabila tanah gambut mempunyai ketebalan 10 m, maka cadangan karbon di dalamnya adalah sekitar 3.000-7.000 t/ha (Agus dan Subiksa, 2008).

Nilai C-organik dari hasil analisis bahan gambut sebesar 39,47% pada kedalaman 20 cm atau setara dengan 23,7 t/ha. Kadar C-organik tanah gambut berbeda menurut kedalamannya. Semakin dalam gambut maka nilai karbon organik semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan laju dekomposisi bahan gambut tersebut. Pada lapisan atas laju dekomposisinya lebih cepat jika dibandingkan dengan lapisan bawah. Gambut dengan tingkat dekomposisi fibrik memiliki nilai kadar C-organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut dengan tingkat dekomposisi hemik dan saprik (Tabel 2).

4.2.2 Fosfor

(28)

17

menghambat aktivitas mikrob untuk mengubah P organik menjadi P inorganik melalui proses mineralisasi sehingga kandungan P-total pada tanah gambut rendah.

Tabel 2. Nilai Rata-rata Kadar C-organik pada Tiap Kematangan Gambut di Kalimantan (Wahyunto et al., 2005):

Tingkat Kematangan Gambut % C-organik

Fibrik 42.63

Hemik 36.24

Saprik 35.53

4.2.3 Kalium, Kalsium, dan Magnesium

Kandungan basa-basa pada tanah gambut umumnya rendah. Kalsium adalah mineral anorganik utama pada tanah gambut yang berasal dari batuan atau dari tanah mineral, sedimen bahan suspensi terlarut dan bio-akumulasi tumbuhan. Hasil analisis menunjukkan nilai Ca-total adalah 10.60%.

Kalium merupakan salah satu unsur makro yang jumlahnya rendah pada tanah gambut Hasil analisis menunjukkan nilai K-total adalah sebesar 14.59%.. Kapasitas erap kation K+ tanah gambut rendah sehingga mudah tercuci. Magnesium adalah salah satu unsur hara makro yang penting untuk pertumbuhan tanaman. Kandungan Mg-total pada tanah gambut yang dianalisis adalah sebesar 9.34%.

4.2.4 Kadar serat dan indeks pirofosfat

Sifat fisika tanah gambut yang umum digunakan untuk menilai tingkat kematangan gambut adalah kadar serat. Kadar serat merupakan butiran gambut yang tidak lolos saringan 100 mesh. Kadar serat adalah volume bahan organik tidak terdekomposisi yang menyusun tanah organik/gambut. Kadar serat dinyatakan dalam persentase serat dan secara kuantitatif dapat dihubungkan dengan sifat gambut

(29)

Tabel 3. Hasil Analisis Kadar Serat dan Tingkat Dekomposisi

Pengujian dengan Na-pirofosfat digunakan untuk pengujian secara visual atau secara kualitatif melalui warna ekstrak gambut dalam larutan Na-pirofosfat. Warna yang timbul dicocokan dengan warna dalam buku Munsell Soil Collor Chart, dan notasinya dicatat dengan seksama. Indeks pirofosfat merupakan selisih antara nilai value dan chroma. Hasil analisis kadar serat dihubungkan dengan indeks pirofosfat, berdasarkan metode McKinzie (1974), untuk mendapatkan tingkat dekomposisi gambut.

Gambar 2. Kriteria tes laboratorium untuk indeks pirofosfat dan presentase kadar serat (Mc Kinzie, 1974).

Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat dekomposisi gambut yang digunakan adalah hemik. Tanah gambut dengan tingkat dekomposisi hemik adalah tanah gambut dengan tingkat dekomposisi sedang. Menurut Soil Survey Staff (1999),

pada tanah gambut dengan tingkat dekomposisi hemik bahan asal pembentukannya tidak langsung dapat dikenali. Bahan gambut yang tertinggal ketika diremas dengan

% vol serat warna munsell Indeks Pirofosfat Tingkat dekomposisi

(30)

19

jari adalah 1/6-2/3 di antara jari-jari telapak tangan. Beberapa daerah dengan lahan gambut tingkat dekomposisi hemik umumnya digunakan sebagai lahan pertanian, hutan, dan habitat satwa liar. Selain itu gambut hemik berada pada daerah khatulistiwa.

4.3. Pengukuran Konsentrasi CO2 pada Inkubasi Tertutup

Inkubasi tanah gambut dengan perlakuan herbisida Gramoxone dengan bahan aktif Paraquat, fungisida Score dengan bahan aktif Difenoconazol, dan insektisida Bassa dengan bahan aktif BPMC dilakukan pada tabung tertutup untuk menghidari pengaruh dari luar pada skala laboratorium. Perubahan konsentrasi CO2 diamati pada

saat awal masa inkubasi sampai hari terakhir inkubasi. Pada pengukuran konsentrasi CO2 pada 7 hari inkubasi tidak ada CO2 yang masuk maupun yang keluar dari tabung

inkubasi yang tertutup rapat, sehingga konsentrasi CO2 yang terukur merupakan

konsentrasi CO2 akumulasi selama 7 hari inkubasi. Hasil pengukuran kosentrasi CO2

dari bahan gambut dengan herbisida Paraquat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Konsentrasi CO2 Dari Bahan Gambut dengan Herbisida Paraquat

Hari inkubasi Konsentrasi CO2 (ppm)

1 1.744,32

2 2.599,12

4 2.138,79

5 2.204,94

7 6.282,98

Perlakuan bahan gambut dengan herbisida paraquat pada hari ke-1 inkubasi konsentrasi CO2 yang terukur adalah 1.744,32 ppm, dan pada hari ke-2 inkubasi

meningkat menjadi 2.599,12 ppm. Penurunan konsentrasi terjadi pada hari ke-4 inkubasi yaitu sebesar 2.138,79 ppm. Sedangkan pada hari ke-5 dan ke-7 inkubasi konsentrasi CO2 meningkat kembali menjadi masing-masing sebesar 2.204,94 ppm

dan 6.282,98 ppm.

Pemberian paraquat menunjukan nilai konsentrasi CO2 yang lebih tinggi jika

(31)

CO2 berkorelasi dengan aktivitas mikroba dalam tanah. Dalam penelitian Sahid

(1992), penambahan paraquat pada 7 hari pertama inkubasi dapat meningkatkan produksi CO2 yang bersumber dari aktivitas pernapasan mikroba tanah. Konsentrasi

CO2 dapat terlihat menurun pada hari inkubasi lebih lama yakni pada hari ke-60 dan

dosis yang diaplikasikan lebih tinggi yaitu sebesar 100 ppm dan 250 ppm.

Tabel 5 menyajikan hasil pengukuran konsentrasi CO2 pada perlakuan

Fungisida Difenoconazol.

Tabel 5. Konsentrasi CO2 Dari Bahan Gambut dengan Fungisida Difenoconazol

Hari inkubasi Konsentrasi CO2 (ppm)

1 1.499,73

2 1.822,27

4 2.472,75

5 1.967,16

7 5.043,72

Fungisida Difenoconazol merupakan fungisida sistemik, fungisida ini masuk keseluruh jaringan tanaman serta dapat membunuh hama yang terdapat di akar,

batang, dan daun. Inkubasi bahan gambut dengan penambahan fungisida difenoconazol memiliki pola konsentrasi CO2 yang berbeda dengan inkubasi

paraquat. Pada perlakuan ini konsentrasi CO2 meningkat dari inkubasi hari ke-1, ke-2,

dan hari ke-4 yaitu sebesar 1.499,73 ppm, 1.822,27 ppm, dan 2.472,75 ppm. Namun pada inkubasi hari ke-5 terjadi penurunan konsentrasi CO2 yaitu sebesar 1.967,16

ppm, dan konsentrasi CO2 pada hari ke-7 meningkat menjadi 5.043,72 ppm.

Pemberian insektisida BPMC terhadap konsentrasi CO2 memiliki pola yang

sama dengan perlakuan difenoconazol (Tabel 6). Konsentrasi CO2 pada hari

ke-1,ke-2, dan ke-4 meningkat yaitu sebesar 1.818,07 ppm, 1.860,75 ppm, dan 2.405,61 ppm. Sedangkan pada hari ke-5 inkubasi terjadi penurunan konsentrasi sebesar 2.039,76 ppm, dan konsentrasi CO2 meningkat kembali pada masa inkubasi yaitu sebesar

(32)

21

Dalam penelitian Bartha et al. (1967), penambahan bahan pestisida golongan karbamat dapat meningkatkan produksi CO2 karena bahan aktifnya termodifikasi oleh

reaksi oksidatif. Pada 10 hari pertama inkubasi menunjukan produksi konsentrasi CO2 yang terus meningkat dan menurun setelah 10 hari waktu aplikasi.

Tabel 6. Konsentrasi CO2 Dari Bahan Gambut dengan Insektisida BPMC

Hari inkubasi Konsentrasi CO2 (ppm)

1 1.818,07

2 1.860,75

4 2.405,61

5 2.039,76

7 5.112,69

Konsentrasi CO2 pada perlakuan kontrol menunjukan pola pertambahan yang

bersesuaian dengan perlakuan difenoconazol dan BPMC dan berbeda sedikit dengan perlakuan Paraquat untuk pengamatan hari ke 4 (Tabel 7 dan Gambar 3). Pada perlakuan kontrol hari ke-1 inkubasi, konsentrasi CO2 yang terukur adalah sebesar

1.435,42 ppm, dan meningkat pada hari ke-2 yaitu sebesar 1.965,04 ppm. Pada hari ke-4 konsentrasi CO2 meningkat kembali yaitu sebesar 2.179,53 ppm dan menurun

pada hari ke-5 sebesar 1.881,27 ppm. Pada akhir masa inkubasi konsentrasi CO2 yang

terukur adalah 4.716,70 ppm.

Tabel 7. Konsentrasi CO2 Dari Kontrol Bahan Gambut

Hari inkubasi Konsentrasi CO2 (ppm)

1 1.435,42

2 1.965,04

4 2.179,53

5 1.881,27

7 4.716,70

Kenaikan konsentrasi CO2 pada awal masa inkubasi berhubungan langsung

(33)

fungisida Difenoconazol 5 ppm, dan BPMC 5 ppm sehingga pada konsentrasi tersebut belum terlihat secara signifikan pengaruhnya terhadap penurunan konsentrasi CO2 pada bahan gambut. Selain itu waktu hari inkubasi yang relatif singkat yakni 7

hari juga dapat berpengaruh terhadap belum terlihatnya penurunan konsentrasi CO2.

[image:33.612.105.534.99.445.2]

Perubahan konsentrasi CO2 selama inkubasi dapat terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik ∆ Konsentrasi CO2 selama waktu inkubasi

Pada pengamatan hari kedua perlakuan herbisida Paraquat paling tidak efektif dalam menekan emisi CO2 dibandingkan dengan perlakuan Difenoconazol dan

BPMC. Hal ini terlihat dari emisi CO2 yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Pada

pengamatan hari ke empat terjai perubahan yang mana Difenoconazol mempunyai emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan kontrol. Sedangkan Paraquat mempunyai emisi

dibawah kontrol. Pada pengamatan hari ke 5 semua perlakuan pestisida mempunyai

emisi lebih tinggi dibandingkan kontrol, demikian juga hasil pengamatan emisi CO2

hari ke 7.

Sumber CO2 dalam inkubasi tertutup tersebut dapat berasal dari 2 hal : (1)

dekomposisi bahan gambut; dan (2) respirasi mikroba. Emisi CO2 yang lebih tinggi

dari kontrol pada semua perlakuan perstisida pada pengamatan hari ke 5 dan ke 7 diduga berasal dan meningkatnya respirasi mikroba akibat pemberian pestisida.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000

1 2 4 5 7

(34)

23

Pola umum emisi CO2 pada semua perlakuan termasuk perlakuan kontrol

adalah hari ke 1 sampai ke 5 perubahan emisi CO2 relatif rendah. Peningkatan emisi

CO2 yang cukup nyata terjadi pada hari ke 5 dan ke 7. Kondisi tertutup diduga

menyebabkan kekurangan oksigen sehingga meningkatkan aktivitas respirasi mikroorganisme, sehingga tidak ada perbedaan pola antar perlakuan kontrol dengan perlakuan pestisida.

4.4. Pengukuran Fluks CO2 pada Inkubasi Terbuka

Fluks CO2 adalah besarnya aliran konsentrasi CO2 yang keluar dari suatu luasan

lahan tertentu pada periode tertentu, biasanya dinyatakan dalam mg/m2/jam. Fluks yang dihasilkan dari pengukuran dapat dikonversikan menjadi emisi yang dilepaskan ke atmosfer. Pada inkubasi terbuka dilakukan pengukuran fluks CO2 karena pada

perlakuan ini tabung inkubasi dibiarkan terbuka sehingga terdapat gas CO2 yang

masuk dan keluar, oleh karena itu pada perlakuan ini dapat diukur fluks CO2.

Hasil penelitian pada perlakuan paraquat yang diinkubasi terbuka (Tabel 8) memiliki pola yang berbeda dengan perlakuan paraquat dengan inkubasi tertutup. Pada inkubasi hari ke-1 memiliki nilai fluks sebesar 0,012 mg/m2/sec, kemudian menurun pada hari ke-2 inkubasi sebesar 0,005 mg/m2/sec. Inkubasi hari ke-4 dan ke-5 mengalami peningkatan fluks CO2 yaitu dari 0,008 mg/m2/sec menjadi 0,013

mg/m2/sec. Sedangkan pada hari ke-7 setelah masa inkubasi fluks CO2 menurun

menjadi sebesar 0,009 mg/m2/sec.

Tabel 8. Fluks CO2 dari Bahan Gambut dengan Herbisida Paraquat

Hari inkubasi Fluks CO2 (mg/m2/sec)

1 0,012

2 0,005

4 0,008

5 0,013

(35)

Pengaruh perlakuan fungisida Difenoconazol terhadap fluks CO2 dengan

inkubasi tertutup (Tabel 9) juga menunjukan pola yang berbeda dibandingkan dengan nilai fluks CO2 pada pemberian paraquat. Hari ke-1 inkubasi nilai fluks CO2 sebesar

0,070 mg/m2/sec, kemudian menurun pada hari ke-2 sebesar 0,003 mg/m2/sec. Fluks CO2 kembali meningkat pada hari ke-4 sebesar 0,005 mg/m2/sec, dan menurun pada

hari ke-5 yaitu sebesar 0,003 mg/m2/sec. Hari inkubasi ke-7 fluks CO2 meningkat

sebesar 0,005 mg/m2/sec.

Tabel 9. Fluks CO2 dari Bahan Gambut dengan Fungisida Difenoconazol

Hari Inkubasi Fluks CO2 (mg/m2/sec)

1 0,007

2 0,003

4 0,005

5 0,003

7 0,005

Fluks CO2 pada perlakuan bahan gambut dengan insektisida BPMC (Tabel 10)

menunjukan pola yang hampir sama dengan perlakuan difenoconazol. Pada hari ke-1 inkubasi fluks CO2 sebesar 0,020 mg/m2/sec, kemudian menurun pada hari ke-2

inkubasi yaitu sebesar 0,002 mg/m2/sec. Fluks CO2 meningkat pada hari ke-4 sebesar

0,007 mg/m2/sec, dan menurun pada inkubasi hari ke-5 sebesar 0,002 mg/m2/sec. Peningkatan fluks CO2 kembali terjadi pada inkubasi ke-7 yaitu sebesar 0,015

mg/m2/sec.

Tabel 10. Fluks CO2 dari Bahan Gambut dengan Insektisida BPMC

Hari inkubasi Fluks CO2 (mg/m2/sec)

1 0,020

2 0,002

4 0,007

5 0,002

(36)

25

Pada pengukuran fluks CO2 perlakuan kontrol (Tabel 11) terlihat bahwa

mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan semua perlakuan pestisida.

Tabel 11. Fluks CO2 dari Kontrol Bahan Gambut

Hari inkubasi Fluks CO2 (mg/m2/sec)

1 0,52

2 4,07

4 8,41

5 0,82

7 0,40

Hal ini menunjukkan bahwa emisi CO2 pada perlakuan kontrol lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan pestisida atau proses dekomposisi pada perlakuan kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pestisida. Hal ini menunjukkan

bahwa pesisida mampu menekan aktivitas mikroba dekomposer, sehingga emisi CO2

dari proses dekomposisi menurun drastis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pestisida mampu menekan proses dekomposisi pada tanah gambut.

Fluks CO2 dipengaruhi oleh produksi dan transpor CO2, gas CO2 dilepaskan ke

(37)

5.1 Kesimpulan

1. Perlakuan pestisida efektif menurunkan fluks emisi CO2 pada inkubasi

terbuka.

2. Fluks CO2 pada inkubasi terbuka umumnya memiliki pola yang tidak berbeda

pada perlakuan dengan pestisida serta nilainya lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol.

3. Perubahan konsentrasi CO2 pada inkubasi tertutup relatif rendah pada hari ke

1 sampai ke 5 dan terjadi peningkatan konsentrasi sangat tinggi pada hari ke 5 dan ke 7.

4. Perlakuan dengan herbisida paraquat konsentrasi CO2 yang terukur pada

inkubasi hari ke-7 sebesar 6282.98 sedangkan pada perlakuan fungisida difenoconazol konsentrasi CO2 yang terukur sebesar 5043.72 ppm dan

perlakuan dengan insektisida BPMC konsentrasi CO2 yang terukur 5112.69

ppm.

5. Pada perlakuan inkubasi terbuka fluks CO2 yang dihasilkan pada inkubasi hari

ke-7 dengan pemberian herbisida paraquat adalah 0.009 mg/m2/sec Sedangkan dengan pemberian insektisida difenoconazol 0.005 mg/m2/sec pemberian BPMC 0.015 mg/m2/sec.

6. Dosis aplikasi yang rendah serta waktu inkubasi yang singkat belum dapat

menurunkan konsentrasi CO2 pada tanah gambut secara nyata.

5.1. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap total mikroorganisme tanah

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. 2007. Cadangan, Emisi, dan Konservasi Karbon Pada Lahan Gambut ; Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: Indonesian Soil and Water Conservation Society.

Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor, Indonesia: Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF).

Agus, F., K Hairiah, dan A Mulyani. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon Tanah Gambut. Petunjuk Praktis. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA Regional Office dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP). 58 hlm.

Anonim. 2010. Apa Itu Pestisida?. http://epetani.deptan.go.id/node/apa-itu-pestisida-1528. [4 Juli 2012]

Arce, F., A.C Iglesias, R Lopez, D Gondar, Antelo, and J. S. Fiol. 2011. Interactions Between Ionic Pesticides and Model Systems For Soil Fractions. Dalam: Stoytcheva, M (Editor). Pesticides in The Modern World - Risks and Benefits. Croatia: InTech. hlm 472-488.

Bartha, R., R.P Lanzilotta, D Pramer. 1967. Stability and effects of some pesticide in soil. Applied Microbiology 15(1): 67-75.

Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian. Suatu Peluang dan Tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian. IPB.

Kartikawati, R., H.L Susilawati, M. Ariani, P. Setyanto. 2011. 21-27 September 2011. Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (Grk) Dari Lahan Sawah; Pencegahan Gas Rumah Kaca. Sinar Tani: 7.

Kabupaten Pulang Pisau. 2012. http://www.pulangpisaukab.go.id /index. php/ gambaran-wilayah-menulink-35. [11 September 2012].

(39)

Li, H., J Brian, T Cliffand, and A Stephen. 2003. Sorption and desorption of pesticides by clay minerals and humic acid-clay complexes. Soil Sci. Am.J

67(1):122-131.

Maas, A., S Kabirun. dan S Nuryani. 2000. Laju dekomposisi gambut dan dampaknya pada status hara pada berbagai tingkat pelindian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2(1): 23-22.

Moren, A.S and A Lindorth. 2000. Carbon dioxide exchange at the floor of boreal forest. Agricultural and Forest Meteorology 101:1-14.

Muktamar, Z., T Rahma, dan N Setyowati. 2006. Adsorbsi herbisida paraquat oleh tanah Dystrandep, Paleudult, dan Psamment pada berbagai konsentrasi NaCl dan MgCl2. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 8.

Noor, M. 2001. Pertanian lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Yogyakarta: Kanisius.

________. 2009. Lahan Gambut: Pengembangan, Konservasi, dan Perubahan Iklim.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Radjagukguk, B. 2000. Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut akibat reklamasi lahan gambut untuk pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan

2: 1-15.

Rahayuningsih, E. 2009. Analisis Kuantitatif Perilaku Pestisida di Tanah. Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press.

Sahid, I., A Hamzah, and P.M. Aris. 1992. Effects of paraquat and alachlor on soil microorganisms in peat soil. Universiti Kebangsaan Malaysia. Pertanika

15(2):121-125.

Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut Yang disawahkan dengan pemberian ameliorant tanah mineral berkadar besi tinggi.Disertasi, Program Pascasarjana, IPB. Bogor.

Setyanto, P. 2008. Perlu Inovasi Teknologi Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari LahanPertanian.http://old.litbang.deptan.go.id/artikel/one/207/pdf/Perlu%20 Inovasi%20Teknologi.pdf. [29 Mei 2012]

Sitaula, B.K., L.R. Bakken, G Abrahamsen, 1995. N-fertilization and soil acidification effects on N2O and CO2 emisssion from temperate pine forest

(40)

29

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor.Institut Pertanian Bogor.

Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua. Pusat Penenlitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Sriyani, N., dan A.K Salam. 2008. Penggunaan metode bioassay untuk mendeteksi pergerakan herbisida pascatumbuh paraquat dan 2,4-D dalam tanah. Jurnal Tanah Tropika 13(3): 199-208.

Widyati, E., dan T Rostiwati. 2010. Memahami Sifat-Sifat Tanah Gambut Untuk Optimasi Pemanfaatan Lahan Gambut. Buku Mitra Hutan Tanaman Vol 5 No. 2, 57-68. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan.

Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan

Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and

Peatlands in Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme dan

(41)
(42)

31

Lampiran 1. Grafik nilai pH setelah Inkubasi

a. Inkubasi Tertutup

b. Inkubasi Terbuka

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00

1 2 4 5 7

p H Tan ah Hari Inkubasi paraquat difenoconazol BPMC tanah 3.90 4.00 4.10 4.20 4.30 4.40 4.50 4.60 4.70 4.80

1 2 4 5 7

(43)

Lampiran 2. Hasil Pengukuran Fluks CO2 pada Inkubasi Terbuka

perlakuan

T chamber

(0C)

h chamber

(cm) Linear Equo

Regression

(R2)

Air Pressure(kPa) dCc/dt Lin CO2 fluxes Lin (μmol/m2 /sec) CO2 fluxes Lin

(g/m2/sec)

CO2 fluxes Lin

(mg/m2/sec)

CO2 fluxes Lin

(t/ha/th)

P1H 27 22,2 y = 0.030x + 458.6 R² = 0.669 100,96 0.030 0,27 0,000012 0,012 3,75

P2H 28 22,3 y = 0.012x + 440.0 R² = 0.306 100,96 0.012 0,11 0,000005 0,005 1,50

P4H 27 22,4 y = 0.020x + 421.9 R² = 0.038 100,93 0.020 0,18 0,000008 0,008 2,52

P5H 27 21,7 y = 0.034x + 454.6 R² = 0.434 100,91 0.034 0,30 0,000013 0,013 4,14

P7H 27 22,7 y = 0.022x + 445.0 R² = 0.531 100,92 0.022 0,20 0,000009 0,009 2,80

D1H 26 21,7 y = 0.018x + 433.4 R² = 0.724 100,96 0.018 0,16 0,000007 0,007 2,20

D2H 27 23,2 y = 0.008x + 438.1 R² = 0.256 100,89 0.008 0,07 0,000003 0,003 1,04

D4H 27 22,5 y = 0.013x + 461.5 R² = 0.435 100,86 0.013 0,12 0,000005 0,005 1,64

D5H 27 22,6 y = 0.008x + 467.2 R² = 0.486 100,87 0.008 0,07 0,000003 0,003 1,02

D7H 28 23,4 y = 0.013x + 486.0 R² = 0.136 100,88 0.013 0,12 0,000005 0,005 1,70

B1H 28 22,7 y = 0.050x + 481.3 R² = 0.837 100,84 0.050 0,46 0,000020 0,020 6,36

B2H 28 22,9 y = 0.004x + 546.1 R² = 0.104 100,83 0.004 0,04 0,000002 0,002 0,51

B4H 28 24,7 y = 0.017x + 446.8 R² = 0.266 100,81 0.017 0,17 0,000007 0,007 2,35

B5H 28 24,1 y = 0.004x + 512.1 R² = 0.150 100,78 0.004 0,04 0,000002 0,002 0,54

B7H 28 23,1 y = 0.037x + 477.9 R² = 0.616 100,78 0.037 0,34 0,000015 0,015 4,78

T1H 29 23,5 y = 0.004x + 424.9 R² = 0.106 100,75 0.004 0,04 0,000002 0,002 0,52

T2H 28 23,5 y = 0.031x + 494.4 R² = 0.498 100,74 0.031 0,29 0,000013 0,013 4,07

T4H 28 24,3 y = 0.062x + 419.7 R² = 0.799 100,73 0.062 0,61 0,000027 0,027 8,41

T5H 28 24,3 y = 0.006x + 457.1 R² = 0.055 100,71 0.006 0,06 0,000003 0,003 0,82

T7H 28 23,6 y = 0.003x + 469.0 R² = 0.070 100,75 0.003 0,03 0,000001 0,001 0,40

Keterangan : P= Paraquat, D= Difenoconazol, B= BPMC, T=kontrol Tanah, 1H= inkubasi 1 hari, 2H= inkubasi 2 hari, 4H=inkubasi 4 hari, 5H= inkubasi 5hari, 7H= inkubasi 7 hari

(44)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan lahan gambut untuk sektor pertanian pangan saat ini banyak dilakukan mengingat sulitnya mendapatkan lahan yang lebih berkualitas. Salah satu kendala yang dihadapi petani di lahan gambut adalah adanya serangan hama dan penyakit, yang tidak hanya mengganggu produksi tetapi juga mengakibatkan kegagalan panen. Upaya petani untuk menanggulangi masalah tersebut diantaranya dengan menggunakan pestisida.

Tanah gambut memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Menurut Sriyani dan Salam (2008) bahan organik tanah merupakan komponen tanah yang memengaruhi persistensi, mobilitas, degradasi, dan ketersediaan suatu herbisida dalam tanah. Tanah dengan kandungan bahan organik tinggi umumnya mempunyai daya jerap yang tinggi terhadap herbisida, sehingga mobilitas dan ketersediaan herbisida menjadi menurun. Aplikasi herbisida di lahan gambut diharapkan dapat efektif dijerap oleh tanah dan tidak mencemari lingkungan.

Penggunaan lahan gambut yang tidak bijak untuk kegiatan pertanian dapat menyebabkan kerusakan ekosistem lahan gambut tersebut. Masalah lahan gambut yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini adalah emisi karbon dari lahan gambut.

Tanah gambut memiliki kandungan C-organik yang tinggi, sehingga apabila karbon hilang melalui proses oksidasi akan menambahkan karbon yang cukup signifikan ke atmosfer.

Menurut Setyanto (2008), penggunaan herbisida paraquat dan glifosat mampu menurunkan emisi metana secara nyata antara 60-70% dibandingkan yang tidak menggunakan herbisida. Penggunaan herbisida berdampak positif terhadap emisi gas metan, akan tetapi penelitian terhadap emisi CO2 belum banyak diketahui. Pemberian

(45)

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian paraquat, difenoconazol, dan BPMC terhadap emisi CO2 dari bahan gambut dengan

(46)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambut

Gambut secara harfiah didefinisikan sebagai sisa tanaman yang tertimbun dalam masa dari ratusan sampai ribuan tahun. Menurut epistemologi, gambut adalah material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sebagian yang

mengalami perombakan (decomposed). Menurut konsep pedologi, gambut adalah bentuk hamparan daratan yang morfologi dan sifat-sifatnya sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik yang dikandungnya. Menurut konsep ekologi, gambut adalah sumber dan rosot (sink) karbon sehingga dapat masuk sebagai sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global (Noor, 2001).

Menurut Radjagukguk (2000), akumulasi gambut yang membentuk lahan gambut berlangsung pada lingkungan yang jenuh atau tergenang air, kadang-kadang disertai oleh kondisi-kondisi lain yang menghambat aktivitas mikroba. Vegetasi yang menghasilkan akumulasi gambut adalah yang sangat adaptif pada kondisi jenuh atau tergenang air seperti bakau (mangrove) semak rumput rawa (reed swamp), dan hutan air tawar

Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang berdrainase buruk (Agus dan Subiksa, 2008)

2.2Genesis dan Proses Pembentukan Gambut

Gambut terbentuk secara bertahap sehingga menunjukkan berlapis-lapis seiring

(47)

gambut terjadi pada periode Holosine antara 5000-10.000 tahun, kemudian dalam ribuan tahun lambat laun terbentuk lapisan gambut yang semakin tebal sehingga membentuk kubah gambut (peat dome) (Noor, 2001). Hipotesis lain menyatakan pembentukan rawa gambut diawali oleh pengendapan dan pertumbuhan vegetasi bakau yang kemudian menjadi hutan padang, khususnya pada dataran pantai (Noor, 2009).

Menurut Radjagukguk (2000), di dataran rendah dan daerah pantai, proses akumulasi bahan organik tersebut menghasilkan pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen, yang hamaparannya berbentuk kubah (dome). Gambut ombrogen terbentuk dari vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun. Gambut ini terbentuk dari vegetasi rawa yang sepenuhnya bergantung pada masukan hara dari air hujan dan bukan lagi dari tanah mineral di bawah atau dari rembesan air

tanah, sehingga miskin hara dan bersifat masam.

2.3Sifat dan Ciri Tanah Gambut

(48)

5

Pada umumnya tanah gambut Indonesia mempunyai pH berkisar antara 2.8-4.5 dan kemasaman potensial mencapai >50 cmol/kg. Ketersediaan unsur-unsur makro N, P, K serta sejumlah unsur mikro pada umumnya berharkat rendah (Maas et al.,

2000).

Karaktristik kimia tanah gambut bersifat spesifik, menjadikan tanah gambut berbeda dengan tanah mineral bahkan dengan tanah organik lainnya. Gambut adalah timbunan bahan organik yang mempunyai laju perombakan lambat. Lambatnya perombakan tanah gambut akibat rendahnya aktivitas mikroorganisme. Hal tersebut dipengaruhi antara lain oleh potensial redoks, nisbah C/N, pH, suhu, dan kelembaban. Karakteristik kimia utama pada tanah gambut antara lain kemasaman tanah, ketersediaan hara tanah, KTK, kadar abu, kadar asam organik tanah, dan kadar pirit atau sulfur (Noor, 2001).

Kapasitas Tukar Kation (KTK) gambut tergolong tinggi, tetapi kejenuhan basa (KB) sangat rendah. Muatan negatif pada tanah gambut seluruhnya merupakan muatan tergantung pH (pH dependent charge) (Widyati dan Rostiwati, 2010). Menurut Soepardi (1983), muatan negatif tergantung pH adalah muatannya bersifat tidak permanen tetapi langsung berhubungan dengan pH tanah. Muatan ini diduga berasal dari berbagai sumber. Pada tanah gambut sumber utama adalah kelompok karboksilat (COOH) dan fenol (fenil-OH) pada koloid humus. Tiap kelompok itu mempunyai hidrogen terikat secara kovalen yang tidak didesosiasikan pada pH rendah, akan tetapi dengan menaiknya pH, hidrogen berdesosiasi sambil meninggalkan muatan negatif pada koloid.

(49)

Sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting untuk dipertimbangkan dalam pemanfaatannya untuk pertanian maupun kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008).

2.4. Fungsi Lingkungan Tanah Gambut 2.4.1. Emisi Gas Rumah Kaca

Gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida, uap air, klorofluorokarbon (CFC), metan dan nitrogen oksida merupakan gas-gas yang dapat memicu meningkatnya panas di permukaan bumi (global warming). Meningkatnya GRK ini dapat menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri diartikan

sebagai proses masuknya radiasi matahari dan terjebaknya radiasi tersebut di atmosfer akibat GRK sehingga menaikkan suhu permukaan bumi. Sekitar 80-90 % radiasi yang terjebak memberikan kehangatan bagi makhluk hidup di bumi (Kartikawati et al., 2011).

Gas rumah kaca dilepaskan (diemisikan) dari lahan gambut dalam bentuk CO2,

CH4 (metan), dan N2O. Di antara ketiga gas tersebut, CO2 merupakan GRK terpenting

karena jumlahnya yang relatif besar, terutama dari lahan gambut yang sudah berubah

fungsi dari hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Emisi CH4 cukup besar

pada gambut yang berada dalam keadaan alami yang pada umumnya terendam atau

jenuh air. Bila gambut didrainase maka emisi CO2 menjadi dominan dan emisi CH4

menjadi sangat berkurang. Jumlah emisi GRK dari tanah gambut untuk selang waktu

tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan cadangan karbon pada tanah gambut

yang terjadi pada selang waktu tersebut (Agus et al., 2011).

2.4.2.Emisi Karbondioksida dari Lahan Gambut

Simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada tanah gambut itu

sendiri dan yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan seterusnya pada tanaman

(50)

7

tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung pada faktor alam dan campur

tangan manusia. Kemarau panjang berakibat pada penurunan muka air tanah yang

selanjutnya dapat mempercepat emisi CO2 dari tanah gambut. Cara pengelolaan lahan

pertanian pada lahan gambut, seperti pembakaran, pembuatan drainase, dan

pemupukan mempengaruhi tingkat emisi CO2 Pembakaran/kebakaran lahan gambut

dapat menurunkan cadangan karbon di dalam jaringan tanaman dan didalam gambut

yang berarti meningkatkan emisi dari kedua sumber tersebut. Pemupukan dapat

meningkatkan emisi disebabkan meningkatnya aktivitas mikroba. Sebaliknya, pada

lahan gambut yang sudah terlanjur didrainase, penurunan kedalaman muka air tanah,

misalnya melalui pemasangan empang pada saluran (canal blocking) dapat

memperlambat emisi (Agus et al., 2011).

Penggunaan herbisida paraquat dan glifosfat dapat menurunkan emisi gas CH4.

Kandungan bahan aktif dalam herbisida tersebut diduga menghambat aktivitas bakteri metanogen namun mekanisme penghambatannya belum diketahui secara jelas. Selain herbisida paraquat dan glifosat, penggunaan organoklorin dan hexakloro-sikloheksan (HCH) juga dapat menekan perkembangan bakteri metanogen. Meskipun herbisida dapat digunakan untuk mereduksi emisi CH4, penggunaannya harus sesuai dengan

anjuran sehingga tidak meninggalkan residu dalam tanah yang akan menimbulkan pencemaran lingkungan (Kartikawati et al., 2011).

2.5. Pestisida

(51)

rupa hingga berada di bawah batas ambang ekonomi atau ambang kendali (Anonim, 2010).

Menurut Kementrian Pertanian (2012), pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:

a. memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,

bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;

b. mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan c. memberantas atau mencegah hama air.

d. memberantas atau mencegah binatang dan jasad renik.

e. memberantas atau mencegah binatang yang dapat menyebabkan penyakit

pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

Pestisida merupakan salah satu zat yang banyak dijumpai dan digunakan secara luas oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, serta mudah didapatkan mulai dari pedesaan sampai perkotaan. Penggunaan pestisida meliputi bidang pertanian subsektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan karantina pengawetan hasil pertanian. Berbagai uji coba penggunaan pestisida pada tanaman padi menunjukkan bahwa pestisida dapat melindungi tanaman dari serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Selanjutnya tanaman dapat tumbuh dengan baik sehingga mampu memberikan hasil yang lebih tinggi daripada tanaman tanpa aplikasi pestisida (Rahayuningsih, 2009).

(52)

9

2.5.1. Klasifikasi Kimiawi Pestisida

Pestisida dikelompokan ke dalam kelas, golongan, atau kelompok kimia berdasarkan persamaaan struktur dasar rumus kimianya. Umumnya, bahan aktif pestisida yang tergabung dalam kelompok kimia yang sama memiliki kemiripan sifat kimiawi. Insektisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai di lingkungan (tidak peresisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Salah satu nama insektisida golongan karbamat adalah fenobukarb, yang di Indonesia lebih dikenal dengan BPMC (buthylphenylmethyl carbamate). BPMC merupakan insektisisda non sistemik dengan kerja mengendalikan wereng, thrips pada tanaman padi.

Difenoconazol termasuk dalam golongan fungisida yang bersprektum cukup luas terutama mengendalikan berbagai jenis jamur dari kelas Ascomycetes,

Basidiomycetes, dan Deutromycetes. Difenoconazol bersifat sistemik dan diserap lewat daun. Fungisida ini digunakan untuk pengendalian secara kompleks penyakit pada tanaman buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian termasuk padi.

Paraquat merupakan golongan herbisida non selektif termasuk dalam golongan garam bipiridilium. Jika ada cahaya matahari, herbisida ini bekerja dengan sangat cepat akan memengaruhi fotosintesis dengan terbentuknya superoksida yang akan menghancurkan membran sel dan sitoplasma (Djojosumarto, 2008).

2.5.2. Penjerapan Pestisida oleh Tanah

(53)

masing-masing dengan makhluk hidup). Fase tanah dapat mengakumulasi pestisida sampai konsentrasi tinggi karena tanah mempunyai daya jerap yang tinggi, disamping itu sebagian besar pestisida bersifat hidrofobik. Peruraian pestisida di fase padatan tanah lebih dominan daripada di fase larutan tanah karena padatan tanah mengandung berbagai senyawa yang berfungsi sebagai katalis dan merupakan tempat mikroorganisme tumbuh (Rahayuningsih, 2009).

2.5.3. Penjerapan pestisida oleh tanah gambut

Tanah gambut banyak mengandung asam alifatik dan aromatik. Gambut menunjukkan afinitas yang tinggi terhadap adsorbsi pestisida paraquat dan memiliki sifat elektrostatis saat bahan organik berinteraksi dengan bahan pestisida tersebut. Dalam kondisi asam muatan pada bahan organik tanah gambut ditentukan oleh

ionisasi gugus karboksilat yang akan mendukung terhadap adsorpsi pestisida kationik. Paraquat, dengan kation bipirilidium merupakan pestisida yang dapat teradsorpsi baik pada permukaan tanah, dengan mengganti kation anorganik atau oleh mekanisme interaksi ionik dengan muatan negatif pada permukaan tanah, di mana efek elektrostatik menjadi faktor penentu (Arce et al., 2011).

(54)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu, Lokasi Pengambilan Bahan Gambut dan Tempat Penelitian

Gambar

grafik linear tersebut adalah sbb:
Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Dari Bahan Gambut Pada Kedalaman 0-20 cm.
Tabel 2. Nilai Rata-rata Kadar C-organik pada Tiap Kematangan Gambut di
Tabel 3. Hasil Analisis Kadar Serat dan Tingkat Dekomposisi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ada dua faktor yang bisa menyebabkan siswa bisa mengalami rasa percaya diri yang rendah seperti itu, yaitu 1.) faktor dari dalam diri siswa (intern) ini

Sementara jika dilihat jumlah mahasiswa secara rerata lembaga, setiap STAI memiliki mahasiswa sebanyak 729 mahasiswa per STAI, sementara institut memiliki jumlah rerata

Berdasarkan pada jumlah bangunan kuno yang ada di Kota Pasuruan kemudian dilakukan survey penilaian secara objektif yang dapat dilakukan oleh peneliti menggunakan

Analisis uji F ini digunakan untuk membuktikan hipotesis dari penelitian yaitu pengaruh kepribadian entrepreneurship islam, akses informasi, dan inovasi bisnis terhadap

Pemulihan politik sebuah bangsa hanya dapat dicapai oleh pekerjaan para pelaku politik yang telah mengalami dinamika personal oleh Roh Kudus; yang dalam bahasa implisit konseptual

Walaupun jumlah sampel yang sedikit digunakan iaitu hanya 30 orang sahaja diambil, namun, persampelan rawak digunakan dalam mewakili pelajar-pelajar UKM yang lain dan

Termasuk diantaranya lembaga pendidikan Islam seperti sekolah/madrasah, pondok pesantren bahkan kini bermunculan modifikasi sekolah/madrasah dengan sistem pondok yang disebut

Jadi metode pembiasaan merupakan cara atau jalan untuk mencapai tujuan yang dilakukan secara biasa sehingga anak didik akan terbiasa dengan sesuatu yang baik dalam proses