EVALUASI PENERAPAN SANITASI, SISTEM PEMOTONGAN,
SISTEM JAMINAN HALAL DAN KEAMANAN DAGING
SAPI DI RPH KOTA PEKANBARU
BAMBANG KUNTORO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Penerapan Sanitasi, Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota Pekanbaru adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulisa lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
BAMBANG KUNTORO. Evaluation of Sanitation Implementation, Slaughtering Systems, Halal Assurance Systems and Meat Safety in Pekanbaru Slaughterhouse. Supervised by RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI and HENNY NURAINI
Meat is animal origin food and serve as a source of animal protein for human nutrition. High demand for meat is not always followed by improvement of facilities and condition in slaughterhouses. This study is to evaluate the application of standard sanitation operational procedures (SSOP), good slaughtering practices (GSP) and halal assurance system (HAS) as well as to evaluate establishment number to slaughterhouse in Pekanbaru City and meat quality analysis include physical quality (pH, color and water holding capacity), the microbial contamination, residues of heavy metals (Pb, Cd, Hg) and organophosphate pesticide (OP) residues. Random sampling was done on a population of livestock owners that slaughtered at Pekanbaru City slaughterhouse. Five livestock owners were sampling randomly for evaluate analysis. The cattle used way three heads for each. Carcass parts analyzed were Bicep femoris (BF) and Longissimus dorsi et lumbarum (LD), liver and kidneys. The results for evaluation of SSOP that was implemented is 54.65% and the assessment establishment number deviations indicate that there are 57 minor, 35 major, 14 serious and 8 critical. Implementation of GSP was 59.00% and assessments establishment number deviations showed 10 minor, 14 major, 6 serious and 2 critical, while the evaluation of the implementation of the HAS was 54.50% and deviations has 15 minor, 5 major, 2 serious and 1 critical. The microbial contamination in meat analysis showed that is above the maximum threshold set by the Indonesian National Standard (INS), while the results for physical quality, heavy metal residues and OP residues are under the maximum limit set by INS. The concluded this research is Pekanbaru City slaughterhouse is not implementing SSOP, GSP and HAS as evidenced by deviations in the assessment establishment number. The physical quality of meat was in the normal range of fresh meat. In addition, meat, liver and kidney from slaughterhouse Pekanbaru City has residual heavy metal and OP residues of under the INS, but the meat (BF and LD) contains very high microbial contamination of the INS has been determined.
BAMBANG KUNTORO. Evaluasi Penerapan Sanitasi, Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota Pekanbaru. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI dan HENNY NURAINI.
Penyediaan bahan pangan dengan nilai gizi tinggi merupakan masalah penting sebagai upaya meningkatkan kesehatan dan kecerdasan masyarakat. Salah satu bahan pangan yang mengandung nilai gizi tinggi adalah daging sapi. Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan daging perlu dilakukan dengan cara meningkatkan produksi dan kualitas hasil ternak secara optimal serta menjamin mutu daging yang aman sampai ke konsumen. Peningkatan permintaan daging tidak selalu diikuti dengan perbaikan sarana rumah potong hewan (RPH) yang memadai, sehingga keamanan dan kehalalan daging menjadi suatu permasalahan yang belum terselesaikan. Kualitas dan keamanan daging yang dihasilkan salah satunya ditentukan oleh pelaksanaan penyediaan daging di rumah potong hewan (RPH). Proses penanganan ternak dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak memperhatikan faktor-faktor sanitasi dan higienis, akan berdampak pada mutu, kehalalan dan keamanan daging yang dihasilkan. Selain itu, diperlukan penetapan aturan atau standar operasional maupun teknis sebagai dasar untuk menyelenggarakan fungsi RPH sebagai tempat pelaksanaan pemotongan ternak guna menghasilkan daging yang ASUH (aman, sehat, utuh dan halal).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan standard sanitation operational procedure (SSOP), good slaughtering practices (GSP) dan sistem jaminan halal (SJH) serta nilai kontrol veteriner (NKV) terhadap rumah potong hewan (RPH) Kota Pekanbaru. Selain itu, penelitian ini bertujuan mengevaluasi keamanan daging asal RPH Kota Pekanbaru ditinjau dari kualitas daging yang meliputi mutu fisik, tingkat cemaran mikroba, cemaran residu logam berat (Pb, Cd, Hg) serta cemaran residu pestisida golongan organofosfat.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sample) terhadap sejumlah pemilik ternak yang melakukan pemotongan di RPH Kota Pekanbaru. Sejumlah pemilik ternak, diambil lima pemilik ternak yang melaksanakan pemotongan di RPH sebagai sampel pengamatan SSOP, GSP, SJH dan NKV. Tiga ekor ternak diambil dari masing-masing pemilik ternak untuk dianalisis mutu fisik daging (pH, warna, persentase air bebas), cemaran mikroba (Salmonella, Eschericia coli, Coliform dan total plate count/TPC), cemaran residu logam (Pb, Cd dan Hg) serta cemaran residu pestisida organofosfat. Sampel yang dianalisis berupa sampel daging sapi bagian otot Bicep femoris (BF) dan Longissimus dorsi et lumbarum (LD), organ hati dan ginjal.
mayor, 2 penyimpangan serius dan 1 penyimpangan kritis, tetapi tata cara penyembelihan
sapi secara halal telah sesuai dengan ketentuan Syari’at Islam dan persyaratan yang
ditetapkan oleh LPPOM-MUI.
Hasil analisis kualitas daging didapatkan pH pada bagian otot Longissimus dorsi et lumbarum lebih rendah dibandingkan otot bagian Bicep femoris yaitu 5.37 pada otot Longissimus dorsi et lumbarum dan 5.56 pada otot Bicep femoris. Hal yang sama juga terjadi pada penilaian warna daging, otot Longissimus dorsi et lumbarum memiliki skor penilaian 6 yang berarti bahwa daging berwarna merah terang, sedangkan otot Bicep femoris memiliki skor penilaian 7 dengan warna merah agak sedikit gelap. Persentase air bebas otot Longissimus dorsi et lumbarum mencapai 61.80%, sedangkan otot Bicep femoris sekitar 53.53%. Penilaian mutu fisik daging ini masih berada pada kisaran normal daging segar menurut SNI.
Jumlah cemaran mikroba pada daging berada di atas batas maksimum yang telah ditetapkan SNI 3932:2008. Hasil analisis mikrobiologis daging menunjukkan bahwa jumlah TPC berkisar antara 1.0 x 106 - 4.5 x 107cfu/g, sedangkan jumlah E. coli berkisar 35->1100 MPN/g, cemaran Coliform >1100 MPN/g dan negatif untuk cemaran Salmonella. Cemaran residu logam berat Pb berkisar 0.92 ppm, Cd berkisar 0.00-0.60 ppm dan Hg berkisar 0.00-0.03 ppm, sedangkan residu pestisida golongan organofosfat lebih kecil dari 0.005 ppm atau berada di bawah batas maksimum yang telah ditentukan oleh SNI 7313: 2008 tentang batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian.
Pelaksanaan SSOP, GSP, SJH di RPH Kota Pekanbaru belum terlaksana secara menyeluruh yang dibuktikan dengan masih adanya penyimpangan-penyimpangan pada penilaian NKV. Selain itu, untuk meminimalkan kontaminasi mikroba khususnya TPC, E. coli, Coliform perlu diupayakan perbaikan fasilitas RPH serta pembinaan dan pelatihan terhadap sumber daya manusia di RPH Kota Pekanbaru tentang pentingnya sanitasi dan higienis pada proses produksi, sehingga kriteria produksi daging ASUH dapat tercapai.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
BAMBANG KUNTORO
Tesis
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NIM : D151090081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian dan
penulisan Tesis ini dengan baik. Tesis ini berjudul Evaluasi Penerapan Sanitasi,
Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota
Pekanbaru.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari,
DEA dan Dr.Ir. Henny Nuraini, M.Si selaku pembimbing, yang selalu memberikan
arahan dalam penyelesaian tesis ini dari awal hingga akhir. Ucapan terima kasih juga
tak lupa penulis sampaikan kepada Dr. drh. H. Trioso Purnawarman, M.Si selaku
penguji luar komisi atas segala saran dan masukkan untuk kesempurnaan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pemerintah Provinsi Riau dan
Pemerintah Kabupaten Bengkalis yang telah memberikan bantuan sehingga penulis
dapat menyelesaikan studi pascasarjana ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Pimpinan dan Staff RPH Kota Pekanbaru yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk melaksanakan penelitian di RPH. Terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Rektor UIN Suska Riau yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan ini, dan kepada Dekan (Dr.Ir. Tantan R. Wiradarya, M.Sc)
dan seluruh dosen beserta staf Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska yang
telah memberikan motovasi selama ini. Terima kasih untuk drh. Jully, Idil, Pajri,Rike
dan Jume yang telah banyak membantu pengamatan dan pengambilan sampel selama
proses penelitian. Terima kasih untuk teman-teman mahasiswa Pascasarjana Mayor
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Angkatan 2009 yang telah banyak
memberikan semangat selama perkuliahan, penelitian sampai pada penulisan tesis ini.
Akhirnya penulis mempersembahkan Tesis ini untuk Ibunda ku tercinta
Kamsiah (Alm) dan Ayahnda H. Ahmad Arifin serta saudara-saudaraku yang telah
memberikan motivasi dan dorongan hingga Tesis ini dapat terselesaikan.
Bogor, Januari 2012
Penulis dilahirkan di Desa Selatbaru Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis –
Riau pada tanggal 11 April 1982 sebagai anak ke enam dari delapan bersaudara dari
pasangan Ayahanda H. Ahmad Arifin dan Ibunda Kamsiah (Alm).
Tahun 2001 penulis lulus dari SMUN 1 Selatbaru – Bantan. Pada tahun 2002
penulis melanjutkan studi di perguruan tinggi negeri dan tahun 2007 lulus program
Sarjana dari Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Tahun 2008 penulis diangkat sebagai staf
pengajar di universitas yang sama. Tahun 2009 penulis mendapatkan kesempatan
melanjutkan pendidikan pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan di
BAMBANG KUNTORO. Evaluation of Sanitation Implementation, Slaughtering Systems, Halal Assurance Systems and Meat Safety in Pekanbaru Slaughterhouse. Supervised by RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI and HENNY NURAINI
Meat is animal origin food and serve as a source of animal protein for human nutrition.. Demand for meat in Indonesia is become higher with increasing income and community awareness. High demand for meat is not always followed by improvement of facilities and condition in slaughterhouses, thus making the safety and halal meat demand to be an unresolved issue. This study is the objective to evaluate the application of standard sanitation operational procedures (SSOP), good slaughtering practices (GSP) and halal assurance system (HAS) as well as to evaluate establishment number to slaughterhouse in Pekanbaru City. In addition, this study aims to evaluate the meat safety of Pekanbaru City slaughterhouse. Meat quality parameter include physical quality (pH, color and percentage of free water), the level of microbial contamination (Salmonella, Eschericia coli, Coliform and total plate count / TPC), contamination residues of heavy metals (Pb, Cd, Hg) and the organophosphate pesticide residues. Random sampling was done on a population of livestock owners that slaughtered at Pekanbaru City slaughterhouse. Five livestock owners were sampling randomly for SSOP, GSP, HAS and establishment number analysis. The cattle used way three heads for each. All fifteen carcasses used were analyzed for meat quality consist of pH value, color, water holding capacity, microbial contamination and heavy metal residues (Pb, Cd and Hg) and organophosphate pesticide residue. Carcass parts analyzed were Bicep femoris (BF) and Longissimus dorsi et lumbarum (LD), liver and kidneys.
The results for evaluation showed SSOP that was implemented is 54.65% and the results of the assessment establishment number indicate that there are 57 minor deviations, 35 major deviations, 14 serious deviations and 8 critical deviations. Evaluation of the implementation of GSP was 59.00% and assessments establishment number showed 10 minor deviations, 14 major deviations, 6 serious deviations and 2 critical deviations, while the evaluation of the implementation of the HAS was 54.50% and has 15 minor deviations, 5 major deviations, 2 serious deviations and 1 critical deviation. The results of microbial contamination in meat analysis showed that beef slaughterhouse is above the maximum threshold set by the Indonesian National Standard (INS), while the results for physical quality, heavy metal residues and organophosphate pesticide residues contamination are under the maximum limit set by INS.
Based on the results of this study it is concluded that Pekanbaru City slaughterhouse is not implementing SSOP, GSP and HAS as evidenced by deviations in the assessment establishment number. The physical quality of meat was in the normal range of fresh meat, in addition, meat, liver and kidney from slaughterhouse Pekanbaru City has residual heavy metal and organophosphate pesticide residues of under the INS, but the resulting meat contains very high microbial contamination of the INS has been determined.
Halaman
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Manfaat ... 3
Hipotesis Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 5
Rumah Potong Hewan (RPH) ... 5
Standard Sanitation Operational Procedure (SSOP) ... 6
Good Slaughtering Practices (GSP) ... 7
Nomor Kontrol Veteriner (NKV) ... 8
Daging ... 9
Cemaran Mikrobiologi Daging ... 13
Cemaran Kimia pada Daging ... 16
MATERI DAN METODE ... 27
Waktu dan Tempat Penelitian ... 27
Materi Penelitian ... 27
Metode Penelitian ... 27
Rancangan Percobaan ... 28
Peubah yang Diukur ... 28
Analisis Data ... 39
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41
Profil Rumah Potong Hewan Kota Pekanbaru ... 41
Evaluasi Pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru ... 42
Evaluasi Pelaksanaan GSP di RPH Kota Pekanbaru ... 72
Evaluasi Penerapan SJH di RPH Kota Pekanbaru ... 82
Mutu Fisik Daging Sapi ... 97
Cemaran Mikrobiologi pada Daging Sapi ... 100
Cemaran Logam Berat pada daging dan Jeroan Sapi ... 102
Cemaran Residu Pestisida OP pada Daging dan Jeroan Sapi ... 107
SIMPULAN DAN SARAN ... 111
DAFTAR PUSTAKA ... 113
Halaman
1 Komposisi zat gizi daging sapi, kerbau dan ayam per 100 g bahan ... 10
2 Syarat mutu mikrobiologi daging sapi ... 16
3 Jumlah mikroba pada daging setelah proses pemotongan ... 16
4 Batas toleransi logam berat dalam pakan pada beberapa jenis ternak menurut NRC (mg/kg) ... 17
5 Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan (daging dan olahannya) ... 18
6 Batas maksimum cemaran persisida pada daging ... 25
7 Hasil uji Salmonella pada TSA dan LIA ... 33
8 Reaksi biokimia Salmonella sp ... 34
9 Hasil reaksi indole, Methyl red, Voges-proskauer, citrate (iMViC) terhadap E. coli ... 36
10 Hasil rekapitulasi evaluasi pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru ... 43
11 Hasil evaluasi pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru ... 50
12 Hasil rekapitulasi evaluasi penerapan GSP di RPH Kota Pekanbaru ... 73
13 Hasil evaluasi pelaksanaan GSP di RPH Kota Pekanbaru ... 76
14 Hasil rekapitulasi evaluasi penerapan sistem jaminan halal (SJH) di RPH Kota Pekanbaru ... 84
15 Hasil evaluasi pelaksanaan SJH di RPH Kota Pekanbaru ... 87
16 Rataan mutu fisik daging sapi asal RPH Kota Pekanbaru ... 97
17 Jumlah cemaran bakteri pada daging sapi dan sampel air asal RPH Kota Pekanbaru ... 100
18 Hasil analisis total plate count (TPC) terhadap sanitasi ruang, peralatan dan higienis personal di RPH Kota Pekanbaru ... 102
19 Hasil analisis cemaran logam dan standar batas maksimal (maximal residue limit/MRL) cemaran Pb, Cd dan Hg pada daging, hati dan ginjal sapi………. 103
Halaman
1 Jalur cemaran logam timbal (Pb) ... 19
2 Jalur cemaran logam cadmium (Cd) ... 23
3 Kondisi bangunan utama RPH Kota Pekanbaru ... 44
4 Kondisi tempat penyembelihan ternak di RPH Kota Pekanbaru ... 45
5 Kondisi tempat penanganan karkas dan jeroan di RPH Kota
Pekanbaru ... 46
6 Kondisi sanitasi tempat produksi dan higiene personal yang tidak baik
di RPH Kota Pekanbaru ... 47
7 Penanganan ternak sesaat setelah disembelih di RPH Kota
Pekanbaru ... 74
8 Kondisi alat angkut daging dan jeroan sapi di RPH Kota Pekanbaru ... 75
9 Kondisi penanganan karkas/daging di RPH Kota Pekanbaru ... 84
Halaman
1 Check list standard sanitation operational procedure (SSOP) Rumah
Potong Hewan (RPH) ... 121
2 Check list good slaughtering practices (GSP) Rumah Potong Hewan
(RPH) ... 133
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyediaan bahan pangan dengan nilai gizi tinggi merupakan masalah
penting sebagai upaya meningkatkan kesehatan dan kecerdasan masyarakat. Salah
satu bahan pangan yang mengandung nilai gizi tinggi adalah daging sapi.
Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan daging perlu dilakukan dengan cara
peningkatan produksi dan kualitas hasil ternak secara optimal serta penjaminan
mutu daging yang aman sampai ke konsumen. Rerata konsumsi daging per kapita
di Indonesia tergolong masih rendah, dengan kisaran dari 0-50 kg/kapita/tahun.
Hal ini tidak terlepas dari tingkat daya beli masyarakat yang masih rendah dan
produktivitas ternak yang belum optimal. Kontribusi ternak ruminansia, terutama
sapi terhadap konsumsi daging nasional baru mencapai 21%, sedangkan sebagian
besar (63%) berasal dari unggas dan sebagian lainnya dari kambing dan domba
(Departemen Pertanian 2008).
Potensi pengembangan ternak potong di Provinsi Riau sangat menjanjikan,
yang diukur berdasarkan jumlah ternaknya.Populasi sapi sekitar 105.253 ekor,
kerbau 47.799 ekor, kambing 256.324 ekor (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau
2005). Populasi ternak pada tahun 2008 mengalami peningkatan yaitu ternak sapi
sekitar 161.202 ekor, kerbau 49.116 ekor, kambing 240.809 ekor, ayam ras
pedaging 30.679.920 ekor, ayam buras 3.466.760 ekor, ayam ras petelur 592.404
ekor. Jumlah pemotongan ternak pada tahun 2009 mencapai 41.732 ekor,
sedangkan produksi daging mencapai 7.639 ton dengan konsumsi daging sebesar
4.1 kg/kapita/tahun (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau 2010).
Misi Departeman Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan adalah
pencanangan Program Swasembada Daging 2014 yang bertujuan untuk
menyediakan pangan asal ternak yang cukup secara kuantitas dan kualitas.Selain
itu, berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan,
maka tuntutan masyarakat terhadap pelaku pasar dalam menyediakan pangan
Kualitas dan keamanan daging yang dihasilkan salah satunya ditentukan
oleh pelaksanaan penyediaan daging di rumah potong hewan (RPH). Proses
penanganan ternak dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak memperhatikan
faktor-faktor sanitasi dan higienis, akan berdampak pada mutu, kehalalan dan
keamanan daging yang dihasilkan. Penetapan aturan atau standar operasional
maupun teknis di RPH adalah sebagai dasar untuk menyelenggarakan fungsi RPH
sebagai tempat pelaksanaan pemotongan ternak guna menghasilkan daging yang
ASUH (aman, sehat, utuh dan halal).
Daging yang berasal dari ternak ruminansia umumnya dipelihara secara
tradisional oleh masyarakat. Sumber pakan yang diberikan umumnya hanya
hijauan atau rumput lapang, sehingga kontaminasi pakan oleh logam berat dan
cemaran pestisida merupakan sumber utama terjadinya toksisitas pada hewan
ternak. Logam berat tidak dapat terdegradasi secara alami dan cenderung
terakumulasi dalam air, tanah dan tubuh makhluk hidup. Selain itu, logam berat
seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd) dan timbal (Pb) dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan bagi manusia. Efek toksik logam berat akan terakumulasi
dalam waktu lama yang mampu menghambat kerja enzim sehingga mengganggu
metabolisme tubuh, menyebabkan alergi, bersifat mutagen, teratogen, atau
karsinogen bagi hewan bahkan ke manusia.
Nilai gizi yang terkandung dalam daging sangat mendukung bagi
kehidupan mikroorganisme terutama bakteri. Adanya aktivitas mikroorganisme
dalam daging akan menurunkan kualitas daging yang ditunjukkan dengan
perubahan warna, rasa, aroma dan pembusukanyang dipengaruhi oleh kondisi
ternak, kondisi lingkungan, kondisi tempat pemotongan dan proses penanganan
daging mulai dari pemotongan sampai pengolahan. Penerapan sistem hazard analysis critical control point (HACCP) pada usaha peternakan secara terpadu akan meminimalkan terjadinya bahaya pada produk pangan asal ternak.
Di Indonesia kejadian foodborne disease yang diakibatkan oleh mengkonsumsi daging sapi jarang dilaporkan meskipun kejadiannya tidak sedikit.
Di Provinsi Riau, informasi yang berhubungan dengan keamanan daging sapi
yang dilihat dari status mikrobiologi masih sangat kurang. Umumnya daging yang
pemotongan yang berlaku di RPH. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa
sampel daging sapi yang beredar dibeberapa pasar tradisional di Pekanbaru,
mengandung cemaran bakteri lebih tinggi dibanding Standar Nasional Indonesia
(SNI). Selain itu, informasi cemaran residu logam berat dan pestisida dalam
daging belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang evaluasi
penerapan sanitasi, sistem pemotongan, sistem jaminan halal dan keamanan
daging sapi yang dipotong di RPH Kota Pekanbaru.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi penerapan sanitasi
(standard sanitation operational procedure/SSOP), sistem pemotongan (good slaughtering practices/GSP), sistem jaminan halal (SJH) serta menguji status keamanan daging sapi yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) Kota
Pekanbaru yang dilihat dari kualitas fisik, cemaran logam berat, residu pestisida
organoposfat dan status mikrobiologi (Salmonella, E. coli, Coliform dan TPC) sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3932: 2008 tentang mutu
karkas dan daging sapi, SNI nomor 7317: 2008 tentang batas maksimum residu
pestisida pada hasil pertanian dan SNI 7387: 2009 tentang batas maksimum
cemaran logam berat dalam pangan.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
gambaran kualitas dan keamanan daging sapi yang dihasilkan dari RPH Kota
Pekanbaruserta dapat memberikan masukan tentang manajemen pemotongan
ternak dengan menerapkan sistem jaminan halal guna mendapatkan daging yang
berkualitas, aman dan halal untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah bahwa daging sapi yang
dihasilkan dari rumah potong hewan (RPH) Kota Pekanbaru berada diatas batas
maksimum yang ditetapkan berdasarkan SNI 3932: 2008 tentang mutu karkas dan
daging sapi dan SNI nomor 7317: 2008 tentang batas minimum residu pestisida
pada hasil pertanian dan SNI 7387: 2009 tentang batas maksimum cemaran logam
TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Potong Hewan (RPH)
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan
dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan
hewan bagi konsumsi masyarakat umum. Pemotongan hewan merupakan kegiatan
untuk menghasilkan daging hewan yang terdiri atas pemeriksaan ante-mortem, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post-mortem (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010). Berdasarkan
SNI 01-6159-1999 disebutkan bahwa RPH adalah kompleks bangunan dengan
desain khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higien tertentu serta
digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi
masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang persyaratan rumah potong hewan
ruminansia dan unit penanganan daging (meat cutting plant) telah ditetapkan persyaratan teknis RPH. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam
penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal serta berfungsi sebagai
sarana untuk melaksanakan :
1. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
2. Tempat melaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection), pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonosa ke manusia;
3. Tempat pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang
ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di
daerah asal hewan;
Selain itu, rumah potong hewan harus memenuhi beberapa syarat seperti :
a. Berlokasi didaerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran
b. Komplek RPH harus dipagar yang berfungsi untuk memudahkan penjagaan
keamanan;
c. Memiliki ruangan yang digunakan sebagai tempat penyembelihan, dinding
dan lantai kedap air, ventilasi yang cukup;
d. Mempunyai perlengkapan yang memadai;
e. Pekerja berpengalaman dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner, dan
f. Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan alat-alat untuk
pemotongan babi harus terpisah dengan alat dan tempat pemotongan sapi,
kerbau dan kambing.
Berdasarkan luasan peredaran daging yang dihasilkan oleh usaha
pemotongan hewan, RPH terdiri atas empat kelas yaitu: kelas A untuk penyediaan
daging kebutuhan ekspor, kelas B menyediakan kebutuhan daging antar Provinsi
Daerah Tingkat I, kelas C untuk penyediaan daging antar Kabupaten/ Kotamadya
Daerah Tingkat II dalam satu provinsi dan kelas D untuk penyediaan kebutuhan
daging di wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II. Berdasarkan jenis
kegiatan usaha pemotongan hewan, RPH terbagi menjadi 3 kategori yaitu:
kategori I untuk usaha pemotongan hewan yang meliputi kegiatan melaksanakan
pemotongan hewan milik sendiri di RPH milik sendiri, kategori II untuk usaha
pemotongan hewan yang melaksanakan kegiatan menjual jasa pemotongan hewan
atau melaksanakan pemotongan hewan milik orang lain, dan kategori III untuk
usaha pemotongan hewan yang berupa kegiatan melaksanakan pemotongan
hewan milik orang lain.
Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)
Standard sanitation operating procedure (SSOP) merupakan standar operasi suatu perusahaan yang mencakup kebijakan perusahaan, tahap kegiatan,
nama petugas, cara pemantauan dan cara dokumentasi sebagai pertimbangan
dalam melakukan inspeksi. SSOP memberikan manfaat dalam suatu unit usaha
dalam menjamin sistem keamanan produk pangan antara lain memberikan jadwal
prosedur sanitasi, memberikan landasan program monitoring berkesinambungan,
mendorong perencanaan yang menjamin untuk proses koreksi, mengidentifikasi
kecenderungan dan mencegah kontaminasi silang, menjamin setiap personil,
praktek sanitasi dan kondisi diunit usaha. Luning et al. (2003) menyatakan bahwa secara umum praktik higiene dan sanitasi dalam suatu industri atau perusahaan
pangan meliputi higiene personal, bangunan, peralatan produksi, proses produksi,
penyimpanan dan distribusi.
Tujuan SSOP menurut Winarno dan Surono (2002) adalah agar setiap
karyawan teknis maupun administrasi mampu: (1) mengerti bahwa program
kebersihan dan sanitasi dapat meningkatkan kualitas dan keamanan produk yang
ditandai dengan menurunnya tingkat kontaminasi, (2) mengetahui adanya
peraturan good manufacturing practices (GMP) yang mengatur penggunaan zat tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program higiene dan sanitasi, (3)
mengetahui tahapan proses higiene dan sanitasi, (4) mengetahui persyaratan
minimum penggunaan sanitasi dan klorin pada air pendingin, khususnya pada
industri pengolahan makanan, (5) mengetahui adanya faktor seperti pH, suhu dan
konsentrasi disinfektan yang mempengaruhi hasil akhir suatu proses sanitasi dan
(6) mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul apabila sanitasi tidak
dijalankan.
Good Slaughtering Practices (GSP)
Good slaughtering practices (GSP) merupakan seluruh praktik di RPH yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk menjamin
keamanan dan kelayakan pangan pada seluruh tahapan dalam rantai pangan (CAC
2004). Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan ternak yang
baik yaitu: (1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) ternak tidak
mengalami stres, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan
sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, (5) cara pemotongan
harus higienis, (6) ekonimis dan (7) aman bagi para pekerja abatoar (Swatland
1984).
Harris & Jeff (2003) menyatakan bahwa pelaksanaan GSP berfungsi untuk
meminimalkan kontaminasi mulai dari pra-pemotongan, penanganan ternak
dikandang, memandikan ternak,stunning, penyembelihan, bunging, skinning, eviserasi, splitting, final trim, pencucian karkas sampai dihasilkan produk akhir. Selain itu, tahapan GSP juga ditinjau dari kebersihan fasilitas produksi, air yang
Soeparno (2005) menyatakan bahwa terdapat dua teknik pemotongan
ternak yaitu a) teknik pemotongan ternak secara langsung dan b) secara tidak
langsung. Pemotongan ternak secara langsung dilakukan setelah ternak
dinyatakan sehat dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memutuskan
arteri karotis, vena jugularis dan esofagus. Pemotongan ternak secara tidak
langsung adalah dengan perlakuan pemingsanan terlebih dahulu yang bertujuan
untuk memudahkan penyembelihan ternak, agar ternak tidak stres, agar kualitas
kulit dan karkas lebih baik.
Nomor Kontrol Veteriner (NKV)
Setiap unit usaha produk pangan hewan wajib memiliki nomor kontrol
veteriner (NKV). NKV merupakan sertifikat kelayakan usaha yang merupakan
registrasi usaha pemotongan, pengolahan dan pemasaran produk peternakan yang
diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab menangani suatu unit usaha atau
bidang kesehatan masyarakat veteriner. Usaha produk pangan asal hewan dapat
dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia
dalam bentuk perusahaan daerah, perseroan terbatas atau koperasi. Unit usaha
produk pangan asal hewan antara lain meliputi: usaha rumah
potongahewan/unggas (RPH/RPU), usaha industri pengolahan produk pangan asal
hewan, dan usaha importir/eksportir/penampung/distributor produk pangan asal
hewan.
Menurut Direktorat Kesmavet (2001) untuk mendapatkan NKV pada unit
usaha produk pangan asal hewan, harus memenuhi dua persyaratan utama yaitu
persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Persyaratan teknis meliputi
persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak, peralatan, suplai air, higiene
karyawan dan perusahaan, kendaraan produk pangan asal hewan, ruangan
penyimpanan produk asal hewan, proses pengemasan, pengendalian hama,
mampu telusur (traceability), penarikan produk kembali dan pengawasan kesehatan masyarakat. Tata cara pemberian NKV pada prinsipnya dapat
diklasifikasikan dalam dua kelas yaitu: kelas A untuk unit usaha produk pangan
asal hewan klasifikasi ekspor, dan kelas B untuk unit usaha produk pangan asal
Daging
Daging adalah salah satu komoditi pertanian khususnya sektor peternakan
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi seperti protein,
lemak,mineral dan komponen lainnya. Secara umum konsumsi protein dalam
menu masyarakat masih di bawah kebutuhan minimum, terutama protein yang
berasal dari hewani. Menurut “Food and Drug Administration” dalam Muchtadi et al. (2010) daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi, domba atau unggas yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong,
tetapi hanya terbatas pada bagian muskulus yang berserat yaitu yang berasal dari
muskulus skeletal atau lidah, diafragma, jantung dan esofagus, tidak termasuk
moncong, bibir, telinga dengan atau syaraf dan pembuluh darah. Soeparno (2005)
dan Aberle et al. (2001) mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk
dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang
mengkonsumsinya. Berdasarkan SNI 3932:2008 disebutkan daging adalah bagian
otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh
manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku.
Daging sapi mempunyai peran yang cukup besar dalam konteks ketahanan
pangan nasional. Seperti halnya dengan komoditas susu ataupun daging unggas,
daging sapi menjadi salah satu komoditas sumber protein yang sangat dibutuhkan
tubuh manusia untuk kesehatan dan pertumbuhan. Daging sapi merupakan
komoditas daging yang disukai konsumen Indonesia selain daging ayam, daging
kambing/domba, dan daging dari ternak lainnya. Alasan–alasan konsumen menyukai daging sapi ini antara lain karena, pertimbangan gizi, status sosial,
pertimbangan kuliner dan pengaruh budaya barat (Jonsen 2004), disamping itu
tingkat kecernaan protein daging sapi mencapai 95-100% dibandingkan kecernaan
protein tanaman yang hanya 65-75% (Aberle et al. 2001).
Tabrany (2004) menjelaskan bahwa komposisi kimia daging terdiri atas air
(56%-72%), protein (15%-22%), lemak (5%-34%) dan substansi bukan protein
terlarut (3.5%) yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen
perbedaan komposisi zat gizi antara daging sapi, kerbau dan ayam seperti
diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi zat gizi daging sapi, kerbau dan ayam per 100 g bahan
Zat gizi Daging
Sapi Kerbau Ayam
Air (gram) 66.0 84.0 -
Protein (gram) 18.8 18.7 18.2
Energi (K) 207.0 84.0 302.0
Lemak (gram) 14.0 0.5 25.0
Kalsium (mg) 11.0 7.0 14.0
Besi (mg) 2.8 2.0 1.5
Vitamin A (SI) 30.0 0.0 810.0
Sumber : Hasbullah (2005).
Kualitas Fisik Daging
Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain
metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging.
Parameter spesifik untuk menilai kualitas fisik daging meliputi warna, nilai pH,
daya mengikat air, susut masak, keempukan dan tekstur daging (Soeparno 2005).
Warna Daging. Faktor yang menentukan warna daging antara lain adalah
bangsa ternak, spesies, umur, jenis kelamin, pakan, aktivitas ternak, tingkat stress,
pH daging, tipe otot dan ketersediaan oksigen. Karakteristik warna daging
merupakan salah satu parameter kualitas daging. Warna daging juga dipengaruhi
oleh pigmen yaitu mioglobin. Jenis molekul dan status kimia mioglobin, serta
kondisi kimia dan fisik yang terdapat dalam daging berperan besar dalam
menentukan warna daging (Lawrie 2003; Jeong et al. 2009). Mioglobin sebagai salah satu dari protein sarkoplasmik terbentuk dari suatu rantai polipeptida
tunggal terikat disekeliling groupheme yang membawa oksigen. Group heme tersusun dari suatu atom Fe dan suatu cincin porfirin. Perbedaan warna daging
antar spesies disebabkan konsentrasi mioglobin, yang akan meningkat seiring
dengan meningkatnya umur ternak (Soeparno 2005).
Warna daging yang disukai konsumen adalah merah cerah yang
menunjukkan mutu daging. Perubahan warna daging dipengaruhi oleh banyak
faktor. Daging yang terekspos dengan udara (O2), mioglobin dan oksigen dalam
daging akan berwarna merah cerah. Apabila waktu kontak antara mioglobin
dengan oksigen berlangsung lama, maka akan terjadi oksidasi membentuk ferric-metmyoglobin (MetMb), sehingga daging berwarna coklat dan tidak menarik (Aberle et al. 2001; Jeong et al. 2009).
Daya Mengikat Air (DMA). DMA oleh protein daging atau dikenal
dengan water holding capacity (WHC) merupakan kemampuan daging untuk mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar,
misalnyapengaruh pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan.
Absorbsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara
spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (Soeparno 2005). Jumlah air
yang terikat dalam daging tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan pH
serta jumlah denaturasi protein. Secara umum DMA dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang mengakibatkan diferensiasi dalam otot seperti spesies, umur dan
fungsi otot (Forrest et al.1975).
Lawrie (2003) menyatakan bahwa DMA daging sangat dipengaruhi oleh
pH, semakin tinggi pH akhir maka penurunan DMA juga sedikit. DMA sangat
penting dalam proses pengolahan daging sebagai protein yang mampu menahan
lebih banyak air menjadi lebih mudah larut. Daya mengikat air dari daging pada
pH titik isoelektrik protein daging berkisar antara 5.0-5.1. Protein daging ini tidak
bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan
solubilitasnya minimal, sedangkan pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik
protein daging, maka sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus
muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberikan
lebih banyak ruang untuk molekul air. Meningkat atau menurunnya pH daging
dari titik isoelektrik akan mengakibatkan meningkatnya kapasitas DMA dengan
cara menciptakan ketidakseimbangan muatan.
pH Daging. Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman
dan kebasaan suatu substansi. Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai
nilai pH sekitar 5.1-7.2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami
glikolisis dan menghasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH. pH ultimat
daging tercapai setelah glikolisis otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim
terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimat normal daging post-mortem adalah sekitar 5.5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril (Lawrie 2003).
Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat
dengan penurunan pH karkas post-mortem.Temperatur tinggi pada dasarnya meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju
penurunan pH (Soeparno 2005). Nilai pH sangat penting untuk diperhatikan
karena pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging yang berkaitan
dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan
(Lukman et al. 2007). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa secara umum laju penurunan pH daging dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6–5.7 dalam waktu 6-8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.7.
Pola penurunan seperti ini disebut pola penurunan pH secara normal.
2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan
dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5-6.8. Sifat daging yang
dihasilkan berwarna gelap, keras dan kering atau dikenal dengan daging dark firm dry (DFD).
3. Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5.4-5.5 pada jam pertama
setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.6. Sifat daging yang
dihasilkan berwarna pucat, lembek dan berair atau dikenal dengan daging pale soft excudative (PSE).
Nilai pH daging akan berubah setelah ternak dipotong. Perubahan pH
tergantung pada jumlah glikogen sebelum ternak dipotong. Apabila jumlah
glikogen dalam tubuh ternak normal, maka menurut Aberle et al. (2001) akan mendapatkan daging yang berkualitas baik dan begitu sebaliknya. Henckle et al. (2000) menambahkan bahwa penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan
oleh kondisi fisiologis otot yang berhubungan dengan produksi asam laktat atau
Cemaran Mikrobiologi Daging
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang digolongkan sebagai
perisable food atau bersifat mudah rusak. Daging juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme karena banyak mengandung air, kaya
akan zat-zat gizi serta memiliki pH yang sangat menguntungkan untuk
pertumbuhan mikroorganisme (Lawrie 2005). Nilai pH rendah berhubungan
dengan reduksi air pada daging (Vada-Kovacs 1996). Selain itu, suhu
penyimpanan, ketersediaan air dan oksigen berpengaruh terhadap pertumbuhan
bakteri. Suhu optimum untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah 15-40 °C, tetapi beberapa organisme dapat tumbuh dengan baik pada suhu refrigerator
bahkan tumbuh dengan baik pada suhu dibawah nol (Aberle et al. 2001).
Kontaminasi awal pada daging berasal dari mikroorganisme yang
memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan. Daging segar umumnya
terkontaminasi dengan sejumlah besar bakteri termasuk bakteri patogen yang
dapat mengkontaminasi makanan seperti Bacillus cereus,Clostridium perfringens, Clostridium jejuni, Eschericia coli, Listeria monocytogenes, Salmonella sp dan Staphylococcus aureus (Mosupye & Holy 2005). Ternak yang dipotong secara higienis mengandung sekitar 103-104 koloni/cm2 yang terdapat pada permukaan daging. Jumlah awal dapat mencapai 106 koloni/cm2 setelah pemotongan (Bem & Hechelmann1995), dan menurut Buckle et al. (1986) jumlah bakteri pencemar pada daging adalah berkisar 102-104 koloni/cm2. Lebih lanjut Buckle et al. (2009) dan Mead (2007) menyatakan bahwa jumlah bakteri dalam daging akan terus
meningkat tergantung penanganan dan pencemaran selanjutnya. Perkembangan
bakteri pada daging umumnya dapat diketahui dengan adanya pembentukan
lendir. Bakteri akan tampak berlendir, berbau busuk dan rusak jika jumlahnya
mencapai 107-108 koloni/cm2. Dinyatakan juga bahwa timbulnya bau disebabkan produksi hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh mikroorganisme.
Bakteri patogen yang ditemukan dalam daging adalah Salmonella, Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitico, Clostridium perfringens dan C. botulinum. Mikroba yang terdapat pada bagian dalam seperti koliform fekal dan streptokokus fekal yang sering ditemukan dalam daging menunjukkan bahwa
mendapatkan jenis bakteri Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter, Lactobacillus, Micrococcus, Brochotrix thermosphacta dan beberapa Enterobactericeae seperti Klebsiella, Yersinea, Serratia dan Proteus. Mikroba berbahaya yang meracuni makanan khususnya daging yang dikaitkan dengan
kontaminasi saluran pencernaan adalah Salmonella, S. aureus dan enteropathogenic Eschericia coli (ICSMF 1980).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba pada Daging
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada daging adalah
aktivitas air (aw), potensial oksidasi, pH dan temperatur. Parameter ini berperan
pada saat otot berubah menjadi daging (Jay 2000). Menurut Garbutt (1997) dan
Lawrie (2003) umumnya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di
dalam daging dibagi menjadi dua kelompok yaitu 1) faktor dalam (intrinsik) dan
2) faktor luar (ekstrinsik). Faktor intrinsik terdiri atas nilai nutrisi daging, kadar
air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi penghalang atau
penghambat.
Nutrisi daging. Disamping air dan oksigen, sebagian besar mikroba
membutuhkan nutrien nitrogen, energi, mineral dan vitamin B untuk
pertumbuhannya. Air dibutuhkan oleh semua makhluk hidup termasuk mikroba.
Kadar air yang tersedia di dalam daging sangat menentukan tingkat pertumbuhan
mikroba. Kebutuhan mikroba akan air dinyatakan sebagai aktivitas air atau
disebut sebagai water activity (aw). Sejumlah mikroba tidak dapat tumbuh dengan
baik pada aw lebih kecil dari 0.91, tetapi aw minimum untuk pertumbuhan sangat
bervariasi misalnya aw minimum untuk Salmonella adalah 0.94 sedangkan aw
minimum untuk Staphylococcus mendekati 0.86. Pada kondisi normal, daging mempunyai aw 0.99 dan pH 5.3–5.7. Sebagian besar mikroba tumbuh optimal
pada pH kira-kira 7.0 (Garbutt 1997; Devies & Board 1998; Mead 2007).
Potensi oksidasi-reduksi. Sejumlah mikroba membutuhkan kondisi
oksidasi dan sejumlah kondisi reduksi. Mikroba aerobik adalah mikroba yang
dapat tumbuh pada potensial oksidasi reduksi yang tinggi. Mikroba anaerobik
dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen, karena O2 dapat bersifat toksik pada
rendah. Mikroba anaerobik fakultatif dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen
atau ada oksigen.
Substansi penghalang atau penghambat. Substansi penghambat dan
jaringan proteolitik pada daging yang dapat menghambat aktivitas mikroba
disebut bakteriostatik, sedangkan substansi yang merusak atau dapat membunuh
mikroba disebut bakteriosidal. Lemak dan kulit pada karkas daging melindungi
dari kontaminasi mikroba (Soeparno 2005).
Faktor ekstrinsik terdiri atas temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya
oksigen dan bentuk atau kondisi daging. Temperatur sangat menentukan laju
pertumbuhan dan jumlah mikroba pada daging. Berdasarkan temperatur maksimal
dan optimum untuk pertumbuhan, mikroba dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
mesofilik, psikrofilik dan thermofilik. Mikroba mesofilik tumbuh paling baik pada
temperatur 25-40 °C. Mikroba psikrofilik dapat tumbuh pada temperatur 0 °C tetapi pertumbuhan optimalnya adalah pada temperatur 20-30 °C. Mikroba termofilik memiliki pertumbuhan optimum pada temperatur 45-60 °C.
Kelembaban relatif. Pada umumnya makin tinggi temperatur
penyimpanan, kelembaban relatif seharusnya makin rendah. Pada temperatur -1 °C sampai 3 °C, kelembaban relatif sebaiknya antara 88-92%. Kelembaban relatif yang terlalu tinggi, cairan akan berkondensasi pada permukaan daging, sehingga
permukaan daging menjadi basah dan sangat baik untuk pertumbuhan mikroba.
Jika kelembaban relatif terlalu rendah, cairan permukaan daging akan banyak
yang menguap sehingga pertumbuhan mikroba terhambat oleh dehidrasi dan
permukaan daging menjadi gelap yang menyebabkan nilai ekonomis daging akan
menurun. Oksigen atmosfer sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba.
Pertumbuhan mikroba pada permukaan daging adalah mikroba aerobik dan
anaerobik fakultatif, sedangkan bagian dalam daging dapat mengandung mikroba
anaerobik dan anaerobik fakultatif. Keadaan fisik daging akan mampengaruhi
aktivitas mikroba, misalnya besar kecilnya karkas, potongan karkas atau daging,
bentuk daging cacahan, daging giling dan perlakuan selama pemrosesan (Lawrie
Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging
Syarat mutu mikrobiologis daging sapi mengacu pada Standar Nasional
Indonesia (SNI) Nomor 3932:2008 tentang mutu karkas dan daging sapi pada
Tabel 2.
Tabel 2 Syarat mutu mikrobiologis daging sapi (SNI 3932:2008)
No. Jenis uji Satuan Persyaratan
1. Total Plate Count cfu/g maksimum 1 x 106
2. Coliform cfu/g maksimum 1 x 102
3. Staphylococcus aureus cfu/g maksimum 1 x 102
4. Salmonella sp per 25 g Negatif
5. Eschericia coli cfu/g maksimum 1 x 101
Sumber : BSN (2008)
Pengujian jenis mikroba pada permukaan daging sapi dan domba setelah
proses pemotongan meliputi mikroba mesofilik aerobik, psikrotrofik dan E. coli TPC, koliform (Tabel 3).
Tabel 3 Jumlah mikroba pada daging setelah proses pemotongan
Daging Jenis uji Jumlah mikroba
Permukaan daging sapi dan domba
Mesofilik aerobik 103-105 per cm2
Psikrotrofik 0.1-10% dari mesofilik
Enterobacteriaceae, E. coli < 10 per cm2 Total Plate Count 103-105 per cm2
Koliform 101-102 per cm2
Psikrotrofik < 102 per cm2
Sumber : ICMSF (1980); Grau (1986)
Cemaran Kimia pada Daging
Cemaran Logam Berat
Logam berat berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni,
organik maupun anorganik. Logam merupakan bahan pertama yang dikenal oleh
manusia dan digunakan sebagai alat-alat yang mempunyai peran penting bagi
peradapan manusia. Sejumlah logam juga terdapat dalam tubuh makhluk hidup
baik pada tanaman, hewan bahkan pada tubuh manusia yang bersifat merugikan
karena mangakibatkan toksik atau racun. Logam yang menyebabkan racun bagi
makhluk hidup umumnya digolongkan pada logam berat. Menurut Saeni (1989),
(Fe), timbal (Pb), krom (Cr), kadmium (Cd), seng (Zn), air raksa (Hg), mangan
(Mn) dan arsen (As).
Pencemaran logam berat berasal dari proses pertambangan yang kemudian
dicairkan dan dimurnikan menjadi logam-logam murni. Hasil dari pertambangan
logam tersebut digunakan dalam proses produksi pabrik atau industri seperti
pabrik cat, aki atau baterai, pabrik percetakan bahkan sampai pabrik peralatan
listrik. Dampak dari proses industrialisasi tersebut menghasilkan limbah yang
dapat menyebabkan pencemaran logam berat pada air, udara, tanah bahkan
makhluk hidup disekitar pabrik. Cemaran di air akan berdampak pada
hewan-hewan air, sedangkan pada manusia ataupun hewan-hewan ternak pencemaran logam
berat dapat berasal dari air, tanaman, udara dan tanah yang terakumulasi logam
berat (Darmono 2008). Konsentrasi logam berat dalam pakan yang dikonsumsi
oleh ternak sangat bervariasi, sehingga National Research Council (NRC) menentukan jumlah maksimum (maximum tolerance level/ MTL) kandungan logam yang diperbolehkan untuk dikonsumsi ternak, sehingga produk asal ternak
tersebut aman untuk dikonsumsi oleh manusia (Tabel 4).
Tabel 4 Batas toleransi logam berat dalam pakan pada beberapa jenis ternak menurut NRC (mg/kg)
Logam Sapi Domba Babi Ayam Kuda Kelinci
Al 1000 1000 200 200 200 200
As
-inorg. 50 50 50 50 50 50
-org. 100 100 100 100 100 100
Cd 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
Cr
-klorida 1000 1000 1000 1000 1000 1000
-oksida 3000 3000 3000 3000 3000 3000
Cu 100 25 250 300 800 200
Fe 1000 500 3000 1000 500 500
Pb 30 30 30 30 30 30
Ni 50 50 100 300 50 50
Se 2 2 2 2 2 2
Zn 500 300 1000 1000 500 500
Sumber : National Academy of Science (NAS) (1980)
Darmono (2008) menyatakan lebih lanjut bahwa ternak ruminansia baik
sapi, kerbau, kambing, domba atau ternak ruminansia liar lainnya hampir 100%
pakan yang diberikan adalah jenis rumput hijauan. Sumber kontaminasi hijauan
ternak tersebut. Adanya toksisitas logam pada ternak akan berpengaruh terhadap
produksi yang meliputi penurunan berat badan, hambatan pertumbuhan, peka
terhadap penyakit infeksi bahkan kematian. Selain itu, adanya residu logam berat
pada produk asal ternak akan menurunkan kualitasnya. Batas maksimum cemaran
logam berat dalam pangan khususnya pada daging dan produk olahannya
berdasarkan SNI 7387: 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan(daging dan olahannya) (SNI 7378: 2009)
Jenis logam berat Kategori pangan Batas maksimum
As Daging dan hasil olahan 0.5 mg/kg
Cd Daging dan hasil olahan 0.3 mg/kg
Hg Daging dan hasil olahan 0.03 mg/kg
Sn Daging dan hasil olahan 200.0 mg/kg
Pb Daging dan hasil olahan 1.0 mg/kg
Sumber : BSN (2009)
Tidak semua logam berat akan menyebabkan toksisitas pada ternak.
Toksisitas logam berat disebabkan oleh kemampuannya menutup sisi aktif dari
sistem enzim utama dalam sel dan juga beberapa ligan yang terdapat dalam
membrane sel hewan maupun manusia. Saeni (1989) menyatakan, bahwa dari
sekian banyak jenis logam berat seperti : Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn, dan As,
hanya terdapat empat logam berat yang bersifat merugikan dan bersifat toksik
baik pada ternak maupun manusia diantaranya : As, Cd, Pb dan Hg. Darmono
(2008) dan Widowati et al. (2008) menyatakan, bahwa logam yang sering menimbulkan keracunan pada ternak ruminansia adalah tembaga (Cu), timbal (Pb)
dan merkuri (Hg). Menurut Anggorodi (1979), logam berat yang tergolong
nonesensial dan bersifat racun bagi ternak adalah kelompok logam Pb, Cd, Hg dan
As.
Efek Logam Timbal (Pb) pada Ternak dan Manusia. Timbal atau
Plumbum dikenal juga dengan istilah timah hitam yang termasuk pada jenis
logam tertua (Winarno 1993). Anonymous (2006) menyatakan timbal merupakan
unsur kimia yang dalam tabel periodik mempunyai lambang Pb (Plumbum)
4.77 kJ/mol, kalor penguapan 179.5 kJ/mol dan kapasitas kalor pada suhu 25 C
sebesar 26.65 J/mol.K.
Kusnoputranto (2006) menyatakan, bahwa Pb merupakan logam yang
bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh ternak
maupun manusia sehingga bahayanya dalam tubuh semakin meningkat. Menurut
Underwood dan Suttle (1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat
akumulatif dan akumulasinya tergantung dari level dalam tubuh. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pada ternak jika jumlah logam berat
berada diatas ambang batas yang telah ditetapkan. Misalnya ambang batas normal
penggunaan Pb pada pakan unggas sebesar 1-10 ppm, sedangkan batas ambang
tinggi sebesar 20-200 ppm dan batas ambang toksik lebih dari 200 ppm.Jalur
emisi timbal pada produk pangan dapat dilihat pada Gambar 1 (U.S. EPA dalam
Nriagu & Simmons 1987).
Gambar 1 Jalur cemaran logam timbal (Pb) (Sumber: Nriagu & Simmons 1987)
Gambar 1 menunjukkan dengan jelas bahwa pengaruh emisi, baik emisi
pabrik maupun kendaraan mempunyai dampak yang signifikan terhadap cemaran
timbal. Emisi dari kendaraan atau pabrik akan terakumulasi diudara dalam bentuk
debu, selanjutnya debu akan jatuh ketanah dan kontaminasi timbal tersebut akan
diserap oleh tanaman. Tanaman yang mengandung cemaran logam tersebut
dimakan oleh ternak, yang merupakan sumber pangan bagi manusia.
Pakan ternak berupa rumput yang terkontaminasi Pb dari udara sering
menyebabkan keracunan kronis, tetapi padang rumput yang terkontaminasi
Emisi kendaraan/Pabrik
Udara Tanah Emisi kendaraan/Pabrik
Debu
Tanaman
Pangan
Solder Hewan
cemaran dari limbah peleburan logam atau limbah baterai dapat menyebabkan
toksisitas akut. Diagnosa keracunan Pb secara kronis dapat dilakukan dengan
analisa kandungan Pb dalam darah, kadar enzim delta amino-levulinik dehidratase
(delta-ALA) dan kadar eritrosit porfirin bebas (FEP) dalam darah (Darmono
2008).
Keracunan Pb pada sapi telah banyak dilaporkan terutama pada sapi yang
digembalakan pada daerah yang tercemar. Oskarsson et al. (1992) dalam Darmono (2008) melaporkan kasus keracunan Pb pada sapi perah di Swiss.
Keracunan terjadi setelah sapi merumput pada padang penggembalaan bekas
pembuangan baterai. Hasil analisis membuktikan adanya kandungan Pb dalam
ginjal, hati, daging darah dan air susunya. Winarno (1993) menyebutkan bahwa
jenis makanan yang tergolong rendah derajat kontaminasi timbal adalah susu sapi,
buah-buahan dan sayuran serta biji-bijian (15-20 µg/kg), sedangkan daging
termasuk kadar medium (50 µg/kg). Makanan yang dilaporkan tinggi kadar
timbalnya adalah makanan kaleng (50–100 µg/kg), jeroan terutama hati, ginjal ternak (150 µg/kg), ikan (170 µg/kg) dan kelompok tertinggi adalah
kerang-kerangan (molusca) dan udang-udangan (crustacea) yaitu rata-rata lebih tinggi dari 250 µg/kg.
Pada manusia, Pb dapat terakumulasi dalam rambut sesuai dengan
pernyataan Saeni (1997) yang menyatakan bahwa jumlah logam dalam rambut
berkorelasi dengan jumlah logam yang diabsorpsi oleh tubuh. Hal ini karena
rambut mempunyai kandungan protein struktural yang tersusun dari asam-asam
amino sistein yang mengandung gugus sulfihidril (-SH) dan sistein dengan ikatan
disulfida (-S-S-). Gugus tersebut mampu mengikat logam berat yang masuk dalam
tubuh dan terikat di dalam rambut. Lebih lanjut Saeni (1997) menambahkan
bahwa akumulasi Pb tidak hanya dirambut akan tetapi lebih awal akan
terakumulasi dalam darah. Berdasarkan hasil penelitian Aminah (2006) yang
meneliti kandungan Pb dalam darah karyawan Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKL & PPM) di Surabaya.
Karyawan yang bertugas melakukan sampling dilapangan mempunyai kadar Pb
Absorbsi Pb pada manusia maupun ternak terutama melalui saluran cerna
dan saluran nafas. Absorbsi melalui usus pada orang dewasa kira-kira 10%,
sedangkan pada anak-anak sekitar 40%. Kalaassen (1980) menyebutkan bahwa
tidak banyak yang diketahui tentang absorbsi Pb melalui saluran cerna. Ada
dugaan bahwa Pb dan Ca berkompetisi dalam transport lewat mukosa usus, karena
ada hubungan timbal balik antara kadar Ca makanan dan absorbsi Pb. Selain itu
defisiensi Fe dapat meningkatkan absorbsi Pb melalui saluran pencernaan.
Keracunan Pb dapat menyebabkan perubahan susunan syaraf pusat, gangguan
pencernaan dan gangguan sintesis sel-sel darah merah. Pilliang (2002)
menyebutkan bahwa tanda-tanda klinis utama keracunan mineral timah hitam
adalah terjadinya microcytic hypochromic anemia, muntah-muntah, diare, gangguan abdomen, sekresi saliva meningkat, bobot badan menurun dan
keguguran.
Cemaran Pb bersifat akumulatif dalam tubuh baik pada manusia maupun
pada ternak, serta dapat merusak saluran organ dalam tubuh. Linder (1992)
menyebutkan bahwa keracunan Pb pada anak-anak dapat mengakibatkan
kemunduran mental yang bersifat permanen. Selain itu dijelaskan bahwa Pb yang
terkandung dalam makanan orang dewasa rata-rata akan terserap sebesar 5-10%
oleh tubuh, sedangkan pada bayi dan anak-anak sekitar >40% dan dapat ditekan
dengan adanya kalsium (Ca) dan fosfor (P) sehingga konsumsi Ca akan dapat
menekan pengambilan Pb tubuh. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization = WHO) (1996) telah menetapkan batas maksimal serapan Pb oleh manusia dewasa sebesar 400–450 µg/hari.
Efek Logam Kadmium (Cd) pada Ternak dan Manusia. Logam Cd
termasuk salah satu jenis logam yang paling jarang dijumpai karena
konsentrasinya hanya berkisar antara 0.1-0.2 mg/g, sehingga logam Cd berada
pada urutan ke 67 pada kerak bumi (Mason & Moore 1982). Logam Cd menjadi
populer setelah terjadinya pencemaran air sungai Kummamoto di Jepang yang
menyebabkan keracunan pada manusia (Darmono 1995). Logam Cd berwarna
putih keperakan menyerupai alumunium dan biasa digunakan sebagai pelapis
logam seperti seng. Cd biasanya digunakan sebagai bahan pewarna untuk industri
Darmono (1995) menyebutkan bahwa sifat dan kegunaan logam Cd antara
lain: 1) mempunyai sifat tahan panas sehingga sangat baik digunakan sebagai
bahan campuran pembuatan keramik, enamel dan plastik, 2) tahan terhadap korosi
sehingga baik untuk melapisi pelat besi ataupun baja. Bentuk garam kadmium
dari asam lemah sangat baik digunakan sebagai stabilisator pada pembuatan PVC
ataupun plastik untuk mencegah oksidasi dan radiasi.
Cemaran Cd masuk kedalam tubuh manusia atau ternak melalui dua jalan
yaitu saluran pernafasan (udara) dan saluran pencernaan (makanan). Beberapa
hasil penelitian melaporkan bahwa absorpsi Cd lewat saluran pencernaan sangat
sedikit yaitu sekitar 3-8 % dari total Cd yang dimakan. Logam Cd dalam usus
akan menempel pada dinding usus sehingga diduga sel epitel usus mengatur
absorpsi Cd. Apabila sel epitel terkelupas maka Cd ikut keluar dari dalam tubuh.
Konsentrasi Cd yang tinggi pada dinding usus dapat merusak usus dan
mengganggu transportasi Cd. Beberapa komponen tertentu seperti protein,
kalsium, besi dan seng dapat mempengaruhi absorpsi Cd dalam usus (Darmono
1995).
Adsorpsi Cd melalui paru-paru jauh lebih besar daripada absorpsi melalui
saluran pencernaan yang hanya 25-50%. Setelah Cd diabsorpsi dalam tubuh
selanjutnya didistribusikan oleh darah ke berbagai jaringan, dan terakumulasi
dalam hati dan ginjal. Kedua organ fital tersebut merupakan tempat deposit Cd
dalam tubuh yang jumlahnya mencapai 50% dari total Cd. Sejumlah Cd yang
tertimbun dalam jaringan tubuh biasanya akan sangat lambat untuk dilepas
kembali. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa biological half life (waktu paruh) Cd dalam jaringan hati sekitar 5-10 tahun sedangkan dalam ginjal lebih
lama yaitu berkisar 16-33 tahun.
Keracunan Cd akut pada ternak yang termakan atau terminum bahan yang
tercemar Cd dengan dosis 350 mg Cd akan mengakibatkan keracunan dengan
gejala mual, diare, kejang perut dan hipersalivasi. Keracunan Cd pada manusia
terjadi sangat erat kaitannya dengan kualitas lingkungan yang menurun. Gejala
yang timbul terlihat setelah keracunan dalam waktu lama. Akumulasi Cd pada
manusia setelah Cd terakumulasi dalam ginjal sampai jumlah 50 µg/g berat basah
pada saat terjadi kegagalan ginjal. Gejala yang terlihat adalah glikosuria diikuti
dengan dieresis dan aminuria, proteinuria, asiduria dan hiperkalsiuria (Darmono
1995). Nriagu & Simmons (1987) menambahkan bahwa jalur kontaminasi Cd dari
tanah dan udara secara langsung dapat terlihat dari adanya deposisi kandungan Cd
pada bahan pangan (buah, tanaman dan produk ternak) seperti terlihat pada
Gambar 2.
Gambar 2 Jalur cemaran kadmium (Cd) (Sumber: Nriagu & Simmons 1987)
Efek Logam Merkuri (Hg) pada Ternak dan Manusia. Merkuri (Hg)
disebut juga air raksa. Merkuri adalah logam yang secara alami ada dan
merupakan satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair. Logam Hg
murni berwarna keperakan, tidak berbau, mengkilap dan akan menguap bila
dipanaskan pada suhu 357 °C. Senyawa merkuri dalam bentuk Hg(II) dapat terikat pada residu sistein protein/enzim dalam tubuh manusia atau binatang sehingga
protein/enzim kehilangan aktivitasnya. Selain Hg(II), senyawa merkuri paling
berbahaya pada manusia adalah senyawa organomerkuri, khususnya metilmerkuri
dan fenilmerkuri. Senyawa ini bersifat sangat reaktif dan mempunyai mobilitas
tinggi. Hal ini disebabkan gastrointestine manusia yang dapat menyerap sekitar 95% senyawa metilmerkuri sehingga menyebabkan gangguan syaraf binatang dan
manusia melalui peredaran darah (Palar 1994; Rugh et al. 2000; Bizily et al. 2000).
Pencemaran logam Hg pada tanah, air dan udara sangat membahayakan
lingkungan, binatang bahkan kesehatan manusia. Mekanisme keracunan Hg di
Polusi Kadmium
Produk Pangan
Hewan Tanaman
Udara Air