• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluation of Sanitation Implementation, Slaughtering Systems, Halal Assurance Systems and Meat Safety in Pekanbaru Slaughterhouse

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluation of Sanitation Implementation, Slaughtering Systems, Halal Assurance Systems and Meat Safety in Pekanbaru Slaughterhouse"

Copied!
310
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENERAPAN SANITASI, SISTEM PEMOTONGAN,

SISTEM JAMINAN HALAL DAN KEAMANAN DAGING

SAPI DI RPH KOTA PEKANBARU

BAMBANG KUNTORO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Penerapan Sanitasi, Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota Pekanbaru adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulisa lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

(4)
(5)

BAMBANG KUNTORO. Evaluation of Sanitation Implementation, Slaughtering Systems, Halal Assurance Systems and Meat Safety in Pekanbaru Slaughterhouse. Supervised by RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI and HENNY NURAINI

Meat is animal origin food and serve as a source of animal protein for human nutrition. High demand for meat is not always followed by improvement of facilities and condition in slaughterhouses. This study is to evaluate the application of standard sanitation operational procedures (SSOP), good slaughtering practices (GSP) and halal assurance system (HAS) as well as to evaluate establishment number to slaughterhouse in Pekanbaru City and meat quality analysis include physical quality (pH, color and water holding capacity), the microbial contamination, residues of heavy metals (Pb, Cd, Hg) and organophosphate pesticide (OP) residues. Random sampling was done on a population of livestock owners that slaughtered at Pekanbaru City slaughterhouse. Five livestock owners were sampling randomly for evaluate analysis. The cattle used way three heads for each. Carcass parts analyzed were Bicep femoris (BF) and Longissimus dorsi et lumbarum (LD), liver and kidneys. The results for evaluation of SSOP that was implemented is 54.65% and the assessment establishment number deviations indicate that there are 57 minor, 35 major, 14 serious and 8 critical. Implementation of GSP was 59.00% and assessments establishment number deviations showed 10 minor, 14 major, 6 serious and 2 critical, while the evaluation of the implementation of the HAS was 54.50% and deviations has 15 minor, 5 major, 2 serious and 1 critical. The microbial contamination in meat analysis showed that is above the maximum threshold set by the Indonesian National Standard (INS), while the results for physical quality, heavy metal residues and OP residues are under the maximum limit set by INS. The concluded this research is Pekanbaru City slaughterhouse is not implementing SSOP, GSP and HAS as evidenced by deviations in the assessment establishment number. The physical quality of meat was in the normal range of fresh meat. In addition, meat, liver and kidney from slaughterhouse Pekanbaru City has residual heavy metal and OP residues of under the INS, but the meat (BF and LD) contains very high microbial contamination of the INS has been determined.

(6)

BAMBANG KUNTORO. Evaluasi Penerapan Sanitasi, Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota Pekanbaru. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI dan HENNY NURAINI.

Penyediaan bahan pangan dengan nilai gizi tinggi merupakan masalah penting sebagai upaya meningkatkan kesehatan dan kecerdasan masyarakat. Salah satu bahan pangan yang mengandung nilai gizi tinggi adalah daging sapi. Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan daging perlu dilakukan dengan cara meningkatkan produksi dan kualitas hasil ternak secara optimal serta menjamin mutu daging yang aman sampai ke konsumen. Peningkatan permintaan daging tidak selalu diikuti dengan perbaikan sarana rumah potong hewan (RPH) yang memadai, sehingga keamanan dan kehalalan daging menjadi suatu permasalahan yang belum terselesaikan. Kualitas dan keamanan daging yang dihasilkan salah satunya ditentukan oleh pelaksanaan penyediaan daging di rumah potong hewan (RPH). Proses penanganan ternak dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak memperhatikan faktor-faktor sanitasi dan higienis, akan berdampak pada mutu, kehalalan dan keamanan daging yang dihasilkan. Selain itu, diperlukan penetapan aturan atau standar operasional maupun teknis sebagai dasar untuk menyelenggarakan fungsi RPH sebagai tempat pelaksanaan pemotongan ternak guna menghasilkan daging yang ASUH (aman, sehat, utuh dan halal).

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan standard sanitation operational procedure (SSOP), good slaughtering practices (GSP) dan sistem jaminan halal (SJH) serta nilai kontrol veteriner (NKV) terhadap rumah potong hewan (RPH) Kota Pekanbaru. Selain itu, penelitian ini bertujuan mengevaluasi keamanan daging asal RPH Kota Pekanbaru ditinjau dari kualitas daging yang meliputi mutu fisik, tingkat cemaran mikroba, cemaran residu logam berat (Pb, Cd, Hg) serta cemaran residu pestisida golongan organofosfat.

Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sample) terhadap sejumlah pemilik ternak yang melakukan pemotongan di RPH Kota Pekanbaru. Sejumlah pemilik ternak, diambil lima pemilik ternak yang melaksanakan pemotongan di RPH sebagai sampel pengamatan SSOP, GSP, SJH dan NKV. Tiga ekor ternak diambil dari masing-masing pemilik ternak untuk dianalisis mutu fisik daging (pH, warna, persentase air bebas), cemaran mikroba (Salmonella, Eschericia coli, Coliform dan total plate count/TPC), cemaran residu logam (Pb, Cd dan Hg) serta cemaran residu pestisida organofosfat. Sampel yang dianalisis berupa sampel daging sapi bagian otot Bicep femoris (BF) dan Longissimus dorsi et lumbarum (LD), organ hati dan ginjal.

(7)

mayor, 2 penyimpangan serius dan 1 penyimpangan kritis, tetapi tata cara penyembelihan

sapi secara halal telah sesuai dengan ketentuan Syari’at Islam dan persyaratan yang

ditetapkan oleh LPPOM-MUI.

Hasil analisis kualitas daging didapatkan pH pada bagian otot Longissimus dorsi et lumbarum lebih rendah dibandingkan otot bagian Bicep femoris yaitu 5.37 pada otot Longissimus dorsi et lumbarum dan 5.56 pada otot Bicep femoris. Hal yang sama juga terjadi pada penilaian warna daging, otot Longissimus dorsi et lumbarum memiliki skor penilaian 6 yang berarti bahwa daging berwarna merah terang, sedangkan otot Bicep femoris memiliki skor penilaian 7 dengan warna merah agak sedikit gelap. Persentase air bebas otot Longissimus dorsi et lumbarum mencapai 61.80%, sedangkan otot Bicep femoris sekitar 53.53%. Penilaian mutu fisik daging ini masih berada pada kisaran normal daging segar menurut SNI.

Jumlah cemaran mikroba pada daging berada di atas batas maksimum yang telah ditetapkan SNI 3932:2008. Hasil analisis mikrobiologis daging menunjukkan bahwa jumlah TPC berkisar antara 1.0 x 106 - 4.5 x 107cfu/g, sedangkan jumlah E. coli berkisar 35->1100 MPN/g, cemaran Coliform >1100 MPN/g dan negatif untuk cemaran Salmonella. Cemaran residu logam berat Pb berkisar 0.92 ppm, Cd berkisar 0.00-0.60 ppm dan Hg berkisar 0.00-0.03 ppm, sedangkan residu pestisida golongan organofosfat lebih kecil dari 0.005 ppm atau berada di bawah batas maksimum yang telah ditentukan oleh SNI 7313: 2008 tentang batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian.

Pelaksanaan SSOP, GSP, SJH di RPH Kota Pekanbaru belum terlaksana secara menyeluruh yang dibuktikan dengan masih adanya penyimpangan-penyimpangan pada penilaian NKV. Selain itu, untuk meminimalkan kontaminasi mikroba khususnya TPC, E. coli, Coliform perlu diupayakan perbaikan fasilitas RPH serta pembinaan dan pelatihan terhadap sumber daya manusia di RPH Kota Pekanbaru tentang pentingnya sanitasi dan higienis pada proses produksi, sehingga kriteria produksi daging ASUH dapat tercapai.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(9)
(10)

BAMBANG KUNTORO

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)
(12)

NIM : D151090081

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(13)
(14)

yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian dan

penulisan Tesis ini dengan baik. Tesis ini berjudul Evaluasi Penerapan Sanitasi,

Sistem Pemotongan, Sistem Jaminan Halal dan Keamanan Daging Sapi di RPH Kota

Pekanbaru.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari,

DEA dan Dr.Ir. Henny Nuraini, M.Si selaku pembimbing, yang selalu memberikan

arahan dalam penyelesaian tesis ini dari awal hingga akhir. Ucapan terima kasih juga

tak lupa penulis sampaikan kepada Dr. drh. H. Trioso Purnawarman, M.Si selaku

penguji luar komisi atas segala saran dan masukkan untuk kesempurnaan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pemerintah Provinsi Riau dan

Pemerintah Kabupaten Bengkalis yang telah memberikan bantuan sehingga penulis

dapat menyelesaikan studi pascasarjana ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada Pimpinan dan Staff RPH Kota Pekanbaru yang telah memberikan izin kepada

penulis untuk melaksanakan penelitian di RPH. Terima kasih juga penulis sampaikan

kepada Rektor UIN Suska Riau yang telah memberikan izin kepada penulis untuk

melanjutkan pendidikan ini, dan kepada Dekan (Dr.Ir. Tantan R. Wiradarya, M.Sc)

dan seluruh dosen beserta staf Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska yang

telah memberikan motovasi selama ini. Terima kasih untuk drh. Jully, Idil, Pajri,Rike

dan Jume yang telah banyak membantu pengamatan dan pengambilan sampel selama

proses penelitian. Terima kasih untuk teman-teman mahasiswa Pascasarjana Mayor

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Angkatan 2009 yang telah banyak

memberikan semangat selama perkuliahan, penelitian sampai pada penulisan tesis ini.

Akhirnya penulis mempersembahkan Tesis ini untuk Ibunda ku tercinta

Kamsiah (Alm) dan Ayahnda H. Ahmad Arifin serta saudara-saudaraku yang telah

memberikan motivasi dan dorongan hingga Tesis ini dapat terselesaikan.

Bogor, Januari 2012

(15)
(16)

Penulis dilahirkan di Desa Selatbaru Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis –

Riau pada tanggal 11 April 1982 sebagai anak ke enam dari delapan bersaudara dari

pasangan Ayahanda H. Ahmad Arifin dan Ibunda Kamsiah (Alm).

Tahun 2001 penulis lulus dari SMUN 1 Selatbaru – Bantan. Pada tahun 2002

penulis melanjutkan studi di perguruan tinggi negeri dan tahun 2007 lulus program

Sarjana dari Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas

Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Tahun 2008 penulis diangkat sebagai staf

pengajar di universitas yang sama. Tahun 2009 penulis mendapatkan kesempatan

melanjutkan pendidikan pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan di

(17)

BAMBANG KUNTORO. Evaluation of Sanitation Implementation, Slaughtering Systems, Halal Assurance Systems and Meat Safety in Pekanbaru Slaughterhouse. Supervised by RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI and HENNY NURAINI

Meat is animal origin food and serve as a source of animal protein for human nutrition.. Demand for meat in Indonesia is become higher with increasing income and community awareness. High demand for meat is not always followed by improvement of facilities and condition in slaughterhouses, thus making the safety and halal meat demand to be an unresolved issue. This study is the objective to evaluate the application of standard sanitation operational procedures (SSOP), good slaughtering practices (GSP) and halal assurance system (HAS) as well as to evaluate establishment number to slaughterhouse in Pekanbaru City. In addition, this study aims to evaluate the meat safety of Pekanbaru City slaughterhouse. Meat quality parameter include physical quality (pH, color and percentage of free water), the level of microbial contamination (Salmonella, Eschericia coli, Coliform and total plate count / TPC), contamination residues of heavy metals (Pb, Cd, Hg) and the organophosphate pesticide residues. Random sampling was done on a population of livestock owners that slaughtered at Pekanbaru City slaughterhouse. Five livestock owners were sampling randomly for SSOP, GSP, HAS and establishment number analysis. The cattle used way three heads for each. All fifteen carcasses used were analyzed for meat quality consist of pH value, color, water holding capacity, microbial contamination and heavy metal residues (Pb, Cd and Hg) and organophosphate pesticide residue. Carcass parts analyzed were Bicep femoris (BF) and Longissimus dorsi et lumbarum (LD), liver and kidneys.

The results for evaluation showed SSOP that was implemented is 54.65% and the results of the assessment establishment number indicate that there are 57 minor deviations, 35 major deviations, 14 serious deviations and 8 critical deviations. Evaluation of the implementation of GSP was 59.00% and assessments establishment number showed 10 minor deviations, 14 major deviations, 6 serious deviations and 2 critical deviations, while the evaluation of the implementation of the HAS was 54.50% and has 15 minor deviations, 5 major deviations, 2 serious deviations and 1 critical deviation. The results of microbial contamination in meat analysis showed that beef slaughterhouse is above the maximum threshold set by the Indonesian National Standard (INS), while the results for physical quality, heavy metal residues and organophosphate pesticide residues contamination are under the maximum limit set by INS.

Based on the results of this study it is concluded that Pekanbaru City slaughterhouse is not implementing SSOP, GSP and HAS as evidenced by deviations in the assessment establishment number. The physical quality of meat was in the normal range of fresh meat, in addition, meat, liver and kidney from slaughterhouse Pekanbaru City has residual heavy metal and organophosphate pesticide residues of under the INS, but the resulting meat contains very high microbial contamination of the INS has been determined.

(18)
(19)

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Rumah Potong Hewan (RPH) ... 5

Standard Sanitation Operational Procedure (SSOP) ... 6

Good Slaughtering Practices (GSP) ... 7

Nomor Kontrol Veteriner (NKV) ... 8

Daging ... 9

Cemaran Mikrobiologi Daging ... 13

Cemaran Kimia pada Daging ... 16

MATERI DAN METODE ... 27

Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

Materi Penelitian ... 27

Metode Penelitian ... 27

Rancangan Percobaan ... 28

Peubah yang Diukur ... 28

Analisis Data ... 39

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

Profil Rumah Potong Hewan Kota Pekanbaru ... 41

Evaluasi Pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru ... 42

Evaluasi Pelaksanaan GSP di RPH Kota Pekanbaru ... 72

Evaluasi Penerapan SJH di RPH Kota Pekanbaru ... 82

Mutu Fisik Daging Sapi ... 97

Cemaran Mikrobiologi pada Daging Sapi ... 100

Cemaran Logam Berat pada daging dan Jeroan Sapi ... 102

Cemaran Residu Pestisida OP pada Daging dan Jeroan Sapi ... 107

SIMPULAN DAN SARAN ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113

(20)
(21)

Halaman

1 Komposisi zat gizi daging sapi, kerbau dan ayam per 100 g bahan ... 10

2 Syarat mutu mikrobiologi daging sapi ... 16

3 Jumlah mikroba pada daging setelah proses pemotongan ... 16

4 Batas toleransi logam berat dalam pakan pada beberapa jenis ternak menurut NRC (mg/kg) ... 17

5 Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan (daging dan olahannya) ... 18

6 Batas maksimum cemaran persisida pada daging ... 25

7 Hasil uji Salmonella pada TSA dan LIA ... 33

8 Reaksi biokimia Salmonella sp ... 34

9 Hasil reaksi indole, Methyl red, Voges-proskauer, citrate (iMViC) terhadap E. coli ... 36

10 Hasil rekapitulasi evaluasi pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru ... 43

11 Hasil evaluasi pelaksanaan SSOP di RPH Kota Pekanbaru ... 50

12 Hasil rekapitulasi evaluasi penerapan GSP di RPH Kota Pekanbaru ... 73

13 Hasil evaluasi pelaksanaan GSP di RPH Kota Pekanbaru ... 76

14 Hasil rekapitulasi evaluasi penerapan sistem jaminan halal (SJH) di RPH Kota Pekanbaru ... 84

15 Hasil evaluasi pelaksanaan SJH di RPH Kota Pekanbaru ... 87

16 Rataan mutu fisik daging sapi asal RPH Kota Pekanbaru ... 97

17 Jumlah cemaran bakteri pada daging sapi dan sampel air asal RPH Kota Pekanbaru ... 100

18 Hasil analisis total plate count (TPC) terhadap sanitasi ruang, peralatan dan higienis personal di RPH Kota Pekanbaru ... 102

19 Hasil analisis cemaran logam dan standar batas maksimal (maximal residue limit/MRL) cemaran Pb, Cd dan Hg pada daging, hati dan ginjal sapi………. 103

(22)
(23)

Halaman

1 Jalur cemaran logam timbal (Pb) ... 19

2 Jalur cemaran logam cadmium (Cd) ... 23

3 Kondisi bangunan utama RPH Kota Pekanbaru ... 44

4 Kondisi tempat penyembelihan ternak di RPH Kota Pekanbaru ... 45

5 Kondisi tempat penanganan karkas dan jeroan di RPH Kota

Pekanbaru ... 46

6 Kondisi sanitasi tempat produksi dan higiene personal yang tidak baik

di RPH Kota Pekanbaru ... 47

7 Penanganan ternak sesaat setelah disembelih di RPH Kota

Pekanbaru ... 74

8 Kondisi alat angkut daging dan jeroan sapi di RPH Kota Pekanbaru ... 75

9 Kondisi penanganan karkas/daging di RPH Kota Pekanbaru ... 84

(24)
(25)

Halaman

1 Check list standard sanitation operational procedure (SSOP) Rumah

Potong Hewan (RPH) ... 121

2 Check list good slaughtering practices (GSP) Rumah Potong Hewan

(RPH) ... 133

(26)
(27)
(28)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyediaan bahan pangan dengan nilai gizi tinggi merupakan masalah

penting sebagai upaya meningkatkan kesehatan dan kecerdasan masyarakat. Salah

satu bahan pangan yang mengandung nilai gizi tinggi adalah daging sapi.

Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan daging perlu dilakukan dengan cara

peningkatan produksi dan kualitas hasil ternak secara optimal serta penjaminan

mutu daging yang aman sampai ke konsumen. Rerata konsumsi daging per kapita

di Indonesia tergolong masih rendah, dengan kisaran dari 0-50 kg/kapita/tahun.

Hal ini tidak terlepas dari tingkat daya beli masyarakat yang masih rendah dan

produktivitas ternak yang belum optimal. Kontribusi ternak ruminansia, terutama

sapi terhadap konsumsi daging nasional baru mencapai 21%, sedangkan sebagian

besar (63%) berasal dari unggas dan sebagian lainnya dari kambing dan domba

(Departemen Pertanian 2008).

Potensi pengembangan ternak potong di Provinsi Riau sangat menjanjikan,

yang diukur berdasarkan jumlah ternaknya.Populasi sapi sekitar 105.253 ekor,

kerbau 47.799 ekor, kambing 256.324 ekor (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau

2005). Populasi ternak pada tahun 2008 mengalami peningkatan yaitu ternak sapi

sekitar 161.202 ekor, kerbau 49.116 ekor, kambing 240.809 ekor, ayam ras

pedaging 30.679.920 ekor, ayam buras 3.466.760 ekor, ayam ras petelur 592.404

ekor. Jumlah pemotongan ternak pada tahun 2009 mencapai 41.732 ekor,

sedangkan produksi daging mencapai 7.639 ton dengan konsumsi daging sebesar

4.1 kg/kapita/tahun (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau 2010).

Misi Departeman Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan adalah

pencanangan Program Swasembada Daging 2014 yang bertujuan untuk

menyediakan pangan asal ternak yang cukup secara kuantitas dan kualitas.Selain

itu, berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan,

maka tuntutan masyarakat terhadap pelaku pasar dalam menyediakan pangan

(29)

Kualitas dan keamanan daging yang dihasilkan salah satunya ditentukan

oleh pelaksanaan penyediaan daging di rumah potong hewan (RPH). Proses

penanganan ternak dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak memperhatikan

faktor-faktor sanitasi dan higienis, akan berdampak pada mutu, kehalalan dan

keamanan daging yang dihasilkan. Penetapan aturan atau standar operasional

maupun teknis di RPH adalah sebagai dasar untuk menyelenggarakan fungsi RPH

sebagai tempat pelaksanaan pemotongan ternak guna menghasilkan daging yang

ASUH (aman, sehat, utuh dan halal).

Daging yang berasal dari ternak ruminansia umumnya dipelihara secara

tradisional oleh masyarakat. Sumber pakan yang diberikan umumnya hanya

hijauan atau rumput lapang, sehingga kontaminasi pakan oleh logam berat dan

cemaran pestisida merupakan sumber utama terjadinya toksisitas pada hewan

ternak. Logam berat tidak dapat terdegradasi secara alami dan cenderung

terakumulasi dalam air, tanah dan tubuh makhluk hidup. Selain itu, logam berat

seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd) dan timbal (Pb) dapat mengakibatkan

gangguan kesehatan bagi manusia. Efek toksik logam berat akan terakumulasi

dalam waktu lama yang mampu menghambat kerja enzim sehingga mengganggu

metabolisme tubuh, menyebabkan alergi, bersifat mutagen, teratogen, atau

karsinogen bagi hewan bahkan ke manusia.

Nilai gizi yang terkandung dalam daging sangat mendukung bagi

kehidupan mikroorganisme terutama bakteri. Adanya aktivitas mikroorganisme

dalam daging akan menurunkan kualitas daging yang ditunjukkan dengan

perubahan warna, rasa, aroma dan pembusukanyang dipengaruhi oleh kondisi

ternak, kondisi lingkungan, kondisi tempat pemotongan dan proses penanganan

daging mulai dari pemotongan sampai pengolahan. Penerapan sistem hazard analysis critical control point (HACCP) pada usaha peternakan secara terpadu akan meminimalkan terjadinya bahaya pada produk pangan asal ternak.

Di Indonesia kejadian foodborne disease yang diakibatkan oleh mengkonsumsi daging sapi jarang dilaporkan meskipun kejadiannya tidak sedikit.

Di Provinsi Riau, informasi yang berhubungan dengan keamanan daging sapi

yang dilihat dari status mikrobiologi masih sangat kurang. Umumnya daging yang

(30)

pemotongan yang berlaku di RPH. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa

sampel daging sapi yang beredar dibeberapa pasar tradisional di Pekanbaru,

mengandung cemaran bakteri lebih tinggi dibanding Standar Nasional Indonesia

(SNI). Selain itu, informasi cemaran residu logam berat dan pestisida dalam

daging belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang evaluasi

penerapan sanitasi, sistem pemotongan, sistem jaminan halal dan keamanan

daging sapi yang dipotong di RPH Kota Pekanbaru.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi penerapan sanitasi

(standard sanitation operational procedure/SSOP), sistem pemotongan (good slaughtering practices/GSP), sistem jaminan halal (SJH) serta menguji status keamanan daging sapi yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) Kota

Pekanbaru yang dilihat dari kualitas fisik, cemaran logam berat, residu pestisida

organoposfat dan status mikrobiologi (Salmonella, E. coli, Coliform dan TPC) sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3932: 2008 tentang mutu

karkas dan daging sapi, SNI nomor 7317: 2008 tentang batas maksimum residu

pestisida pada hasil pertanian dan SNI 7387: 2009 tentang batas maksimum

cemaran logam berat dalam pangan.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa

gambaran kualitas dan keamanan daging sapi yang dihasilkan dari RPH Kota

Pekanbaruserta dapat memberikan masukan tentang manajemen pemotongan

ternak dengan menerapkan sistem jaminan halal guna mendapatkan daging yang

berkualitas, aman dan halal untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah bahwa daging sapi yang

dihasilkan dari rumah potong hewan (RPH) Kota Pekanbaru berada diatas batas

maksimum yang ditetapkan berdasarkan SNI 3932: 2008 tentang mutu karkas dan

daging sapi dan SNI nomor 7317: 2008 tentang batas minimum residu pestisida

pada hasil pertanian dan SNI 7387: 2009 tentang batas maksimum cemaran logam

(31)
(32)

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Potong Hewan (RPH)

Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan

dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan

hewan bagi konsumsi masyarakat umum. Pemotongan hewan merupakan kegiatan

untuk menghasilkan daging hewan yang terdiri atas pemeriksaan ante-mortem, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post-mortem (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010). Berdasarkan

SNI 01-6159-1999 disebutkan bahwa RPH adalah kompleks bangunan dengan

desain khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higien tertentu serta

digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi

masyarakat.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor

13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang persyaratan rumah potong hewan

ruminansia dan unit penanganan daging (meat cutting plant) telah ditetapkan persyaratan teknis RPH. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam

penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal serta berfungsi sebagai

sarana untuk melaksanakan :

1. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan

masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);

2. Tempat melaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection), pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonosa ke manusia;

3. Tempat pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang

ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di

daerah asal hewan;

Selain itu, rumah potong hewan harus memenuhi beberapa syarat seperti :

a. Berlokasi didaerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran

(33)

b. Komplek RPH harus dipagar yang berfungsi untuk memudahkan penjagaan

keamanan;

c. Memiliki ruangan yang digunakan sebagai tempat penyembelihan, dinding

dan lantai kedap air, ventilasi yang cukup;

d. Mempunyai perlengkapan yang memadai;

e. Pekerja berpengalaman dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner, dan

f. Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan alat-alat untuk

pemotongan babi harus terpisah dengan alat dan tempat pemotongan sapi,

kerbau dan kambing.

Berdasarkan luasan peredaran daging yang dihasilkan oleh usaha

pemotongan hewan, RPH terdiri atas empat kelas yaitu: kelas A untuk penyediaan

daging kebutuhan ekspor, kelas B menyediakan kebutuhan daging antar Provinsi

Daerah Tingkat I, kelas C untuk penyediaan daging antar Kabupaten/ Kotamadya

Daerah Tingkat II dalam satu provinsi dan kelas D untuk penyediaan kebutuhan

daging di wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II. Berdasarkan jenis

kegiatan usaha pemotongan hewan, RPH terbagi menjadi 3 kategori yaitu:

kategori I untuk usaha pemotongan hewan yang meliputi kegiatan melaksanakan

pemotongan hewan milik sendiri di RPH milik sendiri, kategori II untuk usaha

pemotongan hewan yang melaksanakan kegiatan menjual jasa pemotongan hewan

atau melaksanakan pemotongan hewan milik orang lain, dan kategori III untuk

usaha pemotongan hewan yang berupa kegiatan melaksanakan pemotongan

hewan milik orang lain.

Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)

Standard sanitation operating procedure (SSOP) merupakan standar operasi suatu perusahaan yang mencakup kebijakan perusahaan, tahap kegiatan,

nama petugas, cara pemantauan dan cara dokumentasi sebagai pertimbangan

dalam melakukan inspeksi. SSOP memberikan manfaat dalam suatu unit usaha

dalam menjamin sistem keamanan produk pangan antara lain memberikan jadwal

prosedur sanitasi, memberikan landasan program monitoring berkesinambungan,

mendorong perencanaan yang menjamin untuk proses koreksi, mengidentifikasi

kecenderungan dan mencegah kontaminasi silang, menjamin setiap personil,

(34)

praktek sanitasi dan kondisi diunit usaha. Luning et al. (2003) menyatakan bahwa secara umum praktik higiene dan sanitasi dalam suatu industri atau perusahaan

pangan meliputi higiene personal, bangunan, peralatan produksi, proses produksi,

penyimpanan dan distribusi.

Tujuan SSOP menurut Winarno dan Surono (2002) adalah agar setiap

karyawan teknis maupun administrasi mampu: (1) mengerti bahwa program

kebersihan dan sanitasi dapat meningkatkan kualitas dan keamanan produk yang

ditandai dengan menurunnya tingkat kontaminasi, (2) mengetahui adanya

peraturan good manufacturing practices (GMP) yang mengatur penggunaan zat tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program higiene dan sanitasi, (3)

mengetahui tahapan proses higiene dan sanitasi, (4) mengetahui persyaratan

minimum penggunaan sanitasi dan klorin pada air pendingin, khususnya pada

industri pengolahan makanan, (5) mengetahui adanya faktor seperti pH, suhu dan

konsentrasi disinfektan yang mempengaruhi hasil akhir suatu proses sanitasi dan

(6) mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul apabila sanitasi tidak

dijalankan.

Good Slaughtering Practices (GSP)

Good slaughtering practices (GSP) merupakan seluruh praktik di RPH yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk menjamin

keamanan dan kelayakan pangan pada seluruh tahapan dalam rantai pangan (CAC

2004). Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan ternak yang

baik yaitu: (1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) ternak tidak

mengalami stres, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan

sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, (5) cara pemotongan

harus higienis, (6) ekonimis dan (7) aman bagi para pekerja abatoar (Swatland

1984).

Harris & Jeff (2003) menyatakan bahwa pelaksanaan GSP berfungsi untuk

meminimalkan kontaminasi mulai dari pra-pemotongan, penanganan ternak

dikandang, memandikan ternak,stunning, penyembelihan, bunging, skinning, eviserasi, splitting, final trim, pencucian karkas sampai dihasilkan produk akhir. Selain itu, tahapan GSP juga ditinjau dari kebersihan fasilitas produksi, air yang

(35)

Soeparno (2005) menyatakan bahwa terdapat dua teknik pemotongan

ternak yaitu a) teknik pemotongan ternak secara langsung dan b) secara tidak

langsung. Pemotongan ternak secara langsung dilakukan setelah ternak

dinyatakan sehat dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memutuskan

arteri karotis, vena jugularis dan esofagus. Pemotongan ternak secara tidak

langsung adalah dengan perlakuan pemingsanan terlebih dahulu yang bertujuan

untuk memudahkan penyembelihan ternak, agar ternak tidak stres, agar kualitas

kulit dan karkas lebih baik.

Nomor Kontrol Veteriner (NKV)

Setiap unit usaha produk pangan hewan wajib memiliki nomor kontrol

veteriner (NKV). NKV merupakan sertifikat kelayakan usaha yang merupakan

registrasi usaha pemotongan, pengolahan dan pemasaran produk peternakan yang

diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab menangani suatu unit usaha atau

bidang kesehatan masyarakat veteriner. Usaha produk pangan asal hewan dapat

dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia

dalam bentuk perusahaan daerah, perseroan terbatas atau koperasi. Unit usaha

produk pangan asal hewan antara lain meliputi: usaha rumah

potongahewan/unggas (RPH/RPU), usaha industri pengolahan produk pangan asal

hewan, dan usaha importir/eksportir/penampung/distributor produk pangan asal

hewan.

Menurut Direktorat Kesmavet (2001) untuk mendapatkan NKV pada unit

usaha produk pangan asal hewan, harus memenuhi dua persyaratan utama yaitu

persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Persyaratan teknis meliputi

persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak, peralatan, suplai air, higiene

karyawan dan perusahaan, kendaraan produk pangan asal hewan, ruangan

penyimpanan produk asal hewan, proses pengemasan, pengendalian hama,

mampu telusur (traceability), penarikan produk kembali dan pengawasan kesehatan masyarakat. Tata cara pemberian NKV pada prinsipnya dapat

diklasifikasikan dalam dua kelas yaitu: kelas A untuk unit usaha produk pangan

asal hewan klasifikasi ekspor, dan kelas B untuk unit usaha produk pangan asal

(36)

Daging

Daging adalah salah satu komoditi pertanian khususnya sektor peternakan

yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi seperti protein,

lemak,mineral dan komponen lainnya. Secara umum konsumsi protein dalam

menu masyarakat masih di bawah kebutuhan minimum, terutama protein yang

berasal dari hewani. Menurut “Food and Drug Administration” dalam Muchtadi et al. (2010) daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi, domba atau unggas yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong,

tetapi hanya terbatas pada bagian muskulus yang berserat yaitu yang berasal dari

muskulus skeletal atau lidah, diafragma, jantung dan esofagus, tidak termasuk

moncong, bibir, telinga dengan atau syaraf dan pembuluh darah. Soeparno (2005)

dan Aberle et al. (2001) mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk

dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang

mengkonsumsinya. Berdasarkan SNI 3932:2008 disebutkan daging adalah bagian

otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh

manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku.

Daging sapi mempunyai peran yang cukup besar dalam konteks ketahanan

pangan nasional. Seperti halnya dengan komoditas susu ataupun daging unggas,

daging sapi menjadi salah satu komoditas sumber protein yang sangat dibutuhkan

tubuh manusia untuk kesehatan dan pertumbuhan. Daging sapi merupakan

komoditas daging yang disukai konsumen Indonesia selain daging ayam, daging

kambing/domba, dan daging dari ternak lainnya. Alasan–alasan konsumen menyukai daging sapi ini antara lain karena, pertimbangan gizi, status sosial,

pertimbangan kuliner dan pengaruh budaya barat (Jonsen 2004), disamping itu

tingkat kecernaan protein daging sapi mencapai 95-100% dibandingkan kecernaan

protein tanaman yang hanya 65-75% (Aberle et al. 2001).

Tabrany (2004) menjelaskan bahwa komposisi kimia daging terdiri atas air

(56%-72%), protein (15%-22%), lemak (5%-34%) dan substansi bukan protein

terlarut (3.5%) yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen

(37)

perbedaan komposisi zat gizi antara daging sapi, kerbau dan ayam seperti

diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi zat gizi daging sapi, kerbau dan ayam per 100 g bahan

Zat gizi Daging

Sapi Kerbau Ayam

Air (gram) 66.0 84.0 -

Protein (gram) 18.8 18.7 18.2

Energi (K) 207.0 84.0 302.0

Lemak (gram) 14.0 0.5 25.0

Kalsium (mg) 11.0 7.0 14.0

Besi (mg) 2.8 2.0 1.5

Vitamin A (SI) 30.0 0.0 810.0

Sumber : Hasbullah (2005).

Kualitas Fisik Daging

Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain

metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging.

Parameter spesifik untuk menilai kualitas fisik daging meliputi warna, nilai pH,

daya mengikat air, susut masak, keempukan dan tekstur daging (Soeparno 2005).

Warna Daging. Faktor yang menentukan warna daging antara lain adalah

bangsa ternak, spesies, umur, jenis kelamin, pakan, aktivitas ternak, tingkat stress,

pH daging, tipe otot dan ketersediaan oksigen. Karakteristik warna daging

merupakan salah satu parameter kualitas daging. Warna daging juga dipengaruhi

oleh pigmen yaitu mioglobin. Jenis molekul dan status kimia mioglobin, serta

kondisi kimia dan fisik yang terdapat dalam daging berperan besar dalam

menentukan warna daging (Lawrie 2003; Jeong et al. 2009). Mioglobin sebagai salah satu dari protein sarkoplasmik terbentuk dari suatu rantai polipeptida

tunggal terikat disekeliling groupheme yang membawa oksigen. Group heme tersusun dari suatu atom Fe dan suatu cincin porfirin. Perbedaan warna daging

antar spesies disebabkan konsentrasi mioglobin, yang akan meningkat seiring

dengan meningkatnya umur ternak (Soeparno 2005).

Warna daging yang disukai konsumen adalah merah cerah yang

menunjukkan mutu daging. Perubahan warna daging dipengaruhi oleh banyak

faktor. Daging yang terekspos dengan udara (O2), mioglobin dan oksigen dalam

(38)

daging akan berwarna merah cerah. Apabila waktu kontak antara mioglobin

dengan oksigen berlangsung lama, maka akan terjadi oksidasi membentuk ferric-metmyoglobin (MetMb), sehingga daging berwarna coklat dan tidak menarik (Aberle et al. 2001; Jeong et al. 2009).

Daya Mengikat Air (DMA). DMA oleh protein daging atau dikenal

dengan water holding capacity (WHC) merupakan kemampuan daging untuk mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar,

misalnyapengaruh pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan.

Absorbsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara

spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (Soeparno 2005). Jumlah air

yang terikat dalam daging tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan pH

serta jumlah denaturasi protein. Secara umum DMA dipengaruhi oleh

faktor-faktor yang mengakibatkan diferensiasi dalam otot seperti spesies, umur dan

fungsi otot (Forrest et al.1975).

Lawrie (2003) menyatakan bahwa DMA daging sangat dipengaruhi oleh

pH, semakin tinggi pH akhir maka penurunan DMA juga sedikit. DMA sangat

penting dalam proses pengolahan daging sebagai protein yang mampu menahan

lebih banyak air menjadi lebih mudah larut. Daya mengikat air dari daging pada

pH titik isoelektrik protein daging berkisar antara 5.0-5.1. Protein daging ini tidak

bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan

solubilitasnya minimal, sedangkan pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik

protein daging, maka sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus

muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberikan

lebih banyak ruang untuk molekul air. Meningkat atau menurunnya pH daging

dari titik isoelektrik akan mengakibatkan meningkatnya kapasitas DMA dengan

cara menciptakan ketidakseimbangan muatan.

pH Daging. Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman

dan kebasaan suatu substansi. Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai

nilai pH sekitar 5.1-7.2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami

glikolisis dan menghasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH. pH ultimat

daging tercapai setelah glikolisis otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim

(39)

terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimat normal daging post-mortem adalah sekitar 5.5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril (Lawrie 2003).

Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat

dengan penurunan pH karkas post-mortem.Temperatur tinggi pada dasarnya meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju

penurunan pH (Soeparno 2005). Nilai pH sangat penting untuk diperhatikan

karena pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging yang berkaitan

dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan

(Lukman et al. 2007). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa secara umum laju penurunan pH daging dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6–5.7 dalam waktu 6-8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.7.

Pola penurunan seperti ini disebut pola penurunan pH secara normal.

2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan

dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5-6.8. Sifat daging yang

dihasilkan berwarna gelap, keras dan kering atau dikenal dengan daging dark firm dry (DFD).

3. Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5.4-5.5 pada jam pertama

setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.6. Sifat daging yang

dihasilkan berwarna pucat, lembek dan berair atau dikenal dengan daging pale soft excudative (PSE).

Nilai pH daging akan berubah setelah ternak dipotong. Perubahan pH

tergantung pada jumlah glikogen sebelum ternak dipotong. Apabila jumlah

glikogen dalam tubuh ternak normal, maka menurut Aberle et al. (2001) akan mendapatkan daging yang berkualitas baik dan begitu sebaliknya. Henckle et al. (2000) menambahkan bahwa penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan

oleh kondisi fisiologis otot yang berhubungan dengan produksi asam laktat atau

(40)

Cemaran Mikrobiologi Daging

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang digolongkan sebagai

perisable food atau bersifat mudah rusak. Daging juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme karena banyak mengandung air, kaya

akan zat-zat gizi serta memiliki pH yang sangat menguntungkan untuk

pertumbuhan mikroorganisme (Lawrie 2005). Nilai pH rendah berhubungan

dengan reduksi air pada daging (Vada-Kovacs 1996). Selain itu, suhu

penyimpanan, ketersediaan air dan oksigen berpengaruh terhadap pertumbuhan

bakteri. Suhu optimum untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah 15-40 °C, tetapi beberapa organisme dapat tumbuh dengan baik pada suhu refrigerator

bahkan tumbuh dengan baik pada suhu dibawah nol (Aberle et al. 2001).

Kontaminasi awal pada daging berasal dari mikroorganisme yang

memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan. Daging segar umumnya

terkontaminasi dengan sejumlah besar bakteri termasuk bakteri patogen yang

dapat mengkontaminasi makanan seperti Bacillus cereus,Clostridium perfringens, Clostridium jejuni, Eschericia coli, Listeria monocytogenes, Salmonella sp dan Staphylococcus aureus (Mosupye & Holy 2005). Ternak yang dipotong secara higienis mengandung sekitar 103-104 koloni/cm2 yang terdapat pada permukaan daging. Jumlah awal dapat mencapai 106 koloni/cm2 setelah pemotongan (Bem & Hechelmann1995), dan menurut Buckle et al. (1986) jumlah bakteri pencemar pada daging adalah berkisar 102-104 koloni/cm2. Lebih lanjut Buckle et al. (2009) dan Mead (2007) menyatakan bahwa jumlah bakteri dalam daging akan terus

meningkat tergantung penanganan dan pencemaran selanjutnya. Perkembangan

bakteri pada daging umumnya dapat diketahui dengan adanya pembentukan

lendir. Bakteri akan tampak berlendir, berbau busuk dan rusak jika jumlahnya

mencapai 107-108 koloni/cm2. Dinyatakan juga bahwa timbulnya bau disebabkan produksi hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh mikroorganisme.

Bakteri patogen yang ditemukan dalam daging adalah Salmonella, Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitico, Clostridium perfringens dan C. botulinum. Mikroba yang terdapat pada bagian dalam seperti koliform fekal dan streptokokus fekal yang sering ditemukan dalam daging menunjukkan bahwa

(41)

mendapatkan jenis bakteri Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter, Lactobacillus, Micrococcus, Brochotrix thermosphacta dan beberapa Enterobactericeae seperti Klebsiella, Yersinea, Serratia dan Proteus. Mikroba berbahaya yang meracuni makanan khususnya daging yang dikaitkan dengan

kontaminasi saluran pencernaan adalah Salmonella, S. aureus dan enteropathogenic Eschericia coli (ICSMF 1980).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba pada Daging

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada daging adalah

aktivitas air (aw), potensial oksidasi, pH dan temperatur. Parameter ini berperan

pada saat otot berubah menjadi daging (Jay 2000). Menurut Garbutt (1997) dan

Lawrie (2003) umumnya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di

dalam daging dibagi menjadi dua kelompok yaitu 1) faktor dalam (intrinsik) dan

2) faktor luar (ekstrinsik). Faktor intrinsik terdiri atas nilai nutrisi daging, kadar

air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi penghalang atau

penghambat.

Nutrisi daging. Disamping air dan oksigen, sebagian besar mikroba

membutuhkan nutrien nitrogen, energi, mineral dan vitamin B untuk

pertumbuhannya. Air dibutuhkan oleh semua makhluk hidup termasuk mikroba.

Kadar air yang tersedia di dalam daging sangat menentukan tingkat pertumbuhan

mikroba. Kebutuhan mikroba akan air dinyatakan sebagai aktivitas air atau

disebut sebagai water activity (aw). Sejumlah mikroba tidak dapat tumbuh dengan

baik pada aw lebih kecil dari 0.91, tetapi aw minimum untuk pertumbuhan sangat

bervariasi misalnya aw minimum untuk Salmonella adalah 0.94 sedangkan aw

minimum untuk Staphylococcus mendekati 0.86. Pada kondisi normal, daging mempunyai aw 0.99 dan pH 5.3–5.7. Sebagian besar mikroba tumbuh optimal

pada pH kira-kira 7.0 (Garbutt 1997; Devies & Board 1998; Mead 2007).

Potensi oksidasi-reduksi. Sejumlah mikroba membutuhkan kondisi

oksidasi dan sejumlah kondisi reduksi. Mikroba aerobik adalah mikroba yang

dapat tumbuh pada potensial oksidasi reduksi yang tinggi. Mikroba anaerobik

dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen, karena O2 dapat bersifat toksik pada

(42)

rendah. Mikroba anaerobik fakultatif dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen

atau ada oksigen.

Substansi penghalang atau penghambat. Substansi penghambat dan

jaringan proteolitik pada daging yang dapat menghambat aktivitas mikroba

disebut bakteriostatik, sedangkan substansi yang merusak atau dapat membunuh

mikroba disebut bakteriosidal. Lemak dan kulit pada karkas daging melindungi

dari kontaminasi mikroba (Soeparno 2005).

Faktor ekstrinsik terdiri atas temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya

oksigen dan bentuk atau kondisi daging. Temperatur sangat menentukan laju

pertumbuhan dan jumlah mikroba pada daging. Berdasarkan temperatur maksimal

dan optimum untuk pertumbuhan, mikroba dibagi menjadi tiga kelompok yaitu

mesofilik, psikrofilik dan thermofilik. Mikroba mesofilik tumbuh paling baik pada

temperatur 25-40 °C. Mikroba psikrofilik dapat tumbuh pada temperatur 0 °C tetapi pertumbuhan optimalnya adalah pada temperatur 20-30 °C. Mikroba termofilik memiliki pertumbuhan optimum pada temperatur 45-60 °C.

Kelembaban relatif. Pada umumnya makin tinggi temperatur

penyimpanan, kelembaban relatif seharusnya makin rendah. Pada temperatur -1 °C sampai 3 °C, kelembaban relatif sebaiknya antara 88-92%. Kelembaban relatif yang terlalu tinggi, cairan akan berkondensasi pada permukaan daging, sehingga

permukaan daging menjadi basah dan sangat baik untuk pertumbuhan mikroba.

Jika kelembaban relatif terlalu rendah, cairan permukaan daging akan banyak

yang menguap sehingga pertumbuhan mikroba terhambat oleh dehidrasi dan

permukaan daging menjadi gelap yang menyebabkan nilai ekonomis daging akan

menurun. Oksigen atmosfer sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba.

Pertumbuhan mikroba pada permukaan daging adalah mikroba aerobik dan

anaerobik fakultatif, sedangkan bagian dalam daging dapat mengandung mikroba

anaerobik dan anaerobik fakultatif. Keadaan fisik daging akan mampengaruhi

aktivitas mikroba, misalnya besar kecilnya karkas, potongan karkas atau daging,

bentuk daging cacahan, daging giling dan perlakuan selama pemrosesan (Lawrie

(43)

Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging

Syarat mutu mikrobiologis daging sapi mengacu pada Standar Nasional

Indonesia (SNI) Nomor 3932:2008 tentang mutu karkas dan daging sapi pada

Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu mikrobiologis daging sapi (SNI 3932:2008)

No. Jenis uji Satuan Persyaratan

1. Total Plate Count cfu/g maksimum 1 x 106

2. Coliform cfu/g maksimum 1 x 102

3. Staphylococcus aureus cfu/g maksimum 1 x 102

4. Salmonella sp per 25 g Negatif

5. Eschericia coli cfu/g maksimum 1 x 101

Sumber : BSN (2008)

Pengujian jenis mikroba pada permukaan daging sapi dan domba setelah

proses pemotongan meliputi mikroba mesofilik aerobik, psikrotrofik dan E. coli TPC, koliform (Tabel 3).

Tabel 3 Jumlah mikroba pada daging setelah proses pemotongan

Daging Jenis uji Jumlah mikroba

Permukaan daging sapi dan domba

Mesofilik aerobik 103-105 per cm2

Psikrotrofik 0.1-10% dari mesofilik

Enterobacteriaceae, E. coli < 10 per cm2 Total Plate Count 103-105 per cm2

Koliform 101-102 per cm2

Psikrotrofik < 102 per cm2

Sumber : ICMSF (1980); Grau (1986)

Cemaran Kimia pada Daging

Cemaran Logam Berat

Logam berat berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni,

organik maupun anorganik. Logam merupakan bahan pertama yang dikenal oleh

manusia dan digunakan sebagai alat-alat yang mempunyai peran penting bagi

peradapan manusia. Sejumlah logam juga terdapat dalam tubuh makhluk hidup

baik pada tanaman, hewan bahkan pada tubuh manusia yang bersifat merugikan

karena mangakibatkan toksik atau racun. Logam yang menyebabkan racun bagi

makhluk hidup umumnya digolongkan pada logam berat. Menurut Saeni (1989),

(44)

(Fe), timbal (Pb), krom (Cr), kadmium (Cd), seng (Zn), air raksa (Hg), mangan

(Mn) dan arsen (As).

Pencemaran logam berat berasal dari proses pertambangan yang kemudian

dicairkan dan dimurnikan menjadi logam-logam murni. Hasil dari pertambangan

logam tersebut digunakan dalam proses produksi pabrik atau industri seperti

pabrik cat, aki atau baterai, pabrik percetakan bahkan sampai pabrik peralatan

listrik. Dampak dari proses industrialisasi tersebut menghasilkan limbah yang

dapat menyebabkan pencemaran logam berat pada air, udara, tanah bahkan

makhluk hidup disekitar pabrik. Cemaran di air akan berdampak pada

hewan-hewan air, sedangkan pada manusia ataupun hewan-hewan ternak pencemaran logam

berat dapat berasal dari air, tanaman, udara dan tanah yang terakumulasi logam

berat (Darmono 2008). Konsentrasi logam berat dalam pakan yang dikonsumsi

oleh ternak sangat bervariasi, sehingga National Research Council (NRC) menentukan jumlah maksimum (maximum tolerance level/ MTL) kandungan logam yang diperbolehkan untuk dikonsumsi ternak, sehingga produk asal ternak

tersebut aman untuk dikonsumsi oleh manusia (Tabel 4).

Tabel 4 Batas toleransi logam berat dalam pakan pada beberapa jenis ternak menurut NRC (mg/kg)

Logam Sapi Domba Babi Ayam Kuda Kelinci

Al 1000 1000 200 200 200 200

As

-inorg. 50 50 50 50 50 50

-org. 100 100 100 100 100 100

Cd 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5

Cr

-klorida 1000 1000 1000 1000 1000 1000

-oksida 3000 3000 3000 3000 3000 3000

Cu 100 25 250 300 800 200

Fe 1000 500 3000 1000 500 500

Pb 30 30 30 30 30 30

Ni 50 50 100 300 50 50

Se 2 2 2 2 2 2

Zn 500 300 1000 1000 500 500

Sumber : National Academy of Science (NAS) (1980)

Darmono (2008) menyatakan lebih lanjut bahwa ternak ruminansia baik

sapi, kerbau, kambing, domba atau ternak ruminansia liar lainnya hampir 100%

pakan yang diberikan adalah jenis rumput hijauan. Sumber kontaminasi hijauan

(45)

ternak tersebut. Adanya toksisitas logam pada ternak akan berpengaruh terhadap

produksi yang meliputi penurunan berat badan, hambatan pertumbuhan, peka

terhadap penyakit infeksi bahkan kematian. Selain itu, adanya residu logam berat

pada produk asal ternak akan menurunkan kualitasnya. Batas maksimum cemaran

logam berat dalam pangan khususnya pada daging dan produk olahannya

berdasarkan SNI 7387: 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan(daging dan olahannya) (SNI 7378: 2009)

Jenis logam berat Kategori pangan Batas maksimum

As Daging dan hasil olahan 0.5 mg/kg

Cd Daging dan hasil olahan 0.3 mg/kg

Hg Daging dan hasil olahan 0.03 mg/kg

Sn Daging dan hasil olahan 200.0 mg/kg

Pb Daging dan hasil olahan 1.0 mg/kg

Sumber : BSN (2009)

Tidak semua logam berat akan menyebabkan toksisitas pada ternak.

Toksisitas logam berat disebabkan oleh kemampuannya menutup sisi aktif dari

sistem enzim utama dalam sel dan juga beberapa ligan yang terdapat dalam

membrane sel hewan maupun manusia. Saeni (1989) menyatakan, bahwa dari

sekian banyak jenis logam berat seperti : Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn, dan As,

hanya terdapat empat logam berat yang bersifat merugikan dan bersifat toksik

baik pada ternak maupun manusia diantaranya : As, Cd, Pb dan Hg. Darmono

(2008) dan Widowati et al. (2008) menyatakan, bahwa logam yang sering menimbulkan keracunan pada ternak ruminansia adalah tembaga (Cu), timbal (Pb)

dan merkuri (Hg). Menurut Anggorodi (1979), logam berat yang tergolong

nonesensial dan bersifat racun bagi ternak adalah kelompok logam Pb, Cd, Hg dan

As.

Efek Logam Timbal (Pb) pada Ternak dan Manusia. Timbal atau

Plumbum dikenal juga dengan istilah timah hitam yang termasuk pada jenis

logam tertua (Winarno 1993). Anonymous (2006) menyatakan timbal merupakan

unsur kimia yang dalam tabel periodik mempunyai lambang Pb (Plumbum)

(46)

4.77 kJ/mol, kalor penguapan 179.5 kJ/mol dan kapasitas kalor pada suhu 25 C

sebesar 26.65 J/mol.K.

Kusnoputranto (2006) menyatakan, bahwa Pb merupakan logam yang

bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh ternak

maupun manusia sehingga bahayanya dalam tubuh semakin meningkat. Menurut

Underwood dan Suttle (1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat

akumulatif dan akumulasinya tergantung dari level dalam tubuh. Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pada ternak jika jumlah logam berat

berada diatas ambang batas yang telah ditetapkan. Misalnya ambang batas normal

penggunaan Pb pada pakan unggas sebesar 1-10 ppm, sedangkan batas ambang

tinggi sebesar 20-200 ppm dan batas ambang toksik lebih dari 200 ppm.Jalur

emisi timbal pada produk pangan dapat dilihat pada Gambar 1 (U.S. EPA dalam

Nriagu & Simmons 1987).

Gambar 1 Jalur cemaran logam timbal (Pb) (Sumber: Nriagu & Simmons 1987)

Gambar 1 menunjukkan dengan jelas bahwa pengaruh emisi, baik emisi

pabrik maupun kendaraan mempunyai dampak yang signifikan terhadap cemaran

timbal. Emisi dari kendaraan atau pabrik akan terakumulasi diudara dalam bentuk

debu, selanjutnya debu akan jatuh ketanah dan kontaminasi timbal tersebut akan

diserap oleh tanaman. Tanaman yang mengandung cemaran logam tersebut

dimakan oleh ternak, yang merupakan sumber pangan bagi manusia.

Pakan ternak berupa rumput yang terkontaminasi Pb dari udara sering

menyebabkan keracunan kronis, tetapi padang rumput yang terkontaminasi

Emisi kendaraan/Pabrik

Udara Tanah Emisi kendaraan/Pabrik

Debu

Tanaman

Pangan

Solder Hewan

(47)

cemaran dari limbah peleburan logam atau limbah baterai dapat menyebabkan

toksisitas akut. Diagnosa keracunan Pb secara kronis dapat dilakukan dengan

analisa kandungan Pb dalam darah, kadar enzim delta amino-levulinik dehidratase

(delta-ALA) dan kadar eritrosit porfirin bebas (FEP) dalam darah (Darmono

2008).

Keracunan Pb pada sapi telah banyak dilaporkan terutama pada sapi yang

digembalakan pada daerah yang tercemar. Oskarsson et al. (1992) dalam Darmono (2008) melaporkan kasus keracunan Pb pada sapi perah di Swiss.

Keracunan terjadi setelah sapi merumput pada padang penggembalaan bekas

pembuangan baterai. Hasil analisis membuktikan adanya kandungan Pb dalam

ginjal, hati, daging darah dan air susunya. Winarno (1993) menyebutkan bahwa

jenis makanan yang tergolong rendah derajat kontaminasi timbal adalah susu sapi,

buah-buahan dan sayuran serta biji-bijian (15-20 µg/kg), sedangkan daging

termasuk kadar medium (50 µg/kg). Makanan yang dilaporkan tinggi kadar

timbalnya adalah makanan kaleng (50–100 µg/kg), jeroan terutama hati, ginjal ternak (150 µg/kg), ikan (170 µg/kg) dan kelompok tertinggi adalah

kerang-kerangan (molusca) dan udang-udangan (crustacea) yaitu rata-rata lebih tinggi dari 250 µg/kg.

Pada manusia, Pb dapat terakumulasi dalam rambut sesuai dengan

pernyataan Saeni (1997) yang menyatakan bahwa jumlah logam dalam rambut

berkorelasi dengan jumlah logam yang diabsorpsi oleh tubuh. Hal ini karena

rambut mempunyai kandungan protein struktural yang tersusun dari asam-asam

amino sistein yang mengandung gugus sulfihidril (-SH) dan sistein dengan ikatan

disulfida (-S-S-). Gugus tersebut mampu mengikat logam berat yang masuk dalam

tubuh dan terikat di dalam rambut. Lebih lanjut Saeni (1997) menambahkan

bahwa akumulasi Pb tidak hanya dirambut akan tetapi lebih awal akan

terakumulasi dalam darah. Berdasarkan hasil penelitian Aminah (2006) yang

meneliti kandungan Pb dalam darah karyawan Balai Besar Teknik Kesehatan

Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKL & PPM) di Surabaya.

Karyawan yang bertugas melakukan sampling dilapangan mempunyai kadar Pb

(48)

Absorbsi Pb pada manusia maupun ternak terutama melalui saluran cerna

dan saluran nafas. Absorbsi melalui usus pada orang dewasa kira-kira 10%,

sedangkan pada anak-anak sekitar 40%. Kalaassen (1980) menyebutkan bahwa

tidak banyak yang diketahui tentang absorbsi Pb melalui saluran cerna. Ada

dugaan bahwa Pb dan Ca berkompetisi dalam transport lewat mukosa usus, karena

ada hubungan timbal balik antara kadar Ca makanan dan absorbsi Pb. Selain itu

defisiensi Fe dapat meningkatkan absorbsi Pb melalui saluran pencernaan.

Keracunan Pb dapat menyebabkan perubahan susunan syaraf pusat, gangguan

pencernaan dan gangguan sintesis sel-sel darah merah. Pilliang (2002)

menyebutkan bahwa tanda-tanda klinis utama keracunan mineral timah hitam

adalah terjadinya microcytic hypochromic anemia, muntah-muntah, diare, gangguan abdomen, sekresi saliva meningkat, bobot badan menurun dan

keguguran.

Cemaran Pb bersifat akumulatif dalam tubuh baik pada manusia maupun

pada ternak, serta dapat merusak saluran organ dalam tubuh. Linder (1992)

menyebutkan bahwa keracunan Pb pada anak-anak dapat mengakibatkan

kemunduran mental yang bersifat permanen. Selain itu dijelaskan bahwa Pb yang

terkandung dalam makanan orang dewasa rata-rata akan terserap sebesar 5-10%

oleh tubuh, sedangkan pada bayi dan anak-anak sekitar >40% dan dapat ditekan

dengan adanya kalsium (Ca) dan fosfor (P) sehingga konsumsi Ca akan dapat

menekan pengambilan Pb tubuh. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization = WHO) (1996) telah menetapkan batas maksimal serapan Pb oleh manusia dewasa sebesar 400–450 µg/hari.

Efek Logam Kadmium (Cd) pada Ternak dan Manusia. Logam Cd

termasuk salah satu jenis logam yang paling jarang dijumpai karena

konsentrasinya hanya berkisar antara 0.1-0.2 mg/g, sehingga logam Cd berada

pada urutan ke 67 pada kerak bumi (Mason & Moore 1982). Logam Cd menjadi

populer setelah terjadinya pencemaran air sungai Kummamoto di Jepang yang

menyebabkan keracunan pada manusia (Darmono 1995). Logam Cd berwarna

putih keperakan menyerupai alumunium dan biasa digunakan sebagai pelapis

logam seperti seng. Cd biasanya digunakan sebagai bahan pewarna untuk industri

(49)

Darmono (1995) menyebutkan bahwa sifat dan kegunaan logam Cd antara

lain: 1) mempunyai sifat tahan panas sehingga sangat baik digunakan sebagai

bahan campuran pembuatan keramik, enamel dan plastik, 2) tahan terhadap korosi

sehingga baik untuk melapisi pelat besi ataupun baja. Bentuk garam kadmium

dari asam lemah sangat baik digunakan sebagai stabilisator pada pembuatan PVC

ataupun plastik untuk mencegah oksidasi dan radiasi.

Cemaran Cd masuk kedalam tubuh manusia atau ternak melalui dua jalan

yaitu saluran pernafasan (udara) dan saluran pencernaan (makanan). Beberapa

hasil penelitian melaporkan bahwa absorpsi Cd lewat saluran pencernaan sangat

sedikit yaitu sekitar 3-8 % dari total Cd yang dimakan. Logam Cd dalam usus

akan menempel pada dinding usus sehingga diduga sel epitel usus mengatur

absorpsi Cd. Apabila sel epitel terkelupas maka Cd ikut keluar dari dalam tubuh.

Konsentrasi Cd yang tinggi pada dinding usus dapat merusak usus dan

mengganggu transportasi Cd. Beberapa komponen tertentu seperti protein,

kalsium, besi dan seng dapat mempengaruhi absorpsi Cd dalam usus (Darmono

1995).

Adsorpsi Cd melalui paru-paru jauh lebih besar daripada absorpsi melalui

saluran pencernaan yang hanya 25-50%. Setelah Cd diabsorpsi dalam tubuh

selanjutnya didistribusikan oleh darah ke berbagai jaringan, dan terakumulasi

dalam hati dan ginjal. Kedua organ fital tersebut merupakan tempat deposit Cd

dalam tubuh yang jumlahnya mencapai 50% dari total Cd. Sejumlah Cd yang

tertimbun dalam jaringan tubuh biasanya akan sangat lambat untuk dilepas

kembali. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa biological half life (waktu paruh) Cd dalam jaringan hati sekitar 5-10 tahun sedangkan dalam ginjal lebih

lama yaitu berkisar 16-33 tahun.

Keracunan Cd akut pada ternak yang termakan atau terminum bahan yang

tercemar Cd dengan dosis 350 mg Cd akan mengakibatkan keracunan dengan

gejala mual, diare, kejang perut dan hipersalivasi. Keracunan Cd pada manusia

terjadi sangat erat kaitannya dengan kualitas lingkungan yang menurun. Gejala

yang timbul terlihat setelah keracunan dalam waktu lama. Akumulasi Cd pada

manusia setelah Cd terakumulasi dalam ginjal sampai jumlah 50 µg/g berat basah

(50)

pada saat terjadi kegagalan ginjal. Gejala yang terlihat adalah glikosuria diikuti

dengan dieresis dan aminuria, proteinuria, asiduria dan hiperkalsiuria (Darmono

1995). Nriagu & Simmons (1987) menambahkan bahwa jalur kontaminasi Cd dari

tanah dan udara secara langsung dapat terlihat dari adanya deposisi kandungan Cd

pada bahan pangan (buah, tanaman dan produk ternak) seperti terlihat pada

Gambar 2.

Gambar 2 Jalur cemaran kadmium (Cd) (Sumber: Nriagu & Simmons 1987)

Efek Logam Merkuri (Hg) pada Ternak dan Manusia. Merkuri (Hg)

disebut juga air raksa. Merkuri adalah logam yang secara alami ada dan

merupakan satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair. Logam Hg

murni berwarna keperakan, tidak berbau, mengkilap dan akan menguap bila

dipanaskan pada suhu 357 °C. Senyawa merkuri dalam bentuk Hg(II) dapat terikat pada residu sistein protein/enzim dalam tubuh manusia atau binatang sehingga

protein/enzim kehilangan aktivitasnya. Selain Hg(II), senyawa merkuri paling

berbahaya pada manusia adalah senyawa organomerkuri, khususnya metilmerkuri

dan fenilmerkuri. Senyawa ini bersifat sangat reaktif dan mempunyai mobilitas

tinggi. Hal ini disebabkan gastrointestine manusia yang dapat menyerap sekitar 95% senyawa metilmerkuri sehingga menyebabkan gangguan syaraf binatang dan

manusia melalui peredaran darah (Palar 1994; Rugh et al. 2000; Bizily et al. 2000).

Pencemaran logam Hg pada tanah, air dan udara sangat membahayakan

lingkungan, binatang bahkan kesehatan manusia. Mekanisme keracunan Hg di

Polusi Kadmium

Produk Pangan

Hewan Tanaman

Udara Air

Gambar

Tabel 4  Batas toleransi logam berat dalam pakan pada beberapa jenis ternak   menurut NRC (mg/kg)
Gambar 1  Jalur cemaran logam timbal (Pb) ( Sumber:   Nriagu &amp; Simmons 1987) Gambar  1  menunjukkan  dengan  jelas  bahwa  pengaruh  emisi,  baik  emisi  pabrik maupun kendaraan mempunyai dampak yang signifikan terhadap cemaran  timbal
Gambar 2  Jalur cemaran kadmium (Cd) ( Sumber:   Nriagu &amp; Simmons  1987)
Tabel 6 Batas maksimum cemaran pestisida pada daging (SNI 7317: 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kondisi itu dapat menggerakkan perempuan untuk turut mencari penghasilan keluarganya (Suman, 2007). Program Secercah Hati dirancang untuk dilaksanakan selama tiga tahun, mulai

Hasil penelitian Evaluasi Program Bantuan Beras Miskin Daerah (Raskinda) dengan Model E-voucher di Desa Jemundo Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo, yaitu: 1) Efektivitas

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah apakah gender, pengalaman auditor, pengetahuan auditor, tekanan ketaatan

larangan pengembangan sains tertentu Anggapan ini muncul karena ada ayat yang berbeda dengan teori sains Sains dikembangkan dalam kerangka. etika islam (islam mengharamkan

Data ini merupakan informasi deskriptif mengenai ketersediaan obat tradisional berlabel jamu di apotek wilayah perumahan dan apotek di wilayah dekat industri, yang

[r]

Kebersihan merupakan salah satu kegiatan yang harus dikerjakan yang dimulai dari kesadaran diri sendiri.. Dimana kebersihan sebagian