DENERVASI OTONOMIK KARDIAK
PADA PENDERITA DM TIPE-2 :
PERBANDINGAN ANTARA
YANG MENDAPAT TERAPI INSULIN DENGAN
OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL
PENELITIAN RETROSPEKTIF
DI DEPARTEMEN / SMF. ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP. H. ADAM MALIK / RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN
JANUARI 2007 – MARET 2007
TESIS
OLEH
OK. YULIZAL
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DI DEPAN SIDANG LENGKAP DEWAN PENILAI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU DAN DITERIMA SEBAGAI SALAH SATU SYARAT
UNTUK MENDAPATKAN KEAHLIAN DALAM BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM
PEMBIMBING TESIS
(Dr.DHARMA LINDARTO, SpPD-KEMD)
DISYAHKAN OLEH
KEPALA DEPARTEMEN KETUA PROGRAM STUDI
ILMU PENYAKIT DALAM ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN USU FAKULTAS KEDOKTERAN USU
DEWAN PENILAI
1. Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH
2. Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH
3. Dr. Mabel Sihombing, SpPD-KGEH
4. Dr. Josia Ginting, SpPD-KPTI
5. Dr. Refli Hasan, SpPD,SpJP(K)
Abstract
Cardiac Autonomic Denervation in Type 2 Diabetic Patients : A comparison of patients treated with insulin and
oral hypoglycemic agents
OK. Yulizal, Dharma Lindarto, Refli Hasan
Department of Internal Medicine, School of Medicine,
University of Sumatera Utara, H.Adam Malik General Hospital Medan
Background : Cardiac autonomic denervation is a common finding in diabetic
patients as a result of long-term diabetes complication. Clinical consequences
of cardiac autonomic denervation may play a partial role in the pathogenic
mechanism of sudden unexpected death in diabetic patients. This was to
assess cardiac autonomic denervation in diabetics comparing patients treated
with insulin and oral hypoglycemic agents is scarce.
Objective : To assess cardiac autonomic denervation in type 2 diabetic
patients comparing patients treated with insulin and oral hypoglycemic agents.
Subjects and Methods : We conducted a retrospective case-control analysis
in purposive samples of diabetic patients who were more than 5 years having
this illness. Subjects were divided into two groups. Group I included 36
patients who were treated with insulin and group II 38 patients who were
treated with oral hypoglycemic agents for their diabetes. All patients data from
medical record including history of diseases, medications, physical
examinations and blood glucose levels were reviewed and evaluated. Cardiac
autonomic denervation tests in both of the groups were done in terms of
presence of resting tachycardia, heart rate variation during deep breathing
and QT interval lengthening (QT corrected) using ECG. All subjects’ data
were described and tabulated. Statistical methods used included Student t
method and Fisher exact test, with calculation of odds ratio (OR) and 95%
confidence interval (CI). We used Pearson’s correlation and Spearman’s
correlation for correlation test.
Results : We found cardiac autonomic denervation in 50 subjects (67,6%) of
a total of 74 subjects. Mean age was 60,84 ± 8,18 years, mean duration of
diabetes was 13,60 ± 4,81 years, mean HbA1C was 8,36 ± 2,42 %. There was
a significant differences in duration of diabetes (P = 0,001) and HbA1C (P =
0,019) between denervation and non denervation patients. We found a
significant correlation between duration of diabetes (r = 0,390, P = 0,014) and
HbA1C (r = - 0,439, P = 0,005) with denervation. In 50 denervation subjects,
20 subjects (55%) belonged to the insulin group and 30 subjects (79%) to oral
hypoglycemic agents group (P = 0.032, OR 3, 95% CI (1.08 – 8.3). Cardiac
autonomic denervation was fewer significantly in well controlled than badly
controlled diabetes patients (P = 0.002, OR 5.25, 95% CI (1.75 – 15.77).
Conclusion : Cardiac autonomic denervation was influenced by duration and
diabetes control. Diabetes control played an important role in cardiac
autonomic denervation events. In this study insulin seemed to be more useful
in reducing the risk of cardiac autonomic denervation in type 2 diabetes
patients compared to oral hypoglycemic agents.
Abstrak
Denervasi Otonomik Kardiak pada penderita DM tipe 2 : Perbandingan antara yang mendapat terapi insulin
dan obat hipoglikemik oral
OK. Yulizal, Dharma Lindarto, Refli Hasan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan
Latar belakang : Denervasi otonomik kardiak (DOK) lazim dijumpai pada
diabetisi akibat komplikasi lanjut diabetes. Berbagai konsekuensi klinis DOK
sebagian boleh jadi berperanan pada mekanisme patogenesis kematian
tiba-tiba diabetisi. Penelitian yang menilai DOK pada diabetisi dengan
membandingkan antara mereka yang mendapat terapi insulin dan obat
hipoglikemik oral masih jarang.
Tujuan penelitian : Mengetahui ada tidaknya DOK pada penderita DM tipe 2
dengan membandingkan antara mereka yang selama ini diterapi dengan
insulin dengan yang mendapat terapi obat hipoglikemik oral (OHO).
Bahan dan Cara : Studi retrospektif kasus-kontrol dengan pendekatan
deskriptif analitik secara purposive sample terhadap diabetisi yang sudah
menderita DM lebih dari 5 tahun. Subjek dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok
I meliputi 36 orang diabetisi yang selama ini mendapat terapi insulin dan
kelompok II terdiri dari 38 orang diabetisi yang selama ini mendapat terapi
OHO. Dari rekam medik, dicatat data pribadi subjek, riwayat penyakit,
pengobatan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan kadar glukosa darah. Tes
DOK dilakukan dengan menilai detak jantung saat istirahat, variasi detak
jantung saat bernafas dalam dan nilai QTc dengan EKG. Seluruh data subjek
t test dan Mann-Whitney U test. Analisa variabel secara Chi-square dan
Fisher exact test, dengan menghitung nilai rasio odds dan interval keyakinan
95%. Uji korelatif dengan Pearson’s correlation dan Spearman’s correlation.
Hasil : Jumlah subjek yang mengalami DOK dijumpai sebanyak 50 orang
(67,6%) dari 74 subjek. Rerata usia 60,84 ± 8,18 tahun, rerata lama
menderita DM 13,60 ± 4,81 tahun, rerata HbA1C 8,36 ± 2,42 %. Didapatkan
perbedaan yang bermakna dalam hal lama menderita DM (P = 0,001) dan
HbA1C (P = 0,019) antar subjek yang mengalami dan tidak mengalami DOK.
Dijumpai korelasi yang bermakna dalam hal lama menderita DM (r = 0,390, P
= 0,014) dan HbA!C (r = - 0,439, P = 0,005) dengan kejadian DOK. Dari 50
orang yang mengalami DOK tersebut, 20 orang (55%) dari kelompok insulin
dan 30 orang (79%) dari kelompok OHO ((P = 0,032, rasio odds (OR) 3,
interval keyakinan 95% (CI) (1,08 – 8,3). DOK lebih sedikit dijumpai secara
bermakna pada mereka dengan kontrol diabetes baik daripada mereka
dengan kontrol diabetes tidak terkendali baik (P = 0,002, OR 5,25, 95% CI
(1.75 – 15.77).
Kesimpulan : DOK dipengaruhi oleh lama menderita DM dan kontrol
diabetes. Kontrol diabetes berperanan penting pada kejadian DOK. Dalam
penelitian ini insulin terkesan lebih memberi manfaat dalam mengurangi
resiko DOK pada penderita DM tipe 2.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Denervasi otonomik kardiak pada penderita DM tipe-2: Perbandingan antara yang mendapat terapi insulin dengan obat hipoglikemik oral” yang berlangsung dari bulan Januari 2007 – Maret 2007. Tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter spesialis bidang Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan rasa hormat saya serta penghargaan kepada :
1. Prof. Dr. Lukman Hakim Zain KGEH dan Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH. Selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kemudahan dan perhatian yang besar terhadap pendidikan penulis.
2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr. Zulhelmi Bustami SpPD-KGH dan Dr. Dharma Lindarto SpPD-KEMD yang telah membantu, membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berilmu, handal dan berbudi luhur.
3. Kepala Divisi Endokrinologi dan Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU / RSUP H.Adam Malik Medan Dr. H.OK.Alfien Syukran SpPD-KEMD yang telah memberikan saran, petunjuk, bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian.
5. Dr. Armon Rahimi, Dr. Herianto Yoesoef, Dr. R.Tunggul Ch S, Dr. Daud Ginting, Dr. Tambar Kembaren, Dr. Saut Marpaung, Dr. Mardianto, Dr. Zuhrial Z, Dr. Ilhamd, Dr. Calvin D, Dr. Dasril Efendi, Dr. Mazhir Dj, Dr. Maringan, Dr. Hariyani Adin, Dr. Jerahim Tarigan, Dr. Rahmat Isnanta, Dr. Santi Syafril, Dr. Zainal Safri, Dr. Sugiarto Gani, Dr. Fransiscus Ginting, Dr. Dairion Gatot, sebagai dokter kepala ruangan / senior yang telah banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan.
6. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr Pirngadi Medan / RS.PN II Tembakau Deli Medan yang telah memberikan bantuan dan kemudahan serta keizinan dalam menggunakan fasilitas dan sarana rumah sakit dalam menunjang pendidikan keahlian.
7. GM RS. PN III Sri Pamela Tebing Tinggi, yang telah memberikan kesempatan pada penulis sebagai Konsultan Penyakit Dalam di RS. PN III Sri Pamela Tebing Tinggi dalam rangka pendidikan ini.
8. Kawan-kawan seangkatan saya mengikuti PPDSI Penyakit Dalam Dr. T.Realsyah, Dr. Rismauli, Dr. Christina, Dr. Idwan Harris dan Dr. Novrianti. Dr. Aizil, Dr. Zulkhairi, Dr. Ilum Anam, Dr. Ariantho Purba, Dr. Syafrizal Nst, Dr. Akbar Siregar, Dr. Arief Gunawan, Dr. Munadi, Dr. Rinaldi, Dr. Suhartono, Dr.Lili Syarief, Dr.Faisal, dan kawan-kawan lain yang selama ini telah banyak membantu saya. Perawat serta paramedis lainnya dan seluruh karyawan / karyawati di lingkungan SMF / Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr Pirngadi Medan terimakasih atas kerja sama yang baik selama ini.
9. Para penderita rawat inap dan rawat jalan di SMF / Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr Pirngadi Medan, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin dapat terselesaikan pendidikan ini.
10. Pada kesempatan ini pula izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran dan Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan kesempatan bagi saya untuk mengikuti pendidikan keahlian ini.
Dengan mengucapkan rasa syukur yang tidak terhingga kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada penulis sekeluarga, tidak mungkin akan terlupakan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang sangat saya cintai yaitu, Ayahanda Dr.H.OK.Alfien Syukran SpPD-KEMD dan Ibunda Hj. T.Nazliah yang telah membesarkan, mengasuh, mendidik dan menyekolahkan penulis serta memberikan dukungan secara moril maupun materiil demi kemajuan penulis. Semoga ini semua dapat menjadi amal saleh bagi mereka. Juga kepada mertua saya, Ir.OK.Chairul Arief (alm), Hj.Farida Hanum BA dan Ir.Mahrouzar Manan,Msi terima kasih atas semua jasa baik selama ini yang tak mungkin terbalaskan.
Kepada istriku Desy Chairida, STP sulit rasanya memilih kata-kata yang tepat untuk menyampaikan rasa terima kasih atas kesabaran, keihlasan, dukungan, dorongan serta pengorbanan yang telah engkau berikan selama ini, semoga apa yang kita capai dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita dan Allah SWT selalu memberkati dan menyertai kita. Kedua anak- anakku yang tersayang OK.Ikram Alchair dan En.Nazifa Zanzabilla Putri yang selalu menjadi pendorong dan penambah semangat serta pelipur lara di kala senang maupun susah dan terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan kalian selama ini serta jadikanlah ini sebagai pendorong cita-cita kalian berdua.
Kepada adik-adikku OK.Isnainul Khaeri,SH, En.Humaira Nina Ikhtiwanie,SS, En.Shavtira Della Poetri,SP, En.Artisya Fajriani,SKed dan adik-adik iparku Ida Herawati, H. Dedy Rahmat,SE, Fredy Rival Arief,Amd dan Arivan serta seluruh anggota keluarga yang telah memberikan semangat dan dorongan selama ini, saya ucapkan terima kasih.
Sebenarnya masih banyak lagi ucapan terima kasih yang selayaknya saya sampaikan kepada berbagai pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu pada kesempatan ini, dalam hal ini izinkanlah saya menyampaikan rasa terima kasih yang setulusnya secara menyeluruh.
DAFTAR ISI
3.7.6. Kriteria yang diikutkan dalam penelitian ………….. 26
3.7.9. Kerangka operasional………. 28
3.7.10. Analisa data ………..………. 29
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………. ……….. 30
4.1. Hasil penelitian ………. 30
4.1.1. Karakteristik dasar subjek penelitian ……….. 30
4.1.2. Hasil penelitian dan analisa antar variabel ………… 30
4.2. Pembahasan ………. 36
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 42
5.1. Kesimpulan ……… 42
5.2. Saran ……….…. 42
DAFTAR PUSTAKA …………..………... 43
LAMPIRAN 1. Master tabel penelitian ……….……… 53
2. Penjelasan aktifitas penelitian dan informed consent ... 55
3. Persetujuan komite etik tentang pelaksanaan penelitian .. 57
4. Format data-data pasien penelitian ... 58
5. Daftar riwayat hidup ... 60
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pemeriksaan denervasi otonomik kardiak non invasif ………. 10
Tabel 2. Karakteristik dasar subjek penelitian ……….. 30
Tabel 3. Hasil penelitian berdasarkan ada tidaknya denervasi ... 31
Tabel 4. Hasil penelitian berdasarkan terapi ... 35
Tabel 5. Tabel 2x2 insulin dan OHO sehubungan resiko terjadinya DOK .... 35
Tabel 6. Tabel 2x2 keterkendalian diabetik sehubungan DOK ...……… 36
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Patogenesis neuropati diabetik ………..……… 4
Gambar 2. Perhitungan nilai QTc dari rekaman EKG ………..……… 28
Gambar 3. Diagram baur hubungan antara usia dan nilai QTC ………..… 32
Gambar 4. Diagram baur hubungan antara lama DM dan nilai QTC …..… 33
BAB I
PENDAHULUAN
Angka insiden dan prevalensi diabetes melitus (DM), khususnya DM
tipe-2 di seluruh penjuru dunia dari berbagai penelitian epidemiologi
cenderung menunjukkan adanya peningkatan. Untuk Indonesia sendiri,
organisasi kesehatan dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah pasien dari
8,4 juta penduduk pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun
2030. Suatu jumlah yang sangat besar mengingat bahwa DM akan
memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia, sosial dan
tingginya biaya kesehatan. Semuanya ini tentu terkait dengan komplikasi
yang timbul karena DM.Dikutip dari 1
Penyandang diabetes melitus rentan terhadap berbagai komplikasi
lanjut yang akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas dini.2 Komplikasi lanjut DM umumnya sudah mulai timbul rata-rata setelah 5-10 tahun
menderita diabetes.3 Neuropati diabetik adalah salah satu dari komplikasi lanjut yang tersering dan sangat menyusahkan penyandang DM (diabetisi)
karena mengenai semua serabut saraf periferal sensorik dan motorik serta
susunan saraf otonom (SSO).4 Tiga tipe utama neuropati diabetik yaitu polineuropati distal simetrik, polineuropati asimetrik dan polineuropati
otonomik.5
Neuropati otonomik diabetik (NOD) adalah komplikasi yang paling
jarang dikenali dan dimengerti meskipun komplikasi ini amat berpengaruh
akibat kerusakan serabut saraf otonom yang mempersarafi jantung dan
pembuluh darah yang berakibat disfungsi kontrol frekuensi denyut jantung
dan berbagai faal dinamik vaskular yang mengakibatkan hipotensi postural,
intoleransi kerja fisik, kondisi kardiovaskular yang labil pada saat
pembedahan dan iskemi/infark miokardiak yang terselubung. 7, 8
Denervasi otonomik kardiak (DOK) merupakan bagian dari neuropati
otonomik kardiovaskular diabetik. DOK bermanifestasi sebagai takhikardi
sewaktu istirahat, aritmia, hipotensi ortostatik, penurunan variabilitas denyut
jantung, intoleransi kerja fisik, infark miokard tersamar dan lain-lainnya
sampai kemudian menimbulkan kematian pada penderita DM. 8 Sekitar 65% pasien DM meninggal karena penyakit kardiovaskular dan penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian pasien DM tipe 2 yang
didiagnosa dengan DOK. 9
Angka kejadian DOK diperkirakan akan meningkat seiring dengan
peningkatan angka prevalensi diabetes dan komplikasi terutama terhadap
SSO yang ditimbulkannya. Hal ini terbukti dari adanya beberapa penelitian
yang ditulis oleh Ewing dan kawan (tahun 1986), Neil dan
kawan-kawan di tahun 1989 dengan melibatkan banyak sentra dan Freccero dari
Swedia (tahun 2004). 6,10,11 Untuk Indonesia sendiri, penelitian dengan melibatkan populasi yang lebih besar dan multisentra sampai saat ini belum
ada. Dikutip dari 12
Patogenesis timbulnya DOK sampai saat ini belum jelas, dan diduga
banyak faktor yang terlibat diantaranya faktor metabolik, insufisiensi
neurovaskular, kerusakan otoimun dan defisiensi faktor pertumbuhan
Adanya DOK pada awalnya tanpa gejala yang khas. Gejala klinis
umumnya timbul bila sudah lama menderita DM. Pada awal tahun 1970-an
Ewing dan kawan-kawan telah menemukan tes refleks kardiovaskular
noninvasif yang cukup sederhana, mudah, praktis dan hasilnya dapat
dipercaya sebagai gambaran gangguan saraf otonom yang terjadi di seluruh
tubuh. 6,13
Denervasi otonomik kardiak, disamping dipengaruhi usia dan lama
menderita diabetes, juga dipengaruhi oleh kontrol diabetes.3,7,8 Kontrol diabetes jangka panjang yang jelek berperanan penting dalam mekanisme
patogenesis komplikasi mikrovaskular termasuk denervasi otonomik
kardiak.14
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kontrol diabetes intensif,
baik dengan obat hipoglikemik oral (OHO) maupun insulin dapat mengurangi
kejadian neuropati otonomik kardiovaskular pada diabetisi.15,16 Hasil yang diharapkan dari semua itu ialah kontrol diabetes yang terkendali baik, artinya
HbA1c < 6,5%.1 Hal ini bisa cepat tercapai dengan pemberian insulin. Efek nyata pemberian insulin pada semua penelitian adalah terjadinya penurunan
nilai HbA1C. Efek ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan pemberian OHO,
oleh karena disamping menurunkan kadar glukosa darah insulin juga mampu
menyelamatkan fungsi sel beta dan memperlambat komplikasi mikro maupun
makroangiopati dengan efek antiinflamasi yang dihasilkannya. 17,18
Oleh karena sepengetahuan penulis belum banyak penelitian yang
khusus membahas peranan OHO dan insulin sehubungan terjadinya DOK,
maka untuk itulah penulis ingin melakukan penelitian mengenai dampak
Pengenalan DOK sedini mungkin sangat perlu mengingat
prognosisnya yang sangat jelek dan dapat terjadi hal yang fatal seperti henti
jantung paru terutama sewaktu dilakukan pembiusan saat operasi, sehingga
pencegahannya sangat diperlukan agar morbiditas dan mortalitas yang
disebabkan DOK ini dapat dikurangi. 8,14
Penatalaksanaan dan pengobatan DOK meliputi pengendalian kadar
glukosa darah dan penatalaksanaan khusus terhadap gejala kelainan
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. ETIOPATOGENESIS
Neuropati diabetik merupakan kerusakan yang heterogen. Secara
morfologi kelainan sel saraf terdapat pada sel schwann, selaput myelin dan
akson. Terdapat berbagai hipotesis tentang etiologi neuropati diabetik yang
meliputi gangguan metabolisme pada serabut saraf, insufisiensi
neurovaskular, kerusakan akibat proses otoimun dan berkurangnya
(defisiensi) faktor pertumbuhan neurohumoral.8 Patogenesis neuropati diabetik secara garis besarnya dapat kita lihat pada gambar 1 di bawah ini.
Hiperglikemi yang terjadi akan mengaktifkan jalur metabolik poliol
(polyolpathway) yang akan menyebabkan penumpukan sorbitol serta
perubahan potensial pada rasio NAD/NADH yang secara langsung akan
menyebabkan kerusakan neuronal serta berkurangnya aliran darah ke
saraf.20 Pengaktifan enzim protein kinase C akan mengimbas terjadinya vasokonstriksi dan akan menyebabkan suplai darah ke saraf akan semakin
berkurang. Stres oksidatif yang semakin meninggi dengan makin
meningkatnya produksi radikal bebas akan merusak sel-sel endotel vaskular
dan menurunkan ketersediaan hayati (bioavailability) nitrit oksida (NO).21,22 Produksi NO yang berlebihan akan menyebabkan terbentuknya peroksinitrit
yang akan merusak sel-sel endotel vaskular serta neuron, suatu proses yang
dinamakan stres nitrosatif (nitrosative stress). 23,24
Pada sub-populasi individu dengan neuropati, mekanisme imunitas
boleh jadi juga ikut terlibat.25 Penurunan faktor-faktor pertumbuhan neurohumoral, defisiensi asam-asam lemak esensil dan pembentukan
advanced glycation end products (AGEPs) yang terlokalisasi pada
pembuluh-pembuluh darah endoneural, juga berakibat aliran darah endoneural
menurun, menyebabkan hipoksia pada saraf serta perubahan faal saraf. 26-28 Proses yang multifaktorial ini boleh jadi berakibat pengaktifan ribosilasi
poliadenosin difosfat, pengurangan ATP yang menyebabkan nekrosis sel-sel
saraf serta diaktifkannya berbagai gen yang terkait dengan kerusakan saraf.
29,30
Susunan saraf otonom dalam badan kita terdiri dari sistem simpatik
dan parasimpatik. SSO berhubungan dengan pengaturan otot jantung, otot
bagian simpatik (torakolumbal) dan parasimpatik (kraniosakral) SSO.
Sehingga gangguan saraf otonom diabetik yang berpengaruh terhadap sistem
kardiovaskuler dibagi pula atas neuropati parasimpatik dan neuropati
simpatik. 7,14,31
Serabut saraf vagus adalah saraf otonomik yang terpanjang dalam
tubuh. Neuropati otonomik diabetik biasanya permulaan sekali mengenai
saraf otonomik yang lebih panjang. Sekitar 75% dari seluruh neuropati
otonomik diabetik pada tahap awal muncul dengan penurunan aktifitas saraf
vagus.32
Pada manusia, perubahan denyut jantung sewaktu istirahat, sewaktu
bernafas dalam, respon sewaktu berdiri dan manuver valsava dipengaruhi
oleh saraf vagus. Uji klinik untuk mendeteksi neuropati parasimpatik bisa
dilakukan dengan EKG. Pada kebanyakan pasien dengan DOK, disfungsi
parasimpatik dapat dideteksi sebelum muncul disfungsi simpatik. Ini
dibuktikan dengan atropin, meniadakan variasi denyut jantung, sehingga
temuan ini menunjukkan berkurangnya tonus vagal sebagai manifestasi awal
DOK. Adanya perubahan denyut jantung istirahat pada pasien DM bisa
memberikan gambaran kerusakan saraf jantung baik itu saraf parasimpatik
sendiri maupun bersama saraf simpatik.
Sedangkan saraf simpatik akan mempengaruhi peningkatan denyut
jantung saat melakukan kerja fisik, memberi respon terhadap tekanan darah
jika bangkit dari baring ke berdiri dan terhadap tegangan tangan (handgrip)
yang dipertahankan. Beberapa penelitian telah dilakukan dengan mengukur
jumlah neurotransmiter pada pasien DM dengan neuropati simpatik. Dimana
pada pasien DM lebih rendah dibandingkan kontrol. Temuan ini membuktikan
pada pasien DM yang lama telah terjadi neuropati simpatik yang berat. 33,34
2.2. EPIDEMIOLOGI
Kejadian (prevalensi) DOK pada penderita diabetes bervariasi antara
berbagai penelitian. Variabilitas pada angka mortalitas ini mungkin
berhubungan dengan populasi penelitian, perbedaan cara penilaian tes fungsi
otonom kardiovaskular, kriteria yang digunakan menilai DOK dan lama
pantauan.9 Insidensi DOK diperkirakan 5-10% pasien DM lama dan sebanyak 35% pada pasien DM dengan neuropati perifer subklinik, dan didapatkan
sebanyak 17% pada DM tipe 1 dan 22% pada DM tipe 2. 35,36 Ewing dan kawan-kawan mendapatkan 60% kejadian DOK pada penderita DM tipe 2.6 Barthelemy dan kawan-kawan mendapatkan penurunan variabilitas denyut
jantung 51,8% pada DM tipe 2 yang menderita DM selama 11,8 ± 6,8 tahun.37 Penelitian lain mendapatkan angka 86% DOK pada DM tipe 2 yang sudah
lanjut.38 Penelitian di Hongaria dengan 36 penderita DM tipe 1 dan 28 penderita DM tipe 2 lama didapatkan angka kejadian DOK sekitar 44% dan
30%.39 Sementara itu dari Indonesia, Hendra dan kawan-kawan di Semarang mendapatkan 62,2%, Sanusi dan kawan-kawan di Ujung Pandang
mendapatkan 66,7%, angka yang tak jauh berbeda didapatkan oleh Lubis AR
di Medan sebanyak 65,56% untuk angka kejadian DOK dari 90 orang
penderita DM tipe-2.40,41,42 Khurram dkk mendapatkan prevalensi DOK pada 30% penderita diabetes, 28% pada kelompok yang diterapi dengan insulin
pada individu dengan DOK bervariasi dari 53% pada suatu penelitian dan 9%
pada penelitian lainnya.
2.3. GAMBARAN KLINIS
Frekuensi denyut jantung yang meninggi pada keadaan istirahat
(resting tachycardia) selalu dijumpai pada pasien diabetes umumnya
disebabkan neuropati pada saraf vagus (vagal neuropathy) yang
mengakibatkan tidak terhambatnya aktifitas saraf simpatik, yang secara
fisiologis bekerja meningkatkan frekuensi denyut jantung .44
Pada proses yang lebih lanjut takhikardi akan diikuti dengan
menurunnya frekuensi denyut jantung yang terjadi akibat neuropati pada
sistim saraf simpatik, dan pada akhirnya frekuensi denyut jantung akan
bertahan dan menetap (fixed heart rate) dengan semakin berkembangnya
neuropati saraf simpatik.
Neuropati simpatik akan menyebabkan terganggunya vasodilatasi
pembuluh darah koroner jantung yang dihantarkan oleh rangsangan saraf
simpatik, disertai berkurangnya kemampuan untuk mempertahankan tekanan
darah. Hal ini akan berakibat menurunnya perfusi miokardial. Fraksi ejeksi
jantung akan menurun, terjadi disfungsi sistolik, pengisian diastolik berkurang
sehingga curah jantung juga akan menjadi menurun, dan ini akan
menyebabkan intoleransi kerja fisik (exercise intolerance), dimana
kemampuan untuk meningkatkan curah jantung pada keadaan kerja fisik
menurun. 45
Juga akan terjadi pemanjangan interval QT yang dikoreksi (corrected
terpanjang dengan QT interval yang terpendek) yang mencerminkan adanya
ketidakseimbangan (imbalance) persarafan simpatik pada bagian kiri dan
kanan jantung. Hal-hal di atas akan meningkatkan resiko untuk terjadinya
aritmia jantung serta kematian tiba tiba.46
Prevalensi infark miokard tersamar (silent myocardial infarction) lebih
tinggi pada diabetisi dengan neuropati otonomik kardiak dibandingkan yang
tanpa neuropati otonomik kardiak (38% vs 5%), hal mana disebabkan
menghilangnya kemampuan mengenali (merasakan) nyeri iskemik pada
mereka dengan neuropati kardiak. 33,47
2.4. DIAGNOSIS
Awal 1970-an, Ewing dkk telah menemukan lima cara tes refleks
kardiovaskular non invasif/tes DOK non invasif yang telah diaplikasikan
dengan sukses, seperti valsava maneuver, respon denyut jantung dengan
bernafas dalam, respon denyut jantung dengan berdiri, respon tekanan darah
dengan berdiri dan respon tekanan darah dengan tegangan handgrip.
Interpretasinya bisa dilihat pada tabel.1 berikut ini :
Tabel.1. Pemeriksaan Denervasi Otonomik Kardiak Non Invasif 5,6,13
TES CARA/PARAMETER
Denyut jantung
istirahat
Abnormal bila > 100 denyut/menit
Variasi denyut
jantung detak demi
detak
Pasien istirahat dengan posisi telentang (tanpa minum kopi malamnya
atau hipoglikemi), bernafas 6 kali/menit, denyut jantung dimonitor
dengan EKG. Perbedaan denyut jantung > 15 kali/menit normal dan
rasio R-R inspirasi/R-R ekspirasi. Normal bila > 1,17.
Respon denyut
jantung dengan
berdiri
Interval R-R diukur selama monitor dengan EKG pada detak ke 15
dan 30 setelah berdiri. Normalnya, takhikardi diikuti dengan refleks
bradikardi. Rasio detak 30 : 15 normal > 1,03, borderline 1.01-1,03
dan abnormal < 1,01
Respon denyut
jantung dengan
Valsava maneuver
Pasien meniup melalui manometer yang dimodifikasi hingga tekanan
40 mmHg selama 15 detik dengan monitor EKG. Hasil ditunjukkan
dengan rasio valsava yaitu perbandingan R-R terpanjang setelah
meniup dengan R-R terpendek selama meniup. Normal jika rasio
valsava > 1,21, borderline 1,11-1,20 dan abnormal < 1,10
Respon tekanan
darah sistol dengan
berdiri
Tekanan darah sistol diukur saat pasien dalam posisi telentang.
Pasien kemudian berdiri dan tekanan darah sistol diukur setelah 2
menit. Respon normal bila turun < 10 mmHg, borderline bila turun
antara 10-29 mmHg dan abnormal bila turun > 30 mmHg dengan
gejala
Respon tekanan
darah diastol dengan
latihan isometrik
Tes ini menggunakan alat Handgrip dinamometer dengan membuat
tegangan sampai 30% dari maksimal selama 5 menit, tekanan darah
diukur 3 kali yaitu sebelum dan interval 1 menit selama beban
handgrip. Hasilnya berupa perbedaan diantara tingginya tekanan
diastolik selama beban handgrip dengan rata-rata tekanan diastolik
sebelum dimulai handgrip. Normal jika peningkatan tekanan diastolik
> 16 mmHg, borderline 11-15 mmHg dan abnormal < 10 mmHg
Interval QT/QTc
pada EKG
Beberapa pakar di antaranya dalam hal ini telah melakukan penelitian
untuk menetapkan diagnosis suatu DOK dari beberapa pemeriksaan non
invasif di atas, seperti :
♦ Ewing dkk menguji variasi denyut jantung selama bernafas dalam,
valsava maneuver, respon denyut jantung dengan berdiri, respon
tekanan darah sistol dengan berdiri dan respon tekanan darah diastol
dengan handgrip. DOK bila dijumpai 2 atau lebih tes abnormal .6
♦ Masser RE dkk menguji denyut jantung saat istirahat, variasi denyut
jantung selama bernafas dalam dan respons dengan valsava
maneuver. DOK bila dijumpai 2 daripadanya abnormal.9
♦ Jermendy dkk menguji variasi denyut jantung selama bernafas dalam,
valsava maneuver, respon denyut jantung dengan berdiri dan respon
tekanan darah sistol dengan berdiri. DOK bila dijumpai semuanya
abnormal. 48
♦ Veglio dkk menguji denyut jantung saat istirahat, variasi denyut jantung
selama bernafas dalam dan respon tekanan darah sistol dengan
berdiri. DOK bila dijumpai 2 atau lebih tes tersebut abnormal. 9
Selain pemeriksaan yang sederhana di atas, cara lain untuk
mendiagnosis suatu DOK ialah dengan menggunakan alat spectral analysis,
Doppler laser 13, tantangan menghirup CO2 35% 44,
iodine-metaiodobenzylguanidine-single photon emission computed tomography
2.5. PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN
Penatalaksanaan dan pengobatan DOK dibagi atas hal yang umum
dan spesifik (khusus).
2.5.1. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum adalah kontrol diabetes, hal ini sangat penting
dalam mencegah terjadinya komplikasi neuropati otonomik diabetik.
Denervasi otonomik kardiak merupakan komplikasi yang tidak hanya
dipengaruhi oleh usia dan lamanya menderita DM tapi juga oleh kontrol
diabetes. Kontrol diabetes yang jelek, yang ditandai dengan semakin
tingginya nilai HbA1C berperanan dalam progresifitas disfungsi otonomik
kardiak diabetik.14 Hal ini dijumpai dari penelitian Larsen dkk selama 18 tahun pada penderita DM tipe-1 dimana didapatkan persentase variabilitas
denyut jantung yang lebih besar pada kelompok dengan HbA1C rendah
dibandingkan yang HbA1C tinggi.49
Demikian pula penelitian di Swedia pada penderita DM tipe-2, dimana
kadar HbA1C yang tinggi 5 tahun setelah menderita DM berhubungan dengan
timbulnya neuropati parasimpatik.50 Kemudian sehubungan dengan kontrol diabetes laporan dari Diabetes Control and Complication Trial (DCCT)
membuktikan bahwa dengan terapi intensif dapat mengurangi insiden baru
denervasi otonomik kardiak sebesar 53% pada DM tipe 1.15 Penelitian Steno-2 tahun Steno-2003 pada DM tipe-Steno-2 juga menganjurkan kontrol diabetes yang
intensif dapat mengurangi resiko terjadinya denervasi otonomik kardiak
2.5.1.1. Peran insulin dan OHO sehubungan dengan DOK
Kontrol diabetes intensif meliputi penggunaan OHO dan insulin. Saat
ini tersedia 4 jenis OHO, yakni : insulin sekretagog, biguanid, glukosidase
inhibitor dan tiazolidinedion. Masing-masing dengan mekanisme kerja yang
berbeda, yang dapat digunakan baik sebagai monoterapi, kombinasi antar
OHO maupun kombinasi dengan insulin. Kebanyakan dari OHO tersebut
dapat menurunkan nilai HbA1C sebesar 1-2%.1,51
Hanya ada beberapa penelitian yang membahas keunggulan insulin
dibanding OHO sehubungan dengan komplikasi jangka panjang diabetes.
Insulin merupakan obat hipoglikemik yang paling tua. Insulin umumnya
digunakan jika dengan cara pengobatan dengan OHO gagal mencapai kadar
glukosa darah normal atau mendekati normal. Insulin sendiri berpotensi
menurunkan kadar HbA1C sebesar 2%. Ternyata bila dibandingkan dengan
diet dan OHO, insulin mempunyai potensi yang lebih besar dalam
menurunkan kadar glukosa darah dan kadar HbA1C. Hal ini dibuktikan oleh
Turner dkk pada penelitian prospektif selama 9 tahun pada kelompok yang
diterapi dengan insulin, OHO dan diet saja. Didapatkan penurunan kadar
glukosa darah puasa <140 mg% pada kelompok yang diterapi dengan insulin
sebesar 42%, OHO 24% dan diet 8%. Demikian juga nilai HbA1C <7% sebesar
28% vs 24% vs 9% pada masing-masing kelompok insulin, OHO dan diet. 51 Hasil yang hampir sama dalam hal keunggulan insulin dibanding OHO dan
diet juga diperoleh De Grauw dan kawan-kawan pada tahun 2003. 52 Efek nyata pemberian insulin pada semua penelitian adalah terjadinya penurunan
oleh karena disamping menurunkan kadar glukosa darah insulin juga mampu
menyelamatkan fungsi sel beta dan memperlambat komplikasi mikro maupun
makroangiopati dengan efek antiinflamasi yang dihasilkannya. 17,18 Ilkova H dan kawan-kawan melaporkan bahwa pemberian insulin jangka pendek pada
pasien DM tipe-2 yang baru terdiagnosis dan gagal dengan diet ternyata
mampu mempertahankan fungsi sel beta lebih baik dibandingkan dengan
kontrol. 53 Garvey dan kawan-kawan juga melaporkan adanya perbaikan fungsi sel beta pada pasien-pasien DM tipe-2 yang mendapat insulin infus
subkutan secara kontinyu. 54 Lebih lanjut Alvarsson M dan kawan-kawan melakukan penelitian yang membandingkan pemberian insulin dini dengan
sulfonilurea (glibenklamid) pada pasien DM tipe-2 yang baru terdiagnosis.
Hasilnya adalah pada mereka yang mendapat insulin terjadi perbaikan sel
beta yang nyata dibandingkan dengan pasien-pasien DM tipe-2 yang
mendapat glibenklamid. 18 Penelitian-penelitian di atas seiring pula dengan hasil yang didapat oleh United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS)
yang melibatkan ribuan orang dan diikuti selama 20 tahun. 17
Seperti disebutkan sebelumnya, selain hiperglikemia kronik,
patogenesis terjadinya neuropati diabetik adalah juga karena defisiensi faktor
pertumbuhan neurohumoral. Faktor pertumbuhan neurohumoral berasal dari
insulin. Defisiensi insulin akan menimbulkan disfungsi pada mitokondria sel
saraf yang akan berdampak pada gagalnya transduksi sinyal intraseluler.55 Demikian juga peranan insulin dari segi pencegahan lipolisis. Suatu
penelitian di Italia mendapatkan bahwa defisiensi insulin relatif merangsang
proses lipolisis yang berdampak pada kenaikan kadar asam lemak bebas.
sehingga menghasilkan imbalans otonom jantung.56 Oleh karena itu keunggulan insulin dalam beberapa hal ini tentunya tidak dimiliki oleh OHO
baik sebagai monoterapi maupun kombinasi.
Dulunya dianggap denervasi otonomik kardiak hanya terjadi pada
mereka yang menderita DM tipe-1 sehubungan dengan defisiensi insulin,
tetapi dari banyak penelitian ternyata menunjukkan bahwa penderita DM
tipe-2 lebih sering mengalaminya dibanding DM tipe 1.11 Pada DM tipe-2 kejadian denervasi otonomik kardiak berkaitan dengan adanya resistensi insulin,
hiperinsulinemia dan obesitas. 57-59 Keadaan ini tentunya menjadi bahan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya patogenesis denervasi otonomik
kardiak pada DM tipe 2, apakah oleh karena resistensi insulin atau karena
disfungsi sel beta semata yang berujung juga pada hiperglikemia kronik.
2.5.2. Penatalaksanaan khusus
Secara umum tidak ada obat yang spesifik untuk DOK. Beberapa
penelitian menunjukkan penggunaan antioksidan -lipoic acid sebagai terapi
awal pada DOK dini kelihatannya dapat memperlambat progresifitas
neuropati. Pemakaian beta-bloker yang kardioselektif atau lipofilik dapat
mengatur efek disfungsi otonom secara sentral atau perifer dengan cara
melawan stimulus simpatik sehingga dengan demikian memperbaiki
keseimbangan parasimpatik-simpatik. Penelitian yang menggunakan
ACE-Inhibitor (quinapril), dengan maksud memperbaiki variabilitas denyut jantung,
secara signifikan meningkatkan aktifitas parasimpatik setelah 3 bulan terapi.
Pengobatan untuk hipotensi ortostatik terdiri dari dua, yakni non
farmakologis dan farmakologis. Non farmakologis meliputi : meningkatkan
asupan garam dalam makanan, hindari diuresis pada malam hari, hindari
pooling vena dengan menggunakan kaus kaki elastik pada siang hari. Terapi
farmakologis, misalnya dengan 9- -fluorohydrocortisone suatu
mineralokortikoid sintetik, dengan dosis awal 0,1 mg tablet dan bisa
ditingkatkan 0,5 mg per hari. Obat lainnya seperti NaCl (enteric coated) 2
gr/hari, Fenilpropanolamin 12,5 mg, Yohimbin 2,5 mg atau Indometasin 25
mg. 60
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa kerusakan saraf pada
binatang dan manusia yang menderita DM disebabkan karena berkurangnya
mioinositol. Pemberian atau penambahan mioinositol dapat menaikkan
kadarnya pada jaringan saraf, tetapi ini belum pernah dicobakan pada
manusia. 8,20,60
Aldose reductase inhibitors (ARIs), suatu obat yang dapat memblok
akumulasi sorbitol dikatakan dapat mencegah dan bahkan memperbaiki saraf
yang rusak, tetapi percobaan klinis menunjukkan bahwa obat ini mempunyai
efek samping yang besar dan belum tersedia kemasannya. 8,20
2.6. PROGNOSIS
Pasien dengan DOK biasanya mempunyai komplikasi DM yang lain,
oleh sebab itu biasanya mempunyai prognosis yang jelek. Pasien-pasien
yang mempunyai iskemia miokard tersamar, pemanjangan interval QT,
Neuropati otonomik simtomatik mempunyai prognosis angka harapan
hidup 10 tahun adalah 27%. Penderita neuropati otonomik simtomatik
mempunyai mortalitas lebih tinggi dibandingkan penderita neuropati otonomik
BAB III
PENELITIAN SENDIRI
3.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Penyandang diabetes (diabetisi) rentan terhadap berbagai komplikasi
lanjut yang akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas dini.2 Komplikasi lanjut umumnya sudah mulai timbul rata-rata setelah 5-10 tahun menderita
diabetes.3 Neuropati diabetik adalah salah satu dari komplikasi lanjut yang tersering dan sangat menyusahkan penyandang diabetes. Neuropati diabetik
mengenai semua serabut saraf periferal sensorik dan motorik serta
saraf-saraf otonom. 4 Tiga tipe utama neuropati diabetik yaitu polineuropati distal simetrik, polineuropati asimetrik, dan polineuropati otonomik.5
Neuropati otonomik diabetik adalah komplikasi yang paling jarang
dikenali dan dimengerti meskipun komplikasi ini amat berpengaruh negatif
terhadap kualitas dan kelangsungan hidup penderita.4,6 Neuropati otonomik kardiovaskular, yang merupakan bagian dari neuropati otonomik diabetik,
terjadi akibat kerusakan serabut saraf otonom yang mempersarafi jantung
dan pembuluh darah yang berakibat disfungsi kontrol frekuensi denyut
jantung dan berbagai faal dinamik vaskular yang mengakibatkan hipotensi
postural, intoleransi kerja fisik, kondisi kardiovaskular yang labil pada saat
pembedahan dan iskemi/infark miokardiak yang terselubung. 7,8
Denervasi otonomik kardiak merupakan bagian dari neuropati otonomik
(resting tachycardia), iskemi miokardiak terselubung (silent myocardial
ischemic), dan aritmia jantung.8
Untuk menegakkan diagnosis denervasi otonomik kardiak cukup
dengan melakukan 3 jenis tes atau pemeriksaan kardiovaskular yang
sederhana yaitu pengukuran frekuensi denyut jantung dalam keadaan
istirahat (mengetahui ada tidaknya resting tachycardia), variasi frekuensi
denyut jantung dengan bernafas dalam serta Valsalva maneuver.
Pengecualian pada penderita dengan retinopati proliferatif, dimana Valsalva
maneuver tidak dilakukan. Sebagai gantinya ialah nilai dari interval corrected
QT (QTc). Diagnosis denervasi otonomik kardiak ditegakkan jika dua dari
ketiga tes di atas menunjukkan hasil abnormal atau borderline.47,61,62
Berdasarkan tes kardiovaskular dan populasi yang diteliti, prevalensi
denervasi otonomik kardiak pada DM tipe-2 berbeda pada tiap-tiap penelitian.
Penelitian prospektif selama 13 tahun oleh Freccero dan kawan-kawan
dengan menilai interval R-R pada 51 pasien DM tipe-2 pada suatu sentra di
Swedia mendapatkan denervasi otonomik kardiak sebanyak 65%. 11 Dari 621 penderita DM tipe-2 di Taiwan Chen HS dan kawan-kawan mendapatkan
sebanyak 46,1% mengalami denervasi otonomik kardiak pada diabetisi yang
menderita DM kurang dari 5 tahun dan 69,4% pada yang lebih dari 20
tahun.63 Penelitian multisentra dengan melibatkan populasi yang lebih besar mendapatkan prevalensi denervasi otonomik kardiak sebanyak 22% pada DM
tipe-2 lanjut. 10 Sedangkan data dari Indonesia untuk penelitian sejenis sampai saat ini masih sedikit, umumnya dilakukan di satu sentra sekitar tahun
Denervasi otonomik kardiak, disamping dipengaruhi usia dan lama
menderita diabetes, juga dipengaruhi oleh kontrol diabetes. Kontrol diabetes
jangka panjang yang jelek berperanan penting dalam mekanisme patogenesis
komplikasi mikrovaskular termasuk denervasi otonomik kardiak.14 Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kontrol diabetes intensif, baik dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) maupun insulin dapat mengurangi kejadian neuropati
otonomik kardiovaskular pada diabetisi.15,16 Namun begitu penelitian yang khusus membahas peranan OHO dan insulin sehubungan terjadinya
denervasi otonomik kardiak pada diabetes masih sedikit.
Khurram dan kawan-kawan dalam suatu penelitian di Pakistan
mendapatkan prevalensi denervasi otonomik kardiak pada 30% penderita DM
tipe-2 yang sudah menderita diabetes lebih dari 10 tahun, dimana 32% pada
kelompok yang diterapi dengan OHO dan 28% pada yang mendapat terapi
insulin.43
Penelitian di Jerman yang diikuti selama 4 bulan menunjukkan adanya
perbaikan denervasi otonomik kardiak terhadap 30 orang penderita DM tipe 2
yang mendapat terapi insulin dibandingkan yang mendapat OHO.64 Schnell dan kawan-kawan juga telah membuktikan dalam suatu penelitian prospektif
bahwa terapi insulin intensif dapat mengembalikan denervasi otonomik
kardiak secara parsial.65
Berlawanan dengan beberapa hasil penelitian di atas, Tovi dan
kawan-kawan justru mendapatkan bahwa perbaikan denervasi otonomik kardiak
tidak dijumpai setelah 1 tahun pemberian insulin walaupun kontrol metabolik
penderita DM tipe 2 yang diterapi dengan insulin lebih baik dibandingkan
Finlandia dan Inggris mendapatkan adanya hiperinsulinemia pada penderita
DM tipe-2 yang mengalami parasimpatetik neuropati.56,67,68 Hal ini tentunya menjadi kontroversial karena bila dilihat dari segi patogenesis terjadinya
neuropati diabetik, insulin dikatakan berperan dalam kontrol diabetes dan
faktor pertumbuhan saraf, sementara di sisi yang lain kelebihan insulin justru
akan memperberat disparitas kontrol otonom yang terjadi pada penderita DM
tipe-2. 23,69 Sepengetahuan penulis, sampai saat ini penelitian di Indonesia yang membahas kejadian denervasi otonomik kardiak pada penderita DM
tipe-2, khususnya membandingkan antara mereka yang mendapat terapi
insulin dan OHO belum ada.
Tertarik akan hal ini, maka penulis ingin meneliti kejadian denervasi
otonomik kardiak pada penderita DM tipe-2 yang telah menderita DM selama
5 tahun atau lebih dengan membandingkan antara mereka yang selama ini
mendapat terapi insulin dengan yang mendapat OHO.
3.2. PERUMUSAN MASALAH
Adakah perbedaan kejadian denervasi otonomik kardiak antara
penderita DM tipe-2 yang mendapat terapi insulin dibanding OHO di
Medan ?
3.3. HIPOTESIS
Ada perbedaan kejadian denervasi otonomik kardiak pada penderita
3.4. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui adanya perbedaan dampak terapi dengan insulin
atau OHO terhadap kejadian denervasi otonomik kardiak pada
penderita DM tipe-2 di Medan.
3.5. MANFAAT PENELITIAN
Dengan mengetahui angka kejadian denervasi otonomik kardiak pada
penderita DM tipe-2 yang mendapat terapi insulin atau OHO, dapat
diambil kebijaksanaan dalam menentukan pilihan terapi untuk
mencegah terjadinya denervasi otonomik kardiak.
3.6. KERANGKA KONSEPSIONAL
Usia
Kontrol diabetes
Lama menderita DM
3.7. BAHAN DAN CARA
3.7.1. Desain penelitian.
Pemilihan sampel penelitian ini dilakukan secara purposive sampling 70
Penderita DM Tipe-2
Insulin OHO
3.7.2. Definisi operasional
a. Denervasi otonomik kardiak : bila pada subjek yang diteliti dijumpai
2 dari 3 tes denervasi otonomik kardiak menunjukkan hasil yang
abnormal atau borderline.
b. Penderita DM tipe-2 : subjek penderita DM yang berdasarkan
catatan rekam medik (status) pernah memberikan respon berupa
penurunan kadar glukosa darah (KGD) dengan pemberian OHO.
c. Penderita DM tipe-2 yang diterapi OHO : subjek DM tipe-2 yang
selama ini diterapi dengan OHO baik sebagai monoterapi maupun
kombinasi dan belum pernah mendapat terapi insulin.
d. Penderita DM tipe-2 yang diterapi insulin : subjek DM tipe-2 yang
hanya mendapat terapi insulin minimal sejak 3 bulan terakhir
dengan rejim bervariasi (indikasi tergantung KGD) dan terapi insulin
diberikan karena tidak menunjukkan respon penurunan KGD
dengan OHO.51,56
e. Keterkendalian diabetik : dikategorikan sebagai terkendali baik bila
HbA1C < 6,5% dan tidak terkendali baik bila HbA1C > 6,5%. dikutip dari 1 f. Gagal jantung : subjek DM tipe-2 yang secara klinis terbukti
mengalami gagal jantung saat tes dilakukan.
g. Aritmia jantung : subjek DM tipe-2 yang pemeriksaan dengan EKG
menunjukkan adanya gangguan irama jantung.
h. Iskemik miokard : subjek DM tipe-2 yang secara klinis dan EKG
3.7.3. Waktu dan tempat penelitian
Waktu penelitian antara bulan Januari-Maret 2007 di Poliklinik Divisi
Endokrinologi dan Metabolisme Departemen Penyakit Dalam FK-USU /
RSUP H.Adam Malik dan RS Dr. Pirngadi Medan.
3.7.4. Subjek penelitian
Penderita DM tipe-2 yang berobat jalan pada poliklinik Divisi
Endokrinologi dan Metabolik RSUP. H.Adam Malik / RSUD Dr.Pirngadi
Medan yang memenuhi kriteria penelitian.
3.7.5. Besar sampel 70
n1 = n2 = (z √2PQ + zβ√P1Q1+ P2Q2)2
(P1-P2)2
P1 : Proporsi DOK pada DM tipe-2 yang mendapat OHO ( menurut
kepustakaan 43 ), didapat angka 30% = 0,3
P2 : Proporsi DOK pada DM tipe-2 yang diterapi insulin (menurut
pertimbangan klinis penulis), didapat angka 10% = 0,1
Q = 1 – P
P = ½ (P1 + P2)
Z : tingkat kemaknaan = 0,05 ; Z = 1,960
Z : power = 0,8 ; Z = 0,842
3.7.6. Kriteria yang diikutkan dalam penelitian (kriteria inklusi)
a. Penderita DM tipe-2 yang telah menderita DM selama 5 tahun atau
lebih dan selama ini mendapat terapi insulin atau OHO.
b. Jenis kelamin pria atau wanita, usia antara 30 – 80 tahun.
c. Tidak merokok, minum kopi atau alkohol setidaknya 1 hari sebelum
tes denervasi otonomik kardiak dilakukan. 69 Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed concern (surat
persetujuan mengikuti penelitian).
3.7.7. Kriteria yang tidak diikutkan dalam penelitian (kriteria eksklusi)
a. Penderita dengan gagal jantung, aritmia jantung, iskemik miokard,
gangguan elektrolit, riwayat penyakit serebrovaskular, pada saat
tes denervasi otonomik kardiak dilakukan.
b. Mengkonsumsi obat-obatan yang secara langsung mempengaruhi
irama jantung seperti digitalis, quinidin, beta bloker, antiaritmia,
antiangina, simpatolitik dan vasodilator perifer.62
c. Penderita dengan hipoglikemi yang dibuktikan dengan nilai KGD
<60 mg/dl.1
3.7.8. Prosedur penelitian
A. Pengumpulan data
Subjek penelitian adalah semua penderita DM tipe-2 yang telah
memenuhi kriteria penelitian. Dilakukan anamnesis pribadi,
(lama) menderita DM dan penyakit lainnya, penggunaan OHO atau
insulin berikut konsumsi obat-obatan lainnya. Subjek dibagi atas 2
kelompok yakni yang mendapat terapi OHO dan yang belakangan ini
hanya mendapat terapi insulin selama 3 bulan atau lebih. Subjek
mengisi surat persetujuan penelitian kemudian dilakukan pemeriksaan
fisik.
B. Cara kerja
Pada seluruh subjek dilakukan tes untuk mengetahui adanya
denervasi otonomik kardiak, yakni :
1. Mengukur detak jantung setelah istirahat selama 5-10
menit dengan EKG. Abnormal bila > 100 detak/menit.
2. Variasi frekuensi denyut jantung (R-R interval) selama
bernafas dalam. Caranya pasien istirahat dengan posisi
telentang, bernafas 6 kali/menit (5 detik inspirasi dan 5
detik ekspirasi), denyut jantung dimonitor dengan EKG.
Dihitung selisih denyut jantung maksimal dengan denyut
jantung minimal. Perbedaan denyut jantung > 15
kali/menit normal, borderline bila 11-14 kali/menit dan
abnormal bila < 10 kali/menit.
3. Menghitung nilai dari interval corrected QT (QTc) dengan
menggunakan formula Bazets (QTc) = QT/√RR. Normal
jika nilai QTc < 400 ms, borderline bila QTc 400-440 ms,
Gambar 2. Perhitungan nilai QTc dari rekaman EKG
Diagnosis denervasi otonomik kardiak ditegakkan jika dua dari
ketiga tes di atas menunjukkan hasil abnormal atau borderline.9,13,14
C. Pemeriksaan laboratorium
Pada seluruh subjek penelitian dilakukan pemeriksaan KGD
sewaktu dan nilai HbA1c.
3.7.9. Kerangka Operasional
Subjek
Diabetisi sesuai kriteria penelitian
Diabetisi (>34 orang) dengan terapi insulin
≥ 3 bulan
Diabetisi (>34 orang) dengan terapi OHO
Dilakukan Test Denervasi Otonomik kardiak
3.7.10. Analisa data
Seluruh data subjek dipaparkan dan ditabulasikan dalam jumlah (%)
atau rerata ± SD (standar deviasi). Perbedaan rerata usia, lama menderita
DM, kadar glukosa darah dan HbA1C dilakukan uji t tidak berpasangan jika
data terdistribusi normal, jika tidak terdistribusi normal dilakukan uji Mann
Whitney. Korelasi antar variabel dengan menggunakan Pearson Correlation
untuk data yang terdistribusi normal dan Spearman Correlation untuk data
yang tidak terdistribusi normal. Analisa variabel terapi, keterkendalian diabetik
dan DOK menggunakan tabel 2x2 dengan menghitung nilai Rasio Odds
(Odds Ratio (OR) dan interval kepercayaan 95% (Confidence Interval 95%
(CI 95%). Analisa kebermaknaan statistik dengan menggunakan Pearson
Chi-square, Fisher’s exact test pada software SPSS 11. Kebermaknaan
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. HASIL PENELITIAN
4.1.1. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Januari 2007 sampai dengan Maret
2007 terhadap 74 orang diabetisi yang telah memenuhi kriteria penelitian.
Subjek penelitian terdiri dari 36 orang yang selama ini mendapat terapi insulin
dan 38 orang dengan OHO. Seluruhnya meliputi 47 orang pria dan 27 orang
wanita dengan usia antara 30 - 80 tahun. Karakteristik dasar subjek penelitian
dapat kita lihat pada tabel 2.
Tabel-2. Karakteristik dasar subjek penelitian
Insulin
Rerata KGD sewaktu 3 bulan terakhir
(mg/dl) 175,86 ± 50,37 179,53 ± 87,11
0,102
4.1.2. Hasil penelitian dan analisa antar variabel
Pada penelitian ini kami mendapatkan sebanyak 50 orang (67,6%)
yang mengalami DOK dari 74 orang subjek penelitian. Dari segi lama
mereka yang mengalami DOK dibanding yang tidak mengalami DOK. Hal ini
selengkapnya dapat kita lihat pada tabel 3.
Tabel-3. Hasil penelitian berdasarkan ada tidaknya denervasi
Denervasi
Jumlah (n = 50)
Tidak Denervasi
Jumlah (n = 20) P
Rerata usia (tahun) 60,84 ± 8,18 56,58 ± 11,11 0,103
Rerata lama menderita DM (tahun) 13,60 ± 4,81 10,13 ± 2,93 0,001*
Rerata HbA1c (%) 8,36 ± 2,42 7,01 ± 1,66 0,019*
* signifikan : P < 0,05
Bila kita lihat dari segi usia, mereka yang mengalami DOK berusia
rata-rata lebih tua dibanding mereka yang tidak mengalami DOK, tetapi
perbedaan ini tidak bermakna (P = 0,103). Untuk mengetahui lebih jauh
hubungan antara usia dengan kejadian DOK (dalam hal ini digunakan nilai
QTc yang lebih dari 440 ms) digunakan uji statistik korelatif (uji korelasi
Spearman). Dari hasil perhitungan statistik ternyata tidak dijumpai korelasi
yang bermakna antara usia dan kejadian DOK. Hal ini dapat kita lihat pada
50 60 70
Gambar 3. Diagram baur hubungan antara usia dan nilai QTc
Pada gambar 3. di atas tidak dijumpai korelasi yang bermakna antara usia
dengan kejadian DOK (nilai QTc) (r = 0,025, P = 0,881).
Dari segi lama menderita DM dan nilai HbA1C dijumpai korelasi yang
bermakna dengan kejadian DOK. Seperti terlihat pada gambar 4 dan 5 berikut
ini.
QTc = 453,73 + 0,15 * usia
6 7 8 10 11 12 13 15 16 18 19 20
Gambar 4. Diagram baur hubungan antara lama DM dan nilai QTc
Pada gambar 4. di atas dijumpai korelasi yang bermakna antara lama
menderita DM dengan kejadian DOK (nilai QTc) (r = 0,390, P = 0,014).
r = 0,390
8.0 10.0 12.0 14.0
Gambar 5. Diagram baur hubungan antara nilai HbA1C dan nilai QTc
Dari gambar 5. di atas dijumpai korelasi negatif yang bermakna antara nilai
HbA1C dan kejadian DOK (nilai QTc) (r = - 0,439, P = 0,005).
r = -0,439
Dari 50 orang yang mengalami DOK, 20 orang (55%) berasal dari
kelompok insulin dan 30 orang (79%) berasal dari kelompok OHO, seperti
yang dapat kita lihat pada tabel.4
Tabel-4. Hasil penelitian berdasarkan terapi
Insulin
Jumlah (n = 36)
OHO
Jumlah (n = 38) P
Denervasi otonomik kardiak (orang) 20 30 0,032*
Rerata HbA1C (%) 7,839 ± 1,54 7,997 ± 2,82 0,089
* signifikan : P < 0,05
Disini dijumpai adanya perbedaan yang bermakna dalam hal terjadinya
DOK pada mereka yang selama ini diterapi dengan insulin dibanding OHO (X2 = 4,616, P = 0,032). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel-5. Tabel 2x2 Insulin dan OHO sehubungan resiko terjadinya DOK
Denervasi Tidak
Denervasi Rasio Odds (interval keyakinan 95%) P
OHO 30 8
3 (1,08 - 8,3)
Insulin 20 16 0,032*
Jumlah 50 24
* signifikan : P < 0,05
Mereka yang mendapat terapi OHO 3 kali lebih beresiko untuk
mengalami DOK dibanding insulin (Rasio Odds = 3 (interval keyakinan 95%
Dari sisi keterkendalian glukosa darah (keterkendalian diabetik),
ternyata juga dijumpai adanya perbedaan yang bermakna dalam hal
terjadinya DOK. Subjek yang diabetes-nya terkendali baik, lebih sedikit
secara bermakna mengalami DOK dibanding yang tidak terkendali baik (X2 = 9,505, P = 0,002). Hal ini dapat kita lihat pada tabel 6.
Tabel-6. Tabel 2x2 Keterkendalian diabetik sehubungan resiko terjadinya DOK
Denervasi Tidak
Denervasi
Rasio Odds (interval
keyakinan 95%) P
Tidak Terkendali baik (HbA1C > 6,5%) 42 12
5,25 (1,75 - 15,77)
Terkendali baik (HbA1C < 6,5%) 8 12 0,002*
Jumlah 50 24
* signifikan : P < 0,05
Mereka yang diabetes-nya tidak terkendali baik 5 kali lebih beresiko
untuk mengalami DOK dibanding yang terkendali baik (Rasio Odds = 5,25)
(interval keyakinan 95% 1,75 – 15,77).
4.2. PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dari 74 orang yang ikut penelitian didapatkan
sebanyak 67,6% mengalami DOK. Angka ini ternyata tidak jauh berbeda
dengan yang didapatkan oleh peneliti lainnya, seperti Ewing dan
mendapatkan denervasi otonomik kardiak sebanyak 65% pada penderita DM
tipe 2.11 Di sentra-sentra lain angka-angka ini lebih bervariasi. Khurram dan kawan-kawan di Pakistan mendapatkan prevalensi DOK pada 30% penderita
diabetes, 28% pada kelompok yang diterapi dengan insulin dan 32% pada
yang mendapat terapi anti diabetik oral.43 Barthelemy dan kawan-kawan mendapatkan penurunan variabilitas denyut jantung sebesar 51,8% pada DM
tipe 2 yang menderita DM selama 11,8 ± 6,8 tahun.37 Weitzman dan kawan-kawan mendapatkan angka 86% DOK pada DM tipe 2 yang sudah lanjut.38 Penelitian Jermendy dan kawan-kawan di Hongaria dengan 28 penderita DM
tipe 2 lama mendapatkan angka kejadian DOK sekitar 30%.39 Tampaknya perbedaan ini lebih berkaitan dengan jumlah populasi penelitian, perbedaan
cara penilaian tes fungsi otonom kardiovaskular, kriteria yang digunakan
menilai DOK dan lama pantauan.9
Denervasi otonomik kardiak merupakan komplikasi DM yang
dipengaruhi oleh usia, lama menderita DM dan kontrol diabetes. 3,7,8
Pada penelitian ini, dari segi usia tidak dijumpai perbedaan yang
bermakna antara mereka yang mengalami DOK dibanding yang tidak
mengalami DOK (P = 0,103), walaupun kelihatan yang mengalami DOK lebih
tua (60,84 ± 8,18 tahun) dibanding yang tidak mengalami DOK (56,58 ± 11,11
tahun) (tabel.3). Kemudian kami mencoba mencari korelasi antara umur dan
kejadian DOK dengan menilai QTc. Kami menggunakan nilai QTc oleh karena
nilai QTc selain sebagai penanda keparahan suatu DOK juga merupakan
prediktor yang potensial untuk suatu kejadian aritmia jantung dan kematian
dengan semakin meningkatnya umur, tetapi peningkatan ini tidak berkorelasi
bermakna (r = 0,025, P = 0,881) (gambar 3). Hasil ini sama seperti yang
didapat oleh Sanusi dan kawan-kawan di Ujung Pandang.41 Ini bisa terjadi oleh karena beberapa hal berikut, antara lain seperti penderita DM umumnya
tidak pernah tahu kapan pastinya mereka menderita DM dan banyak di
antaranya waktu terdiagnosis telah disertai berbagai komplikasi kronis
sehingga disini bisa kita jumpai mereka yang berusia relatif muda justru
mengalami DOK. Kemudian pada penelitian ini umur subjek yang ikut
penelitian, secara kebetulan terdistribusi normal, artinya tidak dijumpai
perbedaan dari segi umur pada mereka yang mendapat terapi insulin atau
OHO demikian juga hasil pemeriksaan DOK.
Dari segi lama menderita DM, dijumpai adanya perbedaan yang
bermakna antara mereka yang mengalami DOK dibanding yang tidak
mengalami DOK. Mereka yang mengalami DOK lebih lama menderita DM
(13,60 ± 4,81 tahun), sedang yang tidak mengalami DOK (10,13 ± 2,93)
dengan nilai P = 0,001 (tabel 3) Lamanya menderita DM juga berkorelasi
bermakna dengan nilai QTc, yang kami uji dengan korelasi Pearson,
didapatkan hasil (r = 0,390, P = 0,014) (gambar.4). Kesimpulan ini kelihatan
seiring dengan penelitian di Taiwan, dimana dari 621 orang penderita DM
tipe-2, sebanyak 46,1% mengalami denervasi otonomik kardiak pada diabetisi
yang menderita DM kurang dari 5 tahun dan 69,4% pada yang lebih dari 20
tahun.63 Hal ini dapat kita pahami oleh karena semakin lama seseorang menderita DM, tentu akan semakin banyak komplikasi jangka panjang yang
timbul. Adanya DOK sebenarnya merupakan penanda adanya komplikasi
Pada penelitian ini, juga dijumpai adanya perbedaan yang bermakna
untuk keterkendalian (kontrol) diabetik antara mereka yang mengalami DOK
dibanding yang tidak mengalami DOK. Kontrol diabetes dinilai dari HbA1C.
Mereka yang mengalami DOK memiliki nilai HbA1C yang lebih tinggi dibanding
mereka yang tidak mengalami DOK (8,36 ± 2,42% vs 7,01 ± 1,66%, P =
0,019) (tabel 3). Bila dilakukan uji statistik secara korelatif dengan uji korelasi
Spearman hubungan antara nilai HbA1C dengan nilai QTc, ternyata dijumpai
korelasi negatif yang bermakna antara nilai HbA1C dengan nilai QTc (r = -
0,439, P = 0,005) (gambar 5). Artinya semakin rendah nilai HbA1C atau
dengan perkataan lain semakin terkontrol diabetes seseorang maka semakin
kecil kemungkinan untuk mengalami DOK. Hal ini karena komplikasi jangka
panjang diabetes sangat terkait dengan kontrol diabetes.15
Pada penelitian ini didapatkan 67,6% subjek mengalami DOK, dimana
55% diantaranya adalah mereka yang selama ini mendapat terapi insulin dan
79% adalah mereka yang selama ini mendapat OHO. Nilai rerata HbA1C
kelompok insulin lebih rendah (7,839 ± 1,54%) dibanding kelompok OHO
(7,997 ± 2,82%), tetapi perbedaan ini tidak bermakna (P = 0,089) (tabel 4).
Ini sebenarnya secara kebetulan menggambarkan mereka yang ikut
penelitian, baik dari kelompok insulin maupun OHO memiliki kontrol diabetes
yang relatif sama.
Dapat kita lihat bahwa ada perbedaan bermakna dalam hal terjadinya
DOK pada mereka yang mendapat terapi insulin dibanding yang mendapat
OHO. Kejadian DOK lebih sedikit pada mereka yang mendapat terapi insulin
dibanding OHO (P = 0,032). Mereka yang mendapat terapi OHO 3 kali lebih
keyakinan 95% 1,08 – 8,3) (tabel 5). Ada beberapa hal yang mungkin
menjadi penyebab keadaan ini di antaranya karena insulin mempunyai efek
yang cepat dalam menurunkan kadar glukosa darah, begitu juga HbA1C,
dibanding OHO. Selain itu keunggulan lain dari insulin dibanding OHO ialah
insulin mempunyai efek anti inflamasi, faktor pertumbuhan saraf dan
disebut-sebut juga insulin dapat menurunkan produksi radikal bebas dan stres
oksidatif, dimana semua faktor tersebut dalam suatu mekanisme yang
kompleks berperanan dalam terjadinya neuropati.17,18, 22,26
Subjek yang mengalami DOK adalah mereka yang diabetes-nya tidak
terkendali dengan baik. Subjek yang diabetes-nya terkendali baik, lebih
sedikit secara bermakna mengalami DOK dibanding yang tidak terkendali
baik (P = 0,002). Secara keseluruhan terlihat bahwa mereka yang
diabetes-nya tidak terkendali baik 5 kali lebih beresiko untuk mengalami DOK
dibanding yang terkendali baik (Rasio Odds 5,25 (interval keyakinan 95%
1,75 – 15,77) (tabel 6). Seperti kita ketahui, komplikasi diabetes berkaitan erat
dengan kontrol diabetes. Kontrol diabetes yang jelek akan berujung pada
percepatan progresifitas komplikasi jangka panjang, baik itu mikroangiopati,
makroangiopati, nefropati maupun neuropati. Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa kontrol diabetes yang ketat, dapat mengurangi kejadian
neuropati otonomik kardiovaskular pada diabetisi.15,16
Dengan demikian yang terpenting sebenarnya dalam hal ini ialah
bagaimana menentukan pilihan terapi terbaik untuk mencapai penurunan
HbA1C sampai target kontrol diabetes terkendali baik (treat to target) karena
makin rendah HbA1C yang dicapai akan makin menurunkan angka komplikasi
apa yang diharapkan dari penelitian UKPDS, DCCT dan Steno-2.15,17,18,51-54 Dalam penelitian ini terkesan insulin lebih unggul dibanding OHO terutama
dalam hal penurunan resiko terjadinya DOK.
Meskipun begitu, kita dapat menemukan beberapa hal yang menjadi
kelemahan dalam penelitian ini, antara lain :
1. Tidak diketahui kapan pastinya seseorang itu menderita DM, oleh
karena yang datang berobat adalah mereka yang sudah mengalami
komplikasi DM.
2. Mereka yang mendapat terapi insulin adalah mereka yang sebelumnya
mendapat OHO dengan berbagai kombinasi politerapi, namun karena
tidak berespon dalam hal penurunan kadar glukosa darah, diganti
dengan insulin. Maknanya sekilas, mereka ini tentu kontrol diabetesnya
sangat jelek dibanding yang mendapat OHO. Oleh sebab itu perlu
dilakukan penelitian cohort yang memasukkan unsur-unsur mereka
yang sejak dini mendapat terapi insulin maupun OHO dengan kontrol
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
5.1.1. Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 67,6% penderita DM tipe-2
yang sudah menderita DM selama 5 tahun atau lebih mengalami
denervasi otonomik kardiak, dimana 55% di antaranya selama ini
mendapat terapi insulin dan 79% OHO.
5.1.2. Denervasi otonomik kardiak selain dipengaruhi oleh lama menderita
DM juga sangat dipengaruhi oleh keterkendalian diabetes.
5.1.3. Insulin terkesan lebih unggul dibanding OHO dalam penurunan resiko
kejadian DOK pada penderita DM tipe-2.
5.2. SARAN
5.2.1. Pada mereka dengan diabetes yang tidak terkendali baik sudah
seharusnya mendapat terapi insulin lebih dini dalam rangka
mengantisipasi terjadinya DOK serta berbagai penyulit lanjut lainnya.
5.2.2. Perlu dilakukan deteksi sedini mungkin akan adanya DOK dengan
pemeriksaan tes kardiovaskular rutin pada setiap penderita DM.
5.2.3. Untuk mendukung penelitian ini sebaiknya dilakukan penelitian cohort
mendapat terapi insulin maupun OHO dengan keterkendalian diabetes
yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan
pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. 2006.
2. Foster DW. Diabetes mellitus. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson
JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, eds. Harrison’s principles of
internal medicine. Vol.2, 13th ed. New York: Mc Graw-Hill; 1994.1979-2000.
3. Nathan DM. Long-term complications of diabetes mellitus. N Eng J
Med 1993; 328: 1676-85.
4. Vinik AI, Maser RE, Mitchell BD, Freeman R. Diabetic autonomic
neuropathy. Diabetes Care 2003; 26: 1553-79.
5. Vinik AI, Holland MT, Le Beau JM, Liuzzi FJ, Stansberry KB, Colen LB.
Diabetic Neuropathies. Diabetes Care 1992; 15: 1926-75.
6. Ewing DJ, Clarke BF. Diabetic autonomic neuropathy: present insight
and future Prospects. Diabetes Care 1986; 9: 648-65.
7. Freeman R. Cardiovascular autonomic neuropathy. In: Dyck PJ,
Thomas PK, eds. Diabetic neuropathy. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders; 1999. 541-4.
8. Vinik AI, Pittenger GL, McNitt P, Stansberry KB. Diabetic neuropathies,
an overview of clinical aspects, pathogenesis and treatment. In :