• Tidak ada hasil yang ditemukan

Denervasi Otonomik Kardiak Pada Penderita Dm Tipe-2 : Perbandingan Antara Yang Mendapat Terapi Insulin Dengan Obat Hipoglikemik Oral

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Denervasi Otonomik Kardiak Pada Penderita Dm Tipe-2 : Perbandingan Antara Yang Mendapat Terapi Insulin Dengan Obat Hipoglikemik Oral"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

DENERVASI OTONOMIK KARDIAK

PADA PENDERITA DM TIPE-2 :

PERBANDINGAN ANTARA

YANG MENDAPAT TERAPI INSULIN DENGAN

OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL

PENELITIAN RETROSPEKTIF

DI DEPARTEMEN / SMF. ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP. H. ADAM MALIK / RSUD Dr. PIRNGADI

MEDAN

JANUARI 2007 – MARET 2007

TESIS

OLEH

OK. YULIZAL

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DI DEPAN SIDANG LENGKAP DEWAN PENILAI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU DAN DITERIMA SEBAGAI SALAH SATU SYARAT

UNTUK MENDAPATKAN KEAHLIAN DALAM BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

PEMBIMBING TESIS

(Dr.DHARMA LINDARTO, SpPD-KEMD)

DISYAHKAN OLEH

KEPALA DEPARTEMEN KETUA PROGRAM STUDI

ILMU PENYAKIT DALAM ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN USU FAKULTAS KEDOKTERAN USU

(3)

DEWAN PENILAI

1. Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH

2. Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH

3. Dr. Mabel Sihombing, SpPD-KGEH

4. Dr. Josia Ginting, SpPD-KPTI

5. Dr. Refli Hasan, SpPD,SpJP(K)

(4)

Abstract

Cardiac Autonomic Denervation in Type 2 Diabetic Patients : A comparison of patients treated with insulin and

oral hypoglycemic agents

OK. Yulizal, Dharma Lindarto, Refli Hasan

Department of Internal Medicine, School of Medicine,

University of Sumatera Utara, H.Adam Malik General Hospital Medan

Background : Cardiac autonomic denervation is a common finding in diabetic

patients as a result of long-term diabetes complication. Clinical consequences

of cardiac autonomic denervation may play a partial role in the pathogenic

mechanism of sudden unexpected death in diabetic patients. This was to

assess cardiac autonomic denervation in diabetics comparing patients treated

with insulin and oral hypoglycemic agents is scarce.

Objective : To assess cardiac autonomic denervation in type 2 diabetic

patients comparing patients treated with insulin and oral hypoglycemic agents.

Subjects and Methods : We conducted a retrospective case-control analysis

in purposive samples of diabetic patients who were more than 5 years having

this illness. Subjects were divided into two groups. Group I included 36

patients who were treated with insulin and group II 38 patients who were

treated with oral hypoglycemic agents for their diabetes. All patients data from

medical record including history of diseases, medications, physical

examinations and blood glucose levels were reviewed and evaluated. Cardiac

autonomic denervation tests in both of the groups were done in terms of

presence of resting tachycardia, heart rate variation during deep breathing

and QT interval lengthening (QT corrected) using ECG. All subjects’ data

were described and tabulated. Statistical methods used included Student t

(5)

method and Fisher exact test, with calculation of odds ratio (OR) and 95%

confidence interval (CI). We used Pearson’s correlation and Spearman’s

correlation for correlation test.

Results : We found cardiac autonomic denervation in 50 subjects (67,6%) of

a total of 74 subjects. Mean age was 60,84 ± 8,18 years, mean duration of

diabetes was 13,60 ± 4,81 years, mean HbA1C was 8,36 ± 2,42 %. There was

a significant differences in duration of diabetes (P = 0,001) and HbA1C (P =

0,019) between denervation and non denervation patients. We found a

significant correlation between duration of diabetes (r = 0,390, P = 0,014) and

HbA1C (r = - 0,439, P = 0,005) with denervation. In 50 denervation subjects,

20 subjects (55%) belonged to the insulin group and 30 subjects (79%) to oral

hypoglycemic agents group (P = 0.032, OR 3, 95% CI (1.08 – 8.3). Cardiac

autonomic denervation was fewer significantly in well controlled than badly

controlled diabetes patients (P = 0.002, OR 5.25, 95% CI (1.75 – 15.77).

Conclusion : Cardiac autonomic denervation was influenced by duration and

diabetes control. Diabetes control played an important role in cardiac

autonomic denervation events. In this study insulin seemed to be more useful

in reducing the risk of cardiac autonomic denervation in type 2 diabetes

patients compared to oral hypoglycemic agents.

(6)

Abstrak

Denervasi Otonomik Kardiak pada penderita DM tipe 2 : Perbandingan antara yang mendapat terapi insulin

dan obat hipoglikemik oral

OK. Yulizal, Dharma Lindarto, Refli Hasan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan

Latar belakang : Denervasi otonomik kardiak (DOK) lazim dijumpai pada

diabetisi akibat komplikasi lanjut diabetes. Berbagai konsekuensi klinis DOK

sebagian boleh jadi berperanan pada mekanisme patogenesis kematian

tiba-tiba diabetisi. Penelitian yang menilai DOK pada diabetisi dengan

membandingkan antara mereka yang mendapat terapi insulin dan obat

hipoglikemik oral masih jarang.

Tujuan penelitian : Mengetahui ada tidaknya DOK pada penderita DM tipe 2

dengan membandingkan antara mereka yang selama ini diterapi dengan

insulin dengan yang mendapat terapi obat hipoglikemik oral (OHO).

Bahan dan Cara : Studi retrospektif kasus-kontrol dengan pendekatan

deskriptif analitik secara purposive sample terhadap diabetisi yang sudah

menderita DM lebih dari 5 tahun. Subjek dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok

I meliputi 36 orang diabetisi yang selama ini mendapat terapi insulin dan

kelompok II terdiri dari 38 orang diabetisi yang selama ini mendapat terapi

OHO. Dari rekam medik, dicatat data pribadi subjek, riwayat penyakit,

pengobatan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan kadar glukosa darah. Tes

DOK dilakukan dengan menilai detak jantung saat istirahat, variasi detak

jantung saat bernafas dalam dan nilai QTc dengan EKG. Seluruh data subjek

(7)

t test dan Mann-Whitney U test. Analisa variabel secara Chi-square dan

Fisher exact test, dengan menghitung nilai rasio odds dan interval keyakinan

95%. Uji korelatif dengan Pearson’s correlation dan Spearman’s correlation.

Hasil : Jumlah subjek yang mengalami DOK dijumpai sebanyak 50 orang

(67,6%) dari 74 subjek. Rerata usia 60,84 ± 8,18 tahun, rerata lama

menderita DM 13,60 ± 4,81 tahun, rerata HbA1C 8,36 ± 2,42 %. Didapatkan

perbedaan yang bermakna dalam hal lama menderita DM (P = 0,001) dan

HbA1C (P = 0,019) antar subjek yang mengalami dan tidak mengalami DOK.

Dijumpai korelasi yang bermakna dalam hal lama menderita DM (r = 0,390, P

= 0,014) dan HbA!C (r = - 0,439, P = 0,005) dengan kejadian DOK. Dari 50

orang yang mengalami DOK tersebut, 20 orang (55%) dari kelompok insulin

dan 30 orang (79%) dari kelompok OHO ((P = 0,032, rasio odds (OR) 3,

interval keyakinan 95% (CI) (1,08 – 8,3). DOK lebih sedikit dijumpai secara

bermakna pada mereka dengan kontrol diabetes baik daripada mereka

dengan kontrol diabetes tidak terkendali baik (P = 0,002, OR 5,25, 95% CI

(1.75 – 15.77).

Kesimpulan : DOK dipengaruhi oleh lama menderita DM dan kontrol

diabetes. Kontrol diabetes berperanan penting pada kejadian DOK. Dalam

penelitian ini insulin terkesan lebih memberi manfaat dalam mengurangi

resiko DOK pada penderita DM tipe 2.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Denervasi otonomik kardiak pada penderita DM tipe-2: Perbandingan antara yang mendapat terapi insulin dengan obat hipoglikemik oral” yang berlangsung dari bulan Januari 2007 – Maret 2007. Tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter spesialis bidang Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan rasa hormat saya serta penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. Lukman Hakim Zain KGEH dan Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH. Selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kemudahan dan perhatian yang besar terhadap pendidikan penulis.

2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr. Zulhelmi Bustami SpPD-KGH dan Dr. Dharma Lindarto SpPD-KEMD yang telah membantu, membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berilmu, handal dan berbudi luhur.

3. Kepala Divisi Endokrinologi dan Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU / RSUP H.Adam Malik Medan Dr. H.OK.Alfien Syukran SpPD-KEMD yang telah memberikan saran, petunjuk, bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian.

(9)

5. Dr. Armon Rahimi, Dr. Herianto Yoesoef, Dr. R.Tunggul Ch S, Dr. Daud Ginting, Dr. Tambar Kembaren, Dr. Saut Marpaung, Dr. Mardianto, Dr. Zuhrial Z, Dr. Ilhamd, Dr. Calvin D, Dr. Dasril Efendi, Dr. Mazhir Dj, Dr. Maringan, Dr. Hariyani Adin, Dr. Jerahim Tarigan, Dr. Rahmat Isnanta, Dr. Santi Syafril, Dr. Zainal Safri, Dr. Sugiarto Gani, Dr. Fransiscus Ginting, Dr. Dairion Gatot, sebagai dokter kepala ruangan / senior yang telah banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan.

6. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr Pirngadi Medan / RS.PN II Tembakau Deli Medan yang telah memberikan bantuan dan kemudahan serta keizinan dalam menggunakan fasilitas dan sarana rumah sakit dalam menunjang pendidikan keahlian.

7. GM RS. PN III Sri Pamela Tebing Tinggi, yang telah memberikan kesempatan pada penulis sebagai Konsultan Penyakit Dalam di RS. PN III Sri Pamela Tebing Tinggi dalam rangka pendidikan ini.

8. Kawan-kawan seangkatan saya mengikuti PPDSI Penyakit Dalam Dr. T.Realsyah, Dr. Rismauli, Dr. Christina, Dr. Idwan Harris dan Dr. Novrianti. Dr. Aizil, Dr. Zulkhairi, Dr. Ilum Anam, Dr. Ariantho Purba, Dr. Syafrizal Nst, Dr. Akbar Siregar, Dr. Arief Gunawan, Dr. Munadi, Dr. Rinaldi, Dr. Suhartono, Dr.Lili Syarief, Dr.Faisal, dan kawan-kawan lain yang selama ini telah banyak membantu saya. Perawat serta paramedis lainnya dan seluruh karyawan / karyawati di lingkungan SMF / Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr Pirngadi Medan terimakasih atas kerja sama yang baik selama ini.

9. Para penderita rawat inap dan rawat jalan di SMF / Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr Pirngadi Medan, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin dapat terselesaikan pendidikan ini.

10. Pada kesempatan ini pula izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran dan Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan kesempatan bagi saya untuk mengikuti pendidikan keahlian ini.

(10)

Dengan mengucapkan rasa syukur yang tidak terhingga kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada penulis sekeluarga, tidak mungkin akan terlupakan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang sangat saya cintai yaitu, Ayahanda Dr.H.OK.Alfien Syukran SpPD-KEMD dan Ibunda Hj. T.Nazliah yang telah membesarkan, mengasuh, mendidik dan menyekolahkan penulis serta memberikan dukungan secara moril maupun materiil demi kemajuan penulis. Semoga ini semua dapat menjadi amal saleh bagi mereka. Juga kepada mertua saya, Ir.OK.Chairul Arief (alm), Hj.Farida Hanum BA dan Ir.Mahrouzar Manan,Msi terima kasih atas semua jasa baik selama ini yang tak mungkin terbalaskan.

Kepada istriku Desy Chairida, STP sulit rasanya memilih kata-kata yang tepat untuk menyampaikan rasa terima kasih atas kesabaran, keihlasan, dukungan, dorongan serta pengorbanan yang telah engkau berikan selama ini, semoga apa yang kita capai dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita dan Allah SWT selalu memberkati dan menyertai kita. Kedua anak- anakku yang tersayang OK.Ikram Alchair dan En.Nazifa Zanzabilla Putri yang selalu menjadi pendorong dan penambah semangat serta pelipur lara di kala senang maupun susah dan terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan kalian selama ini serta jadikanlah ini sebagai pendorong cita-cita kalian berdua.

Kepada adik-adikku OK.Isnainul Khaeri,SH, En.Humaira Nina Ikhtiwanie,SS, En.Shavtira Della Poetri,SP, En.Artisya Fajriani,SKed dan adik-adik iparku Ida Herawati, H. Dedy Rahmat,SE, Fredy Rival Arief,Amd dan Arivan serta seluruh anggota keluarga yang telah memberikan semangat dan dorongan selama ini, saya ucapkan terima kasih.

Sebenarnya masih banyak lagi ucapan terima kasih yang selayaknya saya sampaikan kepada berbagai pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu pada kesempatan ini, dalam hal ini izinkanlah saya menyampaikan rasa terima kasih yang setulusnya secara menyeluruh.

(11)

DAFTAR ISI

3.7.6. Kriteria yang diikutkan dalam penelitian ………….. 26

(12)

3.7.9. Kerangka operasional………. 28

3.7.10. Analisa data ………..………. 29

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………. ……….. 30

4.1. Hasil penelitian ………. 30

4.1.1. Karakteristik dasar subjek penelitian ……….. 30

4.1.2. Hasil penelitian dan analisa antar variabel ………… 30

4.2. Pembahasan ………. 36

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 42

5.1. Kesimpulan ……… 42

5.2. Saran ……….…. 42

DAFTAR PUSTAKA …………..………... 43

LAMPIRAN 1. Master tabel penelitian ……….……… 53

2. Penjelasan aktifitas penelitian dan informed consent ... 55

3. Persetujuan komite etik tentang pelaksanaan penelitian .. 57

4. Format data-data pasien penelitian ... 58

5. Daftar riwayat hidup ... 60

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pemeriksaan denervasi otonomik kardiak non invasif ………. 10

Tabel 2. Karakteristik dasar subjek penelitian ……….. 30

Tabel 3. Hasil penelitian berdasarkan ada tidaknya denervasi ... 31

Tabel 4. Hasil penelitian berdasarkan terapi ... 35

Tabel 5. Tabel 2x2 insulin dan OHO sehubungan resiko terjadinya DOK .... 35

Tabel 6. Tabel 2x2 keterkendalian diabetik sehubungan DOK ...……… 36

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Patogenesis neuropati diabetik ………..……… 4

Gambar 2. Perhitungan nilai QTc dari rekaman EKG ………..……… 28

Gambar 3. Diagram baur hubungan antara usia dan nilai QTC ………..… 32

Gambar 4. Diagram baur hubungan antara lama DM dan nilai QTC …..… 33

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

Angka insiden dan prevalensi diabetes melitus (DM), khususnya DM

tipe-2 di seluruh penjuru dunia dari berbagai penelitian epidemiologi

cenderung menunjukkan adanya peningkatan. Untuk Indonesia sendiri,

organisasi kesehatan dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah pasien dari

8,4 juta penduduk pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun

2030. Suatu jumlah yang sangat besar mengingat bahwa DM akan

memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia, sosial dan

tingginya biaya kesehatan. Semuanya ini tentu terkait dengan komplikasi

yang timbul karena DM.Dikutip dari 1

Penyandang diabetes melitus rentan terhadap berbagai komplikasi

lanjut yang akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas dini.2 Komplikasi lanjut DM umumnya sudah mulai timbul rata-rata setelah 5-10 tahun

menderita diabetes.3 Neuropati diabetik adalah salah satu dari komplikasi lanjut yang tersering dan sangat menyusahkan penyandang DM (diabetisi)

karena mengenai semua serabut saraf periferal sensorik dan motorik serta

susunan saraf otonom (SSO).4 Tiga tipe utama neuropati diabetik yaitu polineuropati distal simetrik, polineuropati asimetrik dan polineuropati

otonomik.5

Neuropati otonomik diabetik (NOD) adalah komplikasi yang paling

jarang dikenali dan dimengerti meskipun komplikasi ini amat berpengaruh

(15)

akibat kerusakan serabut saraf otonom yang mempersarafi jantung dan

pembuluh darah yang berakibat disfungsi kontrol frekuensi denyut jantung

dan berbagai faal dinamik vaskular yang mengakibatkan hipotensi postural,

intoleransi kerja fisik, kondisi kardiovaskular yang labil pada saat

pembedahan dan iskemi/infark miokardiak yang terselubung. 7, 8

Denervasi otonomik kardiak (DOK) merupakan bagian dari neuropati

otonomik kardiovaskular diabetik. DOK bermanifestasi sebagai takhikardi

sewaktu istirahat, aritmia, hipotensi ortostatik, penurunan variabilitas denyut

jantung, intoleransi kerja fisik, infark miokard tersamar dan lain-lainnya

sampai kemudian menimbulkan kematian pada penderita DM. 8 Sekitar 65% pasien DM meninggal karena penyakit kardiovaskular dan penyakit

kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian pasien DM tipe 2 yang

didiagnosa dengan DOK. 9

Angka kejadian DOK diperkirakan akan meningkat seiring dengan

peningkatan angka prevalensi diabetes dan komplikasi terutama terhadap

SSO yang ditimbulkannya. Hal ini terbukti dari adanya beberapa penelitian

yang ditulis oleh Ewing dan kawan (tahun 1986), Neil dan

kawan-kawan di tahun 1989 dengan melibatkan banyak sentra dan Freccero dari

Swedia (tahun 2004). 6,10,11 Untuk Indonesia sendiri, penelitian dengan melibatkan populasi yang lebih besar dan multisentra sampai saat ini belum

ada. Dikutip dari 12

Patogenesis timbulnya DOK sampai saat ini belum jelas, dan diduga

banyak faktor yang terlibat diantaranya faktor metabolik, insufisiensi

neurovaskular, kerusakan otoimun dan defisiensi faktor pertumbuhan

(16)

Adanya DOK pada awalnya tanpa gejala yang khas. Gejala klinis

umumnya timbul bila sudah lama menderita DM. Pada awal tahun 1970-an

Ewing dan kawan-kawan telah menemukan tes refleks kardiovaskular

noninvasif yang cukup sederhana, mudah, praktis dan hasilnya dapat

dipercaya sebagai gambaran gangguan saraf otonom yang terjadi di seluruh

tubuh. 6,13

Denervasi otonomik kardiak, disamping dipengaruhi usia dan lama

menderita diabetes, juga dipengaruhi oleh kontrol diabetes.3,7,8 Kontrol diabetes jangka panjang yang jelek berperanan penting dalam mekanisme

patogenesis komplikasi mikrovaskular termasuk denervasi otonomik

kardiak.14

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kontrol diabetes intensif,

baik dengan obat hipoglikemik oral (OHO) maupun insulin dapat mengurangi

kejadian neuropati otonomik kardiovaskular pada diabetisi.15,16 Hasil yang diharapkan dari semua itu ialah kontrol diabetes yang terkendali baik, artinya

HbA1c < 6,5%.1 Hal ini bisa cepat tercapai dengan pemberian insulin. Efek nyata pemberian insulin pada semua penelitian adalah terjadinya penurunan

nilai HbA1C. Efek ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan pemberian OHO,

oleh karena disamping menurunkan kadar glukosa darah insulin juga mampu

menyelamatkan fungsi sel beta dan memperlambat komplikasi mikro maupun

makroangiopati dengan efek antiinflamasi yang dihasilkannya. 17,18

Oleh karena sepengetahuan penulis belum banyak penelitian yang

khusus membahas peranan OHO dan insulin sehubungan terjadinya DOK,

maka untuk itulah penulis ingin melakukan penelitian mengenai dampak

(17)

Pengenalan DOK sedini mungkin sangat perlu mengingat

prognosisnya yang sangat jelek dan dapat terjadi hal yang fatal seperti henti

jantung paru terutama sewaktu dilakukan pembiusan saat operasi, sehingga

pencegahannya sangat diperlukan agar morbiditas dan mortalitas yang

disebabkan DOK ini dapat dikurangi. 8,14

Penatalaksanaan dan pengobatan DOK meliputi pengendalian kadar

glukosa darah dan penatalaksanaan khusus terhadap gejala kelainan

(18)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. ETIOPATOGENESIS

Neuropati diabetik merupakan kerusakan yang heterogen. Secara

morfologi kelainan sel saraf terdapat pada sel schwann, selaput myelin dan

akson. Terdapat berbagai hipotesis tentang etiologi neuropati diabetik yang

meliputi gangguan metabolisme pada serabut saraf, insufisiensi

neurovaskular, kerusakan akibat proses otoimun dan berkurangnya

(defisiensi) faktor pertumbuhan neurohumoral.8 Patogenesis neuropati diabetik secara garis besarnya dapat kita lihat pada gambar 1 di bawah ini.

(19)

Hiperglikemi yang terjadi akan mengaktifkan jalur metabolik poliol

(polyolpathway) yang akan menyebabkan penumpukan sorbitol serta

perubahan potensial pada rasio NAD/NADH yang secara langsung akan

menyebabkan kerusakan neuronal serta berkurangnya aliran darah ke

saraf.20 Pengaktifan enzim protein kinase C akan mengimbas terjadinya vasokonstriksi dan akan menyebabkan suplai darah ke saraf akan semakin

berkurang. Stres oksidatif yang semakin meninggi dengan makin

meningkatnya produksi radikal bebas akan merusak sel-sel endotel vaskular

dan menurunkan ketersediaan hayati (bioavailability) nitrit oksida (NO).21,22 Produksi NO yang berlebihan akan menyebabkan terbentuknya peroksinitrit

yang akan merusak sel-sel endotel vaskular serta neuron, suatu proses yang

dinamakan stres nitrosatif (nitrosative stress). 23,24

Pada sub-populasi individu dengan neuropati, mekanisme imunitas

boleh jadi juga ikut terlibat.25 Penurunan faktor-faktor pertumbuhan neurohumoral, defisiensi asam-asam lemak esensil dan pembentukan

advanced glycation end products (AGEPs) yang terlokalisasi pada

pembuluh-pembuluh darah endoneural, juga berakibat aliran darah endoneural

menurun, menyebabkan hipoksia pada saraf serta perubahan faal saraf. 26-28 Proses yang multifaktorial ini boleh jadi berakibat pengaktifan ribosilasi

poliadenosin difosfat, pengurangan ATP yang menyebabkan nekrosis sel-sel

saraf serta diaktifkannya berbagai gen yang terkait dengan kerusakan saraf.

29,30

Susunan saraf otonom dalam badan kita terdiri dari sistem simpatik

dan parasimpatik. SSO berhubungan dengan pengaturan otot jantung, otot

(20)

bagian simpatik (torakolumbal) dan parasimpatik (kraniosakral) SSO.

Sehingga gangguan saraf otonom diabetik yang berpengaruh terhadap sistem

kardiovaskuler dibagi pula atas neuropati parasimpatik dan neuropati

simpatik. 7,14,31

Serabut saraf vagus adalah saraf otonomik yang terpanjang dalam

tubuh. Neuropati otonomik diabetik biasanya permulaan sekali mengenai

saraf otonomik yang lebih panjang. Sekitar 75% dari seluruh neuropati

otonomik diabetik pada tahap awal muncul dengan penurunan aktifitas saraf

vagus.32

Pada manusia, perubahan denyut jantung sewaktu istirahat, sewaktu

bernafas dalam, respon sewaktu berdiri dan manuver valsava dipengaruhi

oleh saraf vagus. Uji klinik untuk mendeteksi neuropati parasimpatik bisa

dilakukan dengan EKG. Pada kebanyakan pasien dengan DOK, disfungsi

parasimpatik dapat dideteksi sebelum muncul disfungsi simpatik. Ini

dibuktikan dengan atropin, meniadakan variasi denyut jantung, sehingga

temuan ini menunjukkan berkurangnya tonus vagal sebagai manifestasi awal

DOK. Adanya perubahan denyut jantung istirahat pada pasien DM bisa

memberikan gambaran kerusakan saraf jantung baik itu saraf parasimpatik

sendiri maupun bersama saraf simpatik.

Sedangkan saraf simpatik akan mempengaruhi peningkatan denyut

jantung saat melakukan kerja fisik, memberi respon terhadap tekanan darah

jika bangkit dari baring ke berdiri dan terhadap tegangan tangan (handgrip)

yang dipertahankan. Beberapa penelitian telah dilakukan dengan mengukur

jumlah neurotransmiter pada pasien DM dengan neuropati simpatik. Dimana

(21)

pada pasien DM lebih rendah dibandingkan kontrol. Temuan ini membuktikan

pada pasien DM yang lama telah terjadi neuropati simpatik yang berat. 33,34

2.2. EPIDEMIOLOGI

Kejadian (prevalensi) DOK pada penderita diabetes bervariasi antara

berbagai penelitian. Variabilitas pada angka mortalitas ini mungkin

berhubungan dengan populasi penelitian, perbedaan cara penilaian tes fungsi

otonom kardiovaskular, kriteria yang digunakan menilai DOK dan lama

pantauan.9 Insidensi DOK diperkirakan 5-10% pasien DM lama dan sebanyak 35% pada pasien DM dengan neuropati perifer subklinik, dan didapatkan

sebanyak 17% pada DM tipe 1 dan 22% pada DM tipe 2. 35,36 Ewing dan kawan-kawan mendapatkan 60% kejadian DOK pada penderita DM tipe 2.6 Barthelemy dan kawan-kawan mendapatkan penurunan variabilitas denyut

jantung 51,8% pada DM tipe 2 yang menderita DM selama 11,8 ± 6,8 tahun.37 Penelitian lain mendapatkan angka 86% DOK pada DM tipe 2 yang sudah

lanjut.38 Penelitian di Hongaria dengan 36 penderita DM tipe 1 dan 28 penderita DM tipe 2 lama didapatkan angka kejadian DOK sekitar 44% dan

30%.39 Sementara itu dari Indonesia, Hendra dan kawan-kawan di Semarang mendapatkan 62,2%, Sanusi dan kawan-kawan di Ujung Pandang

mendapatkan 66,7%, angka yang tak jauh berbeda didapatkan oleh Lubis AR

di Medan sebanyak 65,56% untuk angka kejadian DOK dari 90 orang

penderita DM tipe-2.40,41,42 Khurram dkk mendapatkan prevalensi DOK pada 30% penderita diabetes, 28% pada kelompok yang diterapi dengan insulin

(22)

pada individu dengan DOK bervariasi dari 53% pada suatu penelitian dan 9%

pada penelitian lainnya.

2.3. GAMBARAN KLINIS

Frekuensi denyut jantung yang meninggi pada keadaan istirahat

(resting tachycardia) selalu dijumpai pada pasien diabetes umumnya

disebabkan neuropati pada saraf vagus (vagal neuropathy) yang

mengakibatkan tidak terhambatnya aktifitas saraf simpatik, yang secara

fisiologis bekerja meningkatkan frekuensi denyut jantung .44

Pada proses yang lebih lanjut takhikardi akan diikuti dengan

menurunnya frekuensi denyut jantung yang terjadi akibat neuropati pada

sistim saraf simpatik, dan pada akhirnya frekuensi denyut jantung akan

bertahan dan menetap (fixed heart rate) dengan semakin berkembangnya

neuropati saraf simpatik.

Neuropati simpatik akan menyebabkan terganggunya vasodilatasi

pembuluh darah koroner jantung yang dihantarkan oleh rangsangan saraf

simpatik, disertai berkurangnya kemampuan untuk mempertahankan tekanan

darah. Hal ini akan berakibat menurunnya perfusi miokardial. Fraksi ejeksi

jantung akan menurun, terjadi disfungsi sistolik, pengisian diastolik berkurang

sehingga curah jantung juga akan menjadi menurun, dan ini akan

menyebabkan intoleransi kerja fisik (exercise intolerance), dimana

kemampuan untuk meningkatkan curah jantung pada keadaan kerja fisik

menurun. 45

Juga akan terjadi pemanjangan interval QT yang dikoreksi (corrected

(23)

terpanjang dengan QT interval yang terpendek) yang mencerminkan adanya

ketidakseimbangan (imbalance) persarafan simpatik pada bagian kiri dan

kanan jantung. Hal-hal di atas akan meningkatkan resiko untuk terjadinya

aritmia jantung serta kematian tiba tiba.46

Prevalensi infark miokard tersamar (silent myocardial infarction) lebih

tinggi pada diabetisi dengan neuropati otonomik kardiak dibandingkan yang

tanpa neuropati otonomik kardiak (38% vs 5%), hal mana disebabkan

menghilangnya kemampuan mengenali (merasakan) nyeri iskemik pada

mereka dengan neuropati kardiak. 33,47

2.4. DIAGNOSIS

Awal 1970-an, Ewing dkk telah menemukan lima cara tes refleks

kardiovaskular non invasif/tes DOK non invasif yang telah diaplikasikan

dengan sukses, seperti valsava maneuver, respon denyut jantung dengan

bernafas dalam, respon denyut jantung dengan berdiri, respon tekanan darah

dengan berdiri dan respon tekanan darah dengan tegangan handgrip.

Interpretasinya bisa dilihat pada tabel.1 berikut ini :

Tabel.1. Pemeriksaan Denervasi Otonomik Kardiak Non Invasif 5,6,13

TES CARA/PARAMETER

Denyut jantung

istirahat

Abnormal bila > 100 denyut/menit

Variasi denyut

jantung detak demi

detak

Pasien istirahat dengan posisi telentang (tanpa minum kopi malamnya

atau hipoglikemi), bernafas 6 kali/menit, denyut jantung dimonitor

dengan EKG. Perbedaan denyut jantung > 15 kali/menit normal dan

(24)

rasio R-R inspirasi/R-R ekspirasi. Normal bila > 1,17.

Respon denyut

jantung dengan

berdiri

Interval R-R diukur selama monitor dengan EKG pada detak ke 15

dan 30 setelah berdiri. Normalnya, takhikardi diikuti dengan refleks

bradikardi. Rasio detak 30 : 15 normal > 1,03, borderline 1.01-1,03

dan abnormal < 1,01

Respon denyut

jantung dengan

Valsava maneuver

Pasien meniup melalui manometer yang dimodifikasi hingga tekanan

40 mmHg selama 15 detik dengan monitor EKG. Hasil ditunjukkan

dengan rasio valsava yaitu perbandingan R-R terpanjang setelah

meniup dengan R-R terpendek selama meniup. Normal jika rasio

valsava > 1,21, borderline 1,11-1,20 dan abnormal < 1,10

Respon tekanan

darah sistol dengan

berdiri

Tekanan darah sistol diukur saat pasien dalam posisi telentang.

Pasien kemudian berdiri dan tekanan darah sistol diukur setelah 2

menit. Respon normal bila turun < 10 mmHg, borderline bila turun

antara 10-29 mmHg dan abnormal bila turun > 30 mmHg dengan

gejala

Respon tekanan

darah diastol dengan

latihan isometrik

Tes ini menggunakan alat Handgrip dinamometer dengan membuat

tegangan sampai 30% dari maksimal selama 5 menit, tekanan darah

diukur 3 kali yaitu sebelum dan interval 1 menit selama beban

handgrip. Hasilnya berupa perbedaan diantara tingginya tekanan

diastolik selama beban handgrip dengan rata-rata tekanan diastolik

sebelum dimulai handgrip. Normal jika peningkatan tekanan diastolik

> 16 mmHg, borderline 11-15 mmHg dan abnormal < 10 mmHg

Interval QT/QTc

pada EKG

(25)

Beberapa pakar di antaranya dalam hal ini telah melakukan penelitian

untuk menetapkan diagnosis suatu DOK dari beberapa pemeriksaan non

invasif di atas, seperti :

♦ Ewing dkk menguji variasi denyut jantung selama bernafas dalam,

valsava maneuver, respon denyut jantung dengan berdiri, respon

tekanan darah sistol dengan berdiri dan respon tekanan darah diastol

dengan handgrip. DOK bila dijumpai 2 atau lebih tes abnormal .6

♦ Masser RE dkk menguji denyut jantung saat istirahat, variasi denyut

jantung selama bernafas dalam dan respons dengan valsava

maneuver. DOK bila dijumpai 2 daripadanya abnormal.9

♦ Jermendy dkk menguji variasi denyut jantung selama bernafas dalam,

valsava maneuver, respon denyut jantung dengan berdiri dan respon

tekanan darah sistol dengan berdiri. DOK bila dijumpai semuanya

abnormal. 48

♦ Veglio dkk menguji denyut jantung saat istirahat, variasi denyut jantung

selama bernafas dalam dan respon tekanan darah sistol dengan

berdiri. DOK bila dijumpai 2 atau lebih tes tersebut abnormal. 9

Selain pemeriksaan yang sederhana di atas, cara lain untuk

mendiagnosis suatu DOK ialah dengan menggunakan alat spectral analysis,

Doppler laser 13, tantangan menghirup CO2 35% 44,

iodine-metaiodobenzylguanidine-single photon emission computed tomography

(26)

2.5. PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN

Penatalaksanaan dan pengobatan DOK dibagi atas hal yang umum

dan spesifik (khusus).

2.5.1. Penatalaksanaan umum

Penatalaksanaan umum adalah kontrol diabetes, hal ini sangat penting

dalam mencegah terjadinya komplikasi neuropati otonomik diabetik.

Denervasi otonomik kardiak merupakan komplikasi yang tidak hanya

dipengaruhi oleh usia dan lamanya menderita DM tapi juga oleh kontrol

diabetes. Kontrol diabetes yang jelek, yang ditandai dengan semakin

tingginya nilai HbA1C berperanan dalam progresifitas disfungsi otonomik

kardiak diabetik.14 Hal ini dijumpai dari penelitian Larsen dkk selama 18 tahun pada penderita DM tipe-1 dimana didapatkan persentase variabilitas

denyut jantung yang lebih besar pada kelompok dengan HbA1C rendah

dibandingkan yang HbA1C tinggi.49

Demikian pula penelitian di Swedia pada penderita DM tipe-2, dimana

kadar HbA1C yang tinggi 5 tahun setelah menderita DM berhubungan dengan

timbulnya neuropati parasimpatik.50 Kemudian sehubungan dengan kontrol diabetes laporan dari Diabetes Control and Complication Trial (DCCT)

membuktikan bahwa dengan terapi intensif dapat mengurangi insiden baru

denervasi otonomik kardiak sebesar 53% pada DM tipe 1.15 Penelitian Steno-2 tahun Steno-2003 pada DM tipe-Steno-2 juga menganjurkan kontrol diabetes yang

intensif dapat mengurangi resiko terjadinya denervasi otonomik kardiak

(27)

2.5.1.1. Peran insulin dan OHO sehubungan dengan DOK

Kontrol diabetes intensif meliputi penggunaan OHO dan insulin. Saat

ini tersedia 4 jenis OHO, yakni : insulin sekretagog, biguanid, glukosidase

inhibitor dan tiazolidinedion. Masing-masing dengan mekanisme kerja yang

berbeda, yang dapat digunakan baik sebagai monoterapi, kombinasi antar

OHO maupun kombinasi dengan insulin. Kebanyakan dari OHO tersebut

dapat menurunkan nilai HbA1C sebesar 1-2%.1,51

Hanya ada beberapa penelitian yang membahas keunggulan insulin

dibanding OHO sehubungan dengan komplikasi jangka panjang diabetes.

Insulin merupakan obat hipoglikemik yang paling tua. Insulin umumnya

digunakan jika dengan cara pengobatan dengan OHO gagal mencapai kadar

glukosa darah normal atau mendekati normal. Insulin sendiri berpotensi

menurunkan kadar HbA1C sebesar 2%. Ternyata bila dibandingkan dengan

diet dan OHO, insulin mempunyai potensi yang lebih besar dalam

menurunkan kadar glukosa darah dan kadar HbA1C. Hal ini dibuktikan oleh

Turner dkk pada penelitian prospektif selama 9 tahun pada kelompok yang

diterapi dengan insulin, OHO dan diet saja. Didapatkan penurunan kadar

glukosa darah puasa <140 mg% pada kelompok yang diterapi dengan insulin

sebesar 42%, OHO 24% dan diet 8%. Demikian juga nilai HbA1C <7% sebesar

28% vs 24% vs 9% pada masing-masing kelompok insulin, OHO dan diet. 51 Hasil yang hampir sama dalam hal keunggulan insulin dibanding OHO dan

diet juga diperoleh De Grauw dan kawan-kawan pada tahun 2003. 52 Efek nyata pemberian insulin pada semua penelitian adalah terjadinya penurunan

(28)

oleh karena disamping menurunkan kadar glukosa darah insulin juga mampu

menyelamatkan fungsi sel beta dan memperlambat komplikasi mikro maupun

makroangiopati dengan efek antiinflamasi yang dihasilkannya. 17,18 Ilkova H dan kawan-kawan melaporkan bahwa pemberian insulin jangka pendek pada

pasien DM tipe-2 yang baru terdiagnosis dan gagal dengan diet ternyata

mampu mempertahankan fungsi sel beta lebih baik dibandingkan dengan

kontrol. 53 Garvey dan kawan-kawan juga melaporkan adanya perbaikan fungsi sel beta pada pasien-pasien DM tipe-2 yang mendapat insulin infus

subkutan secara kontinyu. 54 Lebih lanjut Alvarsson M dan kawan-kawan melakukan penelitian yang membandingkan pemberian insulin dini dengan

sulfonilurea (glibenklamid) pada pasien DM tipe-2 yang baru terdiagnosis.

Hasilnya adalah pada mereka yang mendapat insulin terjadi perbaikan sel

beta yang nyata dibandingkan dengan pasien-pasien DM tipe-2 yang

mendapat glibenklamid. 18 Penelitian-penelitian di atas seiring pula dengan hasil yang didapat oleh United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS)

yang melibatkan ribuan orang dan diikuti selama 20 tahun. 17

Seperti disebutkan sebelumnya, selain hiperglikemia kronik,

patogenesis terjadinya neuropati diabetik adalah juga karena defisiensi faktor

pertumbuhan neurohumoral. Faktor pertumbuhan neurohumoral berasal dari

insulin. Defisiensi insulin akan menimbulkan disfungsi pada mitokondria sel

saraf yang akan berdampak pada gagalnya transduksi sinyal intraseluler.55 Demikian juga peranan insulin dari segi pencegahan lipolisis. Suatu

penelitian di Italia mendapatkan bahwa defisiensi insulin relatif merangsang

proses lipolisis yang berdampak pada kenaikan kadar asam lemak bebas.

(29)

sehingga menghasilkan imbalans otonom jantung.56 Oleh karena itu keunggulan insulin dalam beberapa hal ini tentunya tidak dimiliki oleh OHO

baik sebagai monoterapi maupun kombinasi.

Dulunya dianggap denervasi otonomik kardiak hanya terjadi pada

mereka yang menderita DM tipe-1 sehubungan dengan defisiensi insulin,

tetapi dari banyak penelitian ternyata menunjukkan bahwa penderita DM

tipe-2 lebih sering mengalaminya dibanding DM tipe 1.11 Pada DM tipe-2 kejadian denervasi otonomik kardiak berkaitan dengan adanya resistensi insulin,

hiperinsulinemia dan obesitas. 57-59 Keadaan ini tentunya menjadi bahan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya patogenesis denervasi otonomik

kardiak pada DM tipe 2, apakah oleh karena resistensi insulin atau karena

disfungsi sel beta semata yang berujung juga pada hiperglikemia kronik.

2.5.2. Penatalaksanaan khusus

Secara umum tidak ada obat yang spesifik untuk DOK. Beberapa

penelitian menunjukkan penggunaan antioksidan -lipoic acid sebagai terapi

awal pada DOK dini kelihatannya dapat memperlambat progresifitas

neuropati. Pemakaian beta-bloker yang kardioselektif atau lipofilik dapat

mengatur efek disfungsi otonom secara sentral atau perifer dengan cara

melawan stimulus simpatik sehingga dengan demikian memperbaiki

keseimbangan parasimpatik-simpatik. Penelitian yang menggunakan

ACE-Inhibitor (quinapril), dengan maksud memperbaiki variabilitas denyut jantung,

secara signifikan meningkatkan aktifitas parasimpatik setelah 3 bulan terapi.

(30)

Pengobatan untuk hipotensi ortostatik terdiri dari dua, yakni non

farmakologis dan farmakologis. Non farmakologis meliputi : meningkatkan

asupan garam dalam makanan, hindari diuresis pada malam hari, hindari

pooling vena dengan menggunakan kaus kaki elastik pada siang hari. Terapi

farmakologis, misalnya dengan 9- -fluorohydrocortisone suatu

mineralokortikoid sintetik, dengan dosis awal 0,1 mg tablet dan bisa

ditingkatkan 0,5 mg per hari. Obat lainnya seperti NaCl (enteric coated) 2

gr/hari, Fenilpropanolamin 12,5 mg, Yohimbin 2,5 mg atau Indometasin 25

mg. 60

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa kerusakan saraf pada

binatang dan manusia yang menderita DM disebabkan karena berkurangnya

mioinositol. Pemberian atau penambahan mioinositol dapat menaikkan

kadarnya pada jaringan saraf, tetapi ini belum pernah dicobakan pada

manusia. 8,20,60

Aldose reductase inhibitors (ARIs), suatu obat yang dapat memblok

akumulasi sorbitol dikatakan dapat mencegah dan bahkan memperbaiki saraf

yang rusak, tetapi percobaan klinis menunjukkan bahwa obat ini mempunyai

efek samping yang besar dan belum tersedia kemasannya. 8,20

2.6. PROGNOSIS

Pasien dengan DOK biasanya mempunyai komplikasi DM yang lain,

oleh sebab itu biasanya mempunyai prognosis yang jelek. Pasien-pasien

yang mempunyai iskemia miokard tersamar, pemanjangan interval QT,

(31)

Neuropati otonomik simtomatik mempunyai prognosis angka harapan

hidup 10 tahun adalah 27%. Penderita neuropati otonomik simtomatik

mempunyai mortalitas lebih tinggi dibandingkan penderita neuropati otonomik

(32)

BAB III

PENELITIAN SENDIRI

3.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Penyandang diabetes (diabetisi) rentan terhadap berbagai komplikasi

lanjut yang akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas dini.2 Komplikasi lanjut umumnya sudah mulai timbul rata-rata setelah 5-10 tahun menderita

diabetes.3 Neuropati diabetik adalah salah satu dari komplikasi lanjut yang tersering dan sangat menyusahkan penyandang diabetes. Neuropati diabetik

mengenai semua serabut saraf periferal sensorik dan motorik serta

saraf-saraf otonom. 4 Tiga tipe utama neuropati diabetik yaitu polineuropati distal simetrik, polineuropati asimetrik, dan polineuropati otonomik.5

Neuropati otonomik diabetik adalah komplikasi yang paling jarang

dikenali dan dimengerti meskipun komplikasi ini amat berpengaruh negatif

terhadap kualitas dan kelangsungan hidup penderita.4,6 Neuropati otonomik kardiovaskular, yang merupakan bagian dari neuropati otonomik diabetik,

terjadi akibat kerusakan serabut saraf otonom yang mempersarafi jantung

dan pembuluh darah yang berakibat disfungsi kontrol frekuensi denyut

jantung dan berbagai faal dinamik vaskular yang mengakibatkan hipotensi

postural, intoleransi kerja fisik, kondisi kardiovaskular yang labil pada saat

pembedahan dan iskemi/infark miokardiak yang terselubung. 7,8

Denervasi otonomik kardiak merupakan bagian dari neuropati otonomik

(33)

(resting tachycardia), iskemi miokardiak terselubung (silent myocardial

ischemic), dan aritmia jantung.8

Untuk menegakkan diagnosis denervasi otonomik kardiak cukup

dengan melakukan 3 jenis tes atau pemeriksaan kardiovaskular yang

sederhana yaitu pengukuran frekuensi denyut jantung dalam keadaan

istirahat (mengetahui ada tidaknya resting tachycardia), variasi frekuensi

denyut jantung dengan bernafas dalam serta Valsalva maneuver.

Pengecualian pada penderita dengan retinopati proliferatif, dimana Valsalva

maneuver tidak dilakukan. Sebagai gantinya ialah nilai dari interval corrected

QT (QTc). Diagnosis denervasi otonomik kardiak ditegakkan jika dua dari

ketiga tes di atas menunjukkan hasil abnormal atau borderline.47,61,62

Berdasarkan tes kardiovaskular dan populasi yang diteliti, prevalensi

denervasi otonomik kardiak pada DM tipe-2 berbeda pada tiap-tiap penelitian.

Penelitian prospektif selama 13 tahun oleh Freccero dan kawan-kawan

dengan menilai interval R-R pada 51 pasien DM tipe-2 pada suatu sentra di

Swedia mendapatkan denervasi otonomik kardiak sebanyak 65%. 11 Dari 621 penderita DM tipe-2 di Taiwan Chen HS dan kawan-kawan mendapatkan

sebanyak 46,1% mengalami denervasi otonomik kardiak pada diabetisi yang

menderita DM kurang dari 5 tahun dan 69,4% pada yang lebih dari 20

tahun.63 Penelitian multisentra dengan melibatkan populasi yang lebih besar mendapatkan prevalensi denervasi otonomik kardiak sebanyak 22% pada DM

tipe-2 lanjut. 10 Sedangkan data dari Indonesia untuk penelitian sejenis sampai saat ini masih sedikit, umumnya dilakukan di satu sentra sekitar tahun

(34)

Denervasi otonomik kardiak, disamping dipengaruhi usia dan lama

menderita diabetes, juga dipengaruhi oleh kontrol diabetes. Kontrol diabetes

jangka panjang yang jelek berperanan penting dalam mekanisme patogenesis

komplikasi mikrovaskular termasuk denervasi otonomik kardiak.14 Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kontrol diabetes intensif, baik dengan obat

hipoglikemik oral (OHO) maupun insulin dapat mengurangi kejadian neuropati

otonomik kardiovaskular pada diabetisi.15,16 Namun begitu penelitian yang khusus membahas peranan OHO dan insulin sehubungan terjadinya

denervasi otonomik kardiak pada diabetes masih sedikit.

Khurram dan kawan-kawan dalam suatu penelitian di Pakistan

mendapatkan prevalensi denervasi otonomik kardiak pada 30% penderita DM

tipe-2 yang sudah menderita diabetes lebih dari 10 tahun, dimana 32% pada

kelompok yang diterapi dengan OHO dan 28% pada yang mendapat terapi

insulin.43

Penelitian di Jerman yang diikuti selama 4 bulan menunjukkan adanya

perbaikan denervasi otonomik kardiak terhadap 30 orang penderita DM tipe 2

yang mendapat terapi insulin dibandingkan yang mendapat OHO.64 Schnell dan kawan-kawan juga telah membuktikan dalam suatu penelitian prospektif

bahwa terapi insulin intensif dapat mengembalikan denervasi otonomik

kardiak secara parsial.65

Berlawanan dengan beberapa hasil penelitian di atas, Tovi dan

kawan-kawan justru mendapatkan bahwa perbaikan denervasi otonomik kardiak

tidak dijumpai setelah 1 tahun pemberian insulin walaupun kontrol metabolik

penderita DM tipe 2 yang diterapi dengan insulin lebih baik dibandingkan

(35)

Finlandia dan Inggris mendapatkan adanya hiperinsulinemia pada penderita

DM tipe-2 yang mengalami parasimpatetik neuropati.56,67,68 Hal ini tentunya menjadi kontroversial karena bila dilihat dari segi patogenesis terjadinya

neuropati diabetik, insulin dikatakan berperan dalam kontrol diabetes dan

faktor pertumbuhan saraf, sementara di sisi yang lain kelebihan insulin justru

akan memperberat disparitas kontrol otonom yang terjadi pada penderita DM

tipe-2. 23,69 Sepengetahuan penulis, sampai saat ini penelitian di Indonesia yang membahas kejadian denervasi otonomik kardiak pada penderita DM

tipe-2, khususnya membandingkan antara mereka yang mendapat terapi

insulin dan OHO belum ada.

Tertarik akan hal ini, maka penulis ingin meneliti kejadian denervasi

otonomik kardiak pada penderita DM tipe-2 yang telah menderita DM selama

5 tahun atau lebih dengan membandingkan antara mereka yang selama ini

mendapat terapi insulin dengan yang mendapat OHO.

3.2. PERUMUSAN MASALAH

Adakah perbedaan kejadian denervasi otonomik kardiak antara

penderita DM tipe-2 yang mendapat terapi insulin dibanding OHO di

Medan ?

3.3. HIPOTESIS

Ada perbedaan kejadian denervasi otonomik kardiak pada penderita

(36)

3.4. TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui adanya perbedaan dampak terapi dengan insulin

atau OHO terhadap kejadian denervasi otonomik kardiak pada

penderita DM tipe-2 di Medan.

3.5. MANFAAT PENELITIAN

Dengan mengetahui angka kejadian denervasi otonomik kardiak pada

penderita DM tipe-2 yang mendapat terapi insulin atau OHO, dapat

diambil kebijaksanaan dalam menentukan pilihan terapi untuk

mencegah terjadinya denervasi otonomik kardiak.

3.6. KERANGKA KONSEPSIONAL

Usia

Kontrol diabetes

Lama menderita DM

3.7. BAHAN DAN CARA

3.7.1. Desain penelitian.

Pemilihan sampel penelitian ini dilakukan secara purposive sampling 70

Penderita DM Tipe-2

Insulin OHO

(37)

3.7.2. Definisi operasional

a. Denervasi otonomik kardiak : bila pada subjek yang diteliti dijumpai

2 dari 3 tes denervasi otonomik kardiak menunjukkan hasil yang

abnormal atau borderline.

b. Penderita DM tipe-2 : subjek penderita DM yang berdasarkan

catatan rekam medik (status) pernah memberikan respon berupa

penurunan kadar glukosa darah (KGD) dengan pemberian OHO.

c. Penderita DM tipe-2 yang diterapi OHO : subjek DM tipe-2 yang

selama ini diterapi dengan OHO baik sebagai monoterapi maupun

kombinasi dan belum pernah mendapat terapi insulin.

d. Penderita DM tipe-2 yang diterapi insulin : subjek DM tipe-2 yang

hanya mendapat terapi insulin minimal sejak 3 bulan terakhir

dengan rejim bervariasi (indikasi tergantung KGD) dan terapi insulin

diberikan karena tidak menunjukkan respon penurunan KGD

dengan OHO.51,56

e. Keterkendalian diabetik : dikategorikan sebagai terkendali baik bila

HbA1C < 6,5% dan tidak terkendali baik bila HbA1C > 6,5%. dikutip dari 1 f. Gagal jantung : subjek DM tipe-2 yang secara klinis terbukti

mengalami gagal jantung saat tes dilakukan.

g. Aritmia jantung : subjek DM tipe-2 yang pemeriksaan dengan EKG

menunjukkan adanya gangguan irama jantung.

h. Iskemik miokard : subjek DM tipe-2 yang secara klinis dan EKG

(38)

3.7.3. Waktu dan tempat penelitian

Waktu penelitian antara bulan Januari-Maret 2007 di Poliklinik Divisi

Endokrinologi dan Metabolisme Departemen Penyakit Dalam FK-USU /

RSUP H.Adam Malik dan RS Dr. Pirngadi Medan.

3.7.4. Subjek penelitian

Penderita DM tipe-2 yang berobat jalan pada poliklinik Divisi

Endokrinologi dan Metabolik RSUP. H.Adam Malik / RSUD Dr.Pirngadi

Medan yang memenuhi kriteria penelitian.

3.7.5. Besar sampel 70

n1 = n2 = (z 2PQ + zβ√P1Q1+ P2Q2)2

(P1-P2)2

P1 : Proporsi DOK pada DM tipe-2 yang mendapat OHO ( menurut

kepustakaan 43 ), didapat angka 30% = 0,3

P2 : Proporsi DOK pada DM tipe-2 yang diterapi insulin (menurut

pertimbangan klinis penulis), didapat angka 10% = 0,1

Q = 1 – P

P = ½ (P1 + P2)

Z :  tingkat kemaknaan = 0,05 ; Z = 1,960

Z : power = 0,8 ; Z = 0,842

(39)

3.7.6. Kriteria yang diikutkan dalam penelitian (kriteria inklusi)

a. Penderita DM tipe-2 yang telah menderita DM selama 5 tahun atau

lebih dan selama ini mendapat terapi insulin atau OHO.

b. Jenis kelamin pria atau wanita, usia antara 30 – 80 tahun.

c. Tidak merokok, minum kopi atau alkohol setidaknya 1 hari sebelum

tes denervasi otonomik kardiak dilakukan. 69 Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed concern (surat

persetujuan mengikuti penelitian).

3.7.7. Kriteria yang tidak diikutkan dalam penelitian (kriteria eksklusi)

a. Penderita dengan gagal jantung, aritmia jantung, iskemik miokard,

gangguan elektrolit, riwayat penyakit serebrovaskular, pada saat

tes denervasi otonomik kardiak dilakukan.

b. Mengkonsumsi obat-obatan yang secara langsung mempengaruhi

irama jantung seperti digitalis, quinidin, beta bloker, antiaritmia,

antiangina, simpatolitik dan vasodilator perifer.62

c. Penderita dengan hipoglikemi yang dibuktikan dengan nilai KGD

<60 mg/dl.1

3.7.8. Prosedur penelitian

A. Pengumpulan data

Subjek penelitian adalah semua penderita DM tipe-2 yang telah

memenuhi kriteria penelitian. Dilakukan anamnesis pribadi,

(40)

(lama) menderita DM dan penyakit lainnya, penggunaan OHO atau

insulin berikut konsumsi obat-obatan lainnya. Subjek dibagi atas 2

kelompok yakni yang mendapat terapi OHO dan yang belakangan ini

hanya mendapat terapi insulin selama 3 bulan atau lebih. Subjek

mengisi surat persetujuan penelitian kemudian dilakukan pemeriksaan

fisik.

B. Cara kerja

Pada seluruh subjek dilakukan tes untuk mengetahui adanya

denervasi otonomik kardiak, yakni :

1. Mengukur detak jantung setelah istirahat selama 5-10

menit dengan EKG. Abnormal bila > 100 detak/menit.

2. Variasi frekuensi denyut jantung (R-R interval) selama

bernafas dalam. Caranya pasien istirahat dengan posisi

telentang, bernafas 6 kali/menit (5 detik inspirasi dan 5

detik ekspirasi), denyut jantung dimonitor dengan EKG.

Dihitung selisih denyut jantung maksimal dengan denyut

jantung minimal. Perbedaan denyut jantung > 15

kali/menit normal, borderline bila 11-14 kali/menit dan

abnormal bila < 10 kali/menit.

3. Menghitung nilai dari interval corrected QT (QTc) dengan

menggunakan formula Bazets (QTc) = QT/√RR. Normal

jika nilai QTc < 400 ms, borderline bila QTc 400-440 ms,

(41)

Gambar 2. Perhitungan nilai QTc dari rekaman EKG

Diagnosis denervasi otonomik kardiak ditegakkan jika dua dari

ketiga tes di atas menunjukkan hasil abnormal atau borderline.9,13,14

C. Pemeriksaan laboratorium

Pada seluruh subjek penelitian dilakukan pemeriksaan KGD

sewaktu dan nilai HbA1c.

3.7.9. Kerangka Operasional

Subjek

Diabetisi sesuai kriteria penelitian

Diabetisi (>34 orang) dengan terapi insulin

≥ 3 bulan

Diabetisi (>34 orang) dengan terapi OHO

Dilakukan Test Denervasi Otonomik kardiak

(42)

3.7.10. Analisa data

Seluruh data subjek dipaparkan dan ditabulasikan dalam jumlah (%)

atau rerata ± SD (standar deviasi). Perbedaan rerata usia, lama menderita

DM, kadar glukosa darah dan HbA1C dilakukan uji t tidak berpasangan jika

data terdistribusi normal, jika tidak terdistribusi normal dilakukan uji Mann

Whitney. Korelasi antar variabel dengan menggunakan Pearson Correlation

untuk data yang terdistribusi normal dan Spearman Correlation untuk data

yang tidak terdistribusi normal. Analisa variabel terapi, keterkendalian diabetik

dan DOK menggunakan tabel 2x2 dengan menghitung nilai Rasio Odds

(Odds Ratio (OR) dan interval kepercayaan 95% (Confidence Interval 95%

(CI 95%). Analisa kebermaknaan statistik dengan menggunakan Pearson

Chi-square, Fisher’s exact test pada software SPSS 11. Kebermaknaan

(43)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

4.1.1. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan Januari 2007 sampai dengan Maret

2007 terhadap 74 orang diabetisi yang telah memenuhi kriteria penelitian.

Subjek penelitian terdiri dari 36 orang yang selama ini mendapat terapi insulin

dan 38 orang dengan OHO. Seluruhnya meliputi 47 orang pria dan 27 orang

wanita dengan usia antara 30 - 80 tahun. Karakteristik dasar subjek penelitian

dapat kita lihat pada tabel 2.

Tabel-2. Karakteristik dasar subjek penelitian

Insulin

Rerata KGD sewaktu 3 bulan terakhir

(mg/dl) 175,86 ± 50,37 179,53 ± 87,11

0,102

4.1.2. Hasil penelitian dan analisa antar variabel

Pada penelitian ini kami mendapatkan sebanyak 50 orang (67,6%)

yang mengalami DOK dari 74 orang subjek penelitian. Dari segi lama

(44)

mereka yang mengalami DOK dibanding yang tidak mengalami DOK. Hal ini

selengkapnya dapat kita lihat pada tabel 3.

Tabel-3. Hasil penelitian berdasarkan ada tidaknya denervasi

Denervasi

Jumlah (n = 50)

Tidak Denervasi

Jumlah (n = 20) P

Rerata usia (tahun) 60,84 ± 8,18 56,58 ± 11,11 0,103

Rerata lama menderita DM (tahun) 13,60 ± 4,81 10,13 ± 2,93 0,001*

Rerata HbA1c (%) 8,36 ± 2,42 7,01 ± 1,66 0,019*

* signifikan : P < 0,05

Bila kita lihat dari segi usia, mereka yang mengalami DOK berusia

rata-rata lebih tua dibanding mereka yang tidak mengalami DOK, tetapi

perbedaan ini tidak bermakna (P = 0,103). Untuk mengetahui lebih jauh

hubungan antara usia dengan kejadian DOK (dalam hal ini digunakan nilai

QTc yang lebih dari 440 ms) digunakan uji statistik korelatif (uji korelasi

Spearman). Dari hasil perhitungan statistik ternyata tidak dijumpai korelasi

yang bermakna antara usia dan kejadian DOK. Hal ini dapat kita lihat pada

(45)

50 60 70

Gambar 3. Diagram baur hubungan antara usia dan nilai QTc

Pada gambar 3. di atas tidak dijumpai korelasi yang bermakna antara usia

dengan kejadian DOK (nilai QTc) (r = 0,025, P = 0,881).

Dari segi lama menderita DM dan nilai HbA1C dijumpai korelasi yang

bermakna dengan kejadian DOK. Seperti terlihat pada gambar 4 dan 5 berikut

ini.

QTc = 453,73 + 0,15 * usia

(46)

6 7 8 10 11 12 13 15 16 18 19 20

Gambar 4. Diagram baur hubungan antara lama DM dan nilai QTc

Pada gambar 4. di atas dijumpai korelasi yang bermakna antara lama

menderita DM dengan kejadian DOK (nilai QTc) (r = 0,390, P = 0,014).

r = 0,390

(47)

8.0 10.0 12.0 14.0

Gambar 5. Diagram baur hubungan antara nilai HbA1C dan nilai QTc

Dari gambar 5. di atas dijumpai korelasi negatif yang bermakna antara nilai

HbA1C dan kejadian DOK (nilai QTc) (r = - 0,439, P = 0,005).

r = -0,439

(48)

Dari 50 orang yang mengalami DOK, 20 orang (55%) berasal dari

kelompok insulin dan 30 orang (79%) berasal dari kelompok OHO, seperti

yang dapat kita lihat pada tabel.4

Tabel-4. Hasil penelitian berdasarkan terapi

Insulin

Jumlah (n = 36)

OHO

Jumlah (n = 38) P

Denervasi otonomik kardiak (orang) 20 30 0,032*

Rerata HbA1C (%) 7,839 ± 1,54 7,997 ± 2,82 0,089

* signifikan : P < 0,05

Disini dijumpai adanya perbedaan yang bermakna dalam hal terjadinya

DOK pada mereka yang selama ini diterapi dengan insulin dibanding OHO (X2 = 4,616, P = 0,032). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel-5. Tabel 2x2 Insulin dan OHO sehubungan resiko terjadinya DOK

Denervasi Tidak

Denervasi Rasio Odds (interval keyakinan 95%) P

OHO 30 8

3 (1,08 - 8,3)

Insulin 20 16 0,032*

Jumlah 50 24

* signifikan : P < 0,05

Mereka yang mendapat terapi OHO 3 kali lebih beresiko untuk

mengalami DOK dibanding insulin (Rasio Odds = 3 (interval keyakinan 95%

(49)

Dari sisi keterkendalian glukosa darah (keterkendalian diabetik),

ternyata juga dijumpai adanya perbedaan yang bermakna dalam hal

terjadinya DOK. Subjek yang diabetes-nya terkendali baik, lebih sedikit

secara bermakna mengalami DOK dibanding yang tidak terkendali baik (X2 = 9,505, P = 0,002). Hal ini dapat kita lihat pada tabel 6.

Tabel-6. Tabel 2x2 Keterkendalian diabetik sehubungan resiko terjadinya DOK

Denervasi Tidak

Denervasi

Rasio Odds (interval

keyakinan 95%) P

Tidak Terkendali baik (HbA1C > 6,5%) 42 12

5,25 (1,75 - 15,77)

Terkendali baik (HbA1C < 6,5%) 8 12 0,002*

Jumlah 50 24

* signifikan : P < 0,05

Mereka yang diabetes-nya tidak terkendali baik 5 kali lebih beresiko

untuk mengalami DOK dibanding yang terkendali baik (Rasio Odds = 5,25)

(interval keyakinan 95% 1,75 – 15,77).

4.2. PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dari 74 orang yang ikut penelitian didapatkan

sebanyak 67,6% mengalami DOK. Angka ini ternyata tidak jauh berbeda

dengan yang didapatkan oleh peneliti lainnya, seperti Ewing dan

(50)

mendapatkan denervasi otonomik kardiak sebanyak 65% pada penderita DM

tipe 2.11 Di sentra-sentra lain angka-angka ini lebih bervariasi. Khurram dan kawan-kawan di Pakistan mendapatkan prevalensi DOK pada 30% penderita

diabetes, 28% pada kelompok yang diterapi dengan insulin dan 32% pada

yang mendapat terapi anti diabetik oral.43 Barthelemy dan kawan-kawan mendapatkan penurunan variabilitas denyut jantung sebesar 51,8% pada DM

tipe 2 yang menderita DM selama 11,8 ± 6,8 tahun.37 Weitzman dan kawan-kawan mendapatkan angka 86% DOK pada DM tipe 2 yang sudah lanjut.38 Penelitian Jermendy dan kawan-kawan di Hongaria dengan 28 penderita DM

tipe 2 lama mendapatkan angka kejadian DOK sekitar 30%.39 Tampaknya perbedaan ini lebih berkaitan dengan jumlah populasi penelitian, perbedaan

cara penilaian tes fungsi otonom kardiovaskular, kriteria yang digunakan

menilai DOK dan lama pantauan.9

Denervasi otonomik kardiak merupakan komplikasi DM yang

dipengaruhi oleh usia, lama menderita DM dan kontrol diabetes. 3,7,8

Pada penelitian ini, dari segi usia tidak dijumpai perbedaan yang

bermakna antara mereka yang mengalami DOK dibanding yang tidak

mengalami DOK (P = 0,103), walaupun kelihatan yang mengalami DOK lebih

tua (60,84 ± 8,18 tahun) dibanding yang tidak mengalami DOK (56,58 ± 11,11

tahun) (tabel.3). Kemudian kami mencoba mencari korelasi antara umur dan

kejadian DOK dengan menilai QTc. Kami menggunakan nilai QTc oleh karena

nilai QTc selain sebagai penanda keparahan suatu DOK juga merupakan

prediktor yang potensial untuk suatu kejadian aritmia jantung dan kematian

(51)

dengan semakin meningkatnya umur, tetapi peningkatan ini tidak berkorelasi

bermakna (r = 0,025, P = 0,881) (gambar 3). Hasil ini sama seperti yang

didapat oleh Sanusi dan kawan-kawan di Ujung Pandang.41 Ini bisa terjadi oleh karena beberapa hal berikut, antara lain seperti penderita DM umumnya

tidak pernah tahu kapan pastinya mereka menderita DM dan banyak di

antaranya waktu terdiagnosis telah disertai berbagai komplikasi kronis

sehingga disini bisa kita jumpai mereka yang berusia relatif muda justru

mengalami DOK. Kemudian pada penelitian ini umur subjek yang ikut

penelitian, secara kebetulan terdistribusi normal, artinya tidak dijumpai

perbedaan dari segi umur pada mereka yang mendapat terapi insulin atau

OHO demikian juga hasil pemeriksaan DOK.

Dari segi lama menderita DM, dijumpai adanya perbedaan yang

bermakna antara mereka yang mengalami DOK dibanding yang tidak

mengalami DOK. Mereka yang mengalami DOK lebih lama menderita DM

(13,60 ± 4,81 tahun), sedang yang tidak mengalami DOK (10,13 ± 2,93)

dengan nilai P = 0,001 (tabel 3) Lamanya menderita DM juga berkorelasi

bermakna dengan nilai QTc, yang kami uji dengan korelasi Pearson,

didapatkan hasil (r = 0,390, P = 0,014) (gambar.4). Kesimpulan ini kelihatan

seiring dengan penelitian di Taiwan, dimana dari 621 orang penderita DM

tipe-2, sebanyak 46,1% mengalami denervasi otonomik kardiak pada diabetisi

yang menderita DM kurang dari 5 tahun dan 69,4% pada yang lebih dari 20

tahun.63 Hal ini dapat kita pahami oleh karena semakin lama seseorang menderita DM, tentu akan semakin banyak komplikasi jangka panjang yang

timbul. Adanya DOK sebenarnya merupakan penanda adanya komplikasi

(52)

Pada penelitian ini, juga dijumpai adanya perbedaan yang bermakna

untuk keterkendalian (kontrol) diabetik antara mereka yang mengalami DOK

dibanding yang tidak mengalami DOK. Kontrol diabetes dinilai dari HbA1C.

Mereka yang mengalami DOK memiliki nilai HbA1C yang lebih tinggi dibanding

mereka yang tidak mengalami DOK (8,36 ± 2,42% vs 7,01 ± 1,66%, P =

0,019) (tabel 3). Bila dilakukan uji statistik secara korelatif dengan uji korelasi

Spearman hubungan antara nilai HbA1C dengan nilai QTc, ternyata dijumpai

korelasi negatif yang bermakna antara nilai HbA1C dengan nilai QTc (r = -

0,439, P = 0,005) (gambar 5). Artinya semakin rendah nilai HbA1C atau

dengan perkataan lain semakin terkontrol diabetes seseorang maka semakin

kecil kemungkinan untuk mengalami DOK. Hal ini karena komplikasi jangka

panjang diabetes sangat terkait dengan kontrol diabetes.15

Pada penelitian ini didapatkan 67,6% subjek mengalami DOK, dimana

55% diantaranya adalah mereka yang selama ini mendapat terapi insulin dan

79% adalah mereka yang selama ini mendapat OHO. Nilai rerata HbA1C

kelompok insulin lebih rendah (7,839 ± 1,54%) dibanding kelompok OHO

(7,997 ± 2,82%), tetapi perbedaan ini tidak bermakna (P = 0,089) (tabel 4).

Ini sebenarnya secara kebetulan menggambarkan mereka yang ikut

penelitian, baik dari kelompok insulin maupun OHO memiliki kontrol diabetes

yang relatif sama.

Dapat kita lihat bahwa ada perbedaan bermakna dalam hal terjadinya

DOK pada mereka yang mendapat terapi insulin dibanding yang mendapat

OHO. Kejadian DOK lebih sedikit pada mereka yang mendapat terapi insulin

dibanding OHO (P = 0,032). Mereka yang mendapat terapi OHO 3 kali lebih

(53)

keyakinan 95% 1,08 – 8,3) (tabel 5). Ada beberapa hal yang mungkin

menjadi penyebab keadaan ini di antaranya karena insulin mempunyai efek

yang cepat dalam menurunkan kadar glukosa darah, begitu juga HbA1C,

dibanding OHO. Selain itu keunggulan lain dari insulin dibanding OHO ialah

insulin mempunyai efek anti inflamasi, faktor pertumbuhan saraf dan

disebut-sebut juga insulin dapat menurunkan produksi radikal bebas dan stres

oksidatif, dimana semua faktor tersebut dalam suatu mekanisme yang

kompleks berperanan dalam terjadinya neuropati.17,18, 22,26

Subjek yang mengalami DOK adalah mereka yang diabetes-nya tidak

terkendali dengan baik. Subjek yang diabetes-nya terkendali baik, lebih

sedikit secara bermakna mengalami DOK dibanding yang tidak terkendali

baik (P = 0,002). Secara keseluruhan terlihat bahwa mereka yang

diabetes-nya tidak terkendali baik 5 kali lebih beresiko untuk mengalami DOK

dibanding yang terkendali baik (Rasio Odds 5,25 (interval keyakinan 95%

1,75 – 15,77) (tabel 6). Seperti kita ketahui, komplikasi diabetes berkaitan erat

dengan kontrol diabetes. Kontrol diabetes yang jelek akan berujung pada

percepatan progresifitas komplikasi jangka panjang, baik itu mikroangiopati,

makroangiopati, nefropati maupun neuropati. Beberapa studi telah

menunjukkan bahwa kontrol diabetes yang ketat, dapat mengurangi kejadian

neuropati otonomik kardiovaskular pada diabetisi.15,16

Dengan demikian yang terpenting sebenarnya dalam hal ini ialah

bagaimana menentukan pilihan terapi terbaik untuk mencapai penurunan

HbA1C sampai target kontrol diabetes terkendali baik (treat to target) karena

makin rendah HbA1C yang dicapai akan makin menurunkan angka komplikasi

(54)

apa yang diharapkan dari penelitian UKPDS, DCCT dan Steno-2.15,17,18,51-54 Dalam penelitian ini terkesan insulin lebih unggul dibanding OHO terutama

dalam hal penurunan resiko terjadinya DOK.

Meskipun begitu, kita dapat menemukan beberapa hal yang menjadi

kelemahan dalam penelitian ini, antara lain :

1. Tidak diketahui kapan pastinya seseorang itu menderita DM, oleh

karena yang datang berobat adalah mereka yang sudah mengalami

komplikasi DM.

2. Mereka yang mendapat terapi insulin adalah mereka yang sebelumnya

mendapat OHO dengan berbagai kombinasi politerapi, namun karena

tidak berespon dalam hal penurunan kadar glukosa darah, diganti

dengan insulin. Maknanya sekilas, mereka ini tentu kontrol diabetesnya

sangat jelek dibanding yang mendapat OHO. Oleh sebab itu perlu

dilakukan penelitian cohort yang memasukkan unsur-unsur mereka

yang sejak dini mendapat terapi insulin maupun OHO dengan kontrol

(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

5.1.1. Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 67,6% penderita DM tipe-2

yang sudah menderita DM selama 5 tahun atau lebih mengalami

denervasi otonomik kardiak, dimana 55% di antaranya selama ini

mendapat terapi insulin dan 79% OHO.

5.1.2. Denervasi otonomik kardiak selain dipengaruhi oleh lama menderita

DM juga sangat dipengaruhi oleh keterkendalian diabetes.

5.1.3. Insulin terkesan lebih unggul dibanding OHO dalam penurunan resiko

kejadian DOK pada penderita DM tipe-2.

5.2. SARAN

5.2.1. Pada mereka dengan diabetes yang tidak terkendali baik sudah

seharusnya mendapat terapi insulin lebih dini dalam rangka

mengantisipasi terjadinya DOK serta berbagai penyulit lanjut lainnya.

5.2.2. Perlu dilakukan deteksi sedini mungkin akan adanya DOK dengan

pemeriksaan tes kardiovaskular rutin pada setiap penderita DM.

5.2.3. Untuk mendukung penelitian ini sebaiknya dilakukan penelitian cohort

(56)

mendapat terapi insulin maupun OHO dengan keterkendalian diabetes

yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan

pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. 2006.

2. Foster DW. Diabetes mellitus. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson

JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, eds. Harrison’s principles of

internal medicine. Vol.2, 13th ed. New York: Mc Graw-Hill; 1994.1979-2000.

3. Nathan DM. Long-term complications of diabetes mellitus. N Eng J

Med 1993; 328: 1676-85.

4. Vinik AI, Maser RE, Mitchell BD, Freeman R. Diabetic autonomic

neuropathy. Diabetes Care 2003; 26: 1553-79.

5. Vinik AI, Holland MT, Le Beau JM, Liuzzi FJ, Stansberry KB, Colen LB.

Diabetic Neuropathies. Diabetes Care 1992; 15: 1926-75.

6. Ewing DJ, Clarke BF. Diabetic autonomic neuropathy: present insight

and future Prospects. Diabetes Care 1986; 9: 648-65.

7. Freeman R. Cardiovascular autonomic neuropathy. In: Dyck PJ,

Thomas PK, eds. Diabetic neuropathy. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders; 1999. 541-4.

8. Vinik AI, Pittenger GL, McNitt P, Stansberry KB. Diabetic neuropathies,

an overview of clinical aspects, pathogenesis and treatment. In :

Gambar

Gambaran Klinis ……………………………………………… 9
Tabel 1. Pemeriksaan denervasi otonomik kardiak non invasif  ……………. 10
Gambar 1. Patogenesis neuropati diabetik. dikutip dari 19
Tabel.1. Pemeriksaan Denervasi Otonomik Kardiak Non Invasif  5,6,13
+7

Referensi

Dokumen terkait

&#34;alah satu  penyebat hematuria adalah adanya tumor baik jinak maupun ganas./yeri yang menyertai hematuria dapat berasal dari nyeri di saluran kemih bagian atas

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

Peristiwa terpanen dan terangkutnya empty bunch hingga ke PKS terjadi karena rotasi panen yang tinggi (≥6/9) sehingga buah matang pada tanaman kelapa sawit

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), secara langsung dan tidak langsung dapat dilakukan melalui penggalian dan pengembangan potensi yang ada di daerah yang meliputi

Hasil uji GLM-RM diketahui nilai p pada hasil uji analisis adalah 0,312 karena nilai p value &gt; 0,05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan pengaruh antara senam

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Cirebon Tahun 2020 merupakan bentuk pertanggung-jawaban atas pelaksanaan

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul,

P SURABAYA 03-05-1977 III/b DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH RSUD Dr.. DEDI SUSILA, Sp.An.KMN L SURABAYA 20-03-1977 III/b ANESTESIOLOGI DAN