TESIS
Oleh
SURYA DARMA 067011087/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Program Studi Kenotariatan pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
Surya Darma O67011087/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H.T. Syamsul Bahri, SH) K e t u a
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH, M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH.,M.Hum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H.T. Syamsul Bahri, S.H
Anggota : 1. Prof. Muhammad Yamin, S.H, MS, CN
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum
3. Dr. T. Keizerina Devi A, S.H, CN, M.Hum
ABSTRAK
Bencana Tsunami yang melanda Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada umumnya dan Kabupaten Aceh Barat (Kecamatan Johan Pahlawan) pada khususunya dinyatakan sebagai kejadian luar biasa dan merupakan Bencana Nasional oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia. Bencana Tsunami tersebut telah menelan korban ratusan ribu jiwa. Kejadian bencana alam terbesar Indonesia tersebut sepanjang dasawarsa terakhir dari segi korban jiwa dan kehancuran sarana dan prasarana umum serta rumah permukiman masyarakat luas itu mengudang keprihatinan dan simpati yang begitu besar dari negara-negara lain (Internasional). Bencana Tsunami yang terjadi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam selain menimbulkan masalah sosial, juga menimbulkan masalah hukum yang begitu kompleks dari segi penanggulangan bencana tersebut.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, dengan mengunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakkan normatif, yang berawal dari premis umum dan berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Pengumpulan data diperoleh dari bahan hukum primer yang terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Bahan hukum sekunder terdiri dari hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, yang relevan dengan penelitian ini. Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga di dukung dengan penelitian lapangan (field research) yang berupa wawancara dengan aparat pemerintah terkait di Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, Pemerintah Kecamatan Johan Pahlawan dan Desa/Gampong yang ada di Kecamatan Johan Pahlawan.
Hasil Penelitian menunjukan bahwa pengadaan tanah untuk program relokasi korban tsunami menghadapi kendala dari segi penetapan harga ganti rugi atas tanah di daerah relokasi. Pemilik tanah menggangap penetapan harga ganti yang ditentukan oleh panitia pengadaan tidak sesuai dengan harga pasaran tanah yang berkembangan di daerah tersebut, sehingga pemilik tanah di daerah relokasi pada awalnya tidak mau melepaskan hak kepemilikan atas tanahnya. Telah dilakukan beberapa kali pertemuan dan juga sosialisasi antara panitia pengadaan tanah dengan pemilik tanah di daerah relokasi dengan beberapa kali penetapan penyesuaian harga ganti rugi berdasarkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 maka di capailah harga kesepakatan ganti rugi sesuai dengan keinginan para pihak yakni pemilik tanah dan panitia pengadaan tanah untuk program relokasi korban tsunami sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Aceh Barat Nomor 212 Tahun 2006 tentang Kesepakatan Penetapan Harga Ganti Pengadaan Tanah Untuk Program Relokasi di Desa/Gampong Leuhan dan Desa/Gampong Blang Beurandang sebagai daerah relokasi korban tsunami.
ABSTRACT
Tsunami disaster that overwhelmed generally province of Nanggroe Aceh Darussalam and particularly West Aceh (Johan Pahlawan district) was proclaimed as extraordinary occurrence and National Disaster by Indonesian Government. That Tsunami Disaster has killed hundreds of thousand people which some of those human corpse was lost by the sea waves. This Indonesia biggest nature disaster for last a hundred year that caused people lost, the destruction of public facilities and also the residences has been deliver such a lot of sympathy and concern from International public. The Tsunami Disaster that happened in Nanggroe Aceh Darussalam beside brings the social problems, also brings laws problems that such complicated from the side of tackling this disaster.
This research character is analysis descriptive, by using juridical normative approach, that the research is refers to the norms of law that are found in valid law and regulation as normative foundation, begun from general premise and deliver to the specific conclusion. Data is collected from primer law substances that consist of norms or basis principle, basis regulation, law and regulation that connected with land procurement for public needs. Secondary law substances consist of results of researches, reports, articles, seminary conclusions or other science discussions which relevant with this research. As supporting data, field research in form of interview with government official, at West Aceh regency, government of Johan Pahlawan district and Gampong village at Johan Pahlawan district.
The result of research reveals that the land procurement for relocation program of tsunami victims faced obstacles about determination of land compensation on the relocation area. The owners of land considered the value of compensation determined by the committee was not appropriate with market price at that area, thus the land owners rejected to release the ownership of the land initially. There had been a conversation for times and also socialization between the committee of land procurement and land owners with several times adjustment of land compensation value based on land procurement for public needs which arranged in Regulation of Indonesian President Number 65 Year 2006 then the compensation value was achieved appropriate with all the parties desire that are the committee of land procurement and the land owners as poured into Regent Letter of Decisions of West Aceh Number 212 Year 2006 about Determination of Land compensation value of land procurement for Relocation Program at Gampong Leuhan Village and Gampong Blang Beurandang Village as the tsunami victims relocation area.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarahkatuh
Alhamdulillah saya ucapkan Puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas
berkat dan karunia-Nya saya telah dapat menyelesaikan Tesis dengan judul
“KAJIAN YURIDIS PENGADAAN TANAH UNTUK RELOKASI KORBAN
TSUNAMI DI KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN, KABUPATEN ACEH
BARAT”.
Dalam penulisan tesis ini, saya telah banyak mendapat bimbingan pengarahan
dan batuan dari semua pihak, maka pada kesempatan ini saya mengucapkan
terimakasih dan penghargaan kepada seluruh Dosen Pembimbing yaitu kepada
Bapak Prof. H.T. Syamsul Bahri, S.H, Selaku Ketua Komisi Pembimbing,
Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H. MS. CN, dan Bapak Prof.
Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum, masing-masing selaku Anggota Komisi
Pembimbing serta Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H. CN, M.Hum maupun
Ibu Hj. Chadidjah Dalimunthe, S.H. M.Hum selaku dosen penguji yang telah
memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan demi kesempurnaan tesis ini.
Selanjutnya ucapan terima terima kasih atas semua bimbingan, bantuan dan
dorongan, saya sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H. Sp.A(K), selaku Rektor Universitas
menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotaritan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc, selaku Direktur sekolah Pascasarjna
Universitas Sumatera Utara dan Para Wakil Direktur seluruh Staf atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan pendidikan ini menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program
Studi Magister Kenotariatan.
3. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., H.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H. MS. CN, selaku Ketua Program Studi
Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H. CN, M.Hum, selaku sekretaris Program Studi
Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
6. Para Staf Adimistrasi Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, diantaranya Ibu Fattimah, S.H, Mbak Sari, Mbak
Lisa, Mbak Afni, Mbak Winda, Mas Aldi, Mas Rizal dan lain-lain yang telah
banyak membantu dalam penulisan ini dari awal hingga selesai.
7. Bapak T. Nofirzal, S.STP (Camat Johan Pahlawan), Bapak M.K Bangun (Sekcam
Johan Pahlawan), Bapak Mulyadi, S.H, (Kabag Hukum Pemkab Aceh Barat),
Drs. Budi Yazir (Kepala Badan Pertanahan kabupaten Aceh Barat), Bapak Tarfin,
S.Sos ( Kabag Bina Sosial Pemkab Aceh Barat), Ibu Gusharni, S.H (Staf Kabag
Bapak Syarifuddin (Kepala Desa/Gampong Blang Beurandang), yang telah
memberikan masukan-masukan dalam penulisan tesis ini.
8. Secara khusus dalam kesempatan ini kupersembahkan kepada yang tercinta dan
yang saya sayangi, Isteriku Elly Safrida (Alm) dan Anak-anaku Elsa A.
Suryaputri (Alm), Tasya A. Suryaputri (Alm) yang telah pergi untuk
selama-lamanya dalam musibah Bencana Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, di
Dusun Kuta Trieng Desa Suak Timah Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh
Barat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kepada Ayahanda Abdurrahman
Djakfar (Alm) dan Ibunda Supriyati, telah membesarkan dan merawatku dengan
penuh kasih sayang, kepada adik-adiku, Sudirman, ST & Isteri, Aryani (Alm),
Nova Adriana & Suami, Subhan & Isteri, Suheri & Isteri, Juliar Fitri, S.Si dan
Firman Syahputra, kepada Saudari Jumiati, S.E.Ak, kepada Mertuaku, M. Saleh
Lot dan Islamiah (Alm), kepada Abangda & Kakanda Ir. Abdul Malik Ali, M.Si
& Fia Eka Agustini, S.H, serta dr. Fia Dewi Auliani, MARS, Adinda Teuku
Ahmad Dadek, S.H & Isteri, yang telah memberi dorongan baik moril maupun
marteril yang tak terhingga nilainya
9. Rekan-rekan Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu dalam memberikan
saran dalam penulisan tesis ini, terismewa untuk Sdr(i) Agus, S.H, M.Kn,
Edy Anwar Ritonga, S.H, M.Kn, Muhammad Nur, S.H, M.Kn, Dian
Ramadhansyah Hasibuan, S.H, M.Kn, Ahmad Julyadi Nasution, S.H. M.Kn,
S.H, M.Kn , Rosniyani, S.H, M.Kn, Rinna Keumala, S.H, M.Kn, Utinaita
Sitepu,S.H, M.Kn.
10. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
saya dalam menyelesaikan Tesis ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Akhinya saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penyajian
tesis ini dan oleh karena itu dengan kerendahan hati menerima masukan berupa saran
dan kritik yang kontruktif dalam upaya penyempurnaannya. Akhir kata saya
mengucapkan terima kasih.
Medan, 05 September 2009
Hormat Saya
RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Surya Darma
Tempat/Tanggal Lahir : Meulaboh, 8 Agustus 1965
Agama : Islam
Alamat : Jln. Suak Timah- Kuala Bhee No 25
Samatiga- Aceh Barat.
II. KELUARGA
Nama Isteri : Elly Safrida (Alm)
Nama Ayah : Abdurrahman Djakfar (Alm)
Nama Ibu : Supriati. US
Nama Anak : 1. Elsa A. Suryaputri (Alm)
2. Tasya A. Suryaputri (Alm)
III.PENDIDIKAN
1. SD : SD Muhammadiyah Meulaboh
2. SMP : SMP Negeri 2 Meulaboh
3. SMA : SMA Negeri 1 Meulaboh
4. S-1 : Fakultas Hukum Univesitas Medan Area Medan
5. S-2 : Program Studi Magister Kenotariatan SPs USU Medan
Medan, 05 September 2009
Hormat Saya
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR TABEL ...viii
DAFTAR ISI... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Permasalahan... 14
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian ... 15
E. Keaslian Penelitian... 16
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 19
1. Kerangka Teori ... 19
2. Konsepsi ... 31
G. Metode Penelitian ... 34
BAB II PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK RELOKASI KORBAN TSUNAMI DI KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN, KABUPATEN ACEH BARAT ... 39
A. Gambaran Umum Kecamatan Johan Pahlawan... 39
C. Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Relokasi Korban Tsunami Di Kecamatan Johan Pahlawan... 49
BAB III HAMBATAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK RELOKASI KORBAN TSUNAMI DI KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN, KABUPATEN ACEH BARAT... 59
A. Masalah Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah Untuk Relokasi Korban Tsunami ... 59
B. Sinkronisasi Peraturan Tentang Pengadaan Tanah Untuk Relokasi Korban Tsunami ... 64
C. Masalah Ganti Rugi Pengadaan Tanah Untuk Relokasi Korban
Tsunami ... 70
BAB IV UPAYA PEMERINTAH KABUPATEN ACEH BARAT DALAM MENYELESAIKAN HAMBATAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK RELOKASI KORBAN
TSUNAMI DI KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN ... 84
A. Sosialisasi Program Relokasi Untuk Masyarakat Korban Tsunami Di Kecamatan Johan Pahlawan ... 84
B. Pendekatan Kepada Masyarakat Pemilik Tanah Di Daerah
Relokasi ... 92
C. Penetapan Harga Ganti Rugi Tanah Untuk Kepentingan
Relokasi Masyarakat Korban Tsunami ... 96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 107
B. Saran ... 108
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1 Nama Pemilik Tanah, Jenis Tanah, Luas Tanah dan Harga
Tanah, di Desa/Gampong Leuhan. 57
2 Nama Pemilik Tanah, Jenis Tanah, Luas Tanah dan Harga
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peristiwa bencana alam gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal
26 Desember 2004 di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan
Nias Provinsi Sumatera Utara telah mengakibatkan hilangnya ratusan ribu nyawa
manusia, hancurnya rumah, bangunan, dan infrastruktur, hilangnya benda-benda
bergerak, dokumen identitas, dokumen kepemilikan dan kerusakan yang luar biasa
di berbagai aspek kehidupan Masyarakat dan Pemerintahan. Serentak tsunami
membuat mata dunia tertuju ke Aceh melalui berbagai media elektronik maupun
cetak yang telah menayangkan berita-berita tentang situasi Aceh yang luluh lantak.
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa kejadian itu merupakan bencana
nasional. Maka sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Alinea ke IV Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa,
"Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”.1
Pemerintah harus melakukan tindakan tanggap darurat terhadap penanggulangan
bencana, khususnya penanggulangan korban bencana alam tsunami.
1
Berdasarkan kenyataan tersebut, Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan
masyarakat Internasional yang bersimpati atas bencana dan dampak yang
ditimbulkannya telah berusaha secepatnya melakukan upaya-upaya tanggap darurat
yaitu terutama yang bertujuan untuk memberi pertolongan cepat untuk
menyelamatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang terkena bencana.
Wilayah yang terkena dampak bencana alam tsunami, sangat mendesak untuk
segera ditangani, guna mengembalikan kondisi psikologis penduduk, kehidupan
sosial ekonomi dan pemerintahan melalui usaha-usaha rehabilitasi dan rekontruksi.
Penanganan rehabiltasi dan rekontruksi juga harus dilaksanakan secara khusus,
sistematis, terarah, dan terpadu serta menyeluruh dengan melibatkan partisipasi dan
memperhatikan aspirasi serta kebutuhan masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan untuk melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah yang
terkena dampak bencana alam tsunami ini diperlukan pengaturan secara khusus
termasuk pembentukan kelembagaan yang mempunyai kewenangan dan tanggung
jawab yang menyeluruh, terpusat dan terkoordinasi, untuk melaksanakan
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan berdasarkan asas
tata kepemerintahan yang baik, berhasil guna, transparan dan akuntabel.
Maka untuk itu pemerintah membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi
Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara di kenal dengan Badan Rehabilitasi dan
Rekontruksi (BRR). Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, adalah lembaga yang
pasca tsumani. Salah satu daerah dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
yang terkena bencana alam tsunami adalah Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten
Aceh Barat.
Dari data yang diperoleh bahwa wilayah terkena tsunami di Kabupaten Aceh Barat adalah :
1. Kecamatan Johan Pahlawan 2. Kecamatan Samatiga
3. Kecamatan Arongan Lambalek 4. Kecamatan Meureubo.2
Dari data di atas terlihat salah satu Kecamatan yang terkena tsunami
di Kabupaten Aceh Barat adalah Kecamatan Johan Pahlawan.
Sebagai implementasi dari amanat tersebut maka pada wilayah yang terkena
bencana alam tsunami, pemerintah mengadakan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah
dan upaya untuk merumahkan serta memukimkan kembali semua korban bencana
alam yang kehilangan tempat tinggal, kesemuanya merupakan kebutuhan mendesak
dan penting dilaksanakan untuk pemulihan kehidupan dan penghidupan kembali dari
masyarakat korban bencana alam tsunami.
Relokasi merupakan salah satu alternatif untuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat yang tanahnya musnah, baik sebagian maupun seluruhnya, untuk menata
kembali dan melanjutkan kehidupannya di tempat yang baru. Beberapa hal tentu
perlu memperoleh perhatian pemerintah sebagai pihak yang memfasilitasi program
relokasi ini. Menurut Maria S.W, Sumardjono, “Prinsip utama relokasi adalah
2
kesukarelaan masyarakat untuk bersama-sama pindah kelokasi yang baru”.3
Untuk ini, diperlukan transparansi dan akses informasi bagi masyarakat yang ikut
dalam program relokasi berkenaan dengan fasilitas yang akan mereka peroleh dalam
lokasi yang baru.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau di kenal dengan UUPA adalah undang-undang yang berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia yang mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial, dan asas bahwa hak milik atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam Pasal 6 dan Pasal 18 UUPA.4
“Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria, menegaskan bahwa semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial”.5 “Hal ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang
ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan
(atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau
hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat”.6 AP. Parlindungan berpendapat
bahwa, “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial tetapi tidak berarti bahwa
kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum”.7
Dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (3) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
3
Maria S.W, Sumardjono, Kebijakan Pertanahan-Antara Regulasi dan Imlementasi, Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 92.
4
Syafruddin Kalo, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hlm. 124.
5
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, Cet. Ke-17, 2006, hlm. 7.
6
Penjelasan Umum Undang-Undang Pokok Agraria, hlm. 5
7
Umum menyebutkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan
masyarakat.
Prinsip fungsi sosial yang dinyatakan dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria memang mengandung makna, bahwa kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan pribadi. Tetapi tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai pembenaran mengabaikan kepentingan mereka yang mempunyai tanah. Pada asasnya, jika diperlukan tanah kepunyaan orang lain haruslah terlebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan yang empunya, misalkan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau lain sebagainya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan jalan musyawarah tidak menemukan kata sepakat, pemerintah dapat mengambil tindakan pencabutan hak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria.8
Selanjutnya Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria menegaskan pula bahwa,
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi
ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.9
Hal tersebut telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada
Diatasnya.
Dari kedua asas yang tertuang dalam Pasal 6 dan Pasal 18 Undang-Undang
Pokok Agraria tersebut diatas jelaslah bahwa Undang-Undang Pokok Agraria telah
meletakkan suatu sistem yang pasti bahwa pemerintah dapat melakukan pencabutan
hak-hak atas tanah milik masyarakat untuk pembangunan berbagai fasilitas
kepentingan umum tetapi harus dengan cara memberikan ganti rugi yang layak
8
Syafruddin Kalo, Loc.cit, hlm. 124-125
9
kepada pemilik menurut undang-undang. Begitu juga rakyat harus bersedia
melepaskan hak atas tanahnya sesuai dengan fungsi sosial dari tanah tersebut, setelah
diberikan ganti rugi yang layak sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.
Dapat dipahami merancang suatu program relokasi bukan hal yang mudah,
terlebih lagi dalam keadaan darurat yang belum pernah dialami sebelumnya.
Di antara berbagai permasalahan yang perlu dipikirkan dalam merancang program
relokasi adalah sebagai berikut :
1. Perlunya koordinasi semenjak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Masalah relokasi adalah masalah yang sangat komplek karena menyangkut tiga
hal, yakni kebutuhan dasar manusia akan tanah dan tempat tinggal, ketersediaan
tanah/areal untuk relokasi, dan jaminan untuk dapat melangsungkan kehidupannya.
Bagi masyarakat yang dipindahkan, kesempatan untuk berperan serta dalam program
relokasi semenjak tahap awal dan keyakinan yang kuat bahwa program akan berjalan
baik dan berhasil sesuai dengan harapan dapat diperoleh bila masyarakat yakin bahwa
program ini dikoordinasikan dengan baik disertai dengan akses informasi bagi
masyarakat.
Peran dan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini antara lain Departemen
Pekerjaan Umum, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Negara Perumahan
Rakyat, Pemerintah Daerah, dan Departemen Teknis terkait lainnya, dalam setiap
tahap kegiatan harus jelas terkoordinasi dan transparan.
2. Diberikan alternatif bagi masyarakat yang tanahnya musnah sebagian atau
Masyarakat yang tanahnya musnah diberikan prioritas untuk turut serta dalam
program relokasi dan juga tidak menutup kemingkinan bagi mereka yang walaupun
tanahnya hanya sebagian musnah, tetapi mengalami trauma untuk kembali ketempat
asalnya agar diberi kesempatan ikut serta dalam program relokasi.
Bagi masyarakat yang masih menginginkan untuk kembali ke tempat asalnya
karena kondisi tempat tinggalnya walaupun hilang atau rusak masih memungkinkan
untuk dibangun kembali secara garis besar tersedia dua kemungkinan. Bagi mereka
yang batas-batas tanahnya masih ada dan dokumen pendukungnya tersedia setelah
dilakukan rekonstruksi batas, dapat membangun kembali tempat tinggalnya,
sedangkan bagi mereka yang dokumen pendukungnya belum tersedia atau tidak ada
lagi, di tempuh acara pengumuman dan pengambilan sumpah disamping rekontruksi
batas untuk dapat membangun kembali tempat tinggalnya. Bagi mereka yang batas
tanahnya sudah tidak ada lagi, melalui konsolidasi tanah (penataan kembali
penguasaan dan penggunaan tanah) dapat di atur kembali penguasaan tanah
masing-masing dan selanjutnya dapat membangun kembali tempat tinggalnya.
Bagi masyarakat yang mempunyai keinginan membangun sendiri tempat
tinggalnya, dapat dipikirkan alternatif pemberian bantuan berupa bahan bangunan,
alat-alat yang diperlukan, dan upah untuk pekerjaan yang bersangkutan.
3. Pemilihan areal relokasi. Hal ini menyangkut masalah fisik, ketersediaan lahan
dan status hukum tanah yang bersangkutan.
Masalah fisik ketersediaan lahan terkait dengan kondisi geografis dan topografis
syarat untuk menjadi tempat pemukiman dengan berbagai fasilitas penunjangnya
yang ditetapkan melalui keterlibatan dan koordinasi berbagai instansi terkait.
Untuk meminimalkan dampak musibah di masa yang akan datang pemilihan lokasi
haruslah menghindari daerah yang rawan gempa.
Berkenaan dengan status hukum dari tanah yang akan dijadikan areal relokasi,
prioritas adalah tanah negara yakni tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak atas
tanah atau tanah-tanah negara lainnya, yakni antara lain tanah kehutanan, tanah
perkebunan (BUMN) atau Swasta, atau tanah ulayat masyarakat hukum adat yang
telah dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya kepada negara sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yanag berlaku. Pilihan relokasi di atas tanah negara
bertujuan untuk menghindari terjadinya tuntutan kembali di kemudian hari.
Ketersediaan tanah-tanah negara tersebut di atas memerlukan adanya identifikasi
dan inventarisasi yang cermat dan tentu saja memerlukan waktu.
Jika pilihan telah ditetapkan, hendaknya lokasi tersebut sesuai dengan tata ruang yang
ada di wilayah yang bersangkutan
4. Pendataan jumlah kepala keluarga yang akan mengikuti program relokasi.
5. Hak masyarakat yang akan dipindahkan.
Kepada masyarakat, disampaikan informasi tentang calon lokasi dan di beri
kesempatan untuk meninjau lokasi yang sudah di bangun sebelum secara resmi
diserahkan. Hal ini diperlukan agar masyarakat dapat menentukan pilihannya secara
6. Kelengkapan fisik lokasi pemukiman kembali.
Jika pilihan sudah ditetapkan, lokasi pemukiman kembali harus dilengkapi
dengan :
a. akses jalan yang layak
b. saluran drainase
c. penyediaan air bersih
d. sambungan listrik
e. fasilitas umum antara lain fasilitas pendidikan, tempat usaha, tempat ibadah,
pasar, lapangan olahraga, fasilitas kesehatan
f. kemudahan transportasi
7. Bentuk rumah dan bangunan lain yang relevan.
Masalah relokasi berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan sosial budaya,
di samping masalah pemulihan kondisi psikologis. Oleh karena itu, berkaitan dengan
bentuk rumah dan bangunan lain yang relevan agar dikonsultasikan dengan
masyarakat yang akan dipindahkan agar sesuai dengan budaya dan kearifan lokal
dengan memperhatikan syarat-syarat teknis bangunan yang relatif “tahan gempa”.
Perhatian terhadap ciri-ciri lokal ini akan memperkuat rasa memiliki karena
tinggal dilingkungan yang sama dengan lingkungan yang ditinggalkan bahkan
mungkin dengan fasilitas yang lebih baik dari keadaan semula. Dengan demikian,
penguatan masyarakat dengan melalui pembentukan jaringan sosial yang baru dapat
8. Status hak atas tanah.
Terhadap tanah dan bangunan yang telah diserah terimakan kepada masyarakat,
diberikan kepastian dan perlindungan hukum berupa hak milik.
Walaupun secara resmi masyarakat sudah menempati areal relokasi, pemantauan
dan evaluasi tetap harus dilaksanakan untuk mengetahui apakah program relokasi
tersebut berjalan sesuai rencana di dalam pelaksanaannya, sehingga dapat di ketahui
kelemahan dan kekuatannya untuk kemudian dilakukan perbaikan-perbaikan yang
diperlukan.
9. Dukungan terhadap pemulihan tingkat kehidupan masyarakat.
Relokasi memerlukan dukungan faktor non fisik disamping ketersediaan dan
kelengkapan sarana fisik. Secara ekonomis, untuk melanjutkan atau memulai
kehidupan baru diperlukan berbagai kemudahan atau bantuan, antara lain
a. bantuan kredit untuk memulai atau melanjutkan usaha kembali
b. pelatihan keterampilan yang dibutuhkan untuk menunjang usaha atau pekerjaan
baru
c. pembukaan lapangan kerja baru
d. bantuan untuk pindah dan fasilitas transportasi
10. Mengantisipasi dan meminimalkan dampak bencana di kemudian hari.
Belajar dari pengalaman dari negara lain upaya tersebut, misalnya, dengan
penerapan garis pantai secara konsisten, membangun pemecah ombak alamiah
(penanaman hutan bakau dan lain-lain), pembangunan tembok beton pelindung
masyarakat ketika terjadi bencana, misalnya daerah perbukitan yang sewaktu-waktu
dapat digunakan dan tak boleh diberikan dengan sesuatu hak atas tanah.
Sudah tentu untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut di atas Pemerintah
membutuhkan tanah untuk merelokasi korban tsunami. Dalam Pasal 1 Angka 3
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 menyebutkan bahwa pengadaan tanah
adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi
kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah. Prosedur seperti ini tentunya tidak menimbulkan masalah
jika para pihak telah sepakat untuk melakukan perbuatan hukum dengan persetujuan
jual beli. Yang menjadi problem adalah apabila masyarakat yang mempunyai tanah
tidak bersedia melepaskan haknya sedangkan pemerintah sangat membutuhkan tanah
tersebut untuk kepentingan umum dan harus dilakukan dengan segera.
Misalnya untuk mengatasi bencana alam, atau proyek strategis untuk pembangunan
fasilitas-fasilitas umum yang sangat mendesak. Kebutuhan akan tanah ini dapat
dilakukan oleh pemerintah dengan cara pencabutan hak dengan memberikan ganti
Syafruddin Kalo berpendapat, dalam praktek pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sering timbul permasalahan. Pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak masalah yang timbul, tidak saja disebabkan kurang berjalannya musyawarah yang dilakukan, tetapi ada kecenderungan setiap pembebasan tanah yang dilakukan pemerintah dengan dalil untuk kepentingan umum, tetapi pada kenyataannya hal itu menjadi proyek untuk tujuan komersil. Bahkan dalam pelaksanaannya pemerintah banyak mengabaikan segi-segi yuridisnya. Kecenderungan pemerintah mengabaikan faktor-faktor yuridis dalam pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat, disebabkan instansi pemerintah tersebut lebih mementingkan jadwal usulan proyek sesuai dengan tahap-tahapnya.10
Dengan demikian maka dalam praktek pengadaan tanah ternyata sering
menimbulkan konflik dan permasalahan antara pemerintah atau yang membutuhkan
tanah dengan masyarakat yang mempunyai tanah disebabkan karena aturan hukum
tentang pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
Dari kondisi tersebut maka bukan tidak mungkin terjadi penyimpangan aturan
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan relokasi korban tsunami di
Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat. Persoalan-persoalan yang
mungkin terjadi adalah pelaksanaan ganti rugi dilakukan dengan musyawarah yang
semu dan cenderung manipulatif bahkan musyawarah dengan masyarakat pemilik
tanah tidak dilaksanakan. Apalagi kondisi korban bencana seperti ini pemerintah akan
berlindung di balik kepentingan korban tsunami atau untuk kepentingan umum.
Kemudian masyarakat tidak mempunyai posisi berunding yang seimbang, secara
psikologis masyarakat berada di bawah tekanan pihak penguasa. Penentuan bentuk
dan besarnya ganti rugi dianggap oleh masyarakat tidak layak, dalam arti bahwa
10
ganti rugi tidak dapat digunakan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan sosial
ekonominya, bahkan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya menjadi lebih buruk
jika dibandingkan keadaan sebelum tanahnya di cabut atau dibebaskan haknya.
Hal ini disebabkan karena masyarakat yang kurang memahami aturan tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Dalam Pasal 1 Angka 3 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 menyebutkan
bahwa pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,
tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Dari penjelasan diatas maka dalam praktek pengadaan tanah ternyata sering
menimbulkan konflik dan permasalahan antara pemerintah atau yang membutuhkan
tanah dengan masyarakat yang mempunyai tanah disebabkan karena aturan hukum
tentang pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya, khususnya dalam pengadaan tanah untuk kepentingan relokasi
korban tsunami tidak diatur secara khusus baik dalam Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum maupun dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor
24 tahun 2007. Masalah ini menjadi di lema bagi masyarakat korban tsunami dan
juga Pemerintah Kabupaten dalam melaksanakan tugas penanggulangan bencana
tsunami khususnya di Kecamatan Johan Pahlawan. Penanganan masyarakat korban
tsunami tersebut berpontensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
Berkenaan dengan uraian-uraian tersebut di atas, perlu diadakan penelitian
pengadaan tanah untuk relokasi korban tsunami di Kecamatan Johan Pahlawan,
Kabupaten Aceh Barat dengan judul “Kajian Yuridis Pengadaan Tanah Untuk
Relokasi Korban Tsunami Di Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat”.
B. Perumusan Permasalahan
Berdasarkan paparan diatas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah untuk relokasi korban tsunami di
Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat ?
2. Hambatan apa saja yang ditemui dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk
relokasi korban tsunami di Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat ?
3. Upaya apa saja yang dilakukan pemerintah daerah dalam mengatasi hambatan
dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk relokasi korban tsunami di
Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pengadaan tanah untuk relokasi korban tsunami
di Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat.
2. Untuk mengetahui hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan pengadaan tanah
untuk relokasi korban tsunami di Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten
3. Untuk mengetahui upaya apa sajakah yang dilakukan pemerintah daerah dalam
mengatasi hambatan dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk relokasi korban
tsunami di Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat.
D. Manfaat Penelitian
Dari pembahasan permasalahan dalam kegiatan penelitian ini diharapkan
nantinya dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktek.
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
bentuk sumbang saran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal maupun
sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas yang berhubungan
dengan pengadaan tanah untuk kepentingan relokasi korban tsunami.
Secara praktek, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada pihak yang terkait persoalan pengadaan tanah untuk kepentingan relokasi,
terutama :
1. Memberi informasi yang dibutuhkan masyarakat dimasa mendatang apabila
tanah mereka diperlukan bagi pengadaan tanah untuk kepentingan relokasi
korban tsunami.
2. Memberi masukan kepada pemerintah dan pemerintah daerah terhadap
masalah-masalah yang mungkin timbul dari pengadaan tanah untuk
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan karena berdasarkan informasi yang
telah disediakan oleh pihak civitas akademika Universitas Sumatera Utara dan
penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan dilingkungan Universitas Sumatera
Utara dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, telah pernah dilakukan
beberapa penelitian mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
antara lain :
1. Penelitian oleh Syafruddin Kalo, pada tahun 1997, dengan judul “Pelaksanaan
ganti rugi dalam pelepasan hak-hak atas tanah untuk kepentingan umum (Studi
Kasus Proyek Jalan Lingkar Selatan Di Kotamadya Medan).
Adapun Permasalahan yang dibahas adalah :
a. Bagaimana implementasi dari Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dalam
pelaksanaan ganti rugi pada Proyek Jalan Lingkar Selatan di Medan ?
b. Hal-hal apa yang menjadi kendala dalam proses pelaksanaan ganti rugi
terhadap pelepasan hak atas tanah pada Proyek Jalan Lingkar Selatan di
Medan ?
c. Solusi apa yang ditempuh jika sebagian masyarakat tidak berkeinginan untuk
menerima ganti rugi yang telah ditetapkan dalam pelebaran Jalan Lingkar
Selatan di Medan ?
2. Penelitian oleh Elfriza Meutia, tahun 2004, dengan judul “ Pelaksanaan Pelepasan
Adapun Permasalahan yang dibahas adalah :
a. Apakah pelaksanaan pelepasan hak atas tanah untuk pembangunan pelabuhan
Ulee Lheu sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku ?
b. Adakah hambatan yang ditemui pada pelaksanaan pelepasan hak atas tanah
untuk pembangunan pelabuhan Ulee Lheue ?
c. Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan yang
ditemui dilapangan ?
3. Penelitian oleh Abinur Hamzah, tahun 2006, dengan judul “Aspek Yuridis
Pelaksanaan Pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah keluarnya Perpres
Nomor 36 Tahun 2005 (Studi Kasus Kwala Namu di Kecamatan Pantai Labu dan
Proyek pelebaran Tanjung Morawa di desa Buntu Bedimbar Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang)”.
Adapun Permasalahan yang dibahas adalah :
a. Bagaimanakah pengaturan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum sebelum dan sesudah keluarnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 ?
b. Bagaimanakah penentuan besarnya ganti rugi dalam pelaksanaan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum sebelum dan setelah keluarnya Peraturan
c. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam proses pelaksanaan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum ?
4. Penelitian Oleh Bukhari, tahun 2008, dengan judul “Problematika Pelaksanaan
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum : Studi Kasus Pada
Pembangunan Kampus Unimal Di Desa Reuleut Timur, Kecamatan Muara Batu,
Kabupaten Aceh Utara.
Adapun Permasalahan yang dibahas adalah :
a. Apakah Pelaksanaan pelepasan hak atas tanah untuk pembangunan kampus
Universitas Malikussaleh sudah sesuai dengan prosedur ?
b. Hambatan apa yang ditemui pada pelaksanaan pengadaan tanah untuk
pembangunan kampus Universitas Malikussaleh ?
c. Upaya apa sajakah yang dilakukan untuk mengatasi hambatan yang ditemui
antara pemilik tanah dan Universitas Malikussaleh di lapangan ?
5. Penelitian oleh Yuselina, tahun 2008, dengan judul “Pelepasan Hak Ulayat
Nagari Untuk Kepentingan Umum (Studi Pengadaan Tanah Dari Hak Ulayat
Untuk Bandar Udara International Minang Kabau).
Adapun Permasalahan yang dibahas adalah :
a. Bagaimana pelaksanaan pengadaan tanah yang berasal dari hak ulayat nagari
Ketaping untuk pembangunan Bandar Udara International Minangkabau ?
b. Apakah ada hambatan/masalah yang timbul dalam pelepasan hak ulayat
nagari ketapang untuk pembangunan Bandar Udara International
c. Upaya apakah yang dilakukan oleh pemerintah Daerah untuk mengatasi
hambatan/masalah dalam pengadaan tanah yang berasal dari hak ulayat untuk
kepentingan umum ?
Namun penelitian mengenai kajian yuridis pelaksanaan pengadaan tanah
untuk relokasi korban tsunami di Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh
Barat, belum ada dalam penelusuran. Oleh karena obyek dan lokasi penelitiannya
berbeda, maka dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini adalah asli.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
”Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori”.11
”Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan
masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan,
yang mampu menerangkan masalah tersebut”.12 ”Kerangka teori adalah kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus
atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis”.13
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1982, hlm. 6.
12
Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Edisi 1, Andi, Yogjakarta, 2006, hlm. 6.
13
”Sehingga fungsi teori dalam penulisan tesis ini adalah untuk memberikan
arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati”.14
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sehingga kerangka teori yang
diarahkan adalah berdasarkan ilmu hukum. Maksudnya adalah penelitian ini berusaha
untuk memahami pelaksanaan pengadaan tanah untuk relokasi korban tsunami secara
yuridis, memahami objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau
sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
”Teori yang di pakai adalah perubahan masyarakat harus diikuti oleh perubahan
hukum”.15 Lahirnya peraturan hukum positif di luar KUHPerdata menunjukkan
bahwa hukum akan selalu berkembang dan akan digunakan sebagai sarana
pendukung perubahan dalam masyarakat. Menurut Roscoe Pound dalam Sociological
Jurisprudence sebagaimana dikutip oleh Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,
mengemukakan bahwa :
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hukum merupakan a tool of sosial engineering atau hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat. Hukum yang digunakan sebagai alat pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Jadi hukum merupakan pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan.16
14
Snelbecker dikutip oleh Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya Bandung, 1993, hlm. 35.
15
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hlm. 101
16
Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat). Ada dua kata istilah rechtstaat yang perlu dicermati. Pertama “staat” dalam bahasa Indonesia diterjemahkan negara, sedangkan “rechts” diterjemahkan hukum. Dengan demikian istilah rechtstaat dalam bahasa Belanda yaitu hukum itulah yang harus dirujuk pertama-tama dengan mengatasi norma-norma apapun lainnya demi terwujudnya kehidupan bersama di dalam organisasi negara nasional.17
Di dalam hal ini dapat pula diartikan, bahwa di dalam doktrin negara hukum
dalam kehidupan negara perilaku setiap orang harus mempunyai dasar pembenaran
hukum.
Negara hukum berarti negara yang mengakui supremasi hukum. Baik pemerintah maupun rakyat wajib taat kepada hukum dan bertingkah laku sesuai dengan ketentuan hukum. Semua pejabat negara dan pemerintah, dari kepala negara, para menteri, anggota MPR dan DPR, Hakim dan Jaksa sampai Pegawai Negeri yang rendah, di dalam menjalankan tugasnya masing-masing harus taat kepada hukum. Mereka wajib menjunjung tinggi hukum, mengambil keputusan sesuai dengan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan dari hal tersebut adalah semata-mata demi tegaknya hukum dan keadilan.18
“Sehingga dalam negara hukum, kedudukan warga negara demikian juga pejabat
pemerintah adalah sama, dan tak ada bedanya dimuka hukum. Keduanya tidak boleh
melanggar hukum tetapi harus sama-sama melaksanakannya. Apabila tidak ada
persamaan dimuka hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan kebal
hukum. Hal mana pada umumnya akan menindas yang lemah”.19
Dari penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa negara hukum juga berarti negara
yang berlandaskan hukum dan menjamin keadilan bagi warganya, di mana segala
kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata
17
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta, 2000, hlm. 472.
18
Kirdi Dipoyudo, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Keadilan Sosial, Rajawali. Jakarta, 1985, hlm. 9.
19
berdasarkan hukum atau diatur oleh hukum. Hal demikian mencerminkan keadilan
bagi pergaulan hidup warganya. Negara menjamin agar setiap orang dapat memiliki
dan menikmati hak-haknya dengan aman dan semua orang berhak mendapatkan
jaminan hukum sebagai hak asasinya. Dalam rangka itu negara dan kehidupannya
harus didasarkan atas hukum dan menurut hukum seperti yang dituangkan dalam
konstitusi, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
“Manusia dengan tanahnya mempunyai hubungan kosmos-magis-religius selain
hubungan hukum. Hubungan ini bukan saja antara individu dengan tanah, tetapi juga
antara kelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat
(rechtgemeenschap) di dalam hubungan dengan hal ulayat. Hal ini dikemukakan oleh
Jhon Salindeho yang dikutip Moehammad Koesno”.20
Dari pengertian di atas maka begitu bernilai suatu bidang tanah bagi seseorang
atau bagi manusia, sebab di situ ia hidup dan dibesarkan dan tanah itu pula yang
memberi kehidupan kepadanya.
“Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi pengertian tentang tanah yaitu :
1. Permukaan bumi atau bumi yang diatas sekali.
2. Keadaan bumi di suatu tempat, permukaan bumi yang di beri batas
3. Permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperintah suatu
negara atau menjadi daerah negara”.21
20
Moehammad Koesno, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, 1997, hlm. 143-144.
21
Menurut Abdurrahman, “tanah dapat di nilai sebagai harta yang mempunyai sifat
permanen karena memberikan suatu kemantapan untuk dicadangkan bagi kehidupan
di masa mendatang, dan pada dasarnya tanah pulalah yang dijadikan tempat
persemayaman terakhir bagi seorang yang meninggal dunia”.22
Di Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu
pengertian yang telah dibatasi dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Pokok Agraria memberi pengertian tentang tanah sebagai berikut :
“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.
Selanjutnya Abdurrahman, “memberikan definisi tentang tanah adalah tempat
bermukim bagi umat manusia disamping sebagai sumber kehidupan bagi mereka
yang mencari nafkah melalui usaha tani”.23
“Sedangkan hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang kepada
pemegang haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah
yang dihakinya”.24 Oleh karena itu tanah yang diberikan dan dipunyai oleh orang
dengan hak-hak yang disediakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria tidak akan
bermakna, jika penggunannya terbatas pada permukaan bumi saja.
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan, bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu
22
Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 1.
23
Abdurrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 25.
24
permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya. Dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah itu adalah tanahnya sebagian tertentu dari permukaan bumi.25
Berdasarkan hal tersebut maka tanah mempunyai nilai yang sangat strategis dan
berharga sebagai potensi modal yang menguntungkan. Akibatnya harga tanah
cenderung meningkat dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan doktrin negara hukum yang dianut UUD 1945, pemerintah mempunyai hak untuk mendapatkan tanah, untuk pembangunan fasilitas kepentingan umum antara lain dengan cara :
a. Jual beli
b. Pencabutan hak (onteigening) c. Perampasan (verbeurdverklaring) d. Nasionalisasi.26
“Pada asasnya jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain
untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu diperoleh
dengan persetujuan dari yang mempunyai tanah, misalkan atas dasar jual beli, tukar
menukar atau lain sebagainya”.27 Demikian pula keperluan tanah bagi pemerintah
yang diperlukan untuk pembangunan untuk kepentingan umum haruslah lebih dahulu
diusahakan agar tanah itu diperoleh dengan persetujuan dari yang mempunyai tanah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal dengan UUPA adalah undang-undang yang berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia yang mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial, dan asas bahwa hak milik atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum. Kedua
25
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 18.
26
Muhammad Abduh, Beberapa Ciri Khas Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum USU, Medan, 1979, hlm. 4.
27
prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam Pasal 6 dan Pasal 18 UUPA.28
“Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria, menegaskan bahwa semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial”.29 “Hal ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun
yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya,
apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat”.30 AP. Parlindungan
berpendapat bahwa, “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial tetapi tidak
berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan
umum.” 31
“Selanjutnya Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria menegaskan pula bahwa
untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat di cabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.32
Sebagai realisasi dari ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria maka pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya, yaitu bahwa pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya, supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta cara-cara yanag adil dan bijaksana, segala sesuatu sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.33
28
Syafruddin Kalo, Ibid, hlm. 124.
29
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, Cet. Ke-17, Tahun 2006, hlm. 7.
30
Penjelasan Umum Undang-Undang Pokok Agraria.
31
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 40.
32
Undang-Undang Pokok Agraria, hlm. 18
33
“Dengan ketentuan bahwa penggunaan undang-undang Nomor 20 Tahun 1961
hanya dipakai sebagai senjata terakhir”.34
Dari kedua asas yang tertuang dalam Pasal 6 dan Pasal 18 Undang-Undang
Pokok Agraria tersebut di atas jelaslah bahwa Undang-Undang Pokok Agraria telah
meletakkan suatu sistem yang pasti bahwa pemerintah juga dapat melakukan
pencabutan hak-hak atas tanah milik masyarakat untuk pembangunan berbagai
fasilitas kepentingan umum tetapi harus dengan cara memberikan ganti rugi yang
layak kepada pemilik menurut undang-undang. Begitu juga rakyat harus bersedia
melepaskan hak atas tanahnya sesuai dengan fungsi sosial dari tanah tersebut, setelah
diberikan ganti rugi yang layak sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.
Kemudian dengan adanya ketentuan pencabutan hak tersebut, pemerintah secara legal
dibenarkan untuk sesuai dengan tujuan undang-undang itu, memaksakan
kebijaksanaannya melakukan pencabutan hak untuk penyelenggaraan kepentingan
umum.
Dalam Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum memberikan pengertian bahwa Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.35
34
Marmin M. Roosadijo, Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada diatasnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1979, hlm. 13.
35
“Sementara kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan
masyaraka”.36
Dari ketentuan peraturan diatas dapat dimengerti bahwa Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah bagi kepentingan
sebagian besar lapisan masyarakat dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah. Salah satu kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat ini
adalah relokasi korban tsunami.
“Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah itupun dilakukan berdasarkan prinsip
penghormatan terhadap hak atas tanah”.37 Pemerintah yang memperoleh tanah untuk
kepentingan pembangunan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
terlebih dahulu harus ada consensus/kesepakatan antara masyarakat yang mempunyai
tanah.
Pasal 6 Angka 1 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 menentukan bahwa
pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah Kabupaten/Kota dilakukan
dengan bantuan panitia pengadaan tanah Kabupaten/Kota yang dibentuk oleh
Bupati/Walikota.
Yang mana Panitia pengadaan tanah bertugas :
a. mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan.
36
Pasal 1 Angka 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
37
b. mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya
c. menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan
d. memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah.
e. mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi.
f. menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah.
g. membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
h. mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.38
“Dari ketentuan Pasal 7 Terlihat bahwa salah satu tugas dari panitia pengadaan
tanah adalah mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan
instansi pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam
rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi”.39
Tetapi cara demikian itu tidak selalu dapat membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang empunya meminta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanah yang diperlukan itu. Oleh karena kepentingan umum harus di dahulukan dari kepentingan orang seorang, maka jika tindakan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalam keadaan yang memaksa, yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang diharapkan haruslah ada wewenang pada pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan. Pengambilan itu dilakukan dengan jalan mengadakan pencabutan hak sebagai yang dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut diatas.40
38
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006.
39
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006.
40
Teranglah kiranya bahwa pencabutan hak adalah jalan terakhir untuk
memperoleh tanah dan/atau benda lainnya yang diperlukan untuk kepentingan umum.
Dalam pada itu dalam menjalankan pencabutan hak tersebut kepentingan dari yang
mempunyai tanah tidak boleh diabaikan begitu saja dimana dalam Pasal 18
Undang-Undang Pokok Agraria dimuat pula jaminan-jaminan yang mempunyai tanah. Yaitu
bahwa pencabutan hak harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak dan harus
pula dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Dengan ketentuan bahwa apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.41
Mengenai pencabutan atau pelepasan hak atas tanah A.P. Parlindungan
menyatakan “Orang yang dicabut haknya itu tidak berada dalam keadaan lebih miskin
ataupun menjadi lebih miskin setelah pencabutan hak tersebut, ataupun akan menjadi
miskin kelak karena uang pembayaran ganti rugi itu telah habis karena dikonsumsi.
Minimal dia harus dapat dalam situasi ekonomi yang sekurang-kurangnya sama
seperti dicabut haknya syukur kalau bertambah lebih baik”.42 “Artinya pencabutan
hak atas pembebasan tanah harus dengan suatu ganti rugi yang layak”.43
41
Pasal 18 A Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006.
42
A.P. Parlindungan Loc.cit, hlm. 5.
43
Sejalan dengan pendapat di atas Boedi Harsono merumuskan baik dalam perolehan tanah atas dasar kata sepakat maupun cara pencabutan hak, kepada pihak yanag telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak sehingga dengan sedemikian rupa keadaan sosial dan keadaan ekonominya tidak menjadi mundur. Dengan demikian maka pemberian ganti rugi ini harus betul-betul mampu mengantisipasi munculnya kemiskinan dalam masyarakat bukan penyebab timbulnya kemiskinan baru.44
Berdasarkan ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa ganti rugi adalah
merupakan suatu imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah sebagai
pengganti dari nilai tanah termasuk yang ada diatasanya, terhadap tanah yang telah
dilepas atau diserahkan.
Dari ketentuan diatas maka pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum harus dilakukan dengan prinsip keadilan, yaitu dengan
penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang diusahakan dengan cara seimbang
dan dilakukan dengan cara musyawarah. Perlakuan yang seimbang antara pemilik
tanah dan yang membutuhkan tanah adalah merupakan pemenuhan rasa keadilan bagi
masing-masing pihak. Dalam hal ini maka, pemerintah harus bertindak secara adil
dan dilaksanakan dengan etika moral yang tinggi.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan pembebasan hak-hak atas tanah masyarakat haruslah di atur dalam suatu undang-undang, yang mencerminkan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia khususnya hak-hak keperdataan dan hak ekonominya yang substansinya didasarkan atas asas-asas hukum, yang antara lain sebagai berikut :
1. Asas Kesepakatan/Konsensus
6. Asas Keterbukaan 7. Asas Keikutsertaan 8. Asas Kesetaraan
9. Asas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan ekonomi.45
2. Konsepsi
”Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional”.46
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa, ”kerangka konsepsi pada hakekatnya
merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis
yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional
yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian”.47
Pentingnya defenisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah
pengertian atau penafsiran. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian ini harus dibuat beberapa defenisi konsep dasar sebagai acuan agar
penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu :
a. Kajian Yuridis adalah mengkaji secara hukum.
45
Syafruddin Kalo, Loc.cit, hlm. 152-163.
46
Samadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm l. 28.
47
b. “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.48
c. Relokasi adalah pemindahan tempat.
d. “Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan
hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan
memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah”.49
e. Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat.
f. “Pihak yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah adalah perseorangan, badan
hukum, lembaga, unit usaha yang mempunyai hak penguasaan atas tanah dan/atau
bangunan serta tanaman yang ada di atas tanah”.50
g. Hak atas tanah adalah hak atas bidang tanah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
h. “Panitia Pengadaan Tanah adalah panitia yang dibentuk untuk membantu
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum”.51
i. Musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai
48
Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
49
Pasal 1 angka 6 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
50
Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
51
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.52
j. “Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non
fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan,
tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat
memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial
ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah”.53
k. “Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah lembaga/tim yang profesional dan
independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai
dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi”.54
l. Tsunami adalah bencana alam tsunami.
m. Kabupaten Aceh Barat adalah salah satu Kabupaten dalam Provinsi Nanggroe
Aceh Darusslam
n. Kecamatan Johan Pahlawan adalah salah satu kecamatan yang ada pada
Kabupaten Aceh Barat.
o. Kajian Yuridis Pengadaan Tanah Untuk Relokasi korban tsunami di Kecamatan
Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat adalah mengkaji secara hukum kegiatan
52
Pasal 1 angka 10 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
53
Pasal 1 angka 11 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
54
untuk mendapatkan tanah bagi pemindahan tempat korban tsunami di Kecamatan
Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian yang akan memaparkan
dan menganalisa permasalahan yang akan dikemukakan.
2. Metode Pendekatan
Demi tercapainya penelitian yang memberikan jawaban atas masalah, sangat
ditentukan dengan metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian.
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dipergunakan dengan melihat peraturan
perundang-perundangan yang mengatur masalah pengadaan tanah untuk kepentingan
umum. Kemudian akan dilihat kenyaaan secara langsung pengadaan tanah untuk
kepentingan umum bagi relokasi korban tsunami di Kecamatan Johan Pahlawan
Kabupaten Aceh Barat, sehingga diketahui apakah landasan hukum yang ada telah
terlaksana atau kurang memadai dalam mengatur hal tersebut.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data