• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Laut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Laut"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PESISIR DAN LAUT

Iva n Ra za li

Abstract

There are two contradictory facts about seashore and ocean community. The first, seashore and ocean natural have rich natural resources. The second, seashore and ocean community are repressed of serious poverty. The national development of Indonesia must gives priority to seashore and ocean development program. It means, national development must pay attention to using of seashore and ocean resources and how to empower the seashore and ocean community, pass through seashore and ocean sector approach, by using community-based fishing system management is appropriate. By this policy, seashore and ocean resources can used to increase the community of seashore and ocean social welfare.

Keywords: poverty, natural resources, community based

Pendahuluan

Negara Indonesia terkenal memiliki potensi kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state), yang memiliki 17.508 gugusan pulau-pulau. Potensi sumberdaya pesisir di Indonesia dapat digolongkan sebagai kekayaan alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources), dan berbagai macam jasa lingkungan (environmental service).

Kekayaan alam Indonesia tersebut dibuktikan dengan berbagai ragam sumberdaya hayati pesisir yang penting seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut, dan perikanan.

Hutan mangrove misalnya adalah daerah/zona yang unik, yang merupakan peralihan antara komponen laut dan darat, yang berisi vegetasi laut dan perikanan (pesisir) yang tumbuh di daerah pantai dan sekitar muara sungai (selain dari formasi hutan pantai) yang selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut serta dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasi laut dan perikanan (pesisir) mangrove dicirikan oleh jenis-jenis tanaman bakau (rhizopora spp.), api-api (avicenia spp.), prepat (sonneratia spp.) dan tinjang (bruguiera spp.)

Data luas hutan mangrove di dunia ini sekitar 15,9 juta ha, sedangkan di Indonesia terdapat 4,25 juta ha (Dahuri, 1997) yang

tersebar di seluruh wilayah pantai di Indonesia (Wartapura, 1991). Menurut data pada tahun 1993, di Sumatera terdapat hutan mangrove seluas 856.134 ha (Dahuri, 1997). Dari luas tersebut di Propinsi Sumatera Utara terdapat 60.000 ha (Wartapura, 1991, Dartius, 1988).

Hutan mangrove di Sumatera terutama tersebar di Pantai Timur, disebabkan karena: 1) Pantai Timur mempunyai dataran lebih rendah dibanding pantai Barat Sumatera. 2) banyak sungai-sungai besar di Sumatera yang mengalir ke Pantai Timur. Kondisi ini mendorong pertumbuhan mangrove di muara sungai makin subur dan makin luas, karena banyak endapan yang terbawa arus sungai (Dahuri, 1997).

Selanjutnya potensi laut yang penting lainnya adalah ekosistem terumbu karang yaitu ekosistem yang khas untuk daerah tropis. Terumbu karang merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Medreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. (Nybakken, 1992).

(2)

Terumbu karang juga dimanfaatkan untuk bahan bangunan, pembuatan jalan, pelabuhan udara dan bahan baku industri pupuk. (Dahuri, 2000).

Potensi laut yang penting lainnya adalah Padang Lamun (seagrass), yang merupakan komponen utama yang dominan di lingkungan pesisir. Biasanya berkembang pada perairan dangkal, agak berpasir dan berasosiasi dengan laut dan perikanan (pesisir) bakau dan terumbu karang. Komunis padang lamun di Indonesia merupakan terluas.

Rumput laut berbeda dengan padang lamun, dimana komunitas rumput laut berkembang pada substrat yang keras sebagai tempat melekat. Jadi mereka mampu mendaurulangkan nutrien kembali ke dalam ekosistem agar tidak terperangkap di dasar laut. (Nybakken, 1992). Beberapa jenis rumput laut dijadikan makanan ternak, bahan baku obat-obatan, agar-agar dan lain-lain. Dari 555 jenis rumput laut di Indonesia, sekitar 4 jenis yang telah dikomersilkan yaitu Euchema, Gracillaria, Gelidium, dan Sargasum. Potensi rumput laut di Indonesia dapat dilihat dari potensi lahan budidaya rumput laut yang tersebar di 26 propinsi di Indonesia. Potensi ini secara keseluruhan mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400 ton per tahun. (Dahuri, 2000).

Sektor terpenting lainnya di daerah peisisr dan laut adalah sektor perikanan yang merupakan suatu sektor penting karena dengan peningkatan ekspor perikanan, sesuai dengan tujuan pembangunan dalam sektor perikanan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat pesisir dan melepaskan Indonesia dari krisis ekonomi saat ini. Di sektor perikanan terkandung kekayaan laut yang sangat beragam, antara lain dari jenis-jenis ikan pelagis (cakalang, tuna, layar) dan jenis ikan dumersal (kakap, kerapu). Selain itu, terdapat juga biota lain yang dapat ditemukan di seluruh pesisir di Indonesia, seperti kepiting, udang, teripang, kerang dan lain-lain. Pemanfaatan dan pengelolaan jenis-jenis biota tersebut, kadang-kadang kurang begitu dikenal ataupun belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan perekonomian nelayan Indonesia dan sebagai salah satu sumberdaya penting yang dapat meningkatkan devisa negara.

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir

Besarnya potensi kelautan tersebut ternyata tidak diikuti oleh kesejahteraan masyarakat nelayan. Hal ini terlihat dimana kondisi sosial ekonomi nelayan kita sangat jauh berbeda dengan potensi sumberdaya alamnya. Hal ini dibuktikan dengan masih rendahnya sumbangan sektor kelautan selama Pelita VI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional yaitu 12,1% dengan laju pertumbuhan 3,8% jauh di bawah laju pertumbuhan rata-rata seluruh sektor sebesar 7,4% (Waspada, 18 Maret 2000).

Nelayan adalah suatu fenomena sosial yang sampai saat ini masih merupakan tema yang sangat menarik untuk didiskusikan. Membicarakan nelayan hampir pasti isu yang selalu muncul adalah masyarakat yang marjinal, miskin dan menjadi sasaran eksploitasi penguasa baik secara ekonomi maupun politik.

Kemiskinan yang selalu menjadi “trade mark” bagi nelayan dalam beberapa hal dapat dibenarkan dengan beberapa fakta seperti kondisi pemukiman yang kumuh, tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah, rentannya mereka terhadap perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang melanda, dan ketidakberdayaan mereka terhadap intervensi pemodal, dan penguasa yang datang.

Hasil penelitian Mubyarto dkk (1984) menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di daerah Jepara sebagian berasal dari golongan sedang, miskin, dan miskin sekali. Data dari Kantor Statistik Propinsi Sumatera Utara juga menunjukkan bahwa hampir 50% penduduk Desa Pantai Sumatera Utara berpendapatan 25 - 149 ribu rupiah perbulan (BPS, 1989). Rata-rata pendapatan perkapita nelayan tersebut tidak lebih 15 ribu/bulan. Padahal pendapatan perkapita penduduk Sumatera Utara rata-rata 37.267 rupiah/ bulan (BPS, 1989).

(3)

dominasi/eksploitasi dari nelayan kaya terhadap nelayan miskin. Hampir sama dengan penelitian di atas selanjutnya Mubyarto dan Sutrisno (1988) juga melihat kemiskinan nelayan di Kepulauan Riau. Menurut Mubyarto dkk, kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur, yaitu nelayan kaya/penguasa yang menekan nelayan miskin.

Hampir sama dengan asumsi yang dibangun oleh Mubyarto tentang pengaruh struktur, Resusun (1985) juga menemukan data bahwa nelayan di Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, ada satu kelompok nelayan yang hidupnya tidak berkecukupan, yaitu nelayan yang tidak punya modal (nelayan kecil), dan mereka selalu diekspoitasi oleh nelayan yang punya modal (punggawa) dan pedagang (pa’bilolo) yaitu sawi bagang atau Pa’bagang atau pembantu utama punggawa dalam menangani kegiatan operasi penangkapan ikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Resusun di atas juga menunjukkan adanya struktur hubungan sosial yang khas pada masyarakat nelayan. Hubungan itu adalah adanya ketidak seimbangan antara yang mempunyai modal usaha dan para pekerjanya. Hubungan itu adalah antara punggawasawi/pa’bagang yang bersifat timbal balik (reprocity). Walaupun sawi perlu sang punggawa sebagai sumber lapangan kerja, punggawa juga memerlukan tenaga sawi. Seorang punggawa akan berusaha supaya sawi yang dipercayai menetap diusahanya. Akibatnya terjadi hubungan yang selalu merugikan sawi. Karena seringkali kerelaan punggawa untuk meminjamkan uang kepada sawi berdasarkan motivasi agar sawi tetap berada di lingkaran setan. Hutang yang tidak bisa dilunasi seringkali harus dibalas dengan jasa yang sangat berlebihan.

Hal ini terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Rizal (1985) di Desa Bari, Kabupaten Bulukumba menyebutkan bahwa seorang istri sawi mengerjakan apa saja di rumah isteri punggawa untuk membalas jasa punggwa membantu suaminya.

Sejalan dengan hal di atas di Propinsi Sumatera Utara hasil penelitian-penelitian mengenai nelayan cenderung juga menunjukkan kondisi yang sama yaitu nelayan hidup dalam kemiskinan. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli (1989) di Desa Bagan Deli, Kecamatan Medan Labuhan, yang menyebutkan akibat struktur patron dan klien

antara pemborong dan nelayan, maka nelayan Desa Bagan Deli menjadi miskin.

Harahap (1992,1993,1994,) telah melakukan serangkaian penelitian yang berkaitan dengan kemiskinan nelayan di tiga desa di Pantai Timur Sumatera Utara. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penyebab kemiskinan nelayan adalah faktor budaya dan rusaknya sumberdaya alam khususnya daerah laut dan perikanan (pesisir) mangrove yang telah diubah menjadi tambak udang. Selain faktor-faktor di atas yang mnyebabkan nelayan miskin juga adanya konflik nelayan tradisional terhadap pemilik alat-alat tangkap modren seperti pukat harimau. Konflik itu terjadi karena pukat harimau melakukan penangkapan ikan di zona penangkapan nelayan tradisional. Salah satu penyebab konflik adalah adanya penabrakan nelayan oleh pukat harimau. Menurut catatan Suhendra (1998) ada sampai 37 kejadian nelayan ditabrak pukat harimau dengan korban meninggal 5 orang, hilang 31 orang , sejak tahun 1993 sampai Juli 1998.

Berbicara kondisi sosial budaya masyarakat nelayan di Sumatera Utara khususnya berasal dari etnis Melayu adalah berbicara mengenai kemiskinan nelayan Melayu yang merupakan salah satu pribumi (host population) di Sumatera Utara yang seharusnya dominan, tetapi ternyata juga mengalami pasang surut kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan terutama setelah penyerahan kedaulatan. Menurut catatan sampai sekarang belum juga bangkit dari ketenggelamannya dan masih belum ada usaha untuk menariknya ke luar dari pertapaannya yang cukup lama.

Sudah barang tentu etnis Melayu Sumatera Timur ini pernah mempunyai etos kerja yang tinggi. Namun melihat keadaan dan kondisi suku-bangsa ini pada masa ini dibanding dengan suku-suku bangsa lain sadar atau tidak sadar terus berkompetisi, terlihat dalam kenyataan etnis Melayu terus tertinggal. Menurut Pelly (1987) kemunduran etos kerja pada suku-bangsa Melayu harus dilihat dari proses sejarah sekalipun ironis.

(4)

kebanggaan Melayu itu adalah karena perubahan ekologi. Perubahan ekologi akibat migrasi dari berbagai suku-bangsa dan ras ke Sumatera Timur telah merombak jumlah dan komposisi penduduk dan menyebabkan orang Melayu menjadi kelompok minoritas di negerinya sendiri. Perubahan ini seumpama air bah yang digerakkan oleh kekuatan kapitalisme kolonial yang secara paksa melanda kehidupan sosial budaya masyarakat Melayu.

Setidaknya ada dua gelombang migrasi yang terjadi pada penghujung abad ke 19 dan permulaan abad ke 20 ke Sumatera Timur. Penguasa Kolonial Belanda membuka perkebunan yang pada mulanya mendatangkan orang Cina dan Jawa sebagai kuli kontrak yang merupakan gelombang migrasi pertama. Orang Cina bekas kuli kebon ini keluar dari perkebunan menetap di kota-kota Sumatera Timur, seperti Medan, Pematang Siantar, dan Tanjung Balai mengembangkan lapangan perdagangan bersama dengan kelompok etnis lain, seperti Minangkabau, Mandailing dan Aceh. Bagian terbesar dari mereka merupakan migran gelombang kedua, yang tujuannya selain berdagang juga banyak untuk menjadi pekerja di kantor, sebagai guru atau ulama.

Akibat migrasi yang terjadi dalam dua gelombang itu Orang Melayu kelihatan menjadi minoritas dalam jumlah populasi, walaupun kedudukan mereka dalam bidang politik dan budaya masih tetap dominan. Namun akhirnya perubahan demografis diikuti perubahan ekologi yang paling mendasar yaitu tanah-tanah Orang Melayu dijadikan perkebunan. Dengan demikian perubahan terjadi pada sistem ekonomi rakyat walaupun kepada Sultan diberikan royalti dan ganti rugi.

Orang Melayu kehilangan tradisi maritimnya karena ketiadaan komoditi. Tradisi pertanian komoditi eksport dan tradisi maritim adalah lambang etos kerja Orang Melayu.

Sebagai penunggu tanah bekas, menanti panen tembakau untuk menanam pala dan palawija telah menanamkan kebiasaan hidup santai, karena ketergantungan kepada bantuan Sultan sebagai kebijakan (policy) pemerintah Kolonial Belanda. Sementara perkembangan kota menuntut pekerjaan baru seperti pertukangan, perdagangan, jasa, industri dan kepegawaian.

Selain tidak tertarik dan kalah bersaing dengan suku-bangsa lain, pendidikan yang rendah akhirnya dalam okupasi baru itu Orang

Melayu tidak kebagian. Muncullah tradisi “menepi pada suku-bangsa Melayu itu“.

Seperti diketahui kebudayaan suatu masyarakat yang faktornya sangat ditentukan oleh lingkungan fisik dan sosial budaya memberikan bentuk tentang apa dan bagaimana kehidupan yang memuaskan. Kehidupan “di tengah” tidak lagi memberi kepuasan kepada mereka akibat perubahan lingkungan tadi. Akhirnya hidup di tepi pantai lebih memberi kepuasan. Namun laut tidak menggugah lagi dan tidak dapat meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan diterima dengan pasrah dan mereka tidak dapat ke luar dari lingkaran setan yang menjerat mereka dalam kehidupan miskin yang mendasar.

Pendekatan Pembangunan Sektor Kelautan

Pengalaman krisis ekonomi yang melanda Indonesia menampilkan sisi lain, bahwa kebijakan pertumbuhan ekonomi dengan mengambil langkah pembangunan industri melalui subsitusi impor ternyata membutuhkan biaya yang mahal dan ketergantungan yang besar industri Indonesia terhadap investasi, teknologi, bahan baku, bahkan ketergantungan politik kepada negara-negara industri maju. Pergeseran kebijakan politik yang melawan arus atau kepentingan negara-negara maju, cenderung ditanggapi oleh negara-negara maju dengan memanfaatkan ketergantungan itu untuk menekan atau memaksakan agenda-agenda kepentingannya.

Oleh karena itu, pemerintah harus menggeser strategi pertumbuhan ekonomi dan proses industrialisasi yang berbasis pada industri subsitusi impor (berbahan baku impor) ke proses industrialisasi yang lebih mengedepankan sektor-sektor yang berbasis pada kekuatan sumberdaya alam dalam negeri.

(5)

Sementara itu tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan (nelayan) pada saat ini masih di bawah sektor-sektor lain. Menurut sumber terbaru dari BPS, 1998 jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai 49.000.000 jiwa, dari data tersebut sekitar 60 % nya merupakan masyarakat pesisir.

Agar kita dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan sebagaimana yang kita harapkan, maka pertama yang harus kita lakukan adalah menyatukan kesamaaan visi pembangunan perikanan, yaitu “suatu pembangunan perikanan yang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan beserta ekosistemnya secara optimal bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia, terutama nelayan dan petani ikan secara berkelanjutan”.

Untuk mewujudkan visi pembangunan perikanan tersebut di dalam menghadapi segenap peluang dan tantangan milenium ke-3 serta untuk menjadikan sektor perikanan menjadi sektor andalan (leading sector), terdapat tiga syarat mutlak yang harus terpenuhi. Pertama, sektor perikanan harus mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi secara nasional (makro) melalui peningkatan devisa, peningkatan pendapatan rata-rata para pelakunya serta mampu meningkatkan sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto. Kedua, sektor perikanan harus mampu memberikan keuntungan secara signifikan kepada para pelakunya dengan cara mengangkat tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan yang pada saat ini masih sangat tertinggal dibanding dengan sektor-sektor lain. Ketiga, pembangunan perikanan yang akan dilaksanakan selain dapat menguntungkan secara ekonomi juga harus ramah secara ekologis, artinya pembangunan harus memper-hatikan kelestarian dan daya dukung lingkungan baik terhadap sumberdaya perikanan itu sendiri maupun ekosistem lainnya.

Dalam kaitan pemberdayaan masyarakat nelayan beberapa faktor harus diperhatikan, misalnya kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat nelayan. Untuk alternatif yang diberikan adalah pemberdayaan masyarakat nelayan dengan kerangka pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis komunitas (Community-Based Fishing System Management).

Community-Based Fishing System Management

Pengelolaan laut dan perikanan (pesisir) yang telah dilakukan negara belum sepenuhnya mampu melindungi laut dan perikanan (pesisir) dari eksploitasi manusia, baik itu dari pengusaha maupun dari masyarakat sendiri. Bersamaan dengan itu, partisipasi masyarakat belum secara penuh terlibat dalam pengelolaan laut dan perikanan (pesisir). Dengan perkataan lain, pengelolaan laut dan perikanan (pesisir) dengan perspektif produksi, efisiensi, sosial, ekonomi dan lingkungan harus menjadi komitmen dan tujuan dari pengelolaan laut dan perikanan (pesisir). Artinya pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan (pesisir) yang secara turun temurun dan berkelanjutan telah dipraktekkan dan dikembangkan oleh masyarakat laut dan pesisir harus digunakan untuk kesejahteraan mereka.

Namun konsep sistem laut dan perikanan (pesisir) kerakyatan pemerintah di atas, mengabaikan sejarah (ahistoris). Karena mengabaikan secara hukum keberadaan dan keterampilan rakyat/ penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar laut dan perikanan (pesisir). Posisi rakyat dalam berhadapan dengan pemerintah dan pengusaha sangat lemah. Karena pelestarian laut dan perikanan (pesisir) (manfaat ekologis) hanya dimungkinkan bila rakyat dilibatkan secara maksimal sehingga tingkat kesejahteraan mereka semakin baik (manfaat ekonomi). Banyak manfaat yang diperoleh dengan pola pengembangan Community Based Fishing System Management, antara lain:

1. Memelihara fungsi lingkungan dengan memanfaatkan sumberdaya di dalamnya secara lestari (sustainability).

2. Meningkatkan pendapatan (income generating) anggota komunitas yang taat pada prinsip pemerataan dan keadilan sosial (equity and social justice).

3. Meniingkatkan partisipasi politik masyarakat lokal yang dilandasi pada adanya keswadayaan ekonomi dan politik (self reliance).

(6)

1. Pembangunan berpusat pada masyarakat lokal, tidak lagi semata berbasis pada negara (pemerintah).

2. Tanggung jawab mengelola sumberdaya alam pada masyarakat lokal, bukan hanya pada negara/ pemerintah.

3. Akses dan pengendalian sumberdaya terbuka luas untuk masyarakat lokal, tidak eksklusif semata di tangan negara (pemerintah).

Secara sosial dan politik, CBFSM juga bermanfaat sebagai berikut:

1. Meningkatkan keadilan sosial.

2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan peman-faatan sumberdaya.

3. Prioritas pembangunan sesuai dengan kebutuhan lokal.

4. Manfaat sumberdaya secara langsung dapat dinikmati penduduk lokal.

5. Sarana produksi cenderung berskala kecil dan menengah.

6. Dari aspek teknis dan ekonomis lebih efisien.

7. Masyarakat lokal langsung dapat lebih mudah mengendalikan sumber dayanya secara berkelanjutan.

Oleh karena itu agar sistem laut dan perikanan (pesisir) kerakyatan dapat memperoleh manfaat secara ekologis dan ekonomis paling tidak harus memiliki ciri yaitu:

1. Aktor utama pengelolaan laut dan perikanan (pesisir) adalah masyarakat setempat. Artinya masyarakat harus diberi hak dan kewajiban secara resmi. 2. Lembaga pengelolaan dibentuk,

dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh masyarakat setempat. 3. Ada wilayah yang jelas, yang memiliki

kepastian hukum yang mendukungnya. Hukum itu bisa hukum negara atau hukum adat setempat. Artinya ada pengakuan negara atas hukum adat dan hak ulayat komunitas.

4. Interaksi antara masyarakat dengan laut dan perikanan (pesisir) setempat bersifat erat dengan langsung (kelangsungan hidup mereka memang sangat ditopang dari pemanfaatan hasil laut dan perikanan (pesisir).

5. Pengetahuan lokal posisinya sangat penting dan melandasi bentuk

pengelolaan laut dan perikanan (pesisir) setempat.

6. Teknologi yang digunakan memang sangat dikuasai masyarakat setempat dan menjadi tradisi mereka. Artinya strategi pengelolaan sesuai dengan kebutuhan aktual dan kapasitas lokal. 7. Dalam melaksanakan hasil-hasil laut

dan perikanan (pesisir) itu aspek kelestariannya sangat diperhatikan sekalipun itu mereka memanfaatkan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.

8. Sistem ekonomi didasarkan pada kesejahteraan bersama

9. Keaneka ragaman mendasari berbagai bidangnya, seperti dalam hal: jenis dan hayati, pola budaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial dan lain-lain. Hal ini juga untuk mengurangi tekanan eksploitasi terhadap satu jenis sumberdaya.

Penutup

Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat pesisir dan laut, yang lebih penting dari sejumlah prasyarat di atas adalah adanya pemahaman secara eksternal terutama internal mengenai pranata-pranata tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dipraktekkan masyarakat setempat. Pranata ini penting dicermati khususnya yang berkaitan dengan organisasi dan peraturan pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada. Karena telah sama-sama kita ketahui bahwa permasalahan utama pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan warga desa, bukanlah bermuara pada persoalan ketersediaan sarana fisik, teknis dan uang. Banyak contoh-contoh bagaimana sarana fisik dibangun dan bantuan keuangan diberikan kepada warga desa tetapi akhirnya sia-sia. Hal ini disebabkan oleh keberadaan mereka yang tidak memiliki kemampuan dalam manajemen bantuan langsug.

(7)

peningkatan ekonomi penduduk tanpa ada kemampuan di kalangan penduduk untuk mengatur secara sosial dalam mengamankan, memelihara, dan mengembangkan bantuan itu.

Potensi kemampuan berkelompok ini tergantung pada besarnya persinggungan nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki bersama dalam suatu komunitas dan kemampuan seseorang untuk mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Dengan kata lain kemampuan berkelompok hanya dapat terjadi jika ada saling percaya di antara anggota kelompok atau komunitas bersangkutan. Kepercayaan itu sendiri berakar pada norma sosial, adat istiadat dan etika sosial yang dimiliki setiap kelompok atau komunitas secara bersama-sama. Pada saat suatu masyarakat memiliki saling percaya yang kuat maka pada saat itu modal sosial yang dimiliki masyarakat tersebut juga tinggi.

Banyak contoh dikemukakan para ahli pembangunan bahwa masyarakat yang memiliki modal sosial yang tinggi cenderung merupakan masyarakat yang berproduktifitas tinggi. Dengan kata lain, dalam konteks pembangunan, demokratisasi tidak semata berarti suatu pembangunan harus mengutamakan manusia, yang lebih penting adalah di dalam proses itu selalu mendayagunakan adat istiadat, nilai-nilai dan etika yang memang milik masyarakat tersebut. Inilah yang disebut pembangunan berwawasan kebudayaan.

Daftar Pustaka

Anonimus, 1997, Beberapa Pengertian Ten-tang Mangrove, Dalam Panduan Pela-tihan Pelestarian dan Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Brawi-jaya, Malang.

Anwar, Jazanul, Sengli J. Damanik, Naza-ruddin Hisyam dan Anthony J. Whitten, 1984, Ekologi Ekosistem Sumatera, Gadjah Mada University Press, Yogjakarta.

Batoro, Jati, 1997, Petunjuk Pembuatan Herbarium, Dalam Panduan Pelatihan Pelestarian dan Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Pusat Penelitian Ling-kungan Hidup Universitas Brawijaya, Malang.

Dahuri, Rokhmin, 1997, Pengembangan Rencana Pengelolaan Pemanfaatan Ber-ganda Ekosistem Mangrove di Sumatera, Dalam Panduan Pelatihan Pelestarian dan Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya. Malang.

________, 2000, Reposisi Pembangunan Perikanan Indonesia Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Makalah Dalam Seminar Sehari Kementerian Eksplorasi Laut: Mampukah Menjamin Hak-hak Nelayan Tradisional, JALA, SNSU dan FISIP USU, Medan.

________, 2000, Pemberdayaan Wilayah Pesisir Yang Berbasis Pada Pemberda-yaan Masyarakat, Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Center For Regional Resource Development and Community Enpowerment (CRES-CENT). Bogor 20 - 23 April 2000, Bogor.

Dartius, 1988, Faktor-faktor Lingkungan Hidup dan Sosial Ekonomi Dalam Pengelolaan Mangrove Sepanjang Pesisir Sumatera Utara (Tahap I), Laporan Penelitian Tidak Dipublikasikan, Lembaga Penelitian USU, Medan.

Harahap, R, Hamdani, 1992, Nelayan dan Kemiskinan (Studi Antropologis Di Desa Paluh Sibaji, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang), Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian USU.

________, 1993, Kearifan Ekologi Masya-rakat Nelayan Desa Jaring Halus, Keca-matan Secanggang, Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara, Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian USU.

(8)

________, 1994, Keterkaitan Faktor Kebu-dayaan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Masyarakat Nelayan dan Pelestarian Lingkungan Di Daerah Pantai Timur Sumatera Utara, Tesis S2, Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Lubis, Kamaluddin, 1991, Hukum Sebagai Sarana Rekayasa Konflik Kepentingan Dalam Pemanfaatan Laut dan perikanan (pesisir) Mangrove di Sumatera Utara, Dalam Seminar Nasional Kehidupan Nelayan dan Aspek Hukumnya di Wilayah Pantai Pesisir Timur, Fakultas Hukum USU, Medan.

Mubyarto, Loekman Soetrisno dan Michael R.Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Rajawali. Jakarta.

Mubyarto dan Loekman Soetrisno, 1988, Studi Pengembangan Desa Pantai di Provinsi Riau. Pusat Pembanganunan Pe-desaan dan Kawasan UGM, Yogjakarta.

Nybakken, James, W, 1992, Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Pandia Setiaty. 1996. Pengelolaan Laut dan perikanan (pesisir) Bakau di Kabupaten Langkat Sumatera Utara Yang Berdi-mensi Sosial Ekonomi, Berwawasan Lingkungan Serta Menunjang Pembangunan Daerah. PUSLIT SDAL-USU. Medan.

Pariwono, John, I, 1997, Dinamika Perairan Pantai di Daerah Laut dan perikanan (pesisir) Mangrove, Makalah Dalam Pelatihan dan Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu dan Berke-lanjutan, Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan Dirjen Dikti Depdikbud, Malang.

Pelly, Usman, 1987, Etos Kerja Orang Me-layu Dalam Perubahan Sosial, Kertas Kerja Simposium LIPI, Jakarta.

Qoid, Abdul dan Mimit Primyastanto, 1997, Analisis Kelayakan Finansial Proyek Laut dan perikanan (pesisir) Mangrove, Makalah

Dalam Pelatihan dan Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan Dirjen Dikti Depdikbud, Malang.

Rambe, Saruhum, 1997, Laut dan perikanan (pesisir) Desa (Studi Mengenai Pengelolaan Laut dan perikanan (pesisir) Oleh Masyarakat Lokal di Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Langkat), Jurusan Antropologi FISIP USU, Medan.

Resusun, Demianus, 1985, Dayung Basah Periuk Berisi. Studi Tentang Beberapa Aspek Sosial Ekonomi Nelayan Bagang di Pulau Sembilan, Dalam Muklis dan Kathryn Robinson. Masyarakat Pantai. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Rizal, Jufrina, 1985, Kehidupan Wanita Bira. Dalam Muklis dan Kathryn Robinson. Masyarakat Pantai, Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Referensi

Dokumen terkait

kompensasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Diantara kedua variabel tersebut, motivasi memiliki pengaruh lebih dominan terhadap

Kelebihan dari analisis utilitas multiatribut adalah bahwa analisis tersebut secara eksplisit menampakkan penentuan nilai dari berbagai pelaku kebijakan; analisis

Turbo Dryer adalah menara pengering dengan resirkulasi internal pemanas gas atau  pengering yang paling umum digunakan untuk produk dengan jumlah yang tidak terlalu

Salah satu konsekuensi disahkannya Undang- Undang Desa adalah penarikan tanah plungguh atau bengkok yang selama ini menjadi sumber pendapatan perangkat desa. Hasil

laksanakan pembelajaran. Waktu pembelajaran terkadang tidak cukup untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran yang telah direncanakan. Misalnya, pada akhir pembelajaran

Dari tabel di atas terlihat bahwa masyarakat kota Banjarmasin sudah dapat disebut sebagai masyarakat yang majemuk karena dari berbagai keberagaman yang ada seperti

Berdasarkan penelitian sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan Keterampilan Berpikir Kritis peserta didik yang di ajar dengan menggunakan Strategi Genius