• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan asam indol asetat cacing tanah, Pheretima hupiensis pada berbagai media tumbuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kandungan asam indol asetat cacing tanah, Pheretima hupiensis pada berbagai media tumbuh"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

KANDUNGAN ASAM INDOL ASETAT CACING TANAH

(

Pheretima hupiensis

) PADA BERBAGAI

MEDIA TUMBUH

THOMAS DWI YANUAR

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kandungan Asam Indol Asetat Cacing

Tanah (

Pheretima hupiensis

) Pada Berbagai Media Tumbuh adalah karya saya

sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada pergur uan tinggi mana

pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2006

Tho mas Dwi Yanuar

(3)

ABSTRAK

THOMAS DWI YANUAR. Kandungan Asam Indol Asetat Cacing Tanah

(

Pheretima hupiensis

) Pada Berbagai Media Tumbuh. Dibimbing oleh EDY

DJAUHARI PK dan EA KOSMAN ANWAR.

Asam indol asetat (indole acetic acid/AIA) merupakan salah satu hormon

tumbuh yang merupakan bagian dari kelompok hormon auksin. AIA disintesis

pada ujung tumbuhan yang mengalami pertumbuhan dan dalam konsentrasi yang

sedikit mampu memberikan perubahan secara fisik terthadap pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Cacing tanah sebagai salah satu organisme tanah

memiliki potensi sebagai penghasil AIA.

Cacing tanah usia dewasa ditumbuhkan dalam pot yang diberi perlakuan

dan diletakkan dalam rumah kaca. Setelah dua bulan cacing dipanen dan diukur

kandungan AIA pada tubuh dan kastingnya. Sebagai data tambahan juga diukur

kandungan AIA pada akar tanaman kedelai.

(4)

ABSTRACT

THOMAS DWI YANUAR. The Indole Acetic Acid Concentration of Earthworms

(

Pheretima hupiensis

) at Various of Growth Media. Under the direction of EDY

DJAUHARI PK and EA KOSMAN ANWAR.

Indole Acetic Acid (IAA) is one of growth hormone , classified in auxin

group. It synthesised in peak of active plant, which in low concentration can make

a physiologic response to growth and development. Earthworms as one of soil

organism was potential to produce IAA.

Mature earthworms were grown in cement pot which given a treatment and

placed in a green house. After two month earthworms were cropped and

concentration of IAA in body and casting were mentioned. In addition

concentration of IAA in soybeans root were mentioned.

(5)

KANDUNGAN ASAM INDOL ASETAT CACING TANAH

(

Pheretima hupiensis

) PADA BERBAGAI

MEDIA TUMBUH

THOMAS DWI YANUAR

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi

: Kandungan Asam Indol Asetat Cacing Tanah (

Pheretime

hupiensis

) Pada Berbagai Media Tumbuh

Nama

: Thomas Dwi Yanuar

NIM

: G44101042

Disetujui

Komisi Pembimbing

Drs. Edy Djauhari P.K., M.Si.

Drs. Ea Kosman Anwar

Ketua

Anggota

Diketahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M. S

NIP 131 473 999

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 28 Januari 1983 dari Ayah

Petrus Lengari dan Ibu Frederika Sumaryati. Penulis merupakan anak kedua dari

tiga bersaudara.

Pada tahun 2001 penulis lulus dari SMU ST Maria I Bandung. Pada tahun

yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada program Studi

Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam melalui jalur USMI.

(8)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena hanya berkat rahmat-Nya

karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dilakukan dari bulan Juni hingga

Desember 2005 di Laboratorium Fauna Kelti Biologi Tanah Balittanah Bogor .

Tema yang dipilih adala h mengukur kandungan asam indol asetat pada tubuh dan

kasting cacing tanah.

Selama melaksanakan kegiatan penelitian dan menyusun karya ilmiah,

penulis mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Edy Djauhari PK. M.Si

selaku pembimbing utama dan Bapak Drs. Ea Kosman Anwar selaku pembimbing

lapangan atas segala kritik dan saran serta arahannya sehingga laporan skripsi ini

dapat selesai tepat pada waktunya. Kepada Ibu Rasti selaku kepala Laboratorium

Mikrobiologi, Erni Yuniarty, serta Pak Edi penulis sampaikan penghargaan yang

sebesar-besarnya atas bimbingan selama penelitian berlangsung. .Buat

teman-temanku terutama Aris, Agung H, Reggy, Heru, Luqman, dan Pingkan, tak ada

kata yang lebih indah untuk mengungkapkan rasa terima kasih atas dukungan dan

dorongan semangatnya selama ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar -besarnya karena

terselesaikannya karya ilmiah ini tidak lepas dari doa yang selalu dipanjatkan oleh

kedua orang tua (Petrus L dan F. Sumaryati) serta dukungan dari Donny danYesse

yang tiada hentinya.

Penulis sadar bahwa dalam penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari

sempurna, karena itu penulis sangat mengharapkan segala kritik dan saran yang

sifatnya membangun. Akhir kata, semoga tulisan ini memberikan manfaat yang

sebesar-besarnya bagi pihak pembaca.

Bogor, Februari 2006

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Tanah ... 1

Media Pemeliharaan Cacing Tanah ... 3

Asam Indol Asetat ... 4

Mekanisme Kerja Asam Indol Asetat ... 5

AIA Pada Cacing Tanah ... 5

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan ... 7

Metode ... 7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan AIA Pada Akar Tanaman Kedelai ... 8

Kandungan AIA Pada Cacing Tanah ... 8

Kandungan AIA Pada Kasting Cacing Tanah ... 9

Perbandingan AIA Pada Akar, Cacing, dan Kasting ... 10

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 10

Saran ... 10

DAFTAR PUSTAKA ... 10

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Kandungan hara tanah ... 3

2

Kandungan asam amino pada cacing tanah ... 5

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Siklus hidup cacing tanah ... 2

2

Struktur asam indol asetat ... 4

3

Mekanisme kerja AIA secara umum ... 5

4

Biosintesis AIA ... 6

5

Konsentrasi AIA pada akar ... 8

6

Konsentrasi AIA pada cacing tanah ... 9

7

Kandungan AIA pada kasting cacing tanah ... 9

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Diagram alir penelitian ... 13

2

Kurva standar AIA akar ... 14

3

Pengukuran konsentrasi AIA akar ... 14

4

Kurva standar AIA cacing ulangan 1 ... 15

5

Pengukuran konsentrasi AIA cacing ulangan 1 ... 15

6

Kurva standar AIA cacing ulangan 2 ... 16

7

Pengukuran konsentrasi AIA cacing ulangan 2 ... 16

8

Kurva standar AIA ulangan 3... 17

9

Pengukuran Konsentrasi AIA cacing ulangan 3 ... 17

10

Analisis statistik data AIA cacing ... 18

11

Kurva standar AIA kasting ulangan 1... 19

12

Pengukuran konsentrasi AIA kasting ulangan 1 ... 19

13

Kurva standar AIA kasting ulangan 2... 20

14

Pengukuran konsentrasi AIA kasting ulangan 2 ... 10

15

Kurva standar AIA kasting ulangan 3... 21

16

Pengukuran konsentrasi AIA kasting ulangan 3 ... 21

(12)

1

PENDAHULUAN

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak lepas dari pengaruh hormon tumbuhan. Kata hormon berasal dari bahasa Yunani “hormoein” yang berarti menggiatkan. Senyawa ini disintesis pada salah satu bagian tanaman dan dipindahkan ke bagian lain, yang pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis (Salisburry 1995). Dalam batasan tumbuhan, hormon ini dikenal dengan sebutan fitohormon. Secara keseluruhan ada lima jenis hormon yang dikenal secara luas, yaitu auksin, sitokinin, giberelin, etilen, dan asam jasmonik. Sistem kerja suatu hormon dapat mempengaruhi kerja hormon lainnya atau saling bekerja sama dalam menyelesaikan suatu proses dalam p ertumbuhan tanaman.

Pada perkembangan jaman ini telah banyak diteliti mengenai fungsi dan peranan hormon sebagai zat pengatur tumbuh dalam meregulasi pertumbuhan tanaman. Zat pengatur tumbuh bila digunakan dalam konsentrasi yang berlebih akan berubah fungsi menjadi racun dan banyak hasil penelitian telah menunjukkan penggunaan zat pengatur tumbuh sebagai herbisida untuk mematikan tanaman pengganggu atau gulma. Zat pengatur tumbuh yang telah banyak digunakan sebagai herbisida antara lain 2,4diklorofenoksiasetat (2,4D), 2,4,5 -triklorofenoksiasetat (2,4,5 -T),dan 2-metil 4-klorofenoksiasetat (MCPA).

Asam indol asetat (AIA) merupakan salah satu senyawa organik yang termasuk ke dalam kelompok hormon auksin. Senyawa ini pertama kali ditemukan oleh Charles Darwin dan anaknya Francis saat meneliti perkembangan benih gandum. Beberapa senyawa organik yang termasuk ke dalam hormon auksin bekerja terutama pada pembelahan dan perkembangan sel, serta pembentukan akar lateral. Selain tanaman, AIA sendiri diproduksi oleh beberapa mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Bahkan pengisolasian AIA pertama kali dilakukan terhadap urine pasien yang menderita fenil ketourea.

Di alam, cacing tanah Pheretima hupiensis yang sering berinteraksi dengan tanaman juga berpotensi sebaga i penghasil AIA. Banyak ahli pun berpendapat bahwa dalam kasting (feses) cacing tanah terkandung hormon-hormon tertentu yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Cacing tanah jenis

ini sudah diketahui berguna sebagai hewan pengurai. Cacing tanah mampu menguraikan bahan organik 3-5 kali lebih cepat daripada mikroba (Palungkun 1999). Media pertumbuhan cacing tanah sangat berpengaruh terhadap kandungan tubuhnya terutama dalam perannya sebagai penukar kation antara tanah dan tanaman. P. hupiensis bersifat geofagus endogaesis yang berarti selain hidup di dalam tanah juga menggunakan tanah sebagai salah satu nutrisinya (Florkin 1969).

Selain tanah, bahan organik yang berasal dari kotoran ternak ataupun rumen sangat disukai oleh cacing tanah. Di alam bebas cacing tanah hidup dalam tanah yang banyak mengandung bahan organik yang telah mengalami pelapukan. Untuk itu media tanah yang baik harus memenuhi persyaratan yang diperlukan bagi cacing tanah untuk tumbuh.

Hipotesis pada penelitian ini adalah, komposisi media tumbuh cacing tanah P. hupiensis yang terdiri atas tanah, nutrisi tambahan baik sampah organik ataupun pupuk kandang dapat berpengaruh terhadap pembentukan AIA baik pada tubuh maupun kasting cacing tanah.

Penelitian ini bertujuan untuk men gukur kandungan AIA yang terdapat dalam tubuh dan kasting cacing tanah P. hupiensis yang ditumbuhkan pada media tumbuh dengan nutrisi berbeda.

Hasil penelitian dapat dimanfaatkan lebih lanjut dalam penggunaan cacing tanah sebagai pupuk hayati tanaman. Pen elitian dilaksanakan di Laboratorium Fauna Kelti Biologi Tanah Balittanah Bogor mulai dari bulan Juni 2005 hingga Desember 2005.

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Tanah (Pheretima hupiensis)

Menurut Edwards dan Lofty (1972) P. Hupiensis diklasifikasikan ke dala m Kingdom Animalia, Filum Annelida, Kelas Oligochaeta, Ordo Opistophora, Famili Lumbricidae, Genus

Pheretima, Dan Spesies Pheretima Hupiensis .

(13)

2

lapisan tanah, dekomposer tanaman dan organisme lain, penggali tanah, serta menggunakan tanah sebagai salah satu nutrisinya (Florkin 1969). Campuran partikel tanah dan bahan organik tanah sebagai makanan cacing tanah yang dikeluarkan dalam bentuk kasting sangat membantu dalam mempertahankan kesuburan tanah. Dua jenis jenis cacing tanah yang kini banyak diternakkan antara lain Pheretima dan Lumbricus. Masyarakat Indonesia sendiri lebih banyak mengenal cacing tanah jenis L. rubellus dibanding P. hupiensis. Cacing tanah jenis ini sudah banyak diternakkan terutama untuk pengomposan bahan organik. Secara fisik L. rubellus lebih besardibanding P. hupiensis .

Selain itu aktivitasnya sangat sedikit di dalam tanah dan lebih banyak di permukaan tanah (epigaesis ). Daya jelajahnya pun lebih kecil dibanding P.hupiensis yang bersifat sebagai “penggali tanah”. Beberapa kegunaan cacing tanah yang telah dicatat antara lain sebagai pengurai limbah dan sampah kota, pengatur airasi dan drainase pada tanah, serta penghasil pupuk organik dalam bentuk kasting maupun kascing (Palungkun 1999). Pupuk kasting merupakan pupuk yang berasal dari kotoran cacing sedangkan kascing selain mengandung kotoran cacing juga mengandung ekstrak cacing itu sendiri.

Menurut Minnich (1977) P. hupiensis

berasal dari Asia tenggara. Cacing ini memiliki daya adaptasi yang mengagumkan, mampu hidup dengan baik pada suhu tropis di India dan sebagian lagi di lintang utara Amerika. Menurut Palungkun (1999), siklus hidup P. hupiensis dimulai dari kokon (telur), cacing muda (juvenil), cacing dewasa, dan cacing tua. Siklus hidup

P.hupiensis dapat dilihat pada Gambar 1. Cacing dewasa merupakan cacing yang telah mengalami pematangan klitelum (alat kelamin). Pada cacing tanah P. hupiensis

klitelum dapat terlihat pada daerah sekitar segmen ke -14 di daerah sekitar kepala. Dalam sekali masa bertelur, satu ekor cacing tanah mampu menghasilkan sekitar 8-9 kokon. Karena kemampuan adaptasinya yang cukup baik cacing tanah mampu bertahan hidup sampai usia 5 tahun (Palun gkun 1999).

Tubuh cacing tanah terdiri atas segmen-segmen atau somit baik di luar atau di dalam tubuh. Segmen-segmen ini meliputi otot, syaraf, alat sirkulasi, alat ekskresi, dan alat reproduksi (Edwards & Lofty 1972). Bagian

6-10 hari (setelah kopulasi)

2-3 minggu

2.5-3 bulan

4-11 bulan (masa produktif)

1-5 tahun (masa hidup)

Gambar 1 Siklus hidup cacing tanah (Palungkun 1999)

pertama dari segmen ini adalah anterior atau kepala, terdiri dari mulut dan prostomium, suatu cuping yang menutupi mulut dan sebagai alat untuk membuka tanah. Struktur seperti rambut -rambut kecil (disebut setae) yang dapat menarik atau mengulur terdapat di setiap segmen, dan difungsikan sebagai alat gerak. Sebagai tambahan terdapat ju ga kelenjar kulit yang akan mengeluarkan lendir yang membantu pergerakan cacing ke dalam tanah dan menstabilkan lubang yang telah digali.

Di alam cacing tanah berperan sebagai hewan pengurai bahan organik dan melepaskannya sebagai nutrisi dalam bentuk kas ting. Kemampuan penguraian cacing tanah 3-5 kali lebih cepat dibandingkan dengan mikroba. Bahan organik berupa rumen termasuk salah satu makanan cacing tanah, bahkan pembuatan kompos dari rumen banyak menggunakan cacing tanah. Rumen yang masih segar banyak mengandung gas metan yang tidak disukai oleh cacing tanah. Untuk dapat digunakan sebagai makanan bagi cacing tanah biasanya bahan organik tersebut harus sudah mengalami pelapukan antara 50-65% dan sudah tidak mengeluarkan gas yang tidak diinginkan. Lamany a pelapukan berkisar antara 7-35 hari. Protein yang terkandung dalam bahan organik harus dapat dicerna oleh cacing tanah. Kandungan protein dalam makanan sebaiknya lebih rendah dari 15% untuk menghindari keracunan makanan. Menurut Palungkun (1999), kandungan protein dalam bahan organik yang baik bagi cacing tanah berkisar antara 9-15%

Cacing tanah akan memakan tanah (termasuk sisa dekomposisi bahan organik di

(14)

3

dalam tanah) atau sisa-sisa tanaman pada permukaan tanah. Cacing tanah mempunyai otot yang kuat untuk mencampur material -material tersebut dan melewatkannya ke saluran pencernaan sebagai cairan untuk dicampur dengan enzim. Zat cerna tersebut akan melepaskan asam-asam amino, gula, dan molekul organik kecil lainnya dari residu bahan organik (termasuk protozoa, nematoda, bakteri, fungi, dan mikroorganisme lain sebagai bagian dari dekomposisi hewan). Hasil penguraian bahan organik tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kasting (feses cacing tanah). Bentuk kasting menyerupai partikel-partikel tanah berwarna kehitaman yang ukurannya lebih kecil dari partikel tanah biasa sehingga lebih cocok untuk tanaman. Kasting mengandung berbagai bahan atau komponen yang bersifat biologis maupun kimiawi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Komponen biologis yang terkandung di dalamnya salah satunya adalah auksin (Palungkun 1999).

Media Pemeliharaan Cacing Tanah

Media tanah yang baik harus disesuaikan dengan kehidupan cacing tanah. Pada umumnya kondisi lingkungan di sekitar cacing tanah mempunyai pH sekitar 6.0-7.2 dan kelembaban sekitar 70-80%. Kondisi tanah yang lembab akan mendukung terhadap proses ekskresi cacing tanah. Sedangkan kondisi tanah yang kering akan membuat cacing tanah mengalami diaposa sehingga lama-kelamaan akan mematikan hcacing itu sendiri. Kesesuaian media tanah dengan kehidupan cacing tanah dikarenakan sifat cacing tanah yang memakan tanah. Ada dua jenis media tanah yang bisa dibandingkan baik dari segi kandungan maupun sifatnya, yaitu ultisol dan latosol.

Ultisol merupakan tanah masam yang berkembang akibat pengaruh presipitasi yang tinggi dimana air hujan mencuci basa-basa dalam tanah secara kuat (Marwoto et al. 2003). Hasil penelitian Balai Penelitian Tanah seperti tertulis pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan kation pada tanah ultisol lebih sedikit daripada pada tanah latosol. Secara umum tanah ultisol memiliki sifat fisik tanah yang kurang baik. Permasalahan pada tanah tersebut antara lain terletak pada tata air dan udara yang kurang baik, penetrabilitas tinggi, serta infiltrasi yang rendah (Sudjadi & Satari 1986). Sifat tanah ultisol juga kurang baik untuk

pertumbuhan tanaman. Adanya cacing tanah pada tanah ultisol diharapkan mampu memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik.

Dibandingkan dengan ultisol, tanah latosol pada umumnya memiliki sifat tanah yang lebih baik. Dillihat dari teksturnya (Tabel 1) tanah latosol lebih berpasir dibandingkan tanah ultisol sehingga lebih mudah ditembus oleh perakaran tanaman. Strukturnya remah hingga gumpal dan stabil hingga ke lapisan bawah, konsistensi gembur, dan penetrabilitas rendah. Tanah latosol dibentuk pada curah hujan 2000 -7000 mm/tahun, dan sebagian besar merupakan pembentuk hutan tropika. Kemungkinan terjadinya erosi pada tanah latosol sangat kecil, dan sangat baik untuk aktivitas biologi.

Penggunaan bahan organik sebagai nutrisi bagi tanaman maupun cacing tanah dapat memperbaiki atau menambah kandungan hara pada tanah. Menurut Basroch (1982), adanya bahan organik mampu meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki stru ktur tanah dengan pemantapan agregat tanah, aerasi, dan daya menahan air, serta meningkatkan kapasitas tukar kation. Bahan organik dalam bentuk pupuk kandang maupun sampah organik disamping sebagai nutrisi bagi tanaman juga digunakan oleh cacing tanah seba gai makanannya.

Mobilitas cacing tanah dalam media tanah sangat bergantung pada sebaran hara. Telah diketahui bahwa populasi terbanyak cacing tanah dalam media tanah akan berada di sekitar perakaran tanaman (sekitar 20 cm dari permukaan tanah). Secara khusus pada akar tanaman Leguminoceae terdapat bintil akar yang merupakan tempat terakumulasinya bakteri Rhizobium yang telah dikenal sebagai

Tabel 1 Kandungan hara tanah

Jenis analisis Ultisol Latosol Tekstur (%) Liat Debu Pasir 67 29 4 57 29 14 p H

H2O

KCl 4.5 3.8 5.9 5.0 BO (%) C N C/N 1.86 0.13 14 1.73 0.12 14 Kation Ca M g K Na 2.07 0.67 0.16 0.14 11.1 1.8 0.3 0.15

(15)

4

mikrob penghasil AIA. Selain itu daerah sekitar perakaran tanaman memungkinkan hidupnya mikroorganisme pengikat nitrogen non-simbiotik seperti Azotobacter dan

Aspergillus. Pertumbuhan dan perkembangan cacing tanah akan lebih baik apabila berada pada media tanah yang memiliki keragaman mikroorganisme yang tinggi. Interaksi simbiosis antara cacing tanah dan mikroorganisme dalam pemecahan bahan organik tidak hanya menghasilkan nutrisi bagi tanaman tapi juga menstimulasi pertumbuhan tanaman secara tidak langsung melalui mekanisme tertentu (Edwards & Fletcher 1988). Selama proses mencerna dalam tubuh cacing tanah terjadi peningkatan jumlah mikroorganisme secara luar biasa hingga lebih dari 1000 kali lipat. Ditemukan pula bahwa dalam usus cacing tanah terdapat mikroorganisme yang sama dengan mikroorganisme yang ada di tanah. Ini menguatkan bukti bahwa mikroorganisme tanah digunakan oleh cacing tanah sebagai makanan. Beberapa jenis bakteri, jamur, dan protozoa merupakan nutrisi utama bagi cacing tanah.

Asam Indol Asetat (AIA)

Pada tahun 1880 Darwin dan anaknya Francis telah mencatat bahwa pertumbuhan benih tanaman dipengaruhi oleh cahaya. Mereka menemukan bahwa pencahayaan pada ujung benih akan menyebabkan terjadinya pelekukan pada semaian. Karena pertumbuhan terjadi beberapa milimeter dari ujung semaian, maka mereka menyimpulkan bahwa ada sinyal yang ditransmisi dari dari ujung ke zona pertumbuhan. Pada tahun 1926 peneliti Belanda Frits Went berhasil mengisolasi sebuah substansi pemacu pertumbuhan dari benih gandum yang kemudian dikenal dengan auksin. Karena hormon ini dapat menimbulkan begitu banyak respon, maka oleh banyak orang senyawa itu dianggap sebagai satu-satunya hormon tumbuh pada saat itu. Namun anggapan ini terbantah saat ditemukannya giberelin pada awal tahun 1950 (Salisbury 1995). Melalui pemurnian lebih lanjut para peneliti kemudian meyakini bahwa senyawa organik yang berada dibalik hormon tersebut adalah asam indol asetat (AIA). Rumus bangun AIA dapat dilihat pada Gambar 2.

Dilihat dari strukturnya, AIA terdiri atas cincin indol yang berikatan dengan asam asetat. Perlu dicatat bahwa dalam tiap reaksi yang melibatkan AIA, gugus asetatlah yang

Gambar 2 Struktur Asam Indol Asetat

lebih berperan, bukan cincin indolnya. Senyawa ini termasuk ke dalam golongan hormon tumbuh auksin. Sebagai bagian dari hormon auksin, AIA merupak an senyawa yang paling sering berperan dalam berbagai proses pertumbuhan tanaman. Itulah sebabnya banyak ahli fisiologi menyamakan AIA dengan auksin.

Sintesis AIA dapat terjadi pada setiap sel tumbuhan, namun dengan konsentrasi berbeda pada tiap bagian t umbuhan. Secara spesifik AIA berfungsi terutama pada pembelahan dan perpanjangan sel. Untuk itu AIA banyak ditemukan pada ujung akar, ujung batang, dan daun muda. Adapun keberadaan AIA pada buah dikarenakan kerjasamanya dengan hormon giberelin.

Secara luas adanya AIA sangat menunjang terhadap perkecambahan biji, pembentukan akar yang lebih baik, dan mematahkan dominasi apikal. Dominasi apikal adalah kondisi pada saat pucuk tanaman atau akar tanaman terhambat pertumbuhannya. Aktivitas AIA terjadi pada konsentrasi yang tendah. Pada tanaman yang berusia tua konsentrasi AIA meningkat drastis. Tingginya konsentrasi AIA akan memicu terbentuknya gas etilen yang berperan dalam proses pematangan buah.. Dengan demikian respon tanaman terhadap AIA akan berkurang sehin gga menurunkan tingkat pertumbuhan. Mekanisme transport AIA tidak melalui pembuluh xilem maupun floem seperti pada kebanyakan unsur hara yang diserap oleh tanaman. Perpindahan AIA antar sel terjadi melalui proses difusi yang melibatkan protein reseptor yan g disebut PIN-protein.

(16)

-5

naftalenasetat (NAA), dan asam 2-metil-4-klorofenoksiasetat (MCPA). Karena ketiga senyawa terakhir tidak disintesis oleh tumbuhan maka disebut hormon sintetik dan digolongkan ke dalam zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik yang memiliki respon yang sama dengan hormon aslinya, namun apabila digunakan dalam konsentrasi berlebih akan bersifat toksik sehingga mematikan tanaman itu sendiri. Dalam dunia pertanian, penggunaan senyawa sintesik tersebut banyak diaplikasikan sebagai herbisida.

Mekanisme Kerja Asam Indol Asetat

Kontribusi AIA secara keseluruhan berpengaruh mulai dari tingkat seluler, tingkat organ hingga ke seluruh tub uh tanaman. Pada tingkat sel, aktivitas AIA terjadi pada daerah sitoplasma, terutama pada membran plasmanya. Secara umum, aktivitas hormon auksin banyak berpengaruh terhadap dinding sel tanaman, terutama terhadap elastisitas sel. Dinding sel pada jaringan tanaman mengandung selulosa dan protein, sebagian lagi terdiri dari lignin. Adanya dinding sel akan memberikan perlindungan bagi isi sel terhadap berbagai macam gangguan. Disinilah auksin berpengaruh terhadap perkembangan sel pada jaringan tanaman.

Mekanisme kerja AIA pada sel dapat dilihat pada Gambar 3. Adanya asam indol asetat (kiri atas kotak) di daerah sekitar membran plasma akan memicu terjadinya pergerakan ion H+ menuju dinding sel.

Terjadinya “pengasaman” pada daerah sekitar dinding sel ini akan mengaktifkan enzim yang dikenal sebagai “ekspansin” (Anonim 2005) yang akan memecah ikatan hidrogen pada dinding sel sehingga dinding sel akan kehilangan kekakuannya. Pelunakan dinding sel akan meningkatkan tekanan osmotik sel sehingga air akan lebih banyak masuk ke dalam sel yang menyebabkan terjadinya pemanjangan sel. Pada akar, pelunakan sel akan menyebabkan masuknya hara dari tanah yang bercampur dengan air lebih cepat. Terjadinya pelunakan dinding sel inilah yang menyebabkan sel akan lebih mudah mengembang dan pada beberapa bagian tanaman seperti ujung akar dan pucuk daun akan berespon terhadap pertumbuhan.

Gambar 3 Mekanisme kerja AIA pada sel secara umum

AIA Pada Cacing Tanah

Sebagian besar tubuh cacing tanah terdiri dari protein, yakni 64-76% (Palungkun 1999). Sedangkan sisanya adalah lemak (7-10%), kalsium (0.55%), fosfor (1%), dan serat kasar (1.08%). Selain itu cacing tanah juga mengandung auksin yang merupakan zat pengatur tumbuh untuk tanaman.

Beberapa asam amino yang terdapat dalam tubuh cacing tanah dapat dilihat pada Tabel 2. Pada hewan, kemampuan untuk melakukan biosintesis asam amino berkurang hingga setengah dari 20 jenis asam amino proteinogenik, karena itu asam amino esensial harus diambil dari bahan makan an. Jadi metabolisme pada hewan tidak lagi mampu mensintesis baru asam amino aromatik (triptofan) dan asam amino bercabang (valin, leusin). Pembentukan asam amino tidak lepas dari bantuan mikroorganisme tanah terutama yang mampu mengikat nitrogen bebas. Interaksi antara cacing tanah dengan mikroorganisme tanah sangat berpengaruh terhadap fiksasi nitrogen dalam biosintesis asam amino. Beberapa jenis mikroorganisme tanah memiliki enzim nitrogenase yang berfungsi memfiksasi nitrogen. Enzim ini terdiri atas dua komponen: protein Fe dan protein Fe-Mo. Protein yang mengandung molibden ini akan memindahkan elektron ke N2 sehingga terbentuk amoniak

(NH3) yang akan disintesis lebih lanjut

menghasilkan asam amino.

Tabel 2 Komposisi kandungan asam amino pada cacing tanah

(17)

6

Secara luas AIA dihasilkan oleh berbagai jenis organisme hidup. Belum ada penjelasan pasti mengenai biosintesis AIA pada cacing tanah secara khusus, namun pada hewan, fungi, dan bakteri seperti halnya tanaman AIA dibentuk sebagai produk minor dari penguraian triptofan (Weissbach 1958). Gambar 4 menunjukkan bahwa bahwa ada dua jalur yang dapat ditempuh dalam sintesis AIA dari asam amino triptofan. Jalur pertama melalui dekarboksilasi L-triptofan menghasilkan triptamin yang diikuti dengan deaminasi oksidatif. Cara yang lain adalah melalui deaminasi triptofan menghasilkan asam

indol piruvat (IPA) yang dikatalisis oleh triptofan aminotransferase.

Dari kedua jalur tersebut masing-masing jalurnya akan membentuk indol asetaldehida yang kemudian mengalami dehidrogenasi menghasilkan AIA. Keberadaan AIA dalam jaringan tanaman terdapat dalam bentuk terikat sebagai ester (dengan karbohidrat seperti sorbitol) ataupun amida (d engan asam amino). Ikatan ester ataupun amida ini akan dilepas oleh enzim AIA-oksigenase (Galston 1954). AIA yang terbentuk sangatlah mudah teroksidasi. Salah satu enzim yang berperan adalah untuk mengoksidasi gugus karboksil pada AIA adalah AIA-oksidase.

Amino transferase

Asam amino Asam α-keto CO2

CO2 Triptofan dekarboksilase IPA dekarboksilase CO2

½ O2 NH3

Amin oksidase

NAD+ IaId dehidrogenase

NADH+H+

Gambar 4 Biosintesis AIA

BAHAN DAN METODE

Bahan dan alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain akar, etil asetat, FeCl3

0.05 M, Na2CO3 2%, HClO4 10%, bufer

(18)

7

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain gelas piala, labu Erlenmeyer, tabung reaksi, labu takar, corong pisah, arang aktif, pipet Mohr, pipet volumetrik, dan spektro fotometer.

Metode

Penyiapan Cacing dan Tanah

Cacing Pheretime hupiensis yang ada diperoleh dari indukan cacing P. hupiensis

yang ada di Laboratorium Fauna Kelti Biologi Tanah Balittanah Bogor. Cacing yang digunakan adalah cacing dewasa, terlihat dari terbentuknya klitelum pada daerah kepala cacing. Bobot cacing yang dipakai berkisar antara 0.7-1 gram. Tanah ultisol diambil dari Desa Kentrong, Kecamatan Cipanas Banten, lapisan atas lolos ayakan 1 mm. Tanah disterilkan dengan cara dijemur selama satu hari dan dicampur dengan kapur (CaCO3)

sebanyak 1 g/kg tanah. Bahan organik yang digunakan adalah rumen (PK) dan sampah organik (SO) yang berasal dari Koperasi Karang Tumaritis TPA Galuga Bogor.

Pengaruh Pemberian Pakan Terhadap Cacing Tanah P. hupiensis

Penelitian dilakukan di rumah kaca menggunakan paralon plastik sebagai pot dengan diameter dalam 16,2 cm dan kedalaman 40 cm dengan indikator tanaman kedelai Varietas Willis. Perlakuan dibedakan menjadi dua kelompok, pot dengan media tanah ultisol dan pot dengan tanah latosol. Masing-masing jenis tanah dibedakan lagi berdasarkan jenis asupannya, yaitu sampah organik (SO) dan pupuk kandang (PK), masing-masing dengan dosis yang berbeda yaitu 5 ton/ha dan 10 ton/ha. Sebagai kontrol digunakan pot dengan media tanah tanpa pemberian sampah organik maupun pupuk kandang. Jumlah cacing yang dimasukkan untuk tiap pot sebanyak 10 ekor. Cacing yang diberikan diseleksi beratnya antara 0.7 -1.0 g. Jenis tanaman yang digunakan adalah tanaman kedelai. Percobaan dilakukan triplo.

Tanah dari lapangan diayak pada ayakan 1 mesh lalu ditimbang sebanyak 10 kg dan dimasukkan ke dalam pot paralon dengan diameter dalam 16.2 dan tinggi 40.0 cm. Tanah dalam pot disterilisasi dari cacing lain yang tidak diharapkan dengan perendaman selama 24 jam. Setelah inkubasi selama 24 jam bahan organik dimasukkan ke dalam pot dan diaduk rata sampai kedalaman 20 cm. Pupuk dasar (N, P, dan K) sebanyak masing-masing 1.4 g, 0.55 g, dan 1.1 g ditaburkan

pada permukaan tanah dan diaduk pada kedalaman 5 cm. Biji kedelai ditanam sebanyak 2 butir per pot. Pada umur 2 minggu pupuk dasar kembali ditambahkan sebagai pupuk susulan. Pada umur 3 minggu setelah tanam diinokulasikan cacing sebanyak 10 ekor per pot. Pemilihan cacing didasarkan pada keseragaman berat . Percobaan disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (Randomized Complete Blok Design) dengan tiga kali ulangan, dan 10 perlakuan kombinasi antara dua jenis tanah, dua jenis bahan organik, dan kontrol. Rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penentuan Kadar AIA Kedelai

Pengukuran kandungan AIA dari akar kedelai dilakukan berdasarkan metode yang dipaparkan oleh Gordon dan Webber (1950). Satu gram sampel akar digerus (diblender) dalam etil asetat sebanyak 25 ml dan dimaserasikan selama dua hari. Campuran larutan didekantasi, fraksi endapannya dicuci tiga kali dengan 15 ml etil asetat. Fraksi etil asetat tersebut kemudian diekstrak dengan 15 ml Na2CO3 2%.

Sebanyak 7 ml larutan hasil ekstrak dituang ke dalam labu takar 25 ml dan ditambah 3 ml larutan AIA standar 10 ppm. Larutan direaksikan dengan 5 ml FeCl3 0.05

M dalam HClO4 10% kemudian ditera dengan

HClO4 10%. Setelah dibiarkan selama 45

menit, sebanyak 10 ml larutan berwarna merah tersebut diekstrak dengan 10 ml isoamil alkohol dan diukur pada panjang gelombang 530 nm.

Penentuan Kadar AIA Cacing dan Kastingnya

Untuk pengukuran kandungan AIA yang terdapat dalam tubuh dan kasting cacing tanah digunakan metode yang dipaparkan oleh Herbert Weissbach (1958). Ekstrak cacing dengan air dengan perbandingan 1:4 sebanyak 3.5 ml ditambahkan ke dalam tabung sentrifuse yang berisi 1 ml ZnSO4 10%, dan

0.5 ml NaOH 1 N lalu disentrifuse (8000 g). Satu ml filtrat yang diperoleh kemudian dipindahkan ke tabung lain dan ditambahkan dengan 0.36 ml HCl lalu didihkan selama 15 menit. Larutan yang terbentuk dicampur dengan 10 ml CHCl3. Setelah pengocokan

selama 5 menit sebanyak 9 ml fase CHCl3

(19)

8

dengan reagen bisulfit 5 menit kemudian. Larutan dikocok dan warna merah muda yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan AIA Pada Akar Tanaman Kedelai

Analisis statistik terhadap kandungan AIA pada akar tanaman kedelai untuk tiap perlakuan tidak dapat dilakukan karena pada saat pengambilan sampel kering bobot akar untuk tiap ulangan tidak cukup untuk maserasi (kurang dari 1.0 g) sehingga konsentrasi AIA yang diperoleh merupakan gabungan dari tiga ulangan.

Pada Gambar 5 terlihat kecenderungan bahwa pemberian bahan organik baik sampah organik (SO) maupun pupuk kandang (PK) meningkatkan kandungan AIA pad a akar tanaman kedelai. Adanya pengaruh bahan organik makin jelas terlihat pada tanah ultsol yang minim hara. Makin besar dosis nutrisi tambahan yang diberikan makin besar juga juga konsentrasi AIA. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada tanah yang min im hara bahan organik sangat berperan sebagai nutrisi bagi tanaman, salah satunya adalah untuk meningkatkan pembentukan AIA. Hal ini sesuai dengan pernyataan Isroi (2003) yang menyebutkan bahwa pemberian bahan organik sangat berpengaruh untuk menstabilkan kondisi tanah yang kekurangan unsur hara. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa dengan pemberian bahan organik dapat memicu terbentuknya AIA pada akar tanaman. Pemberian sampah organik ternyata lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan pupuk kandang. Konsentrasi AIA tertinggi terlihat pada perlakuan U SO 10 (tanah ultisol dengan pemberian sampah organik dosis 10 t/ha) yaitu sebesar 3.901 ppm (Lampiran 3).

Pada tanah latosol, konsentrasi AIA tertinggi terjadi pada perlakuan L SO 5. Pemberian sampah organik dengan dosis yang lebih tinggi justru menurunkan konsentrasi AIA. Jika dibandingkan antara L PK 5 dan L PK 10, peningkatan konsentrasi AIA hanya sebesar 0.0441 ppm, sangat kecil jika dibandingkan dengan kenaikan kandungan AIA antara perlakuan U PK 5 dan U PK 10 (0.662). Terjadinya penurunan atau sedikitnya peningkatan konsentrasi AIA pada dosis yang berbeda untuk tiap bahan organik yang diberikan kemungkinan besar dikarenakan

kandungan hara pada tanah latosol relatif tinggi sehingga penambahan dosis sangat sedikit atau tidak berpengaruh terhadap konsentrasi AIA. 0,0000 1,0000 2,0000 3,0000 4,0000 5,0000 Ultisol Latosol Tanah Konsentrasi (ppm) kontrol SO 5 SO 10 PK 5 PK 10

Gambar 5 Konsentrasi AIA pada akar tanaman kedelai

Kandungan AIA Pada Cacing Tanah Pheretima hupiensis

Cacing tanah yang digunakan untuk pengukuran adalah cacing dewasa yang telah mengalami “pematangan” klitelum. Rata -rata bobot cacing yang dipakai untuk berkisar antara 0.7-1.0 g.

Seperti terlihat pada Gambar 6, pemberian bahan organik baik SO maupun PK dengan dosis yang berbeda pada tanah ultisol menghasilkan konsentrasi AIA yang berbeda pula. Makin tinggi dosis bahan organik yang diberikan, kandungan AIA pada tubuh cacing tanah makin meningkat. Berdasarkan hasil uji statistik yang diikuti dengan uji beda nyata

0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000 1,2000 1,4000 1,6000 Ultisol Latosol Tanah Konsentrasi (ppm) kontrol SO 5 SO 10 PK 5 PK 10

Gambar 6 Konsentras i AIA pada cacing tanah

P. hupiensis

(20)

9

bahan organik akan sangat terlihat, ditandai dengan meningkatnya konsentrasi AIA untuk tiap dosis yang diberikan. Dari grafik terlihat konsentrasi AIA tertinggi terjadi pada perlakuan U PK 10 (tanah ultisol dengan pupuk kandang dosis 10 t/ha) yaitu sebesar 1.317 ppm (Lampiran 10). Hal ini memperlihatkan bahwa pupuk kandang lebih efisien untuk dijadikan nutrisi bagi cacing tanah. Menurut Farida (2 000) penggunaan rumen sebagai media tumbuh bagi cacing tanah menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan dengan bahan organik lain.

Kejadian sebaliknya terjadi pada perlakuan dengan tanah latosol. Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil terlihat bahwa perbedaan perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap konsentrasi AIA pada cacing tanah. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat kandungan hara pada tanah latosol sangat tinggi sehingga pemberian bahan organik baik SO maupun PK pada tanah latosol sangat sedikit atau tidak direspon oleh cacing tanah.

Kandungan AIA Pada Kasting Cacing Tanah

Kasting cacing tanah yang diukur dikumpulkan pada masing-masing pot. Ekskresi cacing tanah dalam bentuk kasting sangat bergantung pada kelembaban tanah. Karena pada perlakuan sebelumnya penyiraman disesuaikan dengan keperluan tanaman kedelai, kondisi tanah tidak terlalu lembab. Hal ini menyebabkan selama pengumpulan kasting kebih banyak berada pada bagian bawah pot.

Dari Gambar 7 terlihat bahwa pada kasting cacing tanah yang terdapat baik pada tanah ultisol maupun latosol memperlihatkan perbedaan konsentrasi AIA untuk tiap perlakuannya. Makin besar dosis bahan organik yang ditambahkan, makin besar juga konsentrasi AIA yang terukur. Pernyataan ini dibuktikan dengan uji st atistik (Lampiran 19). Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil terlihat bahwa tiap -tiap perlakuan memberikan perbedaan yang sangat nyata jika dibandingkan dengan kontrolnya. Perbedaan yang paling nyata terlihat pada perlakuan U SO 10 dengan konsentrasi sebesar 0.982 ppm. Terjadinya perbedaan pada tiap perlakuan kemungkinan dikarenakan pengaruh lingkungan selama terjadi penumpukan kasting dalam tanah. Terbentuknya AIA pada kasting pun mungkin dikarenakan proses sekunder yang melibatkan mikroorganisme tanah, dalam hal ini mikroorganisme yang ada

dalam tiap bahan organik. Namun dibutuhkan pembuktian lebih lanjut untuk meneliti pengaruh mikroorganisme terhadap kasting.

0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000 1,2000

ultisol latosol

Tanah Konsentrasi (ppm) Kontrol SO 5 SO 10 PK 5 PK 10

Gambar 7 Konsentrasi AIA pada kasting cacing tanah P. hupiensis

Perbandingan AIA Pada Akar, Cacing, dan Kasting

(21)

10

U

U SO 5

U SO 10 U PK 5

U PK 10

L

L SO 5

L SO 10 L PK 5

L PK 10

Kasting Cacing Akar 0,000 0,500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 absorban perlakuan

Gambar 8 Perbandingan konsentrasi AIA pada akar ( ), cacing ( ), dan kasting ( )

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penambahan sampah organik ataupun pupuk kandang meningkatkan konsentrasi AIA yang dihasilkan oleh cacing tanah. Respon cacing tanah terhadap sampah organik ataupun pupuk kandang pada tanah ultisol lebih tinggi daripada tanah latosol. Konsentrasi AIA tertinggi pada tubuh cacing tanah terlihat pada perlakuan U PK 10 sebesar 1.317 ppm. Pada kasting cacing tanah, perbedaan perlakuan memberikan pengaruh terhadap konsentrasi AIA. Konsentrasi AIA tertinggi pada kasting cacing tanah terdapat pada perlakuan U SO 10 sebesar 0.982 ppm.

Saran

Perlu dilakukan pengujian terhadap tanaman dengan memperhatikan parameter -parameter yang ada agar dapat dicari korelasi yang tepat antara kandungan AIA pada tanaman dengan cacing. Dengan demikian perlu dilakukan pengujian ulang dengan penambahan perlakuan yaitu kontrol pot tanpa tanaman kedelai.

DAFTAR PUSTAKA

Abbott I. 1989. The influence of fauna on soil structure. Di dalam Animals in Primary Succesion: The Role of Fauna in Reclaimed Lands. Pp. 39-50. Cambridge: University Press.

Anonim 2005. Hauxins. http://www2. mcdaniel.edu/Biology/hormweb/hauxin. htm [24 Agustus 2005].

Anonim 2005. Memanfaatkan cacing tanah untuk ransum. http://www .Poultry-indonesia.com [29 April 2005].

Anonim 2005. Investigating the effect of IAA in root growth in mustrard seedling. http://www-saps.Plantsci.cam.ac.uk/ worksheets/scotland/iaa .htm [11 Januari 2006].

Budiarti A. 1990. Aneka Cara Budidaya, Penanganan Lepas Panen, Peluang campuran Ransum ternak dan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Dickman R. 1954. Reaction of Xanthydrol. Utah: College of Medicine.

Edwards CA, Fletcher. 1988. Interaction between earthworm and microorganism in organic-matter breakdown. Agri Eco and Env. 24:235-247.

Edwards CA, Lofty JR. 1972. Biologi Of Earthworm. USA: Agriculture Research Centre.

Engvild KC. 1986. Chlorine-containing natural compounds in higher plants.

Phytochemistry. 25:781-791.

Farida E. 2000. Pengaruh penggunaan feses sapi dan campuran limbah organik lain sebagai pakan atau media produksi kokon dan biomassa cacing tanah. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Florkin M. 1969. Chemical Zoology. New York: Academic Press.

Galston AW. The adaptive formation and physicological sgnificance of idole Acetic acid. http://www. botany.org [11 Januari 2006].

Hidayat A, Mulyani A. 2002. Teknologi pengelolaan lahan kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan.

Prosiding Lahan Kering Untuk Pertanian.

Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm 1-34.

(22)

11

Isroi. 2003. Bioteknologi mikroba untuk pertanian organik. http://www. kompas. com/kompas -cetak/0412

/17/ilpeng/1442850.htm [4 Januari 2006]. Koolman J, Klaus HR. 2001. Atlas Berwarna

dan Teks Biokimia. Jakarta: UI Press.. Maranto S, Sunarminto BH, Anshori H. 2003.

Tanggapan Acacia mangium terhadap pemupukan N dan P pada kanhapludults di Muara Enim. Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam.

Bandar Lampung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat .hlm 157-167.

Minnich J. 1977. How to Raise and UseEarthworm for Your Farm and Garden. USA: Agriculture Research Centre.

Palungkun R. 1999. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rekolacskaya NI. 1999. D-Tryptophan as IAA source during wheat germination. J. Plant Physiol. 25:39 -49

Salisbury, Frank B, Cleon WR. 1995.

Fisiologi Tumbuhan. Bandung: ITB Press.. Suradikusumah E. 1989. Kimia Tumbuhan.

(23)

12

(24)

13

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Total perlakuan:

U

L

U BO 5

L BO 5

U BO 10

L BO 10

U PK 5

L PK 5

U PK 10

L PK 10

Keterangan

U= kontrol tanah ultisol

L= kontrol tanah latosol

SO= sampah organik

PK = rumen

Utisol

Rumen

Sampah organik

Rumen

Sampah orga nik

Latosol

Dosis

I

Dosis

I

Dosis

II

Dosis

II

Dosis

II

Dosis

I

Dosis

II

Dosis

I

Adaptasi

Kontrol I: utisol

Kontrol II: latosol

Panen

(25)

14

Lampiran 2 Kurva standar AIA akar

Konsentrasi (ppm) Absorban 2.5 0.006

3 0.006 3.5 0.013 4 0.018 4.5 0.033 5 0.041 10 0.087

Kurva Standar AIA

y = 0,0112x - 0,0241 R2 = 0,9846

0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1

0 2 4 6 8 10 12

Konsentrasi (ppm)

Absorban

Lampiran 3 Pengukuran konsentrasi AIA akar

Perlakuan Absorban Absorban ter koreksi Konsentrasi (ppm) akar U 0.017 0.011 3.018 akar U SO 5 0.021 0.015 3.371 akar U SO 10 0.027 0.021 3.901 akar U PK 5 0.0165 0.0105 2.974 akar U PK 10 0.024 0.018 3.636 akar L 0.013 0.007 2.665 akar L SO 5 0.027 0.021 3.901 akar L SO 10 0.0245 0.0185 3.680 akar L PK 5 0.021 0.015 3.371 akar L PK 10 0.0215 0.0155 3.415

(26)

15

Lampiran 4 Kurva standar AIA cacing ulangan 1

Konsentrasi (ppm) Absorban 1 0.001 2 0.011 3 0.03 4 0.038 5 0.06

Kurva Standar AIA

y = 0,0145x - 0,0155 R2 = 0,9797

-0,01 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07

0 1 2 3 4 5 6

Konsentrasi (ppm)

Absorban

Lampiran 5 Pengukuran konsentrasi AIA cacing ulangan 1

Perlakuan (cacing) Absorban Konsentrasi (ppm)

1 U 0.019 2.379

1 U SO 5 0.018 2.310 1 U SO 10 0.019 2.379 1 U PK 5 0.005 1.413 1 U PK 10 0.017 2.241

1 L 0.015 2.103

(27)

16

Lampiran 6 Kurva standar AIA cacing ulangan 2

Konsentrasi (ppm) Absorban 1 0.001 2 0.006 3 0.015 4 0.028 5 0.034

Kurva Standar AIA

y = 0,0088x - 0,0096 R2 = 0,9793

-0,005 0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 0,035 0,04

0 1 2 3 4 5 6

Konsentrasi (ppm)

Absorban

Lampiran 7 Pengukuran konsentrasi AIA cacing ulangan 2

Perlakuan (cacing) Absorban Konsentrasi (ppm)

2 U 0.009 2.113

2 U SO 5 -0.001 0.977 2 U SO 10 0.005 1.659 2 U PK 5 0.007 1.886 2 U PK 10 0.013 2.568

2 L 0.008 2.000

(28)

17

Lampiran 8 Kurva standar AIA ulangan 3

Konsentras i (ppm) Absorban

1 0.001

2 0.012

3 0.03

4 0.05

5 0.057

Kurva standar AIA

y = 0,015x - 0,015 R2 = 0,9808

-0,01 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07

0 1 2 3 4 5 6

Konsentrasi (ppm)

Absorban

Lampiran 9 Pengukuran AIA cacing ulangan 3

Perlakuan (cacing) Absorban Konsentrasi (ppm)

3 U 0.003 1.200

3U SO 5 0.003 1.200

3 U SO 10 0.011 1.733 3 U PK 5 0.005 1.333 3 U PK 10 0.021 2.400

3 L 0.002 1.000

(29)

18

Lampiran 10 Analisis statistik data AIA cacing

Ulangan Perlakuan

(cacing) 1 2 3 jumlah= Yi rata-rata Yi U 1.358 1.206 0.685 3.249 1.083 U SO 5 1.318 0.557 0.685 2.561 0.853 U SO 10 1.358 0.947 0.989 3.294 1.098 U PK 5 0.807 1.076 0.761 2.645 0.881 U PK 10 1.279 1.466 1.370 4.115 1.371 L 1.200 1.141 0.570 2.913 0.971 L SO 5 0.807 1.141 0.799 2.747 0.916 L SO 10 0.767 1.206 0.799 2.773 0.924 L PK 5 0.885 1.076 0.761 2.723 0.907 L PK 10 0.964 1.206 0.723 2.894 0.964 jumlah 10.747 11.027 8.144

rata-rata 1.0748 1.1028 0.814

total 29.9192

Sidik ragam

SK db JK KT F hit F table (5%) Ulangan 2 0.505 0.252 5.294 3.35 Perlakuan 9 0.640 0.071 1.489 2.46 Galat 18 0.859 0.047

Total 29 2.005

Perlakuan Ulangan

FK 29.838 LSD 5% 0.306 0.091 KK 0.7304 LSD 1% 0.419 0.125

Uji Beda Nyata Terkecil

Perlakuan AIA rerata

U 1.083a

U SO 5 0.853b U SO 10 1.098a U PK 5 0.881b

U PK 10 1.371a

L 0.971b

L SO 5 0.916b L SO 10 0.924b L PK 5 0.907b L PK 10 0.964b

(30)

19

Lampiran 11 Kurva standar AIA kasting ulangan 1

Konsentrasi (ppm) Absorban 1 0.016 2 0.025 3 0.032 4 0.046 5 0.062

Kurva Standar AIA

y = 0,0113x + 0,0023 R2 = 0,9727

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07

0 1 2 3 4 5 6

Konsentrasi (ppm)

Absorban

Lampiran 12 Pengukuran konsentrasi AIA kasting ulangan 1

Perlakuan Absorban Konsentrasi (ppm)

1 U 0.003 0.061

1 U SO 5 0.004 0.150 1 U SO 10 0.006 0.327 1 U PK 5 0.004 0.150 1 U PK 10 0.005 0.238

1 L 0.005 0.238

(31)

20

Lampiran 13 Kurva standar AIA kasting ulangan 2

Konsentrasi (ppm) Absorban 1 0.011 2 0.017 3 0.022 4 0.027 5 0.039

Kurva standar AIA

y = 0,0066x + 0,0034 R2 = 0,962

0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 0,035 0,04 0,045

0 1 2 3 4 5 6

Konsentrasi (ppm)

Absorban

Lampiran 14 Pengukuran konsentrasi AIA kasting ulangan 2

Perlakuan Absorban Konsentrasi (ppm)

2 U 0.006 0.393

2 U SO 5 0.007 0.545 2 U SO 10 0.013 1.454 2 U PK 5 0.007 0.545 2 U PK 10 0.01 1.000

2 L 0.006 0.393

(32)

21

Lampiran 15 Kurva standar AIA

Konsentrasi (ppm) Absorban 1 0.008 2 0.018 3 0.032 4 0.042 5 0.063

Kurva Standar AIA

y = 0,0134x - 0,0076 R2 = 0,9806

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07

0 1 2 3 4 5 6

Konsentrasi (ppm)

Absorban

Lampiran 16 Pengukuran konsentrasi AIA kasting ulangan 3

Perlakuan Absorban Konsentrasi (ppm)

3 U 0.001 0.641

3 U SO 5 0.003 0.791 3 U SO 10 0.008 1.164 3 U PK 5 0.004 0.865 3 U PK 10 0.005 0.940

3 L 0.001 0.641

(33)

22

La mpiran 17 Analisis statistik data AIA kasting

Ulangan Perlakuan

(kasting) 1 2 3 jumlah Yi Rata-rata Yi U 0.061 0.641 0.393 1.097 0.365 U SO 5 0.150 0.791 0.545 1.486 0.495 U SO 10 0.327 1.164 1.454 2.946 0.982 U PK 5 0.150 0.865 0.545 1.561 0.520 U PK 10 0.238 0.940 1.000 2.179 0.726 L 0.238 0.641 0.393 1.274 0.424 L SO 5 0.327 0.716 0.697 1.740 0.580 L SO 10 0.415 1.089 0.848 2.354 0.784 L PK 5 0.415 0.865 1.151 2.433 0.811 L PK 10 0.504 0.940 1.151 2.596 0.865 jumlah 2.831 8.656 8.181 19.670

rata-rata 0.283 0.865 0.818 1.967

total 19.670

Sidik ragam

SK Db JK KT F hit F tabel5%) Ulangan 2 2.092 1.046 38.444 3.35 Perlakuan 9 1.149 0.127 4.691 2.46 Galat 18 0.489 0.027

Total 29 3.732

Perlakuan Ulangan

FK 12.897 LSD 5% 0.231 0.069 KK 0.8387 LSD 1% 0.316 0.095

Uji Beda Nyata Terkecil Perlakuan AIA Rerata U 0.365c

U SO 5 0.495c U SO 10 0.982a U PK 5 0.520b U PK 10 0.726b L 0.424c L SO 5 0.580b L SO 10 0.784a L PK 5 0.811a L PK 10 0.865a

Gambar

Gambar 1
Tabel 1 Kandungan hara tanah
Gambar 2 Struktur Asam Indol Asetat
Gambar 3 Mekanisme kerja AIA pada sel secara umum
+5

Referensi

Dokumen terkait

Gagasan yang diusung oleh muslim progresif, salah satu trend pemikiran Islam, untuk mewujudkan keadilan sosial, keadilan gender, dan pluralisme menjadi gagasan yang harus menggugah

Houthi dengan Arab Saudi pada bulan April 2009, telah ditemukan kapal Iran bernama Mahan yang berisi senjata yang dijelaskan oleh seorang awak kapal Iran bahwa

Bank Sulselbar Syariah Cabang Makassar, metode pengakuan pendapatan bagi hasil yang dilakukan oleh bank bagi hasil dari pembiayaan mudharabah diakui pada saat

Pembiayaan untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan STIPAS Palangka Raya bersumber dari dana kegiatan mahasiswa (DKM) yang dihimpun pada setiap tahun akademik dan atau

Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengatahui etika guru dan siswa, untuk membentuk siswa yang

Kaupallisen alan työttömiä työnhakijoita alal- la oli Pirkanmaalla vuonna 2014 keskimäärin noin 2 340 kuukaudessa (noin 1 710 vuonna 2006).. Vuonna 2014 selvästi eniten työttömiä

[r]

Variasi permasalahan didapatkan dari karakteristik lansia dengan permasalahan yang dialami lansia seperti ekonomi, kesehatan dan