• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi Produksi Nanas di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi Produksi Nanas di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS, ALOKATIF DAN EKONOMI

PRODUKSI NANAS DI KABUPATEN SUBANG,

PROPINSI JAWA BARAT

RIATANIA RIZAL BASJRAH LUBIS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Analisis Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi Produksi Nanas di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

(4)

Ekonomi Produksi Nanas di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO, MANGARA TAMBUNAN dan HANDEWI PURWATI SALIEM.

Nanas (Ananas comosus) adalah salah satu buah tropis yang terkenal di dunia, berasal dari negara Brazil dan Paraguay yang tersebar di berbagai negara tropis dan sub tropis sebagai komoditas buah komersial. Fluktuasi produksi nanas Indonesia memiliki kecenderungan meningkat. Hal tersebut sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan masyarakat, semakin tingginya kesadaran penduduk akan nilai gizi, serta bertambahnya permintaan bahan baku industri pengolahan buah-buahan. Peningkatan produksi nanas di Indonesia tidak sejalan dengan produksi nanas di Propinsi Jawa Barat yang menurun. Peningkatan produksi nanas hanya dapat dilakukan salah satu cara dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih efisien.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji efisiensi produksi nanas di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Metodologi yang digunakan adalah menggunakan data primer yang didapatkan dari survei 142 rumah tangga petani di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat dengan pendekatan parametrik non parametrik (Data Envelopent Analysis) untuk estimasi efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi serta Stochastic Frontier Analysis (SFA) untuk estimasi efisiensi teknis. Nilai Inefisiensi teknis, alokatif dan ekonomi diestimasi menggunakan regresi Tobit dengan sebelas variabel demografi, sosial ekonomi dan institusional yang diduga memengaruhi inefisiensi teknis, alokatif dan ekonomi.

Hasil estimasi dengan menggunakan SFA memiliki nilai rata-rata efisiensi teknis sebesar 0,34, dengan metode DEA nilai rata-rata efisiensi teknis sebesar 0,55 (CRS) serta 0,62 (VRS). Hal ini menunjukkan petani nanas di Kabupaten Subang masih inefisien secara teknis dan masih berpotensi untuk dapat meningkatkan efisiensi teknisnya. Secara umum, nilai efisiensi DEA dengan VRS lebih besar dari CRSnya, sehingga petani nanas di lokasi penelitian tergolong pada increasing return to scale (IRS) yaitu peningkatan outputnya lebih besar daripada peningkatan input produksinya. Nilai efisiensi alokatif petani nanas cukup rendah yaitu 0,74 dan nilai efisiensi ekonomi sebesar 0,41. Hal ini menunjukkan bahwa produksi nanas masih berpotensi untuk ditingkatkan efisiensi alokatif dan ekonomi.

Inefisiensi teknis produksi nanas dipengaruhi secara positif dan nyata oleh umur, pangsa pendapatan sektor non pertanian, pola tanam serta secara negatif dan signifikan oleh pendidikan formal dan kepemilikan lahan. Umur, pola tanam dan kelompok tani mempengaruhi secara positif dan signifikan inefisiensi alokatif sedangkan variabel pengalaman dan kepemilikan lahan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inefisiensi alokatif. Umur juga memengaruhi positif dan nyata terhadap inefisiensi ekonomi sedangkan pendidikan formal, kelompok tani dan penggunaan kredit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inefisiensi ekonomi.

(5)

Efficiency Analysis of Pineapple Production in Subang District, West Java Province. Supervised by ARIEF DARYANTO, MANGARA TAMBUNAN and HANDEWI PURWATI SALIEM.

Pineapple (Ananas comosus) is one of the popular tropical fruits, originally from Brazil and Paraguay which spreads to various tropic and sub tropic countries as commercial fruits. Indonesian pineapple production has fluctuated with increasing trend. It is in line with the people’s growth, increasing people’s income, people higher awareness on fruit’s good nutrition and increasing as the input material for processing industries. Increasing on Indonesian pineapple production was not in line with the decreasing of West Java pineapple production. One of way to improve pineapple production is by using the resource inputs efficiently.

The purpose of this study was to analyze the production efficiency in West Java Province. Primary data was used from conducting a survey of 142 pineapple farmers in Subang District by non parametric approach to estimates the technical, allocative and economic efficiency and parametric approach with Stochastic Frontier Analysis (SFA) to estimate the technical efficiency. Score of technical, allocative and economic inefficiencies was regressed using the Tobit regression with eleven demographic, socio-economic and institutional variables which expected influenced the technical, allocative and economic efficiencies.

Results of estimation by using SFA method was 0,34 with DEA method that average technical efficiency scores were 0,55 (CRS) and 0,62 (VRS). These showed pineapple farmers in Subang District still inefficient technically and still had potencies to increase the technical efficiency. Generally, DEA – VRS efficiency scores was higher compare to CRS scores, it means that the farmers produce pineapple in increasing return to scale (IRS). Allocative efficiency scores were quite low which average 0,74 also economic efficiency were 0,41. It showed that pineapple production had potencies to improve the allocative and economic efficiencies.

Technical inefficiency of pineapple production had positive and significantly contributed by age, share of off-farm income and intercropping cultivation and also negative and significantly contributed by formal education and land ownership. Age, intercropping cultivation and member of farmer group affected positively and significantly but experience and land ownership correlated negatively and significantly to the allocative inefficiency. Age also influenced positively and significantly to economic inefficiency while formal education, member of farmer group and credit usage contributed negatively and significantly to economic inefficiency.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS, ALOKATIF DAN EKONOMI

PRODUKSI NANAS DI KABUPATEN SUBANG,

PROPINSI JAWA BARAT

RIATANIA RIZAL BASJRAH LUBIS

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Yusman Syaukat, MEc

Dr Ir Heny K Daryanto, MEc

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof (R) Dr Ir I Wayan Rusastra, APU

(9)

NIM : H363090151

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Arief Daryanto, MEc Ketua

Prof Dr Ir Mangara Tambunan, MSc

Anggota Dr Ir Handewi Purwati Saliem, MS

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai tugas akhir dari tugas belajar di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terselesaikannya disertasi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr Ir Arief Daryanto, MEc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof Dr Ir Mangara Tambunan, MSc dan Dr Ir Handewi Purwati Saliem, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing atas curahan waktu, pikiran dan tenaga dalam membimbing dan memberi masukan hingga selesainya penyusunan disertasi ini.

2. Tim penguji ujian tertutup Dr Ir Yusman Syaukat, MEc, Dr Ir Heny K Daryanto, MEc, Dr Ir Meti Ekayani Shut, MSc dan Prof Dr M. Firdaus, SP, MSi serta tim penguji ujian terbuka Prof (R) I Wayan Rusastra, APU, Dr Ir Harianto, MSc, Dr Ir Sri Hartoyo, MS, Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi atas masukan dan saran yang berguna untuk perbaikan disertasi ini. Seluruh dosen Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang disampaikan selama masa perkuliahan.

3. Penghargaan kepada keluarga penulis, yaitu kedua orang tua penulis (alm) Prof dr Rizal Basjrah Lubis dan Erna Rizal beserta kedua mertua Ir Iwan Rivai Alam, MM dan Laxmy Nurlila atas doa dan dorongan moril yang tiada henti kepada penulis.

4. Suami penulis Mayor Kav. MS Prawiranegara, MM atas doa, pengertian, kesediaan dan kesabaran mendampingi penulis selama menempuh pendidikan pada Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB. Kedua putri tercinta Rania Fazila Syarif Matondang dan Raizel Kayla Syarif Matondang atas doa dan dorongan semangat kepada penulis.

5. Teman-teman EPN angkatan 2009 yang telah menjadi sahabat dan motivator dalam menghadapi suka dan duka selama menempuh pendidikan di IPB berserta tim sekretariat EPN yang banyak membantu kelancaran selama penulis menuntut ilmu di Program Doktor IPB.

6. Pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu namun telah banyak memberikan saran dan informasi selama penulisan disertasi ini.

Semoga segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan mendapat balasan yang terbaik dari Allah SWT. Harapan penulis semoga disertasi ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat menambah referensi bagi yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2014

(11)

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 7

Tujuan dan Manfaat Penelitian 10

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 11

Kebaruan Penelitian 11

2 TINJAUAN PUSTAKA 11

Efisiensi Produksi 11

Efisiensi Teknis (TE) 12

Efisiensi Alokatif (AE) 12

Efisiensi Ekonomi (EE) 13

Konsep Pengukuran Efisiensi 13

Pendekatan Pengukuran Efisiensi 15

Pendekatan Non Parametrik 16

Pendekatan Parametrik 17

Faktor-faktor yang Memengaruhi Efisiensi Produksi 19

Studi Terdahulu 21

Pendekatan Parametrik 21

Pendekatan Non Parametrik 22

Membandingkan Pendekatan Parametrik dan Non Parametrik 24

Kerangka Konseptual 25

3 INDUSTRI NANAS DI INDONESIA 26

Varietas Nanas 26

Nanas dan Produk Turunannya 27

Produksi Nanas Dunia 27

Perdagangan Global 29

Nanas Segar 29

Nanas Olahan 29

Perusahaan Nanas Internasional 30

Posisi Daya Saing Produk Nanas Indonesia 31

Produksi Nanas di Indonesia 32

Sentra Produksi Nanas Indonesia 36

Industri Penglahan Nanas di Indonesia 37

4 METODE PENELITIAN 38

Lokasi dan Waktu Penelitian 38

Jenis dan Sumber Data 39

(12)

Regresi Tobit 48

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 50

Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Karateristik Petani Nanas di

Kabupaten Subang 50

Umur Kepala Rumah Tangga 51

Pengalaman Usahatani Nanas 51

Pendidikan Kepala Rumah Tangga 52

Jumlah Anggota Keluarga Rumah Tangga Petani 53

Mata Pencaharian dan Pendapatan Petani Nanas 54

Luas Penguasaan Lahan 54

Output dan Input Produksi Nanas 55

Pendugaan Fungsi Produksi Nanas dengan Metode OLS dan MLE 56

Efisiensi Teknis Produksi Nanas 60

Efisiensi Teknis dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inefisiensi Teknis

dengan Metode SFA 60

Efisiensi Teknis dengan Metode DEA 62

Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Produksi Nanas 65

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inefisiensi Teknis, Alokatif dan

Ekonomi 66

6 KESIMPULAN DAN S ARAN 74

Kesimpulan 74

Saran 75

DAFTAR PUSTAKA 76

LAMPIRAN 83

RIWAYAT HIDUP 99

DAFTAR TABEL

1 Jumlah Industri Besar dan Sedang Pengolahan Nanas di Indonesia Tahun

2005-2010 9

2 Negara Produsen Nanas Segar Terbesar di Dunia Tahun 2012 28 3 Nilai GDP Nanas Segar Terbesar di Dunia Tahun 2010 - 2012 (USD

juta) 28

4 Nilai Ekspor Nanas Segar dan Nanas Olahan Tertinggi di Dunia Tahun

2011 30

5 Daya Saing Produk Nanas Indonesia Tahun 1991 - 2011 31 6 Produksi Nanas Segar Berdasarkan Propinsi di Indonesia Tahun 2008 –

(13)

9 Variabel Input Produksi yang Digunakan pada Penelitian Efisiensi

Terdahulu 46

10 Struktur Umur Kepala Rumah Tangga Petani 50

11 Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman 52

12 Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal 52 13 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga 53

14 Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama 54

15 Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani Nanas 54

16 Jumlah Penguasaan Lahan Sawah dan Kebun Nanas oleh Responden

Petani Nanas 55

17 Variabel Output dan Input untuk Estimasi Efisiensi Teknis 56 18 Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Stokastik Frontier pada Budidaya Nanas

dengan Menggunakan Metode OLS dan MLE di Kabupaten Subang 57 19 Distribusi Frekuensi Efisiensi Teknis Petani Nanas dengan Metode Stochastic

Frontier Analysis (SFA) di Kabupaten Subang 60

20 Hasil Pendugaan Faktor yang Memengaruhi Inefisiensi Teknis dengan

Pendekatan SFA pada Budidaya Nanas di Kabupaten Subang 61 21 Distribusi Frekuensi Efisiensi Teknis Petani Nanas dengan Metode Data

Envelopment Analysis (DEA) di Kabupaten Subang 63

22 Distribusi Frekuensi Skala Produksi Petani Nanas dengan Metode Data

Envelopment Analysis (DEA) di Kabupaten Subang 64

23Distribusi Frekuensi Efisiensi Alokatif Petani Nanas dengan Metode Data

Envelopment Analysis (DEA) di Kabupaten Subang 65

24 Distribusi Frekuensi Efisiensi Ekonomi Petani Nanas dengan Metode Data

Envelopment Analysis (DEA) di Kabupaten Subang 66

25 Deskriptif Statistik Variabel yang Digunakan dalam Model Tobit (N=142) 67 26 Hasil Analisis Regresi Tobit (Inefisiensi Teknis) 68 27 Hasil Analisis Regresi Tobit (Inefisiensi Alokatif) 69 28 Hasil Analisis Regresi Tobit (Inefisiensi Ekonomi) 72

DAFTAR GAMBAR

1 Produksi Nanas Segar Dunia Tahun 1962-2012 1

2 Pangsa Produksi Nanas Segar Dunia Tahun 2012 2

3 Persentase Luas Panen dan Produksi Nanas Dunia Tahun 2012 2 4 Nilai Ekspor Komoditas Buah Indonesia Tahun 2007-2011 (dalam

USD) 3

5 Nilai Impor Nanas Segar Indonesia Tahun 2010-2011 (dalam USD) 4 6 Produksi Komoditas Buah Indonesia Tahun 1998-2012 (dalam Ton) 4

(14)

10 Fungsi Produksi Stochastic Frontier 18

11 Faktor yang Memengaruhi Efisiensi 20

12 Kerangka Konseptual Penelitian 25

13 Produksi Nanas Segar Indonesia Tahun 1991-2011 32

14 Nilai Produk Bruto Nanas Segar Indonesia Tahun 1991-2010 33 15 Distribusi Nanas Segar Indonesia Tahun 1991 - 2010 34 16 Produksi dan Harga Produsen Nanas Indonesia Tahun 1991 - 2010 35

17 Rantai Pemasaran Produk Nanas Indonesia 36

18 Dekomposisi dari OTE menjadi PTE dan SE 43

19 Konsep Slack dan Radial Movement dengan Orientasi Input 44 20 Konsep Slack dan Radial Movement dengan Orientasi Output 45

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pohon Industri Nanas 83

2 Variabel yang Memengaruhi Inefisiensi Produksi dari Penelitian

Terdahulu 84

3 Hasil Analisis Stochastic Frontier Analysis (SFA) Petani Nanas di

Kabupaten Subang 85

4 Hasil Analisis DEA 92

(15)

Latar Belakang

Nanas (Ananas comosus) adalah salah satu buah tropis yang terkenal di dunia, berasal dari negara Brazil dan Paraguay yang tersebar di berbagai negara tropis dan sub tropis sebagai komoditas buah komersial (Jacob dan Soman 2006). Pertumbuhan produksi nanas di dunia selama lima dekade terakhir meningkat sebesar 505,7 persen dari 3.852.463 ton pada tahun 1962 menjadi 23.333.886 ton pada tahun 2012 dengan peningkatan produksi rata-rata sebesar 3,8 persen per tahun (FAO 2014) (Gambar 1).

Sumber : FAO (2014)

Gambar 1 Produksi Nanas Segar Dunia Tahun 1962 – 2012

(16)

Sumber : FAO (2014)

Gambar 2 Pangsa Produksi Nanas Segar Dunia Tahun 2012

Seperti buah tropis lainnya, nanas banyak diproduksi di negara berkembang terutama di beberapa negara di Benua Asia, Afrika dan Amerika. Pada tahun 2012, Nigeria merupakan negara dengan luas panen nanas terbesar yaitu 180.000 ha (17 persen dari total luas panen nanas dunia) dengan pangsa produksi sebesar 5,74 persen. Thailand berada diurutan kedua dengan luas panen sebesar 105.000 ha (9,93 persen dari total luas panen nanas dunia) dengan pangsa produksi sebesar 10,7 persen. Indonesia menduduki urutan ke-17 luas panen terbesar seluas 14.700 ha (1,35 persen dari luas panen nanas dunia) dengan pangsa produksi sebesar 7,2 persen (Gambar 3) (FAO 2014).

Sumber : FAO (2014)

(17)

Permintaan nanas segar telah meningkat pesat beberapa tahun terakhir (Kleemann dan Effenberger 2010), menyebabkan komoditas nanas semakin potensial untuk dikembangkan. Data produksi 50 tahun terakhir juga menunjukkan produksi nanas Indonesia memiliki kecenderungan meningkat. Hal tersebut sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan masyarakat, semakin tingginya kesadaran penduduk akan nilai gizi dari buahan, serta bertambahnya permintaan bahan baku industri pengolahan buah-buahan (Syahza et al. 2008). Di masa mendatang akan terjadi perubahan permintaan buah-buahan seperti buah tropis organik, buah yang diproses minimal yang masih memiliki cita rasa asli buah tropis dan permintaan produk baru dari buah-buahan sebagai obat, minuman kesehatan dan bahan kosmetik (Departemen Perindustrian 2009).

Selain untuk dikonsumsi segar, komoditas nanas dapat diolah menjadi bahan baku utama dan pendukung dalam berbagai industri pengolahan diantaranya meliputi industri pengolahan dan pengawetan dalam kaleng, roti dan kue, pelumatan buah, manisan buah, pembekuan buah, kerupuk dan sejenisnya serta minuman ringan dan sirop (BPS 2012). Industri tersebut dilaksanakan untuk meningkatkan nilai tambah, memperdalam struktur industri dan memperluas kesempatan berusaha serta penyerapan tenaga kerja (Latief 2006). Pengolahan nanas selain akan meningkatkan kualitas maupun nilai ekonomis nanas, juga dapat memperpanjang umur buah (yang semula hanya 1-2 hari dapat diperpanjang hingga 9-12 bulan). Produk olahan nanas memiliki pangsa pasar yang cukup luas, baik untuk ekspor maupun pasar domestik (Dumaria 2003).

Sumber : www.bps.go.id

Gambar 4 Nilai Ekspor Komoditas Buah Indonesia Tahun 2007 – 2011 (dalam USD)

(18)

persen). Pada tahun 2012, komoditas nanas termasuk nanas olahan menyumbang nilai ekspor terbesar dengan nilai ekspor sebesar USD 190,5 juta dengan pangsa ekspor sebesar 78,6 persen terhadap total ekspor buah Indonesia. Selain melakukan ekspor, Indonesia juga mengimpor nanas segar dari negara Australia, Malaysia, Filipina dan Thailand (Gambar 5). Pada tahun 2010 Indonesia mengimpor nanas segar dari Malaysia sebesar 69,07 persen, Filipina sebesar 18,44 persen, Australia sebesar 10,26 persen dan Thailand sebesar 2,24 persen. Namun pada tahun 2011, mayoritas impor nanas Indonesia dari negara Filipina sebesar 71,16 persen, impor dari Australia meningkat menjadi 14,51 persen sedangkan Malaysia menurun menjadi 14,32 persen.

Sumber : FAO (2014)

Gambar 5 Nilai Impor Nanas Segar Indonesia Tahun 2010-2011 (dalam USD)

Komoditas nanas di Indonesia merupakan komoditas buah nomor tiga terbesar dari sisi produksi setelah komoditas pisang dan mangga dengan pangsa produksi dan volume produksi sebesar 9,9 persen dan 1.781.899 ton pada tahun 2012 (BPS 2014) (Gambar 6). Produksi nanas Indonesia memiliki tren meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar 11 persen per tahun pada periode 1962 – 2012 (FAO 2014).

Sumber : BPS (2014)

(19)

Luas panen, produksi, dan produktivitas nanas di Indonesia selama beberapa tahun terakhir bervariasi namun mempunyai tren yang meningkat. Walaupun dikembangkan pada agroekosistem yang relatif sama, produktivitas yang dicapai oleh setiap propinsi ternyata cukup beragam. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan intensitas pengelolaan antar sentra produksi yang tercermin dari perbedaan kualitas dan atau kuantitas masukan yang digunakan.

Budidaya nanas di Indonesia tersebar hampir di seluruh propinsi dengan produksi tahun 2012 terbesar terdapat di propinsi Lampung (33,47 persen), Sumatera Utara (14,98 persen), Jawa Timur (11,2 persen) dan Jawa Barat (9,97 persen) (Gambar 7). Dari lima tahun terakhir terlihat kecenderungan meningkatnya propinsi penghasil nanas segar di Indonesia selain propinsi Lampung, Jawa Barat, Sumatera Utara dan Jawa Timur dari 19,42 persen pada tahun 2008 menjadi 30,35 persen pada tahun 2012 (BPS 2014).

Sumber : www.bps.go.id

Gambar 7 Propinsi Produsen Nanas Indonesia Tahun 2008-2012

(20)

petani-pembeli, terbatasnya modal, penyakit pada tumbuhan, membeli sendiri input produksinya dan menjual kepada pembeli mana saja yang berminat (Achaw 2010 dan Abbam 2009).

Adanya industri pengolahan nanas di Indonesia merupakan peluang untuk meningkatkan produksi nanas. Walaupun komoditas nanas tergolong mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, namun komoditas nanas menuntut pengelolaan usahatani secara intensif dan memiliki karakteristik mudah rusak (perishable) sehingga dapat berdampak terhadap produksi dan pendapatan petani.

Bakhsh et al. (2006) menyatakan bahwa ada tiga kemungkinan cara untuk meningkatkan produksi yaitu menambah luas lahan, mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru serta menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih efisien. Peningkatan produksi nanas melalui penambahan luas lahan sepertinya lebih sulit dilakukan karena dengan pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan konversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman dan industri. Akhirnya peningkatan produksi nanas hanya dapat dilakukan melalui dua kemungkinan cara yaitu mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru dan menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih efisien.

Narala dan Zala (2010) menyatakan bahwa peningkatan efisiensi produksi dapat meningkatkan pencapaian output potensial di tingkat petani. Peningkatan nilai efisiensi teknis merupakan sumber potensial dari pertumbuhan produktivitas dan menjadi kunci untuk dapat memenuhi pertumbuhan permintaan produk pertanian di masa yang akan datang. Peningkatan efisiensi tidak saja meningkatkan produksi nanas seperti yang ditemukan oleh Bakhsh et al. (2006) dan Nahraeni (2012), tetapi juga dapat menekan biaya usahatani sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani (Ogundari dan Ojo 2007). Biaya rata-rata produsen yang menurun dapat meningkatkan produksi outputnya sehingga dapat mempertajam keunggulan kompetitif (Krugman et al. 2009). Produksi nanas yang tinggi akan mengurangi biaya produksi (economies of scale) sehingga harga nanas Indonesia dapat lebih murah di pasar internasional dan dapat bersaing dengan nanas ekspor dari negara lain.

(21)

Penelitian-penelitian tentang efisiensi pada usahatani komoditas hortikultura dapat dikatakan sangat terbatas di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian tentang efisiensi dan faktor-faktor yang menjadi sumber inefisiensi produksi nanas dengan studi kasus di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat perlu diuji secara empiris.

Perumusan Masalah

Nanas merupakan salah satu komoditas buah tropis dengan permintaan ekspor cukup tinggi dengan nilai ekspor yang berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan tren yang meningkat di Indonesia. Kendala yang diduga dihadapi dalam budidaya dan pemasaran nenas di Indonesia antara lain : (1) lemahnya daya saing, masih rendahnya kualitas dan kuantitas buah nenas, (2) rendahnya minat perusahaan yang bergerak konsisten di bidang pemuliaan tanaman, (3) minimnya konsep dan pengembangan teknologi aplikatif mulai dari produksi sampai pasca panen, dan (4) selera pasar yang berbeda terhadap beberapa varietas nenas yang ada. Hambatan lain dalam ekspor nenas ke pasar internasional antara lain biaya transportasi yang sangat mahal, padahal untuk buah-buahan segar membutuhkan proses distribusi yang cepat untuk menjaga kualitas buah. Kualitas buah yang tidak memenuhi standar juga menjadi salah satu masalah penting yang menjadikan nanas segar asal Indonesia saat ini tidak bisa memenuhi permintaan ekspor nenas dunia yang semakin tinggi.

Secara umum permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan usahatani nanas skala kecil di dunia yaitu cepat rusaknya nanas pasca panen, penggunaaan pupuk yang tidak memadai dan harga pupuk yang tinggi, rendahnya harga jual dan terbatasnya saluran pemasaran, sulitnya pembebasan lahan untuk memperluas usahata nanas, hama dan penyakit tanaman serta tidak memadainya penggunaan bahan kimia pertanian yang diperlukan karena tingginya harga bahan kimia pertanian tersebut (Onaiwu 2011). Sedangkan permasalahan yang dihadapi khusus di sentra-sentra produksi nanas di Indonesia adalah belum terwujudnya ragam, kuantitas, kualitas dan kesinambungan pasokan yang sesuai dengan permintaan pasar dan preferensi konsumen. Hal tersebut berkaitan dengan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut : (1) Pola pemilikan lahan yang sempit dan tersebar; (2) Sistem usahatani yang kurang intensif karena lemahnya permodalan petani; (3) Stagnasi teknologi budidaya yang tersedia; dan (4) Harga produk nanas yang fluktuatif, bahkan dalam jangka pendek sekalipun.

(22)

pekarangan rumah dan tegalan dengan menggunakan input produksi dan teknologi yang terbatas. Pada umumnya kondisi kepemilikan lahan nanas per petani di Kabupaten Subang masih relatif sempit dengan bentuk kebun rata-rata belum sehamparan dan letaknya terpencar. Skala usaha yang kecil dan tersebar tersebut menyebabkan beragamnya produk yang dihasilkan.

Produktivitas yang dihasilkan petani nanas di Kabupaten Subang masih berkisar 25-35 ton per hektar, namun apabila teknologi budidaya dilakukan dengan baik dan sesuai panduan GAP (Good Agricultural Practices), maka produktivitas nanas dapat meningkat hingga 50-60 ton per hektar. Rendahnya produktivitas juga dapat disebabkan bibit yang digunakan petani masih mengandalkan benih yang berasal dari anakan pertanaman nanas yang ada dan usia tanaman yang dibudidayakan sebagian besar berumur diatas 10 tahun. Agar tanaman dapat berproduksi tinggi dengan kualitas yang terjamin, perlu dilakukan pembongkaran tanaman setelah empat sampai lima tahun dan menggantinya dengan tanaman yang baru yang berasal dari bibit yang berkualitas. Penggunaan pupuk oleh petani sebagian besar tidak sesuai dosis anjuran. Pada umumnya pemupukan yang dilakukan petani adalah : (1) pupuk kandang sebanyak 20 ton/hektar serta (2) pupuk kimia : 300 kg/hektar urea, 200 kg/hektar TSP dan 150 kg/hektar KCL. Sedangkan petani yang menerapkan cara budidaya yang lebih intensif melakukan pemupukandengan dosis : (1) pupuk kandang sebanyak 30 ton/hektar serta (2) pupuk kimia : 500 kg/hektar urea, 400 kg/hektar TSP dan 100 kg/hektar KCL. Namun karena keterbatasan modal, sebagian petani tidak melakukan pemupukan secara lengkap sehingga produktivitasnya rendah. Penyiraman nanas oleh petani hanya mengandalkan air hujan karena sumber air yang jauh dari kebun sehingga produktivitasnya rendah. Berbagai faktor tersebut di atas yang menyebabkan rendahnya produktivitas nanas petani, akan menyebabkan rendahnya penghasilan yang diterima petani.

Tajerin dan Noor (2005) berpendapat bahwa mengkaji persoalan produktivitas sebenarnya adalah mengkaji masalah efisiensi teknis karena ukuran produktivitas pada hakekatnya menunjukkan seberapa besar keluaran (output) dapat dihasilkan per unit input tertentu (input). Pada usahatani nanas, tingkat efisiensi teknis dipengaruhi oleh kombinasi penggunaan input-input pada produksi nanas. Kemampuan petani dalam mengelola dan mengalokasikan berbagai input yang digunakan dalam usahatani nanas berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas nanas serta dapat memberikan gambaran mengenai tingkat efisiensi yang dicapai oleh petani. Selain itu, faktor sosial ekonomi (seperti umur, pendidikan formal, pengalaman usahatani, jumlah anggota keluarga) juga berpengaruh terhadap efisiensi teknis usahatani nanas.

(23)

digunakan sederhana dan tidak memerlukan biaya besar, tetapi harus memenuhi persyaratan mutu yang sudah ditetapkan sesuai dengan jenis produknya. Skala industri ini sangat cocok untuk diterapkan pada masyarakat di pedesaan yang bermukim di sekitar sentra produksi nanas, karena dapat membantu perekonomian rumah tangga. Sedangkan untuk skala besar, biaya yang dibutuhkan lebih besar dan jenis produk olahannya yang sudah dilakukan di Indonesia seperti nanas kaleng. Di samping membuat pabrik pengolahan, industri ini juga harus mendirikan pabrik kemasan kalengnya, dengan demikian biaya yang dibutuhkan lebih tinggi (Yanti 2005). Tabel 1 menunjukkan jumlah perusahaan kategori industri besar dan sedang dengan indikator jumlah tenaga kerja di atas 20 orang yang bergerak dalam pengolahan nanas di Indonesia pada tahun 2005-2010 dengan jumlah total industri yang cenderung terus menurun. Walau demikian, jumlah penggunaan bahan baku nanas segar dalam industri besar dan sedang tersebut mengalami peningkatan dari 4,52 persen pada tahun 2009 menjadi 5,36 persen pada tahun 2010. Beberapa industri pengolahan nanas yang akhirnya tidak dapat dilanjutkan produksi dan usahanya dikarenakan berbagai kendala.

Tabel 1 Jumlah Industri Besar dan Sedang Pengolahan Nanas di Indonesia Tahun 2005-2010

No Propinsi Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 Sumatera Utara 1 1 10 7 4 3

2 Sumatera Barat 1 1 0 1 0 0

3 Riau 2 2 1 1 1 1

4 Jambi 1 1 1 0 0 0

5 Sumatera Selatan 1 1 0 2 1 1

6 Lampung 3 3 1 2 2 2

7 DKI Jakarta 4 4 4 3 2 1

8 Jawa Barat 9 9 19 16 15 14

9 Jawa Tengah 3 3 1 1 2 2

10 DI Yogyakarta 0 0 0 0 1 0

11 Jawa Timur 5 5 4 3 3 5

12 Banten 1 1 2 2 2 3

13 Bali 0 0 1 1 0 0

14 NTB 0 0 0 0 1 0

15 Kalimantan Timur 1 1 1 1 1 1

16 Sulawesi Selatan 0 0 0 2 1 0

17 Maluku 0 0 0 1 0 0

Jumlah 32 32 45 43 36 33

Sumber : BPS (2012)

(24)

harga yang kompetitif dan produk berkualitas bagi konsumen. Propinsi Jawa Barat memiliki industri pengolahan nanas skala besar dan sedang dengan jumlah yang terus menurun. Beberapa industri pengolahan nanas di Indonesia terpaksa menghentikan operasi akibat tidak menentunya pasok bahan baku nanas segar dari petani setempat (CIC 2000). Kerugian efisiensi dalam produksi nanas, baik yang disebabkan oleh inefisiensi teknis atau alokatif petani, dapat berpengaruh kepada kesejahteraan petani. Faktor-faktor apa saja yang menjadi sumber inefisiensi teknis, alokatif dan ekonomi usahatani nanas perlu diuji secara empiris di lapangan.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas pentingnya komoditas nanas sebagai bahan baku utama dalam pengembangan industri nanas di indonesia. Penelitian ini dimotivasi oleh perlunya sebuah pengetahuan dasar tentang kondisi efisiensi produksi nanas di Indonesia di tingkat petani. Untuk dapat melihat perkembangan ke depan ada beberapa pertanyaan pokok berkaitan dengan peningkatan produksi nanas yaitu pertama, bagaimana efisiensi produksi petani nanas di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat? Serta kedua, faktor inefisiensi produksi serta kebijakan apa yang perlu mendapat perhatian agar produksi nanas dapat lebih ditingkatkan.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka secara umum tujuan penelitian ini adalah mengkaji efisiensi produksi nanas di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Secara spesifik tujuannya adalah : 1. Menganalisis efisiensi teknis petani nanas di Kabupaten Subang dengan

pendekatan parametrik dan non parametrik.

2. Menganalisis efisiensi alokatif dan ekonomi petani nanas di Kabupaten Subang dengan pendekatan non parametrik.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi inefisiensi alokatif dan ekonomi petani nanas di Kabupaten Subang serta penyebab terjadinya inefisiensi serta implikasi kebijakan dalam rangka meningkatkan efisiensi produksi nanas di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat.

(25)

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Lingkup penelitian ini terbatas pada petani yang mengusahakan tanaman nanas yang berlokasi di Kabupaten Subang yang merupakan sentra produksi nanas terbesar di Propinsi Jawa Barat yang cenderung mengalami penurunan produktivitas dari tahun ke tahun. Petani yang dijadikan responden adalah petani yang menanam nanas untuk dapat melihat tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi dengan menggunakan data cross section.

Pada analisis efisiensi teknis dilakukan dengan pendekatan parametrik dan non parametrik untuk mengetahui kondisi efisiensi teknis petani nanas dengan metode SFA dan DEA. Selanjutnya untuk analisis efisiensi alokatif dan ekonomi akan dilakukan dengan pendekatan non parametrik.

Kebaharuan Penelitian

Penelitian tentang efisiensi produksi nanas di Indonesia masih sangat terbatas. Studi tentang efisiensi telah banyak dilakukan dengan sebagian besar subjek penelitian adalah efisiensi untuk usahatani padi dan beberapa komoditas lainnya dengan menggunakan pendekatan paramaterik, sedangkan pendekatan non parametrik untuk komoditas hortikultura khususnya nanas masih belum ditemukan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan parametrik (metode Stochastic Frontier Analysis) dan non parametrik (Data Envelopment Analysis).

2 TINJAUAN PUSTAKA

Efisiensi Produksi

(26)

terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rumahtangga tani (Weesink et al. 1990).

Farrell (1957) mengemukakan bahwa efisiensi produksi terdiri dari komponen teknis dan alokatif. Efisiensi teknis (technical efficiency/TE) merupakan kemampuan suatu unit usaha untuk dapat berproduksi sepanjang kurva isokuan yaitu menghasilkan output seoptimal mungkin dengan kombinasi input dan teknologi yang tertentu. Efisiensi alokatif (allocative efficiency/AE) merefleksikan kemampuan suatu unit usaha menggunakan input dalam proporsi yang optimal, sesuai dengan harganya masing-masing dan teknologi produksi. Kedua pengukuran ini kemudian digabungkan untuk mengukur total efisiensi ekonomi.

Efisiensi Teknis (TE)

Efisiensi teknis merupakan kemampuan untuk menghindari pemborosan dengan memproduksi output sebanyak mungkin dengan input dan teknologi yang ada atau dengan menggunakan input yang lebih sedikit dengan teknologi yang sama akan menghasilkan output yang sama. Sehingga efisiensi teknis merupakan menggunakan input seminimal mungkin atau menghasilkan output sebanyak mungkin. Produsen secara teknis akan efisien apabila peningkatan outputnya didapatkan melalui pengurangan setidaknya satu output lainnya atau peningkatan setidaknya satu input serta bila penurunan suatu inputnya didapatkan melalui peningkatan satu input lainnya atau penurunan setidaknya satu output. Oleh karena itu, produsen yang secara teknis efisien akan mampu memproduksi output yang sama dengan setidaknya satu input yang lebih sedikit atau atau dengan menggunakan input yang sama akan mampu memproduksi setidaknya satu output yang lebih banyak.

Efisiensi teknis berhubungan dengan kemampuan suatu perusahaan untuk berproduksi pada kurva frontier isokuan. Kumbhakar (2002) menyatakan bahwa efisiensi teknis menunjuk pada kemampuan untuk meminimalisasi penggunaan input dalam produksi sebuah vektor output tertentu atau kemampuan untuk mencapai output maksimum dari suatu vektor input tertentu. Seorang petani secara teknis dikatakan lebih efisien dibandingkan dengan petani lainnya jika dengan penggunaan jenis dan jumlah input yang sama menghasilkan output secara fisik yang lebih tinggi.

Efisiensi teknis diasosiasikan dengan tujuan prilaku untuk memaksimalkan output (Battese dan Coelli 1995). Petani disebut efisien secara teknis apabila telah berproduksi pada tingkat batas produksinya dimana hal ini tidak selalu dapat diraih karena berbagai faktor seperti cuaca yang buruk, adanya binatang yang merusak atau faktor-faktor lain yang menyebabkan produksi berada di bawah batas yang diharapkan (Battese dan Coelli 1995).

Efisiensi Alokatif (AE)

(27)

sama sehingga dapat memaksimalkan keuntungan. Efisiensi alokatif merupakan rasio antara total biaya produksi suatu output menggunakan faktor aktual dengan total biaya produksi suatu output menggunakan faktor optimal dengan kondisi efisien secara teknis.

Karena efisiensi alokatif menekankan pada penggunaan input tertentu berdasarkan harganya, inefisiensi dapat membendung dari harga yang tidak diobservasi, dari harga yang diterima tidak benar atau dari kurang akurat dan tepatnya waktu informasi.

Efisiensi Ekonomi (EE)

Efisiensi ekonomi terdiri dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Efisiensi teknis mengacu kepada upaya menghindari pemborosan baik dikarenakan memproduksi output sebanyak mungkin dengan penggunaan teknologi dan input tersedia atau mengunakan input seminimal mungkin yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu output. Efisiensi teknis untuk itu dapat dilihat dari sisi meminimalkan input dan meningkatkan output. Produsen yang efisien secara teknis dapat memproduksi sejumlah output yang sama dengan menggunakan setidaknya salah satu input yang lebih sedikit atau dapat menggunakan input yang sama untuk memproduksi setidaknya salah satu output yang lebih banyak. Pengukuran efisiensi teknis penting karena dapat mengurangi biaya produksi dan membuat produsen lebih kompetitif (Alvarez dan Arias 2004).

Efisiensi alokatif dapat mengukur kemampuan suatu produsen untuk memilih kombinasi input yang dapat meminimisasi biaya dengan teknologi yang tersedia. Karena efisiensi alokatif mengimplikasikan substitusi atau penggunaan suatu input secara intensif berdasarkan harga input, inefisiensi dapat timbul dari harga-harga yang tidak diteliti, dari harga yang dirasa tidak tepat atau dari informasi yang kurang akurat dan tepat.

Efisiensi ekonomi dapat diukur dengan kriteria keuntungan maksimum yaitu menggunakan input secara optimal untuk menghasilkan output maksimal dengan biaya tertentu dan kriteria biaya minimum yaitu dengan meminimumkan biaya dengan jumlah output tertentu.

Konsep Pengukuran Efisiensi

(28)

Gambar 8 dan 9 menggambarkan pengukuran efisiensi dengan orientasi input dan output.

Sumber : Farrell (1957)

Gambar 8 Efisiensi Teknis dan Alokatif dengan Orientasi Input

Misalnya kondisi suatu usaha yang memiliki dua input produksi yaitu X1 dan X2 untuk menghasilkan dua output yaitu Y1 dan Y2, dengan asumsi Constant Returns to Scale (CRS). Pada orientasi input, misalkan perusahaan berproduksi dengan output Y1 dan Y2 menggunakan kombinasi input pada titik A. Output yang sama dapat dihasilkan dengan kombinasi input pada titik B yang terletak di garis isokuan. Titik B menunjukkan bahwa produsen menghasilkan output yang sama seperti titik A dengan menggunakan jumlah input yang lebih sedikit. Efisiensi teknis (TE) dengan orientasi input didapatkan melalui rasio OB/OA. Namun kombinasi input yang paling minimum dengan output yang sama dapat juga dicapai pada titik C (dimana marginal rate of technical subtitution sama dengan rasio harga input w2/w1). Titik B adalah efisien secara tenis tapi tidak efisien secara alokatif, karena produsen B memproduksi dengan biaya lebih tinggi dibandingkan C. Efisiensi alokatif (AE) untuk produsen yang berproduksi di A adalah adalah OD/OB dimana DB menggambarkan pengurangan dalam biaya produksi yang terjadi bila produksi terjadi di titik C yang efisien secara teknis dan alokatif. Efisiensi ekonomi (EE) didapatkan melalui perkalian efisiensi teknis dengan alokatif sebagai berikut : EE = TE x AE = OB/OA x OD/OB = OD/OA. Nilai efisiensi berada diantara nol dan satu. Produsen efisien secara penuh apabila nilai efisiensinya sama dengan satu.

(29)

pendapatan yang lebih tinggi dapat dicapai pada apabila berproduksi pada titik C (titik dimana marginal rate of transformation sama dengan rasio harga p2/p1) sehingga Y1 akan diproduksi lebih banyak dan Y2 akan diproduksi lebih sedikit untuk memaksimalkan pendapatan. Untuk mendapatkan pendapatan yang sama dengan titik C dengan kombinasi input dan output yang sama, maka perusahaan perlu meningkatkan output menjadi titik D. Sehingga efisiensi alokatif adalah OB/OD. Efisiensi ekonomi dapat diukur dengan cara yag sama pada orientasi input sehingga dihasilkan OA/OD (Coelli et al. 1998). Nilai efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi bervariasi antara 0 dan 1, jika nilai efisiensinya sama dengan satu menunjukkan petani telah efisien secara teknis, alokatif atau ekonomi.

Sumber : Farrell (1957)

Gambar 9 Efisiensi Teknis dan Alokatif dengan Orientasi Output

Pendekatan Pengukuran Efisiensi

Pengukuran efisiensi produksi penting dilakukan dengan alasan sebagai berikut : (a) sebagai dasar para pengambil kebijakan ekonomi, (b) jika alasan teoritis efisiensi relatif dari berbagai sistem ekonomi harus diuji, maka penting untuk melakukan pengukuran efisiensi aktual, serta (c) untuk dapat meningkatkan output tanpa menyerap sumberdaya tambahan atau meningkatkan efisiensinya (Farrell 1957). Pengukuran efisiensi dilakukan dengan membandingkan kinerja aktual dengan kinerja optimal pada batas/frontier yang relevan. Karena batas sebenarnya tidak diketahui, maka perkiraan empiris diperlukan. Perkiraan tersebut normalnya disebut batas best practice yang dapat dilaksanakan menggunakan pendekatan parametrik atau non parametrik. Kedua teknik ini menekankan optimalisasi perilaku subjek terhadap kendala-kendalanya.

(30)

Free Disposal Hull, SFA (Stochastic Frontier Analysis) dan Thick Frontier Approach (Berger dan Humphrey 1997). Perbedaan keempat metode ini terletak pada perbedaan asumsi yang terdiri dari bentuk fungsi batas/frontier (dapat berbentuk fungsi parametrik atau nonparametrik) serta melihat apakah random error dimasukkan. Apabila terdapat kesalahan acak, kemungkinan distribusi apa yang diasumsikan untuk nilai efisiensinya.

Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan teknik non parametrik yang dibuat dari fungsi linear piece-wise dari input dan output yang diteliti tanpa asumsi perlunya fungsi yang menghubungkan input dan output sebelumnya. Metode non parametrik lainnya adalah Free Disposal Hull (FDH) dimana nilai efisiensi rata-ratanya biasanya lebih tinggi dari metode DEA. Kedua metode ini memungkinkan variasi efisiensi antar waktu dan tidak memerlukan bentuk fungsi apapun untuk distribusi nilai inefisiensi. Pengujian hipotesis tidak dimungkinkan dan kedua metode ini tidak terdapat multikolinearitas dan heteroskedasitas.

Stochastic Frontier Approach (SFA) menggunakan pendekatan ekonometrik yang memerlukan fungsi biaya, profit atau produksi yang menghubungkan antara input, output dan faktor-faktor yang berpengaruh serta memungkinkan untuk kesalahan acak.

Pendekatan Non Parametrik

Charnes et al. (1978) mengembangkan metode DEA (Data Envelopment Analysis) dengan menggunakan linear programing yang membandingkan inefisiensi perusahaan dengan yang best practice pada kelompok yang sama dengan asumsi Constant Returns to Scale (CRS). Banker et al. (1984) menambahkan kendala ke dalam model Charnes yang merefleksikan Variable Returns to Scale (VRS).

Metode DEA telah banyak digunakan dalam penelitian efisiensi dalam berbagai sektor ekonomi. DEA tidak memerlukan suatu spesifikasi fungsi untuk frontier produksi serta menghindari asumsi distribusi dari inefisiensi, dapat digunakan untuk input dan output lebih dari satu (multiple), dapat mengidentifikasi kombinasiterbaik dari setiap unit pengambil keputusan (decision making unit/DMU) atau perusahaan (Coelli et al. 1998 dan Headey et al. 2010). Metode DEA memungkinkan adanya DMU dengan nilai efisiensi 1 serta dapat melihat sumber inefisiensi dengan ukuran peningkatan potensial dari masing-masing input dan output (Endri 2011). Metode DEA diestimasi dengan menggunakan program DEAP Versi 2.1 (Coelli et al. 1998).

Pendekatan ini membangun sebuah fungsi linier piece-wise dari pengamatan output dan input secara empirik, tanpa mengasumsikan adanya sebuah fungsi sebelumnya yang melihat hubungan antara input dan output. Pengujian hipotesis tidak dimungkinkan dan metode ini tidak mengalami multikolinearitas dan heteroskedasitas.

(31)

efisiensi yang lebih besar dari DEA. Kedua pendekatan ini memungkinkan adanya variasi efisiensi dari waktu ke waktu dan tidak memerlukan adanya bentuk fungsi persamaan sebelumnya untuk mendistribusikan nilai inefisiensinya.

Pendekatan Parametrik

Fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi saat output maksimum tercapai dari setiap input yang digunakan (Coelli et al. 1998). Apabila suatu kegiatan produksi berada pada titik fungsi produksi frontier, maka produksi tersebut telah efisien secara teknis. Estimasi inefisiensi teknis didapatkan melalui selisih posisi aktual relatif terhadap frontier-nya. Pengukuran fungsi produksi frontier dibedakan atas empat cara yaitu: frontier dan non frontier. Pendekatan non frontier terdiri dari dua metode yaitu: (1) fungsi produksi, dan (2) fungsi keuntungan. Sedangkan pendekatan frontier adalah: (1) determinstic non parametric frontier, (2) deterministic parametric frontier, (3) deterministic statistical frontier, dan (4) stochastic statistical frontier (stochastic frontier).

Bentuk pendekatan parametrik lainnya adalah DFA (Distributional-Free Approach) yang juga memerlukan persamaan untuk frontier-nya. Perbedaannya terletak pada asumsi bahwa efisiensi dari setiap produsen adalah stabil dari waktu ke waktu, dimana error acak cenderung rata-rata ke nol dari waktu ke waktu.

Thick Frontier Approach (TFA) memerlukan bentuk fungsi persamaan dan mengasumsikan bahwa penyimpangan dari nilai kinerja dari yang tertinggi ke terendah kuartil observasi (dibagi berdasarkan ukuran kelas) merepresentasikan random error, sementara penyimpangan dalam memprediksi kinerja antara kuartil tertinggi dan terendah menggambarkan inefisiensi (Berger and Humphrey 1997). Metode Parametrik rentan terhadap kesalahan spesifikasi. Namun keuntungannya adalah dimungkinkan pengujian hipotesis.

Pendekatan parametrik yang banyak digunakan dalam penelitian efisiensi adalah Stochastic Frontier Analysis (SFA) dengan menggunakan fungsi produksi frontier Cobb Douglass atau translog. SFA mengacu kepada pendekatan ekonometrik frontier, dimana memerlukan bentuk persamaan untuk biaya, profit atau hubungan antara output input dan faktor lingkungan serta memungkinkan adanya error acak.

Menurut Aigner et al. (1977), fungsi stochastic frontier merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek yang tidak terduga (stochastic frontier) di dalam batas produksi. Dalam fungsi produksi ini ditambahkan random error, vi,ke dalam variabel acak non negatif (non-negative

random variable), ui, seperti dinyatakan dalam persamaan berikut :

Y = Xiβ + (vi - ui); dimana i = 1, 2, ...,N (1)

Random error, vi, berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor

(32)

Output observasi Yi

xi xj

normal (idependent-identically distributed/iid) dengan rataan bernilai nol dan ragamnya konstan σ2v atau N(0, σ2v). Variabel ui diasumsikan iid eksponensial

atau variabel acak setengah normal (half-normal variables). Variabel ui berfungsi

untuk menangkap efek inefisiensi.

Persamaan (1) merupakan fungsi produksi stochastic frontier karena nilai output dibatasi oleh variabel acak yaitu nilai harapan dari xi + vi atau exp(xi +

vi). Random error dapat bernilai positif atau negatif demikian pula output

stochastic frontier bervariasi sekitar bagian tertentu dari model deterministik frontier, exp(xi ). Komponen deterministik dari model frontier, y = exp(xi ),

mengasumsikan bahwa berlaku hukum diminishing return to scale. Apabila petani menghasilkan output aktual dibawah produksi deterministik frontier, tetapi output stokastik frontirnya melampaui dari output deterministiknya, maka aktivitas produksi petani tersebut dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan dimana variabel vi bernilai positif. Apabila petani menghasilkan output aktual di bawah

produksi deterministik frontir dan output stokastik frontirnya juga berada dibawah output deterministiknya maka hal tersebut dapat terjadi karena aktivitas produksi petani tersebut dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan dimana nilai vi negatif. Struktur dasar dari model stochastic frontier pada persamaan (1)

dijabarkan pada Gambar 10.

Sumber : Coelli et al. (1998)

Gambar 10 Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Misalkan ada dua petani dengan aktivitas produksi dari dua petani diwakili oleh simbol i dan j. Petani i menggunakan input x sebesar xi dan menghasilkan

output sebesar yi. Akan tetapi output batas dari petani i adalah yi* yang

y

x Output observasi Yj yj

yi

Y = f (x, )

Output batas (Yj*) Y = f (xj, ) exp(vj), Jika vj 0

(33)

melampaui nilai pada bagian yang pasti dari fungsi produksi yaitu f (xi; ). Hal ini bisa terjadi karena aktivitas produksi dari petani i dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan dimana variabel vi bernilai positif. Kemudian untuk petani j yang

menggunakan input sebesar xj dan memperoleh hasil sebesar yj, akan tetapi hasil

batas dari petani j adalah yj* yang berada di bawah bagian yang pasti dari fungsi

produksi. Kondisi ini dapat terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan, dimana vj bernilai negatif. Hasil batas yang

tidak dapat diobservasi ini berada disekitar bagian yang pasti dari fungsi produksi yaitu f (xi; ). Pada kasus kedua tersebut, hasil produksi dicapai oleh petani j berada di bawah fungsi produksi f (xi; ).

Keunggulan pendekatan stochastic frontier adalah dilibatkannya disturbance term yang mewakili gangguan, kesalahan pengukuran dan kejutan eksogen yang berada di luar kontrol unit produksi atau di luar kontrol petani. Sedang kelemahan dari pendekatan ini adalah : (1) teknologi yang dianalisis harus digambarkan oleh struktur yang cukup rumit atau besar, (2) distribusi dari simpangan satu-sisi dispesifikasi sebelum mengestimasi model, (3) struktur tambahan harus dikenakan terhadap distribusi inefisiensi teknis, dan (4) sulit diterapkan untuk usahatani yang memiliki lebih dari satu output.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Efisiensi Produksi

Berbagai studi telah dilakukan untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi produksi. Dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor konvensional dan faktor non konvensional. Faktor non konvensional menggambarkan dampak variabel makroekonomi seperti investasi umum dan variabel agroekologi. Faktor konvensional merupakan variabel pilihan tradisional dalam proses menentukan produksi suatu produsen. Menurut Frisvold and Ingram (1994), input konvensional termasuk intensitas tenaga kerja, penggunaan pupuk, penggunaan traktor dan ternak yang ada. Di sisi lain, input non konvensional termasuk kualitas lahan, irigasi, penelitian pertanian, ketersediaan kalori, ekspor pertanian dan ketidakstabilan. Deininger and Olinto (2000) mengidentifikasi pupuk, kepemilikan ternak, akses kredit, ketersediaan penyuluh, sumber daya manusia (umur, pendidikan dan jender), ukuran keluarga dan proporsi tanggungan sebagai variasi penjelas terhadap efisiensi produksi.

(34)

Penentuan sumber dari efisensi produksi dapat memberikan informasi tentang sumber-sumber potensial dari efisiensi, tetapi juga saran bagi kebijakan yang harus diterapkan atau dihilangkan untuk mencapai tingkat efisiensi total (Daryanto 2004). Pada Gambar 11 memperlihatkan faktor karakteristik manajerial dan struktural yang memengaruhi efisiensi usahatani. Faktor agen adalah karakteristik manajerial dari usahatani seperti umur, tingkat pendidikan, pengalaman dan lainnya. Faktor struktural diklasifikasikan ke dalam faktor on farm dan off farm. Contoh on farm adalah luas lahan, tipe usahatani (spesialisasi, diversifikasi), tipe organisasi (sewa, bagi hasil, kepemilikan), lokasi usahatani, dan faktor struktural lainnya adalah karakteristik lingkungan (seperti kualitas tanah, vegetasi, ketinggian tempat, iklim, temperatur, kemiringan lahan, dan curah hujan), faktor keuangan, dan teknologi. Kebijakan pemerintah adalah salah satu contoh faktor off farm.

Sumber : Van Passel et al. (2006)

Gambar 11 Faktor yang Memengaruhi Efisiensi

Petani dalam menjalankan tugasnya sehari-hari mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai kultivator atau tukang tani yang bertanggung jawab akan kehidupan tanaman dan ternak yang diusahakan (Yulistyani dan Winda 2012). Fungsi yang kedua adalah sebagai manajer usahatani yang dijalankan, yang bertanggung jawab dalam memanfaatkan segala aset dan sumberdaya yang dimiliki guna memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Kedua fungsi tersebut berkaitan satu sama lain. Sebagai manajer usahatani berperan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan usahataninya, merencanakan usahatani yang akan dilakukan dan memasarkan hasil usahataninya. Kualitas keputusan yang diambil petani baik sebelum mulai usahatani maupun setelah kegiatan usahatani

Faktor Agen Umur, pendidikan, pengalaman,

dll

Faktor Struktural

Faktor On farm Luas lahan, tipe usahatani,

lokasi,dll

(35)

dilakukan sangat penting dalam menentukan efisien tidaknya usahatani yang akan dilakukan.

Studi Terdahulu

Pendekatan Parametrik

Berbagai penelitian dalam komoditas pertanian untuk mengukur efisiensi telah dilakukan menggunakan pendekatan parametrik, mayoritas menggunakan model SFA. Khai dan Yabe (2011) melakukan analisis efisiensi teknis kepada 3.733 petani padi di Vietnam dengan menggunakan fungsi produksi dengan persamaan Cobb Douglass dengan rata-rata nilai efisiensi teknis petani sebesar 81,6 persen. Faktor-faktor inefisiensi teknis yang memengaruhi dianalisis dengan menggunakan regresi Tobit adalah rasio tenaga kerja dan lahan, pendidikan, pengalaman, jender, umur, jumlah anggota keluarga, suku bangsa, peningkatan hidup, kebijakan pertanian, pola tanam monokultur, irigasi serta pendapatan di luar sektor pertanian. Pada penelitian ini faktor yang terbukti paling positif dampaknya terhadap efisiensi teknis adalah penggunaan tenaga kerja yang lebih banyak, penggunaan irigasi dan pendidikan yang lebih tinggi, sementara kebijakan pertanian tidak terbukti membantu petani menjadi lebih efisien. Pola tanam monokultur terbukti positif dan signifikan meningkatkan efisiensi teknis petani padi. Penelitian efisiensi padi lainnya pernah dilakukan oleh Kebede (2001) di Nepal serta Narala dan Zala (2010) di India. SFA yang digunakan menghasilkan nilai efisiensi teknis rata-rata sebesar 71 persen di Nepal dan 72,78 persen di India. Keduanya melakukan regresi terhadap faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi teknis dengan faktor yang signifikan dan positif antara lain umur, pengalaman, pendidikan, luas dan kepemilikan lahan, sedangkan jumlah anggota keluarga berpengaruh negatif terhadap efisiensi teknisnya.

Douglas (2008) dan Kibaara (2005) melakukan penelitian efisiensi teknis komoditas jagung di Kenya dengan menggunakan pendekatan parametrik. Persamaan ekonometrik digunakan dengan persamaan Cobb Douglass sedangkan Kibaara (2005) membandingkan beberapa persamaan diantaranya translog, Cobb Douglass, kuadratik dan transcedental. Hasilnya menunjukkan petani jagung di Kenya masih tidak efisien dengan rata-rata nilai efisiensi teknis sebesar 58 persen untuk Douglas (2008) dan 49 persen untuk Kibaara (2005). Faktor-faktor yang dapat berpengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi teknis diantaranya adalah jumlah anggota keluarga, keanggotaan kelompok tani serta penggunaan bibit yang berkualitas, sementara umur petani yang lebih muda, pendidikan yang lebih tinggi dan pengalaman berdampak negatif terhadap efisiensi teknis petani padi di Kenya.

(36)

persen, menggambarkan kemungkinan peningkatan produktivitas jahe dengan mengadopsi teknologi yang lebih baik. Efisiensi teknik dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengalaman bertani sehingga perlu dilakukan edukasi terhadap petani untuk dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.

Manganga (2012) dengan persamaan translog stochasticfrontier melakukan penelitian terhadap 200 petani kentang di Malawi dengan hasil rata-rata nilai efisiensi teknis sebesar 83 persen serta menunjukkan pekerjaan diluar pertanian, pendidikan, pengalaman, spesialisasi berpengaruh positif terhadap efisiensi teknis.

Untuk komoditas nanas, Amarasuriya et al. (2007) telah melakukan penelitian di Sri Lanka menggunakan pendekatan parametrik dengan persamaan Cobb Douglass dan translog multiple linier terhadap 80 petani nanas. Hasil rata-rata efisien teknisnya adalah 85 persen. Efisiensi teknis dipengaruhi oleh musim, kepemilikan lahan, pengalaman, pekerjaan dan pendapatan diluar sektor pertanian.

Pendekatan Non Parametrik

Metode non parametrik untuk mengukur efisiensi telah banyak digunakan diberbagai negara. Murthy et al. (2009) meneliti petani tomat di India dengan menggunakan metode DEA dan regresi log linier untuk mengetahui faktor-faktor inefisiensi. Model CRS dan VRS yang digunakan menghasilkan nilai rata-rata efisiensi teknis adalah sebesar 77,67 persen dan 86,73 persen dengan efisiensi skala sebesar 89,31 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa masih potensialnya untuk meningkatkan output, produksi dan efisiensi melalui aplikasi input yang lebih banyak. Lahan dan tenaga kerja merupakan dua faktor penting yang berpengaruh terhadap efisiensi teknis petani.

Rios dan Shively (2005) meneliti petani kopi di Vietnam dengan membandingkan petani kecil dan besar dimana petani besar memiliki nilai efisiensi teknis yang lebih tinggi, yaitu sebesar 89 persen sementara petani kecil hanya sebesar 82 persen. Pendidikan yang lebih tinggi dapat menurunkan efisiensi teknis petani karena meningkatkan kesempatan bekerja di sektor selain pertanian sehingga dapat menurunkan potensi sumberdaya manusia yang dapat melakukan budidaya kopi. Petani gandum di India juga diteliti oleh Jha et al. (2000) dengan temuan petani dengan skala besar lebih efisien secara teknis dan alokatif dari petani kecil.

Idris et al. (2013) melakukan penelitian efisiensi teknis terhadap 124 petani nanas di Malaysia dengan menggunakan metode DEA dan regresi Tobit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas petani nanas masih sangat tidak efisien secara teknis dengan rata-rata nilai efisiensi teknis untuk metode CRS – DEA adalah sebesar 17,66 persen dan VRS – DEA sebesar 29,27 persen. Perlunya tenaga kontrak untuk membantu petani di lapangan, memperkuat asosiasi dan memperluas lahan budidaya nanas merupakan implikasi kebijakan yang dapat diterapkan untuk meningkat efisiensi teknis demi mencapai target produksinya.

(37)

inefisiensi. Model CRS dan VRS yang digunakan menghasilkan nilai rata-rata efisiensi teknis sebesar 77,67 persen dan 86,73 persen dengan efisiensi skala sebesar 89,31 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa petani masih potensial untuk meningkatkan output, produksi dan efisiensi melalui aplikasi input yang lebih banyak. Lahan dan tenaga kerja merupakan dua faktor penting yang berpengaruh terhadap inefisiensi teknis petani.

Rios dan Shively (2005) meneliti petani kopi di Vietnam dengan membandingkan petani kecil dan besar dimana petani besar memiliki nilai efisiensi teknis yang lebih tinggi, yaitu sebesar 89 persen sementara petani kecil hanya sebesar 82 persen. Pendidikan yang lebih tinggi dapat menurunkan efisiensi teknis petani karena meningkatkan kesempatan bekerja di sektor selain pertanian sehingga dapat menurunkan potensi sumberdaya manusia yang dapat melakukan budidaya kopi. Petani gandum di India juga diteliti oleh Jha et al. (2000) dengan temuan petani dengan skala besar lebih efisien secara teknis dan alokatif dari petani kecil.

Chiona (2011) melakukan penelitian efisiensi teknis dan alokatif terhadap petani jagung di Zambia dengan menggunakan metode DEA. Nilai rata-rata efisiensi teknis dan alokatif sebesar 15 dan 12 persen sehingga masih potensial untuk dapat meningkatkan output dengan input dan biaya yang tetap. Penggunaan pupuk dan bibit hibrida bersertifikasi secara positif dan signifikan dapat meningkatkan efisiensi teknis dan alokatif. Keaktifan dalam kegiatan pertanian dan pendidikan juga secara signifikan berpengaruh positif terhadap efisiensi teknis.

Pertanian terintegrasi antara sub sektor peternakan dan pertanian di Ethiopia juga telah dianalisis efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi dengan menggunakan metode DEA dan regresi Tobit (Mussa et al. 2012). Rata-rata nilai efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi adalah sebesar 74 persen, 68 persen dan 50 persen. Kepemilikan ternak secara signifikan dapat menurunkan inefisiensi teknis dan ekonomi. Hal ini disebabkan karena ternak dapat meningkatkan likuiditas aset para petani dan dijual untuk membeli input pertanian. Partisipasi petani pada kegiatan non pertanian juga dapat meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomi. Petani dengan jumlah anggota keluarga yang lebih besar dan menjadi anggota asosisasi cenderung inefisien secara ekonomi.

Watkins et al. (2013) mendapatkan nilai rata-rata efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi dari 137 petani padi di Arkansas adalah sebesar 89,9 persen, 69,6 persen dan 62,5 persen. Nilai efisiensi teknis yang dihasilkan lebih tinggi dari nilai efisiensi teknis padi di negara berkembang seperti di Malaysia sebesar 56 persen (Ismail et al. 2013), 72,6 persen di Vietnam (Minh dan Long 2009) serta 73 persen di India (Narala dan Zala 2010). Hal ini berimplikasi bahwa petani padi di Arkansas lebih efisien dalam menggunakan input yang lebih sedikit untuk menghasilkan output yang sama.

(38)

secara teknis dengan rata-rata nilai efisiensi teknis untuk model CRS sebesar 17,66 persen dan VRS sebesar 29,27 persen. Perlunya tenaga kontrak untuk membantu petani di lapangan, memperkuat asosiasi dan memperluas lahan budidaya nanas merupakan implikasi kebijakan yang dapat diterapkan untuk meningkat efisiensi teknis demi mencapai target produksinya. Amasuriya et al. (2007) juga melakukan penelitian efisiensi teknis komditas nanas di Sri Lanka dengan metode SFA dengan rata-rata nilai efisiensi teknis yang dihasilkan sebesar 85 persen. Luas lahan, tenaga kerja, pupuk dan kerapatan tanaman memiliki dampak positif dan signifikan terhadap produksi nanas. Untuk identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi inefisiensi teknis, variabel musim, kepemilikan lahan, pengalaman, pendapatan sektor non pertanian dan indeks kendala signifikan berpengaruh terhadap inefisiensi teknis komoditas nanas di lokasi penelitian.

Membandingkan Pendekatan Parametrik dan Non Parametrik

Berbagai peneliti mencoba membandingkan pendekatan parametrik dan non parametrik dalam mengukur efisiensi telah dilakukan untuk beragam komoditas pertanian. Ismail et al. (2013) meneliti 230 petani padi di Malaysia dengan membandingkan metode VRS – DEA dengan orientasi output dan translog stochastic funcion untuk mengestimasi efisiensi teknis. Hasilnya metode DEA lebih rendah dengan rata-rata nilai efisiensi teknisnya sebesar 56 persen, dan dengan SFA sebesar 69 persen. Analisis inefisiensi teknis dengan metode DEA menyatakan bahwa variabel perstisida, pengalaman dan pelatihan berpengaruh positif terhadap efisiensi yaitu peningkatan variabel tersebut akan meningkatkan efisiensi teknisnya. Sedangkan dengan metode SFA, tidak ada variabel yang dimasukkan ke dalam model yang berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknis. Rekomendasi penelitiannya menyatakan bahwa hasil estimasi efisiensi tidak dapat disimpulkan hanya dari satu metode saja karena akan menjadi kurang akurat.

Minh et al. (2009) melakukan penelitian di Vietnam untuk mengukur efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi dengan menggunakan metode DEA dengan orientasi input dan SFA dengan persamaan Cobb Douglass terhadap komoditas pertanian. Secara umum, efisiensi teknis dan ekonomi dengan pendekatan non parametrik lebih tinggi dibandingkan pendekatan parametrik yaitu nilai efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi dengan metode SFA adalah 66,3 persen, 80,52 persen dan 53,92 persen sedangkan dengan metode DEA didapatkan nilai efisiensi sebesar 46,88 persen, 90,35 persen dan 53,92 persen. Perbedaan hasil tersebut terkait dengan berbagai alasan diantaranya pemilihan variabel output dan input, metode pengukuran dan kesalahan dalam spesifikasinya. Hal ini sejalan dengan penelitian Kontodimopoulos et al. (2011) yang menyatakan bahwa DEA dan SFA memiliki kelebihan dan kekurangan yang unik dalam mengukur aspek efisiensi yang berbeda. Nilai efisiensi teknis metode DEA lebih rendah dibandingkan nilai rata-rata efisiensi SFA.

(39)

Anwar (2004). Penelitian tersebut tidak mampu menjelaskan mengapa terjadi perbedaan dalam pengukuran efisiensi diantara kedua metode tersebut.

Kerangka Konseptual

Komoditas hortikultura khususnya komoditas nanas merupakan komoditas yang penting karena merupakan salah satu penyumbang nilai ekspor produk buah olahan terbesar Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Produksi nanas di Propinsi Jawa Barat dimana sentra produksi terbesarnya adalah Kabupaten Subang selama ini memegang peranan penting dengan menjadi produsen terbesar kedua setelah Propinsi Lampung sampai tahun 2011. Namun posisi Jawa Barat terus menurun hingga pada tahun 2012 menduduki peringkat keempat produsen nanas terbesar di Indonesia.

Rendahnya produktivitas nanas di Kabupaten Subang diduga karena alokasi penggunakan input produksi serta sumber-sumber inefisiensi produksi yang dapat memengaruhi tingkat efisiensi produksi petani nanas. Untuk itu perlu diestimasi efisiensi produksi nanas yang terdiri dari efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi petani nanas di Kabupaten Subang untuk kemudian dikaji faktor-faktor sosial ekonomi, institusional, dan demografi yang memengaruhi inefisiensi teknis, alokatif dan ekonomi untuk kemudian dikaji implikasi kebijakan yang sesuai dalam rangka meningkatkan produksi nanas di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Kerangka konseptual diperlihatkan pada Gambar 12.

Gambar 12 Kerangka Konseptual Penelitian Faktor Memengaruhi

Inefisiensi Teknis

Produksi Nanas Jawa Barat

Efisiensi Produksi

Efisiensi Teknis Efisiensi Alokatif Efisiensi Ekonomi Industri Nanas Indonesia

Faktor Memengaruhi Inefisiensi Ekonomi Faktor Memengaruhi

Inefisiensi Alokatif

Gambar

Gambar 1  Produksi Nanas Segar Dunia Tahun 1962 – 2012
Gambar 2  Pangsa Produksi Nanas Segar Dunia Tahun 2012
Gambar 6   Produksi Komoditas Buah Indonesia Tahun 1998-2012 (dalam Ton)
Gambar 7  Propinsi Produsen Nanas Indonesia Tahun 2008-2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini adalah rata-rata efisiensi teknis, efisiensi harga dan efisiensi ekonomi ini sejalan dengan hasil return to scale yang menunjukkan bahwa

Judul Tesis Efisiensi Teknis dan Ekonomis Petani Kentang di Kabupaten Solok Propinsi Smnatera Barat: Analisis Stochastic Frontier ... Ketua Program Studi Ilmu

Nilai rata-rata efisiensi teknis yang dicapai masih dibawah 100 persen, artinya bahwa usahatani tembakau yang dilakukan oleh petani masih belum efisien secara teknis

Tujuan penelitian ini adalah untuk menenukenali faktor-faktor yang mempengaruhi produksi tambak kerang darah serta menganalisa tingkat efisiensi alokatif penggunaan faktor

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengestimasi efisiensi teknis petani kubis baik secara individu maupun secara kelompok, (2) mengestimasi faktor-faktor penyebab timbulnya

Efisiensi alokatif dan ekonomi pada penelitian ini diperoleh melalui analisis dari sisi input produksi menggunakan harga input dan output rata-rata yang berlaku di tingkat

Efisiensi alokatif dan ekonomi pada penelitian ini diperoleh melalui analisis dari sisi input produksi menggunakan harga input dan output rata-rata yang berlaku di tingkat

(1998), efisiensi harga atau efisiensi alokatif mengukur tingkat keberhasilan petani dalam usahanya untuk mencapai keuntungan yang maksimum yang dicapai pada saat nilai