PPP Setelah Muktamar VII Iding R. Hasan*
(Dimuat di Pikiran Rakyat, 7 Juli 2011)
Suryadharma Ali (SDA) akhirnya terpilih kembali menjadi orang nomor satu di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam muktamarnya yang ke-VII di Bandung. Berbagai persoalan yang mengiringi setiap kali selesai digelar sebuah perhelatan akbar semacam muktamar tentu sudah menunggunya.
Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh SDA dalam memimpin PPP untuk periode 2011-2016, terutama di dalam mempersiapkan Pemilu 2014 yang sudah berada di depan mata. Pertama, konsolidasi internal partai. Setiap kontestasi kekuasaan senantiasa meninggalkan residu yang tidak dapat diabaikan begitu saja, yang kalau tidak disikapi dengan bijak bisa menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu siap meledak. Ini pulalah yang dihadapi setelah bersaing dengan rival-rivalnya, Ahmad Muqawam dan Ahmad Yani.
muktamar akan berimbas pada kekecewaan yang berakhir dengan pengunduran diri dari partai. Namun meskipun begitu SDA tetap harus menyikapinya secara bijak sehingga potensi perpecahan bisa ditekan seminimal mungkin, misalnya dengan politik akomodatif sehingga bisa merangkul semua pihak.
Kedua, reposisi partai di dalam koalisi. Sudahnya saatnya PPP mereposisi keikutsertaannya di dalam barisan koalisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang dikenal dengan Sekretariat Gabungan (Setgab). Selama ini keberadaan partai yang berlambang Kabah ini tampaknya tidak terlalu menonjol di legislatif, bahkan ia “tenggelam” di antara partai anggota koalisi lainnya. Suara partai ini nyaris tak terdengar padahal berbagai isu bermunculan terkait dengan keberadaan setgab.
Realitas tersebut secara tegas memperlihatkan betapa PPP tidak memiliki daya tawar (bargaining position) yang kuat. Publik Indonesia yang kritis tentu akan menangkap bahwa orientasi partai ini hanyalah pragmatisme kekuasaan semata, sesuatu yang tidak sejalan dengan karakter keislaman yang seharusnya menjadi modal dasar partai ini. Kalau ini dibiarkan berlanjut bukan tidak mungkin akan menjadi semacam investasi politik yang tidak menguntungkan di masa mendatang setidaknya untuk Pemilu 2014.
Ketiga, identifikasi kepartaian. PPP yang tetap mempertahankan asas keislaman partai di tengah kerumunan partai-partai baik yang berasaskan Islam maupun yang berbasiskan massa Islam, tentu akan terbantu kalau memiliki karakter keislaman yang jelas. Ini diperlukan untuk menjadi faktor pembeda (diferensiasi) dari partai-partai yang berpolakan serupa. Kalau tidak, umat Islam di negeri ini tidak merasa harus berpaling ke PPP.
dilatarbelakangi oleh adanya kegamangan tersebut, bukan merupakan manifestasi dari karakter tersebut.
Sebenarnya kalau pengurus PPP berpikir serius banyak isu yang bersifat umum tetapi bisa diolah secara kreatif dari perspektif keislaman. Dengan kata lain, tanpa perlu melepaskan identitas keislamannya, partai ini bisa mengemas berbagai isu tersebut secara lebih menarik. Misalnya, tentang korupsi yang kini menjadi musuh nomor satu di republik ini, seharusnya bisa diolah PPP menjadi isu yang sangat menarik sekaligus menjadi komitmennya.