• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASA DEPAN PARTAI POLITIK ISLAM : STUDI TENTANG KONFLIK ELIT PPP DALAM PERSPEKTIF PENGURUS DPW PPP JAWA TIMUR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MASA DEPAN PARTAI POLITIK ISLAM : STUDI TENTANG KONFLIK ELIT PPP DALAM PERSPEKTIF PENGURUS DPW PPP JAWA TIMUR."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

MASA DEPAN PARTAI POLITIK ISLAM

(Studi tentang Konflik Elit PPP dalam Perspektif Pengurus

DPW PPP Jawa Timur)

Skripsi:

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Filsafat Politik Islam

Oleh :

DINDA APRILIASTI NIM: E04211017

PROGRAM STUDI FILSAFAT POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

MASA DEPAN PARTAI POLITIK ISLAM

Studi tentang Konflik Elit PPP Dalam Perspektif Pengurus DPW PPP Jawa Timur

Oleh: Dinda Apriliasti

ABSTRAK

Studi ini berjudul Masa Depan Partai Politik Islam Studi tentang Konflik Elit PPP dalam Perspektif Pengurus DPW PPP Jawa Timur yang menjawab pertanyaan tentang pertama peta politik di DPW PPP Jawa Timur dan kedua masa depan partai Persatuan Pembangunan. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan peta politik yang ada di DPW PPP Jawa Timur serta menganalisa masa depan partai PPP. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif berbasis studi kasus. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi, wawancara (interview), dan dokumentasi. Teknik analisis data pada penelitian ini adalah analisis kualitatif yang terdiri dari tiga langkah yaitu reduksi data, penyajian data serta verifikasi. Hasil studi ini menunjukkan, pertama, DPW Jawa Timur memiliki faksi-faksi di dalamnya. Adapun faksi tersebut adalah Musyaffa Noer yang merepresentasikan kubu Romahurmuziy dan Masykur Hasyim serta Mujahid Anshori yang merupakan representasi kubu Djan Faridz. Konflik PPP yang terjadi saat ini dimulai pada Pilpres 2014 lalu yang menunjukkan rivalitas politik antara Suryadharma Ali dan Romahurmuziy. Konflik ini juga sampai pada PPP level Jawa Timur. Struktur kepengurusan di DPW PPP Jawa Timur didominasi oleh kubu Romahurmuziy dalam hal ini yakni kepengurusan Musyaffa Noer. Kubu Djan Faridz yang diwakili oleh kepengurusan Masykur Hasyim memang tidak memiliki akses di DPW namun tidak menjadi masalah baginya yang terpenting adalah konsolidasi hingga ke cabang. Kedua, berdasarkan konflik PPP yang terjadi di level Jawa Timur, maka masa depan PPP dapat dilihat dalam 2 (dua) perspektif: Pertama, menurut Musyaffa’ Noer konflik PPP tidak mempengaruhi eksistensi partainya, karena masyarakat sudah paham jika konflik yang ada sebenarnya hanya di level atas, dan di level DPW Jawa Timur sendiri semuanya cenderung berjalan lancar, namun tetap saja PPP butuh inovasi yang lebih kekinian sehingga konstituen tidak jenuh dengan konflik yang ada. Kedua, menurut Mujahid Anshori konflik elit di PPP berkaitan dengan pelembagaan partai politik. Oleh karenanya PPP harus bisa merespon isu-isu di masyarakat serta mampu menerjemahkannya dalam program yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Dengan mengelola konflik secara baik maka masa depan PPP tidak akan terganggu.

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN ABSTRAK... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN... iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... v

HALAMAN MOTTO... vi

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 12

(7)

5. Teknik Analisis Data... ... 21

6. Teknik Keabsahan Data... ... 22

7. Triangulasi... 23

H. Sistematika Pembahasan ... 24

BAB II KERANGKA TEORI ... 25

A. Teori Konflik ... 25

1. Penyebab Konflik ... 27

2. Bentuk-bentuk Konflik... 28

3. Dampak Konflik. ... 30

B. Konsep Elit Politik ... 31

C. Faksionalisme Partai ... 34

1. Definisi Faksionalisme ... 35

2. Konsep Pokok Faksionalisme ... 37

3. Penyebab Faksionalisme. ... 39

4. Dampak Faksionalisme. ... 40

BAB III DESKRIPSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN ... 41

A. Partai Persatuan Pembangunan ... 41

1. Latar Belakang Berdirinya PPP ... 41

2. Platform Partai ... 43

a. Program Kerja Partai ... 45

3. Sejarah di tubuh PPP. ... 49

B. Perbandingan Perolehan Suara PPP dalam Pemilu ... 50

C. Sejarah Konflik PPP ... 52

D. PPP Jawa Timur. ... 55

1. Muktamar Surabaya ... 56

(8)

BAB IV DINAMIKA POLITIK PARTAI PPP ... 61

A. Peta Politik di DPW PPP Jawa Timur ... 62

1. Faksi-faksi dalam DPW Jawa Timur ... 63

2. Model Konflik ... 66

3. Dialektika antar faksi ... 72

B. Masa Depan Partai Persatuan Pembangunan ... 75

BAB V PENUTUP ... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 86

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perolehan suara Tujuh Partai Politik di Provinsi Jawa Timur dari

Pemilu tahun 2004 hingga 2014... 5

Tabel 2 Perolehan Suara Partai Persatuan Pembangunan dari Pemilu

1977-2014... 53

Tabel 3 Susunan Dan Personalia Pengurus Harian Wilayah Dewan

Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Jawa Timur Masa Bakti 2011-2016 versi

Romahurmuziy... 56

Tabel 4 Susunan Dan Personalia Pengurus Harian Wilayah Dewan

Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Jawa Timur Masa Bakti 2011-2016 versi Djan

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Moralitas, kepemimpinan dan kesantunan dalam berpolitik menjadi

persoalan panjang yang tidak terselesaikan dalam kehidupan politik bangsa.

Perilaku para elit politik yang sering kali meninggalkan nilai-nilai moral luhur

dalam melakukan aktivitas politiknya, telah mencederai persoalan moral dalam

kehidupan politik bangsa ini. Berbagai solusi telah ditawarkan, sebagai upaya

penyelesaian persoalan kemerosotan moral di bidang politik yang menimpa

bangsa. Salah satunya adalah agar bangsa Indonesia kembali pada ajaran agama,

sebagai upaya mengatasi persoalan kemerosotan moral, terutama yang terjadi

pada elit politik. Dan juga yang tak kalah pentingnya pada masyarakat bangsa

secara keseluruhan.

Kemerosotan moral bisa ditandai dengan banyaknya penyelewengan yang

terjadi. Sekalipun bukan termasuk dalam seutuhnya penyelewengan, konflik para

elit yang sempat memanas di internal Partai Persatuan Pembangunan pun secara

tidak langsung juga sudah merupakan bukti nyata kemerosotan moral elit politik

Indonesia. Terlebih Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini merupakan Partai

Politik Islam yang mau tidak mau pasti diidentikkan dengan jiwa religius; pecinta

damai, tidak suka berkonflik.

Konflik elit PPP sebenarnya sudah ada sejak berdirinya Partai berlambang

(11)

2

Presiden beberapa waktu lalu. Konflik itu muncul karena adanya perbedaan

pandangan politik di antara pimpinan PPP. Pada Pilpres lalu, PPP secara resmi

mendukung pencalonan Prabowo-Hatta. Namun di satu pihak ada keinginan juga

dari internal PPP untuk bergabung ke kubu Jokowi. Saat itu, situasi internal PPP

semakin panas karena terjadi juga klaim kepengurusan antara kubu Suryadharma

Ali (SDA) dengan kubu Emron Pangkapi.

Perbedaan pandangan politik, ditambah juga saling klaim kepengurusan

akhirnya secara tidak langsung menimbulkan dualisme kepemimpinan dalam

tubuh internal PPP. Oleh karenanya konflik yang menimpa internal PPP ini dirasa

bisa diselesaikan dengan dilaksanakannya Muktamar. Namun persoalan sejak

awal adalah karena adanya dualisme kepemimpinan, maka sekalipun Muktamar

ini dilaksanakan tetap saja memicu perpecahan di tubuh Partai PPP.

Terhitung sejak 09 Oktober 2014, Suryadharma Ali resmi diberhentikan

sebagai Ketua Umum PPP. Dimana sebagai balasan pemberhentian dirinya,

Suryadharma Ali pun memecat balik jajaran kepengurusan harian DPP PPP. Yang

dipecat oleh Suryadharma antara lain, Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi

dan Suharso Monoarfa, serta Sekretaris Jenderal PPP Romahurmuziy. Saat seperti

itulah Suryadharma Ali kemudian membentuk susunan kepengurusan baru. Hal

yang serupa juga dilakukan oleh Emron Pangkapi. Akibatnya, dualisme

kepemimpinan dan saling klaim di antara masing-masing jajaran pengurus DPP

PPP pun semakin tidak bisa dihindari.

Dualisme kepemimpinan ini semakin terlihat dari Muktamar yang

(12)

3

Kubu Suryadharma Ali melaksanakan Muktamar ke VIII pada 30 Oktober 2014

sampai 2 November 2014 dan bertempat di Jakarta. Adapun hasil Muktamar

Jakarta tersebut menetapkan Djan Faridz sebagai ketua umum partai PPP. Dalam

hasil rapat paripurna, Djan Faridz ditetapkan sebagai calon ketua umum tunggal

mengesampingkan Ahmad Yani, yang sebelumnya juga dicalonkan sebagai ketua

umum.

Sedangkan kubu Emron Pangkapi memilih untuk menyelenggarakan

Muktamar ke VIII di Surabaya pada tanggal 15-18 Oktober 2014. Hasil Muktamar

tersebut adalah Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, M.

Romahurmuziy resmi menjabat sebagai Ketua Umum PPP periode 2014-2019.

Adapun Romahurmuziy menjadi calon tunggal ketua umum dalam Muktamar

Surabaya dan dipilih secara aklamasi oleh kader PPP1.

Partai Persatuan Pembangunan ini termasuk dalam kategori Partai Politik

Islam selain dikarenakan lambang partainya yang berupa Ka‟bah tetapi juga

karena ideologi partainya yang selalu dipegang teguh dalam AD-ART nya yaitu

partai politik Islam berazaskan Islam. Meskipun demikian PPP bukanlah partai

yang berada di luar pemerintahan. Sebaliknya, PPP selalu masuk dalam

pemerintahan. Hal ini terbukti dari perolehan suara PPP tingkat provinsi.

Sekalipun dalam skala nasional, dari tahun 2004 misalnya, PPP memang tidak

pernah menduduki bangku 5 (lima) besar partai politik di Indonesia.

1Ryan Situmeang, “Romy Ketua PPP Muktamar Surabaya”,

(13)

4

Hal ini menjadi menarik terlebih karena PPP sendiri melaksanakan

Muktamar ke-VIII nya di Provinsi Jawa Timur, tepatnya di Surabaya. Terlepas

dari konflik yang ada, diakui atau tidak tetap saja Partai Persatuan Pembangunan

merupakan partai Islam yang memegang teguh kultur ke NU-an yakni ahlus

sunnah wal jama‟ah. Sehingga tidak mengherankan jika Muktamar ke VIII oleh

kubu Romahurmuziy ini dilaksanakan di Surabaya yang notabenenya ke

NU-annya sangat kuat, sebab basis Nahdlatul Ulama‟ sendiri juga ada di Jawa Timur.

Hal ini terbukti dari peserta Muktamar VIII Surabaya yang turut hadir ada

sebanyak 29 kepengurusan dari total keseluruhan ada 33 kepengurusan. Ini jelas

berbeda dari peserta Muktamar VIII Jakarta oleh Suryadharma Ali yang hanya

dihadiri oleh sekitar 10 kepengurusan sekalipun notabenenya Jakarta adalah

„basecamp‟ dari DPP PPP. Mengutip dari Didik Noerman selaku Sekretaris

Wilayah DPW PPP Jawa Timur2, bahwa:

“Muktamar ke delapan kemarin adalah langkah tepat. Bahkan harlah kita pun diselenggarakan di Bangkalan yang merupakan penyumbang suara terbanyak bagi PPP”.

Fakta lainnya adalah perolehan suara PPP tingkat provinsi khususnya Jawa

Timur yang cukup fluktuatif sekalipun memang mengalami penuruan di tiap

tahunnya. Berikut adalah tabel perolehan suara Tujuh Partai Politik di Provinsi

Jawa Timur dari Pemilu tahun 2004 hingga 20143:

2Didik Noerman,

Wawancara, Kantor DPW PPP Jawa Timur Kendangsari Surabaya, 16 April 2015.

(14)

5

Tabel 1.1

Perolehan suara Tujuh Partai Politik di Provinsi Jawa Timur dari Pemilu tahun 2004 hingga 2014

TAHUN GOLKAR PDIP PKB DEMOKRAT PKS PAN PPP

2004 21,58% 18,53% 10,57% 7,45% 3,23% 5,6% 8,15%

2009 14,5% 14,0% 8,87% 20,9% 7,9% 6,0% 5,3%

2014 9,35% 18,92% 18,92% 12,06% 5,23% 6,0% 6,53%

Sumber: http://www.kpujatim.go.id

Dari tabel diatas terlihat bahwa partai Golkar, PAN, dan juga PPP relatif

stabil antara Pemilu tahun 2009 dan 2014. Pada tahun 2014 sendiri, 3 (tiga) besar

di Jawa Timur memang diduduki oleh PKB, PDIP, dan Gerindra, namun tidak

dapat dipungkiri bahwa dari tahun ke tahun PPP sendiri mengalami dinamika

perolehan suara yang cukup fluktuatif. Maksudnya PPP tidak hanya mengalami

penurunan saja tetapi juga mengalami peningkatan yang walaupun sedikit dan

juga tetap saja lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya saat PPP belum

diguncang konflik internal. Namun tetap saja dikatakan PPP mengalami

peningkatan. Dimana PPP mendapat 8,15% suara pada tahun 2004 dan kemudian

turun menjadi 5,3% saja pada tahun 2009. Dan ternyata itu bukan masalah penting

bagi PPP, sebab sekalipun sudah mulai dihinggapi konflik elit di internal

partainya, PPP tetap memperoleh suara sebanyak 6,53% pada tahun 2014 yang

artinya mengalami peningkatan. Hasil perolehan tersebut jika dikonversikan ke

dalam kursi DPR RI memang hanya meningkat 1 (satu) kursi, dari 38 kursi

menjadi 39 kursi. Peningkatan jumlah kursi secara signifikan sendiri dapat dilihat

(15)

6

perolehan kursi PPP di seluruh wilayah Indonesia di DPRD Provinsi meningkat

5% dari pemilu 2009, yakni dari 126 kursi menjadi 132 kursi. Sedangkan

perolehan kursi PPP di DPRD Kabupaten/Kota seluruh Indonesia meningkat 13%,

yakni dari 936 kursi pada tahun 2009 meningkat menjadi 1079 kursi DPRD

Kabupaten/Kota4.

Sehingga hal ini pun dirasa menarik bagi penulis, melihat saat konflik elit

di internal Partai Persatuan Pembangunan mulai mencapai klimaks lalu

diputuskan untuk melaksanakan Muktamar di Jawa Timur sebagai solusi atas

konfliknya. Surabaya pada khususnya merupakan lumbung suara bagi PPP secara

tidak langsung. Dimana ternyata Muktamar VIII Surabaya ini pun juga

merupakan representasi dari konflik elit PPP terkait adanya kubu-kubu dalam

internal partai PPP. Hal ini dapat dilihat dari komposisi kepengurusan DPW PPP

Jawa Timur sendiri yang ternyata memang di dominasi oleh mereka kubu

Romahurmuziy (selanjutnya disebut Romy) selaku Ketua Umum PPP periode

2011-2016 hasil dari Muktamar Surabaya dan kubu Djan Faridz juga menjadi

pengurus namun tidak menjadi mayoritas dan kebanyakan justru diberhentikan.

Mengutip dari Zuman Malaka selaku Wakil Sekretaris Wilayah DPW PPP Jawa

Timur5, bahwa:

“Di DPW Jatim ini semua kubu Romy. Bukan asal-asalan milih kubu, tetapi kita memihak ke Romy dengan landasan karena memang Romy yang dapat SK MENKUNHAM sebagai Ketua Umum PPP. Itu pemerintah sendiri yang melegalkan mbak, jadi DPW Jawa Timur jelas mengikuti yang jelas sah kepemimpinannya.

4Dokumen AD ART Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan, 39. 5Zuman Malaka,

(16)

7

Selain itu penelitian ini menjadi menarik juga dikarenakan PPP merupakan

partai politik yang memiliki basis massa menjanjikan di Jawa Timur dengan

begitu dapat diamati dinamika kepartaiannya sehingga bisa menganalisa juga

bagaimana eksistensi PPP ini di tahun 2019.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, maka rumusan

masalahnya adalah:

1. Bagaimana peta politik di DPW PPP Jawa Timur pasca Muktamar VIII

Surabaya?

2. Bagaimana masa depan PPP Jawa Timur pasca konflik elit PPP?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuannya adalah untuk:

1. Mendeskripsikan peta politik di DPW PPP Jawa Timur pasca Muktamar

VIII Surabaya. Peta politik yang dimaksud adalah faksi-faksi yang ada di

DPW PPP Jawa Timur, dan bagaimana model konflik serta dialektika antar

faksi di DPW PPP Jawa Timur.

2. Menganalisis masa depan PPP Jawa Timur pasca konflik elit PPP.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:

(17)

8

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh cakrawala dan

wawasan pengetahuan yang lebih mendalam tentang masa depan partai

politik Islam. Dalam penelitian ini adalah masa depan Partai Persatuan

Pembangunan yang dilanda konflik elit di internal partainya.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para

elit politik dalam hal pengelolaan partai politiknya. Selain itu juga dapat

dijadikan sebagai referensi strategi partai politik yang berbasis massa Islam.

Dalam penelitian ini elit politik yang dimaksud adalah kepengurusan DPW

PPP Jawa Timur untuk lebih bisa memposisikan diri dalam melihat konflik

yang ada salah satunya dengan tidak berat pada salah satu kubu.

E. Definisi Konseptual

1. Konflik: dalam ilmu politik konflik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik

mengandung pengertian “benturan”, seperti perbedaan pendapat,

persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan

kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok

dengan pemerintah. Sehingga, ada konflik yang berwujud kekerasan dan

ada pula konflik yang tak berwujud kekerasan6.

6Ramlan Surbakti,

(18)

9

Dalam penelitian ini, konflik yang dimaksud adalah perbedaan

pandangan politik antara elit PPP sehingga menimbulkan dualisme

kepemimpinan dalam internal PPP.

2. Elit: orang tertentu yang berkuasa dan mengemban tugas dengan kedudukan tinggi dalam masyarakat. Elit politik yang dimaksud adalah

individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses

pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller mengelompokkan ahli

yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang

beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut

elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang

beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berbagi kekuasaan,

tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan (ahlinya adalah Saint Simon,

Karl Mainnheim, dan Raymond Aron). Keller menambahkan

pemerintahan oleh elit merupakan syarat yang harus dipenuhi bila

masyarakat ingin tetap terintegrasi. Menurut Keller, untuk masyarakat

yang kompleks dan heterogen, ada kecenderungan memiliki elit yang

beragam pula atau lebih popular dengan istilah Elit Strategis. Di setiap

bidang kehidupan penting (ekonomi, politik dan sosial) akan muncul

orang/sekelompok orang yang memiliki kekuasaan lebih besar daripada

yang lain. Elit dirumuskan sebagai posisi puncak dalam struktur-struktur

sosial terpenting di masyarakat. Elit strategis ini tidak hanya dipegang

oleh merka yang termasuk dari bagian struktur-struktur sosial penting,

(19)

10

ataupun pengaruh lebih besar dari lainnya sekalipun mereka tidak

termasuk dalam struktur sosial penting masyarakat.

Elit yang dimaksud adalah pengurus partai PPP khususnya di DPW PPP

Jawa Timur dan juga mereka yang memiliki pengaruh penting bagi PPP

secara umum dan DPW PPP Jawa Timur pada khususnya.

3. DPP PPP: Dewan Perwakilan Pusat; lembaga resmi partai politik Islam yang kedudukannya paling tinggi.

4. DPW PPP Jawa Timur

:

Dewan Perwakilan Wilayah; lembaga resmi

partai politik Islam tingkat provinsi, dalam hal ini Jawa Timur.

F. Telaah Pustaka

Berdasarkan penelusuran terhadap penelitian dan penyajian yang telah ada,

ditemukan karya ilmiah yang sejalur dengan tema kajian penelitian ini. Berikut

hasil usaha penelusuran tentang tesis yang berkaitan dengan tema penelitian ini:

1. Nurul Radiatul Adawiah, Konflik Internal Partai Nasdem (Studi tentang

DPW Partai Nasdem Sulawesi Selatan), 2013. Skripsi. Program Studi

Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial

dan Politik, Universitas Hasanuddin.

Fokus masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah tentang

perbedaan pandangan yang muncul dikarenakan adanya perbedaan

kepentingan antar anggota maupun pengurus partai dalam hal ini adalah

Partai Nasdem. Faksi-faksi di internal Partai Nasdem terbentuk karena

(20)

11

pusat mengakibatkan terjadinya rembetan konflik sampai ke tingkat

wilayah dengan adanya pembekuan Kepengurusan DPW Partai Nasdem

Sulawesi Selatan. Partai politik sebagai organisasi modern akan selalu

dihadapkan pada realitas konflik. Misalnya saja konflik yang berupa

perbedaan pandangan, ide atau paham, pertentangan kepentingan dan

seterusnya. Partai Nasdem sebagai satu-satunya partai baru yang

dinyatakan lolos ferifikasi KPU secara struktur menginginkan adanya

perbaikan dari segi struktur kepengurusan guna mempersiapkan diri

menghadapi Pemilu 2014. Hal inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya

konflik di Internal Partai Nasdem.

Berdasarkan masalah dan kesimpulan diatas maka perbedaan

skripsi ini dengan penelitian yang akan penulis lakukan terletak pada fokus

pembahasannya. Dalam skripsi ini hanya dipaparkan mengenai akibat dari

konflik perbedaan pandangan dari internal partai Nasdem sehingga

memunculkan faksi-faksi di tingkat DPW. Sedangkan penelitian yang

akan penulis lakukan selain akan membahas tentang dampak dari konflik

internal di tubuh partai akan diteliti (dalam hal ini adalah PPP) juga akan

membahas tentang masa depan dari partai PPP pasca konflik elit yang

terjadi di tingkat pusat itu.

2. Bambang, Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa di Karawang

(Studi tentang Sumber dan Dampak pada Pemilu 2009), 2010. Skripsi.

(21)

12

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah.

Penelitian ini membahas tentang partai politik di Indonesia belum

terinstitusionalisasi dengan baik. Kita semua tentu berharap kelak

institusionalisasi partai-partai politik di Indonesia akan kian membaik

seiring dengan semakin dewasa umur demokrasi kita. Untuk itu mutlak

dibutuhkan upaya perbaikan kehidupan kepartaian melalui jalur institusi

dengan menempatkan kelompok masyarakat sipil sebagai motor

penggerak utama. Kelompok-kelompok masyarakat sipil dapat

mendesakkan sejumlah agenda perbaikan institusional terhadap

partai-partai politik melalui perangkat-perangkat regulasi yang dapat merangsang

perbaikan internal di dalam tubuh partai-partai politik tersebut. Dengan

institusionalisasi partai politik yang semakin baik diharapkan kehidupan

politik di Indonesia pun akan menjadi lebih stabil sehingga kesejahteraan

rakyat sebagai tujuan demokrasi menjadi tercapai secara maksimal.

Berdasarkan kesimpulan diatas skripsi tersebut hanya memaparkan

mengenai sumber dan dampak dari konflik. Sedangkan penelitian yang

akan penulis lakukan juga akan membahas tentang bagaimana elit politik

(yakni DPW PPP Jawa Timur) memandang konflik yang sedang terjadi di

(22)

13

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian ini yakni Masa Depan Partai Politik

Islam (Studi tentang Konflik Elit PPP dalam Perspektif Pengurus DPW

PPP Jawa Timur) maka jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah field research (penelitian lapangan) yang artinya

penelitian ini berangkat dari studi kasus di lapangan, yang bertujuan

untuk memperoleh data yang relevan. Peneliti sekaligus penulis

mendatangi tempat yang menjadi lokasi penelitian, hal ini dilakukan

sebagai upaya dalam menemui informan yang telah dilakukan. Adapun

peneliti mendatangi Kantor DPW PPP Jawa Timur. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa informasi-informasi tertulis

atau lisan dari orang-orang terkait7. Dalam penulisan karya ilmiah di

perguruan tinggi, Jalaluddin Rahmat berpendapat bahwa penelitian

kualitatif adalah data yang digunakan merupakan data Kualitatif (data

yang tidak terdiri dari angka-angka) melainkan berupa gambaran dan

kata-kata8. Peneliti sekaligus penulis dengan berbekal daftar wawancara

berupa pertanyaan yang nantinya akan dijawab oleh informan secara

lisan. Adapun landasan ataupun alasan menggunakan pendekatan dan

jenis penelitian ini untuk mendapatkan informasi yang mendalan tentang

7Noeng Muhadjir,

Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1994), 14.

8Jalaluddin Rahmat,

(23)

14

Masa Depan Partai Politik Islam khususnya bila ditinjau dari konflik elit

partai PPP menurut perspektif DPW PPP Jawa Timur.

2. Sumber Data

Sumber data merupakan subjek yang memberikan data sesuai

dengan klasifikasi data penelitian yang sesuai. Di sini memiliki data yang

berfungsi sebagai penunjang dalam penelitian. Sumber data dalam

penelitian ini dibagi menjadi:

a. Primer

Data primer merupakan sumber data utama dan kebutuhan

mendasar dalam penelitian ini. Sumber data diperoleh dari informan

saat peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian. Beberapa informan

akan dipilih berdasarkan kebutuhan penelitian, serta berkaitan dengan

tema penelitian. Selama di lapangan, peneliti sekaligus penulis tidak

hanya mendapatkan data melalui wawancara secara mendalam dengan

informan. Peneliti juga mendapatkan buku AD ART dari Partai

Persatuan Pembangunan.

Informan adalah orang yang bisa memberikan informasi tentang

situasi dan juga kondisi latar penelitian9. Informan bukan hanya

sebagai sumber data, melainkan juga aktor yang menentukan berhasil

atau tidaknya penelitian berdasar hasil informasi yang diberikan.

Sehingga antara peneliti dan informan mempunyai peran dan fungsi

(24)

15

yang kurang lebih sama yakni memberikan jawaban-jawaban atas

rumusan masalah yang telah diuraikan.

Yang dimaksudkan informan dalam penelitian adalah segenap

jajaran kepengurusan DPW PPP Jawa Timur sebagai elit politiknya.

Dimana dalam penelitian ini elit politik di DPW PPP Jawa Timur

adalah mereka yang pro dengan kubu Romy. Selain itu, informan yang

juga dirasa representatif dalam penelitian ini sesuai dengan pendapat

Suzenne Keller tentang elit politik bukan hanya tentang mereka yang

ada pada struktur penting dalam masyarakat saja melainkan juga

mereka yang sekalipun tidak masuk dalam struktur tetapi berpengaruh

penting dalam masyarakat. Elit yang dimaksud adalah mereka yang

sebenarnya masuk dalam kepengurusan DPW PPP Jawa Timur tetapi

karena pro dengan Djan Faridz maka diberhentikan, sehingga informan

ini secara tidak langsung termasuk dalam elit di luar kepengurusan.

Adapun informan dari kubu Romy adalah:

1. Ketua DPW PPP Jawa Timur, Musyaffa‟ Noer. Informan ini

berguna untuk pemenuhan data tentang peta politik di DPW PPP

Jawa Timur pasca Muktamar VIII Surabaya sekaligus masa depan

PPP Jawa Timur pasca konflik elit yang terjadi.

2. Nurman Zein selaku Sekretaris Wilayah DPW PPP Jawa Timur.

Informan ini berguna untuk pemenuhan data tentang peta politik di

(25)

16

3. Zuman Malaka selaku Wakil Sekretaris Wilayah DPW PPP Jawa

Timur. Informan ini berguna untuk pemenuhan data tentang peta

politik di DPW PPP Jawa Timur pasca Muktamar VIII Surabaya.

Sedangkan informan dari kubu Djan Faridz adalah sebagai berikut:

1. Mujahid Anshori adalah pengurus dari DPW PPP Jawa Timur.

Beliau merupakan bagian dari mereka yang pro dengan Djan

Faridz. Adapun informan ini berguna untuk pemenuhan data

tentang bagaimanakah peta politik yang ada di DPW PPP Jawa

Timur pasca Muktamar VIII Surabaya dari sudut pandang yang

berbeda dan juga merupakan pihak yang berkonflik (dimana DPW

PPP Jawa Timur merupakan kubu pro Romy dan Mujahid selaku

kubu pro Djan Faridz). Konflik yang awalnya hanya masalah

pembagian kursi kemudian semakin berkembang hingga pada

adanya intervensi pihak luar, sehingga tidak heran di DPW

sekalipun juga ada dua kubu. Dimana hal ini bisa mempengaruhi

eksistensi PPP jika terus menerus hanya berpusat pada masalah.

Perlu dicari inovasi lainnya untuk tetap meraih minat masyarakat

luar kepada partai politik Islam.

2. Masykur Hasyim. Adapun informan ini guna pemenuhan data

dengan bagaimana sesungguhnya peta politik yang ada di DPW

PPP Jawa Timur dari sudut pandang yang berkonflik (dalam hal

(26)

17

Teknik yang digunakan dalam pemilihan informan menggunakan

Purpossive Sampling, artinya teknik penentuan sumber data

mempertimbangkan terlebih dahulu, bukan diacak. Artinya

menentukan informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan

dengan masalah penelitian10.

b. Sekunder

Data sekunder adalah data penunjang sumber utama untuk

melengkapi sumber data primer. Data sekunder juga sering disebut

sebagai sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada

pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen. Jadi data ini

berupa bahan kajian yang digambarkan oleh bukan orang yang ikut

mengalami atau hadir dalam waktu kejadian berlangsung. Sehingga

sumber data bersifat penunjang dan melengkapi data primer. Dalam

penelitian ini jenis sumber data yang digunakan adalah literatur dan

dokumentasi. Sumber literatur adalah referensi yang digunakan untuk

memperoleh data teoritis dengan cara mempelajari dan membaca

literatur yang ada hubungannya dengan kajian pustaka dan

permasalahan penelitian baik yang berasal dari buku maupun internet

seperti. Sedangkan untuk dokumentasi sebagai tambahan, dimana bisa

berupa arsip DPW PPP Jawa Timur, dan lain sebagainya.

10Burhan Bungin,

(27)

18

3. Lokasi dan Alasan Pemilihan

Lokasi yang diambil oleh peneliti untuk mencari dan menggali data

tentang permasalahan yang sedang dibahas oleh peneliti terkait dengan

Masa Depan Partai Politik Islam khusunya ditinjau dari konflik elit partai

PPP menurut perspektif DPW PPP Jawa Timur. Maka lokasi penelitian

dilakukan Jawa Timur atau lebih tepatnya di DPW PPP Jawa Timur.

Alasan memilih lokasi penelitian tersebut karena ada 2 (dua) faktor.

Pertama, semenjak dimulainya konflik internal dalam tubuh partai

Ka‟bah, sedikit banyak DPW PPP Jatim juga diikut sertakan. Terlebih

Muktamar ke VIII pun dilakukan di Surabaya. Selain itu Surabaya

merupakan basis massa dari PPP.

Muktamar sendiri dianggap sebagai solusi atas adanya konflik yang

terjadi di internal PPP. Dengan begitu penelitian ini pun menjadi menarik

sebab bisa menganalisis secara langsung bagaimana posisi DPW PPP

Jawa Timur memandang konflik yang ada di internal PPP sekaligus

bagaimana masa depan PPP pasca konflik yang terjadi ini.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data, terkait penelitian ini menggunakan:

(28)

19

Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk

menghimpun data penelitian melalu pengamatan dan pengindraan11. Para

ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai

dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi12. Dalam hal ini

peneliti mengamati secara langsung kejadian-kejadian di tempat

penelitian13. Observasi yang dilakukan peneliti termasuk dalam jenis

observasi partisipatif. Observasi partisipatif adalah observasi dimana

peneliti secara langsung terlibat dalam kegiatan sehari hari informan.

Dalam metode observasi ini peneliti tidak hanya mengamati objek studi

tetapi juga mencatat hal hal yang terdapat pada objek tersebut, sehingga

peneliti benar benar mendapatkan data tentang situasi dan kondisi secara

universal dari informan.

b. Metode Wawancara,

Dalam penelitian kualitiatif kata-kata dan tindakan yang utama,

untuk itu wawancara sangat penting dalam penelitian ini. Wawancara

adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan

ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam

suatu topik tertentu14. Peneliti langsung terjun ke lapangan, dengan

cara menanyakan terhadap informan terkait posisi DPW PPP Jawa

Timur memandang konflik yang terjadi di internal PPP. Data diperoleh

11Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2007), 118.

12Sugiyono. Metode Penelitian Kombinas “Mixed Method” (Bandung: Alfabeta, 2011),

226.

13M Natsir,

Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), 14.

(29)

20

langsung dari informan melalui wawancara. Dalam penelitian kualitatif

ini peneliti menggunakan teknik purpossive sampling. Menurut

Sugiyono purpossive sampling adalah teknik pengambilan sampel

sumber data dengan pertimbangan tertentu yakni sumber data dianggap

paling tahu tentang apa yang diharapkan, sehingga mempermudah

peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang diteliti15. Dalam

penelitian ini wawancara berstruktur, dimana peneliti sudah

menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan.

Dengan wawancara terstruktur ini setiap informan diberi pertanyaan

yang sama, dan peneliti mencatatnya16. Wawancara terstruktur ini

dilaksanakan secara bebas dan juga mendalam, tetapi kebebasan ini

tetap tidak terlepas dari pokok permasalahan yang akan ditanyakan

kepada informan dan telah dipersiapkan sebelumnya oleh

pewawancara17.

c. Metode Dokumentasi

Teknik ini dilaksanakan dengan melakukan pencatatan terhadap

berbagai dokumen-dokumen, ataupun artisp-arsip yang tersedia

dengan tujuan mendapatkan bahan yang menunjang secara teoritis

terhadap topik penelitian. Pada intinya metode ini digunakan untuk

menelusuri data histori dan sosial. Sebagian besar fakta data sosial

tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi, seperti

15Sugiyono,

Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta CV, 2010), 219.

16Sugiyono,

Metode Penelitian Kualitati f (Bandung:: Alfabeta CV, 2005), 73.

17Burhan Bungin,

(30)

21

buku, literatur, arsip atau dokumen pemerintah18. Dalam penelitian ini,

menggunakan dokumen tertulis dapat berupa media cetak sebagai

bahan bukti data yang relevan dengan penelitian, seperti koran-koran

yang memuat pemberitaan tentang Partai Persatuan Pembangunan.

Penulis sekaligus peneliti telah mendapatkan dokumen yang diberikan

oleh staff DPW PPP Jawa Timur berupa buku AD ART dari Muktamar

VII (tujuh) dan VIII (delapan) Partai PPP.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data pada umumnya dilakukan untuk memperoleh

gambaran umum dan menyeluruh tentang situasi sosial yang diteliti objek

penelitian. Analisa data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu

analisa berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan

menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan berdasarkan

data tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang

sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut ditolak

atau diterima berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data

yang dapat dikumpulkan secara berulang-ulang dengan tehnik triangulasi

ternyata hipotesa diterima maka hipotesis akan berkembang menjadi

teori19. Analisis data juga dapat menerapkan salah satu teori kajian sastra

lisan. Peneliti juga dapat menggabungkan beberapa teori sebagai peta

18M Natsir,

Metode Penelitian, 121.

19Sugiyono,

(31)

22

kajian dalam membahas, mengkaji, dan menganalisis data-data yang sudah

didapatkan pada masa-masa penelitian berlangsung20.

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif

dan dijabarkan secara sistematis. Adapun dengan menggunakan Reduksi

Data, Kategorisasi, dan Sintesisasi. Yang pertama Reduksi data yakni

mengidentifikasi data yang sesuai dengan fokus dan masalah penelitian,

yang kedua Kategorisasi, merupakan teknik analisis data berupaya

memilah-milah kepada bagian data yang memiliki kesamaan, dan yang

ketiga Sintesisasi, setelah data ditemukan kesamaannya maka data dicari

kaitan antara satu kategori dengan kategori yang lainnya, sedangkan

kategori yang satu dengan yang lainnya diberi nama/label21.

6. Tekhnik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teknik keabsahan data perpanjangan keikutsertaan, disini peneliti

dalam pengumpulan data karena peneliti disini harus ikutserta dalam

memperoleh data yang valid.

b. Teknik keabsahan data ketekunan/keajegan pengamatan, peneliti disini

harus juga tekun untuk mencari data yang valid serinci mungkin yang

nantinya peneliti nanti lebih bersifat terbuka.

20M Natsir,

Metode Penelitian, 104. 21Lexy J. Moleong,

Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

(32)

23

c. Teknik keabsahan data hasil pemeriksaan sejawat melalui diskusi,

diskusi merupakan tenik keabsahan yang hampir terakhir, dikarenakan

data yang ditemukan nanti masih didiskusiakn dengan rekannya dan

teknik keabsahan data uraian rinci.

d. Teknik keabsahan data yang terakhir adalah uraian rinci, peneliti sangat

strategis dalam menekuni hasil dari temuan data dicari serinci mungkin

sesuatu yang relevan dengan pokok bahasan22.

7. Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai

pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai

waktu. Terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data,

dan waktu. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang

telah diperoleh melalui beberapa sumber, triangulasi teknik dilakukan

dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang

berbeda, dan triangulasi waktu dilakukan dengan cara melakukan

pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu

atau situasi yang berbeda. Sugiyono memaparkan triangulasi dapat juga

dilakukan dengan cara mengecek hasil penelitian23.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber dan

teknik dimana peneliti mengecak data yang telah diperoleh dari beberapa

22Lexy J. Moleong.

Metode Penelitian Kualitatif, 327-336.

23Sugiyono,

(33)

24

sumber (informan), hingga data tersebut bisa dinyatakan benar (valid) dan

juga melakukan observasi serta dokumentasi diberbagai sumber.

H. Sistematika Pembahasan

Dalam pembahasan penelitian ini diuraikan menjadi beberapa bab dan sub

bab untuk memudahkan dalam penulisan dan mudah untuk dipahami secara

runtut. Adapun sistematikanya terdiri dari lima bab sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka,

metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II : Berisi tentang Kajian Teori atau Kerangka Konseptual

yang akan menjelaskan tentang teori konflik, elit politik,

dan faksionalisme partai.

BAB III : Setting penelitian yakni deskripsi tentang partai PPP

yang meliputi latar belakang berdirinya partai, struktur

kepengurusan DPW PPP Jawa Timur dari masing-masing

kubu, dan perbandingan perolehan suara PPP dalam

Pemilu.

BAB IV : Analisis Data. Bab ini akan menjelaskan tentang analisa

peta politik di DPW PPP Jawa Timur dan masa depan PPP

pasca konflik.

(34)

BAB II

KERANGKA TEORI

Dalam penelitian ini menjelaskan tentang beberapa pendekatan teoritik yang

nantinya akan menunjang dalam analisis data. Beberapa teoritik tersebut adalah

teori konflik, elit politik dan faksionalisme partai. Teori konflik digunakan dalam

penelitian ini dikarenakan fokusnya terletak pada konflik yang terjadi di tubuh

partai PPP. Sedangkan elit politik digunakan dalam penelitian ini karena aktor

yang berkonflik di partai PPP merupakan para elit di partai PPP. Dan pendekatan

faksionalisme partai adalah untuk menganalisis data tentang kubu-kubu yang ada

di DPW PPP Jawa Timur.

A. Teori Konflik

Konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti

kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik mengandung pengertian

“benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara

individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok, dan

antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Sehingga, ada konflik yang

berwujud kekerasan dan ada pula konflik yang tak berwujud kekerasan23.

Konflik adalah suatu bentuk interaksi sosial dimana seseorang individu

atau kelompok dalam mencapai tujuan maka individu atau kelompok akan

mengalami kehancuran, sedang yang lain menilai bahwa konflik merupakan

23Ramalan Surbakti,

(35)

26

sebuah proses sosial dimana individu-individu atau kelompok individu berusaha

memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau

kekerasan24. Menurut Soerjono Soekanto, “Konflik adalah proses sosialisasi

dimana orang perorang atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya

dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan”.

Menurut Coser, konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau

tuntutan-tuntutan mengenai dengan status, kuasa, sumber-sumber kekayaan yang

persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya

bermaksud memperoleh barang yang diinginkan melainkan juga memojokkan,

merugikan atau bahkan menghancurkan pihak lawan. Perselisihan atau konflik

dapat berlangsung antar individu-individu, kumpulan-kumpulan atau antar

individu dengan kumpulan. Bagaimanapun konflik baik yang bersifat antara

kelompok maupun intra kelompok, selalu ada ditempat hidup orang bersama.

Konflik disebut unsur interaksi yang penting, dan tidak sama sekali tidak boleh

dikatakan selalu tidak baik atau memecah belah dan merusak, justru konflik dapat

menyumbangkan banyak pada kelestarian kelompok dan memepererat hubungan

antar anggotanya.

Setiap sistem politik terutama sistem politik demokrasi penuh kompetisi

dan sangat dimungkinkan adanya perbedaan kepentingan, rivalitas, dan

konflik-konflik. Hal ini merupakan realitas sosial yang terjadi di tengah masyarakat

modern, karena masing-masing mempunyai interest atau tujuan yang mungkin

saling bertentangan. Maka konflik dalam ilmu politik sering diterjemakhkan

24Slamet Santosa,

(36)

27

sebagai oposisi, interaksi yang antagonistis atau pertentangan, benturan antar

macam-macam paham, perselisihan kurang mufakat, pergesekan, perkelahian,

perlawanan dengan senjata dan perang.

1. Penyebab Konflik

Timbulnya konflik kepentingan menurut Dahrendorf25, berawal dari

orang-orang yang tinggal bersama dan meletakkan dasar-dasar bagi

bentuk-bentuk organisasi sosial, dimana terdapat posisi-posisi dalam hal mana para

penghuni mempunyai kekuasaan memerintah dalam konteks-konteks tertentu

dan menguasai posisi-posisi tertentu, serta terdapat posisi lain dimana para

penghuni menjadi sasaran perintah demikian itu. Perbedaan ini berhubungan

baik sekali dengan ketidak seimbangan distribusi kekuasaan yang melahirkan

konflik kepentingan itu.

Dahrendorf melihat hubungan yang erat antara konflik dengan perubahan

dalam hal ini sejalan dengan pendapat Lewis Coser bahwa seluruh aktifitas,

inovasi dan perkembangan dalam kehidupan kelompoknya dan masyarakatnya

disebabkan terjadinya konflik antara kelompok dan kelompok, individu dan

individu serta antara emosi dan emosi didalam diri individu. Dahrendorf juga

menjelaskan bahwa konflik sosial mempunyai sumber struktur, yakni

hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial. Dengan

kata lain, konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut konflik tentang

keabsahan kekuasaan yang ada.

25Pluit Dean J dan Rubbin Jeffry,

(37)

28

Menurut Maurice Duverger, penyebab terjadinya konflik adalah: (1)

Sebab-sebab individual. Sebab-sebab individual seperti kecendrungan

berkompetisi atau selalu tidak puas terhadap pekerjaan orang lain dapat

menyebabkan orang yang mempunyai ciri-ciri seperti ini selalu terlibat dalam

konflik dengan orang lain dimanapun berada. (2) Sebab-sebab kolektif, adalah

penyebab konflik yang terbentuk oleh kelompok sebagai hasil dari interaksi

sosial antara anggota-anggota kelompok. Penyebab konflik ini dihasilkan oleh

adanya tantangan dan masalah yang berasal dari luar yang dianggap

mengancam kelompoknya.

2. Bentuk-bentuk Konflik

Dalam teori konflik terdapat beberapa bentuk konflik dan tertuju pada

permasalahan konflik, seperti yang dikemukakan oleh para ilmuan barat,

masalah konflik tidak mengenal demokratisasi maupun diktatorisasi dan

bersifat universal.

Menurut teori Fisher, pola konflik dibagi ke dalam tiga bentuk: (1) Konflik

laten yaitu konflik yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan

sehingga dapat ditangani secara efektif. (2) Konflik manifest atau terbuka

yaitu konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan bebagai

tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya. (3)

Sedangkan konflik permukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar

dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat

(38)

29

Menurut Maurice Duverger ada tiga bentuk konflik yang berkaitan dengan

kekuasaan atau politik antara lain: (1) Konflik yang sama sekali tidak

mempunyai dasar prinsipil, bentuk konflik ini berhubungan langsung dengan

masalah praktis bukan dengan masalah ideologi yang dilakukan baik oleh

individu maupun golongan atau kelompok. (2) Konflik yang lebih menitik

beratkan kepada perbedaan pandangan baik individual maupun kelompok

yang menyangkut dengan masalah partai politik atau yang berhubungan

dengan kepentingan partai politik, masyarakat yang dianggap mewakili rakyat.

(3) Konflik yang menitik beratkan kepada permasalahan perbedaan ideologi,

masing-masing memperjuangkan ideologi partainya yang semuanya merasa

benar.

Menurut Coser ada dua bentuk dasar konflik yaitu konflik realistis dan

konflik non-realistis. Konflik realistis adalah konflik yang mempunyai sumber

konkrit atau bersifat material, seperti perebutan wilayah atau kekuasaan, dan

konflik ini bisa teratasi kalau diperoleh dengan merebut tanpa perkelahian dan

pertikaian26.

Konflik non-realistis adalah konflik yang didorong oleh keinginan yang

tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, seperti konflik antar agama

dan organisasi-organisasi masyarakat, dan konflik non-realistis adalah satu

cara mempertegas atau menurunkan ketegangan suatu kelompok. Dalam

sejarah Indonesia baik pada masa kolonial maupun pada masa pasca

kemerdekaan konflik ini dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: (1)

26Lewis Coser,

(39)

30

Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antar negara atau antara aparat

negara dengan warga negara baik secara individual maupun kelompok, seperti

pemberontakan bersenjata yang bertujuan memisahkan diri dari NKRI. (2)

Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok-kelompok

diberbagai lokasi biasanya dilandasi oleh suatu sentimen subyektif yang

sangat mendalam yang diyakini warganya seperti sentimen kesukuan atau

sentimen organisasi.

3. Dampak Konflik

Menurut Fisher suatu konflik tidak selalu berdampak negatif, tapi ada

kalanya konflik juga memiliki dampak positif. Dampak positif dari suatu

konflik adalah sebagai berikut: (1) Konflik dapat memperjelas berbagai aspek

kehidupan yang masih belum tuntas. (2) Adanya konflik menimbulkan

penyesuaian kembali norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat. (3) Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara angota

kelompok. (4) Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap

individu atau kelompok. Sedangkan dampak negatif dari suatu konflik adalah

sebagai berikut: (1) Keretakan hubungan antar individu dan persatuan

kelompok. (2) Kerusakan harta benda bahkan dalam tingkatan konflik yang

lebih tinggi dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. (3) Berubahnya

kepribadian para individu atau anggota kelompok. (2) Munculnya dominasi

(40)

31

B. Konsep Elit Politik

Dalam pengertian yang umum elit menunjuk pada sekelompok orang

orang yang ada dalam masyarakat dan menempati kedudukan tinggi. Dalam

pengertian khusus dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang terkemuka di

bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan minoritas yang memegang

kekuasaan.

Dalam studi sosial golongan minoritas yang berada pada posisi atas yang

secara fungsional dapat berkuasa dan menentukan dikenal dengan elit. Elite

adalah suatu minoritas pribadi-pribadi yang diangkat untuk melayani suatu

kolektivitas dengan cara yang bernilai sosial.

Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang

memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller

mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama,

ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut

elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang

beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi

kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint

Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).

Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul

semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang

dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan

Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap masyarakat,

(41)

32

dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua

sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca27.

Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok

kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan

politik. Kelompok kessil itu disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat

kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan

tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit

berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai

kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya.

Pareto lebih lanjut membagi masyarakat dalam dua kelas, yaitu pertama elit yang

memerintah dan elit yang tidak memerintah. Kedua, lapisan rendah (non- elite)

kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan

teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua masyarakat, mulai dari yang

paling giat mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada

masyarakt yang paling maju dan kuat selalu muncul dua kelas, yakni kelas yang

memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, biasanya

jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan

dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Kelas

yang diperintah jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang

memerintah28.

Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara

efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat. Definisi ini kemduain

(42)

33

didukung oleh Robert Michel yang berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki”

tak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu ada kelompok kecil yang kuat,

dominan dan mampu mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell

berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya tersebar (tidak

berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti pada setiap tahapan

fungsional dalam proses pembuatan keputusan, dan perannya pun bisa naik turun

tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang lebih penting, dalam situasi

peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit bisa melekat kepada siapa saja

yang kebetuan punya peran penting29.

Pandangan yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine Marvick.

Menurutnya ada dua tradisi akademik tentang elit. Pertama, dalam tradisi yang

lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis,

memenuhi kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul, atau

menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta

tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Kedua, dalam tradisi yang lebih

baru, elit dilihat sebagai kelompok, baik kelompok yang menghimpun yang

menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa di berbagai sektor dan

tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau

pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral.

Field dan Higley menyederhanakan dengan mengemukakan bahwa elit

adalah orang-orang yang memiliki posisi kunci, yang secara awam dipandang

sebagai sebuah kelompok. Merekalah yang membuat kebijakan umum, yang satu

(43)

34

sama lain melakukan koordinasi untuk menonjolkan perannya. Menurut Marvick,

meskipun elit sering dipandang sebagai satu kelompok yang terpadu, tetapi

sesungguhnya di antara anggota-anggota elit itu sendiri, apa lagi dengan elit yang

lain sering bersaing dan berbeda kepentingan. Persaingan dan perbedaan

kepentingan antar elit itu kerap kali terjadi dalam perebutan kekuasaan atau

sirkulasi elit.

Pandangan ilmuwan sosial di atas menunjukkan bahwa elit memiliki

pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang

memiliki/bersumber dari penghargaan masyarakat terhadap kelebihan elit yang

dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber

kekuasaan itu bisa berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan, agama,

kekerabatan, kepandaian dan keterampilan. Pendapat senda juga diungkapkan

oleh Charles F. Andrain30 yang menyebutnya sebagai sumber daya kekuasaan,

yakni: sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian.

C. Faksionalisme Partai

Dewasa ini masalah kelompok-kelompok dan faksi-faksi di dalam partai

telah menjadi poin penting. Karena pentingnya masalah ini secara intrinsik dan

bagaimana masalah ini telah mengambil bentuk yang sangat tajam, maka masalah

ini harus didiskusikan dengan kejelasan yang sempurna. Namun, cukup sering

masalah ini dikedepankan dengan cara yang keliru.

(44)

35

1. Definisi Faksionalisme

Diterapkan istilah 'faksi' kelompok dengan karakteristik yang sangat

berbeda. Dalam kebanyakan kasus, konteks dan ruang lingkup penelitian sebagian

besar mempengaruhi definisi dari faksionalisme. Faksi sebagai kombinasi atau

pengelompokan pemilih dan pemimpin politik yang bersatu di waktu tertentu

dalam mendukung calon. Selanjutnya, definisi dari faksi cenderung dikaitkan

dengan identifikasi kekuatan organisasi. Sebuah analisis rinci dari faksionalisme

partai dipelopori oleh Raphael Zariski dan itu adalah analisis konseptual pertama

yang menawarkan hipotesis untuk menjelaskan politik faksi menggunakan

kerangka komparatif. Zariski mengembangkan berbagai pendekatan untuk

menganalisis kelompok intra-partai yang dilabel sebagai faksi dari fungsi struktur

dan dampak kelompok politik tersebut. Zariski mendefinisikan faksi sebagai:

setiap intra-partai kombinasi, atau pengelompokan yang anggotanya berbagi rasa

identitas umum dan tujuan umum dan diatur untuk bertindak secara kolektif

sebagai blok yang berbeda dalam partai untuk mencapai tujuan mereka31.

Pemahaman Zariski tentang faksi jelas menyiratkan tingkat daya tahan tertentu

dari organisasi. Dia menunjukkan kebutuhan untuk faksi memiliki identitas umum

dan menjadi terorganisir secara kolektif. Kecenderungan ini mengilhami definisi

ini lebih berlaku untuk negara-negara dengan sistem politik yang lebih mapan dan

pihak yang dilembagakan.

31Bima Arya Sugiarto, “Beyond Formal Politics: Party Factionalism and Leadership In

(45)

36

Penafsiran sempit tentang faksi diperkenalkan oleh Nathan yang cenderung

mengasosiasikan faksi dengan ikatan patron-klien terlepas dari tingkat organisasi.

Menggambar dari analisis pengelompokan dalam Partai Komunis China, faksi

menurut Nathan dapat dianggap sebagai "jaringan pribadi pemimpin individu

yang beroperasi pada dasar hubungan klientelis untuk tujuan politik mereka".

Meskipun masalah organisasi, sarjana lain telah mencoba untuk fokus pada dasar

kelompok yang terbagi.

Perdebatan lain yang berkaitan dengan aspek-aspek motivasi dari faksi

partai adalah apakah faksi dasarnya kelompok ideologis. Pembahasan mengenai

faktor ideologis di faksi formasi dasarnya berasal dari gagasan bahwa faksi

mungkin memiliki berbagai tujuan, kepentingan daerah atau kelompok, pengaruh

pada strategi partai dan dari pemerintah, dan promosi seperangkat nilai diskrit.

Dalam banyak kasus, ideologi faksionalisme menjadi aspek penting dalam

pembentukan identitas partai. Ideologi konflik mencerminkan perbedaan pendapat

tentang nilai yang ditegakkan. Magone menyatakan bahwa kontroversi ideologi

sering didasarkan pada desain politik untuk organisasi internal partai dan sistem

politik di masa depan. Beller dan Belloni hati-hati menentukan faksi sebagai:

setiap kelompok yang relatif terorganisir dan yang bersaing dengan rival

kekuasaan keuntungan dalam kelompok yang lebih besar dari yang merupakan

(46)

37

2. Konsep Pokok Faksionalisme

Ada tiga jenis faksi yang kaitannya dengan struktur32: (1)geng faksi atau

kecenderungan; (2)faksi klien-kelompok pribadi; dan (3)melembagakan atau faksi

organisasi. Jenis pertama ditandai dengan ideologi umum, kebijakan, materi atau

minat pribadi dalam mengejar tujuan mereka. Dan ini merupakan jenis faksi yang

tidak resmi terorganisir. Ini sangat informal dan tidak harus dianggap sebagai

bagian resmi dari organisasi. Tipe ini sering digambarkan menggunakan istilah

seperti sayap partai, arus, kecenderungan atau faksi informal.

Tipe kedua, faksi pribadi atau klien-kelompok memiliki bentuk yang lebih

konkret dari jenis yang pertama. Pengelompokan ini secara pribadi merekrut

anggota dan mempertahankan ikatan antara pemimpin dan pengikut. Tipe ini

dapat dibagi lagi menjadi dua bentuk. Yang pertama adalah faksi yang sangat

pribadi direkrut secara pribadi dan berskala kecil, dan sering dalam konteks

tradisional. Yang kedua adalah faksi pribadi direkrut pada yang lebih umum

dengan skala yang lebih besar yang sering bekerja sebagai mesin partai atau

jaringan dalam partai bekerja untuk memperkuat dukungan elektoral partai.

Dibandingkan dengan faksi tradisional-pribadi, jenis-jenis faksi kedua ini yang

dianggap sebagai yang lebih dimodernisasi karena mereka merupakan sejumlah

besar anggota.

32Patrick Köllner and Basedau, “Factionalism in Political Parties:

(47)

38

Secara konseptual, Françoise Boucek dalam “Rethinking Factionalism”

membedakan „tiga wajah’ faksionalisme, yaitu kooperatif, kompetitif, dan

degeneratif. Tipologi ini merujuk pada perilaku aktor-aktor di dalam partai, yang

tidak sekadar meliputi proses dinamis pembelahan sub-sub kelompok di dalam

partai, namun juga proses perubahan yang multi-faceted yang terjadi sebagai

respon terhadap berbagai insentif. Faksionalisme kooperatif muncul kalau ada

kapasitas agregatif partai untuk memfasilitasi kerjasama antar berbagai kelompok

di dalam partai. Berbagai faksi atas dasar pengelompokan militansi ideologis,

primordial, ketokohan, dan lain sebagainya dapat mendinamisasi partai jika ada

kepemimpinan yang berorientasi pada consensus-building. Sebaliknya, wajah

faksionalisme kompetitif akan tampak ketika perbedaan pendapat, konflik

kepentingan, maupun perebutan jabatan-jabatan strategis di partai menghadirkan

gaya politik sentrifugal dan fragmentasi yang semakin mengeraskan perkubuan di

dalam partai. Jika tidak dikelola dengan baik, energi kompetisi faksional ini dapat

mendestabilisasi partai dan membuat kebuntuan pembuatan keputusan (decisional

stalemate) di partai. Yang paling serius adalah faksionalisme yang degeneratif. Ini

terjadi ketika muncul banyak faksi yang berorientasi pada kepentingan

kelompoknya semata dan beroperasi sebagai kanal untuk penyaluran patronase.

Privatisasi faksi dan insentif ini tentu mendorong konflik internal yang parah dan

dapat menjerumuskan partai pada perpecahan.

Jenis ketiga, faksi dilembagakan atau organisasi, adalah jenis yang paling

formal. Jenis ini memiliki mekanisme dalam merekrut anggota, dan memiliki

(48)

39

pemimpin-pengikut. Indikator yang sering berlaku untuk jenis golongan ini

mencakup memiliki pejabat, yang tunduk pada aturan formal dan mengikuti

prosedur biasa, memiliki nama atau simbol non-pribadi untuk kelompok.

3. Penyebab Faksionalisme

Faksionalisasi kepartaian sejatinya merupakan hal umum. Biasanya

faksionalisasi menjadi masalah serius ketika demokrasi internal dan

institutionalisasi partai tidak berjalan sehingga terjadi personifikasi kekuasaan.

Dalam konteks internal parpol, penyebab faksionalisme diantaranya kuat

dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama yaitu ideologi, kedua kepemimpinan partai,

dan ketiga karakter patronase. Pertama dalam konteks ideologi, parpol dengan

basis ideologi yang kokoh biasanya memiliki daya tahan yang kuat terhadap

perpecahan internal. Sebaliknya, semakin pragmatis karakter partai, semakin

rentan pula lah partai tersebut terhadap perpecahan. Kedua, parpol dengan tradisi

kepemimpinan yang baik juga lebih siap dalam mengelola benturan politik

internal dibandingkan parpol dengan corak kepemimpinan karismatik atau

kepemimpinan instan, karena sebagian besar penyebab faksionalisme terkait

dengan persaingan dalam merebut kendali politik partai.

Ketiga, faktor internal lain yang sangat memperngaruhi pengelolaan

faksionalisme adalah karakter patronase di dalam partai. Model patronase politik

tradisional dimana hubungan antara patron politik dengan kader-kadernya yang

sangat bersifat informal dan personal berpotensi besar mengancam struktur legal

formal partai. Karena loyalitas personal justru menjadi lebih menentukan daripada

(49)

40

lebih kuat daripada loyalitas terhadap platform perjuangan partai. Namun

sebaliknya dengan model patronase politik yang lebih modern, hubungan patron

politik dan kadernya lebih bersifat organisasional-formal. Patronase model ini

lebih sesuai dengan prinsip partai modern dan dapat memiliki fungsi strategis

sebagai mesin pembangunan institusi partai.

4. Dampak Faksionalisme

Faksionalisme yang berkepanjangan jelas menyebabkan semakin

melemahnya konsolidasi organisasi33. Para elit parpol saling melemahkan dan

tidak saling mendukung. Implikasi kegagalan mengelola faksionalisme ini,

misalnya, faksi yang terpinggirkan cenderung membentuk parpol baru atau para

politikus berpindah ke parpol lain sambil mencaci maki parpol yang pernah

dihinggapi. Parpol gagal menjalankan fungsinya sebagai intermediasi politik akan

berimbas terhadap institusi demokrasi (eksekutif-legislatif-yudikatif) dan perilaku

elit politik (pejabat publik) yang perekrutannya melibatkan parpol. Karena itu,

problem di lembaga legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif sejatinya sangat

mungkin merupakan imbas dari parpol yang gagal. Jika paprol gagal, maka tentu

saja upaya maksimalisasi pelayanan publik menjadi ilusi alias tak pernah

terwujud.

33Bima Arya Sugiarto, “Beyond Formal Politics: Party Factionalism and Leadership In

Gambar

Tabel 1 Perolehan suara  Tujuh Partai Politik di Provinsi Jawa Timur dari
     Tabel 1.1 Perolehan suara  Tujuh Partai Politik di Provinsi Jawa Timur dari
Tabel 3.1
Tabel 3.2 Susunan Dan Personalia
+2

Referensi

Dokumen terkait