• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Komunikasi Antar Budaya Dan Agama Tentang Kerukunan Umat Beragama Golongan Sunni Dan Syiah”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "“Komunikasi Antar Budaya Dan Agama Tentang Kerukunan Umat Beragama Golongan Sunni Dan Syiah”"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

“KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DAN AGAMA TENTANG KERUKUNAN UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH”

(Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memporelah Gelar Sarjana Komunikasi Islam

(S.Kom.I)

Oleh:

MOHAMMAD MIQDAD

1112051000075

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i

ABSTRAK

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA TENTANG KERUKUNAN UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH

(Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso)

Berbicara Sunni dan Syiah, kedua golongan besar dalam Islam ini seakan tidak berujung, dan selalu tidak lepas dengan konflik terkait dengan adanya beberapa perbedaan pemahaman antara keduanya perihal; Imamah (kepemimpinan), fiqih dan perayaan tradisi keislaman. Hal ini, yang kemudian menjadi pemicu terciptanya konflik didaerah-daerah, begitu pula di daerah Jambesari pada tahun 2006. Desa Jambesari merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Jambesari Darus sholah. di Desa Jambesari, golongan Syiah secara terang-terangan berkelompok dan menyampaikan keyakinan keSyiah-annya, mereka hidup berkelompok akan tetapi tetap terbuka dengan kelompok lainnya, sehingga tercipta kehidupan yang rukun.

Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan tulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaan Bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama (KAAB) golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari dalam membangun kerukunan? Sedangkan pertanyaan minornya adalah Mengapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari berhasil membangun kerukunan?

Pada tahun 2006 dapat dikatakan bahwa tidak terjalin dengan baik komunikasi antarbudaya pada masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari, sehingga terjadinya bentrokan antara pengikut kedua golongan tersebut. Namun, lambat laun masyarakat Jambesari pengikut kedua golongan tersebut semakin dewasa dalam memahami perbedaan.

Untuk meganalisis dan memahami komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah, peneliti menggunakan teori Edward T.Hall yang menyatakan communication is culture and culture is communication dan teori dua puluh Andi Faisal Bakti, konservatif dan transformatif. Serta faktor-faktor yang mempengaruhi terjalinnya komunikasi antarbudaya menurut Alo Liliweri.

Adapun metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan metode studi kasus. Studi kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data (sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis.

Berhasilnya masyarakat golongan Sunni dan Syiah dalam menimalisir faktor-faktor yang menghambat komunikasi antarbudaya dan agama, yang hal ini terekam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jambesari, menjadikan masyarakat golongan Sunni dan Syiah desa Jambesari hidup dengan penuh kedamaian dan kerukunan.

(6)

ii

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, Puji dan Syukur yang sebesar-besarnya atas

kehadirat Allah SWT yang tiada henti memberikan rahmat dan karunia kepada

hamba-hamba-Nya. Serta Sholawat dan Salam semoga selalu Allah limpahkan

kepada kekasih-Nya, penutup kenabian, Baginda Agung Nabi Muhammad SAW

beserta keluarga dan parasahabatnya, yang telah menjadi suri tauladan untuk kita

melangkah dalam jalan kebenaran.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan karena menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu demi

sempurnanya skripsi ini, penulis sangat membutuhkan dukungan dan sumbangsih

pikiran yang berupa kritik dan saran yang bersifat membangun.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta Ali Rahbini

dan Siti Fadilah, yang telah tulus ikhlas memberikan kasih sayang, cinta, do’a, perhatian, dukungan moral dan materil yang telah diberikan selama ini. Terima kasih

telah meluangkan segenap waktunya untuk mengasuh, mendidik, membimbing, dan

(7)

iii

Dengan terselesaikannya skripsi yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya Dan Agama Tentang Kerukunan Umat Beragama Golongan Sunni Dan Syiah (Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso Jawa Timur)

ini, perkenankanlah saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

(FDIKOM), Suparto, M. Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr.

Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, serta

Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.

2. Drs. Masran, M.A selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan

Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran

Islam.

3. Dr. A. Ilyas Ismail, MA Selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu

penulis dalam menyelesaikan skiripsi ini, ditengah-tengah kesibukannya beliau

selalu menyempatkan diri untuk memberikan pemikirannya dan mengarahkan

penulis dalam penyusunan skiripsi yang baik.

4. Umi Musyarofah, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik.

5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang

bermanfaat bagi penulis, selama penulis berada dibangku perkuliahan.

6. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

(8)

iv

Komunikasi yang telah memberikan pelayanan terbaik kepada penulis perihal

surat-menyurat.

8. Maltup Al-Hidayah, SH selaku Kepala Desa Jambesari. Bapak Qurdi selaku

Sekretaris Desa Jambesari. Serta kepada Bapak H.Abdullah, Bapak Ahmad Rawi,

Bapak Mukhlis, yang telah meluangkan waktunya dan bersedia menjadi

narasumber dalam penelitian ini.

9. Kifliah Batul kakak pertama dan suaminya Imam Ghozali, mereka adalah orang

tua penulis selama berada ditanah perantauan, kedua anaknya; Mahdi dan Mahda

yang selalu menemani dan menghibur penulis. Serta keluarga kakak kedua, Siti

Sofiah A.Noval dan Najmah, yang selalu mensupport penulis. Terimakasih atas

do’a dan nasihat-nasihat kalian.

10.Keluarga Besar Bani Soekarno, Bani Rafi’I, dan Bani Ami, Bani Rajidin.

11.Teman-teman KPI 2012 terkhusus teman-teman KPI C, kelompok KKN

KATULISTIWA, LASKAR 14, PANDU AB, dan TOP yang selalu meberikan

pelajaran mengenai arti petemanan, persaudaraan, atau bahkan percintaan.

Semoga persaudaraan kita tetap terjalin.

12.Habib Husein Jakfar al-Hadar, Kak Husein bin Abu Thalib al-Mudor,

kawan-kawan di Omah Jibriel; Bang Fadel BSA, Soivi, Khudori, Hasan M yang selalu

(9)

v

13.Sedulur Lir-ilir; Kang Syech, Mas Faisal, Ka Eidith, Ka Andini, Mas Abram, Mas

Sule, Mas Dana, Ali A, Bagier, Harsya dan Ali P, yang tak segan-segan untuk

selalu berbagi pengalaman dan pengetahuannya.

14.Ka Samsul, kaka senior yang telah bersedia meminjamkan buku-bukunya. Serta

kawan-kawan seperjuangan Skiripsi, Sari Setianingrum, Dewi Mufarikah, Melqy

A, Falahul Mualim Y, Rifqi M, Haris M yang selalu saling berbagi motivasi.

15.Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, namun tanpa

mengurangi rasa hormat, penulis ucapkan terimakasih.

Akhir kata dari penulis, semoga segala bentuk motivasi, dukungan dan do’a yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang berlimpah dan ridha dari

Allah SWT. Amin.

Jakarta, 1 Agustus 2016

(10)

vi

KATA PENGANTAR ………..………ii

DAFTAR ISI ……….. vi

DAFTAR TABEL ..……… ix

DAFTAR GAMBAR ……….. ix

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah .………1

B. Batasan Dan Perumusan Masalah ……….. 6

C. Tujuan Penelitian ………... 6

D. Signifikansi Penelitian ………... 7

E. Metodologi Penelitian………. 7

F. Teknik Analisis Data ………13

G. Pedoman Penelitian………...15

H. Tinjauan Pustaka ……….. 15

I. Sistematika Penelitian ……….. 17

BAB II KAJIAN TEORI……….19

A. Teori Komunikasi Antarbudaya dan Agama……….19

(11)

vii

2. Agama sebagai kelompok etnik ………. 23

J. Teori komunikasi Antaragama dan Budaya (KAAB) Andi Faisal Bakti………..……….... 25

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya…………. 31

1. Faktor Kognitif………... 31

2. Faktor gaya pribadi …...………. 32

3. Faktor-faktor Lain ………. 37

C. Konsep Kerukunan Umat Beragama ……..………. 38

D. Golongan Sunni dan Syiah ………...41

1. Definisi Sunni dan Syiah ………41

2. Pokok-pokok Ajaran Sunni dan Syiah ………42

BAB III GAMBARAN UMUM DESA JAMBESARI ………..45

A. Kondisi Geografis desa Jambesari ………45

B. Kondisi Demografis ………..47

C. Kehidupan Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari…52 BAB IV TEMUAN DAN HASIL ANALISIS………56

A. Komunikasi Antarbudaya dan Agama Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari ………57

(12)

viii

2. Faktor Gaya Pribadi Golongan Sunni dan Syiah ………... 67

3. Faktor-faktor lain golongan Sunni dan Syiah ……… 80

D. Interpretasi Data ………... 85

BAB V PENUTUP ……… 88

A. Kesimpulan ……….. 88

B. Saran ……… 90

DAFTAR PUSTAKA ……… 91

(13)

ix

DAFTAR TABEL

TABEL 2.1 ……….. 25

TABEL 3.1 ……….. 46

TABEL 3.2 ……….. 48

TABEL 3.3 ……….. 49

TABEL 3.4 ……….. 51

DAFTAR GAMBAR GAMBAR 3.1 ……… 44

GAMBAR 3.2……….. 50

GAMBAR 4.1……….. 61

(14)

1 A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi

sosial kalau tidak berkomunikasi. Komunikasi merupakan hal yang sangat

penting bagi manusia. apalagi bagi yang hidup dengan keragaman

kebudayaan, menuntut manusia untuk memahami dan berinteraksi dengan

budaya lain. Setiap sesuatu yang berkaitan dengan cara hidup manusia adalah

budaya. Setiap manusia pun akan berusaha berada dalam tatanan budaya

tersebut. Misalnya, cara berbicara, kebiasaan makan dan minum, bahasa

sehari-hari dan kegiatan keagamaan tertentu. Hal tersebut merupakan hasil

dari penyesuaian serta respon dari manusia, baik individu maupun sosial,

terhadap pola-pola budaya yang dikenalnya. Mereka lahir dan dibesarkan

dalam bentuk budayanya masing-masing.1

Semakin luas pergaulan dan pengetahuan tentang budaya lain, maka

makin besar fungsi, peranan dan tanggung jawab sosial seseorang. Makin

sering seseorang terlibat dalam proses komunikasi, maka akan berpegaruh

terhadap tingkah lakunya, karena komunikasi pada dasarnya adalah proses

penyampaian dan penerimaan lambang-lambang (pesan) yang mengadung

1

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi

(15)

2

makna antara komunikator dan komunikannya dengan tujuan mewujudkan

kesamaan makna dan kebersamaan. Artinya dengan adanya proses

komunikasi yang baik maka akan meminimalisir terjadinya kesalahpahaman

baik antar individu, etnik, kelompok atau antar seseorang yang berbeda latar

belakang budayanya.

Beberapa tahun terakhir ini, di Indonesia seringkali terdengar konflik

terkait dengan suku, agama dan ras (SARA); perusakan rumah ibadah

pengikut Ahmadiyah, pembakaran rumah masyarakat Syiah di Sampang pada

tahun 2012, konflik Tolikara pada tahun 2015, pelarangan perayaan Asyuro

masyarakat Syiah di Bogor, pembakaran rumah ibadah di Singkil, Aceh dan

lainnya. Alhasil, Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau

berkeyakinan sepanjang tahun 2014 dari hasil riset The Wahid Institute

berjumlah 158 peristiwa dengan 187 tindakan. Dari jumlah tersebut, 80

peristiwa melibatkan 98 aktor negara; sementara 78 peristiwa melibatkan 89

aktor non-negara. Adapun jumlah korban dari peristiwa pelanggaran ini

adalah anggota Syiah dengan 235 korban.2

Konflik internal dalam agama Islam, antara pengikut Sunni dan Syiah

tak ada habisnya diperbincangkan oleh masyarakat. Sunni dan Syiah

merupakan dua aliran besar dalam perkembangan teologi Islam. Sunni dan

Syiah tidak berbeda pendapat perihal fundamen agama, melainkan perbedaan

2

(16)

diantara mereka terjadi dalam memahami hukum-hukum yang bersifat

partikular (al-a]hkam al-Far’iyyah), karena perbedaan cara pandang mereka, khususnya dalam mengambil istinbat dari al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas

yang digunakan oleh kalangan Sunni dan akal yang digunakan oleh Syiah

Imamiyah. Karena itu perbedaan mereka dalam hal-hal yang bersifat parsial

merupakan rahmat, berkah, potensi, dan keluasan.3 Perbedaan ini, yang

kemudian dijadikan alasan bagi kaum intoleran untuk menyesatkan dan

membolehkan perusakan seperti yang terjadi di desa Karanggayam, Omben

Sampang 2012 silam.

Jika di daerah lain gesekan antara pengikut Sunni dan Syiah masih

sering terjadi. Di Jambesari, desa yang berjarak 12 kilometer ke arah selatan

dari Kota Bondowoso, Jawa Timur ini masyarakat golongan Syiah hidup

bekelompok dan secara terang-terangan menyatakan keyakinan

keSyiah-annya hidup berdampingan dengan masyarakat golongan Sunni penuh dengan

keharmonisan. Memang tak dapat dipungkiri, sebelumnya di desa ini Sunni

dan Syiah juga pernah terjadi konflik, yakni pada tahun 2006 perusakan

rumah dan mobil pengikut Syiah yang sedang menggelar pengajian. Di tahun

selanjutnya, 2007 kembali terjadi perseteruan, yakni pembakaran rumah salah

seorang tokoh Syiah. Tak hanya itu, dalam prilaku keseharian pun masyarakat

Syiah yang minoritas sering mendapat perlakuan yang berbeda. Misalkan,

3Mustofa Rafi’I, Islam Kita: Titik Temu Sunni-Syiah (

(17)

4

masyarakat Syiah yang notabane bekerja sebagai buruh tani dan kuli bangunan, tidak dipercaya lagi sehingga jarang dipekerjakan. Dalam acara

keIslamanpun seperti, akad nikah, selametan sunatan, perayaan maulid Nabi,

dan tradisi lainnya, masyarakat Syiah tidak diundang karena sudah dianggap

sesat atau bahkan kafir yakni bukan bagian dari Islam. Namun, saat ini di

lingkungan ini masyarakat Sunni dan Syiah, kembali hidup rukun dengan

mengedepankan persamaan dan tidak mempermasalahkan perbedaan.

Pada dasarnya banyak kesamaan antara Ahlus Sunnah Wal Jamaah

atau (NU) sebutan lain dari Sunni dengan Syi’ah. “NU itu Syi’ah minus

Imamah. Syiah itu NU plus Imamah.” Demikian pernyataan populer

Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Selain itu Gus Dur juga

pernah menyatakan bahwa NU adalah “Syi’ah Kultural”. Agus Sunyoto

mengungkapkan maksud dari pernyataan Gus Dur bahwa NU adalah “Syiah

kultural” dari kacamata kebudayaan. Maksudnya, tradisi keIslaman yang

dijalankan orang NU memiliki kesamaan secara kultural dengan yang

dijalankan orang-orang Syiah, meskipun kedua juga memiliki perbedaan.4

Daniel dan Mahdi sebagaimana yang dikutip oleh Larry A.Samovar

dkk, juga menjelaskan walaupun Sunni dan shiite (Syiah) memiliki perbedaan

sejak tahun 632, namun Sunni dan shiite (Syiah) memiliki banyak kesamaan.

Dalam tulisannya Daniel dan Mahdi menjelaskan,

4

(18)

“Mereka menggunakan kitab suci yang sama qur’an,

memercayai pandangan yang sama mengenai Tuhan, menghormati

Nabi yang sama, melakukan shalat yang sama, berdo’a kearah yang sama kepada Tuhan yang sama, berpuasa dalam jumlah hari yang

sama, dan lain.”5 Mereka juga berbagi “etnis, bahasa, makanan, dan

pakaian yang sama.”6

Prof. Dr.Syekh Ahmad Muhammad Ahmad ath-thayyeb pun

mengatakan dalam pesannya saat melakukan kunjungan ke Indonesia;

Hentikan Konflik Sunni-Syiah kalian bersaudara. Grand Syekh Al-Azhar

mengatakan bahwa;

“Syiah beragam, namun mereka adalah saudara, mereka tetap

Muslim, kita tidak bisa serta-merta menghakimi mereka keluar Islam hanya karena satu perkara. Memang tedapat sikap berlebihan, tidak di

semua Syiah dan tidak semua ulama mereka demikian…..”7

Dua aliran kepercayaan dalam Islam ini, dalam kajian komunikasi

antarbudaya, dikenal dengan subkultur. Menurut porter dan Samovar

subkultur, yaitu komunitas yang menjadi pembeda dengan subkultur lainnya.

Dalam kebudayaan masyarakat yang ada dalam lingkungan tempat tumbuh

berkembangnya komunitas tersebut ataupun ditempat lain. Adapun yang

menjadi pembeda pada komunitas subbudaya adalah ras, etnik, regional, e

konomi, dan bahkan perilaku sosial yang menjadikan ciri tersendiri bagi

komunitas tersebut.8

Samovar L.A, Richard E.P, Edwin R.Mc Daniel, Komunikasi Lintas Budaya h.149.

7

m.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islam-nusantara diakses pada tanggal, 25 Maret 2016.

8

Deddy Mulyana dan jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi

(19)

6

Berdasarkan pada latar belakang di atas, penulis memberi judul:

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA TENTANG

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH (Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso Jawa Timur)

B. Batasan Dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah komunikasi yang

dilakukan oleh golongan Sunni dan Syiah terkait menjalin kerukunan

beragama khususnya di desa jambesari. Komunikasi yang difokuskan

kepada komunikasi antarbudaya dan agamanya.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, disusunlah rumusan

masalah, yaitu:

1. Bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan

Syiah di Desa Jambesari dalam membangun kerukunan?

2. Mengapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari berhasil

(20)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah:

A.Untuk mengetahui bagaimana komunikasi antar budaya dan agama

golongan Sunni dan Syiah tentang kerukunan di Desa Jambesari.

B. Untuk mengetahui mengapa golongan Sunni dan Syiah di desa

Jambesari berhasil membangun kerukunan.

D. Signifikansi Penelitian

Dilihat dari tujuan penelitian tersebut maka manfaat dari penelitian ini

dapat dilihat dari segi akademis dan praktis.

1. Manfaat akademis

Peneliti berharap penelitia ini memberikan konstribusi teoritis,

dan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penelitian

selanjutnya dalam studi komunikasi antarbudaya dan agama, serta

memberikan konstribusi pada aspek kebudayaan itu sendiri.

2. Manfaat Praktis

Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan informasi

kepada masyarakat tentang komunikasi antarbudaya dan agama

masyarakat Sunni dan Syiah di Desa Jambesari dalam membangun

(21)

8

E. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas

dunia nyata.9 Pada penelitian ini paradigma yang digunakan adalah

konstruktivisme. Realitas yang ada merupakan hasil konstruksi dari

kemampun berfikir seseorang. Dalam paradigma ini, perlu adanya

interaksi antara peneliti yang diteliti, agar mampu merekonstruksi realitas

yang diteliti melalui metode kualitatif.10 Untuk itu peneliti akan

melakukan penelitian terhadap golongan Sunni dan Syiah agar mampu

merekonstruksi realitas yang ada.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sifat

penelitian deskriptif. Menurut Whitney (1960) dikutip oleh Nazir, metode

deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.11

Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah masyarakat, serta tata

cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk

tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan,

9

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2010) cet ke-7. h.9.

10

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi

Komunikasi di Masyarakat), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.238.

11

(22)

serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari

suatu fenomena.12

Jenis metode penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus

(case study). Menurut John W. Creswell, studi kasus merupakan strategi

penelitian, dimana peneliti menyelidiki secara cermat suatu program,

peristiwa, aktivitas, proses atau sekelompok individu.13 Kasus-kasus

dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi

secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data

berdasarkan waktu yang telah ditentukan.14 Dilihat dari objek

penelitiannya, jenis studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini

adalah instrumental tunggal (single instrumental case study). Yakni penelitian studi kasus yang dilakukan dengan menggunakan kasus untuk

suatu isu atau perhatian. Peneliti memperhatikan dan mengkaji suatu isu

yang menarik perhatiannya, dan menggunakan sebuah kasus sebagai

sarana (instrument) untuk menggambarkannya secara terperinci. Dalam

hal ini, yakni “konflik antara masyarakat golongan Sunni dan Syiah di

desa Jambesari pada tahun 2006, sebagai instrument untuk

menggambarkan secara terperinci komunikasi antarbudaya dan agama

12

Moh Nazir, Metode Penelitian h.55

13

John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2008), h.19.

14

(23)

10

golongan Sunni dan Syiah dalam membangun kerukunan antar umat

beragama”.

Maka pada penelitian ini peneliti mengamati dan berhubungan dengan

golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari melalui teknik pengumpulan

data wawancara, dokumentasi, dan observasi langsung pada aktifitas

komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah di desa

Jambesari dalam membangun kerukunan.

3. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi Subjek penelitian adalah Golongan

Sunni dan golongan Syiah di Desa Jambesari yang menjadi sumber bagi

peneliti untuk memperoleh keterangan dalam data. Sedangkan objek

penelitiannya adalah bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama

golongan Sunni dan Syiah tentang kerukunan di Desa Jambesari.

4. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Jambesari, Kecamatan Jambesari

Darus Solah, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Adapun waktu

penelitian yakni sejak diturunkannya surat ijin melaksanakan penelitian

tanggal 27 April-21Juni 2016.

a. Pada tanggal 7 Mei 2016 pukul 09.00 WIB, peneliti melakukan

wawancara dengan Qurdi, selaku Sekretaris desa yang bertempat di

(24)

b. Pada tanggal 10 Mei 2016 pukul 10.00 WIB peneliti melakukan

wawancara dengan H.Abdullah selaku tokoh masyarakat golongan

Sunni di desa Jambesari.

c. Pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 10.00 WIB peneliti melakukan

wawancara dengan Ahmad Rowi, selaku tokoh masyarakat Syiah

desa Jambesari, bertempat dikediamannya di RT 07 RW 012 desa

Jambesari.

d. Pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 13.00 WIB peneliti melakukan

wawancara dengan Mukhlis, selaku salah seorang tokoh masyarakat

Syiah di kediamannya yang bertempat di RT 07 RW 012 desa

Jambesari.

e. Pada tanggal 15 Mei 2016 pukul 13.00 WIB peneliti melakukan

wawancara dengan Abdur Rahim, salah seorang golongan Sunni

yang bekerja sebagai buruh tani.

5. Sumber Data

Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, disini peneliti

menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber

berupa hasil temuan penelitian observasi serta wawancara dengan

masyarakat Syiah dan Sunni di desa Jambesari.

b. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang terdapat

(25)

12

dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian mengenai

komunikasi antarbudaya, masyarakat syi’ah dan Sunni.

6. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini, peneliti menggunakan tiga tehnik dalam pengumpulan

data, yaitu:

a. Observasi

Observasi yaitu dasar semua ilmu pengetahuan, karena ilmuan

hanya dapat bekerja berdasarkan data atau fakta mengetahui dunia

kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Marshall mengatakan

bahwa melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku, dan

makna dari perilaku tersebut.15 Dalam hal ini peneliti mengamati

langsung proses komunikasi antarbudaya dan agama golongan

Sunni dan Syiah.

b. Interview (wawancara) mendalam

Untuk memperoleh data yang diperlukan, peneliti

menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode

wawancara, suatu teknik yang dianggap tepat dalam mendapatkan

informasi. Karena itu, peneliti melakukan wawancara bebas

terpimpin (semi structured interview), yaitu wawancara dengan

menggunakan interview guide atau pedoman wawancara yang

15

(26)

dibuat berupa daftar pertanyaan.16 Wawancara dilakukan secara

bebas, tetapi menggunakan pedoman wawancara yang baik dan

benar agar pertanyaan terstruktur dan terarah.

Dalam hal ini peneliti telah melakukan tanyajawab/wawancara

kepada beberapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari.

Wawancara ini bertujuan untuk menggali keterangan lebih

mendalam seputar kerukunan golongan Sunni dan Syiah di desa

tersebut. Adapun Narasumber pada penelitian ini adalah; Bapak

Qurdi selaku Sekretaris desa Jambesari, Bapak H.Abdullah selaku

tokoh masyarakat golongan Sunni, Bapak Abdur Rahim selaku

masyarakat golongan Sunni. Bapak Ahmad Rawi selaku tokoh

masyarakat golongan Syiah, dan Bapak Mukhlis selaku tokoh

masyarakat golongan Syiah.

c. Dokumentasi

Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode

observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.17 Menurut

Burhan Bungin, metode dokumenter adalah salah satu metode

pengumpulan data yang digunakan dalam metodelogi penelitian

16

Denzin, Norman K, Lincoln, Yonna S, Handbook of Qualitative Research, Dariyanto dkk (edisi terjemahan Indonesia), (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009).

17

(27)

14

sosial. Pada intinya, metode dokumenter adalah metode yang

digunakan untuk menelusuri data historis. 18

F. Teknik Analisis Data

Pada penelitian studi kasus kualitatif teknik analisis datanya adalah

Description, Themes, Assertions19 sebagai berikut:

a) Description

Sejak kehadirannya pada tahun 2006 di desa Jambesari, paham

Syiah tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Hal ini,

diduga karena paham Syiah memiliki ajaran yang berbeda dengan

ajaran yang dipahami masyarakat setempat, khususnya ajaran dari para

sesepuh desa Jambesari. Beragam isu negatif yang ditujukan kepada

masyarakat golongan Syiah, mulai dari cara shalat berbeda, bisa tukar

menukar istri, al-Qur’annya berbeda, dan semacamnya. Sehingga

terjadinya bentrokan antara pengikut kedua golongan tersebut. Namun,

lambat laun masyarakat Jambesari pengikut kedua golongan tersebut

semakin dewasa dalam memahami perbedaan.

b) Themes

Jika di daerah lain gesekan antara pengikut Sunni dan Syiah

masih sering terjadi. Di Jambesari, desa yang berjarak 12 kilometer ke

18

Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif: Komunikas, Ekonomi, kebijakan Publik, dan

Ilmu sosial Lainnya (Jakarta: kencana Prenada Media group,2005) Cet ke-1, h.121

19

(28)

arah selatan dari Kota Bondowoso, Jawa Timur ini nampak harmonis.

Memang tak dapat dipungkiri, sebelumnya di desa ini golongan Sunni

dan Syiah juga pernah terjadi konflik, yakni pada tahun 2006. Namun,

saat ini di lingkungan ini masyarakat Sunni dan Syiah, kembali hidup

rukun.

c) Assertions

Dalam bermasyarakat dengan beragam aliran kepercayaan,

perlu adanya saling mengedepankan persamaan dan tidak

mempermasalahkan perbedaan. Sebab perbedaan adalah sebuah

keniscayaan yang tak perlu dipermasalahkan.

G. Pedoman Penelitian

Pedoman penelitian ini adalah buku Pedoman Penelitian Karya Ilmiah

(Skripsi, Tesis dan Disertasi) karangan Hamid Nasuhi dkk, yang diterbitkan

oleh CeQDA UIN Jakarta 2015.

H. Tinjauan Pustaka

Dalam menentukan judul ini peneliti sudah melakukan tinjauan

terhadap skripsi atau penelitian terdahulu. Harus diakui bahwa kajian

mengenai Sunni dan Syiah telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak.

Berdasarkan pengamatan langsung peneliti di perpustakaan Fakultas Dakwah

dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan

(29)

16

membahas tentang Sunni dan Syiah. Peneliti meninjau pada skiripsi atau

penelitian yang sudah ada, yang berkaitan dengan judul yang dianalisis

peneliti seperti;

Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Syukri, Mahasiswa

Komunikasi dan Penyiaran Islam tahun 2013, dengan judul “Komunikasi

Antarbudaya (Studi pada Pola Komunikasi Masyarakat Suku Betawi dengan

Madura dikeluarahan Condet Batu Ampar)”. Penelitian tersebut menekankan

pola lain dari komuikasi antarbudaya masyarakat suku Betawi dengan Suku

Madura, dalam konteks keagamaan. Serta, lebih banyak mengunakan pola

komunikasi antarpribadi dan kelompok. Adapun perbedaanya dengan

penelitian ini adalah terletak pada subjek penelitiannya. Yang menjadi subjek

penelitian dalam penelitian Ahmad adalah warga suku Betawi dan Madura di

kelurahan Condet Batu Ampar. Sedangkan Subjek pada penelitian ini adalah

golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Namun objek penelitian dari

keduanya yaitu sama-sama membahas tentang kajian komunikasi

antarbudaya.

Penelitian lain yang dilakukan Ita Anastianah, dengan judul “Elite &

Konflik Komunal Keagamaan (Studi kasus Konflik Sunni-Syiah Sampang”.

Penelitian tersebut mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

konflik komunal Sunni dan Syiah di desa Karang Gayam, Sampang. Adapun

perbedaanya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terletak

(30)

adalah konflik komunal antara Sunni dan Syiah yang terjadi di Sampang,

Madura. Sedangkan objek penelitian penulis adalah komunikasi antarbudaya

golongan Sunni dan Syiah. Namun subjek penelitian keduanya sama-sama

golongan Sunni dan Syiah, meskipun lokasi penelitiannya berbeda.

Serta penelitian yang di lakukan oleh Siti Asiyah, Mahasiswa

Komunikasi dan Penyiaran Islam tahun 2013 dengan judul “Pola Komunikasi

Antar Umat Beragama (Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan

Muslim Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang). Penelitian

tersebut menemukan pola komunikasi dalam proses akulturasi, asimilasi, dan

enkulturasi antara masyarakat Tionghoa dengan Muslim Pribumi di RW 04

kelurahan Mekarsari Tangerang. Adapun perbedaanya dengan penelitian ini

adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek penelitian dalam

penelitian Siti Asiyah adalah warga Tionghoa dengan Muslim pribumi di RW

04 kelurahan Mekarsari Tangerang. Sedangkan Subjek penelitian penulis

adalah golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Namun objek penelitian

dari keduanya yaitu sama-sama membahas dari segi kajian komunikasi

antarbudaya.

I. Sistematika Penelitian

Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan

(31)

18

Lima bab. Dimana masing-masing bab dibagi ke dalam sub-sub dengan

penulisan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang masalah, batasan masalah dan

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : KAJIAN TEORI

Terdiri dari teori komunikasi antarbudaya dan agama, hakikat

agama dalam komunikasi antarbudaya, agama sebagai

kelompok etnik, teori duapuluh andi faisal bakti, komunikasi

antarbudaya yang efektif, konsep kerukunan umat beragama,

serta konsep golongan Sunni dan Syiah.

BAB III : GAMBARAN UMUM

Adalah gambaran umum objek penelitian yang terdiri dari

keadaan geografis, kondisi demografis desa jambesari,

Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, serta gambaran umum

tentang kehidupan masyarakat golongan Sunni dan Syiah

setempat.

BAB IV : KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA

GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH DI DESA

(32)

Adalah penyajian data-data yang diperoleh dari hasil

penelitian, berikut analisanya. Yaitu tentang komunikasi

antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah tentang

kurukunan di Desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso, Jawa

Timur. Serta mengapa golongan Sunni dan Syiah berhasil

menjalin kerukunan.

BAB V : PENUTUP

Adalah bab penutup dari tulisan ini yang berisi tentang

(33)

20 BAB II KAJIAN TEORI

A. Teori Komunikasi Antarbudaya dan Agama

Istilah “antarbudaya” pertama kali diperkenalkan oleh seorang

antropolog, Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent

Language. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi

dijelaskan satu tahun setelahnya, oleh David K. Berlo melalui bukunya The

Process of Communication (an introduction to theory and practice). Dalam

tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurutnya,

komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR,

yaitu: source, messages, channel, receiver.1

Menurut teori komunikasi antarbudaya, Edward T. Hall, teori hall

mengaitkan komunikasi dengan budaya memiliki hubungan sangat erat.

Menurutnya, communication is culture and culture is communication. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu cara untuk menyebarluaskan

norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal dari suatu masyarakat

kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke

generasi berikutnya secara turun temurun. Pada sisi lain, budaya merupakan

norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

1

(34)

Pada dasarnya, komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang

tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satusama lain. Budaya tidak

hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana

komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana

orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan

kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.

Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada

budaya tempat manusia tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya

merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka

beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.2

Adapun pengertian komunikasi antarbudaya (intercultural

Communication) adalah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang dari

kultur yang berbeda, yakni antara orang-orang yang memiliki kepercayaan,

nilai dan cara berperilaku kultur yang berbeda.3

Berikut pengertian

komunikasi antarbudaya menurut para ahli;

1) Andrea L.Rich dan Dennis M.Ogawa mendefinisikan komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antara etnik dan ras, antar kelas social.4

2) Charley H.Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili

2

Mulyana dan Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan

Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005) h.20.

3

Devito, Joseph A. Komunikasi Antar Manusia (Tangerang: Kharisma Publishing Group. 2011) h. 535

4

(35)

22

pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.

3) Andi Faisal Bakti dalam beberapa teori dua puluh sering menyebutkan bahwa komunikasi antarbudaya melibatkan suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya menurut Andi Faisal Bakti adalah komunikasi yang terjadi melibatkan orang secara individu atau kelompok yang mempunyai latar belakang yang berbeda.5

Komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna

antara orang-orang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya pada dasarnya

mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa

makna pesan verbal dan non verbal menurut budaya-budaya bersangkutan,

bahasa bisa saja sama, tetapi kemungkinan bisa berbeda maknanya.

Menurut Alo liliweri, Pendekatan komunikasi antarbudaya memiliki

wajah ganda.6 Pertama, jika ditinjau dari perspektif sosiologi komunikasi, komunikasi antarbudaya membahas peranan agama dan kelompok keagamaan

dalam proses pembudayaan dan pembudidayaan, pengalihan nilai dan norma

(penyebaran) agama dari dan ke suatu kelompok dalam suatu masyarakat.

Dalam hal ini berarti sosiologi komunikasi mempelajari bentuk, sifat, cara,

metode, teknik “penyebarluasan dan norma dan nilai agama terhadap

intrakelompok maupun terhadap ekstern agama dan kelompok keagamaan.

5

Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South

Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, (Jakarta: INIS, 2004) h. 128.

6

(36)

Kedua, kelompok keagamaan dan bahkan agama sekalipun dapat dipandang

sebagai satu etnik yang tetap mempertahankan sistem norma dan nilai

sehingga menimbulkan kesan agama bersifat eksklusif, tertutup, sehingga

tentu ada tatanan yang mengatur cara seorang menjadi anggota suatu agama.

Pada akhirnya sangat penting dalam pembelajaran komunikasi

antarbudaya, memahami terhadap apa yang dipercayai orang tentang

bagaimana dunia ini kelihatannya dan berjalan. Sebagaimana dikatakan Paden

dalam Samovar;

“Belajar tentang agama...mempersiapkan kita untuk memasuki

tempat dan kebiasaan lain dan berbagai versi dari hal yang sakral maupun tidak sakral; juga untuk menerjemahkan dan menghargai bahasa dan perilaku yang berbeda. Oleh karena itu, pengetahuan

tentang orang lain mempunyai peranan yang penting.”7

1. Hakikat Agama dalam komunikasi antarbudaya

Sulit dipisahkan antara masyarakat dengan agama, sebab agama

menurut Liliweri adalah sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan

yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat yang menginterpretasi

dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang

ghaib dan suci.8

Sebagai suatu sistem keyakinan yang membentuk perilaku

keseharian penganut agamanya, maka sangat erat kaitannya antara agama

dengan budaya yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa dari manusia. Hal

7

Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya (Jakarta; Salemba Humanika, 2010) h.126.

8

(37)

24

ini juga dipertegas Lamb dalam samovar mengatakan kaitan antara agama dan

budaya adalah sangat jelas. Guruge juga mengatakan agama dan peradaban

saling bergandengan tangan dalam evolusi manusia sampai tahap yang tidak

dapat disimpulkan seseorang dimana keduanya setara dan berdampingan.9

Pada akhirnya, agama dan budaya saling mengisi dan melengkapi dimana

agama mempengaruhi dan membentuk budaya sedangkan budaya dibatasi

dengan nilai-nilai agama, sehingga sulit memisahkan hubungan keduanya.

2. Agama sebagai kelompok etnik

Manusia yang berkelompok berdasarkan keyakinan, kepercayaan, iman

terhadap sesuatu yang bersifat sakral disebut kelompok agama. Karena itu,

agama dapat dipandang sebagai suatu kelompok etnik. Secara historis dapat

disaksikan bahwa agama sebagai kelompok etnik itu mewakili suatu populasi

tertentu yang kita kenal keberadaannya dalam suatu masyarakat.10 Sebagai

contoh, masyarakat yang berkeyakinan Syiah adalah kelompok internal

dalam agama islam yang memiliki ciri berbeda dengan kelompok yang

laiinya.

Keberadaan kelompok agama dapat dilihat berupa simbol dan tanda,

materi, pesan-pesan verbal dan nonverbal, petunjuk berupa materi dan

immaterial, bahkan sikap dan cara berpikir yang sifatnya abstrak.

9

Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya, h.126.

10

(38)

Pada akhirnya menurut Alo Liliweri setiap kelompok agama hadir dan

diakui karena:

1) Para anggota kelompok mampu berkembang dan bertahan dengan

mempunyai jumlah tertentu.

2) Kehadiran kelompok itu diterima karena tidak membawa bibit

perpecahan

3) Adanya kesamaan nilai antar kelompok yang diimani secara sadar,

sehingga menumbuhkan rasa untuk selalu bersama-sama.

4) Membangun komunikasi dalam kelompok secara teratur.

5) Mampu menentukan perbedaan ciri-ciri kelompok dengan kelompok

yang lainnya.

6) Terkadang memiliki wilayah pengaruh dan kekuasaan.11

Secara universal agama berfungsi sebagai; fungsi edukatif, penyelamatan,

pengawasan sosial, transformatif dan persaudaraan.

1) Fungsi Edukatif. Yakni, agama berperan mengajarkan kepada para

pemeluknya nilai-nilai dan norma serta membimbing untuk

menjalankan dalam kehidupan.

2) Fungsi Penyelamatan. Yakni, agama berperan untuk menyadarkan

para pemeluknya terhadap keselamatan di dunia dan akhirat.

11

(39)

26

Sehingga dengan adanya kesadaran terhadap keselamatan, akan

mempengaruhi sikap atau perilaku penganutnya untuk selalu berbagi

kebaikan kepada seluruh mahluk.

3) Fungsi Pengawasan Sosial. Yakni agama menjadikan penganutnya

peka terhadap segala persoalan dalam kehidupan, sehingga dengan

adanya kepekaan tersebut tidak bisa menjadikan para penganutnya

hanya berdiam diri menyaksikan suatu persoalan.

4) Fungsi memupuk persaudaraan, Artinya setiap agama mengajarkan

untuk saling menghargai dan menghormati keyakinan setiap orang

baik intern umat beragama maupun antar umat beragam.

5) Fungsi transformatif, agama mewariskan nilai-nilai baru kepada

masyarakat, misalnnya inkulturasi yang proses penerapannya melalui

pemanfaatan media digital untuk menyebarkan agama.

6) Fungsi khusus agama, menjalankan tugas dan fungsinya melalui

pemeliharaan ciri khas, kekhususan, inkulturasi dengan masyarakat

budaya lokal. Misalnya kesatuan sosiologis unsur kesamaan darah,

Bahasa, dan daerah.12

B. Teori Komunikasi Antar Agama dan Budaya (KAAB) Andi Faisal Bakti

Teori dua puluh ini menunjukkan keadaan budaya kolektif yang masih

kaku (konservatif) dan lawannya yaitu keadaan budaya yang sudah elastis,

12

(40)

dapat mengadopsi budaya lain di luar budayanya sendiri (transformatif).13

Teori ini menggambarkan keadaan peradaban timur dan barat. Lalu, dalam

teori dua puluh ini dimunculkan pula solusi yang ditawarkan oleh Islam atas

dua corak komunikasi antarbudaya yang tergambar dari teori duapuluh.

No Kaum Konservatif Kaum Transformatif Islam

1 (Être pensé par sa culture) Suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang dikendalikan atau dikontrol oleh budayanya (masa lalu).

(Penser sa culture) Suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berupaya untuk mengubah budayanya. Baik itu yang sekarang maupun masa budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mewarisi nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berupaya untuk mendapatkan kultur-kultur yang

Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South

(41)

28

dalam mendapatkan kultur yang baru.

3 Submission: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang hanya tunduk kepada budayanya sendiri dan tidak terpengaruh dengan ajaran lain yang bertentangan dengan bersikap egaliter atau tidak tunduk serta ingin bebas dari cengkraman yang sudah ada.

al-Islam

4 Adoration of scriptures: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang sangat mencintai atau menyukai teks agamanya (kitab sucinya).

Interpretation of sciptures

(ijtihād): Sekelompok masya-rakat, agama, dan budaya yang memaknai atau memahami teks (kitab suci) yang menjadi pegangannya

Ijtihād.

5 Textualist: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang percaya teks sebagai suatu kebenaran. Dengan kata lain teks yang berkata-kata atau berbicara.

Contextualist: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang percaya kepada konteks dan pemahamannya tidak secara harfiah.

al-tafsir

6 Gemeinschaft: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya

yang ingin membangun

kelompoknya berdasarkan komunitasnya.

Gesellschaft: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya

yang ingin membangun

kelompoknya berdasarkan

societas.

al-ummah

7 Reproduction: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang memproduksi budaya dan

Creation and trust in foreigners:

Sekelompok masyarakat,

agama, dan budaya yang tidak harus memproduksi generasi

(42)

keluarganya. yang sama. Akan tetapi dari budaya yang sama dan memiliki kreasi dengan keadaan sekarang

8 Fundamentalism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berdasarkan pada pondasi utama ajaran agama, bangsa, negara, dan masyarakat tertentu. Dengan kata lain dianggap sebagai kekuatan yang absolut. Fundamentalism berasal dari Protestan yang anti teknologi dan sains.

Rationalism/Secularization: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berdasarkan rasionalisme atau akal bukan

pada kitab dan lebih nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang tidak mau pindah-pindah dan lebih mengutamakan menetap di suatu tempat.

Geographical mobility: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang lebih

mengutamakan

berpindah-pindah.

Hijrah.

10. Je me souviens: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung mengingat masa lalunya yang harus dipertahankan. Dan ini lebih mengarah kepada

Déracinement: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang tercerabut dari

akar-akarnya. Artinya

meninggalkan masa lalu untuk menatap masa depan yang lebih

(43)

30

hal-hal yang negatif. baik dan lebih pasti.

11. Paganism (Idol worshipping): Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan

perasaan yang melakukan

penyembahan kepada yang selain Tuhan. Baik itu terhadap sesajen, perasaan yang percaya kepada Tuhan yang satu.

Al-Tauhid.

12. Imposition/Holy war/Proselytism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan

perasaan yang cenderung

memaksakan agama dengan cara-cara berupa bujukan, rayuan, paksaan, tekanan, intimidasi atau dengan cara melalui perang suci.

Negotiation: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat,

13. Nationalism/Tribalism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang sangat menekankan nasionalisme atau kesukuan/fanatik.

Universalism/Internationalism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat

(44)

14. Orthodoxy/Traditionalism:

Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat,

kebiasaan, tra- disi, kreasi, kepercayaan, pola

pikir, dan perasaan yang ingin

mempertahankan budaya tradisional yang ada dan

masih bersifat ortodoks.

Protestantism/Modernism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat

istiadat, kebiasaan, tra- disi, kreasi, kepercayaan, pola

pikir, dan perasaan yang

15 Sectarian communitarianism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang lebih atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi,

acquisition: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat,

17. Dependency/Egoism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung kepada orang/bangsa yang mampu

(45)

32 yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang menolak orang lain untuk masuk ke dalam kelompoknya.

Inclusivism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat,

19. Vernacular language: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan,

tradisi, keper- cayaan, pola pikir, dan perasaan

yang cenderung belajar bahasa sendiri/lokal

Vehicular language: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai- nilai, persepsi, adat istiadat,

kebiasaan, tradisi, keper- cayaan, pola pikir, dan perasaan

yang belajar bahasa

pengetahuan/bahasa lain.

Al-Lisan.

20. Parochialism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang menyampaikan ajaran secara kaku.

Flexibility: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat,

Tabel di atas menjelaskan tentang karakteristik pemikiran KAAB yang

(46)

pola pikir dan perasaan setiap kelompok masyarakat, agama maupun

budayanya. Lebih lanjut, Teori ini menerangkan tentang macam-macam

budaya dengan beberapa ketentuan dan pengelompokannya. Teori tersebut

berjumlah dua puluh.

C. Faktor yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya

Kebudayaan merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka

ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.14

Komunikasi

antarbudaya diharapkan dapat membantu memahami perbedaan budaya yang

dapat mempengaruhi praktik-praktik komunikasi. Komunikasi antarbudaya

juga diharapkan dapat mengidentifikasi hambatan-hambatan yang muncul

dalam komunikasi antarbudaya sekaligus mengatasi masalah tersebut.

Hammer (1989), Ruben (1977) Olebe dan Koester 1989, serta Kealey

(1989) sebagaimana dikutip Alo Liliweri, mengemukakan bahwa paling tidak

ada dua faktor yag paling berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya,15

yakni;

1. Faktor Kognitif

Ruben (1977) mengemukakan bahwa terjalinnya komunikasi

antarbudaya pada umumnya dan perilaku antarbudaya pada

khususnya ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman dan pikiran

14

Deddy Mulyana dan jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h.18.

15

(47)

34

yang membentuk konsep antarbudaya.16

Kata Ruben, seseorang yang

bekerja dalam suatu organisasi, melaksanakan komunikasi

antarbudaya secara intensif hanya jika dia mempunyai apresiasi

terhadap pekerjaan dan tugas yang dibebankan kepadanya. Yang

terpenting adalah bagaimana dia menampilkan kekuatan untuk

membangun kebudayaan pribadinya melalui gaya antarpribadi, dan

kerjasama antarbudaya. Dengan demikian, perhatian terhadap

kebudayaan tetaplah penting dalam proses komunikasi antarbudaya.

2. Faktor Gaya Pribadi

Gaya pribadi atau perilaku gaya sering disebut

(self-oriented).17

Studi ini mengacu pada pendapat Kealey bahwa

komunikasi antarbudaya yang berdasarkan orientasi diri dapat

mengubah efektivitas komunikasi menjadi komunikasi yang

disfungsional. Hal ini disebabkan karena orang terlalu menampilkan

self-oriented yang berlebihan sehingga orang itu menjadi congkak,

dan menunjukkan gagasan yang tidak menarik atau membosankan.

Berikut beberapa bentuk gaya pribadi yang seringkali tampil dalam

komunikasi antarpribadi;

a) Etnosentrisme

16

Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, h.266.

17

(48)

Etnosentrisme adalah suatu perasaan superior atau

keunggulan dari suatu kelompok orang yang menganggap

kelompok lain lebih inferior dan kurang unggul.18 Perasaan

merasa dirinya atau kelompoknya lebih unggul dari yang

lainnya ini, dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi

antarbudaya. Menurut Tucker dan Baier (1985) dikutip Alo

Liliweri, kemampuan komunikasi saja belum cukup membuat

seseorang bersikap kritis atau cermat dalam penyesuaian

antarbudaya tetapi mencoba untuk menghilangkan sikap

merasa diri lebih unggul daripada orang lain.

b) Toleransi, Sikap Mendua dan Keluwesan

Dalam proses komunikasi antarbudaya seringkali orang

kurang mampu bereaksi terhadap sebuah situasi baru atau

situasi yang mendua, dengan kata lain komunikasi antarbudaya

mengandung sifat mendua,19 karena kita menghadapi dua

ketidakpastian kebudayaan, yakni kebudayaan sendiri maupun

kebudayaan orang lain. Hal ini sekaligus yang menjadi

hambatan dalam efektivitas komunikasi antarbudaya.

Singkatnya, apabila dua orang atau lebih yang berbeda

latabelakang budayanya berhasil menghadapi situasi yang tidak

18

Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya, h.214.

19

(49)

36

dapat dipahami, atau situasi yang mendua maka orang tersebut

telah bersikap toleran terhadap situasi ini.

c) Empati

Empati merupakan kemampuan untuk merasakan,

melihat secara akurat, dan memberikan respons secara tepat

kepada kepribadian, hubungan, dan lingkungan sosial

seseorang.20

Broome dalam samovar mengatakan bahwa

empati merupakan hal yang penting dalam kompetensi

komunikasi yang umum dan merupakan karakter utama dari

komunikasi antarbudaya yang kompeten dan efektif.21

Maka dari itu dapat dikatakan bahwa empati merupakan dasar

untuk terjalinnya komunikasi antar orang-orang yang berbeda

latarbelakang budayanya.

d) Keterbukaan

Devito (1989) dalam penelitiannya mencatat bahwa

keterbukaan pribadi (Self-disclosure) dan keluwesan pribadi

(Self flexibility) merupakan faktor penting untuk menciptakan

relasi antarpribadi yang maksimum.22

Dengan keterbukaan

bukan berarti bahwa setiap orang harus membuka diri

seluas-luasnya, namun membuka kesempatan untuk sama-sama

20

Larry A.Samovar dkk,Komunikasi Lintas Budaya, h.466

21

Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya h.214.

22

(50)

mengetahui informasi tentang diri maupun tentang lawan

bicara.

e) Kompleksitas Kognitif

Kompleksitas kognitif mengacu pada kemampuan

pribadi untuk mengetahui, dan mengalami orang lain. Secara

umum dapat dikatakan bahwa kompleksitas kognitif individu

membuat seorang semakin akurasi menentukan dan

mengembangkan kesan terhadap orang lain.

f) Kenyamanan Antarpribadi

Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan

dan interaksi antarpribadi berkaitan dengan prinsip efektivitas.

Apabila anda merasa tidak nyaman, tidak tenang dan tidak

percaya dengan relasi antarpribadi dalam kebudayaan anda,

maka anda pun merasa tidak lebih nyaman, tidak tenang, dan

tidak percaya dalam kebudayaan yang berbeda dengan anda.

g) Kontrol Pribadi

Terjalinnya komunikasi antarbudaya juga sangat

tergantung pada sejauh mana perseorangan dapat mengontrol

pribadi terhadap lingkungan sekitarnya. Tucker dan Baier

(1985) dikutip oleh Liliweri menemukan ada hubungan yang

signifikan antara kontrol pribadi dan tampilan pribadi dengan

(51)

38

hubungan antara pandangan hidup pribadi, kecenderungan

untuk pasrah dengan penyesuaian pribadi (Dood 1987). 23

h) Kemampuan Inovasi

Inovasi merupakan salah satu bentuk perubahan sosial

yang dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan

teknologi baru melalui sistem sosial suatu masyarakat.

i) Harga diri

Harga diri (self esteem) sangat menentukan terjalinnya komunikasi antarbudaya. Seorang komunikator dituntut untuk

memiliki inisiatif untuk berelasi dan menyesuaikan diri dengan

komunikan. Artinya, seorang komunikator tidak

mempertahankan harga dirinya, sebab komunikator akan

semakin sulit berkomunikasi dengan komunikan, begitupun

sebaliknya, jika perasaan “rendah diri” menyelimuti

komunikator maka keadaan psikologis itu dapat menghambat

komunikasi antarbudaya.

j) Keprihatinan dan Kecemasan Komunikasi

Dodd (1987) dikutip oleh Liliweri (2013) mengatakan

bahwa kecemasan komunikasi antarpribadi, kecemasan dalam

kelompok, serta kecemasan atas publisitas dapat berdampak

23

(52)

atas penyesuaian antarbudaya yang pada gilirannya

mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya.

3. Faktor-faktor Lain

Adapun faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi

terjalinnya komunikasi antarbudaya adalah sebagai berikut;

a) Faktor Keramahtamahan

Faktor keramahtamahan atau friendliness juga merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi

efektivitas komunikasi antarbudaya. Meskipun batas

keramahtamahan antarbudaya yang satu dengan yang lain

sangat relatif tetapi pada umumnya setiap kebudayaan

mengajarkan keramahtamahan dalam komunikasi antarpribadi.

b) Faktor Motivasi

Motivasi merupakan satu aspek psikologi, antarbudaya.

Berbagai fakta menunjukkan bahwa keberhasilan komunikasi

ditentukan oleh orang yang memperhatikan faktor-faktor

psikologi, atau memperhatikan faktor-faktor apa saja yang

mendorong komunikasi.

c) Faktor Akulturasi

Akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur

(53)

40

unsur-unsur tersebut namun perbedaan diantara unsur-unsur

asing dengan yang asli masih tampak.

d) Faktor Umur

Dalam beberapa kebudayaan, penghargaan

antarmanusia sangat ditentukan oleh umur. Dikalangan orang

jawa, mereka yang berusia lebih muda tidak diperkenankan

menatap mata orang yang lebih tua. Hal semacam ini,

menunjukkan bahwa perbedaan umur antarpribadi sangat

mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya.

e) Faktor Pekerjaan

Dalam masyarakat yang distratifikasi berdasarkan

jenis-jenis pekerjaan menunjukkan bahwa faktor pekerjaan

turut menghambat efektivitas komunikasi. Misalnya, seorang

atasan dengan bawahan, hubungan antarpekerja ini akan

ditentukan oleh aturan organisasinya.

D. Konsep Kerukunan Umat Beragama

Secara etimologi kata kerukunan berasal dari bahasa Arab, yaitu

ruknun yang berarti tiang, dasar, sila. Jamak dari ruknun ialah arkan yang

berarti bangunan sederhana yang terdiri atas berbagai unsur. Jadi, kerukunan

(54)

dan setiap unsur tersebut saling menguatkan.24

Dalam bahasa Indonesia arti

rukun ialah:

1. Rukun (nominal), berarti: Sesuatu yang harus di penuhi untuk sahnya

pekerjaan, seperti tidak sahnya manusia dalam sembahyang yang tidak

cukup syarat, dan rukunya asas, yang berarti dasar atau sendi:

semuanya terlaksana dengan baik tidak menyimpang dari rukunnya

agama.

2. Rukun (ajektif) berarti: Baik dan damai tidak bertentangan: hendaknya

kita hidup rukun dengan tetangga, bersatu hati, sepakat. Merukunkan

berarti: (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati. Kerukunan: (1)

perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan: kerukunan hidup

bersama.25

Kerukunan juga diartikan sebagai kehidupan bersama yang diwarnai

oleh suasana baik dan damai. Hidup rukun berarti tidak bertengkar, melainkan

bersatu hati, dan sepakat dalam berfikir dan bertindak demi mewujudkan

kesejahteraan bersama. Didalam kerukunan semua orang bisa hidup bersama

24

Said agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antaragama (Jakarta: Ciputat Press, 2003) h.4.

25

Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan

(55)

42

tanpa kecurigaan, dimana tumbuh semangat dan sikap saling menghormati

dan kesediaan untuk bekerjasama demi kepentingan bersama.26

Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dipolakan dalam Trilogi

Kerukunan27

, yaitu:

1) Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agama

Ialah kerukunan di antara

aliran-aliran/paham-pahm/mazhab-mazhab yang ada dalam suatu umat atau komunitas agama.

2) Kerukunan di antara umat/komunitas agama yang berbeda-beda

Ialah kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang

berbeda-beda yaitu di antara pemeluk Islam dengan pemeluk Kristen

Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.

3) Kerukunan antar umat/komunitas agama dengan pemerintah

Ialah supaya diupayakan keserasian dan keselarasan di antara

para pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat pemerintah

dengan saling memahami dan menghargai tugas masing-masing

dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang

beragama.

26

M.Zainuddin Daulay, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia (Jakarta:Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2001) h.67

27

Gambar

Gambar  diatas  tampak  Bapak  Ahmad  Rawi  memimpin  pengajian, dengan melantunkan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad  SAW, dan masyarakat dengan khidmat mengikuti pengajian tersebut
Gambar  diatas  tampak  masyarakat  golongan  Syiah  sedang  melaksanakan ibadah shalat Jum’at, yang merupakan kewajiban bagi umat  Muslim untuk melaksanakannya

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menjaga agar di Kabupaten Kendal tidak terjadi konflik, maka kepala daerah dalam menjalankan tugas, kewajiban dan kewenangan untuk mewujudkan kerukunan berdasarkan pada

penulis tegaskan bahwa yang dimaksud dengan judul skripsi ini adalah suatu penelitian yang membahas tentang bentuk komunikasi yang terjadi dalam sebuah desa, yaitu

Berdasarkan penelitian terdahulu yang menjadi acuan dari peneliti, yaitu penelitian dari Sinta Paramita dan Wulan Purnama Sari (2016) yang berjudul Interaksi

Model komunikasi antar umat beragama yang terjadi di Yogyakarta sebagai cerminan komunikasi antar umat beragama yang ada di sebagian besar wilayah Indonesia ini nampaknya

Pandangan Søren Kierkegaard tentang agama sebagai wilayah subjektif dan oleh karena itu menjadi salah satu penawar alternatif kebenaran juga memberi sumbangan yang khas bagi