• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Metabolomik Peranan Fenolik Dan Melanoidin Terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kopi Robusta Dan Arabika Asal Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Metabolomik Peranan Fenolik Dan Melanoidin Terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kopi Robusta Dan Arabika Asal Indonesia"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN METABOLOMIK PERANAN FENOLIK DAN

MELANOIDIN TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN

EKSTRAK KOPI ROBUSTA DAN ARABIKA ASAL INDONESIA

MUHAMMAD FAKIH KURNIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Metabolomik Peranan Fenolik dan Melanoidin terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kopi Robusta dan Arabika asal Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017

Muhammad Fakih Kurniawan

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD FAKIH KURNIAWAN. Kajian Metabolomik Peranan Fenolik dan Melanoidin terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kopi Robusta dan Arabika asal Indonesia. Dibimbing oleh NURI ANDARWULAN, MOHAMAD RAFI, dan NUR WULANDARI.

Kopi memiliki kandungan antioksidan yang tinggi. Komponen fenolik terutama asam klorogenat yang paling berperan dalam menyumbangkan aktivitas antioksidan pada kopi. Komponen lain seperti kafeat, ferulat, dan hidroksi sinamat juga berperan dalam aktivitas antioksidan pada kopi. Selama proses sangrai akan terjadi perubahan komposisi kimia termasuk fenolik yang berpengaruh terhadap penurunan aktivitas antioksidan pada kopi, tetapi komponen lain seperti melanoidin justru terbentuk. Melanoidin merupakan produk reaksi Maillard akibat adanya interaksi gula pereduksi dan asam amino. Melanoidin juga memiliki aktivitas antioksidan. Pada penelitian ini dilakukan analisis peranan fenolik dan melanoidin terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi robusta dan arabika asal Indonesia menggunakan pendekatan metabolomik. Penentuan aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH dan FRAP, sedangkan penentuan melanoidin menggunakan metode pemisahan membran dialisis 12-14 kD. Analisis FTIR dilakukan untuk mengetahui absorbansi gugus fungsi tiap sampel. Nilai absorbansi dari spektrum FTIR ekstrak kopi digunakan untuk analisis kemometrik PCA (principle component analysis), PLS (partial least square), dan OPLS (orthogonalpartial least square) yang dihubungkan dengan hasil analisis aktivitas antioksidan untuk mengetahui korelasi gugus fungsi terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi.

Semakin tinggi derajat sangrai (green, light, medium, dan dark) mengakibatkan kenaikan absorbansi gugus fungsi pada spektrum FTIR ekstrak kopi. Analisis PCA ekstrak kopi didapatkan dua kelompok sampel berdasarkan nilai absorbansi gugus fungsi dengan PC total 99.20%. Analisis PLS dan OPLS mendapatkan gugus hidroksil fenol (O-H) paling berpengaruh positif terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi yang diduga berasal dari komponen fenolik. Gugus C=O ester, C=O aldehida, dan N-H aromatik berkorelasi negatif terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi yang diduga berasal dari komponen melanoidin.

Semakin tinggi derajat sangrai kandungan fenolik dan aktivitas antioksidan menurun, sedangkan melanoidin meningkat. Kandungan fenolik dan aktivitas antioksidan kopi robusta lebih tinggi daripada arabika. Analisis PCA total fenol, melanoidin, dan aktivitas antioksidan mampu mengelompokkan sampel berdasarkan perbedaan jenis kopi dan derajat sangrai secara baik dengan nilai PC total 91.84%. PC1 berkorelasi dengan fenolik, DPPH, dan FRAP, sedangkan PC2 berkorelasi dengan melanoidin. Hasil PCA tersebut memperkuat hasil PLS dan OPLS gugus fungsi yang menunjukkan bahwa komponen fenolik lebih berperan daripada melanoidin terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi.

(5)

SUMMARY

MUHAMMAD FAKIH KURNIAWAN. Metabolomic Approach for Understanding Phenolic Compounds and Melanoidin Roles on Antioxidant Activity of Indonesia Robusta and Arabica Coffee Extracts. Supervised by NURI ANDARWULAN, MOHAMAD RAFI, and NUR WULANDARI.

Coffee have a great antioxidant activity. Phenolic compounds such as chlorogenic acid contribute to antioxidant activity of coffee. Other compounds responsible for antioxidant activity of coffee are caffeic acids, ferulic acids, and hydroxycinnamic acids. During roasting, changes in chemical composition such as phenolic compounds that affact in decreased antioxidant activity, but another compound such as melanoidin is also formed. Melanoidin is end product of Maillard reaction as a result of interaction between reducing sugar and amino acids. This compound is reported to have antioxidant activity. Our experiments investigated roles of phenolic compounds and melanoidins compounds on antioxidant activity of Indonesia robusta and arabica coffee extracts using metabolomic approach. DPPH and FRAP methods were used to determine antioxidant activity and dialysis method with membrane 12-14 kD were used to determine melanoidins content. FTIR analysis used to record of change functional groups affected roasting process. FTIR spectrum used to chemometrics analysis using PCA (principle component analysis), PLS (partial least square), and OPLS (orthogonal partial least square) was also employed to observe correlation between changes in chemical composition as a result of roasting process and antioxidant activity of coffee extracts.

Increase in roasting degree (green, light, medium, and dark) caused increasing absorbance of functional groups in coffee extract FTIR spectrums. PCA analysis of coffee extracts result two sample groups based absorbance functional groups with PC total 99.20%. Based on PLS and OPLS, hydroxyl (O-H) phenols was observed to show positive correlation on antioxidant activity of coffee extracts that predicted from phenolic compounds. Carbonyl (C=O) and aromatic (N-H) groups were attributed to negative correlation on antioxidant activity of coffee extracts that predicted from melanoidin compounds.

Increase in roasting degree reduced phenolic compounds and antioxidant activity of coffee extracts, but enhanced melanoidins. Robusta coffee extracts greater phenolic compounds and antioxidant activity than arabica. PCA analysis from total phenols, melanoidins, and antioxidant activity could organize samples based on coffee types and roasting degree with PC 91.84%. PC1 was mainly correlated with the phenolics content and antioxidant activity, while PC2 correlated with melanoidins content. This results augmented PLS and OPLS analysis functional groups that resulted phenolic compounds more affect than melanoidins on antioxidant activity coffee extracts.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pangan

KAJIAN METABOLOMIK PERANAN FENOLIK DAN

MELANOIDIN TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN

EKSTRAK KOPI ROBUSTA DAN ARABIKA ASAL INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(8)
(9)

Judul : Kajian Metabolomik Peranan Fenolik dan Melanoidin terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kopi Robusta dan Arabika asal Indonesia

Nama : Muhammad Fakih Kurniawan NIM : F251140341

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Nuri Andarwulan, MSi Ketua

Dr Mohamad Rafi, SSi, MSi Anggota

Dr Nur Wulandari STP, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dr Ir Harsi Dewantari Kusumaningrum

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2015 ini ialah Kajian Metabolomik Peranan Fenolik dan Melanoidin terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kopi Robusta dan Arabika asal Indonesia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Nuri Andarwulan, MSi; Dr Mohamad Rafi, SSi, MSi; dan Dr Nur Wulandari, STP, MSi selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Mbak Ririn, Mbak Ria, Teh Asih, dan Pak Abah yang telah membantu selama penelitian serta Ibu Dian Herawati, STP, MSi selaku rekan satu tim penelitian kopi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2017

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan dan Manfaat Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Kopi dan Pengolahannya 3

Komponen Kimia GreenBean dan Roasted Bean 4

Komponen Fenolik dan Melanoidin Kopi 5

Antioksidan Kopi 8

Metabolomik dan Kemometrik 9

FTIR 11

3 METODE 12 Waktu dan Tempat Penelitian 12

Bahan dan Alat 12

Tahapan Penelitian 12

Penyangraian Kopi 12

Ekstraksi Kopi 13

Penentuan Profil Gugus Fungsi dengan FTIR 13

Penentuan Aktivitas Antioksidan 13

Penentuan Kandungan Total Fenol 14

Penentuan Kandungan Melanoidin 14

Penentuan Warna Serbuk Kopi 14

Analisis Kemometrik dan Statistika Data 14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Gugus Fungsi Senyawa dalam Ekstrak Kopi 15

Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kopi 16

Analisis PCA, PLS, dan OPLS Gugus Fungsi Senyawa Ekstrak Kopi 17

Kandungan Total Fenol dan Melanoidin Ekstrak Kopi 23

Pengaruh Fenolik dan Melanoidin terhadap Aktivitas Antioksidan 24

5 SIMPULAN DAN SARAN 27 Simpulan 27

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 33

(12)

DAFTAR TABEL

1 Komponen kimia utama pada kopi green (% berat kering) 4 2 Komponen kimia utama kopi sangrai, seduh dan instan (% berat kering) 5 3 Beberapa penelitian pengaruh derajat sangrai terhadap antioksidan 9 4 Kebaikan pemodelan OPLS absorbansi gugus fungsi dan aktivitas

antioksidan ( FRAP) ekstrak kopi robusta dan arabika 21 5 Nilai L, total fenol, dan melanoidin ekstrak kopi robusta dan arabika 23

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur dasar asam klorogenat dan turunannya 6

2 Tahap pembentukan komponen flavor pada reaksi Maillard 7

3 Ilustrasi pembentukan melanoidin kopi 8

4 Spektrum FTIR ekstrak kopi arabika 15

5 Grafik aktivitas antioksidan ekstrak kopi robusta dan arabika 16 6 Biplot PCA gugus fungsi ekstrak kopi robusta dan arabika 18 7 Biplot PLS hubungan absorbansi gugus fungsi terhadap aktivitas

antioksidan metode FRAP ekstrak kopi robusta dan arabika 19 8 Plot koefisien standardisasi analisis PLS hubungan gugus fungsi dan

aktivitas antioksidan 20

9 Plot koefisien standardisasi analisis OPLS hubungan gugus fungsi dan

aktivitas antioksidan 22

10 Grafik hubungan total fenol dan melanoidin terhadap aktivitas

antioksidan ekstrak kopi robusta 24

11 Biplot PCA total fenol, melanoidin, dan aktivitas antioksidan ekstrak

kopi robusta dan arabika 26

DAFTAR LAMPIRAN

1 Spektrum FTIR ekstrak kopi arabika 34

2 Spektrum FTIR ekstrak kopi robusta 35

3 Kurva standar asam galat uji aktivitas antioksidan metode DPPH 36 4 Hasil uji one way ANOVA dan uji lanjut Duncan antioksidan DPPH 37 5 Kurva standar asam trolox uji aktivitas antioksidan metode FRAP 38 6 Hasil uji one way ANOVA dan uji lanjut Duncan antioksidan FRAP 39

7 Tabel daerah serapan gugus fungsi 40

8 Jalur reaksi Maillard Hodge Scheme 41

9 Kebaikan pemodelan dan nilai koefisien standardisasi analisis PLS hubungan gugus fungsi dan aktivitas antioksidan metode FRAP 42

10 Kurva standar asam galat uji total fenol 43

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kopi adalah salah satu komoditi pangan terpenting di dunia. Banyak manfaat dari kopi bagi kesehatan manusia, salah satunya kandungan antioksidan yang tinggi. Kandungan antioksidan kopi dapat mencegah penyakit seperti kanker, diabetes, dan kardiovaskuler (Bonita et al. 2007). Jika dibandingkan dengan minuman lain (teh, wine, dan bir), kopi memiliki antioksidan paling tinggi (Pellegrini et al. 2003). Menurut Ruiz et al. (2007), komponen fenolik seperti asam klorogenat memiliki peran dalam menyumbangkan aktivitas antioksidan pada kopi. Komponen lain pada kopi juga telah diteliti memiliki aktivitas antioksidan seperti asam kafeat, asam ferulat, dan asam hidroksi sinamat (Naidu et al. 2008, Hernandez et al. 2012). Varietas dan faktor geografi dapat menentukan komposisi kimia kopi termasuk aktivitas antioksidan. Naidu et al. (2008) menemukan bahwa sampel kopi arabika asal India memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi daripada robusta. Penelitian Vignoli et al. (2011) menemukan bahwa sampel kopi Brazil robusta memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi daripada arabika menggunakan metode pengukuran ABTS dan FRAP.

Salah satu tahap pengolahan kopi yang penting adalah sangrai. Selama proses sangrai terjadi perubahan komposisi melalui reaksi kimia seperti seperti Maillard, karamelisasi, dan pirolisis. Beberapa komponen kopi akan terdekomposisi seperti trigonela dan asam klorogenat, namun komponen lain justru terbentuk seperti melanoidin (Farah dan Donangelo 2006). Melanoidin merupakan komponen dengan berat molekul tinggi sebagai produk akhir reaksi Maillard akibat adanya interaksi gula pereduksi dengan asam amino. Melanoidin juga menyebabkan kopi berwarna hitam dan beraroma khas.

Derajat sangrai pada kopi biasanya ditentukan berdasarkan warna seperti

light medium, dan dark (Clark 1985). Derajat sangrai yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan komposisi kimia yang dihasilkan, termasuk aktivitas antioksidan. Del Castillo et al. (2005) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi didapatkan pada kopi yang disangrai pada tingkatan medium (medium roasted). Penelitian lain mendapatkan kopi sangrai light memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi daripada medium dan dark roasted (Vignoli et al. 2011, Perrone et al. 2012). Proses sangrai akan menurunkan aktivitas antioksidan karena degredasi fenolik (Somporn et al. 2011). Akan tetapi proses sangrai juga mengakibatkan terbentuknya melanoidin yang dilaporkan juga memiliki aktivitas antioksidan (Borrelli et al. 2002, Moreira et al. 2012, Pastoriza et al. 2014). Oleh sebab itu, penelitian tentang peran fenolik dan melanoidin terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi Indonesia perlu dilakukan untuk optimasi manfaat minuman kopi.

(14)

2

sebenarnya telah banyak diaplikasikan pada kopi seperti analisis diskriminasi kopi berdasarkan varietas (Wei et al. 2012), pengelompokan kopi berdasarkan daerah asal (Choi et al. 2010), dan kendali mutu kopi (Kwon et al. 2015). Analisis multivariat yang digunakan pada penelitian ini adalah PCA (principle component analysis), PLS (partial least square) dan OPLS (orthogonal partial least square). PCA digunakan untuk melihat pengelompokan sampel berdasarkan berbedaan gugus fungsi sampel ekstrak kopi, sedangkan PLS dan OPLS digunakan untuk mengetahui korelasi gugus fungsi senyawa yang ada di dalam ekstrak kopi terhadap aktivitas antioksidan. Penelitian ini bertujuan menganalisis peranan fenolik dan melanoidin terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi robusta dan arabika asal Indonesia.

Perumusan Masalah

Perubahan komponen kimia kopi pada derajat sangai yang berbeda dan profil antioksidannya telah banyak dianalisis. Penelitian mengenai profil kimia termasuk antioksidan fenolik kopi robusta dan arabika asli Indonesia belum banyak dilakukan. Komponen fenolik dan melanoidin pada kopi telah diketahui memiliki peran terhadap aktivitas antioksidan, tetapi belum banyak analisis melalui pendekatan metabolomik untuk mengetahui peran kedua komponen tersebut pada ekstrak kopi dengan berbagai derajat sangrai. Perbedaan jenis kopi dan proses sangrai akan mempengaruhi perbedaan komponen di dalamnya dan hal ini dapat diketahui secara sederhana dari perubahan gugus fungsi menggunakan analisis FTIR. Analisis metabolomik menggunakan FTIR dapat dipilih untuk mengetahui perubahan gugus fungsi dan korelasinya terhadap aktivitas antioksidan. Berdasarkan pemikiran tersebut pendekatan metabolomik menggunakan FTIR perlu dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi yang berperan terahdap aktivitas antioksidan ekstrak kopi dan dugaan peranan komponen fenolik dan melanoidin terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi robusta dan arabika asal Indonesia.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis peranan komponen fenolik dan melanoidin terhadap aktivitas antioksidan ekstrak kopi robusta Lampung dan arabika Mangkuraja asal Indonesia melalui pendekatan metabolomik. Selain itu penelitian ini bertujuan menerangkan perubahan profil fenolik, melanoidin dan aktivitas antioksidan ekstrak robusta Lampung dan arabika Mangkuraja kopi pada berbagai derajat sangrai.

Manfaat Penelitian

(15)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kopi dan Pengolahannya

Kopi telah dikonsumsi oleh manusia sejak zaman Abyssinia yang dibudidayakan tanamannya oleh bangsa Arab pada tahun 575 AD. Pada abad 20 kopi menjadi minuman populer di Mesir, Syria, dan Turki. Saat ini tanaman kopi tumbuh subur di daerah tropis dan subtropis Amerika Tengah dan Selatan, Afrika, dan Asia Tenggara terutama pada daerah dengan iklim sesuai (Schenker et al.

2002). Brazil menjadi negara produsen dan eksportir terbesar biji kopi di dunia diikuti Vietnam, Kolombia, Indonesia dan, Ethiopia, sedangkan USA, Jerman, Jepang, Italia, dan Perancis menjadi negara konsumen terbesar di dunia (ICO 2016). Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kopi terbesar dunia. Tercatat, lebih dari 600.000 ton kopi diproduksi di seluruh Indonesia. Dari nilai tersebut, hampir 25-30% diekspor ke luar negeri dan sisanya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia

Tanaman kopi termasuk dalam famili Rubiaceae dengan jumlah spesies lebih dari 90, akan tetapi yang paling dikenal secara komersial hanya 3 jenis yakni

Coffea arabica, Coffea canephora (robusta) dan Coffea liberica (Schenker et al. Sistematika tanaman kopi menurut Rahardjo (2012) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionita Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Astridae Ordo : Rubiaceace Genus : Coffea

(16)

4

adalah jika digunakan kayu bakar pada tahap pengering secara mekanis, biasanya akan timbul rasa asap atau abu pada kopi (Clarke & Vitzthum 2001).

Selain metode basah, terdapat metode kering yang banyak diaplikasikan di negara Brazil dan negara-negara lain dengan ketersediaan air terbatas. Kopi yang telah dipetik akan dkeringkan menggunakan sinar matahari atau dengan pengeringan mekanik. Kopi secara berkala dibalik untuk memastikan pengeringan seragam. Pengeringan menggunakan sinar matahari biasanya membutuhkan waktu 7-21 hari tergantung kondisi cuaca. Kopi yang telah kering kemudian ditumbuk untuk memisahkan biji kopi dari kulitnya (Clarke & Vitzthum 2001).

Komponen Kimia Green Bean dan Roasted Bean

Komposisi biji kopi green bean sangat kompleks dan bervariasi tergantung jenis kopi, varietas, lingkungan, dan proses pasca panen (Tabel 1). Asam klorogenat merupakan salah satu senyawa bioaktif di dalam biji kopi. Secara umum sukrosa dan lipid kopi arabika lebih tinggi, sedangkan kafein dan asam klorogenat lebih rendah dari kopi robusta.

Tabel 1 Komponen kimia utama pada kopi green (% berat kering)

Ketika biji kopi disangrai akan terjadi perubahan komposisi kimia yang sangat kompleks dan ketika kopi diseduh atau dibuat menjadi kopi instan, komposisi kimianya juga berubah (Tabel 2). Saat tahap awal sangrai terjadi penghilangan air hingga 12%. Tahap selanjutnya terjadi reaksi dehidrasi kimia, fragmentasi, rekombinasi, dan depolimerisasi. Reaksi tersebut sering disebut sebagai tipe reaksi Maillard yang dibentuk oleh komponen kimia dengan berat molekul rendah seperti gula pereduksi dan asam amino. Reaksi Maillard ini termasuk reaksi eksotermik sehingga akan semakin cepat ketika suhu meningkat. Selama proses sangrai terjadi kehilangan karbondioksida dan komponen volatil lain sehingga berat kering akan hilang sebanyak 2-6%. Aroma kopi akan berubah menjadi lebih kuat, warna menjadi kehijauan, dan struktur berubah lebih crumby

(17)

5 mencapai 160-170°C maka akan menjadi gelap mengkilat. Tekanan uap air dalam jumlah besar di dalam biji menyebabkan dinding sel selulosa retak, istilah ini sering disebut first crack. Pada suhu yang lebih tinggi (160-170°C) biji kopi lebih cepat popping karena tekanan CO2 pada dinding selulosa yang disebut second

crack. Setelah proses selesai, biji harus segera didinginkan untuk menghentikan reaksi lanjutan (Yeretzian et al. 2002).

Kualitas akhir biji sangrai dipengaruhi oleh suhu dan lama proses yang digunakan. Meskipun transfer panas selama penyangraian dapat dilakukan secara konduksi, konveksi, dan radiasi, proses konveksi sejauh ini memegang peranan terpenting dalam transfer panas penyangraian kopi (Baggenstoss et al. 2008). Penyangraian kopi dengan teknik fluidized-bed roaster sering digunakan dengan transfer panas secara konveksi sehingga dapat menghasilkan rendemen kopi tinggi dengan densitas rendah (Eggers & Pietsch 2001). Metode lain yaitu drum roaster

menghasilkan transfer panas secara konduksi tetapi memiliki kekurangan yaitu menghasilkan serbuk kopi yang kurang larut, flavor terbakar, asam klorogenat terdegradasi, dan komponen volatil berkurang (Nagaraju et al. 1997).

Tabel 2 Komponen kimia utama kopi sangrai, seduh, dan instan (% berat kering)

Komponen Sangrai Seduh Instan

Komponen Fenolik dan Melanoidin Kopi

(18)

6

Asam klorogenat (CGA) merupakan komponen utama fenolik pada biji kopi (Farah & Donangelo 2006). Komponen ini juga memiliki bentuk isomer lainnya seperti asam kafeoilkuinat (CQA), dengan 3 isomer (3-, 4- dan 5-CQA); asam dikafeoilkuinat (diCQA), dengan 3 isomer (3,4-diCQA; 3,5-diCQA; 4,5-diCQA); asam feruloilkuinat (FQA), dengan 3 isomer (3-, 4- dan 5-FQA); asam

p-kumaroilkuinat (pCoQA), dengan 3 isomer (3-, 4- dan 5- pCoQA), dan enam campuran diester dari asam kafeoilferuloilkuinat (CFAQ) (Gambar 1). Selain asam klorogenat, terdapat juga komponen ester dari asam kuinat dan asam hidroksi sinamat yang juga termasuk fenolik pada kopi. Senyawa asam hidroksi sinamat yang paling banyak ditemukan pada kopi adalah dalam bentuk asam kafeat (asam 3,dihidroksi sinamat), diikuti asam ferulat (asam 3-metoksi, 4-hidroksi-sinamat) dan asam p-kumarat(asam 4-hidroksi-sinamat) (Clifford 2003).

Gambar 1 a) struktur dasar asam klorogenat, b) monoester asam kuinat dengan asam hidroksi sinamat (5-isomers), c) diester asam kuinat dengan asam kafeat, d) ester campuran (Farah & Donangelo 2006)

Melanoidin merupakan komponen produk akhir reaksi Maillard yang memiliki berat molekul tinggi atau HMW (high molecule weight), pembentuk warna cokelat, polimer nitrogen, dan dibentuk oleh reaksi gula dengan protein/asam amino (Moreira et al. 2012). Boekel et al. (2006) menjelaskan pembentukan melanoidin pada reaksi Maillard melalui tiga tahapan yaitu inisiasi, )

)

)

a)

b)

c)

(19)

7 intermediet, dan akhir. Tahap inisiasi diawali dengan reaksi kondensasi asam amino dengan gula pereduksi membentuk N-glikosamin dan pada gula aldosa akan mengalami rearrange yang disebut Amadori rearrengement. Pada tahap intermediet terbentuk produk fragmentasi gula dan asam amino. Pada tahap akhir terjadi reaksi yang kompleks seperti dehidrasi, fragmentasi, siklisasi, polimerisasi, dan degradasi. Reaksi degradasi pada Maillard disebut Strecker degradation yaitu asam amino terdegradasi oleh komponen dikarbonil dan selanjutnya mengalami heterosiklisasi yang akhirnya membentuk senyawa flavor seperti piridin, pirazin, tiazol, oksazol, pirol, dan imidazol Boekel et al. (2006 ) (Gambar 2).

Kopi merupakan salah satu sumber utama melanoidin pada diet manusia dengan konsumsi melanoidin kopi per harinya sekitar 0.5 g hingga 2.0 g (Fogliano dan Morales 2011). Bekedam et al. (2006) menemukan kandungan melanoidin pada kopi seduh sebesar 23.5% dari berat kering. Proses penyangraian pada kopi menghasilkan komponen utama melanoidin. Pengaruh derajat penyangraian terhadap aktivitas antioksidan kopi juga telah diteliti. Del Castillo et al. (2005) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi didapatkan pada kopi yang disangrai pada tingkat medium (medium roasted) daripada light dan dark roasted

serta green coffee (kopi tanpa sangrai). Hasil ini sedikit berbeda menurut Vignoli

et al. (2011) yang menyatakan bahwa kopi sangrai pada tingkat light memiliki aktivitas antioksidan tertinggi daripada kopi medium dan dark roasted.

Mekanisme pembentukan senyawa melanoidin pada kopi telah dibahas oleh Moreire (2012) yang merangkum tiga mekanisme pembentukan. Pertama, melanoidin dibentuk melalui reaksi polimerisasi (via reaksi polikondensasi) dari produk-produk reaksi Maillard dengan berat molekul rendah atau LMW (low

(20)

8

molecule weight) seperti furan dan pirol. Kedua, teori Hofmann yang mengusulkan bahwa melanoidin merupakan hasil cross-linking antara produk Maillard LMW dengan protein via reaksi rantai samping asam amino seperti lisin, arginin, dan sistein. Ketiga, teori yang menyebutkan bahwa kerangka melanoidin dibangun dari produk degradasi gula yang dibentuk pada awal tahap reaksi Maillard dan dipolimerisasi oleh kondensasi aldol. Polisakarida, protein, dan asam klorogenat (fenolik) diketahui merupakan komponen pembentuk melanoidin (Gambar 3).

Antioksidan Kopi

Antioksidan pada kopi telah diteliti sejak lama. Kandungan fenolik pada kopi seperti asam klorogenat merupakan salah satu penyumbang aktivitas antioksidan pada kopi (Ruiz et al. 2007). Selain asam klorogenat, kandungan komponen kimia lain juga turut serta dalam menyumbang aktivitas antioksidan pada kopi seperti asam hidroksinamat (Gallardo et al. 2006), kafein (Devasagayam et al. 1996), dan melanoidin (Andrande et al. 2005). Varietas atau faktor geografi sangat mempengaruhi komponen aktif pada kopi termasuk kandungan antioksidannya. Naidu et al. (2007) meneliti perbandingan antioksidan

(21)

9 kopi berdasarkan varietasnya. Mereka melaporkan bahwa kopi arabika (green coffee) memiliki aktivitas antioksidan 92% sedangkan robusta 88% yang dibandingkan dengan 95% aktivitas antioksidan BHA.

Pengaruh derajat penyangraian terhadap aktivitas antioksidan telah dikaji oleh banyak peneliti (Tabel 3). Del Castillo et al. (2005) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi didapatkan pada kopi yang disangrai pada tingkat medium (medium roasted) daripada light dan dark roasted serta green coffee (kopi tanpa sangrai). Hasil ini sedikit berbeda menurut Vignoli et al. (2011) yang menyatakan bahwa kopi sangrai pada tingkat light memiliki aktivitas antioksidan tertinggi daripada medium dan dark roasted kopi. Perbedaan aktivitas antioksidan yang didapatkan dari penelitian tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan sampel yang digunakan, standar sangrai yang berbeda, dan perbedaan metode pengukuran aktivitas antioksidan.

Vignoli et al. (2014) meneliti tentang aktivitas antioksidan pada kopi sangrai yang diukur dengan tiga metode berbeda. Hasil yang didapatkan pada pengukuran menggunakan metode Folin dan ABTS, aktivitas antioksidan menurun seiring dengan kenaikan derajat sangrai kopi. Hasil ini sedikit berbeda pada metode FRAP yang memperoleh kestabilan aktivitas antioksidan terhadap derajat sangrai. Perbedaan hasil ini dimungkinkan akibat perbedaan mekanisme atau prinsip antar metode pengukuran aktivitas antioksidan tersebut. Penelitian kopi lainnya juga digunakan metode pengukuran aktivitas antioksidan lain seperti DPPH (Naidu et al. 2008) dan ORAC (Kwon et al. 2005).

Metabolomik dan Kemometrik

Metabolomik merupakan salah satu cabang penelitian “omiks” yang fokus pada karakterisasi molekul metabolit dalam matriks biologis (Krastanov 2010). Menurut Dunn & Ellis (2005), metabolomik adalah proses analisis metabolit yang ada pada suatu organisme secara komperehensif, secara kuantitatif dan kualitatif. Metabolomik dilakukan melalui identifikasi profil metabolit total dalam suatu organisme. Pendekatan metabolomik dapat diaplikasikan terhadap sistem biologis, seperti manusia, tanaman, dan mikroorganisme. Selain itu, metabolomik dapat diaplikasikan di bidang kesehatan, diagnostik, industri pangan, maupun mikrobiologi. Berdasarkan kualitas data dan jumlah metabolit yang Tabel 3 Beberapa penelitian pengaruh derajat sangrai terhadap antioksidan

Pustaka Hasil studi

Del Castillo et al. 2005 Aktivitas antioksidan tertinggi pada kopi sangrai

medium daripada light, dark , dan kopi green

Vignoli et al. 2011 Kopi sangrai pada light memiliki antioksidan lebih tinggi daripada kopi medium dan dark roasted

Perrone et al. 2012 Aktivitas antioksidan tertinggi ditemukan pada kopi sangrai light daripada kopi sangrai medium dan dark

(22)

10

terdeteksi, kajian metabolomik dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu analisis metabolit target, identifikasi profil metabolit, dan metabolit fingerprinting. Analisis metabolit target dilakukan dengan deteksi dan kuantifikasi sekelompok kecil metabolit maupun senyawa target tunggal. Identifikasi profil metabolit dilakukan dengan deteksi, identifikasi, dan perkiraan kuantifikasi sekelompok besar metabolit yang dikaitkan dengan jalur biosintesis yang spesifik. Teknik metabolit fingerprinting dapat dilakukan dengan analisis spektra dari komposisi total tanpa perlu mengidentifikasi kelompok senyawa tersebut (Krastanov 2010).

Penelitian metabolomik telah banyak dilakukan terutama pada bidang obat-obatan dan pangan. Choi et al. (2010) meneliti tentang diskriminasi kopi berdasarkan daerah asal menggunakan analisis metabolomik dengan instrumen LC-MS. Metodologi pada penelitian tersebut meliputi empat tahap dasar, yaitu (1) pengayaan informasi metabolit melalui analisis menggunakan instrumen LCMS, GC-MS, CE-MS, dan lain sebagainya; (2) reduksi dan penyusunan data untuk mengubah spektrum menjadi data yang dapat diolah secara statistika; (3) analisis statistika multivariat, seperti PCA atau analisis kuadrat terkecil parsial (PLS); (4) tinjauan dan interpretasi terhadap hasil pengolahan kemometrik. Penelitian tersebut berhasil mengidentifikasi sampel kopi dari Amerika, Asia, dan Afrika menggunakan pendekatan metabolomik dengan analisis multivariat.

Penelitian metabolomik pada kopi juga telah dilakukan oleh Wei et al.

(2012) menggunakan instrumen 13C NMR untuk mengklasifikasikan kopi berdasarkan varietas dan asal daerahnya. Hasilnya didapatkan bahwa studi metabolomik dengan data hasil pengukuran 13C NMR mampu mengidentifikasi sampel kopi arabika (Brazil, Kolombia, Guatemala, dan Tanzania) dan robusta (Indonesia dan Vietnam) dengan baik. Kwon et al. (2015) menggunakan instrumen 1H NMR pada kajian kendali mutu biji green coffee secara metabolomik. Studi metabolomik juga banyak digunakan untuk analisis khasiat tanaman seperti temu kunci (Yuliana et al. 2013) dan murbei (Yuliana et al. 2014), analisis antimikroba ekstrak buah takokak (Maser et al. 2015), dan analisis lain seperti propolis (Nasrullah 2013).

Kemometrik dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu kimia analisis yang menggunakan prinsip statistik untuk merancang dan memilih suatu prosedur dan eksperimen analisis yang optimal dan memberi informasi kimiawi secara maksimal dan relevan melalui analisis data kimiawi (Adam 2004). Kalibrasi multivariat merupakan salah satu bentuk model analisis kemometrik yang dapat digunakan untuk menentukan campuran dari beberapa senyawa. Metode kalibrasi multivariat ini dapat berupa multiple linear regression (MLR), principle component analysis (PCA), principle component regression (PCR), partial least square (PLS), dan artificial neural network (ANN) (Brereton 2000).

PCA adalah teknik yang digunakan untuk menyederhanakan suatu data, dengan cara mentransformasi data secara linier sehingga terbentuk sistem koordinat baru dengan varians maksimum. Metode PCA didasarkan pada dekomposisi matriks data X (N × K) menjadi 2, yaitu matriks T (N × A) dan matriks P (K × A) yang saling tegak lurus. Setiap variabel baru (scores atau PC) yang dihasilkan PCA adalah kombinasi linear variabel asli pengukuran (Miller & Miller 2000). Scores dinilai bersama dengan satu set vektor yang disebut loading.

(23)

11 Berbeda dengan PCA, prinsip PLS adalah menghitung nilai komponen utama data matriks X (hasil percobaan) dan matriks Y (matriks respon) dan membangun model regresi antar nilai. PLS digunakan untuk memprediksikan serangkaian variabel tak bebas dari variabel bebas (prediktor) yang jumlahnya sangat banyak, memiliki struktur sistematik linear dan nonlinear dengan atau tanpa data yang hilang, dan memiliki kolinearitas yang tinggi. Untuk data sampel yang tidak diketahui, konsentrasi yang bervariasi pada sampel biasanya dapat memprediksi dengan ketepatan yang lebih baik (Hopke 2003).

FTIR

Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorbansi suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Salah satu jenis spektroskopi adalah spektroskopi infra merah (IR). Spektroskopi ini didasarkan pada vibrasi suatu molekul. Spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang 0.75-1.000 µm atau pada bilangan gelombang 13.000-10 cm-1 (Khopkar 2003).

Teknik ini juga telah digunakan untuk membandingkan komposisi kimia pada kopi seperti kandungan kafein pada kopi sangrai (Garrigues et al. 2000, Ohnsmann et al. 2002). Rubayiza & Meurens (2005) meneliti tentang diskriminasi kopi arabika dan robusta dengan spektroskopi raman. Hasilnya didapatkan sampel kopi Arabika dapat dibedakan dengan Robusta dengan nilai PC mencapai 93%. El Abbasy et al. (2011) juga meneliti hal yang sama yang didapatkan bahwa sampel kopi arabika dapat dibedakan dengan robusta berdasarkan komposisi asam klorogenat dan lipid dengan nilai PC mencapai 93%. Peneliti lain tentang penggunakan FTIR untuk analisis kopi juga telah banyak dilakukan seperti diskriminasi kopi instan (Bauer et al. 2008), pengaruh proses sangrai (Reis et al.

2013), dan juga digunakan untuk melihat pengaruh pelarut pada ekstraksi kopi (Wang et al. 2011).

Lyman et al. 2003 meneliti perubahan spektrum gugus fungsi menggunakan FTIR pada sampel kopi yang disangrai menjadi tiga level yaitu light, medium, dan

(24)

12

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2015 hingga Agustus 2016 di Laboratorium SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Kimia, Departemen Pangan Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor serta di PT Aneka Coffee Industry, Sidoarjo.

Bahan dan Alat

Sampel kopi (green coffee) didapatkan dari PT. Aneka Coffee Industry Sidoarjo, Jawa Timur varietas arabika Mangkuraja dan robusta Lampung. Pereaksi yang digunakan adalah reagent folin ciocalteau; kristal 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH); 2,4,tris-2-piridil-1,2,5-triazin (TPTZ); trolox (asam 6-hidroksi-2,5,7,8-tetrametilkroman-2-karboksilat); dan FeCl3.6H2O dari Sigma–

Aldrich (Amerika). Bahan lainnya adalah asam askorbat; asam galat; asam asetat; asam klorida; natrium karbonat; etanol; dan kalium bromida dari Merck (Jerman). Instrumen yang digunakan antara lain kolorimeter Colorette 3b (Probat, Jerman),

chromameter Minolta CR-300 (Jepang); spektrofotometer UV-VIS 2450 (Shimadzu, Jepang); freeze dryer (Labconco, Amerika); spektrofotometer FTIR Tensor 37 (Bruker, Amerika); dan refraktometer SCM 1000 (Cina).

Tahapan Penelitian

Penelitian terbagi menjadi tiga tahapan utama yaitu preparasi sampel, analisis sampel, dan pengolahan data. Tahap preparasi sampel meliputi penyangraian kopi, pengukuran warna serbuk kopi, penyaringan serbuk kopi menggunakan ayakan dan ekstraksi serbuk kopi. Tahap analisis meliputi analisis gugus fungsi serbuk ekstrak kopi menggunakan FTIR, penentuan kandungan total fenol, melanoidin, dan aktivitas antioksidan metode DPPH dan FRAP. Tahap pengolahan data meliputi analisis ANOVA rancangan acak kelompok 2 faktor (jenis kopi dan derajat sangrai) dan analisis kemometrik menggunakan PCA, PLS, dan OPLS.

Penyangraian Kopi

Sebanyak 100 g biji kopi (green bean) disangrai menggunakan microroaster

(Probat, Jerman) pada suhu 200-210°C hingga mencapai derajat sangrai: light

(25)

13

Ekstraksi Kopi

Tahap ekstraksi kopi diawali dengan penggilingan biji kopi menggunakan

coffee grinder Eureka Mignon (IE Global, Singapura). Serbuk disaring dengan ayakan hingga didapatkan campuran serbuk 50% lolos ayakan 50 mesh, 40% lolos ayakan 40 mesh, dan 10% lolos ayakan 30 mesh. Sebanyak 5 g serbuk kopi ditambah 100 mL air mendidih dengan suhu sekitar 100°C, kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 1 menit diatas hotplate. Larutan didinginkan dengan air es sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 2 menit. Larutan disaring menggunakan kertas Whatman No. 1. Ekstrak kopi dimasukkan dalam botol gelas berwarna gelap, kemudian dibaca nilai total soluble solid (TSS) menggunakan refraktometer SCM 1000. Nilai TSS ini digunakan untuk perhitungan analisis kimia (total fenol, melanoidin, dan antioksidan).

Penentuan Profil Gugus Fungsi dengan FTIR

Sebanyak 30 mL ekstrak kopi dikeringbekukan dalam freezer bersuhu -4°C. Ekstrak kopi beku selanjutnya dikeringkan menggunakan freeze dryer dengan tekanan vakum 0.520 mBar dan suhu kolektor -47°C. Serbuk ekstrak kopi yang dihasilkan kemudian dianalisis menggunakan spektroskopi FT-IR dengan detektor DLATGS (Deuterated Triglycine Sulfate Doped with L-Alanine) yang dioperasikan pada suhu ruang 20 ± 0.5°C (Craig et al. 2012). Sebanyak 10 mg serbuk ekstrak kopi dicampur dengan 90 mg KBr dan ditempatkan dalam wadah sampel. Bubuk KBr murni digunakan sebagai refference (background spektrum). Seluruh sampel dianalisis pada range 4000-400 cm-1 dengan resolusi 4 cm-1. Hasil ditampilkan dalam spektrum hubungan bilangan gelombang dan nilai absorbansi.

Penentuan Aktivitas Antioksidan

Metode DPPH (Vignoli et al. 2011). Ekstrak kopi diambil 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 mL kemudian diencerkan dengan air deionisasi hingga volume 10 mL. Sebanyak 1 mL buffer asetat 100 mM (pH 5.5); 1 mL etanol; dan 0.5 mL larutan DPPH dicampurkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan masing-masing ekstrak sebanyak 10 L. Larutan DPPH dibuat dengan melarutkan 1.3 mg serbuk DPPH dalam 10 mL etanol absolut. Kontrol positif dibuat tanpa penambahan ekstrak kopi (range absorbansi 0.5 – 0.6). Larutan blanko disiapkan tanpa penambahan DPPH. Setelah 5 menit, absorbansi diukur 517 nm dengan spektrofotometer. Hasilnya dihitung nilai % IA (absorbansi inhibisi) tiap sampel dengan rumus: IA (%) = 100 – (Abs sampel/Abs kontrol) × 100. Nilai akhir aktivitas antioksidan dinyatakan dalam IC50 (konsentrasi minimum yang dapat

(26)

14

absorbansi larutan dibaca pada 595 nm dengan spektrofotometer UV-VIS. Larutan trolox dalam etanol (100-450 ppm) digunakan sebagai kurva standar. Hasilnya dinyatakan dalam g TEAC/100 g TSS.

Penentuan Kandungan Total Fenol

Kandungan total fenol dianalisis menggunakan metode Folin-Ciocalteau (Shetty et al. 1995). Sebanyak 2.5 mL ekstrak kopi diencerkan dengan air deionisasi menjadi 10 mL. Ekstrak tersebut diambil 0.1 mL dan dicampur dengan 1.9 mL etanol 95% dan 5 mL air deionisasi. Masing-masing sampel ditambah 0.5 mL pereaksi Folin Ciocalteau 50% dan setelah 5 menit ditambah 1 mL Na2CO3

5%. Sampel disimpan di ruang gelap selama 60 menit. Absorbansi sampel dibaca pada 725 nm menggunakan spektrofotometer UV-VIS. Blanko dibuat dengan mengganti larutan sampel dengan etanol 95%. Kurva standar dibuat dari larutan asam galat dalam etanol pada berbagai konsentrasi. Kandungan total fenol dinyatakan dalam g GAE/100 g TSS (GAE = gallic acid equivalent).

Penentuan Kandungan Melanoidin

Analisis melanoidin dilakukan dengan metode pemisahan membran dialisis (Vignoli et al. 2011). Sebanyak 15 mL ekstrak kopi sangrai dituangkan ke dalam membran dialisis ukuran 12-14 kD, kemudian dilakukan agitasi pada gelas piala yang telah berisi 400 mL air. Air diganti setiap 8 jam sampai tidak berwarna. Larutan yang tertinggal dalam membran selanjutnya dikeringkan menggunakan

freeze dryer dan hasilnya ditimbang. Kadar melanoidin dinyatakan sebagai g melanoidin/100 g TSS.

Penentuan Warna Kopi

Biji kopi sebanyak 10 g digiling menggunakan coffee grinder Eureka Mignon. Serbuk kopi yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan

chromameter Minolta CR-300. Sampel diletakkan pada tempat khusus dan tombol start ditekan sehingga diperoleh nilai L (lightness).

Analisis Kemometrik dan Statistika Data

(27)

15

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gugus Fungsi Senyawa dalam Ekstrak Kopi

Pengukuran FTIR sampel ekstrak kopi robusta dan arabika dilakukan masing-masing tiga kali ulangan. Pengolahan data FTIR menggunakan software

E-FTIR (Operant LLC, Amerika). Data ekstrak kopi robusta green, light, med,

dan dark ditampilkan dalam satu spektrum dan dilakukan smoothing dengan skala 11 untuk menghilangkan noise, begitupula pada sampel arabika. Preprocessing smoothing dilakukan karena kopi mengandung banyak senyawa dan proses ekstraksi juga dilakukan hanya menggunakan air deionisasi sehingga komponen yang terkandung di dalam ekstrak tersebut dimungkinkan masih beragam yang menyebabkan banyak noise terdeteksi pada spektrum FTIR. Hasil spektrum FTIR didapatkan pola yang mirip tiap sampel (green, light, med, dark), namun terjadi peningkatan absorbansi dengan semakin meningkatnya derajat sangrai (Gambar 4). Puncak pada daerah sekitar 3300 cm-1 merupakan serapan dari gugus fungsi hidroksil fenol (O-H), sedangkan puncak pada daerah 2900 cm-1 dan 2800 cm-1 merupakan serapan gugus fungsi N-H dan C-H. Wang et al. (2012) mengatakan bahwa serapan pada 2920-2850 cm-1 merupakan vibrasi ulur dari gugus C-H dari lipid. Salah satu senyawa yang khas pada kopi adalah kafein. Garrigues et al.

(2000) dan Ohnsmann et al. (2002) mengatakan bahwa puncak pada daerah 1659 dan 1704 cm-1 merupakan serapan gugus karbonil dari kafein pada kopi. Pada semua spektrum sampel didapatkan serapan pada daerah sekitar 2300 cm-1. Puncak tersebut diduga adalah serapan CO2 dari udara berdasarkan database

spektrum CO2 dari NIST dengan puncak serapan tinggi pada 2300 cm-1.

Hasil spektrum FTIR ekstrak kopi robusta dan arabika menunjukkan kemiripan pola yaitu adanya peningkatan absorbansi gugus fungsi dengan semakin meningkatnya derajat sangrai (Lampiran 1 dan 2). Proses sangrai dapat mengoksidasi komponen organik seperti gugus hidroksil menjadi aldehida, keton, Gambar 4 Spektrum FTIR ekstrak kopi arabika ulangan 2 (ket. : : green,

(28)

16

dan asam karboksilat. Hal ini berakibat terjadinya peningkatan absorbansi terutama pada gugus fungsi karbonil (1800-1660 cm-1). Pada Gambar 4 dapat dilihat gugus aldehida atau keton (1696 cm-1) pada kopi arabika mengalami peningkatan nilai absorbansi yaitu green (0.12), light (0.14), medium (0.20), dan

dark (0.29). Hal ini juga terjadi pada spektrum ekstrak kopi robusta. Wang et al.

(2011) juga meneliti tentang perubahan gugus fungsi kopi akibat proses sangrai. Perubahan derajat sangrai kopi dari medium ke dark akan meningkatkan gugus fungsi ester/lakton (1788 cm-1), aldehida/keton (1739-1722 cm-1), keton (1725-1705 cm-1), asam aromatik (1700-1680 cm-1), dan asam alifatik (1714-1705 cm-1). Wang & Lim (2012) menjelaskan reaksi-reaksi kimia saat proses sangrai pada kopi dapat menghasilkan komponen kunci yang merupakan senyawa ester dan aldehida yang berkontribusi pada aroma dan flavor akhir kopi seperti seperti pirazin, furan, Strecker aldehida, 2- dan 3-metilbutanal.

Identifikasi keberadaan senyawa berdasarkan gugus fungsi yang terdeteksi pada analisis FTIR tersebut belum dapat dipastikan. FTIR merupakan instrumen yang hanya dapat mengukur secara kualitatif dan kuantitatif (nilai transmisi atau absorbansi) dari gugus fungsi dalam suatu sampel, tanpa dapat mengetahui senyawa asal dari gugus fungsi tersebut. Pada penelitian ini dilakukan pendekatan metabolomik target melalui pendugaan senyawa asal dari gugus fungsi yang kemudian dikorelasikan dengan hasil pengukuran aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi. Selain itu, konfirmasi keberadaan senyawa seperti komponen fenolik dan melanoidin pada ekstrak kopi juga dilakukan melalui penentuan total fenol dan melanoidin yang kemudian dikorelasikan dengan nilai aktivitas antioksidan.

Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kopi

Hasil pengujian aktivitas antioksidan metode DPPH dinyatakan dalam IC50

atau konsentrasi minimum yang dapat menghambat oksidasi sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 maka semakin tinggi aktivitas antioksidan. Aktivitas

antioksidan metode FRAP dinyatakan dalam g TEAC/100 g TSS (TEAC = trolox equivalent antioxidant capacity, TSS = total soluble solid).

Gambar 5 Aktivitas antioksidan ekstrak kopi robusta dan arabika metode DPPH (A) dan FRAP (B)

a

Angka dengan huruf berbeda (a-f) berarti berbeda signifikan (p<0.05) (uji Duncan)

(29)

17 Hasil pengujian aktivitas antioksidan metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) menunjukkan ekstrak kopi green bean memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan ekstrak kopi sangrai (Gambar 5A). Hal ini berkaitan dengan penurunan kandungan fenolik akibat proses sangrai. Ruiz et al.

(2007) menyatakan bahwa komponen fenolik merupakan penyumbang utama aktivitas antioksidan pada kopi. Semakin tinggi derajat sangrai maka komponen fenolik akan terdegradasi yang mengakibatkan penurunan aktivitas antioksidan. Penentuan nilai IC50 juga dilakukan pada asam galat sebagai pembanding

(Lampiran 3). Aktivitas antioksidan tertinggi didapatkan pada ekstrak kopi green bean robusta dengan IC50 3.2 mg/mL, tetapi jika dibandingkan dengan asam galat,

nilainya masih lebih kecil (1:13). Diantara tiga derajat sangrai, kopi light memiliki aktivitas antioksidan tertinggi daripada medium dan dark. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian Duarte et al. (2005), Vignoli et al. (2011), dan Perrone

et al. (2012). Uji beda nyata Duncan menunjukkan ekstrak kopi robusta memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi daripada ekstrak kopi arabika (Lampiran 4). Komponen fenolik kopi robusta lebih tinggi daripada arabika (Belitz et al. (2009). Pengujian aktivitas antioksidan ekstrak kopi metode FRAP (ferric ion reducing antioxidant power) menggunakan standar trolox (Lampiran 5). Hasilnya didapatkan aktivitas antioksidan tidak berbeda nyata antar sampel (Gambar 5B). Jika dilihat dari faktor derajat sangrai saja maka didapatkan aktivitas antioksidan metode FRAP berbeda nyata yaitu terjadi penurunan aktivitas antioksidan dengan semakin meningkatnya derajat sangrai berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 6). Hasil ini memiliki pola yang sama dengan metode DPPH. Uji Pearson didapatkan korelasi tinggi antara metode DPPH dan FRAP dengan nilai korelasi -0.92 (negatif karena pada DPPH digunakan nilai IC50). Pengukuran aktivitas

antioksidan metode DPPH prinsipnya yaitu peredaman radikal DPPH oleh senyawa antioksidan yang terkandung pada kopi, sedang pada metode FRAP yaitu reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ oleh senyawa antioksidan (Liang et al. 2014).

Analisis PCA, PLS, dan OPLS Gugus Fungsi Senyawa dalam Ekstrak Kopi

Hasil pengukuran FTIR berupa spektrum memiliki matriks data yang berukuran besar dan sangat kompleks dengan beragam variabel sehingga sulit jika hanya dianalisis secara visual saja. Oleh karena itu dibutuhkan analisis multivariat seperti kemometrik. Pada penelitian ini dilakukan analisis PCA (principle component analysis) untuk mengekstrak data menjadi lebih sederhana. Hasil spektrum FTIR terdeteksi banyak puncak dari gugus fungsi senyawa organik pada ekstrak kopi. Oleh karena itu dilakukan proses identifikasi gugus fungsi dari puncak-puncak spektrum FTIR tiap sampel berdasarkan daerah serapan gugus fungsi (Lampiran 7). Nilai absorbansi gugus fungsi yang teridentifikasi kemudian dilakukan analisis PCA. Hasil analisis PCA ditampilkan dalam bentuk biplot yaitu gabungan antara plot skor dan plot loading. Plot skor menggambarkan pengelompokan masing-masing sampel berdasarkan variabel pengukuran, dalam hal ini yaitu absorbansi gugus fungsi. Plot loading menggambarkan variabel pengukuran dari sampel yaitu gugus fungsi dari ekstrak kopi.

(30)

18

99.20 keragaman data dapat dijelaskan oleh variabel absorbansi gugus fungsi dari ekstrak kopi (Gambar 6). Seluruh gugus fungsi berkorelasi terhadap PC1 sehingga nilai PC1 didapatkan jauh lebih besar (97.80%) daripada PC2 (1.41%). Hasil biplot PCA didapatkan sampel kurang terkelompok secara baik berdasarkan jenis kopi dan perbedaan derajat sangrai, akan tetapi sampel cenderung membentuk dua kelompok besar. Kelompok I merupakan kelompok sampel arabika dan robusta

dark. Kelompok ini berkorelasi tinggi terhadap semua gugus fungsi. Hal ini dikarenakan berdasarkan pengukuran FTIR, sampel ekstrak kopi dark memiliki nilai absorbansi gugus fungsi lebih tinggi daripada derajat sangrai lain. Semakin tinggi derajat sangrai, nilai absorbansi gugus fungsi semakin meningkat yang mengindikasikan peningkatan konsentrasi dari gugus fungsi tersebut. Kelompok II merupakan gabungan ekstrak kopi arabika green, light, dan medium yang kurang berkorelasi terhadap variabel gugus fungsi. Sampel robusta green dan light tidak mengelompok, tetapi berada pada kuadran III dan kurang berkorelasi terhadap variabel gugus fungsi.

Gambar 6 Biplot PCA gugus fungsi ekstrak kopi robusta (R) dan arabika (A) dengan derajat sangrai: green (G), light (L), medium (M), dark (D) Selain analisis PCA, data absorbansi gugus fungsi dari ekstrak kopi juga dilakukan analisis menggunakan PLS (partial least square). Pemilihan PLS bertujuan untuk membangun model hubungan spektrum FTIR dengan aktivitas antioksidan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh gugus fungsi terhadap aktivitas antioksidan. Pemodelan PLS membutuhkan data variabel penduga dan variabel respon. Data absorbasi gugus fungsi tiap sampel yang teridentifikasi digunakan sebagai variabel penduga (variabel x), sedangkan data hasil analisis aktivitas antioksidan metode FRAP digunakan sebagai variabel respon (variabel y). Pada penelitian ini hanya digunakan data analisis aktivitas antioksidan metode

(31)

19 FRAP saja untuk sebagai respon aktivitas antioksidan sampel ekstrak kopi. Hasil analisis PLS ditampilkan dalam bentuk biplot dan nilai standardisasi koefisien.

Gambar 7 Biplot PLS hubungan absorbansi gugus fungsi terhadap aktivitas antioksidan metode FRAP robusta (R) dan arabika (A) dengan derajat sangrai: green (G), light (L), medium (M), dan dark (D) Biplot menunjukkan hubungan plot skor (sampel) dan plot loading

(variabel). Hasil biplot PLS didapatkan kemiripan pengelompokan sampel pada analisis PCA (Gambar 7). Kelompok I merupakan sampel robusta dan arabika

dark. Kelompok ini berkorelasi tinggi dengan variabel penduga (variabel x) yaitu gugus fungsi. Hal ini dikarenakan sampel ekstrak kopi dark memiliki nilai absorbansi gugus fungsi lebih tinggi daripada derajat sangrai lain (green, light,

medium). Kelompok II merupakan kumpulan sampel arabika green, light, dan

medium. Kelompok II ini berkorelasi tinggi terhadap varibale respon (variabel y) yaitu plot FRAP. Hal ini disebabkan ekstrak kopi arabika green, light, dan

medium memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi daripada sampel lain pada pengujian menggunakan metode FRAP. Hasil analisis PLS juga didapatkan kelompok III yaitu gabungan sampel robusta green, light, dan medium serta arabika medium yang pada analisis PCA kurang terlihat pengelompokannya. Hal ini dikarenakan pada biplot PLS ini selain memperhitungkan variabel absorbansi gugus fungsi, pengelompokan juga didasarkan data analisis aktivitas antioksidan metode FRAP sebagai variabel respon.

Correlations on axes t1 and t2

(32)

20

Output lain dari hasil analisis PLS adalah nilai koefisien standardisasi yang menunjukkan besarnya pengaruh gugus fungsi terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi. Hasil analisis PLS menunjukkan gugus hidroksil fenol (O-H) memiliki nilai koefisien standardisasi tertinggi yaitu sekitar 0.6 (Gambar 8). Hal ini mengindikasikan bahwa O-H fenol merupakan gugus fungsi yang paling berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan. Gugus fungsi ini diduga berasal dari komponen bioaktif yang memiliki gugus O-H fenol seperti fenolik terutama senyawa asam klorogenat yang banyak terdapat pada kopi. Menurut Liang et al.

(2004), antioksidan mempunyai struktur inti yang sama yaitu cincin aromatik tidak jenuh disertai gugus hidroksil (O-H), asam amino (NH2), ataupun hidrogen

(H). Gugus-gugus ini yang bertugas meredam radikal bebas melalui mekanisme HAT atau SET. Pada mekanisme HAT (hydrogen atom transfer), gugus hidrogen (H) diberikan ke senyawa radikal sehingga menjadi stabil, namun komponen antioksidan justru menjadi bermuatan radikal yang kemudian diredam melalui mekanisme resonansi elektron dari cincin aromatik tidak jenuh. Pada SET (single electron transfer) hampir sama mekanismenya, tetapi yang disumbangkan oleh antioksidan adalah elektronnya untuk meredam radikal bebas. Mekanisme antioksidan dari gugus O-H fenol adalah HAT dan SET (Liang et al 2004). Senyawa antioksidan akan menyumbangkan atom H dan elektron sehingga radikal bebas dapat diredam. Selain O-H fenol, analisis PLS juga menunjukkan gugus fungsi lain yang memiliki koefisien positif yaitu N-H, C-H, dan C-N.

Gambar 8 Koefisien standardisasi PLS hubungan absorbansi gugus fungsi dan aktivitas antioksidan (FRAP) ekstrak kopi robusta dan arabika

Gugus-gugus karbonil seperti C=O ester, C=O aldehida, dan N-H aromatik memiliki nilai standardisasi koefisien negatif yang berarti tidak berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan (Gambar 8). Dugaan asal gugus-gugus fungsi ini adalah dari produk-produk reaksi Maillard yang banyak memiliki gugus fungsi C=O ester, C=O aldehida, dan N-H aromatik. Nursten (2005) menjelaskan jalur reaksi melanoidin dari prekursor asam amino dan gula pereduksi yang dikenal dengan Hodge Scheme (Lampiran 8). Reaksi Maillard melibatkan banyak tahap dan menghasilkan beragam produk degradasi seperti asetol, butadienon, 2-oksopropanal, dan lain-lain. Produk-produk tersebut banyak memiliki gugus C=O

(33)

21 ester dan C=O aldehida. Selain itu produk HMF (hidroksi metil furfural) atau furfural lain juga memiliki gugus C=O aldehida. Reaksi Maillard juga menghasilkan produk heterosiklik yang bersifat volatil. Pada kopi sangrai, komponen heterosiklik ini yang menentukan flavor dan aroma dari kopi. Akiyama

et al. (2003) mendapatkan 47 senyawa volatil pada kopi sangrai dengan metode

headspace GC dengan 4-hidroksi-2,5-dimetil-3(2H)-furanon dan 4-etenil-2-metoksifenol yang tertinggi. Gonzales-Rios et al. (2007) mendapatkan bahwa furan merupakan komponen utama yang ditemukan pada kopi arabika sangrai disusul keton pirazin, piridin, dan pirol. Komponen-komponen tersebut memiliki struktur cincin heteroksiklik dengan gugus C=O karbonil, C=O ester, dan N-H aromatik. Oleh karena itu dapat diduga bahwa gugus O-H fenol berasal dari fenolik dan paling berperan terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi, sedangkan gugus C=O ester, C=O aldehida, dan N-H aromatik berasal dari melanoidin dan memiliki korelasi negatif terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi. Hasil analisis PLS ini menduga bahwa komponen fenolik lebih berperan terhadap aktivitas antioksidan ekstrak kopi daripada melanoidin.

Kebaikan pemodelan menggunakan PLS ini dapat dilihat beberapa parameter seperti R2 (korelasi) dan RMSE (root mean square error). Nilai R2 menunjukkan linearitas antara variabel prediktor terhadap variabel respon, sedangkan nilai RMSE menunjukkan variasi dari nilai yang dihasilkan oleh pemodelan PLS terhadap nilai observasi (Brereton 2000). Suatu model PLS dikategorikan sebagai model yang baik bila nilai parameter yang dihasilkan seperti korelasinya bernilai tinggi (mendekati 1) sedangkan galatnya bernilai rendah (mendekati 0). Nilai R2 model PLS hubungan absorbansi gugus fungsi terhadap aktivitas antioksidan ekstrak kopi ini didapatkan 0.64 dan RMSE sebesar 3.28 (Lampiran 9). Nilai R2 didapatkan kurang mendekati 1 yang berarti model yang didapatkan kurang linier dan nilai RMSE didapatkan kurang mendekati 0 yang berarti model yang dihasilkan kurang baik.

Salah satu bentuk lain dari PLS adalah OPLS (orthogonal partial least square) yang merupakan modifikasi dari PLS. OPLS membagi variabel prediktor (variabel x) menjadi dua yaitu variabel x yang berkorelasi dengan variabel respon (variabel y) dan variabel x yang tidak berkorelasi dengan variabel y atau orthogonal (Trigg & Wold 2002). Nilai R2 pada pemodelan PLS absorbansi gugus fungsi dan aktivitas antioksidan ekstrak kopi didapatkan kecil. Hal ini diduga karena tidak semua data absorbansi gugus fungsi pada ekstrak kopi berkorelasi terhadap aktivitas antioksidan. Oleh karena itu pada penelitian ini juga dilakukan analisis OPLS selain analisis menggunakan PLS.

Tabel 5 Kebaikan pemodelan OPLS absorbansi gugus fungsi dan antioksidan ( FRAP) ekstrak kopi robusta dan arabika

(34)

22

Hasil pemodelan OPLS hubungan gugus fungsi dan aktivitas antioksidan ekstrak kopi didapatkan nilai R2 sebesar 0.72 (Tabel 5). Nilai R2 didapatkan lebih besar daripada pemodelan menggunakan PLS. Hal ini dikarenakan pada analisis OPLS, data absorbansi gugus fungsi yang tidak berkorelasi terhadap aktivitas antioksidan dipisahkan dan diolah secara orthogonal. Pada pemodelan menggunakan PLS, data yang kurang berkorelasi ini dipaksa untuk berkorelasi sehingga nilai R2 didapatkan lebih kecil. Nilai RMSEE (root mean square error estimation) pemodelan OPLS ini didapatkan sebesar 3.18929, sedangkan RMSEcv (root mean square error cross validation) didapatkan sebesar 3.55493. Nilai RMSEE menunjukkan error observasi pada model, sedangkan RMSEcv menunjukkan error dari pemodelan menggunakan validasi silang. Nilai error

tersebut tidak berbeda jauh dengan RMSE hasil pemodelan PLS, akan tetapi dengan pemodelan dengan OPLS didapatkan R2 lebih tinggi daripada PLS.

Gambar 9 Plot koefisien standardisasi OPLS hubungan gugus fungsi dan aktivitas antioksidan metode FRAP ekstrak kopi robusta dan arabika

Pada pemodelan OPLS juga ditampilkan output koefisien standardisasi yang menunjukkan pengaruh gugus fungsi terhadap aktivitas antioksidan ekstrak kopi. Nilai koefisien standardisasi pemodelan OPLS menunjukkan sedikit perubahan jika dibandingkan dengan pemodelan PLS, namun pola yang dihasilkan mirip dengan output PLS (Gambar 9). Nilai koefisen standardisasi gugus fungsi O-H fenol didapatkan paling tinggi, sedangkan C=O ester dan C=O aldehida paling berkorelasi negatif terhadap aktivitas antioksidan. Hal ini berarti pemodelan menggunakan OPLS tidak merubah interpretasi pengaruh gugus fungsi terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi. Perubahan yang terlihat adalah

error bar pada pemodelan OPLS didapatkan meningkat daripada PLS. Baik hasil analisis PLS maupun OPLS didapatkan bahwa gugus fungsi O-H fenol paling berkorelasi terhadap aktivitas antioksidan yang diduga berasal dari fenolik, sedangkan C=O ester dan C=O aldehida paling berkorelasi negatif terhadap aktivitas antioksidan yang diduga berasal dari melanoidin. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa komponen fenolik diduga lebih berperan terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak kopi daripada melanoidin. Untuk memperkuat dugaan tersebut maka dilakukan penentuan kandungan total fenol dan melanoidin pada sampel ekstrak kopi robusta dan arabika.

(35)

23

Kandungan Total Fenol dan Melanoidin Ekstrak Kopi

Penentuan kandungan total fenol ekstrak kopi menggunakan metode Folin-Ciocalteau dengan standar asam galat (GAE atau gallic acid equivalent) dengan konsentrasi 0.04 mg/mL hingga 0.12 mg/mL (Lampiran 10). Hasil penentuan total fenol didapatkan semakin tinggi derajat sangrai maka kandungan fenolik pada ekstrak kopi semakin menurun (Tabel 6). Penelitian Sacchetti et al. (2009) dan Somporn et al. (2011) juga menunjukkan adanya penurunan total polifenol ekstrak kopi dengan semakin tinggi suhu sangrai. Suhu panas selama proses sangrai dapat mendegradasi komponen fenolik yang terkandung di dalam biji kopi. Semakin tinggi derajat sangrai maka semakin banyak komponen fenolik yang terdegradasi sehingga kadarnya semakin menurun. Komposisi utama fenolik pada kopi adalah asam klorogenat (Farah & Donangelo (2006). Beberapa literatur mengatakan asam klorogenat yang terdegredasi saat sangrai akan berkontribusi pada pembentukan flavor akhir kopi (Trugo & Macrae 1986). Hasil analisis statistika juga menunjukkan bahwa kandungan fenolik pada ekstrak kopi robusta lebih tinggi daripada arabika (Lampiran 11). Belitz et al. (2009) mengatakan bahwa secara umum kopi robusta memiliki kadar fenolik terutama asam klorogenat lebih tinggi daripada arabika.

Tabel 6 Nilai L, total fenol, dan melanoidin ekstrak kopi robusta dan arabika

Sampel Total Fenol Nilai dengan huruf berbeda (a-h) pada satu kolom berarti berbeda signifikan (p<0.05) dengan uji Duncan) *TSS : total soluble solid ** - : tidak dilakukan pengukuran

Hasil pengujian statistika interaksi jenis sampel dan derajat sangrai menunjukkan kandungan melanoidin tidak berbeda signifikan antar sampel, tetapi jika berdasarkan faktor derajat sangrai saja maka didapatkan kandungan melanoidin meningkat secara signifikan dengan semakin tingginya derajat sangrai (Lampiran 12). Semakin tinggi derajat sangrai maka semakin lama biji kopi terpapar suhu tinggi sehingga laju reaksi Maillard semakin meningkat dan komponen melanoidin yang terbentuk akan semakin banyak. Vignoli et al. (2011 dan 2014) mendapatkan pola data yang serupa yaitu terjadi peningkatan kadar melanoidin dengan semakin tingginya derajat sangrai. Menurut Berkedam et al.

(36)

24

melanoidin tidak berbeda secara signifikan antara ekstrak kopi robusta dan arabika dengan nilai p value 0.7035 lebih besar dari nilai α 0.05 (Lampiran 12). Hal ini dikarenakan melanoidin merupakan produk dari proses pengolahan yaitu proses sangrai dan baik pada sampel kopi robusta maupun arabika dilakukan perlakuan yang sama yaitu sangrai dengan tiga jenis derajat (light, medium, dan

dark). Perlakukan yang sama tersebut mengakibatkan produk melanoidin yang dihasilkan kedua jenis sampel tidak berbeda secara signifikan. Ekstrak kopi arabika dan robusta jenis green tidak dilakukan analisis kandungan melanoidin karena melanoidin merupakan produk reaksi Maillard akibat proses sangrai. Oleh karena itu sampel kopi green tidak dilakukan analisis kandungan melanoidin karena diasumsikan belum terbentuk komponen melanoidin.

Hasil pengukuran nilai lightness (L) menunjukan semakin tinggi derajat sangrai maka nilai L semakin menurun (Lampiran 13). Proses sangrai pada sampel kopi jenis light sekitar 4 menit, kopi jenis medium sekitar 4.5 menit, dan kopi jenis dark sekitar 5 menit dan dilakukan pada suhu 210°C. Warna hitam pada kopi berasal dari pigmen melanoidin sebagai produk dari reaksi pencoklatan non enzimatis atau reaksi Maillard (Boekel et al. 2006). Semakin tinggi derajat sangrai maka biji kopi terpapar suhu sangrai lebih lama sehingga reaksi Maillard semakin cepat, akibatnya produk yang dihasilnya termasuk pigmen melanoidin semakin banyak yang terbentuk. Hal ini menyebabkan semakin tinggi derajat sangrai maka warna kopi akan semakin hitam atau nilai kecerahan berkurang. Data lightness

tersebut merupakan data tambahan pada penelitian ini yang digunakan untuk mengetahui perubahan fisik pada kopi saat proses sangrai.

Peranan Fenolik dan Melanoidin pada Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kopi

Hasil analisis total fenol, melanoidin, dan aktivitas antioksidan dibuat grafik untuk mengetahui korelasi antara variabel tersebut. Hasilnya didapatkan semakin tinggi derajat sangrai mengakibatkan penurunan aktivitas antioksidan dan fenolik sedangkan kandungan melanoidin meningkat (Gambar 10).

Gambar 10 Hubungan total fenol dan melanoidin terhadap aktivitas antioksidan

Gambar

Tabel 2  Komponen kimia utama kopi sangrai, seduh, dan instan (% berat kering)
Gambar 2  Tahap pembentukan komponen flavor pada reaksi Maillard
Gambar 4  Spektrum FTIR ekstrak kopi arabika ulangan 2 (ket. :
Tabel 6  Nilai L, total fenol, dan melanoidin ekstrak kopi robusta dan arabika

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar kandungan fenolik total dan aktivitas antioksidan yang terdapat dalam fraksi etil asetat ekstrak

Mengetahui aktivitas antioksidan yang terkandung pada minuman kopi arabika gayo dan arabika toraja yang diseduh dengan menggunakan metode penyeduhan yang berbeda

Untuk melihat lebih spesifik senyawa yang memiliki aktifitas antioksidan dari ekstrak alga hijau C aulerpa racemosa menggunakan HPLC dan scaning gugus

Uji aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-1- pikrilhridrazil) menunjukkan hasil persen peredaman diperoleh nilai IC50 sebesar 26,189 ppm dapat disimpulkan bahwa

Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai IC 50 sebagai nilai aktivitas antioksidan Daun Afrika menggunakan metode DPPH, dan juga mengetahui nilai persentase transmisi eritema (%

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan karakterisasi dan pengujian aktivitas antioksidan ektrak etanol buah sukun masing-masing menggunakan

Maka perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk meneliti tentang kadar fenolik total dan aktivitas antioksidan dari tiga fraksi asam fenolat pada senyawa

Penelitian ini dilakukan penetapan kadar fenolik menggunakan Folin- Ciocalteu sebagai pereaksi serta pengujian aktivitas antioksidan dari ekstrak n- heksana buah lampeni yang diperoleh