• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS NORMATIF TERHADAP METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING) YANG DILAKUKAN OLEH HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS NORMATIF TERHADAP METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING) YANG DILAKUKAN OLEH HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Tindak pidana korupsi telah menjadi suatu budaya yang merupakan masalah yang telah ada sejak orde lama dan orde baru bahkan sampai dengan sekarang diera reformasi. Perkembangan dalam masyarakat pada berbagai sektor kehidupan demikian pesatnya perubahannya sehingga peraturan-peraturan yang hanya mendasarkan semata-mata kepada undang-undang saja akan selalu dirasakan ketinggalan, karena undang-undang selalu dirasakan kalah cepat dibanding dengan perkembangan masyarakat. Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara,pertama kali harus menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Berdasarkan uraian yang telah digambarkan dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:(1) Bagaimanakah metode yang digunakan oleh hakim dalam melakukan penemuan hukum (Rechtsvinding) pada tindak pidana korupsi ? (2). Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam metode penemuan hukum (Rechtsvinding) yang dilakukan oleh hakim dalam tindak pidana korupsi?

(2)

Didik Dani Ardi

Berdasarkan hasil penelitian bahwa penemuan hukum oleh hakim pada tindak pidana korupsi terlihat dalam perkara korupsi mantan Bupati Lampung Tengah Andi Akhmad Sampurna Jaya yang divonis bebas oleh hakim. Dalam membuat putusan tersebut hakim melakukan metode penemuan hukum yaitu metode interpretasi atau penafsiran hukum, diantara nya adalah (1) metode interpretasi Multidisipliner; (2) metode interpretasi autentik; (3) metode penyempitan atau pengkonkretan hukum (rechtsvervijnings); (4) metode interpretasi interdisipliner; (5) metode sistematis. Di lihat dari Substansi Hukum ada beberapa kenyataan yang menjadi penghambat dalam penemuan hukum tindak pidana korupsi, yaitu: (1) istilah yang digunakan dalam suatu undang-undang sering kali terdapat lebih dari satu pengertian atau pemaknaan (kalimat ambigu); (2) perturan dalam suatu undang-undang sering kali tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam masyarakat. (3) dalam suatu undang-undang adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan perudang-undangan yang mengatur masalah tersebut. Dilihat dari faktor struktur hukum ada beberapa hal yang menjadi penghambat dalam melakukan penemuan hukum yaitu: (1) Perbedaan pendapat hakim dalam menafsirkan suatu undang-undang dalam menangangi suatu perkara ; (2). Kurang adanya minat hakim untuk meningkatkan ilmu pengetahuan nya tentang ilmu hukum. Dilihat dari budaya hukum ada hal yang menjadi penghambat dalam melakukan penemuan hukum, yaitu: kurang diperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem hukum Indonesia berasal dari Belanda sebagai negara yang pernah menguasai Indonesia, sehingga sistem hukum Belanda pun diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Hukum Belanda berada dalam lingkungan sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law), maka sistem hukum Indonesia juga termasuk dalam limgkungan sistem hukum civil law, sehingga sudah barang tentu hakim Indonesia dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, termasuk pula didalamnya mengenai masalah penemuan hukum, dipengaruhi oleh sistem hukum civil lawtersebut. (Andi Hamzah, 2010:3)

Karakteristik sistem hukum civil lawdi tandai dengan adanya suatu kodifikasi atau pembukuan hukum atau undang-undang dalam suatu kitab (code). Dalam suatu kodifikasi dihimpun sebanyak-banyaknya ketentuan-ketentuan hukum yang disusun secara sistematis. Adanya suatu kodifikasi tidak menutup kemungkinan juga untuk dibuatnya suatu undang-undang tersendiri mengenai delik-delik tertentu, dalam kodifikasi undang-undang hukum pidana jika dipandang hal itu memang diperlukan. (Wirjono Prodjodikoro,2008:15)

(4)

tugas penerapan secara ketat ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan. (Jan Remmelink, 2003: 44)

Hukum merupakan sebuah sistem yang terdiri dari sub-sub sistem. Konsekuensinya, jika terjadi kekurangan pada satu subsistem, subsistem yang lain akan menutupinya. Dalam hal ini adalah hukum tertulis atau undang-undang. Perubahan hukum ini harus melalui prosedur. Dengan demikian, pengubahan hukum untuk disesuaikan dengan keadaan tidak dapat setiap kali dilakukan. (Sudikno Mertokusumo, 2003:103)

Pasal 103 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan :

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”

Substansi Pasal 103 KUHP ini secara implisit memberikan peluang bagi tumbuhnya hukum pidana baru diluar kodifikasi. Artinya, dalam mengantisipasi perkembangan zaman, tidak tertutup kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada saat hukum pidana dikodifikasi dalam suatu kitab undang-undang. Demikian pula, seiring perkembangan zaman, ada banyak kejahatan konvensional yang dilakukan dengan modus operandi yang semakin canggih, sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap kejahatan itu. (Dani Krisnawati dkk, 2006:2-3)

(5)

hukum dalam arti sempit dan peraturan hukum konkret; kedua, system hukum; dan ketiga, penemuan hukum. (Sudikno Mertokusumo, 2010:6)

Apabila ketiga fase dalam pemikiran hukum pidana dengan sasaran studi ilmu dan penelitian hukum dihubungkan, ada beberapa hal yang dapat diketahui, yaitu pertama, dalam menghadapi perkembangan zaman, sering hal yang nyata ada bersifat empiris, tidak dapat dicakup oleh suatu kaedah hukum. Kedua, dengan mengingat bahwa hukum adalah sebuah system yang terdiri dari sub-subsistem lainnya. Ketiga, refleksi filsafat tentang arti penting dan tujuan hukum itu sendiri dapat digunakan untuk mengisi kekosongan hukum terhadap hal-hal baru diperlukan penemuan hukum.

Refleksi filsafat menjadi penting dalam rangka pengembangan ilmu hukum dan pembinaan hukum serta praktisi hukum. Hal ini dimaksudkan agar dapat memberikan sumbangan positif dalam memerankan ilmu hukum pada pembinaan dan praktisi hukum. Refleksi tersebut termasuk ke dalam filsafat hukum ilmu dan bertumpu pada konsepsi tentang ilmu itu sendiri. (Teguh Prasetyo dkk, 2007:20)

Sementara filsafat hukum itu sendiri dapat diartikan sebagai sintesis keilmuan terhadap asas-asas yang paling mendasar dari hukum. (Herman Bakir,2007:192)

(6)

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara,pertama kali harus menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.

Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan :

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara

yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib

untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Ketentuan Pasal tersebut memberikan makna kepada hakim sebagai organ utama dalam suatu pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman,untuk menerima, memeriksa, mengadili suatu perkara dan selanjutnya menjatuhkan putusan, sehingga dengan demikian wajib hukumnya bagi hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak jelas ataupun kurang jelas.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 (1) juga menjelaskan bahwa

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib mengali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

(7)

hukumnya harus berusaha mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut, maka Hakim harus mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(8)

Fungsi membentuk hukum (baru) oleh pengadilan atau hakim harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum (tertulis) tidak jelas atau tidak ada.

Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum, yang menurut Sudikno Mertokusumo sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum konkret, atau merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret (das sein) tertentu. (Sudikno Mertokusumo, 2010)

Perkembangan dalam masyarakat pada berbagai sektor kehidupan demikian pesatnya perubahannya sehingga peraturan-peraturan yang hanya mendasarkan semata-mata kepada undang-undang saja akan selalu dirasakan ketinggalan, karena undang-undang selalu dirasakan kalah cepat dibanding dengan perkembangan masyarakat.

(9)

Salah satu contoh kasus yang dapat dilihat dari realita ini adalah :

“Penemuan hukum oleh hakim pada tindak pidana korupsi terlihat dalam putusan perkara korupsi Mantan Bupati Lampung Tengah Andi Akhmad Sampurna Jaya yang divonis

bebas oleh hakim.”

Problematika hukum dari putusan hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, menjadi persoalan yang merupakan pilihan yang harus diterima, mengingat asas hukum Res Judicata pro veretate habitu, yang berarti putusan hakim harus dianggap benar. Meskipun menurut kajian teori hukum banyak putusan hakim terhadap kasus korupsi yang tidak memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat, karena secara empiris menunjukkan bahwa beberapa vonis kasus korupsi disinyalir merupakan hasil dari konspirasi politik mafia peradilan yang sarat dengan intervensi kepentingan dari pihak-pihak berkepentingan, akan tetapi pada akhirnya putusan tersebut harus dianggap benar. (IGM Nurdjana, 2010: 62).

Berdasarkan ketentuan dan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk menuangkan dalam bentuk tulisan yang berjudul “ Tinjauan Yuridis Normatif Terhadap Penemuan Hukum (Rechtsvinding)

Oleh Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi.”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan di bahas adalah :

(10)

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam metode penemuan hukum (Rechtsvinding) yang dilakukan oleh hakim dalam tindak pidana korupsi?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian meliputi pengkajian hukum pidana khususnya tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan metode yang digunakan oleh hakim dalam melakukan penemuan hukum (Rechtsvinding) pada tindak pidana korupsi dan faktor penghambat dalam metode penemuan hukum(Rechtsvinding)yang dilakukan oleh hakim dalam tindak pidana korupsi.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan penulisan ini adalah :

a. Untuk mengetahui metode yang digunakan oleh hakim dalam melakukan penemuan hukum (Rechtsvinding) pada tindak pidana korupsi

b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam metode penemuan hukum (Rechtsvinding) yang dilakukan oleh hakim dalam tindak pidana korupsi

2. Kegunaan Penelitian

(11)

Kegunaan penelitian ini adalah untuk pengembangan kemampuan daya nalar dan berpikir yang sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan yang dimilki guna dapat mengungkap secara obyektif melalui metode ilmiah dalam memecahkan permasalahan yang ada khususnya masalah yang berkaitan dengan aspek individualisasi pembentukan putusan pengadilan atas tindak pidana korupsi terhadap penemuan hukum (Rechtsvinding) dalam sistem Peradilan Indonesia.

b. Kegunaan praktis

Kegunaan penelitian ini adalah untuk kepentingan penulis sendiri dalam rangka melengkapi dan memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis

Menurut Abdulkadir Muhammad (2004:73) Kerangka teoretis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan,acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan. (AbdulKadir Muhammad,2004:hlm 72)

a. Teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan menurut Achmad Ali yaitu :

1. Metode interpretasi atau penafsiran hukum

(12)

pada peristiwa hukum tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkret. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku.

2. Metode Konstruksi Hukum

Metode ini bertujuan agar hasil putusan hakim dalam peristiwa konkret yang ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan serta memberikan kemanfaatan bagi para pencari keadilan. Meskipun nilai dari rasa keadilan dan kemanfaatan itu ukurannya sangat relatif. Nilai adil itu menghendaki terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang sama diperlakukan sama, sedangkan nilai kemanfaatan itu ukurannya terletak pada kegunaan hukum baik bagi diri pencari keadilan, para penegak hukum, pembuat undang-undang, penyelenggara pemerintahan dan masyarakat luas.

3. Teori Hermeneutika Dalam hukum pidana

Perkembangan korupsi di Indonesia hingga saat ini, menunjukkan adanya peningkatan dan seolah semakin sulit untuk ditanggulangi. Berbagai regulasi instrument hukum yang dibuat untuk menegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi seakan tidak mampu menanggulangi korupsi yang sudah berurat akar secara sistemik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan,banyak yang beranggapan bahwa korupsi di Indonesia sudah semakin membudaya. (IGM Nurdjana, 2010: 59)

Secara etimologis, “ hermeneutika” atau “hermenutik” yang dalam bahasa Inggris

“hermeneutic” jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “ketafsiran”

(13)

Teori Hermeneutika, terutama dalam kajian system hukum pidana dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, dapat dikaji pendapat Arif Sidharta yaitu bahwa : (Arif Sidharta, 2005:49)

1. Hermeneutika hukum sebagai metode interpretasi atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif.

Yaitu bahwa interpretasi yang benar terhadap teks hukum itu harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat atau antara bunyi hukum dan semangat hukum.

Tiga syarat yang harus dipenuhi oleh seorang penafsir / interpreter menurut Gadamer, yaitu : (E.Sumaryono, 1999:29)

1. Subtilitas intelligendi(ketepatan pemahaman) 2. Subtilitas explicandi(ketepatan penjabaran) 3. Subtilitas applicandi(ketepatan penerapan)

2. Hermeneutika juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan “teori penemuan hukum” yang ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spiral hermeneutika

(cyrcel hermeneutics), yaitu berupa proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Sesuai dengan dalil hermeneutika yang menjelaskan bahwa fakta-fakta harus diaktulisasikan dalam cahaya kaidah-kaidah dan kaidah-kaidah harus diaktualisasikan dalam cahaya fakta-fakta, yang merupakan paradigm dari teori penemuan hukum modern dewasa ini. (Arif Sidharta, 1996 : 209)

(14)

1. Substansi Hukum

Adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melaksanakan perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum.

2. Struktur hukum

Pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya, struktur ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan lain-lain badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan.

3. Budaya Hukum

Adalah penamaan untuk unsur tuntutan atau permintaan. Tuntutan tersebut datangnya dari rakyat atau para pemakai jasa hukum, seperti pengadilan.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan,acuan,dan pedoman dalam penelitian atau penulisan.( Abdulkadir Muhammad,2004:hlm 78)

a. Penemuan Hukum(Rechtsvinding)

(15)

b. Hakim

Hakim adalah Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. (Pasal 1 ayat (5) UU No. 48 tahun 2009 Tentang

Kekuasaan kehakiman)

c. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

(16)

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penemuan Hukum(Rechtsvinding) 1. Pengertian Penemuan Hukum

(17)

Hukum yang merupakan bagian integral dari kehidupan bersama, kalau manusia hidup terisolir dari manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik yang menyenangkan maupun yang merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum tidak diperlukan . Berdasarkan menurut Soedikno diatas maka dapat dikatakan Penemuan hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran, yang menggunakan asas-asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak melulu menggunakan asas-asas-asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi faktor di dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke dalam suatu perkara.

Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis, dapat menghaluskan hukum (rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi keras bagi kelompok-kelompok tertentu. Misalkan seorang pencuri yang didesak karena kebutuhan ekonominya tentu akan berbeda hukumannya dengan pencuri yang mencuri dikarenakan ketamakan. Sehinggaadagium lex dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang demikian bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam konteks ini. Keseluruhan operasi logika dan penafsiran menggunakan aspek-aspek lainnya, ditujukan untuk mengisi ruang kosong yang terdapat di dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materil dari hukum. Dengan mencari persamaan dalam sistem materil yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan, sehingga membentuk pengertian hukum (rechtsbegrip). Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi, penghalusan hukum danargumentum a contrario.( Jazim Hamidi,2005:hlm.51)

(18)

Dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa

“ Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk menyelenggarakan peradilan. Kebebasan kekuasaan kehakiman atau kebebasan peradilan atau kebebasan hakim merupakan asas universal yang terdapat diberbagai negara. Kebebasan peradilan atau hakim ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisial. Kebebasan hakim ini memberi wewenang kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum secara leluasa.

Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang“

Ini berarti bahwa hakim pada dasarnya harus tetap ada di dalam satu sistem (hukum), tidak boleh keluar dari hukum, sehingga harus menemukan hukumnya.

Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Walau bagaimanapun hakim wajib memeriksa dan menjatuhkan putusan, yang berarti bahwa ia wajib menemukan hukumnya.

(19)

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumannya itu ada tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukum nya itu ada, tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan. Scholten mengatakan bahwa di dalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukannya. (Sudikno mertokusumo, 2010: 61)

3. Metode Penemuan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi

Metode Penemuan hukum diarahkan pada suatu peristiwa yang bersifat khusus, konkret, dan individual. Jadi, metode penemuan hukum bersifat praktikal, karena lebih dipergunakan dalam praktik hukum. Hasil dari metode penemuan hukum adalah terciptanya putusan pengadilan yang baik, yang dapat dipergunakan sebagai sumber pembaruan hukum. Putusan hakim berperan juga terhadap perkembangan hukum dan ilmu hukum, oleh karena itu putusan hakim dapat juga digunakan sebagai bahan kajian dalam ilmu hukum. (Lintong O. Siahaan,57:2006)

Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, antara lain: (Achmad Ali, 167: 1993)

1. Metode Interpretasi atau penafsiran

(20)

lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkret. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku. (Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, 1993:13)

Arti penafsiran sebagai suatu kesimpulan dalam usaha memberikan penjelasan atau pengertian atas suatu kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya, sehingga orang lain dapat memahaminya, atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), antinomi hukum (konflik norma hukum), dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan. Tujuannya tidak lain adalah mencari serta menemukan sesuatu hal yang menjadi maksud para pembuatnya.

Untuk mengetahui satu per satu dari metode penemuan hukum melalui metode interpretasi hukum, dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Interpretasi Gramatikal ( penafsiran menurut bahasa )

Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Menurut A.Pitlo bahwa interpretasi gramatikal berarti, mencoba menangkap arti sebuah teks dari peraturan perundang-undangan menurut bunyi kata-katanya. Sebuah kata dapat mempunyai berbagai arti misalnya dalam bahasa hukum dapat berarti lain jika dibandingkan dengan bahasa pergaulan.

(21)

pengertian bahasa sehari-hari, masyarakat lebih mengenal korupsi sebagai perbuatan tercela, menggelapkan uang Negara, dan melakukan suap menyuap dengan pejabat pemerintah.

a. Interpretasi Teleologis atau sosiologis (penafsiran menurut tujuan kemasyarakatan)

Interprestasi teleologis yaitu memberikan makna kepada undang-undang berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah tidak sesuai lagi diterapkan terhadap peristiwa konkret sehubungan dengan kebutuhan dan kepentingan masa kini meskipun sesungguhnya peristiwa-peristiwa itu belum dikenal sewaktu undang-undang tersebut diundang-undangkan.

Contoh :

“Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, ketika berlaku UU No.31 tahun 1999, maka terjadi kekosongan hukum terutama untuk diterapkan terhadap kasus-kasus korupsi yang terjadi dalam kurun waktu antara tahun 1971 hingga tahun 1999 (kurun waktu antara UU No.3 tahun 1971-UU No.31 tahun 1999), mengingat UU No.31 tahun 1999 mencabut UU no.3 tahun 1971. Akan tetapi dengan menggunakan interpretasi teleologis atau sosiologis, maka asas rektroaktif undang-undang pemberantasan korupsi dapat diterapkan oleh hakim, apalagi sifat melawan hukum materiil dari perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat.

Melalui interpretasi ini hakim dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif dari hukum (Rechtspositivitteit) dengan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid), sehingga jenis interpretasi ini menjadi penting.

b. Interpretasi sistematis

(22)

undang-undang lain atau keseluruhan system hukum. Penafsiran ini disebut juga penafsiran logis.

Interpretasi sistematis adalah metode penafsiran yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan system perundang-undangan. Artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi ia harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya. Menafsirkan peraturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang dari system perundang-undangan suatu Negara.

Penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak semata-mata hanya melihat peraturan pidana tentang Korupsi, akan tetapi terkait dengan peraturan perundang-undangan perdata, administrasi Negara dan tata Negara.

c. Interpretasi Historis (penafsiran menurut sejarah)

Interpretasi historis adalah interpretasi menurut sejaran undang-undang. Setiap ketentuan perundang-undang mempunyai sendiri. Karena itu, untuk mengetahui makna atau kalimat dalam suatu undang-undang, dapat menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran undang-undang atau Pasal tertentu dari undang-undang tersebut.

Ada dua jenis interpretasi historis yaitu :

1. Penafsiran menurut sejarah undang-undang.

(23)

2. Penafsiran menurut sejarah hukum(Rechtshistory).

Yaitu metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum dengan menelusuri sejarah awal munculnya hukum tersebut.

d. Interpretasi Komparatif (penafsiran dengan membandingkan)

Interpretasi komparatif yaitu penafsiran dengan jalan memperbandingkan atau perbandingan hukum. Hal ini penting untuk perjanjian-perjanjian internasional. Interpretasi komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan antara berbagai system hukum. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional itu penting, karena dengan pelaksanaan yang berimbang atau seragam direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional itu sebagai hukum objektif atau sebagai kaidah hukum umum untuk beberapa Negara.

e. Interpretasi Futuristik (interpretasi menurut aturan yang belum mempunyai kekuatan hukum)

Interpretasi futuristik yaitu penafsiran dengan jalan menjelaskan undang-undang dengan berpedoman pada kekuatan rancangan atau rencana undang-undang yang belum mempunyai kekuatan berlaku. Interpretasi futuristic merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu penjelasan ketentuan undang-undang dapat berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masih dalam tahap pembahasan di DPR.

f. Interpretasi Restriktif (membatasi)

(24)

Misalnya : Menurut interpretasi gramatikal korupsi diartikan sebagai perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental dan hukum, atau bahwa perbuatan korupsi tersebut merupakan kejahatan atau tindak pidana. Akan tetapi, kejahatan atau tindak pidana tersebut dibatasi pada tindak pidana yang merugikan keungan Negara atau perekonomian Negara.

g. Interpretasi Ekstensif (memperluas)

Metode ini merupakan metode penafsiran yang lebih luas dari pengertian yang diberikan berdasarkam interpretasi gramatikal.

Misalnya menurut interpretasi gramatikal tentang pegawai negeri dalam korupsi dapat diartikan sebagai orang yang bekerja pada kantor-kantor pemerintahan dan mendapatkan gaji dari Negara, tetapi dalam pengertian pegawai negeri dalam konteks undang-undang korupsi, maka pembuat undang memberikan batasan tentang pengertian pegawai negeri dalam konteks undang-undang korupsi, maka pembuat undang-undang-undang-undang memberikan batasan tentang pengertian pegawai negeri dalam UU No.20 tahun 2001 adalah: 1) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang kepegawaian; 2) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab UU hukum pidana; 3) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; 4) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah, atau; 5) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal dan fasilitas dari Negara atau masyarakat.

(25)

h. Interpretasi Otentik (secara resmi)

Jenis interpretasi ini, hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri. Artinya bahwa ketentuan suatu pasal dalam undang-undang yang jelas, tegas, definisi tertentu yang dituju, sehingga tidak perlu penafsiran lagi dalam penerapannya.

i. Interpretasi interdisipliner (penafsiran dengan berbagai disiplin ilmu hukum)

Interpretasi ini biasanya dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Dalam menafsirkan digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.

Sebagai contoh interpretasi yang menyangkut kejahatan “korupsi” hakim dapat menafsirkan

ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum pidana, administrasi Negara, tata Negara dan perdata.

j. Interpretasi Multidisipliner

Dalam interpretasi multidisipliner, penafsiran terhadap suatu ketentuan undang-undang harus mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain diluar ilmu hukum. Dengan kata lain dibutuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu lain. Seperti halnya dengan korupsi, sangat membutuhkan interpretasi multidisipliner mengingat bahwa korupsi terkait dengan berbagai aspek kehidupan baik hukum, social budaya, ekonomi dan politik. Selain itu korupsi merupakan kejahatan yang bersifat global yang terorganisir serta melintas batas-batas Negara.

(26)

Metode konstruksi hukum bertujuan agar hasil putusan hakim dalam peristiwa konkret yang ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan serta memberikan kemanfaatan bagi para pencari keadilan. Meskipun nilai dari rasa keadilan dan kemanfaatan itu ukurannya sangat relatif. Nilai adil itu menghendaki terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang sama, sedangkan nilai kemanfaatan itu ukurannya terletak pada kegunaan hukum baik bagi diri pencari keadilan, para penegak hukum, pembuat undang-undang, penyelenggara pemerintahan dan masyarakat luas. ( Jazim hamidi,58-59:2005)

Menurut Rudolph von Jhering, ada 3 (tiga) syarat utama untuk melakukan konstruksi hukum, yaitu:

a. Konstruksi hukum harus mampu meliputi semua bidang hukum positif yang bersangkutan. b. Dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis di dalamnya atau tidak

boleh membantah dirinya sendiri.

c. Konstruksi itu mencerminkan faktor keindahan (estetika), yaitu konstruksi itu bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan konstruksi harus mampu memberi gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, sehingga dimungkinkan penggabungan berbagai peraturan, pembuatan pengertian-pengertian baru, dan lain-lain. (Achmad Ali,191-192:1993)

(27)

Analogi merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya.

Metode analogi sebagai salah satu jenis konstruksi hukum biasanya sering digunakan dalam lapangan hukum perdata, dan hal ini tidak akan menimbulkan persoalan , sedangkan penggunaannya dalam hukum pidana sering menjadi perdebatan dikalangan para yuris, karena ada yang setuju dan ada pula yang menolaknya. Akan tetapi, yang jelas bahwa sebagian besar negara-negara hukum (rechtstaat) dan ahli hukum di dunia tidak menerima analogi untuk diterapkan dalam hukum pidana , sehingga hal ini berpengaruh pada asas legalitas dalam hukum pidana , yang tidak membolehkan sifat retroaktif atau berlaku surut suatu peraturan perundang-undangan. (Antonius Sudirman,2007: 70-71)

Kenyataan empiris, tampaknya penolakan atas penerapan analogi dalam hukum pidana merupakan prinsip utama yang menjadi pegangan dan dianut oleh hakim, yang merupakan ujung tombak dalam penerapan analogi.

b. Metode Argumentum a Contrario

Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya. Karena ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang.

(28)

Metode ini menitikberatkan pada ketidaksamaan peristiwanya. Disini diperlakukan segi negatif daripada suatu undang-undang. (Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, 1993:26-27).

c. Metode Penyempitan/Pengkonkretan Hukum(rechtsvervijnings)

Metode Penyempitan/Pengkonkretan Hukum (rechtsvervijnings) bertujuan untuk mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif serta sangat umum, agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dikatarakan abstrak karena aturan hukum bersifat umum (norma luas) dan dikatakan pasif karena aturan hukum tersebut tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkret.(Jazim Hamidi, 2005:61)

d. Fiksi Hukum

Metode fiksi hukum ini sangat dibutuhkan oleh hakim dalam praktik peradilan, karena seorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana kejahatan, tidak dapat berdalih untuk dibebaskan dengan alasan tidak mengetahui hukumnya bahwa perbuatan yang dilakukannya itu merupakan suatu kejahatan yang dapat dijatuhi pidana. Esensi dari fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi baru dihadapan kita. Fungsi dari fiksi hukum di samping untuk memenuhi hasrat menciptakan stabilitas hukum, juga utamanya untuk mengisi kekosongan undang-undang. Dengan kata lain, fiksi hukum bermaksud untuk mengatasai konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem hukum yang ada. (Jazim Hamidi, 2005:63)

3. Metode Hermeneutika Hukum

(29)

dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora. (Jazim Hamidi, 2005:42)

Metode hermeneutika hukum pada hakikatnya sangat berguna, tatkala seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah makna orisinil dari teks hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum konkret, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukum. Pengalaman hakim pada saat menemukan hukum dalam praktik di pengadilan memberikan dukungan bagi konsepsi pragmatis dan interpretasinya. Dengan demikian, penggunaan dan penerapan hermeneutika hukum sebagai teori dan metode penemuan hukum baru akan sangat membantu para hakim dalam memeriksa serta memutus perkara dipengadilan. Kelebihan metode ini terletak pada cara dan ruang lingkup interpretasinya yang tajam, mendalam, dan holistik dalam bingkai kesatuan antara teks, konteks, dan kontekstualisasinya (Jazim hamidi,2005:64)

(30)

4. Aliran-aliran dalam menemukan hukum oleh hakim (Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, 1993:42-45)

a. Legisme

Pada abad pertengahan timbullah aliran yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit.

Hakim hanyalah subsimpte automaat, sedangkan metode yang dipakai adalah geometri yuridis. Kebiasaan hanya mempunyai kekuataan hukum apabila ditunjuk oleh undang-undang.

Hukum dan undang-undang adalah identik, yang dipentingkan disni adalah kepastian hukum. Ajaran ini sesuai dengan hukum kodrat yang rasionalistis dari abad ke 17 dan 18. Ajaran Trias Politica (Montesquieu) mengatakan bahwa pembentukan hukum semata-mata adalah hak istimewa dari pembentuk undang-undang, sedang kebiasaan bukanlah sumber hukum.

Pandangan ajaran kedaulatan rakyat dari Rousseaumengatakan bahwa kehendak rakyat bersama adalah kekuasaan tertinggi. Undang-undang sebagai pernyataan kehendak rakyat adalah satu-satunya sumber hukum. Hukum kebiasaan tidak mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan menurut ajaran kedaulatan Negara satu-satunya sumber hukum adalah kehendak Negara. Menurut ajaran kedaulatan hukum maka satu-satunya sumber hukum adalah kesadaran hukum dan yang disebut hukum hanyalah yang memenuhi kesadaran hukum orang banyak.

b. Begriffsjurisprudenz

(31)

Aliran ini melihat hukum sebagai suatu sistem atau kesatuan tertutup yang menguasai semua tingkah laku sosial. Dasar dari hukum adalah suatu system azas-azas hukum serta pengertian dasar yang menyediakan kaedah yang sudah pasti untuk setiap peristiwa konkret. Hakim memang bebas dari ikatan undang-undang tetapi harus bekerja dalam sistem hukum yang tertutup.

Menurut aliran ini pengertian hukum tidaklah sebagai sarana tetapi sebagai tujuan, sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian (Begriffsjurisprudenz), suatu permintaan pengertian. Titik tolak pandangan ini ialah bahwa undang-undang bukanlah satu-satunya sumber hukum. Masih ada sumber hukum lain tempat hakim menemukannya.

Undang-undang, kebiasaan dan sebagainya hanyalah sarana hakim dalam menemukan hukumnya. Yang dipentingkan disini bukanlah kepastian hukum, melainkan kemanfaatannya bagi masyarakat. Aliran ini sangatalah berlebihan karena berpendapat bahwa hakim tidak hanya boleh mengisi kekosongan undang-undang saja, tetapi bahkan boleh menyimpang. Kebebasan Hakim ini terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliaran sosiologis, yang berpendapat bahwa untuk menemukan hukum hakim harus mencarinya dalam kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, dan aliran hukum kodrat yang berpendapat bahwa untuk menemukan hukumnya harus dicari dalam hukum kodrat.

Walau bagaimana pun juga aliran bebas ini telah menanamkan dasar bagi pandangan yang sekarang berlaku tentang undang-undang dan fungsi hakim.

(32)

Pandangan-pandangan ekstrim tersebut diatas ternyata tidak dapat bertahan. Timbulah kemudian aliran baru yang berpendapat bahwa sumber hukum tidak hanya undang-undang yang merupakan peraturan umum yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah lengkap karena tidak mungkin mencakup segala kegiatan kehidupan manusia. Banyak hal yang tidak sempat diatur oleh undang-undang: undang-undang banyak kekosongannya. Kekosongan ini diisi oleh peradilan. Dengan jalan penafsiran hakim mengisi kekosongan undang-undang itu. Di samping undang-undang dan peradilan masih terdapat hukum yang tumbuh di dalam masyarakat, yaitu hukum kebiasaan. Pekerjaan hakim kecuali bersifat praktis rutin juga ilmiah, sifat pembawaan tugasnya menyebabkan ia harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar dari putusannya.

b. Hakim

Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Tugas hakim adalah mengkonstatir,mengkwalifisir dan kemudian mengkonstituir. Apa yang harus dikonstituirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus dikwalifisir, Pasal 4 ayat (1) UU.No 48 tahun 2009 mewajibkan hakim mengadili menurut hukum. Maka oleh karena itu hakim harus mengenal hukum disamping peristiwanya. Hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan lain-lain. Hal ini kemudian yang sering diistilahkan judge made law atau penemuan hukum (rechtsvinding) konsep ini di Indonesia, diakomodir di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 tahun 2009

dimana dalam Pasal 16 ayat (1), dinyatakan sebagai berikut : “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa

(33)

Pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tersebut, sangat jelas terlihat bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara atas dasar ketiadaan dasar hukum. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia kebangkrutan hukum tidaklah diperbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman, oleh Mochtar Kusumaatmadja disebut juga dengan asas non-liquietyang merupakan cerminan dari Pasal 22 Algemene Bepalingen (AB) pada masa Belanda. ( Mochtar Kusumaatmadja & B.Arief Sidharta,2002:hlm 99)

Asas ini kemudian mendasari atau memberikan peluang bagi hakim, untuk menafsirkan dan menerapkan konsep penemuan hukum dalam sistem hukum Indonesia. Namun demikian, persoalan yang muncul adalah mengenai apakah hakim dalam konteks penemuan hukum memiliki kesamaan pengertian dengan konsep hakim membuat hukum (judge made law) seperti di dalam hukumcommon law.

Hal itu menunjukkan fungsi utama hakim dalam memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya.( Nanda Dewa Agung Dewantara, 2005: 28). Kebebasan hakim dapat pula bertindak sewenang-wenang. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan tersebut, harus diciptakan batasan-batasan tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan kehakiman.

(34)

Hal ini menunjukkan adanya kemandirian, atau bebas menentukan timbulnya keyakinan dalam dirinya berdasarkan alat-alat bukti yang dihadapkan ke muka sidang.

Di dalam tindak pidana korupsi ada yang dinamakan hakim karier dan hakim adhoc sebagaiman dinyatakan pada Pasal 1 UU No. 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yaitu :

(1) Hakim adalah hakim karier dan hakim Ad hoc

(2) Hakim karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi.

(3) Hakim Ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.

c. Tindak Pidana korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin “Corruptio” atau “Corruptus”, yang dikemudian diadopsi

oleh banyak bahasa di Eropa, mislanya di Inggris dan Perancis “ Corruption” serta Belanda

Corruptie”,dan selanjutnya dipakai pula dalam bahasa Indonesia “ Korupsi”.

Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara,atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (Andi Hamzah,2005:hlm 5)

(35)

Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 mengatur secara tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi dimaksud. Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan

sebagai berikut : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonoman negara...”

Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, menyatakan : “Setiap orang

yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”

(www.google.co.id/searchpengertian tindak pidana korupsi, diakses tanggal 31 Juli 2011)

Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal tata kelola administrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang dipublikasikan media, seringkali perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan, birokrasi, ataupun pemerintahan. Korupsi juga sering dikatikan pemaknaannya dengan politik. Sekalipun sudah dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hukum/kriminal, pengertian korupsi dipisahkan dari bentuk pelanggaran hukum lainnya. Selain mengkaitkan korupsi dengan politik, korupsi juga dikatikan dengan perekonomian, kebijakan publik, internasional, kesejahteraan sosial, dan pembangunan nasional. Begitu luasnya aspek-aspek yang terkait dengan korupsi hingga badan dunia seperti PPB memiliki badan khusus yang memantau korupsi dunia. Sebagai landasan untuk memberantas dan menanggulangi korupsi adalah memahami pengertian korupsi itu sendiri.

(36)

“Perbuatan korup diartikan sebagai tindakan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara”.

Pasal 3 menyebutkan:

“Perbuatan ’Korup’ dilakukan oleh setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukan yang dapat merugikan negara

atau perekonomian negara”

Berdasarkan kedua pasal tersebut, perbuatan ‘Korup’ adalah perbuatan yang dilakukan dengan

memanfaatkan jabatan/kedudukan/kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan negara dan pereknomian negara. Menurut kedua pasal tersebut,

perbuatan ‘Korup’ adalah tindakan yang melanggar hukum.

Jika bersandar pada UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

maka tindak pidana ‘Korupsi’ berlaku tidak hanya pada institusi pemerintahan, akan tetapi bisa

(37)
(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan utama yaitu yuridis normatif (legal research)dan yuridis empiris sebagai penunjang.

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang menelaah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum tertulis. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melihat, menelaah hukum serta hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, taraf sinkronisasi yang berkenaan dengan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini mengenai tinjauan yuridis normatif terhadap penemuan hukum(rechtsvinding)oleh hakim dalam tindak pidana korupsi

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan (Library Research) dengan cara membaca, mengutip, menyalin dan menganalisis berbagai literature. Data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yaitu :

(39)

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

d. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman

f. Bahan Hukum sekunder yang meliputi :

a. Peraturan Menteri Nomor 23/Kominfo/M/10/2005 Tentang Kewajiban Registrasi Penggunaan Prabayar dan Pascabayar.

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

c. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan daerah. d. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah g. Bahan Hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer seperti buku-buku literature dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

C. Penentuan Narasumber

(40)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur pengumpulan data

a. Data Sekunder

Studi kepustakaan (Library Research) digunakan untuk memperoleh data sekunder melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dengan cara membaca, menelaah, mencatat dan mengutip buku-buku dan beberapa ketentuan-ketentuan serta literatur lain yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan diteliti atau dibahas.

2. Prosedur Pengolahan Data

Dalam melaksanakan pengolahan data yang telah diperoleh maka penulis melakukan kegiatan-kegiatan antara lain :

a. Seleksi data yaitu data yang diperoleh diperiksa dan diteliti mengenai kelengkapannya, kejelasan, kebenaran, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahannya.

b. Klasifikasi data yaitu menempatkan data-data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan sesuai dengan pokok bahasan.

c. Penyusunan data yaitu dengan menyusun dan menempatkan data pada setiap pokok bahasan secara sistematis sesuai dengan tujuan penulisan.

E. Analisis Data

(41)
(42)

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan,yaitu

1. Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) yang dilakukan oleh hakim pada tindak pidana korupsi adalah pembentukan hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran, yang menggunakan asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi faktor di dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke dalam suatu perkara. Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan luas tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu.

Penemuan hukum oleh hakim pada tindak pidana korupsi terlihat dalam satu kasus korupsi dimana hakim membuat putusan dengan metode penemuan hukum yaitu metode interpretasi atau penafsiran hukum. Dalam vonis tersebut hakim tidak menggunakan seluruh metode penemuan hukum tapi hanya menggunakan beberapa metode interpretasi atau penafsiran hukum yaitu, (1). metode interpretasi gramatikal; (2) metode interpretasi restriktif; (3) metode interpretasi Multidisipliner; (4) metode interpretasi autentik; (5) metode penyempitan atau pengkonkretan hukum (rechtsvervijnings); (6) metode interpretasi interdisipliner; (7) metode sistematis.

(43)

yang menjadi penghambat dalam penemuan hukum tindak pidana korupsi, yaitu: (1) istilah yang digunakan dalam suatu undang-undang sering kali terdapat lebih dari satu pengertian atau pemaknaan (kalimat ambigu); (2) peraturan dalam suatu undang-undang sering kali tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam masyarakat. (3) dalam suatu undang-undang adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan perudang-undangan yang mengatur masalah tersebut. Dilihat dari faktor struktur hukum ada beberapa hal yang menjadi penghambat dalam melakukan penemuan hukum yaitu: (1) Perbedaan pendapat hakim dalam menafsirkan suatu undang-undang dalam menangangi suatu perkara ; (2). Kurang adanya minat hakim untuk meningkatkan ilmu pengetahuan nya tentang ilmu hukum. Dilihat dari budaya hukum ada hal yang menjadi penghambat dalam melakukan penemuan hukum, yaitu: kurang diperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.

B. Saran

(44)

TINJAUAN YURIDIS NORMATIF TERHADAP METODE

PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING) YANG

DILAKUKAN OLEH HAKIM DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI

(skripsi )

Oleh Didik Dani Ardi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Bakir, Herman,Filsafat Hukum: Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Refika Aditama, Bandung, 2007

Hamidi,Jazim,Hermeneutika Hukum,Teori Penemuan Hukum Baru dengan interpretasi teks, UII Press,Yogyakarta,2005.

Hamzah,Andi.Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Sinar Grafika.Jakarta.2005

Mertokusumo, Sudikno,Mengenal Hukum: Suatu pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003.

Muhammad, Abdulkadir,Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,2004.

Nurdjana,IGM, Sistem Hukum Pidana dan bahaya Laten Korupsi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah,Ilmu Hukum&Filsafat

Hukum:Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Prodjodikoro,Wirjono,Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia,Refika Aditama, Bandung,2008.

Shidarta, Arief. Peranan Praktisi Hukum dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Pusat Penelitian Perkembangan Hukum Lembaga Penelitian Unpad. No.1/1999. Bandung

Shidarta, Arief. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks. UII Press, Yogyakarta, 2005.

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad.Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis), Chandra Pratama. Jakarta. 1993

Hamidi,Jazim,Hermeneutika Hukum,Teori Penemuan Hukum Baru dengan interpretasi teks, UII Press,Yogyakarta,2005

Hamzah,Andi.Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Sinar Grafika.Jakarta.2005

Kusumaatmadja,Mochtar dan B.Arief Sidharta,Pengantar Ilmu hukum, PT.Alumni,Bandung,2002.

Mertokusumo,Sudikno dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum , Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu pengantar, Liberty, Yogyakarta,2003.

Siahaan, Lintong O.Peran Hakim Agung dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Pada Era Reformasi dan Transformasi, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No.252 Bulan November 2006. Ikahi, Jakarta. 2006

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir,Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,2004.

Nasution,Bahder Johan,Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV.Mandiri Maju, Bandung,2008

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman

Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang no.20 tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang nomor 31

tahun 1999 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi UU no.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Acara Pidana UU no. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan negara

UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah No.39 tahun 2007 Pengelolaan Uang Negara/Daerah. Peraturan Pemerintah No.58 tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis), Chandra Pratama. Jakarta. 1993.

Bakir, Herman, Filsafat Hukum: Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Refika Aditama, Bandung, 2007.

Dewantara,Nanda Dewa Agung.Masalah kebebasan Hakim dalam menangani suatu perkara pidana.Aksara Persada Indonesia.Jakarta.

Hamidi,Jazim,Hermeneutika Hukum,Teori Penemuan Hukum Baru dengan interpretasi teks, UII Press,Yogyakarta,2005.

Hamzah,Andi.Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Sinar Grafika.Jakarta.2005 Kusumaatmadja,Mochtar dan B.Arief Sidharta,Pengantar Ilmu hukum,

PT.Alumni,Bandung,2002.

Mertokusumo,Sudikno dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum , Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993.

Muhammad, Abdulkadir,Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,2004.

---, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Libety, Yogyakarta,2001.

---, Mengenal Hukum: Suatu pengantar, Liberty, Yogyakarta,2003.

Nasution,Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV.Mandiri Maju, Bandung,2008.

(50)

Pontier,J.A., Penemuan Hukum, Penerjemah B.Arief Sidharta, jendela Mas Pustaka, Bandung.2008.

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum&Filsafat Hukum:Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Prodjodikoro,Wirjono,Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia,Refika Aditama, Bandung,2008.

Remmelink, Jan, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2003.

Rifai,Ahmadi,Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,Sinar Grafika,Jakarta,2010

Shidarta, Arief. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks. UII Press, Yogyakarta, 2005.

Shidarta, Arief. Peranan Praktisi Hukum dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Pusat Penelitian Perkembangan Hukum Lembaga Penelitian Unpad. No.1/1999. Bandung.

Siahaan, Lintong O. Peran Hakim Agung dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Pada Era Reformasi dan Transformasi, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No.252 Bulan November 2006. Ikahi, Jakarta. 2006

Sudirman, Antonius. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2007

Sumaryono,E,Hermeneutik,Sebuah metode filsafat, Kanisius, 1993 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman

Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang no.20 tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang nomor 31

tahun 1999 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi UU no.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Acara Pidana UU no. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan negara

(51)

Peraturan Pemerintah No.39 tahun 2007 Pengelolaan Uang Negara/Daerah. Peraturan Pemerintah No.58 tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah

Perauran Menteri No.23/Kominfo/M/10/2005 tentang Kewajiban Registrasi Penggunaan Prabayar dan Pascabayar.

(52)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penemuan Hukum (Rechtsvinding)... 15

B. Pengertian Hakim ... 32

C. Definisi Tindak Pidana Korupsi ... 35

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 38

B. Sumber dan Jenis Data ... 39

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 40

D. Analisis Data ... 41

DAFTAR PUSTAKA IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber... 42

B. Metode Yang Digunakan Oleh Hakim Melakukan Penemuan Hukum (Rechtsvinding)Pada Tindak Pidana Korupsi ... 43

(53)

DAFTAR PUSTAKA V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 58 B. Saran ... 60

(54)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt atas segala anugerah dan rahmat-Nya yang sangat melimpah bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Tinjauan Yuridis Normatif Terhadap Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Yang Dilakukan Oleh Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi”.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak-pihak yang mendukung dalam penyelesaian skripsi ini tanpa pihak-pihak tersebut skripsi ini tidak mungkin terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr.Ir. Sugeng Haryanto, M.S Selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Heriyandi, S.H.,M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(55)

4. Ibu Maya Shafira, SH., MH. Selaku Pembimbing dua yang telah memberi arahan arahan dan nasehatnya shingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Firganefi, S.H.,M.H Selaku Pembahas satu yang telah banyak memberikan bimbingan, kritik, dan saran dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Deni Achmad, S.H.,M.H selaku Pembahas dua yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini.

7. Papa ku Sunarto, Alm Mamaku Astuti, Kakakku Dede Aryo Purwanto dan Adikku Canca Adi Nugroho serta keluarga besarku terima kasih untuk segala dukungan dan semangatnya.

8. Kekasihku tersayang Yendri Zahara, SH., MH, terima kasih atas kasih sayang, semangat serta doanya dalam penyelesaian skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya tepat waktu dan terima kasih atas bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga semua bantuan dalam doa, semangat dan pengorbanan yang mereka berikan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa dan mereka senantiasa di lindungi selalu. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi mereka yang membacanya.

Bandar Lampung, 23 Mei 2012 Penulis,

(56)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati, S.H.,M.H ……….

Sekretaris /Anggota : Maya Shafira, S.H.,M.H ……….

Penguji

Bukan pembimbing : Firganefi, S.H.,M.H ……….

2. Pejabat Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriyandi, S.H.,M.S NIP. 19621109 1987031003

(57)

Judul Skripsi : TINJAUAN YURIDIS NORMATIF

TERHADAP METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING) YANG DILAKUKAN

OLEH HAKIM DALAM TINDAK PIDANA

KORUPSI

Nama : Didik Dani Ardi

Nomor Pokok Mahasiswa : 0542011369 Program Kekhususan : Hukum Pidana

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping

DIAH GUSTINIATI, S.H, M.H MAYA SHAFIRA, S.H, M.H

NIP. NIP.

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(58)

Motto

(59)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gunung Madu pada Tanggal 07 Juni 1983, sebagai anak sulung dari empat bersaudara dari Bapak Sunarto dengan Ibu Astuti (alm).

(60)

Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT dan dengan segala ketulusan dan kerendahan hati ini kupersembahkan untuk ibu dan bapak tercinta yang telah

membesarkan dan mendidik dengan segenap kasih sayang, kesabaran, pengorbanan yang senantiasa mendoakan untuk keberhasilan, kesuksesan dan

Referensi

Dokumen terkait

ARGUMENTASI HUKUM HAKIM PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADILAN TINGGI SURABAYA MENGABULKAN PERMOHONAN BANDING PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA KORUPSI (studi kasus

Penelitian hukum ini bertujuan untuk menganalisis pertimbangan hakim dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut dengan terdakwa Tony

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daerah Kabupaten Lampung

Perumusan tindak pidana dalam Bab II Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika dihubungkan dengan subjek hukum yang dikenal dalam Undang-Undang Pemberantasan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tenang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah : “Setiap orang dikategorikan melawan hukum, melakukan

31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TPK, Pasal 2 Ayat 1 yang menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah “setiap orang yang melawan hukum

Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi menurut undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.,