KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
.'
613.62 Ind s
Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Indonesia . Kementerian Kesehatan RL Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Seri pedoman tatalaksana penyakit akibat kerja bagi petugas kesehatan : Penyakit THT akibat 'kerja, Jakarta : Kementerian Keehatan RI . 2011
SERf
PEDOMAN TATALAKSANA PENYAKIT AKIBAT KERJA BAGI PETUGAS KESEHATAN
PENYAIITTNT
AIIBAT IERJA
DIREKTORAT BINA KESEHATAN KERJA DAN OLAHRAGA KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL
BINA GIZI DAN KIA
Pekerja memegang peranan yang sangat penting dalam
pembangunan bangsa karena jumlahnya yang sangat besar,
berperan dalam mengembangkan pembangunan perekonomian
negara, dan merupakan tulang punggung ekonomi keluarga . Bila
pekerja sehat dan produktif, ekonomi keluarga meningkat dan
berdampak pada ekonomi bangsa sehingga angka kemiskinan
dapat diturunkan yang pada akhirnya dapat meningkatkan status
serta menurunkan angka IMR dan MMR.
Dalam perkembangan industrialisasi dan teknologi, makin banyak
bahan dan alat yang digunakan mempunyai risiko terhadap
kesehatan pekerja. Pekerja dapat terkena berbagai penyakit baik
penyakit menular yang saat ini masih tinggi juga penyakit tidak
menular termasuk penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan
lingkungan di tempat kerja.
Gangguan kesehatan karena sangat berpengaruh terhadap produktivitas pekerja dan selanjutnya bila tidak ditanga ni secara baik akan menyebabkan kecacatan seumur hidup bahkan kematian .
Oleh karena itu deteksi dini penyakit, merupakan suatu hal yang
sangat penting dilakukan. Untuk itu diperlukan kemampuan yang cukup bagi diagnosis penyakit akibat kerja secara dini dan
melakukan penanganan yang tepat.
Saya menyambut baik adanya pedoman ini, semoga bermanfaat
bagi dokter di pelayanan kesehatan dasar dalam memberikan
pelayanan bagi pekerja.
R. dr. Siamet Riyadi Yuwono, DTM&H, MARS
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas limpahan rahmat dan karuniaNya buku Pedoman Tatalaksana
Penyakit Akibat Kerja ini dapat diselesaikan.
Perkembangan industri saat ini sarat akan teknologi yang
selain berdampak positif dari segi ekonomi namun juga dapat
menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan . Dokter di fasilitas
kesehatan dasar sangat berperan untuk mencegah timbulnya
penyakit dan kecacatan akibat kerja dengan melakukan deteksi
dini dan penanganan yang tepat.
Seri Pedoman Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja ini, diharapkan
dapat memberikan 'informasi. yang cukup bagi petugas kesehatan,
dan dapat membantu dalam mengembangkan program.
Terimakasih kami sampaikan kepada PERDOKI yang telah
berperan dalam penyusunan pedoman ini. Terima kasih juga kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu .
Kami menyadari pedoman ini tentu masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kami sang at mengharapkan saran dan masukan untuk
perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang.
Akhir kata, kami berharap semoga pedoman ini dapat bermanfaat
bagi petugas kesehatan khususnya dokter di fasilitas kesehatan
dasar.
Jakarta, November 2011
Direktur Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga
Dr. Kuwat Sri Hudoyo, MS
DAFTAR lSI
Halaman
KATA SAMBUTAN ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... .. ... .. ... ... .
KATA PENGANTAR ... .. ... .. .. ... ... .. ... .... .... ... ... ... .. .. .. .. ... iii
DAFTAR lSI ... .. .. .. .. .. ... .. ... ... ... .... ... ... ... ... .. .. v
BAB I.
PENDAHULUAN
.. .... ... .... .. ... .. .. ... .. .... ....
1A. LATAR BELAKANG .. .. .. .... .. .... .. .. ... . .. .. .. .. ... .. ... 1
B. TUJUAN... ... .. .. ... ... .... .. .... .. .. ... ... 1
C. SASARAN ... . .... ... .. ... . .. ... ... ... 2
D. RUANG LlNGKUP ... .. ... ... ... ... .... ... 2
BAB II. PENYAKIT TELINGA AKIBAT KERJA
...
3A. GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING .... 3
B. GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT PERU BAHAN TEKANAN UDARA .... ... .... ... 9
C. GANGGUAN KESEIMBANGAN AKIBAT PERUBAHAN TEKANAN UDARA ... ... .... 12
BAB III. GANGGUAN HIDUNG AKIBAT KERJA
.. ...
17A. RHINITIS ALERGI AKIBAT KERJA ... .. ... ... 17
B. EPISTAKSIS AKIBAT KERJA .... ... .. .. .... ... 19
C. KELAINAN PENGHIDU AKIBAT KERJA .... ... 22
BAB
IV.
GANGGUAN TEN'GGOROK AKIBAT KERJA
DISFONIAAKIBAT KERJA ... ... .. ... .... .. ... .. .. .... 25DAFTAR PUSTAKA .. .... .... .. .. .. .. .... ... .... ... ... .. ... 28
TIM PENYUSUN ... .. ... ... ... ... .. .. ... ... .. ... .... ... . 30
S9Ii Periomao Talalaksana Penyakil Akib8/ Kerja Bagi Pelugas k・セ・ィ。ャXョ@
BABI
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Era modernisasi saat ini sarat akan teknologi yang berdampak positif dari segi ekonomi, namun disisi lain dapat berdampak buruk terhadap kesehatan. Oampak buruk kesehatan yang mungkin timbul diantaranya adalah masalah Telinga Hidung Tenggorok (THT) akibat kerja.
PenyakiUkelainan THT akibat kerja adalah penyakit yang timbul akibat pajanan atau paparan faktor risiko di tempat kerja . PenyakiUKelainan tersebut dapat mengenai organ telinga, hidung dan tenggorok. PenyakiUKelainan pad a telinga antara lain adalah gangguan pendengaran akibat bising dan zat ototoksik, gangguan pendengaran pada penerbang dan penyelam serta gangguan keseimbangan. PenyakiUKelainan pada hidung antara lain adalah rinitis alergi akibat kerja dengan komplikasi rhinosinusitis, hiposmia dan anosmia (gangguan penciuman). Kelainan Tenggorok antara lain adalah gangguan suara (afonia dan disfonia) akibat kerja dan gangguan menelan (disfagia) akibat tertelan zat korosif.
B. TUJUAN
Sebagai bahan acuan bagi dokter umum dalam penatalaksanaan penyakiUke,lainan THT akibat kerja.
C. SASARAN
Dokter umum di fasilitas pelayanan kesehatan.
D. RUANG LlNGKUP
Ruang lingkup tatalaksana penyakiUkelainan THT akibat kerja meliputi pengenalan pajanan dan faktor risiko , penatalaksanaan, pencegahan serta penila ian kecacatan .
Seri Pedoman Tatalaksa na Penya kit Akibat Kerja Bagi Petugas Kesehatan
BAB II
PENYAKIT TELINGA
AKIBAT KERJA
A.
GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING
1. Definisi
Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss) adalah penurunan pendengaran atau tuli akibat pajanan bising yang melebihi nilai ambang batas (NAB) di lingkungan kerja.
2. Faktor Risiko dan Jenis Pekerjaan
a. Faktor Risiko
Faktor risiko yang berpengaruh pad a derajat parah-nya ketulian ialah intensitas bising, frekuensi, lama pajanan perhari, masa kerja, kepekaan individu, umur dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian. Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa jumlah pajanan energi bising yang diterima akan sebanding dengan kerusakan yang didapat. Dalam lingkungan industri biasanya bising tidak muncul sebagai faktor pajanan tunggal, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh pajanan lain. Beberapa faktor yang berinteraksi dengan bising adalah:
Faktor Internal: usia, aterosklerosis, hipertensi , gangguan telinga tengah dan proses penuaan. Faktor Eksternal : suhu abnormal, getaran, obat atau zat ototoksik.
b. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang berhubungan dengan bising antara lain ;
konstruksi (pekerja bangunan , dll)
pertambangan (pekerja pengeboran minyak, pekerja tambang, dll)
transportasi (pengemudi angkutan umum , petugas di lapangan terbang ,dll)
industri manufaktur (pekerja industri garmen , tekstil , sepatu , elektronik, otomotif, dan lainlain) laundry, katering, dan lain lain.
3. Gejalagejala
Gejala yang dapat terjadi antara lain:
Tinitus (telinga berdenging) Sukar menangkap percakapan Penurunan pend'engaran
4. Diagnosis
a. Kriteria Diagnosis Klinis
1) Anamnesis: adanya keluhan ganguan pen-dengaran ya ng dapat disertai tinnitus , adanya pajanan bisi ng > 85 dB dalam 8 jam sehari atau 40 jam perminggu di tempat kerja .
2) Pemeriksaan Fisik (otoskopi) : liang telinga lapang, membrana timpani utuh.
3) Pemeriksaan kualitatif dengan tes penala
(Rinne, Weber dan Schwabach) pad a tuli sensorineural d'idapatkan hasil Rinne positip , Weber tidak ada lateralisasi dan Schwa bach memendek.
Seri Pedoma n Tatataksana Penya kit Akibat Ke rja Bagi Petugas Kesehatan
4) Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000 6000 Hz dan terdapat takik(notch) pada frekuennsi 4000 Hz yang merupakan tanda patognomonik untuk jenis ketulian ini.
b. Diagnosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising di Tempat Kerja
LangkahIangkah dalam menegakkan diagnosis penyakit kerja :
1) Diagnosis klinis tuli sensorineurinal
2) Menentukan adanya pajanan di tempat kerja yaitu bising dan pajanan lain yang dapat mempengaruhi.
3) Menentukan adanya hubungan pajanan dengan diagnosis klinis: bising dapat mengakibatkan tuli sensorineurinal
4) Menentukan besaran pajanan bising> 85 dB, 8 jam sehari , 40 jam seminggu (di atas NAB) 5) Peranan faktor individu: riwayat genetik pada
telinga, riwayat minum obat (ototoksik), penyakit kronik lainnya, dll.
6) Faktor risiko diluar pekerjaa n: hobi mendengar-kan musik keras, menembak, dll.
l) Diagnosis PAK : penurunan pendengaran akibat bising di tempat kerja (Noise Induced
Hearing Loss)
5. Penatalaksanaan
Penurunan pendengaran akibat bising bersifat permanen/
irreversible sehingga tidak perlu diberikan medikamentosa.
Yang dapat dilakukan adalah mencegah perburukan penurunan pendengaran dengan memberikan rekomendasi :
Hindarkan penderita dari tempat kerja Ilingkungan bising (rotasi, penjadwalan kerja)
Lingkungan kerja dikendalikan dengan menurunkan tingkat kebisingan .
Penggunaan Alat Pelindung Pendengaran .
Bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa , dapat dicoba pemasangan alat bantu dengarl ABO (hearing aid) .
6. Prognosis
Jenis ketulian akibat pajanan bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya menetap dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan maka prognosisnya buruk .
7. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan melaksanakan Program Konservasi Pendengaran di tempat kerja dengan baik. Program Konservasi Pendengaran (PKP) sebagai beri kut :
a. Identifikasi sumber bising (walk through survey)
b. Pengukuran dan Analisis kebisingan (SLM, Octave Band Analyzer)
c. Pengendalian bising dalam bentuk kontrol
engineering maupun kontrol administrasi. d. Tes Audiometri secara berkalla
e. Komunikasi ,lnformasi dan Edukasi
Sen Pedoman Talalaksana Penyakil Akibal Ke rja Bagi Pelugas Kesehalan
f. APD (Alat Pelindung Diri/Personal Protective Equipment); sumbat telinga (ear plug), tutup telinga
(ear muff) dan pelindung kepala (helmet).
g. Pencatatan dan pelaporan data.
Kontrol Engineering
Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB dalam waktu tertentu dapat mengakibatkan ketulian, oleh karena itu bising lingkungan kerja harus diusahakan lebih rendah dari 85 dB. Hal ini dapat diusahakan dengan cara meredam sumber bunyi yang berasal dari generator diesel,mesin tenun, mesin pengecoran baja, kilang minyak atau bising yang ditimbulkan oleh aktivitas pekerja seperti di tempat penempaan logam.
Kontrol Administrasi
Dalam upaya pencegahan dilakukan dengan menghindar-kan pekerja dari tempat kerja/lingkungan bising dengan melakukan rotasi atau pem'batasan jam kerja. OSHA
(Occupational Safety and Health Administration) mem buat peraturan yang dikenal sebagai hukum 5 dB. Apabila intensitas bising meningkat 5 dB, maka waktu pajanan yang diperkenankan harus dikurangi separuhnya.
Tabel 1. Intensitas & waktu pajanan bising yang diperkenankan
Intensitas bising (dB)
Waktu PAJANAN (Per hari dalam jam)
80 82 85 88 91 94 97 100 24 16 8 4 2 1 Y, %
Alat Pelindung Diri
Pekerja tersebut juga harus dilindungi dengan alat pelindung pendengaran seperti sumbat telinga (ear plug),
tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet) .
Ketiga alat terse but terutama melindungi telinga terhadap bising yang berfrekuensi tinggi. Tutup telinga memberikan proteksi lebih baik dari pada sumbat telinga , sedangkan helmet selain melindungi telinga terhadap bising juga sekalig us sebagai pelindung kepala. Kombinasi antara sumbat telinga dan tutup telinga memberikan proteksi yang terbaik . Pekerja yang menjadi tuli akibat terpajan bising di lingkungan kerjanya berhak mendapat santunan.
8. Penilaian kecacatan
Penentua n Tingkat Cacat Pendengaran :
1. Telinga normal : Pada pemeriksaan audiometri am bang dengar tidak melebihi 25 dB dan di dalam pembicaraan biasa tidak ada kesukaran mendengar suara perlahan.
Seri Pedoman Talalaksana Penya kil Akibal Kerja Bagi Peluga s Keseh alan
2. Tuli ringan: Pada pemeriksaan audiometri terdapat ambang dengar antara 2540 dB dan terdapat kesukaran mendengar pembicaraan dengan suara perlahan .
3. Tuli sedang: Pada pemeriksaan audiometri terdapat ambang dengar antara 4055 dB . Sering kali terdapat kesukaran untuk mendengar pembicaraan biasa . 4. Tuli sedangberat: Pada pemeriksaan audiometri
terdapat am bang dengar antara 5570 dB. Kesukaran mendengar suara pembicaraan kalau tidak dengan suara keras.
5. Tuli berat: Ambang dengar antara 7090 dB. Hanya dapat mendengar suara yang sangat keras.
6. Tuli sangat be rat : Ambang dengar 90 dB atau lebih. Sama sekali tidak mendengar.
B. GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT
PERU BAHAN
TEKANAN UDARA
1. Definisi
Gangguan pendengaran karena adanya perubahan tekanan ·udara yang tidak dapat diantisipasi oleh telinga dalam hal ini yang berperan adalah tuba eustachius . Gangguan pendengaran akibat perubahan tekanan udara ini disebut barotrauma (adalah keadaan terjadinya perubahan tekanan yang tibatiba di luar telinga tengah yang menyebabkan tuba eustachius gagal untuk membuka).
2. Faktor Risiko dan Jenis Pekerjaan
Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya gangguan pendengaran adalah perubahan tekanan udara yang tibatiba dan kepekaan individu . Jenis
ー・ォ・セ。。ョ@ yang berhubungan dengan perubahan
tekanan udara antara lain penyelam , penerbang , pekerja di ketinggian , dll.
3. Gejala-gejala
• Kurang pendengaran • Rasa nyeri dalam telinga
• Autofoni
• Perasaan ada air dalam telinga ,
• Tinitus
• Vertigo
4. Diagnosis
a. Kriteria diagnosis Klinis
1) Anamnesa: adanya nyeri telinga akibat perubahan tekanan udara yang tibatiba .
2) Tes Penala : tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke sisi yang sakit, hal ini menunjukkan adanya gangguan konduktif.
3) Audiometri nada murni : Terdapat gangguan kondukUf
4) Tympanometri: terdapat gambaran timpanogram tipe C yang berarti terdapat tekanan negatif di telinga tengah .
b. Diagnosis penyakit akibat kerja
LangkahIangkah dalam menegakkan diagnosis:
1) Diagnosis klinis gangguan pendengaran akibat perubahan tekanan yang tiba tiba.
2) Menentukan pajanan di tempat kerja : menyelam dengan tekanan lebih dari 1 atmosfer atau berada pada ketinggian dengan tekanan kurang dari 1 atmosfer.
3) Menentukan adanya hubungan pajanan dengan diagnosis klinis: perubahan tekanan udara yang
Seri Pedom an Tatalaksana Penyakil Akiba l Kerja Bagi Pelugas Ke sehalan
tibatiba dan dapat mengakibatkan tuli konduktif. 4) Besaran pajanan perubahan tekanan udara yang tibatiba diatas atau di bawah 1 atmosfer 5) Peranan faktor individu: adanya gangguan
fungsi tuba sebelumnya (seperti rhinofaringitis, rhinosinusitis)
6) Faktor risiko di
luar pekerjaan : -7) Diagnosis PAK : Barotrauma akibat kerja
5. Penatalaksanaan
• Diberikan pengobatan medikamentosa seperti dekongestan, antiinflamasi , analgetik.
• Dianjurkan melakukan teknik equalizer/ menyeimbangkan tekanan antara telinga luar dan telinga tengah dengan cara Valsava dan cara Toynbee).
Cara Valsava Tutup/pencet hidung dengan jari , tutup mulut kemudian tiup dengan keadaan mulut tertutup.
Cara Toynbee Tutup/pencet hidung dengan jari, tutup mulut kemudian menelan ludah .
6. Prognosis
Jenis ketulian akibat perubahan tekanan udara yang tibatiba adalah tujj, konduktif akibat gangguan di telinga tengah yang dapat disembuhkan.
7 . Pencegahan
• Pencegahan dapat dilakukan dengan penyuluhan tentang teknik equalizer (penyeimbangan tekanan telinga luar dan tengah).
• Dalam keadaan sakit seperti common cold , rhinofaringitis , rhinitis, yang menimbulkan sumbatan pada tuba eustachius , sebelum bekerja harus minum dekongestan yang tidak memiliki efek sedasi .
8. Penilaian kecacatan
Bila diobati dengan tepat dan cepat tidak akan menimbulkan kecacatan.
C.
GANGGUAN KESEIMBANGAN AKIBAT PERUBAHANTEKANAN.
1. Definisi
Gangguan Keseimbangan karena tidak berfungsinya dengan baik sistem visual , proprioseptif dan sistem vestibuler yang disebabkan oleh perubahan tekanan udara yang tibatiba .
2. Faktor Risiko dan Jenis Pekerjaan
Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya gangg ua n keseimbangan ialah perubahan tekanan udara yang tibatiba , kepekaan individu , umur dan faktor lain yang dapat menimbulkan gangguan keseirnbangan. Jenis pekerjaan yang berhubungan dengan perubahan tekanan udara antara lain penyelam, pelaut, pilot, pramugaral pramugari, pekerja tambang, pekerja di tempat ketinggian, dan lain sebagainya.
3. Gejala-gejala
•
Rasa tidak seimbang (sempoyongan)•
Kepala terasa ringan (melayang)•
Vertigo (rasa berputar)•
Rasa mual dan muntah•
Nistagmus (bola mata berputar)4. Diagnosis
Kriteria diagnosis
1) Anamnesa: adanya timbulnya gangguan keseimbangan bila terjadi perubahan sikap atau posisi tertentu , rasa tidak stabil , takut berjalan atau bertambah buruk pada kegelapan . rasa mual dan muntah disertai gangguan pendengaran atau keluhan telinga berdenging .
2) Pemeriksaan keseimbangan sederhana seperti : tes
Romberg, tes Sharp Romberg, tes Stepping, tes
Past Pointing dan tes tunjuk hidung .
LangkahIangkah dalam menegakkan diagnosis: 1) Diagnosis klinis gangguan keseimbangan
2) Menentukan pajanan di tempat kerja: menyelam lebih dari 1 atmosfer dan pada ketinggian kurang dari 1 atmosfer.
3) Menentukan adanya hubungan pajanan dengan diagnosis klinis : perubahan tekanan udara yang tibatiba dan dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan.
4) 8esarnya perubahan tekanan udara yang tibatiba di atas atau di bawah 1 atmosfer.
5) Peranan faktor individu: riwayat genetik pada telinga, riwayat minum obat (ototoksik)
6) Faktor risiko di luar pekerjaan: hobi menyelam , dll 7) Diagnosis PAK : gangguan keseimbangan akibat
kerja
5. Penatalaksanaan
• Dalam keadaan akut diberikan obat simptomatik • Diberikan latihan vestibuler (VRT/VestibuJar
Rehabilitation Trainning) mulai dari yang mudah dan ringan, dilanjutkan dengan latihan yang lebih sulit dan dinamik .
• Bila gangguan keseimbangan sudah mengakibatkan kesulitan bekerja dengan baik, maka perlu dilakukan rotasi kerja.
6. Prognosis
Jenis gangguan keseimbangan akibat perubahan tekanan adalah gangguan fungsi vestibuler perifer, dapat terjadi unilateral atau bilateral, dan ada kompensasi sentral, sehingga prognosisnya baik bila disiplin melakukan latihan Vestibular.
7. Pencegahan
• Pencegahan dengan melakukan edukasi kepada pekerja tentang cara kerja yang benar (sesuai SOP) • Pemeriksaan kesehatan secara berkala.
8. Penilaian kecacatan
a. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh
=
0%, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan tanpa ditemukan gejala klinis yang obyektif dan dapat melakukan aktivitas sehar,ihar,i tanpa bantuan.b. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh
=
5 10 %, bila terdapat gejala gangguan keseimbanganan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dapat melakukan aktivitas seharihari tanpa bantuan , kecuali aktivitas yang kompleks seperti bersepeda .c. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 15 30 %, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali aktivitas ringan seperti berjalan, pekerjaan rumah ringan dan menolong diri sendiri.
Seri Pedoman Tatalaksana Penyakit Akibal Kerja Bagi Pe tugas Kesehatan
d. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 35 60%, bila terdapat gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali menolong diri sendiri.
e. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh
tubuh = 65 - 95 %, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan dan menjalani perawatan di rumah.
Seri Pedoman Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja Bagi Petugas Kesehatan
BAB III
GANGGUAN
HI DUNG
AKIBAT KERJA
A. RHINITIS ALERGI AKIBAT KERJA
1. Definisi
Rhinitis alergi akibat kerja terjadi karena masuknya alergen yang berasal dari tempat kerja dan terhirup ke dalam mukosa hidung dan ditangkap oleh makrofag/ monosit seperti halnya sel asing/antigen yang lain.
2. Faktor Risiko dan Jenis Pekerjaan
Faktor risiko : alergen, faktor genetik, tekanan udara serta polusi. Rhinitis alergi akibat kerja dapat terjadi di industri
cold storage,tepung, garmen, nikel, krom, sepatu, kayu dan lainlain
3. Gejala-gejala
• Hidung tersumbat • Bersin
• Keluar cairan hidung • Hidung merah dan gatal
4. Diagnosis Kriteria diagnosis
• Anamnesis, pemeriksaan klinis dengan ri noskopi anterior.
• Pemeriksaan penunjang laboratorik, dilakukan dengan pemeriksaan sekret hidung dan pemeriksaan: darah tepi (eosinofil, IgE total ).
• Pemeriksaan tes cukit kulit: dengan jenis alergen yang ada di tempat kerja .
LangkahIangkah dalam menegakkan diagnosis: 1) Diagnosis klinis rhinitis alergi akibat kerja 2) Menentukan adanya pajanan di tempat kerja
3) Menentukan adanya hubungan pajanan dengan diagnosis klinis: alergen yang bisa mengakibatkan rhinitis alergi
4) Besaran pajanan : kualitas dan kuantitas alergen dan faktor risiko yang lainnya
5) Peranan faktor individu: riwayat genetik (atopi) 6) Faktor risiko diluar pekerjaan: belum ditemukan 7) Diagnosis PAK : rhinitis alergi akibat kerja
5. Penatalaksanaan
a. Pengobatan: Antihistamin
Kortikostreroid Dekongestan
b. Menghindari Alergen.
Sebenarnya cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah dengan menghindari alergen. Cara ini murah dan rasional tapi sulit diterapkan.
c. Mencegahterjadinya komplikasi atau berlanjutnya penyakit melalui edukasi. Pasien perlu dimotivasi dan dibeni pemahaman bahwa antihistamin dan kortikosteroid topikal perlu digunakan secara teratur dan tidak hanya saat diperlukan. Tujuannya adalah mengurangi terjadinya minimal persistant inflammation (inflamasi minimal yang menetap) serta komplikasi rinitis alergi. Penderita juga diberitahu mengenai efek samping obat yang mung kin timbul,
apa yang harus dilakukan bila gejala itu timbul, dan komplikasi apa saja yang dapat terjadi pada rinitis alergi. Tanpa edukasi , mustahil dapat dicapai efek terapi yang optimal.
6. Prognosis
Rhintis alergi akan sembuh bila dapat dideteksi alergen sedini mungkin dan tidak kontak dengan alergen tersebut. Bila kronis dapat terjadi rhinosinusitis.
7. Pencegahan
Pencegahan ditujukan untuk menghindari paparan terhadap alergen dengan mengendalikan lingkungan , penempatan pekerja yang sesuai dan penggunaan alat pelindung diri yang sesuai.
Pemeriksaan kesehatan berkala
8. Penilaian kecacatan
Belum ada standar penilaian
B.
EPISTAKSIS AKIBAT KERJA1. Definisi
Epistaksis atau perdarahan dari hidung yang keluar secara spontan atau karena trauma . Epistaksis seringkali me-rupakan gejal,a atau manifestasi penyakit lain . Kebanyak-an ring. Kebanyak-an d. Kebanyak-an sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang , merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.
2. Faktor Risiko dan jenis Pekerjaan • Kelelahan
• Suhu
• Kelainan sistemik • Trauma
• I ritasi gas yang merangsang
• Perubahan lingkungan yang mendadak
Dapat ditemukan pada hampir semua jenis pekerjaan terutama pad a pekerja yang berhubungan dengan zat kimia (mercuri , kromium , Nikel, asam sulfur, amoniak, gasolin , glutaraldehide dan pospor) , penyelam, cold storage , dll.
3. Gejala-Gejala
Perdarahan pada hidung .
4. Diagnosis
Diagnosis ditegakan melalui ;
1) anamnesa : keluhan perdarahan dari hidung yang disebabkan oleh trauma dan pajanan di tempat kerja 2) Pemeriksaan darah tepi lengkap
3) Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal dan nasopharing
La ngkahIangkah dalam menegakkan diagnosis: 1. Diag nosis klinis Epistaksis akibat kerja
2. Menentukan adanya faktor risiko di tempat kerja 3. Menentuka n adanya hubungan pajanan dengan diagnosis klinis: trauma di tempat kerja yang bisa meng akibatkan Epistaksis
4 . Besaran pajanan: kualitas dan kuantitas pajanan dan faktor risiko yang lainnya .
5. Peranan faktor individu: adanya gangguan kela ina n pada penyakit kardiovaskuler, kanker dan kelainan hormonal
6. Faktor risiko drluar pekerjaan: belum ditemukan 7. Diagnosis PAK : Epistaksis akibat kerja
Seri Pedoman Ta/a/aksana Penyaki/ Akiba/ Kerja Bagi Pe/ugas Keseha /an
5. Penatalaksanaan
• Perbaiki keadaan umum • Cari sumber perdarahan • Hentikan perdarahan
Pencet hidung selama 1015 menit
Bila dengan memencet hidung perdarahan tidak berhenti , dipasang tampon sementara dengan adrenalin 1/10.000 + lidocain 2% selama 1015 men it.
Bila perdarahan masih berlanjut, pasang tampon anterior yang diberi pelumas vaselin dan salep antibiotik maksimal selama 2 x 24 jam
Setelah 2 x 24 jam tampon diangkat masih terjadi perdarahan, segera rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap.
• Cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan .
6. Prognosis
Progosis baik bila dilakukan penatalaksanaan yang cepat dantepat.
7. Pencegahan
• Mengenali faktor risiko di tempat kerja yang dapat menimbulkan epistaksis.
• Menghindari faktor risiko di tempat kerja dengan menggunakan alat pelindung diri yang benar.
c.
KELAINAN PENGHIDU AKIBAT KERJA
1. Pengertian
Kelainan penghidu adalah terhalangnya partikel bau ke reseptor saraf atau ada kelainan pada nervus olfaktorius, mulai dari reseptor sampai pusat olfaktorius. Macam macam kelainan penghidu :
Hiposmia, bila daya penghidu berkurang Anosmia, bila daya penghidung hilang Parosmia, bila sensasi penghidu berubah Kakosmia, bila ada halusinasi bau.
2. Etiologi
Hiposmia disebabkan oleh obstruksi hidung seperti pada rinitis alergi, rinitis vasomotor, rinitis atrofi, hipertrofi konka, deviasi septum, polip hidung, tumor. Anosmia dapat timbul akibat trauma di daerah frontal dan oksipital. Oapat juga terjadi setelah infeksi virus, tumor seperti osteoma atau meningioma dan akibat proses degenerasi pad a orang tua, terpajan uap cadmium. Parosmia disebabkan oleh karena trauma. Kakosmia timbul pad a epilepsi unsinatus, lobus temporalis atau pada kelainan psikologi dan psikiatri seperti depresi dan psikosis.
3. Faktor Risiko dan jenis pekerjaan
• Bekerja dengan bahan kimia yang mudah menguap antara lain uap cadmium.
• Jenis Pekerjaan : pengelas, pabrik baterai.
4. GejalaGejala
Gangguan penciuman .
Seri Pedoman Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja Bagi Petugas Kesehatan
5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui :
Anamnesa dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh, tanyakan lama keluhan , apakah dirasakan terus menerus atau hilang timbul , apakah unilateral atau bilatera . Pada parosmia atau kakosmia perlu lebih dijelaskan baunya yang bagaimana. Adakah penyakit atau trauma yang diderita sebelumnya dan adakah pemakaian obatobatan sebelumnya, dan macam obat serta lama pemakaiannya. Selain itu perlu diketahui apakah ada keIainan sensoris lain seperti pengecap dan penglihatan.
LangkahIangkah dalam menegakkan diagnosis: 1) Diagnosis klinis kelainan penghidu akibat kerja 2) Menentukan adanya faktor penyebab di tempat kerja:
aspek psikologis, bahan kimia
3) Menentukan adanya hubungan bahan kimia, aspek psikologis (depresis dan psikosis) dengan diagnosis klinis
4) Besaran faktor psikologis dan bahan kimia
5) Peranan faktor individu: penyakit sistemis (diabetes, gagal ginjal, dan gagal hati)
6) Faktor risiko diluar pekerjaan: infeksi oleh virus, tumor (osteoma, meningioma), akibat degenerasi pad a orang tua
7) Diagnosis PAK : kelainan penghidu akibat kerja.
6. Tatalaksana
a. Cari sumber kelainan penghidu
b. Cari faktor risiko penyebab kelainan penghidu (faktor sistemik, infeksi virus dan degenerasi pada orang tua) c. Pengobatan dilakukan tergantung pad a jenis
kelainan penghidu dan penyebabnya.
7. Prognosis
• Kelainan penghidu mungkin dapat sembuh yang akan terjadi dalam beberapa minggu setelah trauma • Bila setelah 3 bulan tidak membaik , prognosisnya
buruk .
8. Pencegahan
Mengendalikan faktor risiko , dengan melakukan pemeriksaan lingkungan kerja dan pemeriksaan kesehatan secara berkala pada pekerja .
BAB IV
GANGGUANTENGGOROK
AKIBAT KERJA
A.
DlSFONIA AKIBAT KERJA
1. Definisi
Disfonia adalah setiap gangguan suara yang disebabkan oleh kelainan pad a organorgan fonasi, terutama laring, baik yang bersifat organik maupun fungsional. Etiologi dapat disebabkan radang, tumor, paralisis otototot laring atau pajanan zatzat yang menyebabkan iritasi pada laring.
2. Faktor Risiko dan Jenis Pekerjaan a. Faktor risiko
• 8ekerja dengan menggunakan pita suara yang berlebihan
• Zat kimia yang bersifat korosif, antara lain dimetylsulfat
b. Jenis Pekerjaan: guru, dosen , penceramah, tenaga penjual, pelatih olah raga, presenter, operator telepon, penyanyi, aktor/aktris, penyiar, pekerja di industri kimia dan lainlain
3. GejalaGejala
• Suara parau/serak • Suara terdengar kasar • Suara lemah
• Hilang suara
• Suara tegang dan susah keluar • Nyeri saat bersuara
• Ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu
4. Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan melalui
Anamnesa : ditemukan adanya gangguan suara Pemeriksaan umum
Pemeriksaan THT termasuk pemeriksaan laringoskopi tak langsung untuk melihat laring menggunakan kaca laring, pemeriksaan laringoskopi langsung baik dengan teleskop untuk memberikan visualisasi laring (pita suara) lebih jelas baik dalam keadaan diam maupun bergerak
LangkahIangkah dalam menegakkan diagnosis disfonia penyakit akibat kerja :
1) Diagnosis klinis Disfonia
2) Menentukan adanya pajanan dan faktor risiko di tempat kerja : zat kimia yang korosif di udara dan tertelan , cara kerja , lama kerja
3) Menentukan adanya hubungan pajanan dan faktor risiko dengan diagnosis klinis.
4) Besaran pajanan
5) Peranan faktor individu: adanya radang, tumor, kebiasaan berbicara keras, kebiasaan merokok 6) Faktor risiko diluar pekerjaan : cuaca, polusi udara,
bising, makanan
7) Diagnosis PAK : Disfonia akibat kerja
5. Penatalaksanaan
•
Diagnosis etiologi dan terapi yang sesuai dengan etiologi tersebut. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan klinik dan pemeriksaan penunjang•
Pengobatan Disfonia sesuai dengan kelainan atau penyakit yang menjadi etiologinya.Sen Pedoman Tatataksana Penyakil Akibat Kerja Bagi Petugas Keseha tan
• Terapi dapat berupa medikamentosa (anti inflamasi kortikosteroid), istirahat suara , terapi suara dan bicara (voice -speech therapy) dan tindakan operatif untuk mengatasi gangguan suara.
6. Prognosis
Tergantung jenis pajanan dan tingkat keparahan penyakit.
7. Pencegahan
• Mengatur suara
• Mengunakan APD (masker yang sesuai) • Mengatur jam kerja
DAFTAR PUSTAKA
1. Sutirto I, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran akibat bising dalam Buku Ajar IImu Penyakit Telinga , Hidung dan Tenggorok . Edisi ke 6. Jakarta Balai Penerbit FKUI 2007 : 49 52 .
2. Niland J,Zenz C. Occupational hearing loss. Noise and Hearing Conservation. In Occupational Medicine 3 rd; ed. St
Louis Mosby.1994: 25896.
3. Irawati N,Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga , Hidung dan Tenggorok . Edisi ke 6. Jakarta Balai Penerbit FKUI 2007 : 128 33 .
4. Bosquet J, Cauwenberge P, Khaltaev N, Bachert C, Durham SR ,Mygind N. Management of Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) . A Pocket Guide for Physicians and
Nurses, 2002 : 113.
5. Cauwenberge P, Bachert C,Passalaqua G , Durham SR ,Mygind N,Scadding GK. Consensus Statement on Treatment of Allergic Rhinitis. Allergy, 2000 ;55 : 11634.
6. Mangunkusumo E,Wardani R. Epistaksis dalam Buku Ajar IImu Penyakit Telinga , Hidung dan Tenggorok . Edisi ke 6. Jakarta Balai Penerbit FKU I 2007: 155 9.
7. Hall and Colman . Epistaksis. In : Burton M (ed) . Hall and Colman's Diseases of the Ear, Nose and Throat. Edinburg , London : Churchill Livingstone, 2000: p.11922 .
8. Santos PM , Lepore ML . Epistaxis. In: Bailey's Head & Neck Surgery Otolaryngology vol I. 3rd ed. Philadelphia: Lippincot
Williams & Wilkins, 2001 : p.41528.
Seri Pedoman Tata/aksana Penyakit Aklbat Kerja Bagi Petugas Kesehatan
9. Probst R, Grevers G, Iro H. Nosebleed (Epistaxis) . In : Probst R, Grevers G, Iro H (eds). Basic Otorhinolaryngology: a step by step learning guide. Stuttgart, New York : Thieme, 2004: p.325.
10. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu dalam Buku Ajar IImu Penyakit Telinga , Hidung dan Tenggorok . Edisi ke 6. Jakarta Balai Penerbit FKUI 2007: 160 1.
11 . MooreGillon VL. Abnormalities of Smell. In: Mackay IS, Bull TR (Eds). ScottBrowns's Otolaryngology. Sixth ed . London: Butterworth , 1997: p.4/5/18
12. MooreGillon VL. Abnormalities of Smell. In: Mackay IS, Bull TR (Eds). ScottBrowns 's Otolaryngology. Sixth ed .
London : Butterworth , 1997: p.4/5/1 8
13. Hermani B,Kartosudiro S,Hutauruk SM . Disfonia dalam Buku Ajar IImu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok . Edisi ke 6. Jakarta Balai Penerbit FKUI 2007 : 231 6.
14. Minifie FD , Moore GP, Hicks OM. Disorders of voice, speech and language. In: Otorhinolaryngology head and neck surgery. Ballenger JJ, Snow JB Eds. Fifteenth Edition. Baltimore, Philadelphia , Hongkong, London , Munich , Sidney, Tokyo. Lea & Febiger 1996: p.43865.
15. Soepardi EA. Disfagia dalam Buku Ajar IImu Penyakit Telinga , Hidung dan Tenggorok . Edisi ke 6. Jakarta Balai Penerbit FKUI 2007 : 276 9.
16. Hadjat F. Penyakit dan Kelainan Esofagus dalam Buku Ajar
IImu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok . Edisi ke 6. Jakarta Balai Penerbit FKUI 2007 : 285 98.
TIM PENYUSUN
1. Prof. Dr. Jenny Bash irudin , SpTHT (K)
2. dr. Erna Tresnaningsih, MOH , PhD, SpOk
3. Dr. dr. Astrid Sulistomo , MPH, SpOk
4. Dr. dr. Dewi Soemarko, MS , SpOk
5. dr. Suryo Wibowo , MS , SpOk
6. dr. Kuwat Sri Hudoyo , MS
7. dr. Dina Dariana , MKK 8. dr. Istiati Suraningsih , MKK
9. dr. Harumiti , MKK
10. dr. Zilfa Yeni , MKK
11 . dr. Wahyudi Hartono, MKK
12. dr. Darwin
13. dr. Bambang Setia Sutrisno
14. dr. Inne Nutfiliana , MKK
15. drg . Sarah Ifke Pasolang
16. Rosa Jaya, SKM , MKM 17 . Winda Kusumaningrum, Ssi
18. Ahmad Najmudin Mabruri, SKM
Sen Pedoman Talalaksana Penyakit Akibat Kerja Bagi Petugas Kesehatan