JEJAK KEHIDUPAN MASYARAKAT PEDALAMAN
MARIAH DOLOG KECAMATAN RAYA KABUPATEN
SIMALUNGUN (1960 – 2005)
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA
: ADE PUTERA ARIF PANJAITAN
NIM
: 070706023
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
JEJAK KEHIDUPAN MASYARAKAT PEDALAMAN MARIAH DOLOG KECAMATAN RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN (1960 – 2005)
Yang Diajukan Oleh :
Nama: ADE PUTERA ARIF PANJAITAN
Nim: 070706023
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:
Pembimbing
Drs. J. Fachruddin Daulay tanggal,
NIP. 194712251981121001
Ketua Departemen Sejarah
Drs. Edi Sumarno, M. Hum tanggal,
NIP. 196409221989031001
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
JEJAK KEHIDUPAN MASYARAKAT PEDALAMAN MARIAH DOLOG KECAMATAN RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN (1960 – 2005)
Skripsi Sarjana
DIKERJAKAN
O
L
E
H
ADE PUTERA ARIF PANJAITAN
070706023
Pembimbing
Drs. J. Fachruddin Daulay NIP. 194712251981121001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk
melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lembar Persetujuan Ketua Departemen
Disetujui oleh:
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH
Ketua Departemen
Drs. Edi Sumarno, M. Hum
NIP. 196409221989031001
Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian
PENGESAHAN
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya
Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan
Pada :
Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU
Dekan
Dr. H. Syahron Lubis, M.A.
Panitia Ujian
No Nama Tanda Tangan
1 Drs. Edi Sumarno, M.Hum. ( )
2 Dra. Nurhabsyah, M.Si. ( )
3 Drs. J.Fachruddin Daulay ( )
4 Drs. Sentosa Tarigan, M.SP. ( )
KATA PENGANTAR
Sudah selayaknya dengan segenap hati dan jiwa, penulis mengucapkan rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat-Nya, penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini. Skripsi ini
dikerjakan sebagai tanggung jawab sejarawan dalam merekonstruksi masa lalu untuk
dijadikan pelajaran masa sekarang dan masa yang akan datang. Di samping itu skripsi
ini juga sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan perkuliahan penulis di
Departemen Sejarah Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU (Sejak tanggal 5 Maret 2011
berubah nama dari Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya).
Adapun judul dari skripsi ini adalah “Jejak Kehidupan Masyarakat Pedalaman
Mariah Dolog Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun (1960 – 2005)”. Tulisan ini
menguraikan perjalanan sejarah masyarakat Mariah Dolog mulai dari latar belakang
historisnya, keadaan kehidupan sebelum tahun 1960-an, dinamika yang terjadi selama
periode 1960 – 2005, hingga kemudian masyarakat meninggalkan pedalaman Mariah
Dolog dan bermigrasi ke luar daerah. Dalam skripsi ini akan diuraikan faktor-faktor
penyebab migrasi masyarakat Mariah Dolog sehingga daerah tersebut kembali
menjadi belantara.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dalam
pembaca demi perbaikan tulisan sederhana ini. Akhir kata, semoga tulisan ini
bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam mengerjakan skripsi ini, begitu besar gelombang tantangan yang
penulis hadapi. Api semangat penulis sudah hampir padam dalam menyelesaikan
tugas akhir ini. Di saat teman-teman satu angkatan penulis sudah sibuk mengerjakan
tugas akhir dan bahkan sudah menyelesaikannya, penulis masih terus bertanya-tanya
di persimpangan jalan. Apakah melalui jalan karya dan pengabdian, atau
penyelesaian studi dari kampus untuk kemudian berkarya dan mengabdi bagi rakyat.
Berkat dukungan banyak pihak, penulis menyadari bahwa sudah saatnya
menyelesaikan skripsi agar lebih maksimal berkarya ketika menjadi alumni. Untuk
itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mereka:
1. Ayah saya Romel Panjaitan dan Ibu saya Rontauli Saragih. Terima kasih ayah
dan ibu, atas dukungan, didikan, nasehat, doa-doa, dan segala kebaikan yang
telah diberikan kepada ananda. Kiranya Tuhan memberkati segala
mimpi-mimpi dan harapan kita.
2. Terima kasih kepada kakak saya Simto Ranova Panjaitan dan adik saya Rado
Artama Panjaitan atas dukungan kalian kepada saya. Semoga kalian lebih baik
dari saya dan tetaplah kibarkan bendera semangat kalian untuk meraih cita-cita.
3. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU.
4. Bapak Drs. Edi Sumarno M.Hum, dan Ibu Dra. Nurhabsyah M.Si selaku Ketua
dan Sekretaris Departemen Sejarah yang telah memberikan saran kepada
5. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.Uselaku dosen wali penulis.
6. Bapak Drs. J. Fachruddin Daulay, yang telah membimbing penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
7. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu dosen di Departemen Sejarah yang telah
mendidik penulis selama menjadi mahasiswa.
8. Terima kasih juga kepada Bang Amperawira yang telah memberikan pelayanan
administrasi di Departemen Sejarah.
9. Kepada para informan (Taliman Purba Sidagambir/Pak Raju, Alm. Mortilam
Saragih Sumbayak, Oppung Dili Saragih Sidauruk, Oppung Dani Br. Saragih,
Tioma Br. Saragih Sumbayak, Jaun Saragih Sumbayak, St. Juliaman Saragih
Sumbayak, Jamrisman Purba Sidadolog, Jaudin Saragih, Ibu Rapdiel Br. Purba
Sidagambir, Rontauli Saragih Sumbayak, Raman Tuah Saragih Sumbayak,
Bosar Saragih Sumbayak, Ronta Lina Saragih Sumbayak, Sonim Saragih, Jhon
Kermanto Damanik, Raju Sinaga, Bachtiar Purba, dan Johannes Purba). Terima
kasih atas kepingan-kepingan sejarah yang telah disumbangkan.
10.Terima kasih kepada Evy Krisna Haloho yang menempati ruang istimewa
dalam hati saya. Semangat dan pengertianmu menjadi sumber inspirasi,
motivasi dan keberanianku untuk menatap masa depan.
11.Kepada kawan-kawan yang pernah menjadi mahasiswa Ilmu Sejarah. Terima
12.Terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan KDAS (Kelompok Diskusi dan
Aksi Sosial). Bagiku, KDAS adalah tempat berproses dan belajar
mengaktualisasikan diri serta menemukan roh perjuangan untuk membebaskan
kaum marginal dari ketertindasan. Vor Veritas.
13.Kepada UKM KMK USU yang telah membina penulis agar senantiasa menjadi
garam dan terang dunia kapan pun dan di mana pun berada.
14.Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga skripsi ini berguna bagi kita semua, khususnya bagi pihak yang tertarik pada
Sejarah Kehidupan Masyarakat Pedalaman Mariah Dolog.
Medan, Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
UCAPAN TERIMA KASIH...iii
DAFTAR ISI...vi
ABSTRAK...ix
BAB I. Pendahuluan...1
1.1 Latar Belakang Masalah...1
1.2 Rumusan Masalah...6
1.3 Tujuan dan Manfaat...7
1.4 Tinjauan Pustaka...8
1.5 Metode Penelitian...12
BAB II. Mariah Dolog Hingga Tahun 1960...15
2.1 Kondisi Alam dan Geografis...15
2.2 Latar Belakang Historis Mariah Dolog...21
2.3 Komposisi Penduduk ...30
2.4 Sistem Mata Pencaharian Penduduk Mariah Dolog...36
BAB III. Kehidupan Masyarakat Mariah Dolog (1960 – 2005)...44
3.2 Kondisi Sosial Ekonomi...48
3.3 Pelaksanaan Tradisi Upacara Adat dan Kepercayaan Masyarakat...59
BAB IV. Penyebab Perpindahan Masyarakat Mariah Dolog Tahun 1990-an sampai 2004...73
4.1 Kehidupan Sosial...73
4.1.1 Solidaritas Masyarakat...73
4.1.2 Kegiatan Pendidikan...81
4.1.3 Perkembangan Kepercayaan...87
4.1.4 Sarana Kesehatan...92
4.2 Kehidupan Ekonomi...98
4.2.1 Rangsangan Baru dalam Sistem Mata Pencaharian...98
4.2.2 Kreatifitas Baru dalam Meningkatkan Kesejahteraan Hidup Keluarga...102
4.2.3 Pola Konsumsi...105
BAB V Penutup...109
5.1 Kesimpulan...109
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
ABSTRAK
Mariah Dolog merupakan daerah pedalaman yang berada di Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. Keberlangsungan hidup komunitas masyarakat Mariah Dolog sangat ‘asri’ dan rasa solidaritas di antara sesama masyarakat sangat kuat, diperkaya oleh tradisi dan budaya yang merupakan rezim turun-temurun dari nenek moyangnya. Tradisi dan budaya asli Simalungun berlangsung dalam kehidupan masyarakat, baik dalam upacara-upacara adat maupun kegiatan lainnya. Di samping berburu, mereka menggantungkan hidup pada kekayaan sumber daya alam dan mengolah lingkungan menjadi tanah pertanian.
Hingga periodisasi penulisan ini, kehidupan masyarakat Mariah Dolog masih agak terasing, disebabkan sangat minimnya transportasi dan penerangan listrik. Kegiatan pertanian sebagai sumber kehidupan masyarakat Mariah Dolog nampak kurang memadai untuk bisa memajukan taraf kehidupan perekonomian mereka. Faktor kondisi geografis menyebabkan sulitnya akses tranportasi ke daerah ini, dan menjadi penghambat interaksi dengan masyarakat yang berada di lingkungan lain. Sulitnya transportasi menyebabkan lalu lintas perekonomian menjadi kurang lancar sehingga penduduk umumnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keberlangsungan hidup sendiri saja.
Topik permasalahan dalam tulisan ini adalah: (1) Mariah Dolog Hingga Tahun 1960 (2) Kehidupan Masyarakat Mariah Dolog (1960 – 2005) (3) Penyebab Perpindahan Masyarakat Mariah Dolog Tahun 1990-an sampai 2004.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan mengetahui latar belakang sejarah terbentuknya pemukiman penduduk Mariah Dolog, mengetahui situasi lingkungan berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Mariah Dolog, serta menjelaskan perubahan persepsi kehidupan masyarakat pedalaman Mariah Dolog.
Penelitian ini menggunakan metode. Metode tersebut mencakup tahapan, Heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber (mengkritisi setiap sumber informasi), interpretasi (penafsiran terhadap sumber) dan Historiografi (Penulisan). Penulisan skripsi ini menggunakan dekskriptif analisis untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Umumnya masyarakat yang bermukim di daerah pedesaan maupun perkotaan memiliki kecenderungan untuk tinggal di tempat atau lingkungan yang lebih aman, nyaman dan teratur. (2) Masyarakat membentuk pola pemukiman yang tentunya tidak jauh dari tempat di mana mereka mencari nafkah hidup.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial suatu
komunitas atau kelompok, dapat disebutkan sejarah sosial. Adapun manifestasi
kehidupan sosial beraneka ragam, seperti kehidupan keluarga beserta pendidikannya,
gaya hidup yang meliputi pakaian, perumahan, makanan, perawatan kesehatan, segala
macam bentuk rekreasi, seperti permainan, kesenian, olah raga, peralatan, upacara,
dan lain sebagainya. Dengan demikian, ruang lingkup sejarah sosial sangat luas oleh
karena hampir segala aspek hidup mempunyai dimensi sosialnya.1
Kajian tentang sejarah sosial seperti dinyatakan oleh Sartono Kartodirdjo
tersebut lebih diperjelas lagi oleh Kuntowijoyo dengan menyatakan bahwa sejarah
sosial mempunyai bahan garapan yang sangat luas dan beraneka ragam. Kebanyakan
sejarah sosial juga mempunyai hubungan yang erat dengan sejarah ekonomi,
sehingga menjadi semacam sejarah sosial-ekonomi. Tulisan Marc Bloch berjudul
French Rural History, misalnya, bukan semata-mata sejarah dari petani, tetapi juga
masyarakat desa dalam arti sosial ekonomi. Tradisi tulisan semacam ini, yang
1
menjadikan masyarakat secara keseluruhan sebagai bahan garapan, hanyalah salah
satu macam saja dari sejarah sosial.2
Umumnya masyarakat, baik yang bermukim di daerah pedesaan maupun
perkotaan memiliki kecenderungan untuk tinggal di tempat atau lingkungan yang
lebih aman, nyaman dan teratur. Masyarakat membentuk pola pemukiman yang
tentunya tidak jauh dari tempat di mana mereka mencari nafkah hidup. Di Indonesia,
daerah pedalaman dikaitkan secara negatif dengan keterbelakangan, kemiskinan,
kebodohan, kekacauan dan pembangkangan dengan sikap keras kepala untuk hidup
sebagai warga yang “normal”. Namun ada juga banyak citra sebaliknya, yaitu yang Pada hakekatnya, untuk mencapai kesempurnaan dalam masyarakat,
manusia mempunyai rasa solidaritas yang sangat tebal. Dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, maka setiap manusia akan selalu membutuhkan manusia lainnya, baik
kebutuhan yang bersifat primer yang kemunculannya bersumber pada aspek-aspek
kebutuhan biologis, atau organisme tubuh manusia yang mencakup
kebutuhan-kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Di samping keperluan primer, manusia
juga membutuhkan kepentingan sekunder, seperti berkomunikasi dengan sesama,
kontrol sosial, pendidikan serta keteraturan sosial. Selain itu ada juga kebutuhan
tertier yang meliputi kebutuhan akan barang-barang yang bersifat konsumtif. Dengan
kata lain manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang bersifat universal serta
harus dipenuhinya agar dapat melangsungkan hidup yang lebih baik dan teratur.
2
berkaitan dengan kebebasan dan kesatuan antara sesama anggota masyarakat dan
dengan lingkungannya.3
Mariah Dolog merupakan daerah pedalaman yang berada di Kecamatan
Raya Kabupaten Simalungun. Pemukiman di pedalaman Mariah Dolog ini sendiri
belum jelas sejak kapan berdirinya, namun di sana pernah ada kehidupan suatu
komunitas etnis Simalungun. Jauh sebelumnya, Mariah Dolog yang sesuai arti
namanya adalah perbukitan yang ramai
Daerah pedalaman umumnya juga berada di hutan belantara.
Sifat hutan belantara yang secara potensial adalah positif ternoda oleh keberadaan
penduduk dan kegiatan pertanian.
4
Keberlangsungan hidup komunitas masyarakat Mariah Dolog sangat ‘asri’
dan rasa solidaritas di antara sesama masyarakat sangat kuat, diperkaya oleh tradisi
dan budaya yang merupakan rezim turun-temurun dari nenek moyangnya. Tradisi dan
budaya asli Simalungun berlangsung dalam kehidupan masyarakat, baik dalam , merupakan tempat bagi penduduk desa
Dolog Huluan untuk menggembalakan ternak kerbau. Mengingat tempat
menggembalakan ternak itu terlalu jauh dari desa tempat tinggalnya, maka atas
inisiatif mereka, dibangunlah di tempat itu rumah-rumah pemukiman layaknya di
desa Dolog Huluan, yang pada masa itu bercorak rumah adat. Lambat laun semakin
banyak penduduk bermukim di tempat itu. Lingkungan tempat tinggal tersebut
kemudian dipimpin oleh Tuan Mariah Dolog bermarga Purba Sidagambir.
3
Tania Murray Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal. 5.
4
upacara-upacara adat maupun kegiatan lainnya. Di samping berburu, mereka
menggantungkan hidup pada kekayaan sumber daya alam dan mengolah lingkungan
menjadi tanah pertanian.
Hingga periodisasi penulisan ini, kehidupan masyarakat Mariah Dolog masih
agak terasing, disebabkan sangat minimnya transportasi dan penerangan listrik.
Kegiatan pertanian sebagai sumber kehidupan masyarakat Mariah Dolog nampak
kurang memadai untuk bisa memajukan taraf kehidupan perekonomian mereka.
Faktor kondisi geografis menyebabkan sulitnya akses tranportasi ke daerah ini, dan
menjadi penghambat interaksi dengan masyarakat yang berada di lingkungan lain.
Sulitnya transportasi menyebabkan lalu lintas perekonomian menjadi kurang lancar
sehingga penduduk umumnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keberlangsungan
hidup sendiri saja.
Apabila kita melihat peta, maka akan nampak bahwa tanah Simalungun
terhampar luas diapit oleh wilayah Asahan, Deli, Serdang, Karo, Dairi, dan Tapanuli.
Pada zaman raja-raja dan kesultanan dahulu kala selalu timbul peperangan untuk
saling memperebutkan wilayah yang luas dan subur, sehingga lama kelamaan
wilayah Simalungun semakin ciut dan mengecil.5
5
T.B.A, Purba Tambak, Sejarah Simalungun, Pematang Siantar: tanpa nama penerbit, 1982, hal. 13.
Untuk memperoleh penghidupan
yang lebih layak adalah merupakan keinginan setiap orang, di mana usaha untuk
mengembangkan agama Kristen di Simalungun yang dimulai pada tahun 1906
pertama di Kecamatan Bandar, Pematang Siantar, Parapat, Purba Saribu di
Kecamatan Purba dan Pematang Raya tidak terlepas membawa kemajuan dalam
dunia pendidikan, terlebih-lebih setelah pimpinannya pada tahun 1916 di bawah
orang-orang dari suku Simalungun sendiri.6
Pendidikan merupakan jalan sukses untuk mencapai kemajuan. Setiap
keluarga masyarakat Mariah Dolog menyekolahkan anak-anak mereka, meskipun
sekolah cukup jauh dari desanya. Keberhasilan yang diraih membuat anak-anak
mereka sukses di perantauan dan membuat mereka tidak kembali lagi ke kampung
halamannya. Hal itu menimbulkan mobilitas sosial dan berangsur-angsur penduduk
meninggalkan Mariah Dolog untuk menetap di daerah lain. Mobilitas penduduk ini
mencapai puncaknya sejak tahun 1990-an hingga tahun 2004.7
Desa Mariah Dolog kemudian ditinggalkan penduduknya, sehingga tempat
pemukiman itu kembali menjadi daerah belantara. Beberapa peninggalan jejak
kehidupan masih dapat ditemukan di sana, seperti puing-puing rumah penduduk yang
tersisa, serta akses jalan yang pernah digunakan. Stuktur lahan yang sempat dijadikan Masing-masing
keluarga Mariah Dolog di perantauan membawa sanak saudaranya ke daerahnya yang
dianggap lebih layak untuk memperoleh kehidupan yang lebih maju, seperti ke Dolog
Huluan, Pematang Siantar bahkan Medan.
6
Ibid, hal. 144.
7
pemukiman dalam kurun waktu setidaknya empat generasi manusia ini masih dapat
menggambarkan corak kehidupan penduduk yang tertumpu pada satu kesatuan
pemukiman. Daerah ini kemudian berfungsi sebagai tempat jiarah dan pemakaman
bagi keturunan penduduk Mariah Dolog. Selain itu, mengingat adanya perladangan
yang tetap dilestarikan di sekitar Mariah Dolog, maka sisa-sisa puing rumah
penduduk dijadikan sebagai tempat persinggahan dan istirahat oleh petani.
Mengingat hilangnya suatu komunitas masyarakat pedalaman Mariah Dolog
tersebut, sebagai manifestasi kehidupan sosial yang pernah ada, oleh penulis menarik
untuk mengkajinya dalam konteks sejarah sosial. Agar pembabakan waktu dalam
penulisan ini tidak terlalu meluas, maka ditentukan periodisasi yang tepat. Penelitian
diawali mulai dari tahun 1960 di mana sejak tahun inilah penduduk mulai
menyekolahkan anak-anak mereka untuk mengecap pendidikan dasar yang kemudian
menjadi latar belakang lahirnya pencerahan yang membawa kemajuan bagi
penduduk. Sementara itu skop temporal penulisan penelitian diakhiri pada tahun 2005
menunjukkan berakhirnya proses mobilitas penduduk Mariah Dolog dan
ditinggalkannya pemukiman itu.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam rangka melakukan sebuah penelitian yang menjadi landasan dari
latar belakang di atas, maka dibuatlah suatu perumusan mengenai masalah yang
hendak diteliti sebagai landasan utama dalam penelitian sekaligus menjaga
sinkronisasi dalam uraian penelitian. Untuk mempermudah penulisan dalam upaya
menghasilkan penelitian yang objektif, maka pembahasannya dirumuskan terhadap
masalah-masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana keadaan/kehidupan masyarakat Mariah Dolog sebelum tahun
1960?
2. Bagaimana perkembangan/dinamika apa yang terjadi terhadap masyarakat
Mariah Dolog selama periode 1960-2005?
3. Mengapa kemudian banyak masyarakat Mariah Dolog meninggalkan wilayah
ini selama periode 1990-an s/d 2004?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji
oleh penulis maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah apa yang menjadi
tujuan penulis dalam penelitian ini, serta manfaat yang didapatkan dari hasil
penulisan. Memang masa lampau manusia tidak dapat ditampilkan dalam konstruksi
seutuhnya, namun rekonstruksi manusia perlu dipelajari sehingga diharapkan mampu
memberikan pelajaran bagi kehidupan manusia di masa kini dan akan datang.
1. Mengetahui latar belakang sejarah terbentuknya pemukiman penduduk
Mariah Dolog.
2. Mengetahui situasi lingkungan berpengaruh terhadap kehidupan sosial
ekonomi dan sosial budaya masyarakat Mariah Dolog.
3. Menjelaskan perubahan persepsi kehidupan masyarakat pedalaman Mariah
Dolog.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut :
1. Menambah pengetahuan sekaligus memotivasi peneliti dalam menghasilkan
karya-karya historiografi serta memberikan referensi literatur yang berguna
terhadap dunia akademis, terutama dalam studi ilmu sejarah guna membuka
ruang penulisan sejarah yang berikutnya.
2. Menjadi suatu deskripsi yang berguna bagi pemerintah dan masyarakat dalam
menyelenggarakan proses pembangunan sarana dan prasarana di bidang sosial
ekonomi.
3. Menambah wawasan pembaca mengenai jejak kehidupan suatu masyarakat di
pedalaman Mariah Dolog.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang
Buku yang ditulis Tania Murray Li (2002) berjudul Proses Transformasi
Daerah Pedalaman di Indonesia menjelaskan tentang perubahan yang berlangsung
pada masyarakat pedalaman secara umum di Indonesia. Buku ini membahas sejarah
dan ciri-ciri masyarakat daerah pedalaman yang terus berubah, khususnya dalam
kaitannya dengan cara mereka mencari nafkah, dan bergesernya hubungan dengan
sumber daya alam, dengan pasar, dan dengan negara. Dari buku ini juga dapat dilihat
persoalan-persoalan mengenai proses perubahan dalam masyarakat pedalaman serta
memiliki kesamaan permasalahan dengan pedalaman yang akan diteliti oleh penulis.
Buku yang berjudul Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa secara
Partisipatif (1996), mengkaji tentang metode penelitian yang mempelajari
permasalahan masyarakat pedesaan secara partisipatif. Robert Chambers dalam buku
ini memaparkan tentang metode dan pendekatan yang memungkinkan masyarakat
secara bersama-sama menganalisis masalah kehidupan dalam rangka merumuskan
perencanaan dan kebijakan secara nyata.8
Buku Seminar Sejarah Lokal: Dinamika Masyarakat Pedesaan menguraikan
tentang proses perubahan dan perkembangan sosial ekonomi serta pada masyarakat
desa dalam kaitannya dengan mata pencaharian seperti bidang pertanian. Secara
umum juga buku ini menggambarkan ciri-ciri dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Pelukisan-pelukisan dari beberapa desa di Indonesia masing-masing menunjukkan
8
Robert Chambers, PRA Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa secara Partisipatif, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996, hlm. 10.
cirinya baik dalam proses adat istiadat, kerukunan, gotong royong dalam bekerja
maupun konflik yang terdapat pada masyarakat. Perbandingan yang ditampilkan di
antara beberapa desa berbeda di Indonesia.
Menurut Soetomo dalam bukunya Strategi-strategi Pembangunan
Masyarakat (2008), dalam implementasi beberapa pengaturan tata ruang secara
hirarkis melalui kebijakan spasial yang terintegrasi, meski dapat mengurangi
pemusatan perkembangan sosial ekonomi di kota-kota besar, disparitas desa-kota dan
disparitas antarwilayah, namun demikian tidak jarang dijumpai masih adanya warga
masyarakat yang berada dalam kondisi kemiskinan baik di daerah perkotaan maupun
di daerah pedesaan. Warga masyarakat yang hidup dalam kondisi kemiskinan berada
pada satu kawasan tertentu yang seolah-olah merupakan kantung atau kluster wilayah
kemiskinan.
Dilihat dari pendekatan wilayah, kawasan yang merupakan kantung-kantung
atau kluster tersebut adalah suatu wilayah yang sudah cukup lama dikembangkan
bersama-sama dengan wilayah lain, tetapi karena berbagai sebab kawasan itu tetap
belum dapat dikembangkan sebagaimana diharapkan, sehingga kondisi kehidupan
sosial ekonomi penduduknya juga masih tetap rendah. Wilayah demikian disebut
sebagai kawasan tertinggal. Salah satu faktor penyebab utama mengapa kawasan
tersebut masih belum berkembang adalah karena terbatasnya potensi dan sumber
daya alam, maka kondisi kemiskinan yang diakibatkan sering disebut sebagai
Di antara beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk pengembangan
kawasan demikian misalnya dengan mengembangkan kualitas sumber daya
manusianya agar dapat bersaing dalam mencari peluang kerja di daerah lain, sehingga
dengan demikian wilayah yang bersangkutan lebih difungsikan sebagai tempat
tinggal dan bukan tempat berusaha maupun berkerja.9
Di daerah kerajaan Raya sejak tahun 1904 telah berdiri Sekolah Rakyat
(Volkschool) 3 tahun, pertama di Raya Tongah, Raya Usang, dan Bulu Raya,
kemudian menyusul di kampung-kampung lainnya. Hingga akhir tahun 1933, daerah
Kecamatan Raya saja terdaftar 17 Sekolah Rakyat 3 tahun, satu Sekolah Sambungan
5 tahun dan satu Sekolah Sambungan dengan pengantar berbahasa Belanda.
Dari keterangan di atas menunjukkan desa Mariah Dolog tergolong desa
tertinggal dilihat dari rendahnya kualitas sumber daya dan potensinya, selain isolasi
geografisnya. Desa Mariah Dolog tidak hanya kriterianya sebagai desa tertinggal,
bahkan ditinggalkan sama sekali oleh penduduknya setelah beberapa di antara warga
berhasil dalam kehidupan ekonominya, kemudian perlahan-lahan menarik anggota
keluarga lainnya keluar dari Mariah Dolog. Faktor pendidikan telah membuka
kemajuan bagi penduduk Mariah Dolog.
10
9
Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan Masyakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal. 276-279.
10
1.5 Metode Penelitian
Untuk mendapatkan penulisan sejarah yang deskriptif analitis haruslah
melalui tahapan demi tahapan. Tahap pertama heuristik (pengumpulan sumber) yang
sesuai dan mendukung sumber objek yang diteliti. Dalam hal ini dengan
menggunakan metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Dalam
penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan beberapa buku, majalah,
artikel-artikel, skripsi dan karya tulis yang pernah ditulis sebelumnya berkaitan
dengan judul yang dikaji. Kemudian penelitian lapangan akan dilakukan dengan
menggunakan metode wawancara terhadap informan-informan yang dianggap
mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini.
Tahapan kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini kritik
dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber
tersebut baik dari segi substansial (isi) yakni dengan cara menganalisis sejumlah
sumber tertulis misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan judul yang
dikaji. Kritik ini disebut kritik intern. Mengkritik dari segi materialnya untuk
mengetahui keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh keautentikannya,
kritik ini disebut kritik ekstern.
Tahapan ketiga adalah interpretasi, dalam tahapan ini data yang diperoleh
dianalisis sehingga melahirkan satu analisis yang baru yang sifatnya lebih objektif
minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan
dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang
objektif.
Tahap terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat
dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan selalu berusaha
memperhatikan aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini
adalah deskriptif analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta yang ada
untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah.
Dalam fase heuristik, selain mengumpulkan bahan-bahan seperti telah
disebutkan di atas, juga digunakan ”ilmu-ilmu bantu” yang relevan dengan fokus
penelitian. Ilmu-ilmu bantu yang merupakan pendukung ilmu sejarah disebut
auxiliary sciences atau sister disciplines, yang penggunaannya tergantung pada pokok
atau periode sejarah yang dikaji. Ilmu bantu mempunyai fungsi-fungsi penting yang
digunakan oleh para sejarawan dalam membantu penelitian dan penulisan sejarah,
sehingga menjadikan sejarah sebagai suatu karya ilmiah. Ilmu bantu dalam ilmu-ilmu
sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi, politikologi, ekonomi, dan lain
sebagainya. Konsep-konsep dari ilmu sosial membantu atau menjadi alat (tools)
untuk kajian sejarah yang analitis-kritis ilmiah.11
11
Dalam perkembangan penelitian dan penulisan sejarah terutama abad ke-20
dan ke-21 ini para sejarawan telah membiasakan diri mengenal dan menggunakan
sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam lingkungan sejarah sendiri
maupun yang diangkat dari ilmu-ilmu sosial lain. Ketika menganalisis berbagai
peristiwa atau fenomena masa lalu, sejarawan menggunakan konsep-konsep dari
berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan dengan pokok kajian. Ini dikenal dengan
pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan karakteristik
“ilmiah” kepada sejarah. Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini
memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga
pemahaman tentang masalah itu, baik keluasaan maupun kedalamannya, akan
semakin jelas.12
12 Ibid
BAB II
MARIAH DOLOG HINGGA TAHUN 1960
2.1 Kondisi Alam dan Geografis
Nagori (Kampung) Mariah Dolog sebelum kemerdekaan Indonesia secara
administratif berada di wilayah Kerajaan Raya, tepatnya di daerah Simalungun Atas.
Pengaruh Kerajaan Panei dan kemudian Kerajaan Purba sempat sampai ke wilayah
ini. Sepanjang Mariah Dolog berada di bawah wilayah kekuasaan kerajaan, tidak
begitu besar pengaruh kontak langsung dalam berkomunikasi secara rutin dengan
Kerajaan Raya tersebut mengingat jaraknya yang sangat jauh dan sulit dijangkau.
Mariah Dolog seperti seyogianya dilakukan oleh daerah-daerah perkampungan yang
merupakan bagian dari suatu wilayah kekuasaan kerajaan, misalnya ada tuan yang
oleh raja diangkat sebagai perpanjangan tangan untuk melakukan pemberian upeti
kepada raja, melakukan komunikasi lewat pertemuan diundang oleh raja yang
dihadiri tuan-tuan dari kampung-kampung, dan sebagainya.
Di daerah pedalaman di Sumatera pada pergantian abad ke-19, kontrol
terhadap wilayah ini tidak menyeluruh. Penduduk desa dapat menyesuaikan
kehidupan mereka di pinggiran perkebunan kolonial dan tetap dapat mempertahankan
lahan mereka – khususnya di lereng gunung yang lebih terjal, dan agak sulit
dicapai.13
13
Tania Murray Li, op.cit, hal. 24.
penentuan wilayah administratif, Mariah Dolog berada di wilayah Kecamatan Dolok
Pardamean, kemudian beralih menjadi wilayah Kecamatan Raya hingga saat akhir
periodisasi penulisan ini. Di bawah suatu kecamatan terdapat daerah-daerah bagian
yang lebih kecil, yaitu desa, maka Mariah Dolog termasuk bagian dari desa Dolog
Huluan karena memang desa inilah yang lebih dekat jaraknya dan secara
administratif merupakan desa di bawah Kecamatan Raya.
Untuk dapat mengakses ke Mariah Dolog maka terlebih dahulu dari Simpang
Raya Huluan dengan jarak sekitar 5 km hingga ke Dolog Huluan. Sepanjang jarak
tersebut dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor roda empat. Sementara Dolog
Huluan masih dapat tembus dengan jarak sekitar 6 km ke Simpang Partuahan, jalan
besar menuju Tigaras dari Simpang Raya. Dolog Huluan merupakan satu-satunya
desa yang dilalui menuju Mariah Dolog meskipun masih ada jalur setapak yang bisa
dilalui dari desa Dolok Saribu, namun sangat jauh jaraknya. Adapun jarak dari desa
Dolog Huluan menuju Mariah Dolog sekitar 1,5 km dan tidak bisa ditempuh dengan
kendaraan bermotor karena terbatasnya sarana penyeberangan dan medan jalan yang
curam di pinggiran jurang. Masyarakat akan melalui akses jalan ini dengan kendaraan
kereta yang ditarik oleh kerbau maupun dengan berjalan kaki serta melalui jurang
yang dihubungkan dengan jembatan terbuat dari susunan batang bambu.
Tampilan wajah kampung Mariah Dolog menghadap ke timur arah mata
angin, apabila diamati dari jalan kedatangan menuju kampung dan pintu gerbang
menuju ke ladang dan bila terus ditelusuri dapat tembus hingga ke wilayah Kerajaan
Purba, daerah Tigarunggu. Pintu gerbang masuk berjarak sekitar 70 meter dari pusat
kampung dan persis berada di parit yang mengelilingi kampung, dengan dibangun
jembatan di atas parit. Setiap orang yang datang harus terlebih dahulu lewat pintu
gerbang untuk bisa memasuki kampung Mariah Dolog. Demikian juga warga yang
berdiam di kampung itu untuk pergi ke ladang maupun dalam urusan lainnya untuk
meninggalkan kampung harus melalui gerbang masuk meski memang tidak ada
penjaga yang bertugas di gerbang itu.
Kampung Mariah Dolog dikelilingi bendar, pohon beringin dan pohon bambu
yang dibangun oleh warga kampung atas prakarsa Tuan Mariah Dolog Purba
Sidagambir. Bendar digenangi air dengan kedalaman sekitar satu meter dan panjang
satu sampai dua meter, bertujuan untuk melindungi kampung dari binatang-binatang
buas maupun ternak liar milik warga itu sendiri. Perkampungan akan menjadi
terganggu ketika binatang-binatang tersebut masuk, biasanya karena cuaca buruk
dengan datangnya hujan lebat dan bendar pun meluap sementara binatang ingin
berlindung dari buruknya cuaca. Maka masing-masing warga bertanggung jawab atas
kelestarian bendar tersebut dengan memperbaiki setiap bendar yang ada dekat
wilayah pekarangannya apakah karena rusak oleh hujan maupun kerbau-kerbau dan
kuda-kuda liar di luar kampung.
Kampung ini tentunya sulit untuk diketahui oleh masyarakat luar yang pernah
tersedia dengan ditandai akses jalan yang seadanya untuk bisa menuju Mariah Dolog,
disebabkan kondisi alam yang sulit untuk dijangkau. Letak kampung ini juga sangat
tersembunyi di antara hutan belantara dikurung oleh sungai dan jurang,dan
bukit-bukit yang menghalangi pemandangan wajah kampung.
Dalam perjalanan menuju kampung Mariah Dolog kadangkala ditandai
dengan nampaknya asap-asap di antara bukit-bukit dan hutan-hutan. Semakin jelas
terdengar suara ayam-ayam berkokok, keceriaan anak-anak sedang bermain serta
suara lesung menumbuk padi dan jagung yang setiap harinya dikerjakan oleh
muda-mudi. Rumah-rumah penduduk yang khas terbuat dari papan berwarna coklat hingga
kehitam-hitaman dengan atap ijuk sebagiannya ada yang berlumut berwarna hijau.
Baik pagi maupun sore hari, kecuali matahari cerah, kampung ini sering diselimuti
oleh embun apalagi pada musim hujan dengan suhu cuaca yang sangat dingin.
Demikian penghuni perkampungan ini sangat menyatu dengan lingkungan alam.
Hamparan hutan tropis sebagai sumber kekayaan alam dan tersedianya flora
fauna mengelilingi daerah ini. Awalnya sebagian besar daerah ini ditumbuhi berbagai
jenis pepohonan dan semak belukar. Maka seiring dengan aktivitas kehidupan
penduduk, belantara tersebut menjadi ternoda ditandai dengan perambahan hutan
untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Proses pembukaan lahan apakah dengan cara
menebang pepohonan untuk dijadikan bahan bangunan perumahan maupun dengan
Sebagian wilayah perbukitan yang hanya ditumbuhi oleh semak belukar dan
rerumputan dianggap layak sebagai tempat menggembalakan ternak. Maka beberapa
jenis hewan ternak yang digembalakan seperti kerbau, kuda, babi, dan kambing
berkeliaran di daerah tersebut dalam arti bebas tanpa diikat dengan tali tambatan.
Rerumputan yang subur menjadi santapan hewan-hewan yang diternakkan di sana.
Daerah yang merupakan tempat hewan ternak tersebut berkembang biak
lama-kelamaan terbentuk menjadi lapangan dan ada kubangan yang berisi genangan air.
Daerah ini memberi daya tarik terhadap penduduk dari perkampungan terdekat untuk
melakukan kegiatan beternak meskipun sebenarnya bukan bertujuan ekonomis.
Sifat daerah belantara banyak dimanfaatkan penduduk untuk mencari sumber
kehidupan seperti makanan, apakah didapatkan dengan cara memetik buah tumbuhan
yang ada di sana maupun dengan cara berburu hewan liar yang layak dijadikan
makanan. Jenis hutan tropis yang menjadi ciri khas daerah tersebut menandakan
tingkat kesuburan tanah yang baik diolah sebagai lahan pertanian. Maka lahan di
daerah ini kemudian dimanfaatkan untuk bercocok tanam dengan tanaman yang
tumbuh di darat. Daerah ini tidak mengenal persawahan, karena padi pun ditanam
tanpa membutuhkan irigasi untuk pengairannya. Setidaknya hal tersebut kemudian
menjadi latar belakang spesifikasi profesi dalam struktur masyarakat Mariah Dolog.
Hampir semua struktur lapisan tanah di sekitar Mariah Dolog merupakan
perbukitan terjal dan jurang yang curam. Aliran sungai Bah Binomon membentang
pemisah dengan desa Dolog Huluan. Sungai Bah Siarang, Bah Mariah Dolog dan Bah
Tubu bermuara di bawah perkampungan Mariah Dolog kemudian namanya Sungai
Bah Binoman. Letak sungai tersebut berada di bawah jurang sehingga memang untuk
membuka akses jalan harus mengikuti dinding lembah jurang. Bentuk jalan menjadi
mendaki naik turun dan dihubungkan dengan jembatan penyeberangan yang
dibangun warga terbuat dari susunan batang bambu. Kondisi demikian meyakinkan
bagi penduduk tentang perlindungan yang aman dari jangkauan musuh apabila
seketika datang serangan. Manfaat tersebut dapat dirasakan hingga masa kedatangan
kolonial Belanda ke wilayah Simalungun, di mana sepanjang pendudukannya,
Belanda tidak dapat menjangkau perkampungan Mariah Dolog sehingga pengaruh
Belanda pun hampir tidak ada di tempat ini.
Umumnya di daerah Simalungun diberikan nama-nama perladangan maupun
tempat-tempat yang dianggap dapat dijadikan sebagai sarana kehidupan warga seperti
tempat menggembala ternak, sungai-sungai yang dimanfaatkan untuk sumber air dan
menangkap ikan, hutan-hutan tempat melakukan perburuan, tempat-tempat keramat
dan pemujaan, hingga daerah-daerah yang kondisi alamnya sangat unik seperti gua,
benteng, jurang, bukit, mata air dan sebagainya. Sehingga tidak jarang ketika
terbentuknya suatu perkampungan, nama perkampungan itu diangkat dari nama
daerah sebelumnya seperti halnya Mariah Dolog.
Mengandalkan kekayaan alam menjadi ciri khas penghuni Mariah Dolog
kebutuhan primer yang mencakup akan sandang, pangan, dan papan maka akan
mencarinya ke hutan yang ada di sekitar pemukiman. Kegiatan mencari binatang
buruan dengan membawa anjing dan perangkap, menebangi pohon dengan kampak
guna mendirikan gubuk untuk bermukim menjadi ciri khas yang diwariskan secara
turun-temurun sehingga kemudian daerah Mariah Dolog nampak semakin terang
dengan berkurangnya pepohonan. Maka kondisi tersebut kemudian memungkinkan
untuk memulai bercocok tanam di daerah ini.
2.2. Latar Belakang Historis Mariah Dolog
Pemukiman Mariah Dolog jelasnya merupakan tempat migrasi dari daerah
lain, perkampungan yang dekat dan berada di sekitar wilayah kerajaan Raya. Tidak
jelas sejak kapan mulai terbentuknya pemukiman di sana, namun dapat ditinjau
hubungannya dengan streotype masyarakat Simalungun secara umum yang
menggambarkan sifatnya ingin menyendiri dan bermukim di tempat yang terlindung
dan nyaman baginya. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan beberapa peristiwa
pergolakan yang terjadi di wilayah Kerajaan Raya secara umum baik sebelum
kedatangan kolonial Belanda maupun sesudahnya.
Peperangan yang berlangsung dalam tujuan menaklukkan daerah-daerah
untuk dijadikan wilayah kekuasaan oleh raja-raja dan kesultanan sering terjadi. Suku
pelosok-pelosok karena didorong rasa ketakutan apabila tertangkap akan dijadikan
sebagai budak. Perbudakan sering terjadi akibat peperangan, karena tertangkap oleh
musuh dan bagi yang menang sering menjualkannya menjadi budak belian. Sering
juga terjadi bagi penduduk yang tidak dapat membayar hutangnya kepada raja,
ditangkap dari ladangnya dan dijadikan budak belian.14
Selain mengupayakan ketenangan jiwa bersama anggota keluarga, tradisi
marjuma modom kemudian bermanfaat untuk lebih berkonsentrasi melakukan
pekerjaan-pekerjaan di ladang sehingga mendapatkan hasil yang maksimal untuk
kesejahteraan keluarga. Dengan demikian tidak mengherankan jika mengamati setiap
gubuk-gubuk yang ada di perladangan di Simalungun akan sering ditemukan Secara berangsur maupun bergantian warga akan pergi meninggalkan
perkampungannya yang tidak nyaman akibat peperangan dan gangguan dari luar.
Warga dapat merasa nyaman ketika tinggal di ladang yang jaraknya cukup jauh dari
perkampungan, maka akan tinggal menghabiskan waktu hingga mendapatkan kabar
bahwa perkampungan telah nyaman. Tradisi untuk tinggal dan menghabiskan
beberapa waktu lamanya di ladang tersebut sering disebut dengan istilah masyarakat
Simalungun yang mengatakan “marjuma modom”, di mana orang-orang, biasanya
suatu keluarga membawa bekal perlengkapan dapur dan tidur ke ladang kemudian
bermukim di gubuk yang dibangun dekat ladangnya.
14
perlengkapan untuk memasak dengan tersedianya tungku perapian, kayu bakar,
periuk, penampungan air, dan sebagainya.
Dengan tradisi marjuma modom secara bersama-sama maka besar
kemungkinan terbentuk suatu pemukiman baru di daerah perladangan. Beberapa
warga yang perladangan mereka saling berdekatan tentunya selalu melakukan
interaksi dan akan bekerja secara bersama-sama dalam pengerjaan ladang mereka.
Membangun pemukiman dilakukan dengan mendekatkan gubuk-gubuk mereka
sehingga terkonsentrasi dalam suatu perkumpulan yang kemudian menjadi cikal
bakal terbentuknya kampung.
Kegiatan menggembalakan ternak jauh dari desa juga memotivasi untuk
membuka suatu pemukiman baru. Menggembalakan ternak seperti kerbau dan kuda
jauh dari desa dan berada di perbukitan yang terdapat hamparan rumput yang luas. Di
sana petani yang menggembalakan ternak akan sangat merasakan kedamaian jiwa
karena terhindar dari keramaian dan gangguan-gangguan penyerang dari luar.
Menjaga ternak biasa dilakukan dengan kesibukan sambil bermain musik tradisional
dan mengusahakan makanan sehari-hari untuk mengatasi rasa lapar seperti membakar
umbi-umbian maupun burung-burung hasil buruan yang didapatkan dengan cara
diperangkap.
Manusia yang terganggu kenyamanannya di lingkungan kampung akibat
Mereka membentuk suatu tempat tinggal di mana tempat yang dirasakan lebih
nyaman, yaitu tempat untuk menggembalakan ternak di perbukitan menjadi tujuan
alternatif untuk bermukim. Tempat tinggal seadanya seperti gubuk-gubuk dibangun.
Demikian halnya dengan warga kerajaan Raya melakukan migrasi ke daerah Bagot
Sahala, kemudian warga pindah lagi dengan pola terpencar akibat kondisi yang
kurang nyaman, sebagian ke Nagara Langit, Tanjung Marolan, dan sebagian lagi ke
Dolog Huluan.
Pemukiman Nagara Langit terlatak tidak begitu jauh dari Tanjung Marolan,
hanya berjarak sekitar 80 meter. Nagara Langit tidak banyak penghuninya dan tidak
bertahan begitu lama karena kemudian penduduknya merapatkan rumah-rumah
mereka ke Tanjung Marolan. Hal ini disebabkan letak pemukiman yang kurang
strategis pada masa itu, karena sangat mudah untuk dijangkau orang yang datang dari
luar. Selain itu, Tanjung Marolan yang berada di tepi sungai Bah Binomon, sehingga
sangat mendukung keberlangsungan hidup penduduknya yang lebih sejahtera.
Demikianlah pemukiman Nagara Langit tidak ada lagi, namun daerah tersebut
menjadi tempat untuk pertapa karena di sana ada peninggalan berupa patung yang
terbuat dari batu yang sejak dahulu disembah oleh masyarakatnya. Patung tersebut
berbentuk manusia laki-laki dan perempuan dengan posisi duduk, tinggi sekitar 1,5
meter. Patung tersebut terletak di bagian tanah yang posisinya agak lebih tinggi dari
keramat oleh masyarakat, dan memang tidak sembarangan orang untuk bisa
memasuki daerah tersebut.
Tanjung Marolan berada di antara Dolog Huluan dan Mariah Dolog. Apabila
dari Dolog Huluan menuju Mariah Dolog, setelah melewati jurang dan mendaki,
maka pemandangan sebelah kiri akan nampak tanah dengan bentuk dataran yang
ditumbuhi oleh lalang-ilalang, yang berarti daerah itu bukan merupakan hutan
belantara. Daerah itulah yang sempat menjadi pemukiman penduduk kampung
Tanjung Marolan. Di daerah Tanjung Marolan pernah terjadi bencana alam tanah
longsor, sehingga kemudian penduduknya meninggalkan pemukiman tersebut. Posisi
Tanjung Marolan berada di tepi sungai Bah Binomon dan di tepi sungai yang curam
terdapat sebuah gua, yang berbentuk lubang memanjang hingga ke tengah-tengah
kampung. Tanah tempat penduduk mendirikan rumah longsor dan tepat terjadi di
tengah-tengah kampung sehingga banyak rumah-rumah penduduk yang rusak akibat
bencana longsor.
Ancaman bencana tanah longsor yang merupakan tantangan alam mendorong
penduduk Tanjung Marolan melakukan kesepakatan bersama untuk mengungsi dan
mencari tempat yang lebih nyaman. Sehingga Mariah Dolog yang sebelumnya adalah
tempat menggembalakan ternak menjadi tujuan untuk melakukan pengungsian karena
memang tidak jarang di daerah tersebut petani yang menggembalakan kerbau tinggal
Dengan demikian, maka terjadilah migrasi spontan dari Tanjung Marolan ke
Mariah Dolog. Rumah-rumah dibongkar dan dipindahkan ke Mariah Dolog untuk
selanjutnya dibangun kembali. Begitu juga dengan semua harta benda yang masih
bisa diselamatkan turut dipindahkan ke Mariah Dolog. Kemudian Tanjung Marolan
terabaikan dan menjadi belantara lagi. Jadi, bencana alam tersebut meninggalkan efek
traumatis tersendiri bagi penduduk. Mariah Dolog adalah pilihan daerah yang lebih
tepat atas tuntutan penduduk akan kenyamanan terutama dari serangan musuh yang
datangnya dari luar.
Bencana tanah longsor di Tanjung Marolan di perkirakan waktunya
berlangsung pasca hadirnya kolonial Belanda ke wilayah Simalungun. Pada tahun
1885/1886, bangsa Barat mengunjungi pertama daerah Simalungun.15
Secara kepemilikan, tanah Mariah Dolog merupakan daerah yang diklaim
milik Tuan Mariah Dolog, Purba Sidagambir. Dalam istilah Simalungun ia dikatakan Kehadiran
Belanda tidak serta-merta memberikan kenyamanan bagi masyarakat Simalungun,
banyak terjadi kontak pertempuran dengan orang-orang Belanda yang ingin
menaklukkan daerah-daerah untuk dijadikan wilayah jajahan. Kondisi tersebut
semakin memaksa penduduk untuk mengungsi segera mungkin dan mengupayakan
tempat yang nyaman dari jangkauan musuh terutama Belanda. Penduduk menimbang
tempat yang dianggap tidak mungkin dimasuki Belanda, karena Belanda
menggunakan kendaraan-kendaraan tempur untuk memasuki suatu wilayah.
15Ibid,
sebagai “Si Pukkah Huta”, yaitu orang yang pertama sekali menduduki dan membuka
kampung tersebut. Setelah mendirikan rumah dan dapat bermukim bersama anggota
keluarganya, maka menyusul kemudian saudara-saudaranya semarga serta warga
kampung lainnya yang berasal dari Tanjung Marolan. Demikian pemukiman baru
terbentuk dan nama kampung itu Mariah Dolog.
Dalam perkembangan awal Mariah Dolog, penduduknya tidak terlepas dari
budaya sebelumnya dari mana mereka datang. Budaya yang pernah berlangsung di
daerah Bagot Sahala juga Tanjung Marolan masih tetap dipegang teguh.
Tradisi-tradisi kehidupan bermasyarakat di kampung mulai dalam bentuk solidaritas hingga
kebiasaan-kebiasaan dalam menjalankan upacara-upacara adat. Tradisi upacara adat
dalam masyarakat dilaksanakan ketika memasuki rumah yang baru didirikan,
melangsungkan pernikahan, memulai penanaman untuk pertanian, menikmati hasil
panen, melakukan kunjungan dalam bentuk silaturahmi terhadap keluarga, dengan
istilah manopot tondong, mertua, maupun boru, dan sebagainya.
Layaknya kehidupan suatu kampung, penduduk Mariah Dolog hidup dengan
solidaritas yang tinggi. Kesepakatan bersama untuk menjaga kenyamanan kampung
dikerjakan dengan membentuk wajah kampung sedemikian terlindung sehingga
tersembunyi dari ancaman luar. Penduduk membuat bendar mengelilingi kampung
dengan tujuan aman dari binatang-binatang buas dan ternak liar yang ada di luar
kampung. Hal ini terjadi karena pernah terjadi serangan-serangan dari
binatang-binatang seperti kerbau liar, kuda, maupun unggas mencari tempat untuk
berlindung dari cuaca buruk. Kemudian di sekitar bendar ditanami pohon-pohon
beringin dan pohon-pohon bambu sehingga membuat pemandangan yang
tersembunyi dari luar kampung.
Pada tahun 1959 sepasukan anggota PRRI pernah memasuki kampung Mariah
Dolog. Peristiwa tersebut meninggalkan kesan traumatis bagi penduduk.16
Pasukan PRRI tidak merekrut siapa pun dari penduduk untuk dijadikan
anggota mereka, tetapi memang meminta ijin terhadap Tuan Mariah Dolog untuk
boleh tinggal di kampung dalam beberapa waktu. Pasukan PRRI tidak menginap di
rumah-rumah penduduk, tetapi mereka membuat tenda-tenda perkemahan. Menjadi
suatu tontonan bagi penduduk Mariah Dolog ketika dapat melihat persenjataan
pasukan PRRI. Satu di antara pasukan PRRI bermarga Situmorang tewas tertembak
ketika ia meminta anak Tuan Mariah Dolog untuk pergi memantau keadaan di
kampung Dolog Huluan. Menyadari bahwa kondisi pasukannya sedang dikepung
oleh Tentara Rakyat Indonesia maka segera mereka hijrah dari Mariah Dolog.
Kondisi yang mencekam membuat penduduk merasakan trauma. Ditambah lagi Pasukan
PRRI yang memberontak terhadap negara Republik Indonesia melakukan perlawanan
dengan bersenjata dan bergerilya. Di wilayah Simalungun mereka bergerak dari
daerah Tigarunggu. Mariah Dolog hanya dijadikan tempat persinggahan dan
persembunyian sebelum dapat melanjutkan perjalanan untuk bertempur menuju Raya.
16
dengan himbauan agar penduduk tidak keluar rumah selama PRRI ada di sana karena
dikhawatirkan akan melaporkan kehadiran pasukan PRRI kepada daerah lain tentang
keberadaan PRRI di sana.
Anggota-anggota PRRI, beberapa di antara mereka berseragam militer dan
bersenjata lengkap, sanapan, senapan mesin, granat, mortir, pelontar granat dan
bajoka. Terkadang dengan kebengisan mereka memeras penduduk kampung dengan
cara memintai perbekalan makanan. Semula sesampai di kampung, pasukan ini
sangat sopan dan mencoba beradaptasi, tetapi setelah lebih mengenal penghuni
kampung, mereka menjadi bengis. Ternak-ternak babi dirampas begitu saja untuk
dipotong dan dibakar. Pasukan PRRI juga mencoba mengumpulkan bekal-bekal
lainnya untuk dapat bertahan hidup, apakah obat-obatan tradisional, juga baju-baju
dan beras serta jagung.
Dari berbagai wawancara terhadap beberapa informan konon mengatakan
bahwa Mariah Dologlah, tempat yang terlebih dahulu dihuni oleh penduduk yang
berasal dari Bagot Sahala dan Tanjung Marolan kemudian sebagian membuka
perkampungan di daerah sekitarnya seperti Dolog Huluan, Silau Marihat dan yang
lainnya.17
17
Wawancara dengan Bapak Jaun Saragih Sumbayak dan Juliaman Saragih Sumbayak , Dolog Huluan, 10 Maret 2011.
Pendapat ini sedikit berbeda ketika sumber lain mengatakan desa Dolog
Huluan yang kemajuannya lebih pesat adalah daerah pertama yang ada sebelum
Mariah Dolog. Meskipun untuk bisa menuju Mariah Dolog harus melewati desa
maka tidak menutup kemungkinan bahwa tempat yang paling dituju oleh masyarakat
ketika itu adalah Mariah Dolog, sesuai dengan kebutuhan akan kenyamanan untuk
berlindung.18
1) Bagot ni Huta
Nama-nama perkampungan yang ada di sekitar daerah Mariah Dolog :
2) Dolog Huluan
Masyarakat Mariah Dolog yang seluruhnya adalah bersuku Simalungun,
masing-masing memiliki marga seperti yang terdapat pada masyarakat Simalungun.
Di daerah Simalungun orang biasanya menyebutkkan empat marga, yaitu Purba,
Saragih, Damanik, dan Sinaga. Sebabnya ialah, yang empat marga inilah marga dari
18
raja-raja yang berkuasa di daerah Simalungun dahulu.19
Masyarakat Mariah Dolog yang bermarga Purba terdiri dari cabangnya, yaitu
Purba Sidagambir, Purba Pakpak, dan Purba Sidadolog. Marga Saragih terdiri dari
cabangnya, yaitu Saragih Sumbayak dan Saragih Sigaringging. Sedangkan
masyarakat bermarga Sinaga, cabangnya yaitu Sinaga Sipayung. Masing-masing sub
marga tersebut yang menjadi komposisi marga di Mariah Dolog datang dari daerah
yang berbeda sesuai dengan asal kerajaan marga-marga Simalungun. Marga Purba di
Silimakuta; di Dolok Silau, Panei dan di Kerajaan Purba. Saragih di Raya, Damanik
di Siantar dan Sinaga di Tanah Jawa.
Jadi, marga yang terdapat
pada masyarakat Mariah Dolog adalah Purba, Saragih dan Sinaga, tidak ada
masyarakat yang bermarga Damanik.
20
19
Batara Sangti, Sejarah Batak, Batak Balige: Karl Sianipar Company, 1977, hal. 151.
20Ibid
, hal. 151.
Marga yang lebih dahulu sampai ke Mariah Dolog adalah Purba Sidagambir,
dalam gelombang berikutnya disusul marga Saragih Sumbayak, migrasi dari Bagot
Sahala, kemudian marga Sinaga dan yang lainnya. Bahkan jauh setelah berdirinya
kampung tersebut ada juga penduduk yang bermarga Batak Toba, seperti Sinurat,
Panjaitan dan Turnip. Hal ini terjadi karena pemuda maupun pemudi dari kampung
ini menikah di perantauan kemudian membawa pulang pasangannya ke Mariah Dolog
Penduduk Mariah Dolog dipimpin oleh seorang tuan yang dianggap sebagai
sipukkah huta, dengan gelar Tuan Mariah Dolog Purba Sidagambir. Beliau
mengklaim sebagai orang pertama yang mengenal Mariah Dolog dan bermukim di
sana, memulai dengan beternak di Mariah Dolog. Secara adatnya maka tanah daerah
Mariah Dolog adalah milik Tuan Mariah Dolog. Tuan Mariah Dolog diakui oleh
penduduk kampung dengan kriteria awal bahwa beliaulah pembuka kampung dan
sekaligus pemilik tanah wilayah tersebut. Hal ini berarti bahwa setiap orang yang
hendak bermukim dan melakukan pola kehidupan bertani di Mariah Dolog, wajib
meminta izin dan persetujuan dari keluarga Tuan Mariah Dolog. Karena posisinya
itu, mereka memiliki peluang untuk membuat orang lain merasa berhutang budi,
karena mereka memberikan pekerjaan, izin, kontrak, dukungan jika perlu,
perlindungan dalam bentuk kecil-kecilan sampai perlindungan terhadap gangguan
dalam rangka memperoleh keuntungan melalui kegiatan legal dan ilegal.21
Meskipun pemakaian tanah harus berdasarkan persetujuan dari Tuan Mariah
Dolog, namun tidak diberlakukan sistem sewa tanah bagi tiap penduduk yang
bermukim di sana. Kepemilikan tanah pun luasnya ditandai dengan banyaknya
tumbuh-tumbuhan yang ditanam di pekarangan rumah. Demikian juga untuk
menggunakan lahan pertanian di daerah tersebut, setiap lahan yang telah ditanami
maka menjadi milik yang mengerjakan dengan catatan bahwa tanaman di ladang
tersebut tetap dilestarikan. Artinya, apabila suatu waktu lahan tidak dikerjakan dan
21
dibiarkan menjadi terlantar, maka orang lain pun memiliki hak untuk mengerjakan
lahan tersebut.
Spesifikasi pekerjaan setelah memulai untuk sistem pengolahan tanah
kemudian menggambarkan bahwa rata-rata penduduk Mariah Dolog hidup dengan
bermata pencaharian sebagai petani. Meskipun memang kehidupan mereka tidak
begitu bergantung dengan hasil-hasil pertanian karena masih memungkinkannya
menggantungkan hidup pada kekayaan alam seperti hutan secara leluasa, misalnya
dengan kegiatan-kegiatan berburu yang dikenal masyarakat dengan istilah
“mansiding” dan sebagainya.
Tidak begitu kontras bagi penduduk untuk dapat mengklasifikasikan profesi
mereka secara detail karena setiap penduduk memiliki potensi dan kebiasaan yang
sama dalam setiap aktivitasnya sehari-hari. Tidak seperti layaknya di desa yang
sedikit memiliki kemajuan misalnya ada pedagang, petani, peternak, tukang
pembangun rumah, seniman, dan sebagainya. Bagi masyarakat Mariah Dolog semua
kegiatan yang terdapat dalam konteks kehidupan sosialnya dikerjakan secara
bersama. Demikian halnya dalam kegiatan mmenggembalakan kerbau, karena
ternyata juga kaum perempuan pun sering melakukan kegiatan ini.
Setidaknya memang hanya ada sedikit kebiasaan yang menjadi tradisi bahwa
baik pemuda maupun pemudi biasanya menghabiskan banyak waktu mereka di
juga dikerjakan oleh orang tua, juga anak-anak mereka. Untuk pekerjaan yang
sifatnya lebih keras dan memerlukan imajinasi yang kreatif seperti membangun
rumah, maka kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh laki-laki. Pekerjaan dimulai
dengan menebang kayu di hutan dan membawa balok-balok kayu hingga ke kampung
kemudian membangunnya menjadi rumah tempat tinggal.
Dalam tradisi kepercayaan sifatnya masih animisme, yaitu percaya terhadap
roh-roh leluhur. Kepercayaan ini sangat erat kaitannya dengan adat-istiadat
masyarakat karena setiap pelaksanaan adat maka haruslah melakukan pemujaan yang
biasanya dipimpin oleh para pemegang tata laksana adat. Setiap pemegang tata
laksana adat biasanya adalah orang tua yang sudah lanjut usia dikenal dengan istilah
“saur matua”, di mana mereka telah memiliki cucu, maka lebih tinggi posisinya
dalam masyarakat. Mereka sudah banyak pengalaman dan memiliki pengetahuan
yang lebih serta berpengaruh besar di tengah-tengah masyarakat. Dalam istilah
dewasa ini mereka dikenal sebagai dukun.
Kedudukan dukun sangat kuat terutama dalam adat karena merekalah
pemegang tata laksana adat, di mana mereka memiliki pengetahuan khusus. Pada
masyarakat tradisional, pengetahuan tersebut merupakan potensi diri yang dimiliki
seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan kekuatan gaib, dalam hal ini yang
dimaksud yaitu roh-roh leluhur serta jin-jin, yang erat hubungannya dengan
kepercayaan mereka. Hal itu merupakan bagian dari kesaktian seseorang ketika
melaksanakannya. Perkataan-perkataan dukun akan selalu diindahkan sebagai
pedoman dalam masyarakat. Maka banyak fenomena dan gejala baik dalam
masyarakat maupun tantangan alam yang membutuhkan solusi, ditanyakan kepada
mereka.
Bagaimana penting dan tingginya kedudukan dukun dalam masyarakat
tradisional diungkapkan oleh Koentjaraningrat dalam sistem kemasyarakatan Batak.
Dalam sistem pelapisan sosial yang berdasarkan kepada pangkat dan jabatan tampak
dalam kehidupan sosial sehari-hari. Lapisan yang paling tinggi adalah lapisan
bangsawan, keturunan raja-raja dan kepala-kepala wilayah dulu, yang disebut lapisan
biak raja. Lapisan di bawahnya adalah orang-orang yang mempunyai jabatan-jabatan
yang dianggap lebih terhormat dari yang lainnya, sehingga orangnya juga dipandang
menduduki lapisan elite dalam masyarakat. Mereka ialah dukun, tukang yang
mempunyai keahlian (pandai besi, pandai emas, tukang kayu, dan sebagainya),
pemukul alat bunyi-bunyian dan penyanyi. Orang-orang yang melakukan pekerjaan
tersebut, dulu sering disebut orang-orang yang memiliki kekuatan sakti.22
22
2.4 Sistem Mata Pencaharian Penduduk Mariah Dolog
Mengandalkan potensi alam lingkungan merupakan ciri khas penduduk
Mariah Dolog. Ketersediaan sumber pangan dirasa mampu mencukupi kebutuhan
hidup sehari-hari. Banyak jenis makanan seperti buah-buahan yang boleh didapatkan
dari pohon-pohon di hutan. Namun tidak begitu puas penduduk untuk tetap
mengandalkan persediaan pangan dari alam tersebut. Tantangan untuk memasuki
hutan belantara adalah kesulitan yang sering menjadi penghambat sekaligus
memotivasi penduduk membuat alternatif baru untuk mencukupi pangan. Alasan
tersebut kemudian menjadi faktor dibukanya hutan dengan menumbang pohon-pohon
kayu sehingga bersih untuk dijadikan lahan pertanian.
Jagung, padi dan ubi kayu adalah tumbuhan yang pertama ditanam oleh
penduduk sebagai bahan makanan. Bibit tanaman jagung dan padi didapatkan dari
daerah asal mereka sebelum bermukim di Mariah Dolog, seperti Bagot Sahala serta
dari desa yang bisa terjangkau jaraknya yaitu Dolog Huluan. Jagung, padi dan ubi
menjadi makanan pokok pada masyarakat Mariah Dolog.
Menebangi hutan merupakan langkah awal dalam memulai untuk bercocok
tanam. Peralatan yang dugunakan dalam menebangi hutan adalah terbuat dari
kayu-kayu yang ada di sekitar hutan. Hal ini karena minimnya peralatan dari logam yang
dimiliki penduduk. Konon juga dalam mengolah tanah, para petani juga
lubang-lubang setelah kemudian dicabut kayu itu. Pada lubang-lubang tersebut
biji-biji padi dapat ditanam, demikian juga biji-biji-biji-biji jagung pada areal yang berbeda.
Pertumbuhan bibit yang telah ditanami tidak begitu mendapat perhatian dari
petaninya karena memang para petani pemilik tanaman tersebut belum memiliki
keahlian untuk menanam jenis tanaman apapun. Baik padi maupun jagung sekaligus
tumbuh dengan semak-semak yang terdapat di ladang di mana tanaman itu di tanam.
Kondisi demikian karena tidak ada perawatan yang dilakukan oleh petani. Sedangkan
panennya akan dilakukan ketika padi dan jagung sudah menguning. Padi dan jagung
dipotongi dan dikumpulkan. Semua hasil panen dibawa ke lumbung di kampung dan
disimpan di sana.
Untuk diolah sebagai bahan makanan terlebih dahulu padi harus ditumbuk
dalam lesung. Kegiatan inilah yang setiap harinya berlangsung di kampung, biasanya
dikerjakan oleh pemuda dan pemudi kampung. Secara terpisah jagung dipipil dan
jagung tersebut ditumbuk dalam lesung untuk memperhalus bentuknya. Beras
kemudian ditampi dan hasilnya yang bersih dicampur dengan jagung dan itulah yang
dimasak untuk menjadi menu makanan sehari-hari. Terkadang menu makanan
tersebut dicampur dengan ubi kayu.
Semula tanpa adanya keahlian dalam perawatan tanaman memberikan hasil
yang kurang memuaskan karena ternyata sedikit hasil didapatkan. Mengolah tanah
rumput gambut supaya tidak mengganggu tanaman, maka sebelum menanam
dilakukan pembajakan. Kegiatan pembajakan yang dilakukan petani Mariah Dolog
sangat tradisional sekali dan primitif. Petani belum mengenal perkakas pertanian
yang terbuat dari logam seperti cangkul dan bajak. Peralatan yang digunakan berasal
dari kayu-kayuan keras yang ada di sekitar lingkungan.
Sebagai pengganti bajak untuk mengolah tanah dibuat dari dahan pohon nira.
Dahan-dahan tersebut dilepaskan dari pohonnya lalu dipatah-patahkan. Dahan-dahan
yang patah diikat dengan kulit kayu dan bagian yang runcing mengarah ke bawah.
Alat inilah yang digunakan oleh petani untuk membajak tanah. Dikerjakan oleh tiga
orang untuk menancapkan alat itu ke tanah dengan memijak-mijak, kemudian
menggulingkan tanah secara bersama-sama. Demikian pekerjaan yang melelahkan
tersebut dilakukan oleh petani hingga bisa menggemburkan tanah ladang yang akan
ditanami. Dengan cara demikian tepat sehingga baik padi maupun jagung dapat
tumbuh lebih subur di tanah yang gembur tersebut. Jagung yang memiliki
produktivitas tinggi, mudah menyesuaikan dan dapat dipakai untuk berbagai
keperluan tentu membuatnya mudah ditanam di mana-mana dan ekspansinya
berlangsung cukup cepat.23
Pekerjaan yang menguras banyak tenaga umumnya dikerjakan oleh kaum
laki-laki, meskipun memang untuk mengerjakan ladang, kaum perempuan juga turut
serta untuk bagian pekerjaan yang tidak berat. Waktu mulai pagi hingga sore
23
kebanyakan dihabiskan di ladang bersama rekanan sekerja dalam mengerjakan
ladang. Melihat begitu melelahkannya kegiatan para petani, tentu saja pola makan
mereka juga sesuai dengan seberapa besar energi yang mereka keluarkan. Takaran
beras yang dikonsumsi menurut ukuran sekarang bisa sampai satu kilogram per orang
setiap kali makan.
Cangkul pertama yang dikenal oleh petani yaitu Sangkul Tongging, terbuat
dari logam besi dan bentuknya seperti sekop dilengkapi tangkai yang terbuat dari
kayu. Cara menggunakan Sangkul Tongging tersebut harus menunduk, sehingga
memang sangat melelahkan. Baru sekitar tahun 1900-an petani Mariah Dolog
mengenal alat pertanian cangkul seperti bentuk yang sekarang. Cangkul tersebut hasil
buatan tukang besi di Raya. Demikian juga dengan peralatan memotong seperti
berbagai jenis pisau, parang, belati bahkan gergaji yang kemudian mendukung
terhadap kegiatan pembangunan kampung karena menjadi lebih mudah mendirikan
rumah dan mendapatkan bahan bangunan seperti balok-balok kayu.
Kegiatan selain pertanian yaitu melakukan pekerjaan bertukang. Kegiatan
bertukang merupakan awal dari perkembangan teknologi bagi penduduk Mariah
Dolog. Dalam mendirikan rumah, semua bahannya berasal dari hutan. Rumah-rumah
kebanyakan terbuat dari batang bambu yang ditancapkan ke tanah kemudian diikat
satu sama lainnya menggunakan kulit kayu hingga dapat berdiri tegak. Atap rumah
ditutupi oleh daun-daun pohon enau dengan diikat untuk melindungi bagian dalam
Bentuk rumah yang dibangun berikutnya yaitu rumah bolon, posisinya berada
sekitar satu meter di atas tanah dan sudah menggunakan balok kayu yang
dipotong-potong menggunakan alat dipotong-potong terbuat dari besi. Rumah bolon diatapi dengan ijuk
dari pohon enau untuk melindungi bagian dalam rumah. Bentuk rumah bolon tidak
begitu banyak variasi, sehingga masing-masing rumah penduduk yang demikian
memiliki kemiripan. Pekerjaan dalam membangun rumah demikian dilakukan secara
bergilir, setelah selesai satu rumah maka lanjut untuk rumah berikutnya. Sementara
mengenai sistem upah pekerjaan tidak ada, hanya masing-masing yang bekerja harus
ikut dalam mengerjakan rumah berikutnya.
Demikian juga mengenai upah pada pekerja di ladang, karena memang
kepemilikan ladang adalah milik masing-masing, maka tidak ada pembayaran yang
dilakukan karena belum mengenal alat tukar uang. Jika petani melakukan panen,
maka hasil ladang yang dipanen adalah hak yang memiliki ladang. Sebagai
keseimbangannya, para petani melakukan kegiatan Marsiadap Ari, yaitu bergotong
royong mengerjakan ladang menurut gilirannya, biasanya tiap hari berpindah-pindah
dan masing-masing pemilik ladang akan mendapatkan gilirannya.
Selain kegiatan bertani dan bertukang, memburu hewan liar yang tidak
diternakkan adalah tradisi bagi masyarakat Mariah Dolog. Boleh digambarkan
sebenarnya jumlah ternak di kampung Mariah Dolog adalah banyak. Namun
kebiasaan bagi penduduk bahwa ternak-ternak seperti anjing, kerbau, babi, kambing