• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sinunö Falöwa Studi Deskriptif Mengenai Nyanyian Pada Upacara Perkawinan Suku Bangsa Nias di Kota Gunung Sitoli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sinunö Falöwa Studi Deskriptif Mengenai Nyanyian Pada Upacara Perkawinan Suku Bangsa Nias di Kota Gunung Sitoli"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

SINUNÖ FALÖWA

Studi Deskriptif Mengenai Nyanyian Pada Upacara Perkawinan Suku Bangsa Nias di Kota Gunung Sitoli

DISUSUN OLEH

DANIELY AROZIDUHU DAELI

060905043

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang karena segala kasih setia, penyertaan dan berkat-Nya yang melimpah dalam kehidupan penulis, sampai hingga saat ini, penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan suka cita dan memberi banyak arti terutama untuk melayani Dia. Dalam masa-masa penyelesaian skripsi ini, bahkan dari awal perkuliahan banyak suka dan duka yang penulis rasakan, tetapi semuanya itu memberi mamfaat yang menjadikan penulis lebih dewasa baik di dalam berfikir, bertindak, dan berelasi dengan orang-orang sekitar penulis.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari orang-orang yang banyak membantu penulis mulai dari awal sampai akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA. selaku ketua Departemen Antropologi FISIP USU. Bapak Drs. Irfan Simatupang, M.Si selaku sekertaris Departeman Antropologi FISIP USU. 2. Bapak Drs. Lister Berutu, MA sebagai Dosen Penasehat Akademik yang juga

(3)

3. Para dosen Departemen Antropologi, staf pegawai FISIP USU, pegawai perpustakaan FISIP yang telah banyak mengajar, membantu administrasi mahasiswa dan memberi pengarahan selama penulis menjadi mahasiswa di FISIP USU

4. Bapak Elisian Waruwu S.S (A. Arel) yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi, membantu mencari dan meminjamkan buku, bahkan memberikan masukan yang positif hingga akhirnya skripsi ini dapat selesai.

5. Terkhusus buat orang tua penulis, Ibunda tercinta Snk. Marlin Harefa (I. Astari Daely) buat kerja keras, kasih sayang, kepercayaan, dukungan serta doa yang membuat penulis tetap tegar dan berjuang sebagai anak yang sangat mengasihinya. Terimakasih mama!

6. Kepada keluarga yang ku kasihi, Kakak; Astari Daely (I. Hanie), Pdt Eklesia Daely, S.Th, Sutriani Daely dan Abang Soli Daely yang sampai sekarang sangat peduli, membantu dalam nasehat dan materi, dan senantiasa mendukung dalam doa agar penulis tetap semangat dalam meraih cita-cita 7. Kepada keluarga besar ku; Bapak/Mama Talu, Sibaya, Tante, Abang/kakak

sepupu bahkan tetangga rumah yang sangat memperhatikan ku, juga membatu dalam nasehat,dana dan doa yang tetap menguatkan ku.

(4)

Tiara, Butet, Hanna, Doni, Rascel, Lenta, Rosmeri, Erma dan Dodi yang mana bersama dengan penulis mengalami pergesekan karater, berjuang, berbagi suka dan duka, demi mengerjakan Amanat Agung Tuhan Yesus

9. Spesial terimakasih buat kakak bimbingan rohani ku (PKK Kuriake) Junita Sinaga dan Raduma Sagala yang telah banyak mensuport, berdoa, membimbing ku hingga akhirnya Penulis mengenal Kristus lebih dekat, belajar berintegritas, dan bisa mengakhiri masa kuliah dengan terseyum. God Bless Us!!!

10. Buat teman-teman Satu KTB ku di “Kuriake” Tati, Nova, Mei, Yanti dan The New; K’Juni, K’Rita, K’Reni dan K’Ibeth yang sama-sama berjuang dalam mencari dan menuruti kehendak-Nya. Serta adik-adik rohani ku di “Gita lee-El” Christine, Ira, Tia, dan Zudika. Terimakasih buat semangat, senyuman dan doanya.

11. Buat sahabat seperjuangan dan kerabat ku di Antropologi stambuk 2006, Deni, Firman, Charles, Nopri, Nuel, Kevin, Sari, Santa, Helena, Inggrid, Erica, Ayu, Mimi, Sidri, Rulli, Mardiana, Lisna dan yang lainnya, bahkan buat abang, kakak, adik Stambuk 2004,2005, 2008,2009. Salam kerabat buat semuanya.

(5)

13. Buat Sahabatku ku Asal Silabi Gulö yang tetap memberikan ijin kepada penulis untuk mengeprint tugas dan skrisi di kator gereja BNKP Teladan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat selesai tanpa bantuan dan dukungan dari banyak pihak, baik yang telah disebutkan namanya maupun kepada pihak yang belum disebutkan. Untuk itu sekali lagi penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan kiranya Tuhan sajalah yang akan membalas semua kebaikan yang telah penulis peroleh.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca yang budiman. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermamfaat bagi para pembaca, khususnya kepada pemerhati musik Nias.

Ya’ahowu!

Medan, Desember 2010

Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengatar... i

Daftar Isi... v

Abstrak... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah... 7

1.3. Lokasi Penelitian... 8

1.4. Tujuan dan Mamfaat Penelitian... 8

1.5. Tinjauan Pustaka... 9

1.6. Metodologi Penelitian... 15

1.6.1 Tipe Penelitian... 15

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data... 16

a. Teknik Observasi... 16

b. Teknik Wawancara... 17

c. Data Pendukung... 19

1.7 Teknik Analisis Data... 19

(7)

2.1 Lokasi dan Letak Gunung Sitoli... 20

2.2 Sejarah Singkat kelurahan Ilir... 21

2.3 Stratifikasi Sosial... 23

2.4 Pembagian Tingkat-tingkat Kehidupan Manusia Menurut Adat Nias Utara 25 2.4.1 Bosi I : Fangaruwusi... 26

2.4.2 Bosi II : Tumbu... 28

2.4.3 Bosi III : Famatörö Döi... 28

2.4.4 Bosi IV : Famoto... 30

2.4.5 Bosi V : Falöwa... 32

2.4.6 Bosi VI : Famadadao Omo... 34

2.4.7 Bosi VII : Fa’aniha Banua... 35

2.4.8 Bosi VIII : Famaoli... 35

2.4.9 Bosi IX : Fangai Töi... 36

2.4.10 Bosi X : Fa’amokhö... 37

2.4.11 Bosi XI : Mame’e Gö Banua... 37

2.4.12 Bosi XII : Mame’e Gö Nöri... 37

2.5 Sistem Religi... 38

2.5.1 Sebelum Kekristenan... 38

2.5.1.1 Luo Walangi... 41

2.5.1.2 Lature Sobawi Sihönö... 42

(8)

2.5.1.4 Uwu Wakhe... 43

2.5.1.5 Gözö Tuha Zangaröfa... 43

2.5.2 Sesudah Kekristenan ... 46

BAB III DESKRIPSI UPACARA FALÖWA DI KELURAHAN ILIR, KECAMATAN GUNUNG SITOLI... 50

3.1 Perkawinan Nias... 50

3.2 Tehap-tahap Perkawinan... 50

3.2.1 Famaigi Niha... 51

3.2.2 Fame’e Laeduru... 52

3.2.3 Fanunu Manu... 53

3.2.4 Femanga Bawi Nasilahulu... 56

3.2.5 Fame’e dan Folohe Bawi Böwö... 57

3.2.6 Falöwa... 62

3.2.7 Fame’e Gö... 65

3.2.8 Famuli Nukha... 65

Tabel 1. Tahap-tahap kegiatan perkawinan adat Nias Utara secara umum... 66

Gambar 1... 67

Gambar 2... 67

Gambar 3... 68

(9)

BAB IV NYANYIAN (SINUNÖ) DALAM KONTEKS PERKAWINAN

(FALÖWA)... 69

4.1 Fungsi dan Kegunaan... 69

4.2 Prosedur Belajar... 70

4.3 Ciri-ciri Musikal... 72

4.3.1 Bölihae... 72

4.3.2 Fangowai... 73

4.3.3 Hendri-hendri... 75

4.3.4 Deskripsi Alat Musik... 75

4.3.4.1 Garamba... 76

4.3.4.2 Faritia... 79

4.3.4.3 Gödra... 79

BAB V ANALISIS TEKS SINUNÖ FALÖWA... 81

5.1 Bölihae... 81

6.1.1 Gaya Bahasa... 86

5.2 Fangowai... 88

(10)

Tabel II Eksistensi Sinuno Falöwa Pada Kebudayaan Nias Utara di Kelurahan

Ilir... 98

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 99

6.1 Kesimpulan... 99

6.2 Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA... 102

DAFTAR INFORMAN... 106

DAFTAR ISTILAH NIAS... 108

(11)

ABSTRAK

Daniely Aroziduhu Daely, 2010. Sinunö Falöwa (Studi Deskriptif Mengenai Nyanyian Perkawinan Suku Bangsa Nias di Kota Gunung Sitoli). Terdiri dari 6 BAB, 111 halaman, daftar pustaka, daftar informan, daftar istilah Nias dan lampiran.

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Ilir, Kecamatan Gunung Sitoli, Kotamadya Gunung Sitoli, Sumatera Utara. Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana pelaksanaan nyanyian perkawinan (Sinunö Falöwa) pada masyarakat Nias yang berada di Kota Gunung Sitoli, apa saja yang menjadi tahap-tahap dalam pelaksanaan suatu perkawinan, juga cara dan waktu penggunaannya. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif.

Hasil dari penelitian ini adalah dapat diketahui bahwa terjadi perubahan dalam pengunaan Sinunö Falöwa oleh karena masuknya ajaran agama Kristen Protestan di Pulau Nias sekitar abad ke 19. Akulturasi budaya tidak bisa dihindarkan, kebudayaan-kebudayaan asing yang masuk secara perlahan mengubah cara kerja dan pola pikir masyarakat Nias dalam melakukan segala kegiatan yang berkenaan dengan religi/kepercayaan, kegiatan adat, dan kegiatan sehari-hari lainnya. Termasuk di dalamnya adalah pada suatu upacara perkawinan suku bangsa Nias. Selain itu budaya moderen yang serba instan membuat Sinunö Falöwa mengalami pengurangan dalam waktu pelaksanaannya.

Sekarang ini, kebudayaan Nias Utara baik itu fisiknya maupun penggunaannya sudah banyak yang hilang, tetapi Sinunö Falöwa merupakan sebagian dari kebudayaan Nias Utara yang masih hidup hingga saat ini. Kebutuhan akan pentingnya suatu nyanyian pada suatu upacara perkawinan membuat Sinunö Falöwa dapat bertahan.

(12)

ABSTRAK

Daniely Aroziduhu Daely, 2010. Sinunö Falöwa (Studi Deskriptif Mengenai Nyanyian Perkawinan Suku Bangsa Nias di Kota Gunung Sitoli). Terdiri dari 6 BAB, 111 halaman, daftar pustaka, daftar informan, daftar istilah Nias dan lampiran.

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Ilir, Kecamatan Gunung Sitoli, Kotamadya Gunung Sitoli, Sumatera Utara. Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana pelaksanaan nyanyian perkawinan (Sinunö Falöwa) pada masyarakat Nias yang berada di Kota Gunung Sitoli, apa saja yang menjadi tahap-tahap dalam pelaksanaan suatu perkawinan, juga cara dan waktu penggunaannya. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif.

Hasil dari penelitian ini adalah dapat diketahui bahwa terjadi perubahan dalam pengunaan Sinunö Falöwa oleh karena masuknya ajaran agama Kristen Protestan di Pulau Nias sekitar abad ke 19. Akulturasi budaya tidak bisa dihindarkan, kebudayaan-kebudayaan asing yang masuk secara perlahan mengubah cara kerja dan pola pikir masyarakat Nias dalam melakukan segala kegiatan yang berkenaan dengan religi/kepercayaan, kegiatan adat, dan kegiatan sehari-hari lainnya. Termasuk di dalamnya adalah pada suatu upacara perkawinan suku bangsa Nias. Selain itu budaya moderen yang serba instan membuat Sinunö Falöwa mengalami pengurangan dalam waktu pelaksanaannya.

Sekarang ini, kebudayaan Nias Utara baik itu fisiknya maupun penggunaannya sudah banyak yang hilang, tetapi Sinunö Falöwa merupakan sebagian dari kebudayaan Nias Utara yang masih hidup hingga saat ini. Kebutuhan akan pentingnya suatu nyanyian pada suatu upacara perkawinan membuat Sinunö Falöwa dapat bertahan.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Perkawinan merupakan salah satu tahap dalam sepanjang siklus hidup manusia atau dalam ilmu antropologi disebut dengan stage a long life cycle. Tahap-tahap yang ada di sepanjang hidup manusia seperti masa bayi, masa penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah menikah, masa tua dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1985:89). Perkawinan juga merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa kelompok masyarakat kesukuan perkawinan dianggap sebagai alat agar seorang mendapat status yang lebih diakui di tengah kelompoknya (Koentjaraningrat, 1988: 92).

(14)

Masyarakat Nias juga memiliki salah satu upacara adat yang menjadi ciri khasnya. Menurut konsep masyarakat Nias, perkawinan (Falőwa) pada dasarnya merupakan tanggung jawab orang tua untuk memilih teman hidup bagi anak laki-lakinya.¹

Upacara tentang perkawinan di Nias merupakan upacara terbesar dibanding upacara lainnya yang dijalani oleh seseorang sejak lahir sampai meninggal. Laki-laki dan perempuan mendapatkan keutuhannya sebagai manusia dalam perkawinan. Laki-laki yang belum kawin belum dapat diperhitungkan dalam sistem adat. Dalam perkawinan laki-laki dihubungkan dengan “pihak bawah (soroi tou)” atau hilir sungai, dan perempuan dihubungkan dengan “pihak atas (ngofi) atau hulu sungai” ². Pihak perempuan dihubungkan dengan dewasa dunia atas Tuhan (Lowalagi), sumber kehidupan, ulu (asal) atau uwu, atau baya (sumber), dan karena itu kemurnian perempuan sebagai sumber hidup sangat dihargai. Terdapat seperangkat sanksi dari hukum adat yang melindungi kemurnian perempuan.

---

1. Masyarakat Nias menganut garis keturunan pihak ayah (patrilineal), sehingga segenap garis keturunan ayah turut serta mencari calon istri dan juga membantu pembiayaan pesta perkawinan anak laki-laki mereka.

(15)

Laki-laki dihubungkan dengan “dewa dunia bawah (laturedanő)”, akhir dari kehidupan (dunia tanpa kehidupan). Laki-laki datang dari hilir menyongsong arus (manőső) untuk sampai pada hulu tempat dimana ada sumber hidup yaitu perempuan (Gulő. 1983: 30).

Pada upacara perkawinan ini di sertai dengan sinunő falőwa yang artinya adalah nyanyian pada waktu perkawinan. Nyanyian pada waktu perkawinan ini , terdiri dari tiga jenis, yakni: bőlihae, fangowai, dan hendri-hendri, ketiga jenis nyanyian ini biasanya didapati dalam setiap perkawinan di Nias bagian utara. Pengertian ketiga jenis nyanyian tersebut, dalam konteks kebudayaan Nias bagian utara adalah sebagai berikut :

(1) Bőlihae adalah nyanyian yang dibawakan disepanjang perjalanan saat pihak tome (keluarga pengantin pria) menuju desa atau rumah pihak keluarga sowatő (keluarga pengantin wanita). (2) Fangowai adalah ungkapan rasa hormat pihak

sowatő terhadap pihak tome, dan (3) Hendri-hendri adalah nyanyian pujian yang dinyanyikan saat penyampaian olola mbawi. Olola mbawi ini berisi ceritera tentang seorang pemuda yang mencari teman hidup atau istri.

(16)

Selain untuk acara pesta perkawinan, bőlihae, fangowai, dan hendri-henri juga dinyanyikan dalam pesta Owasa, yaitu pesta peningkatan derajat

(bosi) pada tradisi orang Nias. Owasa ini sendiri jarang sekali diadakan pada masa sekarang ini. Untuk melaksanakan acara ini harus melalui beberapa rangkaian acara sebelum mencapai acara puncak yakni owasa itu sendiri. Di samping memerlukan waktu yang cukup lama, owasa juga jelas menghabiskan banyak biaya.

Ketiga sinunő falőwa ini merupakan suatu nyanyian rakyat yang diaplikasikan pada suatu upacara perkawinan orang Nias. Kebutuhan akan pentingnya suatu nyanyian pada suatu perkawinan orang Nias membuat bőlihae, fangowai, dan hendri-hendri diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke

generasi hingga sekarang meskipun saat ini sinunő falőwa ini mengalami perubahan oleh kerena kebutuhan masing-masing orang yang mengunakannya. Akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi dari makna yang sesungguhnya.

Menurut Jan Harold Brunvand dalam buku James Danandjaja, nyanyian rakyat (Folksongs) adalah suatu genre atau folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, bentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian(James 1982: 141).

Bőlihae, fangowai, dan hendri-hendri ini merupakan sebahagian dari

(17)

mewarisi tradisi ini dengan baik (kurang minat generasi muda untuk mempelajarinya). Apabila mereka (para orang tua) nantinya telah tiada, maka kemungkinan besar “hilanglah” nyanyian tradisi ini. Tentu saja kita tidak menginginkan hal ini terjadi.

Keberadaan kota Gunung Sitoli sebagai kota terbesar di pulau Nias saat ini, membuat kota ini menjadi salah satu tujuan orang Nias yang selama ini tinggal di pelosok desa atau perkampungan di pulau Nias untuk pergi bermigrasi ke kota Gunung Sitoli, dengan harapan kota tersebut dapat memberikan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan tetap hidup menetap di pelosok desa atau perkampungan di pulau Nias.

Di samping itu karena kota ini memiliki daya tarik tersendiri sebagai kota terbesar di pulau Nias, membuat kota Gunung Sitoli memiliki penduduk yang beragam (heterogen). Hal ini ditandai dengan bayaknya orang-orang kota Gunung Sitoli yang tinggal menetap bukan hanya berasal dari Nias itu sendiri melainkan dari luar pulau Nias seperti orang Padang, Batak, Aceh dan orang-orang keturunan Tiong Hoa.

(18)

Minangkabau, Aceh dan bugis, sedangkan umat Budha adalah orang Nias keturunan Cina dan Cina Asing. (Koentjaraningrat 1988; 50)

Akibat dari beragamnya penduduk kota Gunung Sitoli baik dari agama maupun suku bangsanya mengakibatkan masyarakat Nias kota mengalami perubahan pandangan (mengerjakan yang praktis) dan itu dapat terjadi baik itu dalam kurun waktu cepat maupun lambat ketika mereka meninggalkan kampung halamannya.

Hal tersebut dapat terjadi karena mau tidak mau orang Nias dari desa-desa yang merantau ke kota Gunung Sitoli, akan mengalami proses adaptasi oleh karena pengaruh dari luar.

Pada umumnya dalam suatu proses adaptasi seorang individu yang memasuki suatu lingkungan yang baru maka dengan sendirinya individu tersebut menyesuaikan diri. Hal ini dilakukan agar setiap individu atau kelompok mengharapkan dapat diterima oleh masyarakat yang dimasukinya. Adaptasi ini perlu agar manusia itu dapat bertahan lama di lingkungan yang baru. Tetapi adakalanya budaya pendatang mempengaruhi budaya lokal sehingga terjadi suatu akulturasi.

(19)

adat perkawinan orang Nias. Yang menjadi salah satu perubahan perkawinan adat Nias adalah Sinunő Falőwa, yang semakin jarang dipakai sepenuhnya atau paling tidak Sinunő Falőwa mengalami pengurangan makna dan isinya. Praktisnya lebih disederhanakan. Dengan alasan inilah peneliti mencoba mengemukakan hal tersebut di atas menjadi penting untuk diteliti.

1.2 Perumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan musik Nias saat ini, khususnya pada nyanyian perkawinan (sinunő falőwa) pada suku Nias di kota Gunung Sitoli. Rumusan tersebut diuraikan dalam 3 (tiga) pertanyaan penelitian yaitu:

1. Bagaimana kedudukan Sinunő falőwa (nyanyian perkawinan) pada pesta adat perkawinan masyarakat Nias.

2. Apa saja pengaruh dari luar yang mengakibatkan perubahan yang dialami Sinunő Falőwa pada pesta perkawinan masyarakat Nias yang ada di kota Gunung Sitoli.

(20)

1.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Gunung Sitoli, pulau Nias , Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih karena di kota Gunung Sitoli merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki keberagaman suku etnis dan agama dan merupakan tempat tujuan berimigrasinya orang Nias pedalaman atau orang-orang desa di Nias yang mana mereka masih memakai budaya dan tradisi suku bangsa Nias khususnya pesta perkawinan adat Nias. Di kota Gunung Sitoli yang masyarakatnya lebih heterogen ketika berlangsung suatu upacara perkawinan terjadi perubahan makna dan isi dari nyanyian perkawinan (Sinunő

Falőwa) tersebut yang sebagai mana mestinya yang biasa di lakukan di desa-desa di Nias.

1.4 Tujuan dan Mamfaat Penelitian.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan Sinunő Falőwa (nyayian perkawinan) pada perkawinan suku bangsa Nias dan melihat bagaimana keberadaan budaya musik Nias, khususnya pada nyanyian perkawinan suku Nias yang sudah mengalami perubahan ketika adat perkawinan Nias tersebut dilakukan di kota Gunung Sitoli.

(21)

orang-orang muda Nias sebagai generasi penerus dalam hal perkembangan budaya Nias dan pelestariannya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Dalam buku Kamus Nias-Indonesia (Laiya dkk, 1985: 259), menulis bahwa arti kata sinunő adalah nyanyian dan falőwa artinya perkawinan. Dengan demikian Sinunő Falőwa artinya nyanyian pada pesta perkawinan. Nyanyian yang di maksud adalah musik vokal.

Musik vokal menitik beratkan pada medium suara manusia, yang dapat digunakan iringan alat musik tertentu maupun tidak. Dalam penyajian musik vokal dapat dinyanyikan oleh satu orang (solo), maupun dengan banyak orang seperti duet, trio, kuartet, dan koor.

Sinunő falőwa adalah nyanyian rakyat (folksongs) yang merupakan bagian dari folklor Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan bentuk-bentuk folklor lainnya, nyanyian rakyat berasal dari bermacam-macam sumber dan timbul dalam berbagai macam media. Sering sekali juga nyanyian rakyat ini kemudian dipinjam oleh penggubah nyanyian tradisional untuk di olah lebih lanjut menjadi nyanyian pop atau klasik (seriosa). Walaupun demikian, identitas folkloritasnya masih dapat kita kenali karena masih ada varian folklornya yang beredar dalam peredaran lisan (oral transmission). (James 1982: 141)

(22)

1. Folklor Lisan (verbal folklore), adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Dikatakan lisan karena penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain: a). Bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan, b). Ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo, c). Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki, d). Puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair, e). Cerita rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng dan f). Nyanyian rakyat.

2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya yang oleh orang-orang sekarang dikatakan “tahyul” yang terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib seperti kalung salib bagi orang Kristen Khatolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari gangguan roh jahat ditambah dengan benda material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri. Dan foklor yang tergolong dalam kelompok besar lainnya yaitu permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-iatiadat, upacara, pesta rakyat dan lain-lain.

(23)

Setiap suku bangsa biasanya mempunyai suatu istilah tertentu untuk menyebut musik vokal tradisi sukunya masing-masing. Demikian juga orang Nias, yang menyebut musik vokalnya dengan sinunő. Mengenai kesenian tradisional, adapun suatu kesenian, baik yang tumbuh dari rakyat itu sendiri atau pengaruh dari budaya lain, sehingga masyarakat itu telah mewarisinya secara turun-temurun dari nenek moyang mereka, dapat disebut kesenian tradisonal. Predikat tradisional bisa diartikan segala sesuatu yang sesuai tradisi, sesuai dengan kerangka, pola-pola bentuk maupun penerapan yang selalu berulang-ulang. (Sedywati, 1981: 48)

Sesuai dengan pendapat di atas kita dapat mengatakan bahwa musik vokal dapat disuarakan oleh satu orang atau lebih, baik dengan mengunakan iringan alat musik maupun hanya dengan suara manusia itu sendiri.

Sinunő Falőwa yang terdiri dari: Bőlihae, fangowai, dan hendri-hendri biasanya hadir dalam setiap acara pesta adat perkawinan di Nias bagian utara. Ketiga ajenis nyanyian ini memiliki melodi yang “tetap,” sedangkan teks lagu cenderung berubah. Misalnya saat menyampaikan sirih, maka teks lagu berisi syair mengenai pemberian sirih tersebut. Penyajian ketiga jenis musik vokal ini tidak diiringi oleh alat musik, jadi dapat dikatakan sebagai musi vokal “Murni”.

(24)

tulisan yang sama (sepanjang pengetahuan penulis), Kunst tidak menyinggung tentang hendri-hendri.

Pada saat Kunst ke Nias pada tahun 1930, beliau menulis tentang eksistensi nyanyian-nyanyian Nias utara sebagai berikut :

When I came to Nias in April 1930 with the object of studing the local music, I came practically too late. Most certainly in so as the northen part of the island is concerned. The old song were dead. The entire population had been converned to the Christian religion and the missionaris (of the Rheinische Mission) had seen fit to make the exclution of the Holy Communion the penalty for singing the old song and dancing the ancient dances.

Ketika saya berkunjung ke Nias bulan April 1930 untuk mempelajari musik setempat, praktis sudah terlambat. Secara umum meliputi bagian utara pulau ini. Lagu-lagu tua telah punah (mati). Masyarakat telah memeluk agama Kristen dan para missionaris (dari Rheinische Mission) menentukan pilihan pada agama dan menghukum orang yang menyayikan lagu tua atau menarikan tarian kuno (Terjemahan bebas).

Pendapat Kunst di atas barangkali hanya berdasarkan survei beliau selama berada di Nias dan bukan penelitian yang “mendalam”. Mengingat bahwa sekitar tahun 1930-an oleh para missionaris digalakkan penyebaran agama Kristen ke seluruh pelosok pulau Nias, maka wajar bila masyarakat mengatakan bahwa musik mereka telah “mati” (hilang) akibat pengaruh “fanatisme” terhadap agama baru (Kristen), di samping sanksi dari fihak gereja, misalnya mereka dikeluarkan dari kelompok/keanggotaan gereja.

(25)

tahun 1865, tepatnya di kota Gunung Sitoli³, yang dibawa oleh Denninger (seorang missionaris dari Jerman). Setelah itu, muncul Thomas dan Krämer pada tahun 1873 dan terakhir Dr. W. H. Sunderman tiba pada tahun 1876 (Zega, 1986 : 4). Thomas menerjemahkan beberapa buah buku ke dalam bahasa Nias, antara lain:

a) Woordebuk (kamus Nias-Melayu-Belanda).

b) Katechimus (tata ibadah Agama Kristen Protestan tulisan dari Martin Luther).

c) Bibelkunde (Alkitab)

d) Buku Zinunő (Buku nyanyian gereja).

(Zega,1986 : 4)

Buku Zinunő adalah buku nyanyian gereja berbahasa Belanda yang

sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Nias seperti halnya buku gereja-gereja Protestan lainnya. Pada Buku ini, terlihat percampuran antara musik barat yang berupa melodi, tangga nada, dan ritme lagu dengan tradisi Nias yang berupa syair lagu. Buku nyanyian ini biasanya dipergunakan pada setiap acara kebaktian gereja Nias maupun di rumah sebagai bagian dari ibadah Kristiani.

---

(26)

Pada kenyataannya, akibat dari masuknya agama Kristen ke Nias mengakibatkan terjadinya percampuran budaya religi agama Kristen ke dalam kebudayaan Nias atau disebut Akulturasi4

Salah satu yang nampak perubahannya adalah sinunő khő Lowalangi (Puji-pujian kepada Tuhan). Pada masa sebelum masuknya agama Kristen ke Nias sinunő khő Lowalangi ditujukan untuk pemujaan roh-roh nenek moyang yang di sembah dalam bentuk gowe, yaitu batu besar yang diukir mirip kepala manusia, juga penyembahan terhadap alam seperti matahari, langit, gunung atau pepohonan. Tetapi setelah masuknya agama Kristen ke Nias maka sinunő khő Lowalangi dialihkan tujuan penyembahannya, sehingga ditujukan kepada Yesus

Kristus (kepercayaan agama Kristen Protestan).

Salah satu fakta yang tampak yaitu terbitnya buku Zinunő yang hingga kini masih di pergunankan sebagai buku nyanyian untuk orang Nias yang beragama Kriten Protestan

Waruwu, E (1994: 11) mengatakan ; melihat situasi dan kondisi eksistensi kebudayaan Nias (musik) sekarang ini, maka kecendrungan untuk hilang tanpa sampai didokumentasikan, memang dapat terjadi kapan saja.

---

(27)

Tambahnya, dari pengamatannya, sebagian besar orang Nias sendiri khususnya kalangan generasi muda perantauan, sering memandang adat isitadat (dalam hal ini perkawinan) terlalu memberatkan; adat dianggap bertele-tele, melelahkan atau membuang-buang waktu saja. Sikap ini akhirnya dapat mengaburkan bentuk asli dari tradisi itu sendiri, karena semakin disederhanakan atau dipersingkat menurut selera masing-masing. Masyarakat pedesaan dimana seharusnya menjadi tempat hidup dan berkembangnya tradisi tersebut tidak dapat diharapkan mengambil peranan mereka untuk memikirkan kesinambungan tradisi tersebut. Faktor utama yang menjadi hambatan adalah kesulitan memberi pengertian kepada masyarakat Nias untuk apa memelihara tradisi.

Metodologi Penelitian

1.6.1 Tipe penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk mencapai sasaran yang dituju, yakni peguna

(28)

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

a. Teknik observasi

Teknik ini dilakukan dengan mengamati dan mencatat segala gejala yang diteliti yang berhubungan dengan pertanyaan penelitian. Teknik observasi yang dilakukan adalah observasi tanpa partisipasi5. Observasi tanpa partisipasi ini bertujuan untuk mengamati suatu proses upacara perkawinan (falőwa) orang Nias yang dilakukan di kota Gunung Sitoli. Tahap-tahap upacara perkawinan yang diamati seperti: a). Segala acara yang dilakukan sebelum upacara perkawinan berlangsung, b) Ketika upacara perkawinan berlangsung, dan c) Setelah upacara perkawinan selesai.

Pengamatan ini juga difokuskan kepada pelaku yang terlibat di dalam acara falőwa dari kedua belah pihak keluarga pengantin dengan mengamati apa saja yang mereka lakukan. Hasil pengamatan dituangkan ke dalam catatan pengamatan lapangan. Hal tersebut dapat memudahkan peneliti untuk membaca informasi yang sudah diberikan informan di lapangan.

---

(29)

b. Teknik Wawancara

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (depth interview) 6, dan dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara (interview guide) 7. Wawacara ditujukan kepada para informan. Informan dalam penelitian ini terdiri dari informan pokok atau informan kunci dan informan biasa. Informan pokok merupakan informan yang mempunyai keahlian mengenai suatu masalah yang ada dalam masyarakat tersebut dan yang menjadi perhatian penelitian seperti, kepala lingkungan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat. Sedangkan informan biasa adalah orang-orang yang memberikan informasi mengenai suatu masalah sesuai dengan pengetahuannya dan bukan merupakan ahlinya.

Informan biasa dalam penelitian ini adalah masyarakat Nias dan masyarakat pendatang yang tinggal di kota Gunung Sitoli. Pengambilan informan dilakukan dengan menggunakan cara purposive8. Maka di dapatilah yang akan di wawancarai adalah tokoh adat sekaligus dan tokoh agama yang tinggal di kelurahan Ilir, Kecamatan Gunung Sitoli

---

6. Wawancara mendalam (depth interview) yaitu penelitian kualitatif biasanya lebih sering mengunakan wawancara mendalam ketimbang wawancara terstruktur (mengunakan kuesioner) dalam proses pengumpulan data di lapangan.

7. Wawancara mendalam biasanya dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) sebagai panduan yaitu, berisi seperangkat pertanyaan terbuka sesuai dengan aspek-aspek yang ingin didapatkan informasinya.

(30)

Dalam melakukan wawancara, peneliti mengunakan metode wawancara yang ditawarkan oleh Koentjaraningrat (1991: 152) yakni wawancara yang dibantu dengan alat perekam yaitu (tape recorder). Alat bantu perekam ini merupakan alat bantu penelitian untuk merekam segala informasi saat mewawancarai informan. Peneliti sadar bahwa penelitian ini juga memiliki keterbatasan, namun dengan adanya tape recorder memudahkan merekam kembali percakapan di lapangan dengan informan dan juga merekam nyanyian yang dinyanyikan oleh informan dan beberapa orang yang terlibat dalam pesta perkawinan, pada saat berlangsungnya suatu perkawinan. Penelitian ini juga dibantu oleh kamera foto sebagai alat bantu untuk mendokumentasikan hal-hal yang ditemukan di lapangan yang juga berkaitan dengan masalah penelitian.

Wawancara terhadap informan kunci adalah untuk memperoleh informasi tentang; Rangkaian upacara adat perkawinan (falőwa) orang Nias bagian utara dari awal hingga akhir pesta, musik tradisional apa sapa saja yang digunakan untuk pesta perkawinan pada kebudayaan Nias dan cara penggunaannya, pembagian strata atau tingkatan keluarga di lingkungan masyarakat Nias. Dalam hal ini informan kunci adalah tokoh adat yang juga memiliki gelar salawa dan tokoh agama Di gereja BNKP (Gereja Suku Nias) yang tinggal di kota Gunung Sitoli.

(31)

Ilir, b) nyanyian perkawinan atau sinunő falőwa apa saja yang mereka ketahui dan, c) perubahan apa saja yang mereka ketahui tentang sinunő falőwa yang sekarang dipakai di upacara perkawinan di kota Gunung Sitoli.

c. Data Pendukung

Data pendukung dapat menyempurnakan hasil observasi dan wawancara seperti letak lokasi Gunung Sitoli dan batas-batas wilayahnya yang diperoleh dari lembaga-lembaga resmi seperti Kantor Desa, Kecamatan, dan dari hasil-hasil penelitian dan berbagai referensi yang relevan dengan permasalahan penelitian yang berupa : jurnal, surat kabar, buku-buku dan internet.

1.6 Teknik Analisis Data

(32)

BAB II

GAMBARAN MASYARAKAT KELURAHAN ILIR, KECAMATAN

GUNUNG SITOLI

2.1 Lokasi dan Letak Gunung Sitoli

Gunung Sitoli merupakan kota tertua dan terbesar yang ada di Kepulauan Nias. Setelah ditingkatkan statusnya dari Kecamatan menjadi Kota Otonom, kota ini yang dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 47 Tahun 2008 ini semakin mengalami pertubuhan di segala bidang. Perlahan namun pasti, geliat Kota Gunung Sitoli sebagai pintu gerbang Kepulauan Nias semakin dirasakan. Ibaratnya, ada idealisme dan semangat baru menuju arah kemajuan.

Berdasarkan catatan sejarah, Gunung Sitoli atau sering disebut Luaha sudah dikenal dan dikunjungi sejak abad ke 18. Posisi kota Luaha ini terletak pada muara sungai Nou atau pasar Gunung Sitoli saat ini. Dari keterangan bapak Faziduhu Telaumbanua nama kota Gunung Sitoli diberikan oleh para pedagang yang berasal dari Indocina daratan Asia. Kelak, para pedagang inilah yang disebut-sebut sebagai nenek moyang orang Nias. Namun tidak ada catatan sejarah yang memastikan kebenaran hal ini.

(33)

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sitolu Ori, Kabupaten Nias Utara. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Gido dan Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias. Sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Hiliduho, Kecamatan Alasa Talumuzoi, dan Kecamatan Namohalu Esiwa. Sementara sebelah Timur berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia.

Terdapat 6 Kecamatan, antara lain Gunung Sitoli dengan 31 desa, Gunung Sitoli Alo’oa, 10 desa, Gunung Sitoli Barat, 9 desa, Gunung Sitoli Idanoi, 26 desa, Gunung Sitoli Selatan, 15 desa, dan Gunung Sitoli Utara, 10 desa. Karena baru dimekarkan dan pemerintahan baru ada sejak Penjabat Wali Kota dilantik, tidak heran masih ada status desa di Kota Gunung Sitoli. Nantinya, secara bertahap statusnya diusulkan jadi Kelurahan. Saat ini baru ada 3 Kelurahan yang berdiam di bukit dekat rumah sakit umum Gunung Sitoli.

2.2 Sejarah Singkat Kelurahan

(34)

Menurut keterangan warga, pendiri desa ini adalah Tuada Balugu Lasoborombanua Telaumbanua. Tahun didirikan tidak diketahui dengan pasti, namun

diperkirakan sekitar awal abad 20) Pendiri desa ini adalah salah seorang putera dari Tuhenöri Onozitoli1

Lambat laun tanah ini berkembang menjadi desa tempat pemukiman penduduk. Penghuni desa ini semakin ramai baik itu keturunan dari pendiri desa,

. Menurut kebiasaan di masa lampau, seorang putera bangsawan yang baru berkeluarga biasanya akan berdiri sendiri dengan penguasahakan tanah pemberian orangtuanya.

Tanah yang masih berbentuk hutan belukar inilah yang akan diusahakan sebaik mungkin untuk tempat tinggal dan lahan pertanian yang sedapat mungkin memberikan hasil yang diharapkan untuk kehidupan keluarga yang baru.

2

1

Nias dulunya dibagi dalam beberapa Ori, yakni suatu wilayah pemerintahan yang membawahi beberapa desa. Salah satu ori tersebut adalah ori Onozitoli yang sekarang disebut sebagai kota Gunungsitoli. Kepala pemerintahan ori di sebut Tuhenori.

2

Pendiri desa dan keturunannya dengan sendirinya akan menjadi sanaru mbanua (pendiri desa) di desa tersebut yang berhak menentukan segala sesuatu mengenai wilayahnya, baik ke dalam maupun ke luar. Adapaun penduduk diluar keturunan dari pendiri desa, dianggap sebagai pendatang (sifatewu) yang tunduk kepada pendiri desa tersebut.

(35)

namun di masa sekarang sesudah sistem pemerintahan berubah, hal ini jarang terjadi, walaupun belum hilang sama sekali.

2.3. Stratifikasi Sosial

Masyarakat di Nias mengenal pembagian derajat kepemimpinan dalam masyarakat. Pembagian sitem derajat ini dapat kita lihat dan segi pemerintahan dan dan sistem penggolongan derarajat manusia yang disebut bosi.

Dalam sistem pemerintahan menurut tradisi di Nias Utara, seperti yang dideskripsikan oleh Zebua (1984: 62-64) dikenal pembagian jabatan sebagai berikut: 1. Tuhenöri, Tuhe artinya tunggul. Nöri atau ori artinya kumpulan dari beberapa

banua. Tuhenöri dipilih dan antara pemimpin banua (sa1awa).

2. Salawa artinya “yang tinggi”. Seorang salawa memimpin satu wilayah yang disebut banua (desa tradisional Nias).

Jabatan ini mempunyai beberapa pengertian yakni: (1) Fa’atulö (adil)

(2) Fa’atua - tua (bijakana)

(3) Fa’abälö (kuat jasmani dan rohani)

(4) Fokhö (kaya atau mampu dalam arti memiliki harta benda) (5) Salawa Sofu (berwibawa)

(36)

(1) Tambalina (wakil ini atau orang kedua) (2) Fahandrona (orang ketiga)

(3) Sidaöfa (orang keempat)

Untuk lebih Jelasnya melihat struktur Jabatan menurut adat Nias lihat bagan 1

Bagan 1

TUHENÖRI

SALAWA

SATUA MBANUA

TAMBALINA FAHANDRONA SIDAÖFA

(37)

tradisi ini masih membekas dalam suasana pemerintahan desa pada masa sekarang. Seseorang yang diangkat menjadi Salawa famareta (Salawa dalam arti kepala desa) barangkali akan menghadapi kesulitan saat menjalankan tugasnya bila salawa famareta tersebut belum mengadakan pesta bagi penduduk desa. Dalam alam pikiran

orang desa, figur seseorang yang dihormati, ditakuti dan berderajat tinggi hanyalah mereka yang sudah melakukan kewajiban adat dalam arti melaksanakan beberapa tahapan pesta sepanjang hidupnya hingga mencapai derajat tertentu.

Golongan orang yang termasuk dalam susunan pemerintahan desa ini selalu mendapat perlakuan istimewa. Orang lain tidak dapat berbicara dengan tidak sopan; selalu dihormati selalu diundang dan hadir dalam pesta adat seperti; perkawinan, kematian dan sebagainya dan mereka yang memutuskan hal-hal penting dalam desa.

2.4. Pembagian Tingkat-tingkat Kehidupan Manusia Menurut Adat Nias Utara

Sistem pengolongan derajat manusia berdasarkan tingkat-tingkat kehidupan dari janin sampai kehidupan akhirat pada orang Nias Utara di sebut bosi. Pengertian bosi dapat digambarkan seperti anak tangga yang bergerak dan anak tangga pertama

hingga anak tangga kedua belas sehingga dengan demikian derajat manusia dibagi menjadi dua belas tingkat yang berbeda. Sistem pembagian tingkatan atau derajat manusia ini dijiwai oleh kepercayaan suku Nias pra Kristen yang disebut Sanőmba Adu. Dalam konteks kepercayaan ini bosi nantinya mengarahkan manusia untuk

(38)

dibedakan atas dua belas tingkat yang berbeda itu, adalah sebagai berikut: fangaruwusi, tumbu, famatörö döi, famoto, falöwa, famadadao omo, fa aniha

mbanua, famaoli, fangai töi, fa’amakhö, mame’e gö mbanua, dan mame’e gö nöri.

2.4.1. Bosi I: Fangaruwui (memperlihatkan kandungan)

Ibu yang sedang hamil akan diperiksa oleh solomö (dukun bersalin) untuk menentukan usia kandungan sudah berusia tiga sampai lima bulan orang tua akan berkunjung ke rumah mertuanya (orang tua istri) yang disebut sebagai uwu3

3

Perkawinan dengan sendirinya akan menimbulkan hubungan kekerabatan dimana setiap menantu pria akan menyapa orang tua istrinya (mertuanya) dengan sebutan uwu yang artinya paman. Sedangkan mertuanya akan menyapa menantunya dengan istilah umönö yang artinya menantu.

.Tujuan kedatangan ini adalah untuk memohon berkat agar anak yang masih dalam kandungan tersebut kelak akan lahir dengan selamat dan sehat. Pada acara ini diadakan jamuan akan dengan memotong seekor anak babi.

(39)

Selama ibu mengandung kandungan harus dijaga dari akibat-akibat buruk. Orang tua sedapat mungkin menghindari apa yang disebut sebagai amonita. Amonita adalah tabu atau pantangan yang tidak boleh dilanggar, sebab apabila dilanggar dapat menimbulkan akibat yang tidak baik pada sifat-sifat dan perilaku si anak nantinya setelah ia lahir. Pantangan tersebut antara lain tidak boleh membunuh binatang seperti ular, monyek, babi, tidak boleh berjalan di tempat bekas pembunuhan, tidak boleh duduk di depan pintu dan pantangan lainnya (Suzuki, 1959: 78). Salah satu contoh apabila orang tua membunuh seekor-monyet saat sedang terjadi kehamilan maka bila anaknya lahir, sifat-sifat anak itu akan mirip dengan monyet; tidak dapat bicara, dan bertingkah laku seperti monyet.

(40)

Usia kehamilan biasanya di rahasiakan. Tujuannya adalah menghindari niat jahat orang lain yang ingin mencelakan kandungan tersebut melalui perantaraan dukun. Keseluruhan usaha melindungi ibu yang sedang hamil jelas merupakan upaya menyelamatkan bayi dalam kandungan dan melindungi ibu hamil yang memang kondisi fisiknya tidak begitu kuat. Upaya pencegahan dilakukan dengan menghindari beberapa pantangan dan larangan seperti yang sudah disebutkan diatas.

2.4.2. Bosi II : Tumbu (lahir)

Apabila usia kandungan sudah cukup tua, solomö dipanggil untuk membantu persalinan. Peran solomö pada masa sekarang digantikan oleh bidan, khususnya di desa-desa yang dekat dengan puskesmas. Bila anak lahir dengan selamat, orang tua akan mengadakan acara lasasai danga solomö (mencuci tangan solomö). Acara ini merupakan ungkapan rasa terima kasih atas pertolongan solomö yang sudah menolong kelahiran anak mereka. Pada saat ini orang tua akan memberikan 1 (satu) pau emas (1 pau = 10 gram), kain sarung dan kain selendang. Solomö kemudian

memberkati ibu dan anak dengan memercikkan air. Ia kemudian mendoakan agar ibu dan anak supaya sehat dan terhindar dari penyakit.

2.4.3. Bosi III : Famatoro Doi (memberi nama)

(41)

masing-msing dipotong dan dimasak seekor babi4

Setelah pemberian nama dilakukan, orang tua akan membawa anak tadi ke rumah uwu (mertua atau orang tua istri) untuk melaksanakan acara molöwö. Molöwö artinya membungkus nasi dan daging babi rebus dengan daun pisang. Selain bungkusan tadi, orang tua juga menyerahkan ömö ndraono (ömö berarti utang, ndraono berarti anak-anak). Untuk anak laki-laki pertama orang tua menyerahkan 1

dan emas satu pau (dibagi tiga). Babi dan emas ini merupakan bentuk penghormatan yang resmi secara adat.

Pada masa lampau nama anak diberikan oleh salawa atau salah seorang dari tokoh adat, namun dimasa sekarang nama anak ditentukan oleh orang tuanya.

Pemberian nama di hadapan tokoh-tokoh adat, dan orang sedesa menunjukkan bahwa nama anak tersebut sah dan resmi menurut adat. Siapapun yang kelak mempermainkan atau menghina anak tersebut melalui namanya, akan diberikan sanksi hukum sesuai dengan berat pelanggaran yang dilakukan. Misalnya apabila penghinaan dilakukan oleh satu orang akan didenda sekitar 10 floring (1 floring sama dengan Rp. 5.000,- maka 10 floring sama dengan Rp. 50.000,-). Jika penghinaan dilakukan oleh sekelompok masyarakat dari desa lain, maka perang antar desa bisa saja terjadi. Tentang syarat-syarat sanksi pelanggaran ini akan ditentukan oleh rapat adat (orahua). Berdasarkan hal ini akan sangat jelas bahwa nama seseorang mempunyai arti yang sangat penting bagi dirinya sendiri, keluarga serumpun, dan komunitas masyarakatnya.

4

(42)

(satu) pau (10 gram) emas, untuk anak perempuan pertama ½ (setengah) pau emas, sedangkan untuk anak-anak yang lahir kemudian, besar pemberian dapat dikurangi (Gulo, 1983;192). Selain emas, orang tua juga menyediakan 5 (lima) keping uang perak untuk tefetefe idanö (pemberkatan dengan air).

Setelah uwu menerima bungkusan dan ömö ndraono, uwu akan memberkati si anak dengan air. Uang perak yang dibawa oleh orang tua si anak tadi dimasukkan ke dalam piring yang berisi air dan daun zini-zini (sejenis tumbuhan cocor bebek). Uwu kemudian mengucapkan berkat dan berdoa untuk keselamatan orang tua dan anaknya, lalu memercikkan air dari atas piring dengan mempergunakan daun zini-zini tadi. Bila keluarga yang molöwö tadi hendak kembali kerumah, uwu akan memberikan seekor babi atau ayam dan untuk si anak akan dihadiahkan emas sekedarnya yang dulu di sebut löfö nono (löfö berarti rejeki dan nono berarti anak). Di daerah Nias bagian Timur, uwu juga memberikan periuk tanah liat berisi beras dan sebutir telor ayam dan ditutup dengan daun pisang. Acara ini disebut fangandrö bowoa (memohon periuk). Setelah tiba di rumah, jari si anak akan ditusukkan menembus tutup periuk, kemudian isinya dimasak untuk ibunya, dengan tujuan si anak kelak murah rejeki (Gulö,1983: 192).

2.4.4. Bosi IV : Famoto (sirkumsisi)

(43)

dengan anak perempuan. Bosi yang ke empat ini jelas menunjukkan hak istimewa yang menjadi milik anak laki-laki. Sunat ini sendiri bagi orang Nias merupakan hal penting dan telah ada sebelum kekristenan di kenal di sana. Sunat menjadi alat famago mbawa (penutup mulut). Artinya seseorang yang belum disunat tidak dapat

memberikan pendapat atau berbicara dalam kegiatan adat sebab mulutnya “masih tertutup”. Meskipun mayoritas orang Nias tidak lagi menganut religi suku pada masa sekarang ini, namun kegiatan sunat di Nias, khususnya di Nias Utara masih tetap dilakukan. Sunat pada masa sekarang sudah dilakukan secara modern dengan menggunakan jasa paramedis (dokter atau perawat) di rumah sakit. Kegiatan sunat ini dilakukan berdasarkan faktor kebiasaan saja. Seorang anak yang belum disunat akan menjadi bahan olok-olok bagi teman-temannya, sehingga orang tua secara sadar akan menyunat anaknya untuk mencegah olok-olok tadi di samping faktor kebiasaan yang sudah berlangsung turun temurun. Menurut bapak Yulius Laoli/Ama Yuliama (petugas gereja BNKP) fihak gereja dalam hal ini tidak melarang dan juga tidak menganjurkan sunat.

Penyunatan terhadap anak laki-laki biasanya dilakukan pada usia 8-10 tahun. Sunat dalam bahasa Nias di sebut laboto yang artinya dibelah. Proses penyunatan dilakukan dengan cara membelah kulit penis dan bukan memotong kulit penis seperti halnya sunat yang dilakukan pada masa sekarang ini.

Di masa lampau sunat dilakukan oleh ere (lima dalam kepercayaan Nias Sanömba Adu). Sebelum melakukan penyunatan, ere membuat adu (patung)

(44)

faso (alat pengganjal dari kayu aren, menyerupai pasak kira-kira sebesar jari

telunjuk). Setelah pisau diasah sampai / tajam pisau tersebut direndam di dalam air berisi daun zini-zini agar pisau menjadi dingin saat digunakan. Ere yang dibantu oleh dua orang pembantunya akan mengalihkan perhatian si anak dengan berceritera yang lucu-lucu. Saat sunat hendak dilakukan, Ere berpura-pura mengatakan bahwa ia hendak membuat garis untuk menentukan bagian yang akan disunat. Saat si anak lengah, ere bukannya membuat garis namun tiba-tiba mengiriskan pisau dengan kuat. Kulit penispun terbelah dan luka ini akan diobati dengan ramuan tumbuh-tumbuhan sampai luka sembuh.

Sunat sebagai salah satu syarat inisiasi dalam proses untuk menuju kedewasaan secara adat. Disamping sunat masih ada syarat lain yakni pemotongan gigi (lahozi).Pemotongan gigi ini berlaku bagi anak laki-laki dan anak perempuan yang berusia 12-15 tahun (Suzuki 1959; 82). Walaupun tradisi pemotongan gigi ini tidak pernah lagi kedengaran di Nias pada masa sekarang.

2.4.5. Bosi V : Falöwa (Perkawinan)

(45)

tersingkir dari lingkungan adat, bahkan orang tua bisa saja menyatakan putus hubungan sebagai anak bila anaknya tersebut kawin tanpa restu orang tua.

Untuk menentukan jodoh, orang tua terlebih dahulu melihat beberapa kriteria seperti derajat orang tua si gadis, kecantikan, perilaku si gadis dan tingkat pendidikan pada masa sekarang. Biasanya orang tua akan memilih calon dari keluarga yang setaraf dengan derajat (bosi) mereka. Hal ini sudah menjadi kebiasaan disamping memperkecil faktor penolakan.5

5

Walaupun lamaran diterima, tetapi penolakan secara halus dapat dilakukan oleh fihak wanita dengan meminta mas kawin (bowo) tinggi, yang tidak mungkin disanggupi oleh fihak laki-laki.

(46)

2.4.6. Bosi VI : Famadadao Omo (Membangun rumah)

Seorang anak laki-laki yang telah berkeluarga tidak dapat terus-menerus menetap di rumah orang tuanya. Untuk itu ia harus berusaha untuk memiliki rumah sendiri. Rumah dapat dibangun di dekat rumah orang tua atau di tempat lain yang jauh dari rumah orang tua. Dimasa lampau pada saat tanah masih cukup luas dengan penduduk sedikit, keluarga baru lebih suka membangun rumah di lokasi baru. Bila mereka termasuk keturunan bangsawan, maka pada saat mereka memasuki rumah baru mereka akan diiringi beberapa orang pembantu dan membawa alat-alat pertanian.

Ketika membangun rumah beberapa hal mesti diperhatikan. Ukuran panjang dan lebar menggunakan bilangan ganjil 5,7, atau 9, sebab menurut kepercayaan ukuran dengan bilangan ganjil ini akan membuat rumah menjadi kuat, dapat menolak ilmu hitam, menolak sial, dan menolak penyakit. Pintu rumah mesti menghadap ke arah matahari terbit. Hal ini dipercaya sebagai sumber berkat dari matahari. Matahari dalam bahasa Nias disebut luo. Dahulu orang Nias menyembah Luobalangi atau lowalangi adalah pencipta dan sumber kehidupan, itulah sebabnya pintu rumah

biasanya menghadap ke sebelah timur dengan harapan agar rumah tersebut dapat mendatangkan rejeki dan keberuntungan.

Setelah rumah selesai dibangun, pemilik rumah mengadakan acara lafofanö tuka (melepas tukang). Kepada tukang diberikan satu ekor babi dan satu balaki emas

(47)

balö zinali (pemegang ujung tali pengukur) diberikan satu ringgit; kepada penduduk

desa (banua) diberikan satu balaki emas yang diterima oleh salah seorang pengetua adat. Ini adalah prosedur yang berlaku dimasa lampau, sementara dimasa sekarang pembayaran di atas dapat digantikan dengan uang tunai (rupiah).

2.4.7. Bosi VII : Fa’aniha banua (memasuki persekutuan desa)

Bila rumah telah selesai didirikan, pemilik rumah beberapa waktu kemudian mengadakan jamuan makan kepada penduduk desa sebagai syarat agar dapat diterima secara resmi6

2.4.8. Bosi VIII : Famaoli (menjadi anggota adat)

sebagai anggota masyarakat desa (naha mbanua).

Untuk memasuki kelompok pengetua adat, yakni kelompok elit dalam masyarakat desa, seseorang harus memenuhi syarat antara lain harus keturunan bangsawan, pandai bicara dan berharta. Bila syarat ini telah terpenuhi, maka diadakan musyawarah oleh para pengetua adat untuk menentukan dapat diterima atau tidak. Bila seseorang diterima, maka ia harus mempelajari adat istiadat, yang meliputi hukum adat, bahasa adat dan kesenian. Dalam hal ini kesenian yang harus dikuasai antara lain adalah : hendri-hendri, fangowai dan bölihae. Semakin banyak cabang-cabang kesenian yang dapat dikuasai, maka semakin besar pula kemungkinan orang tersebut diterima sebagai anggota kelompok adat.

6

(48)

2.4.9. Bosi IX : Fangai toi (mengambil gelar)

Status sosial yang dianggap tinggi di dalam desa adalah orang-orang yang memakai gelar salawa, balugu dan tuha. Dan untuk memakai gelar salawa biasanya mengorbankan sekitar 50 ekor babi, untuk balugu mengorbankan sekitar 100 ekor, dan untuk tuha mengorbankan sekitar 200 ekor, dengan berat minimal sekitar 50 kg per ekor.

(49)

2.4.10. Bosi X : Fa’amokhö (kekayaan)

Sebagai bukti seseorang itu benar-benar kaya, ia akan memamerkan semua harta bendanya (seolah-olah menjemur di panas matahari) berupa perhiasan emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Dengan demikian ia akan mendapat pujian dan rasa kagum dan mungkin juga rasa iri dari orang-orang sedesanya.

Pada saat seperti ini biasanya juga masyarakat diundang untuk menyaksikan pameran harta benda tersebut. Dengan kesaksian dari orang yang diundang, secara otomatis status orang tersebut akan naik di mata masyarakat.

2.4.11.Bosi XI : Mame’e gö banua (menjamu orang sedesa)

Seseorang yang benar-benar kaya akan mengadakan acara ini, yaitu menjamu makan semua penduduk desa untuk mengukuhkan dan menaikan statusnya lebih tinggi lagi. Semakin banyak orang yang diundang dan diberi makan, semakin tinggi pula status orang tersebut.

2.4.12. Bosi XII : Mame’e gö nöri (menjamu orang satu öri)

Pada masa lampau beberapa banua dapat menggabungkan diri menjadi satu bentuk pemerintahan yang lebih luas yang disebut öri. Pemimpin öri disebut Tuhenöri (tuhe artinya tunggul kayu yang kokoh) yang dipilih di antara

(50)

Dari status-status yang telah disebutkan di atas, maka tuhenöri adalah merupakan status tertinggi yang dimiliki oleh seseorang di lingkungan masyarakat sekitarnya. Boleh dikatakan hanya orang-orang tertentu yang dapat menjadi tuhenöri, yaitu telah memenuhi dua belas tingkatan atau bosi seperti telah dijelaskan di atas.

Dengan masuknya kekristenan di Nias tahun 1865 melalui missionaris Jerman (lihat halaman 48), maka lambat laun penduduk mulai meninggalkan kepercayaan sukunya dan beralih ke agama Kristen.

Agama Kristen mengajarkan bahwa manusia di hadapan lowalangi (Tuhan) sama derajatnya, sedangkan dalam agama suku tidak demikian halnya. Secara bertahap konsep bosi ini mulai ditinggalkan oleh penganut agama Kristen. Pada masa kini semua orang dianggap/temasuk golongan orang biasa dengan bosi VII (niha mbanua). Hal ini disebabkan bukan hanya akibat peralihan agama penduduk, namun

faktor lain juga turut menentukan, antara lain sistem pemerintahan, kemajuan zaman dan semakin terbukanya jalur komunikasi dari dan ke Pulau Nias, yang memungkinkan pendudukan pulau Nias dapat berhubungan dengan penduduk di luar pulau Nias.

2.5. Sistem Religi

2.5.1 Sebelum Kekristenan

Masyarakat Nias memiliki kepercayaan suku yang disebut Sanömba Adu. Sanömba berarti menyembah, dan Adu adalah patung ukiran yang terbuat dari kayu

(51)

di osali börönadu7

Pada masa lampau adu selalu dibuat untuk kejadian penting, misalnya saat mendirikan rumah, anak lahir, sunat, perkawinan, kematian dan sebagainya. Adu untuk rumah dibuat agar rumah tersebut kuat, membawa keberuntungan dan kesehatan; adu untuk anak lahir dibuat agar anak tersebut dilindungi oleh dewa dan roh nenek moyang dari penyakit dan marabahaya; adu saat sunat dibuat agar anak tersebut dapat memasuki masa dewasa dengan baik, orang tua dan persekutuan banua; adu saat perkawinan dibuat dengan tujuan pengantin kelak mejadi keluarga

yang baik, memiliki keturunan dan murah rezeki; saat kematian seorang bangsawan dibuat sebuah adu dan disamping itu beberapa orang budak sengaja dibunuh dan dikubur bersama-sama dengan orang mati yang menurut kepercayaan, budak-budak ini nantinya akan melayaninya di dunia lain seperti halnya ketika masih hidup di dunia

yaitu bangunan sebagai tempat ibadah agama Sanömba Adu. Biasanya osali ini ditempatkan di dekat omo hada (rumah adat besar).

8

Pembuatan sebuah adu tidak dapat dilepaskan dari campur tangan ere yakni imam agama sanömba adu. Ere merupakan orang yang bertugas menempatkan roh tertentu ke dalam patung adu, yang walaupun tidak kelihatan dengan mata biasa, dipercaya dapat menjadi roh pelindung. Bila sebuah adu telah selesai diukir, misalnya adu zatua (adu untuk roh orang tua) maka ere memanggil roh orang tua tersebut

.

7

Setelah munculnya kekristenan, osali telah berubah arti sebagai gedung gereja, yakni gedung tempat beribadah bagi umat kristiani.

8

(52)

melalui upacara retual (disebut fo’ere) dengan mantra-mantra yang dinyanyikan sambil memukul fondrahi (gendang satu sisi).

Ere menjadi orang penting dalam setiap kegiatan keagamaan baik secara

umum, maupun kegiatan keagamaan secara pribadi. Ia menjadi penghubung antara manusia dan alam gaib (Laiya, 1979; 28), penyampai persembahan, pemberkat dan pengutuk, peramal dan tukang obat. Kemampuan ini diperoleh bukan melalui kursus formil. Menurut Pieper dalam tulisan Bamböwö laiya (Laiya, 1979; 29) sebelum memulai jabatan sebagai ere, ia akan lari ke dalam hutan dan bertingkah laku seperti orang gila. Setelah empat atau lima hari di hutan maka dia akan kembali ke desa lalu mengumumkan tabu, meramal, dan menyembuhkan penyakit.

Menurut mitos9

Teks hoho:

orang Nias di bagian utara mengenai Luo Walangi sebagai pencipta. Luo walangi menciptakan bumi dari adukan angin dan taufan (Zebua, 1984; 56). Adukan inilah yang kemudian berubah menjadi bola bumi. Pada bumi ini kemudian diciptakan pohon tora’a (semacam pohon kehidupan). Syair hoho yakni salah satu musik vokal di Nias (ibid) menyebutkan:

Artinya: Maoso luo walangi sokhö

maoso luo walangi so’aya ifowa’a ba guli danö ölia ifalandru ba guli ndrao naya-naya döla dora’a tora’i dila dora’a tanömö zoya mowa’a hulö rumi zatara molandru

Bangkitlah luo walangi sokho bangitlah luo walangi so’aya diberinya berakar didalam semesta diberinya berkecambah di atas tanah pohon döra’i töra’a phon tora’a sumber yang banyak berakar bagaikan

9

(53)

mofalaölwa alau lehe sofanikha-nikha alau mbulu sogala-gala

benang sutra berkecambah bagaikan jarum muncullah pucuk yang berminyak muncullah daun yang melebar

Syair di atas mengungkapkan sebagian dari proses penciptaan pohon tora’a. Dari kuncup pohon inilah luo walangi menciptakan makhluk halus, manusia, dan dewa-dewa. Adapun manusia pertama yang merupakan nenek moyang manusia sekarang ini adalah Sihai Silo Uwu-uwu atau Sihai Silo Ama-ama dan Sibolowua atau Buruti. Pasangan manusia inilah yang dapat diartikan sebagai tanah manusia artinya

bumi yang menjadi pemukiman manusia.

Dalam kepercayaan Sanömba Adu dikenal beberapa dewa. Adapun dewa-dewa penting bagi penganut agama sanomba adu adalah sebagai berikut:

2.5.1.1. Luo Walangi

Merupakan dewa maha pencipta alam semesta, kemudian dipakai untuk menggantikan nama Tuhan dalam agama Kristen. Istilah Lowalangi dipakai hingga sekarang di seluruh Nias, meskipun di daerah Nias Selatan dulunya pencipta adalah Inada Samihara Luwo menurut catatan Suzuki. Luo Walangi dipersonifikasikan

(54)

sebelah timur dan akan menerangi rumah. Sinar matahari inilah yang kemudian mendatangkan rejeki atau berkat bagi penghuni rumah tersebut.

2.5.1.2. Lature Sobawi Sihono

Dewa ini merupakan pemilik atau penguasa ”babi”. Yang dimaksud dengan babi disini adalah manusia, sehingga bila ia ingin memakan daging ”babi” maka ia akan membunuh ”babinya” tersebut. Laiya menulis:

Orang Nias mempercayai bahwa manusia itu hanyalah sebagai ciptaan biasa dari dewa-dewa, sebagian dari ciptaan lainnya. Manusia adalah babi dewa-dewa (illah). Bila dewa berselera memakan daging babi (dalam hal ini babi adalah manusia) maka secara bebas dewa mengambil dan membunuh satu atau lebih babinya. Oleh karena itu, maka babi merupakan unsur penting dalam kebudayaan Nias (Laiya, Op. Cit. 25).

Kepercayaan ini kemudian menimbulkan ketakutan pada manusia, sehingga manusia sebagai ”babinya” dewa, akan mempersembahkan babi yang sesungguhnya sebagai gantinya. Oleh karena dewa lature sobawi sihono merupakan ”pemilik babi”, maka kadang-kadang orang tua bila menegur anaknya akan mengatakan: ”Böi faudu, mofönu dania sobawi” (Jangan bertengkar, pemilik babi nanti marah).

2.5.1.3. Uwu Gere

Uwu gere merupakan dewa pelindung dan penguasa para Ere yaitu imam

(55)

2.5.1.4. Uwu Wakhe

Uwu wakhe adalah dewa penguasa tanam-tanaman, khususnya padi. Dahulu

dewa ini disembah dengan tujuan memperoleh pemberkatan pada tanaman padi. Pada saat panen tiba, hasil tuaian yang terbaik akan dipersembahkan kepada dewa uwu wakhe sebagai ucapan terima kasih sekaligus mengharap hasil yang baik untuk panen

yang akan datang.

2.5.1.5. Gözö Tuha Zangaröfa

Gözö merupakan salah seorang putera Sirao Simeziwa Tuha yakni salah

seorang nenek moyang orang Nias yang menurut kepercayaan diturunkan dari langit ke Gomo (kecamatan Gomo sekarang). Gözö dipercaya sebagai dewa penguasa air dengan nama Gözö Tuha Banidanö atau Laowö Dödö Nidanö. Kaum nelayan dan masyarakat yang bermukim di tepi laut atau pinggir sungai percaya bahwa dewa ini dapat memberi rejeki dari isi laut yaitu berjenis-jenis ikan yang menjadi konsumsi penduduk, sebagai salah satu sumber bahan makanan yang penting.

Disamping dewa-dewa tersebut di atas, orang Nias juga percaya bahwa roh manusia tidak mati, namun berubah dalam bentuk lain yaitu bekhu dan matiana. Bekhu adalah roh orang mati biasa dan matiana adalah roh wanita yang mati ketika

(56)

air (idanö gumbu), penduduk percaya bahwa matiana telah memakan daging udang tersebut.

Bermacam-macam ciptaan dan makhluk yang dipersonifikasikan lalu disembah oleh orang Nias. Ciptaan (benda-benda alam) dan makhluk tersebut antara lain: matahari, bulan, pohon-pohon besar, buaya, cecak, dan sebagainya. Menurut Laiya, sistem religi sanömba adu bukan hanya politeistis (menyembah banyak dewa) namun juga animistis (menyembah benda-benda alam).

Dalam alam pikiran orang Nias jaman dulu, banua merupakan keseluruhan alam semesta. Banua dapat berarti langit, sorga, dunia dan seluruh alam semesta. Banua menjadi tempat bemukim manusia dan dewa-dewa menempati alam yang

tidak nyata. Setelah manusia mati, ia akan menuju dunia atau alam yang tidak nyata tadi. Bila semasa hidupnya manusia memiliki derajat (bosi) tinggi maka derajat tadi tetap berlaku di alam yang tidak kelihatan. Berdasarkan hal ini manusia berusaha mencapai gelar setinggi mungkin melalui beberapa tahapan pesta sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu. Untuk mengadakan pesta ini harus dengan kerja keras mengumpulkan biaya keperluan pesta selama bertahun-tahun.

(57)

Kenyataan menunjukkan bahwa secara ekonomis, penduduk Nias tidak menunjukan kemajuan berarti hingga saat ini.10

Walaupun mayoritas orang Nias telah beralih agama, namun beberapa kepercayaan lama tidaklah hilang seluruhnya. Sebagian penduduk masih percaya pada dukun terutama untuk jenis penyakit yang tidak dapat sembuh secara medis, masih mempercayai bekhu (hantu), matiana dan masih menggunakan jimat-jimat penangkal ilmu hitam. Kejadian alam seperti hujan sesaat di tengah hari (teu soloi-loi)11

10

Sebagai contoh, Nias pada than 50-an mengirim beras ke Sibolga. Sedangkan akhir 70-an keadaan menjadi terbalik (Nias mendatangkan beras dari Sibolga). Demikian pula halnya dengan urbanisasi (khususnya 3 tahun terakhir) mulai terjadi dari Nias ke berbagai tempat lain seperti Sibolga, Medan Jakarta dan lain-lain. Hal ini adalah akibat kesulitan ekonomi di daerah asal disamping untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik di tempat tujuan.

11

Ketika penulis sedang di rumah salah seorang penduduk, hujan gerimis turun selama 10 menit. Waktu itu hari cerah. Seorang ibu langsung berkata sambil tertawa: ”Ah, pasti ada orang yang mohoro. Sore harinya (mungkin kebetulan) penulis mendengar ada orang yang hamil di luar nikah, dua desa di atas kelurahan Ilir.

dipercaya sebagai tanda ada wanita hamil diluar nikah (mohorö atau berzinah), burung hantu yang berbunyi di malam hari dipercaya sebagai pesan kematian atau penyakit, burung towi-towi (kepodang) yang berkicau di di dekat rumah dipercaya sebagai pembawa kabar gembira, bila kupu-kupu memasuki rumah dipercaya sebagai tanda tamu akan datang.

Kekepercayaan lama di atas tetap berlangsung, meskipun penduduk sudah memeluk agama baru. Inilah yang disebut dengan istilah sinkretisme. Sianipar 1989; 7 menulis:

(58)

Agama asli yang dimaksud Sianipar barangkali bukan agama suku, tetapi agama baru setelah agama suku. Kepercayaan secara turun-temurun, apalagi bila menyangkut soal adat seperti perkawinan, tentu tidak dapat hilang begitu saja walaupun bertentangan dengan agama baru12

2.6. Sesudah Kekristenan

Mengenai hal ini gulö Op. Cit. 203-204 menulis:

Di dalam seluruh upacara adat dalam proses perkawinan, ... selalu ada tempat bagi acara gerejawi dalam bentuk nyanyi dan doa ..., walaupun demikian bukanlah berarti bahwa adat perkawinan sudah seluruhnya dijiwai oleh Injil (kitab suci agama Kristen). Bahkan kelihatannya seolah-olah upacara-upacara gerejawi itu merupakan adat tambahan terhadap adat yang lama”.

Jadi dapat dikatakan bahwa pada satu sisi orang Nias memeluk agama Kristen, dan pada sisi lain masih mempertahankan adat istiadat (dalam konteks adat perkawinan).

Misionaris pertama yang datang ke Nias adalah Denninger pada tahun 1865 di Kota Gunung Sitoli. Sebelumnya beliau sudah bergaul dan belajar bahasa Nias dari orang-orang Nias yang bermukim di padang. Orang Nias yang berjumlah sekitar 3000 jiwa di Padang ini, merupakan pendatang. Dari merekalah Denninger mempelajari kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, dan kebudayaan Nias hingga ia tertarik untuk datang ke Nias.

12

(59)

Denninger mula-mula mengumpulkan beberapa orang pemuda dan mengajar mereka menulis dan membaca. Pemuda-pemuda ini yang kemudian menjadi pembantunya mengajar anak-anak disekitar Gunung Sitoli pada tahun 1866 (Zega, 1986; 2). Pada tahun 1873 Thomas datang ke Nias dan belajar dari Denninger. Denninger menterjemahkan Injil Yohanes dan Injil Lukas ke dalam bahasa Nias yang di gunakan untuk mengajar penduduk dan sebagai sarana untuk belajar bahasa Nias bagi misionaris yang datang kemudian. Sesudah Thomas fasih berbahasa Nias, ia mulai menterjemahkan beberapa buah buku, diantaranya: Kamus Nias-Melayu dan Belanda, Katekismus Dr. Marthin Luther, Alkitab dan Buku Nyanyian.

Usaha penyebaran agama Kristen lambat laun semakin berkembang ke seluruh pulau Nias. Beberapa misionaris menyusul kemudian. Namun dalam masa 25 tahun sejak kedatangan Denninger, agama Kristen belum menunjukkan hasil yang memuaskan, menurut Gulö hambatan itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Tidak ada jaminan keamanan di seluruh pulau Nias.

Perang saudara antara golongan dengan golongan, öri (lihat catatan kaki no. 1 hal 23) dengan öri masih sering terjadi. Lagi pula pengayauan masih merupakan suatu segi kebudayaan yang masih berjalan dalam lingkungan masyarakat. Jaminan keamanan bertambah sukar karena belum ada suatu kekuasan yang dapat menguasai dan menyatukan seluruh penduduk di pulau itu.

(60)

3) Kepercayaan penduduk dalam ”agama suku”, seperti terlihat dalam penyembahan terhadap berbagai patung ukiran (lihat halaman 39), masih sangat kuat. Tidak begitu mudah bagi mereka untuk melepaskan kepercayaan itu, karena disamping telah begitu lama dan ”dalam” menguasai kehidupan mereka, telah banyak pula harta mereka yang dikorbankan untuk itu.

Masa penting dalam perkembangan agama kristen adalah antara tahun 1915-1930, antara tahun ini disebut sebagai masa pertobatan masal (fangesa dödö sebua). Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap. Patung-patung mulai dibakar dan dihancurkan, poligami, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan, penyembahan patung, penyembuhan penyakit melalui fo’ere dan sebagainya sudah semakin berkurang.

Dalam masa ini nyanyian gereja mulai berkembang yang kemudian menjadi bagian penting dalam ibadah pada setiap kebaktian. Nyanyian yang digunakan dalam kebaktian ini menggunakan buku nyanyian yang dibuat oleh Thomas (lihat halaman 3). Thomas menterjemahkan teks nyanyian berbahasa Belanda kedalam bahasa Nias, tanpa merubah melodi lagu. Lambat laun masyarakat Nias, melalui lagu-lagu gereja dapat mengenal tradisi musik barat.

(61)

lingkungan tradisinya kemudian ”melemah” seiring dengan hilangnya kepercayaan terhadap kepercayaan asli suku Nias. Namun meskipun demikian, bukan berarti secara keseluruhan musik Nias tidak ada lagi. Musik tradisi Nias, khususnya di Nias Utara masih terdapat dalam perkawinan yang menjadi topik utama dalam tulisan ini. Sedangkan musik pada upacara lain seperti owasa, fo’ere dan sebagainya, pada saat ini sudah jarang dipertunjukkan. Usaha rekonstruksi mungkin saja dapat dilakukan, tergantung kepada fihak mana yang merasa memerlukan.

Gambar

Tabel 1. Tahap-tahap kegiatan perkawinan adat Nias Utara secara umum.........
Tabel 1
Gambar 1. Pihak pengantin laki-laki (tome) berjalan kaki sambil bernyanyi
Gambar 3. Para orang tua yang wanita dan anak gadis baik dari pihak tome maupun pihak sowatö berdiri di depan rumah bernyanyi nyanyian Fangowai untuk menyambut tamu yang datang
+2

Referensi

Dokumen terkait