• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian Tingkat-tingkat Kehidupan Manusia Menurut Adat Nias Utara 25

BAB II GAMBARAN MASYARAKAT KELURAHAN ILIR,

2.4 Pembagian Tingkat-tingkat Kehidupan Manusia Menurut Adat Nias Utara 25

Sistem pengolongan derajat manusia berdasarkan tingkat-tingkat kehidupan dari janin sampai kehidupan akhirat pada orang Nias Utara di sebut bosi. Pengertian bosi dapat digambarkan seperti anak tangga yang bergerak dan anak tangga pertama hingga anak tangga kedua belas sehingga dengan demikian derajat manusia dibagi menjadi dua belas tingkat yang berbeda. Sistem pembagian tingkatan atau derajat manusia ini dijiwai oleh kepercayaan suku Nias pra Kristen yang disebut Sanőmba Adu. Dalam konteks kepercayaan ini bosi nantinya mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi agar nanti setelah ia mati, ia akan memperoleh kebahagiaan di dalam tetehöli ana’a (semacam surga). Adapun pembagian bosi yang

dibedakan atas dua belas tingkat yang berbeda itu, adalah sebagai berikut: fangaruwusi, tumbu, famatörö döi, famoto, falöwa, famadadao omo, fa aniha mbanua, famaoli, fangai töi, fa’amakhö, mame’e gö mbanua, dan mame’e gö nöri.

2.4.1. Bosi I: Fangaruwui (memperlihatkan kandungan)

Ibu yang sedang hamil akan diperiksa oleh solomö (dukun bersalin) untuk menentukan usia kandungan sudah berusia tiga sampai lima bulan orang tua akan berkunjung ke rumah mertuanya (orang tua istri) yang disebut sebagai uwu3

3

Perkawinan dengan sendirinya akan menimbulkan hubungan kekerabatan dimana setiap menantu pria akan menyapa orang tua istrinya (mertuanya) dengan sebutan uwu yang artinya paman. Sedangkan mertuanya akan menyapa menantunya dengan istilah umönö yang artinya menantu.

.Tujuan kedatangan ini adalah untuk memohon berkat agar anak yang masih dalam kandungan tersebut kelak akan lahir dengan selamat dan sehat. Pada acara ini diadakan jamuan akan dengan memotong seekor anak babi.

Selesai acara makan uwu memberkati kandungan ibu dengan cara memercikkan air dari atas piring. Piring tadi berisi air, daun zini-zini (tumbuhan sejenis cocor bebek), dan 5 (lima) keping uang perak Belanda (floring, harga satu keping mata uang ini pada masa sekarang adalah Rp. 5.000,-). Air adalah lambang kesucian, daun zini-zini adalah lambang kesehatan (daun ini merupakan salah satu bahan campuran obat-obatan) dan uang perak adalah persembahan bagi para Dewa. Dimasa lampau ere yakni iman religi Sanömba Adu akan membuat sebuah adu atau patung pelindung untuk bayi dalam kandungan tersebut.

Selama ibu mengandung kandungan harus dijaga dari akibat-akibat buruk. Orang tua sedapat mungkin menghindari apa yang disebut sebagai amonita. Amonita adalah tabu atau pantangan yang tidak boleh dilanggar, sebab apabila dilanggar dapat menimbulkan akibat yang tidak baik pada sifat-sifat dan perilaku si anak nantinya setelah ia lahir. Pantangan tersebut antara lain tidak boleh membunuh binatang seperti ular, monyek, babi, tidak boleh berjalan di tempat bekas pembunuhan, tidak boleh duduk di depan pintu dan pantangan lainnya (Suzuki, 1959: 78). Salah satu contoh apabila orang tua membunuh seekor-monyet saat sedang terjadi kehamilan maka bila anaknya lahir, sifat-sifat anak itu akan mirip dengan monyet; tidak dapat bicara, dan bertingkah laku seperti monyet.

Selain menghindari apa yang disebut amonita Ibu hamil mesti dilindungi dari gangguan matiana. Matiana adalah roh wanita yang mati melahirkan dan dapat dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu (dalam rupa seekor burung) untuk tujuan-tujuan jahat yang salah satu diantaranya adalah mencelakakan ibu yang sedang mengandung. Matiana biasanya datang pada malam hari, dan akan berkicau di sekitar rumah. Bila beberapa hari kemudian si ibu hamil sakit, maka penyakitnya bisa saja dihubung-huhungkan dengan matiana yang berkicau beberapa hari yang lalu di sekitar rumah. Penyakit ini bisa menjadi masalah lain bila penyakit tersebut dianggap sebagai “kiriman”dan tetangga atau orang lain yang dicurigai. Kepercayaan akan matiana ini umumnya masih ada di desa-desa, ia dipercaya sebagai sumber penyakit dan orang tua mungkin saja akan menakut-nakuti anaknya yang tidak mau tidur dengan mengatakan kalau tidak mau tidur, nanti akan dimakan oleh matiana.

Usia kehamilan biasanya di rahasiakan. Tujuannya adalah menghindari niat jahat orang lain yang ingin mencelakan kandungan tersebut melalui perantaraan dukun. Keseluruhan usaha melindungi ibu yang sedang hamil jelas merupakan upaya menyelamatkan bayi dalam kandungan dan melindungi ibu hamil yang memang kondisi fisiknya tidak begitu kuat. Upaya pencegahan dilakukan dengan menghindari beberapa pantangan dan larangan seperti yang sudah disebutkan diatas.

2.4.2. Bosi II : Tumbu (lahir)

Apabila usia kandungan sudah cukup tua, solomö dipanggil untuk membantu persalinan. Peran solomö pada masa sekarang digantikan oleh bidan, khususnya di desa-desa yang dekat dengan puskesmas. Bila anak lahir dengan selamat, orang tua akan mengadakan acara lasasai danga solomö (mencuci tangan solomö). Acara ini merupakan ungkapan rasa terima kasih atas pertolongan solomö yang sudah menolong kelahiran anak mereka. Pada saat ini orang tua akan memberikan 1 (satu) pau emas (1 pau = 10 gram), kain sarung dan kain selendang. Solomö kemudian memberkati ibu dan anak dengan memercikkan air. Ia kemudian mendoakan agar ibu dan anak supaya sehat dan terhindar dari penyakit.

2.4.3. Bosi III : Famatoro Doi (memberi nama)

Beberapa hari setelah anak lahir, orang tua akan mengadakan acara pemberian nama bagi anak yang baru lahir tersebut. Pada saat ini Salawa (kepala pemerintahan desa), banua (masyarakat sedesa) dan uwu (paman) diundang. Kepada mereka

masing-msing dipotong dan dimasak seekor babi4

Setelah pemberian nama dilakukan, orang tua akan membawa anak tadi ke rumah uwu (mertua atau orang tua istri) untuk melaksanakan acara molöwö. Molöwö artinya membungkus nasi dan daging babi rebus dengan daun pisang. Selain bungkusan tadi, orang tua juga menyerahkan ömö ndraono (ömö berarti utang, ndraono berarti anak-anak). Untuk anak laki-laki pertama orang tua menyerahkan 1

dan emas satu pau (dibagi tiga). Babi dan emas ini merupakan bentuk penghormatan yang resmi secara adat.

Pada masa lampau nama anak diberikan oleh salawa atau salah seorang dari tokoh adat, namun dimasa sekarang nama anak ditentukan oleh orang tuanya.

Pemberian nama di hadapan tokoh-tokoh adat, dan orang sedesa menunjukkan bahwa nama anak tersebut sah dan resmi menurut adat. Siapapun yang kelak mempermainkan atau menghina anak tersebut melalui namanya, akan diberikan sanksi hukum sesuai dengan berat pelanggaran yang dilakukan. Misalnya apabila penghinaan dilakukan oleh satu orang akan didenda sekitar 10 floring (1 floring sama dengan Rp. 5.000,- maka 10 floring sama dengan Rp. 50.000,-). Jika penghinaan dilakukan oleh sekelompok masyarakat dari desa lain, maka perang antar desa bisa saja terjadi. Tentang syarat-syarat sanksi pelanggaran ini akan ditentukan oleh rapat adat (orahua). Berdasarkan hal ini akan sangat jelas bahwa nama seseorang mempunyai arti yang sangat penting bagi dirinya sendiri, keluarga serumpun, dan komunitas masyarakatnya.

4

Bagi penganut agama di luar Kristen biasanya tahapan-tahapan ini tidak dilaksanakan lagi sebagaimana mestinya.

(satu) pau (10 gram) emas, untuk anak perempuan pertama ½ (setengah) pau emas, sedangkan untuk anak-anak yang lahir kemudian, besar pemberian dapat dikurangi (Gulo, 1983;192). Selain emas, orang tua juga menyediakan 5 (lima) keping uang perak untuk tefetefe idanö (pemberkatan dengan air).

Setelah uwu menerima bungkusan dan ömö ndraono, uwu akan memberkati si anak dengan air. Uang perak yang dibawa oleh orang tua si anak tadi dimasukkan ke dalam piring yang berisi air dan daun zini-zini (sejenis tumbuhan cocor bebek). Uwu kemudian mengucapkan berkat dan berdoa untuk keselamatan orang tua dan anaknya, lalu memercikkan air dari atas piring dengan mempergunakan daun zini-zini tadi. Bila keluarga yang molöwö tadi hendak kembali kerumah, uwu akan memberikan seekor babi atau ayam dan untuk si anak akan dihadiahkan emas sekedarnya yang dulu di sebut löfö nono (löfö berarti rejeki dan nono berarti anak). Di daerah Nias bagian Timur, uwu juga memberikan periuk tanah liat berisi beras dan sebutir telor ayam dan ditutup dengan daun pisang. Acara ini disebut fangandrö bowoa (memohon periuk). Setelah tiba di rumah, jari si anak akan ditusukkan menembus tutup periuk, kemudian isinya dimasak untuk ibunya, dengan tujuan si anak kelak murah rejeki (Gulö,1983: 192).

2.4.4. Bosi IV : Famoto (sirkumsisi)

Orang Nias memakai garis keturunan secara patrilineal (garis keturunan dari ayah). Anak laki-laki diharapkan menjadi penerus garis keturunan secara patrilineal dan anak laki-laki biasanya memperoleh hak-hak yang lebih banyak dibanding

dengan anak perempuan. Bosi yang ke empat ini jelas menunjukkan hak istimewa yang menjadi milik anak laki-laki. Sunat ini sendiri bagi orang Nias merupakan hal penting dan telah ada sebelum kekristenan di kenal di sana. Sunat menjadi alat famago mbawa (penutup mulut). Artinya seseorang yang belum disunat tidak dapat memberikan pendapat atau berbicara dalam kegiatan adat sebab mulutnya “masih tertutup”. Meskipun mayoritas orang Nias tidak lagi menganut religi suku pada masa sekarang ini, namun kegiatan sunat di Nias, khususnya di Nias Utara masih tetap dilakukan. Sunat pada masa sekarang sudah dilakukan secara modern dengan menggunakan jasa paramedis (dokter atau perawat) di rumah sakit. Kegiatan sunat ini dilakukan berdasarkan faktor kebiasaan saja. Seorang anak yang belum disunat akan menjadi bahan olok-olok bagi teman-temannya, sehingga orang tua secara sadar akan menyunat anaknya untuk mencegah olok-olok tadi di samping faktor kebiasaan yang sudah berlangsung turun temurun. Menurut bapak Yulius Laoli/Ama Yuliama (petugas gereja BNKP) fihak gereja dalam hal ini tidak melarang dan juga tidak menganjurkan sunat.

Penyunatan terhadap anak laki-laki biasanya dilakukan pada usia 8-10 tahun. Sunat dalam bahasa Nias di sebut laboto yang artinya dibelah. Proses penyunatan dilakukan dengan cara membelah kulit penis dan bukan memotong kulit penis seperti halnya sunat yang dilakukan pada masa sekarang ini.

Di masa lampau sunat dilakukan oleh ere (lima dalam kepercayaan Nias Sanömba Adu). Sebelum melakukan penyunatan, ere membuat adu (patung) pelindung untuk anak yang akan disunat. Ere menggunakan sebuah pisau dan sebuah

faso (alat pengganjal dari kayu aren, menyerupai pasak kira-kira sebesar jari telunjuk). Setelah pisau diasah sampai / tajam pisau tersebut direndam di dalam air berisi daun zini-zini agar pisau menjadi dingin saat digunakan. Ere yang dibantu oleh dua orang pembantunya akan mengalihkan perhatian si anak dengan berceritera yang lucu-lucu. Saat sunat hendak dilakukan, Ere berpura-pura mengatakan bahwa ia hendak membuat garis untuk menentukan bagian yang akan disunat. Saat si anak lengah, ere bukannya membuat garis namun tiba-tiba mengiriskan pisau dengan kuat. Kulit penispun terbelah dan luka ini akan diobati dengan ramuan tumbuh-tumbuhan sampai luka sembuh.

Sunat sebagai salah satu syarat inisiasi dalam proses untuk menuju kedewasaan secara adat. Disamping sunat masih ada syarat lain yakni pemotongan gigi (lahozi).Pemotongan gigi ini berlaku bagi anak laki-laki dan anak perempuan yang berusia 12-15 tahun (Suzuki 1959; 82). Walaupun tradisi pemotongan gigi ini tidak pernah lagi kedengaran di Nias pada masa sekarang.

2.4.5. Bosi V : Falöwa (Perkawinan)

Bila seorang anak laki-laki akan memasuki usia perkawinan (sekitar 18-25 tahun), maka orang tuanya akan mencari jodoh yang sesuai dengan anaknya. Penentuan jodoh sepenuhnya tergantung kepada orang tua, walaupun anak laki-laki telah menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita, persetujuan orang tua masih menentukan bila ia ingin menikahi wanita tersebut. Dalam adat Nias, kawin lari sangat sulit untuk diterima. Seseorang yang kawin tanpa persetujuan orang tua, akan

tersingkir dari lingkungan adat, bahkan orang tua bisa saja menyatakan putus hubungan sebagai anak bila anaknya tersebut kawin tanpa restu orang tua.

Untuk menentukan jodoh, orang tua terlebih dahulu melihat beberapa kriteria seperti derajat orang tua si gadis, kecantikan, perilaku si gadis dan tingkat pendidikan pada masa sekarang. Biasanya orang tua akan memilih calon dari keluarga yang setaraf dengan derajat (bosi) mereka. Hal ini sudah menjadi kebiasaan disamping memperkecil faktor penolakan.5

5

Walaupun lamaran diterima, tetapi penolakan secara halus dapat dilakukan oleh fihak wanita dengan meminta mas kawin (bowo) tinggi, yang tidak mungkin disanggupi oleh fihak laki-laki.

Setelah mendapatkan calon yang dianggap sesuai menurut kehendak pihak laki-laki, maka orang tua akan mengutus salah seorang keluarga terdekat yang akan menjadi penyampai lamaran. Utusan ini disebut si’o yang arti sebenarnya adalah tongkat, namun dalam hal ini si’o diartikan sebagai perantara yang menjembatani dua keluarga. Biasanya si’o dipilih dari keluarga terdekat, yakni adik laki-laki dari ayah si pemuda yang telah berkeluarga. Namun bila tidak memungkinkan, maka akan diutus salah seorang kerabat lainnya. Pada saat menyampaikan lamaran si’o tidak berbicara langsung dengan orang tua si wanita, tetapi ia menyampaikan maksud tersebut kepada salah seorang keluarga terdekat mereka yang nantinya akan menyampaikannya kepada orang tua si wanita. (Untuk jelasnya dapat dilihat pada Bab III).

2.4.6. Bosi VI : Famadadao Omo (Membangun rumah)

Seorang anak laki-laki yang telah berkeluarga tidak dapat terus-menerus menetap di rumah orang tuanya. Untuk itu ia harus berusaha untuk memiliki rumah sendiri. Rumah dapat dibangun di dekat rumah orang tua atau di tempat lain yang jauh dari rumah orang tua. Dimasa lampau pada saat tanah masih cukup luas dengan penduduk sedikit, keluarga baru lebih suka membangun rumah di lokasi baru. Bila mereka termasuk keturunan bangsawan, maka pada saat mereka memasuki rumah baru mereka akan diiringi beberapa orang pembantu dan membawa alat-alat pertanian.

Ketika membangun rumah beberapa hal mesti diperhatikan. Ukuran panjang dan lebar menggunakan bilangan ganjil 5,7, atau 9, sebab menurut kepercayaan ukuran dengan bilangan ganjil ini akan membuat rumah menjadi kuat, dapat menolak ilmu hitam, menolak sial, dan menolak penyakit. Pintu rumah mesti menghadap ke arah matahari terbit. Hal ini dipercaya sebagai sumber berkat dari matahari. Matahari dalam bahasa Nias disebut luo. Dahulu orang Nias menyembah Luobalangi atau lowalangi adalah pencipta dan sumber kehidupan, itulah sebabnya pintu rumah biasanya menghadap ke sebelah timur dengan harapan agar rumah tersebut dapat mendatangkan rejeki dan keberuntungan.

Setelah rumah selesai dibangun, pemilik rumah mengadakan acara lafofanö tuka (melepas tukang). Kepada tukang diberikan satu ekor babi dan satu balaki emas (1 balaki sama dengan 12,5 gram); khusus kepada sanu’a (orang yang mengukur rumah) diberikan 5 keping uang perak ”floring” (mata uang Belanda); kepada solohe

balö zinali (pemegang ujung tali pengukur) diberikan satu ringgit; kepada penduduk desa (banua) diberikan satu balaki emas yang diterima oleh salah seorang pengetua adat. Ini adalah prosedur yang berlaku dimasa lampau, sementara dimasa sekarang pembayaran di atas dapat digantikan dengan uang tunai (rupiah).

2.4.7. Bosi VII : Fa’aniha banua (memasuki persekutuan desa)

Bila rumah telah selesai didirikan, pemilik rumah beberapa waktu kemudian mengadakan jamuan makan kepada penduduk desa sebagai syarat agar dapat diterima secara resmi6

2.4.8. Bosi VIII : Famaoli (menjadi anggota adat)

sebagai anggota masyarakat desa (naha mbanua).

Untuk memasuki kelompok pengetua adat, yakni kelompok elit dalam masyarakat desa, seseorang harus memenuhi syarat antara lain harus keturunan bangsawan, pandai bicara dan berharta. Bila syarat ini telah terpenuhi, maka diadakan musyawarah oleh para pengetua adat untuk menentukan dapat diterima atau tidak. Bila seseorang diterima, maka ia harus mempelajari adat istiadat, yang meliputi hukum adat, bahasa adat dan kesenian. Dalam hal ini kesenian yang harus dikuasai antara lain adalah : hendri-hendri, fangowai dan bölihae. Semakin banyak cabang-cabang kesenian yang dapat dikuasai, maka semakin besar pula kemungkinan orang tersebut diterima sebagai anggota kelompok adat.

6

Pada dasarnya setiap keluarga yang baru menikah berhak mendirikan rumah pada kelompok asalnya. Namun untuk lebih memantapkan kedudukannya, orang tersebut harus mengadakan jamuan makan kepada penduduk sebagai syarat untuk pengakuan secara resmi.

2.4.9. Bosi IX : Fangai toi (mengambil gelar)

Status sosial yang dianggap tinggi di dalam desa adalah orang-orang yang memakai gelar salawa, balugu dan tuha. Dan untuk memakai gelar salawa biasanya mengorbankan sekitar 50 ekor babi, untuk balugu mengorbankan sekitar 100 ekor, dan untuk tuha mengorbankan sekitar 200 ekor, dengan berat minimal sekitar 50 kg per ekor.

Konsep utama pemakaian gelar ini dilandasi oleh religi Nias pada masa lampau yang menganggap bahwa derajat manusia yang hidup di dunia akan sama derajatnya bila ia nanti meningal dan memasuki dunia para dewa di tetehöli ana’a (semacam surga). Itulah salah satu sebab mengapa orang Nias jaman dahulu begitu gigih mengumpulkan harta benda agar dapat memperoleh salah satu gelar, meskipun sering sekali hal ini tidak diimbangi dengan kemampuan menyediakan biaya yang cukup besar. Ada kalanya seseorang meminjam uang untuk biaya pesta peningkatan status (fangai töi) ini, namun setelah pesta dilaksanakan dan gelar sudah disandang adakalanya orang ini akan terlilit hutang yang secara ekonomis tidak terbayar. Dengan demikian utang tersebut akan tetap berkelanjutan menjadi tanggungan keturunannya. Kondisi seperti ini di Nias dapat berlanjut sampai kepada generasi berikutnya, hingga utang terlunasi. Namun demikian walaupun utang tidak dapat di bayar, tetapi status orang tersebut tidak dapat lagi dicabut.

2.4.10. Bosi X : Fa’amokhö (kekayaan)

Sebagai bukti seseorang itu benar-benar kaya, ia akan memamerkan semua harta bendanya (seolah-olah menjemur di panas matahari) berupa perhiasan emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Dengan demikian ia akan mendapat pujian dan rasa kagum dan mungkin juga rasa iri dari orang-orang sedesanya.

Pada saat seperti ini biasanya juga masyarakat diundang untuk menyaksikan pameran harta benda tersebut. Dengan kesaksian dari orang yang diundang, secara otomatis status orang tersebut akan naik di mata masyarakat.

2.4.11.Bosi XI : Mame’e gö banua (menjamu orang sedesa)

Seseorang yang benar-benar kaya akan mengadakan acara ini, yaitu menjamu makan semua penduduk desa untuk mengukuhkan dan menaikan statusnya lebih tinggi lagi. Semakin banyak orang yang diundang dan diberi makan, semakin tinggi pula status orang tersebut.

2.4.12. Bosi XII : Mame’e gö nöri (menjamu orang satu öri)

Pada masa lampau beberapa banua dapat menggabungkan diri menjadi satu bentuk pemerintahan yang lebih luas yang disebut öri. Pemimpin öri disebut Tuhenöri (tuhe artinya tunggul kayu yang kokoh) yang dipilih di antara pemimpin-pemimpin banua yang bergabung tadi. Tuhenöri harus mengadakan pesta besar (owasa) dengan mengundang semua penduduk sewilayah orinya. Pesta ini merupakan pengukuhan sebagai tuhenöri, disamping sebagai pemberitahuan bahwa telah diangkat pemimpin baru yang berkuasa penuh.

Dari status-status yang telah disebutkan di atas, maka tuhenöri adalah merupakan status tertinggi yang dimiliki oleh seseorang di lingkungan masyarakat sekitarnya. Boleh dikatakan hanya orang-orang tertentu yang dapat menjadi tuhenöri, yaitu telah memenuhi dua belas tingkatan atau bosi seperti telah dijelaskan di atas.

Dengan masuknya kekristenan di Nias tahun 1865 melalui missionaris Jerman (lihat halaman 48), maka lambat laun penduduk mulai meninggalkan kepercayaan sukunya dan beralih ke agama Kristen.

Agama Kristen mengajarkan bahwa manusia di hadapan lowalangi (Tuhan) sama derajatnya, sedangkan dalam agama suku tidak demikian halnya. Secara bertahap konsep bosi ini mulai ditinggalkan oleh penganut agama Kristen. Pada masa kini semua orang dianggap/temasuk golongan orang biasa dengan bosi VII (niha mbanua). Hal ini disebabkan bukan hanya akibat peralihan agama penduduk, namun faktor lain juga turut menentukan, antara lain sistem pemerintahan, kemajuan zaman dan semakin terbukanya jalur komunikasi dari dan ke Pulau Nias, yang memungkinkan pendudukan pulau Nias dapat berhubungan dengan penduduk di luar pulau Nias.

Dokumen terkait