• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spondilitis Tuberkulosa Servikalis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Spondilitis Tuberkulosa Servikalis"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

SPONDILITIS

 

TUBERKULOSA

  

SERVIKALIS

 

Fasihah Irfani Fitri

NIP : 198307212008012007

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN

(2)
(3)

III.7. Gambaran Klinis 21

III.8. Prosedur Diagnosis 23

III.9. Diagnosis Banding 32

III.10. Penatalaksanaan 35

III.11. Prognosa 38

IV. DISKUSI KASUS 39

V. PERMASALAHAN 40

VI. KESIMPULAN 40

VII. SARAN 40

VIII.DAFTAR PUSTAKA 41

(4)

DAFTAR SINGKATAN

CT : Computed Tomography

LED : Laju Endap Darah

Mt : Mycobacterium tuberculosa

MRI : Magneting Resonance Imaging PCR : Polymerase Chain Reaction

PPD : Purified Protein Derivative ROM : Range of Motion T1W : T1- Weighted T2W : T2- Weighted

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sensitifitas dan Spesifisitas Foto Polos Vertebra Spondilitis

Tuberkulosa 27

Tabel 2. Sensitifitas dan Spesifisitas Gambaran MRI pada Spondilitis

Tuberkulosa 29

Tabel 3. Perbedaan Gambaran Klinis, Laboratorium dan Radiologis pada

Infeksi Vertebra 33

Tabel 4. Perbedaan Radiologis Spondilitis Tuberkulosa dan Piogenik 34 Tabel 5. Gambaran Radiologis Sugestif Tuberkulosa 34

(6)

DAFTAR GAMBAR

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil MRI Penderita 45

(8)

ABSTRAK

Pendahuluan : Spondilitis tuberkulosa servikalis adalah penyakit yang cukup jarang dijumpai, hanya berkisar 2-3% dari seluruh kasus spondilitis tuberkulosa. Gambaran klinis sangat bervariasi, mulai dari gejala ringan dan tidak spesifik hingga komplikasi neurologis yang fatal. Laporan Kasus : Seorang wanita berusia 36 tahun datang dengan keluhan lemah keempat anggota gerak yang semakin memberat dalam 2 minggu terakhir yang didahului oleh nyeri leher yang menjalar ke bahu dan lengan sejak 6 bulan sebelumnya. Nyeri awalnya dirasakan sebagai keterbatasan gerakan leher yang diperberat dengan bergerak dan berkurang jika istirahat. Pasien juga mengeluhkan sulit menelan, gangguan BAK dan BAB selama 2 minggu terakhir. Pasien mengalami demam dan penurunan berat badan sejak 2 bulan terakhir. Tidak dijumpai riwayat batuk atau nyeri dada. Pemeriksaan neurologis menunjukkan kelemahan dan peningkatan refleks tendon pada keempat ekstremitas dengan tanda Babinski positif. Hasil laboratorium tidak signifikan. Foto toraks dalam batas normal. MRI servikal menunjukkan proses inflamasi pada korpus C3 dengan massa paravertebral dan massa epidural yang menekan medula spinalis. Sugestif suatu spondilitis tuberkulosa. Pasien diterapi dengan obat antituberkulosis.

Diskusi dan Kesimpulan : Spondilitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosa tulang yang paling sering dijumpai. Keterlibatan spinal biasanya merupakan akibat dari penyebaran hematogen lesi ekstraspinal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gambaran klinis dan gambaran radiologis. Penatalaksanaan terdiri dari pemberian obat antituberkulosis dengan atau tanpa intervensi bedah.

(9)

ABSTRACT

Introduction : Cervical tuberculous spondylitis (cervical spine tuberculosis) is an uncommon

disease, accounting for only 2-3% of tuberculous spondylitis. Clinical manifestations range from mild or nonspesific symptoms to severe, and potentially fatal, neurological complications.

Case Report : A 36-year-old woman was admitted to the hospital with a two-week history of

worsening quadriparesis which was preceded with neck pain radiating to her shoulders and arms of six month’s duration. The pain began with moderate limitation of neck movements and aggravated by moving and was relieved by bed rest. She also had difficulty in swallowing, urination and defecation for 2 weeks before admission. She had experienced generalized malaise,fever and weight loss for 2 months prior to admission. She had no cough or chest pain. Neurological examination revealed weakness and increased deep tendon reflexes of both arms and legs, with positive Babinski signs. Laboratory results were not significant. Chest radiography showed no evidence of pulmonary lesion. MRI of the cervical spine revealed inflammation of corpus of C-3 with prevertebral soft tissue mass and epidural soft tissue mass compressing the spinal cord. Suggestif of tuberculous spondylitis. The patient was treated with antituberculous drugs.

Discussion and Conclusion : Tuberculous spondylitis is the most common form of skeletal

tuberculosis. Spinal involvement is usually a result of hematogenous seeding from an extraspinal lesion. The diagnosis is usually made based on history of disease, clinical presentations and radiological features. The treatment consists of antituberculous drugs with or without surgical intervention.

(10)

ABSTRAK

Pendahuluan : Spondilitis tuberkulosa servikalis adalah penyakit yang cukup jarang dijumpai, hanya berkisar 2-3% dari seluruh kasus spondilitis tuberkulosa. Gambaran klinis sangat bervariasi, mulai dari gejala ringan dan tidak spesifik hingga komplikasi neurologis yang fatal. Laporan Kasus : Seorang wanita berusia 36 tahun datang dengan keluhan lemah keempat anggota gerak yang semakin memberat dalam 2 minggu terakhir yang didahului oleh nyeri leher yang menjalar ke bahu dan lengan sejak 6 bulan sebelumnya. Nyeri awalnya dirasakan sebagai keterbatasan gerakan leher yang diperberat dengan bergerak dan berkurang jika istirahat. Pasien juga mengeluhkan sulit menelan, gangguan BAK dan BAB selama 2 minggu terakhir. Pasien mengalami demam dan penurunan berat badan sejak 2 bulan terakhir. Tidak dijumpai riwayat batuk atau nyeri dada. Pemeriksaan neurologis menunjukkan kelemahan dan peningkatan refleks tendon pada keempat ekstremitas dengan tanda Babinski positif. Hasil laboratorium tidak signifikan. Foto toraks dalam batas normal. MRI servikal menunjukkan proses inflamasi pada korpus C3 dengan massa paravertebral dan massa epidural yang menekan medula spinalis. Sugestif suatu spondilitis tuberkulosa. Pasien diterapi dengan obat antituberkulosis.

Diskusi dan Kesimpulan : Spondilitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosa tulang yang paling sering dijumpai. Keterlibatan spinal biasanya merupakan akibat dari penyebaran hematogen lesi ekstraspinal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gambaran klinis dan gambaran radiologis. Penatalaksanaan terdiri dari pemberian obat antituberkulosis dengan atau tanpa intervensi bedah.

(11)

ABSTRACT

Introduction : Cervical tuberculous spondylitis (cervical spine tuberculosis) is an uncommon

disease, accounting for only 2-3% of tuberculous spondylitis. Clinical manifestations range from mild or nonspesific symptoms to severe, and potentially fatal, neurological complications.

Case Report : A 36-year-old woman was admitted to the hospital with a two-week history of

worsening quadriparesis which was preceded with neck pain radiating to her shoulders and arms of six month’s duration. The pain began with moderate limitation of neck movements and aggravated by moving and was relieved by bed rest. She also had difficulty in swallowing, urination and defecation for 2 weeks before admission. She had experienced generalized malaise,fever and weight loss for 2 months prior to admission. She had no cough or chest pain. Neurological examination revealed weakness and increased deep tendon reflexes of both arms and legs, with positive Babinski signs. Laboratory results were not significant. Chest radiography showed no evidence of pulmonary lesion. MRI of the cervical spine revealed inflammation of corpus of C-3 with prevertebral soft tissue mass and epidural soft tissue mass compressing the spinal cord. Suggestif of tuberculous spondylitis. The patient was treated with antituberculous drugs.

Discussion and Conclusion : Tuberculous spondylitis is the most common form of skeletal

tuberculosis. Spinal involvement is usually a result of hematogenous seeding from an extraspinal lesion. The diagnosis is usually made based on history of disease, clinical presentations and radiological features. The treatment consists of antituberculous drugs with or without surgical intervention.

(12)

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di seluruh dunia.

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat lebih dari 8 juta kasus baru tuberkulosa dan lebih kurang 3 juta orang meninggal akibat penyakit ini.1 Tuberkulosis sering dijumpai di daerah dengan penduduk yang padat, sanitasi yang buruk dan malnutrisi.2 Walaupun manifestasi tuberkulosis biasanya terbatas pada paru, penyakit ini dapat mengenai organ apapun, seperti tulang,traktus genitourinarius dan sistem saraf pusat.3

Tuberkulosa tulang dan sendi merupakan 35% dari seluruh kasus tuberkulosa ekstrapulmonal dan paling sering melibatkan tulang belakang4, yaitu sekitar 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang.5 Keterlibatan spinal biasanya merupakan akibat dari penyebaran hematogen dari lesi pulmonal ataupun dari infeksi pada sistem genitourinarius.6

Percival Pott pertama kali menguraikan tentang tuberkulosa pada kolumna spinalis pada tahun 1779. Destruksi pada diskus dan korpus vertebra yang berdekatan, kolapsnya elemen spinal dan kifosis berat dan progresif kemudian dikenal sebagai Pott’s disease.6 Walaupun begitu tuberkulosa spinal telah diidentifikasi pada mumi di Mesir sejak 3000 tahun sebelum masehi dengan lesi skeletal tipikal dan analisis DNA.7

Spondilitis tuberkulosa memiliki distribusi di seluruh dunia dengan prevalensi yang lebih besar pada negara berkembang. Tulang belakang adalah tempat keterlibatan tulang yang paling sering, yaitu 5-15% dari seluruh pasien dengan tuberkulosis.8

Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang dianggap paling berbahaya karena keterlibatan medula spinalis dapat menyebabkan gangguan neurologis. Daerah lumbal dan torakal merupakan daerah yang paling sering terlibat, sedangkan insidensi keterlibatan daerah servikal adalah 2-3%.9

Defisit neurologis pada spondilitis tuberkulosa terjadi akibat pembentukan abses dingin, jaringan granulasi, jaringan nekrotik dan sequestra dari tulang atau jaringan diskus intervertebralis, dan kadang-kadang trombosis vaskular dari arteri spinalis.10

(13)

muncul saat destruksi berlanjut. Gejala lainnya menggambarkan penyakit kronis, mencakup malaise, penurunan berat badan dan fatigue. Diagnosis biasanya tidak dicurigai pada pasien tanpa bukti tuberkulosa ekstraspinal. 6,10

Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversial; beberapa penulis menganjurkan pemberian obatan saja, sementara yang lainnya merekomendasikan obat-obatan dengan intervensi bedah. Dekompresi agresif, pemberian obat anti tuberkulosis selama 9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan terjaganya fungsi neurologis.9

I.2. Tujuan Penulisan

Laporan kasus ini dibuat untuk membahas aspek epidemiologi, etiologi, patogenesis,gambaran klinis, penegakan diagnosis, penatalaksanaan serta prognosis dari penderita spondilitis servikalis yang termasuk kasus yang jarang.

I.3. Manfaat Penulisan

(14)

II. LAPORAN KASUS II.1. Identitas Pribadi

Seorang Wanita ( SN ), 36 tahun, suku Jawa, agama Islam, alamat Dusun Ramai Indah, datang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan pada tanggal 20 November 2009.

II.2. Riwayat Perjalanan Penyakit

Keluhan Utama : Lemah keempat anggota gerak

Telaah : Hal ini dialami OS sejak ± 2 minggu sebelum masuk RSUP H. Adam Malik, terjadi secara perlahan – lahan. Awalnya os merasa nyeri pada leher sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit yang semakin lama semakin memberat. Nyeri memberat dengan aktivitas dan berkurang jika os beristirahat, yang disertai keterbatasan gerak leher dan rasa kebas pada lengan. Lemah lengan kanan dialami os sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Dalam 2 minggu berikutnya OS mulai merasakan kelemahan pada lengan kirinya, disusul lemah pada tungkai kanan 2 minggu berikutnya dan lemah pada tungkai kiri 2 minggu kemudian. Riwayat BAK dan BAB tertahan dijumpai sejak 2 minggu terakhir. Sulit menelan dialami os sejak 3 minggu sebelum masuk RS dan memberat dalam 1 minggu terakhir. Riwayat trauma (-). Riwayat demam (+) sejak 2 bulan ini, demam terutama pada malam hari. Riwayat batuk –batuk lama (-), riwayat batuk darah (-), riwayat keringat malam (-), riwayat penurunan berat badan (+) dialami os sejak ± 2 bulan terakhir. Riwayat penyakit TBC pada keluarga (-).

Riwayat Penyakit Terdahulu : --

Riwayat Pemakaian Obat : tidak jelas

II.3. Pemeriksaan Fisik

Kepala : Normosefalik

Thoraks : Simetris fusiform

Jantung : Bunyi jantung normal,desah (-)

(15)

Pernafasan vesikuler,suara tambahan (-) Abdomen : Soepel, peristaltik normal

Ekstremitas : Tetraparese

II.4. Pemeriksaan Neurologis

Sensorium : Compos Mentis

Tanda perangsangan meningeal :

kaku kuduk ( - ), kernig sign (-),bruzdinski I/II ( - )

(16)

Proprioseptif : terganggu

Vegetatif :

Miksi : retensio Defekasi : retensio

Perspirasi : anhidrosis setinggi medula spinalis servikalis 4 ke bawah Vertebra : gerakan terbatas pada vertebra servikalis Gejala Serebellar : tidak dijumpai

Gejala ekstrapiramidal : tidak dijumpai Fungsi luhur : baik

II.5. Diagnosa Awal

Diagnosa fungsional : Tetraparese Tipe UMN + Retensio Urin et Alvi + Hipestesi dan anhidrosis setinggi medula spinalis servikalis 4 ke bawah + gangguan proprioseptif + disfagia

Diagnosa Anatomis : Medula Spinalis Servikalis Diagnosa Etiologis : Kompresi

Diagnosa Banding : 1. Spondilitis TB 2. SOL medula spinalis 3. Mielitis Transversalis

Diagnosa Kerja : Tetraparese Tipe UMN + Retensio Urin et Alvi + Hipestesi dan anhidrosis setinggi medula spinalis servikalis 4 ke bawah + gangguan proprioseptif + disfagia ec. Kompresi medula spinalis ec. Spondilitis Tuberkulosa Servikalis

II.6. Penatalaksanaan

 Na diclofenac 2 x 25mg

 Roborantia 1x 1

II.7. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium Tanggal 24 November 2009

Hb : 9.9 g%

Leukosit : 6.630 / mm3

Ht : 29,8 %

Trombosit : 194.000/mm3

(17)

Eritrosit : 3.36 M /mm3

Hasil Foto vertebra servikalis AP/L tanggal 24 November 2009 Tampak osteofit pada cervical III,IV,V,VI

Kesan : spondylosis cervicalis

Hasil Foto Thoraks PA /L tanggal 25 November 2009 Kesan : tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo

Hasil MRI cervical + kontras tanggal 3 Desember 2009 : MRI Cervical spine :

Dibuat T1W,T2W dan T2 Fatsat sagital scans ; T1W dan T2W axial scans serta contrast Omniscans i.v (CEMR) axial, sagital, dan coronal scans melalui daerah cervical spine.Pada T1W

scan corpus C-3 tampak hypointense dengan pre vertebral soft tissue mass C-2 s/d C-7 dan

(18)

Pada T2W axial scan tampak epidural soft tissue mass setentang C-3 menekan spinal cord di dorsalnya. Pada CEMR tampak enhancement dari marrow C-3 dan diffuse enhancement dari

epidural soft tissue mass dan periferal enhancement dari prevertebral soft tissue mass.

Kesan : Proses inflammation dari corpus C-3 dengan prevertebral soft tissue mass dan epidural soft tissue mass yang menekan spinal cord di dorsalnya. Spondilitis tuberculosa?

Hasil Konsul ke Bagian Pulmonologi tanggal 4 Desember 2009 Diagnosa Banding : 1. Bronkitis Kronis

2. Asma Diagnosa Sementara : Bronkitis Kronis Terapi : Syr.Ambroxol 3X CI

B.comp 3X1

Anjuran : 1. Foto Thoraks PA

2. Analisa sputum : Bakteri/Jamur/BTA DS 3x Kultur sputum : Bakteri/jamur / ST

BTA / resistensi OAT

Hasil analisa dan kultur sputum tanggal 10 Desember 2009 BTA DS 3 X : (-)

Kultur bakteri : Klebsiella pneumonia Kultur BTA : (-)

Hasil Konsul ke Bagian Penyakit Dalam tanggal 2 Desember 2009 Diagnosa : Hidronefrosis

Anjuran : USG ginjal dan buli-buli

Hasil USG Ginjal dan Buli-Buli tanggal 15 Desember 2009

Kesimpulan : tidak tampak hidronefrosis, tidak tampak batu maupun mass di bladder

Hasil Konsul ke Bagian THT tanggal 21 Desember 2009 Diagnosa sementara : Disfagia

Terapi : sesuai TS Anjuran : Foto Barium

(19)

Hasil Konsul ke bagian Rehabilitasi Medik tanggal 1 Desember 2009 Fisioterapi 3 X seminggu dengan infra red dan exercise

II.8. Kesimpulan Pemeriksaan

Telah diperiksa seorang wanita ( SN ), 36 tahun, suku Jawa, agama Islam, alamat Dusun Ramai Indah, datang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan pada tanggal 20 November 2009 dengan keluhan lemah keempat anggota gerak .

Pada anamnesis didapati bahwa hal ini dialami OS sejak ± 2 minggu sebelum masuk RSUP H. Adam Malik, terjadi secara perlahan – lahan. Awalnya os merasa nyeri pada leher sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit yang semakin lama semakin memberat. Nyeri memberat dengan aktivitas dan berkurang jika os beristirahat, yang disertai keterbatasan gerak leher dan rasa kebas pada lengan. Lemah lengan kanan dialami os sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Dalam 2 minggu berikutnya OS mulai merasakan kelemahan pada lengan kirinya, disusul lemah pada tungkai kanan 2 minggu berikutnya dan lemah pada tungkai kiri 2 minggu kemudian. Riwayat BAK dan BAB tertahan dijumpai sejak 2 minggu terakhir. Sulit menelan dialami os sejak 3 minggu sebelum masuk RS dan memberat dalam 1 minggu terakhir. Riwayat trauma (-). Riwayat demam (+) sejak 2 bulan ini, demam terutama pada malam hari. Riwayat batuk –batuk lama (-), riwayat batuk darah (-), riwayat keringat malam (-), riwayat penurunan berat badan (+) dialami os sejak ± 2 bulan terakhir.

Pada pemeriksaan neurologis dijumpai gangguan motorik berupa tetraparese tipe UMN dengan disertai hiperrefleks dan refleks patologis (+). Pada pemeriksaan sensibilitas terdapat hipestesi setinggi medula spinalis servikalis 4 ke bawah dan gangguan proprioseptif. Juga dijumpai gangguan vegetatif berupa retensio urine dan alvi.

Pada pemeriksaan penunjang laboratorium dalam batas normal Pada pemeriksaan thoraks, kesan tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo. Pada pemeriksaan foto vertebra servikal AP/L dijumpai spondilosis servikalis.

(20)

II.9. Diagnosis Akhir

Diagnosa fungsional : Tetraparese Tipe UMN + Retensio Urin et Alvi + Hipestesi setinggi medula spinalis servikalis 4 + gangguan proprioseptif Diagnosa Anatomis : Medula Spinalis C3-C7

Diagnosa Etiologis : Kompresi

Diagnosa Banding : 1. Spondilitis Tuberkulosa 2. Spondilitis Piogenik 3. SOL Medula Spinalis

Diagnosa Kerja : Tetraparese Tipe UMN + Retensio Urin et Alvi + Hipestesi dan anhidrosis setinggi medula spinalis servikalis 4 ke bawah + gangguan proprioseptif + disfagia ec. Kompresi Medula Spinalis ec Spondilitis Tuberkulosa Servikalis

II.10. Penatalaksanaan

 Bed Rest

 IVFD RSol 20 gtt/i

 Diet MB TKTP

 Inj. Streptomycin 750mg/hari/IM (selama 2 bulan pertama)

 Pirazinamid 1 X 1000 mg (selama 2 bulan pertama)

 Rifampicin 1 X 450 mg (selama 12 bulan)

 INH 1 X 300 mg (selama 12 bulan)

 Roborantia 1 x 1

 Edukasi

II.11. Prognosa

 Ad vitam : dubia ad bonam

 Ad functionam : dubia ad malam

(21)

III. TINJAUAN PUSTAKA III.1. Definisi

Spondilitis tuberkulosa adalah suatu peradangan tulang vertebra yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosa. 11

III.2. Sejarah

Tuberkulosa dapat muncul dalam berbagai bentuk, termasuk yang menyerang tulang dan menyebabkan deformitas skeletal. Jaringan keras seperti tulang dapat dipertahankan selama beribu tahun, memungkinkan identifikasi individu dengan tuberkulosa tulang yang meninggal lebih dari 4.000 tahun lalu. Dijumpainya tulang yang terkubur yang disertai deformitas pada mesir kuno menunjukkan bahwa penyakit ini sering dijumpai pada populasi tersebut. Penemuan tulang dengan deformitas yang serupa pada berbagai daerah di Italia, Denmark dan negara-negara di timur tengah juga menunjukkan bahwa tuberkulosis dijumpai di seluruh dunia sejak 4000 tahun yang lalu.12

Penyakit ini pertama kali diuraikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan ekstremitas bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.13

III.3. Epidemiologi

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi masalah utama. 13

(22)

Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus 13, dan lebih kurang 50% kasus tuberkulosa tulang adalah spondilitis tuberkulosa.10 Lebih kurang 45% pasien dengan keterlibatan spinal mengalami defisit neurologis.6 Tulang belakang adalah daerah yang paling sering terlibat, yaitu 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang, 15% dari kasus tuberkulosa ekstrapulmonal dan 3-5% dari seluruh kasus tuberkulosa. 15

Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, namun tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang, diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang-tulang di lengan dan tangan jarang terkena.13

Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat 9,13 karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu diikuti dengan area servikal dan sakral.13 Insidensi keterlibatan daerah servikal adalah 2-3%.9 Pada penelitian oleh Androniku, et al (2002), terhadap 42 pasien spondilitis tuberkulosa, destruksi korpus vertebra paling sering melibatkan vertebra torakalis (83%), diikuti vertebra lumbal (23%) dan vertebra servikal (13%).8

III.4. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil. Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis (Mt), walaupun spesies

Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab, seperti Mycobacterium africanum

(penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus,ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV).13

Mycobacteria adalah bakteri aerob, berbentuk batang yang tidak membentuk spora. Dalam jaringan, basil tuberkel merupakan batang ramping lurus berukuran kira-kira 0.4 X 3 m. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini tahan terhadap penghilangan warna oleh asam atau alkohol dan karena itu dinamakan basil ”tahan asam”. Teknik pewarnaan

Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk identifikasi bakteri ini. Terdapat tiga formulasi umum yang dapat dipergunakan untuk perbenihan, yaitu agar semi sintetik (misalnya middlebrook, perbenihan telur tebal (misalnya Lowenstein-Jensen), dan perbenihan kaldu. Biakan positif dapat dideteksi dalam waktu 3-6 minggu. 16,17

(23)

dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Unsur lain adalah polisakarida seperi arabinogalaktan dan arabinomanan. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,polisakarida dan protein.12,18

III.5. Patogenesa

Tuberkulosis biasanya memiliki pola seperti yang diuraikan oleh Wallgreen, yang membagi perkembangan dan resolusi penyakit menjadi 4 tahap. Tahap pertama, yang berlangsung dari 3 hingga 8 minggu setelah Mt yang terhirup tertahan di alveoli, bakteri tersebar melalui sirkulasi limfatik ke kelenjar limfe regional di paru, membentuk apa yang disebut sebagai kompleks Ghon atau kompleks primer. Pada saat ini, terdapat konversi reaktivitas tuberkulin.12

Individu dengan tuberkulosa paru aktif mengeluarkan droplet yang mengandung basil tuberkul yang dapat dihirup oleh individu lain (gambar 1). Jika droplet ini memasuki ruang alveolar, sel dendritik paru dan makrofag akan menangkap mikroorganisme. Beberapa makrofag yang terinfeksi akan tetap pada jaringan paru, sedangkan beberapa sel dendritik yang terinfeksi akan bermigrasi ke kel limfe. Sel T di kelenjar limfe akan teraktivasi dan bermigrasi untuk mengenali fokus mycobacteria di paru. Lesi granulomatosa terbentuk dan mengandung bakteri, mencegah perkembangan penyakit. Pada pasien dengan imunokompeten, infeksi berhenti pada tahap ini. Walapun begitu, kontrol infeksi tidak lengkap dan patogen tidak dimusnahkan, sehingga terdapat risiko reaktivasi, bahkan bertahun-tahun setelah infeksi.19

Gambar 1. Infeksi, perjalanan penyakit dan mekanisme imun pada tuberkulosis

(24)

Tahap kedua, berlangsung selama 3 bulan, ditandai oleh penyebaran bakteri secara hematogen ke berbagai organ; pada saat ini pada beberapa individu, dapat terjadi penyakit akut dan kadang-kadang fatal, dalam bentuk meningitis tuberkulosa atau tuberkulosa milier. Inflamasi pada pleura dapat terjadi pada tahap ketiga, yang berlangsung 3 hingga 7 bulan dan menyebabkan nyeri dada berat, namun tahap ini dapat berlangsung hingga 2 tahun. Tahap akhir atau resolusi kompleks primer, dimana penyakit ini tidak berkembang, dapat berlangsung hingga 3 tahun. Pada tahap ini, lesi ekstrapulmonal yang lebih perlahan berkembang, misalnya pada tulang dan sendi, yang sering muncul sebagai nyeri punggung kronik dapat terjadi pada beberapa individu. 12,20

Spondilitis tuberkulosa biasanya terjadi akibat penyebaran hematogen atau penyebaran langsung dari nodus limfatikus paraorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus infeksi tuberkulosa ekstraspinal.13,21 Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.13

Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri interkostalis atau lumbal yang memberikan suplai darah ke dua vertebra yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra di atasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena.13,22

Lesi mendasar pada spondilitis tuberkulosa adalah kombinasi dari osteomielitis dan artritis yang biasanya melibatkan lebih dari satu vertebra. Aspek anterior dari corpus vertebra yang berdekatan dengan subchondral plate biasanya terkena. Tuberkulosa dapat menyebar dari daerah tersebut ke diskus intervertebralis di dekatnya. Pada orang dewasa, penyakit pada diskus terjadi sekunder akibat penyebaran infeksi dari korpus vertebra. Pada anak-anak, karena vaskularisasinya, diskus dapat merupakan tempat infeksi primer. 21

(25)

plates. Mycobacteria dapat terperangkap (tertahan) di arteriol ini. (gambar 2b). Perluasan lebih lanjut dari infeksi akan mengganggu korteks dan menyebar ke celah diskus yang berdekatan (gambar 2c). Ini menyebabkan sedikit penyempitan celah diskus, namun sangat minimal jika dibandingkan dengan penyempitan diskus pada spondilitis piogenik. Seiring dengan perkembangan infeksi, bagian lateral dan anterior dari korpus vertebra dapat hancur dan menyebabkan kolaps angular. Penyebaran subligamentosa lebih lanjut di bawah ligamen longitudinalis anterior menyebabkan perluasan kraniokaudal dari infeksi ke multipel korpus vertebra yang berdekatan, dengan ciri destruksi tulang anterior.5

Gambar 2. Patogenesis Spondilitis Tuberkulosa

(26)

Terjadinya nekrosis perkijauan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avaskular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Diskus intervertebralis yang avaskular relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus,sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya end arteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.13

Bersamaan dengan perubahan pada tulang, terdapat infeksi jaringan lunak dengan pembentukan abses ’dingin’ paravertebral dan/atau keterlibatan epidural. Abses paraspinal dapat menjadi sangat besar sehingga menekan struktur sekitarnya.5 Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang nekrotik akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinalis anterior.13 Pada kasus infeksi servikalis atas, abses paravertebral dapat terlihat sebagai abses retrofaring.5

Gambar 3. Penyebaran basil tuberkel pada vertebra

(27)

Infeksi Bakteri dan Patologi Tulang

Sejumlah bakteri, termasuk Mt, tampaknya terlibat dalam patologi tulang. Terdapat tiga kemungkinan bagaimana bakteri menyebabkan hilangnya tulang yang patologis yaitu : (1) bakteri secara langsung menghancurkan komponen nonseluler tulang dengan membebaskan asam dan protease; (2) bakteri menyebabkan proses seluler yang menstimulasi degradasi tulang, atau (3) bakteri menghambat sintesis matriks tulang (gambar 4).23

Gambar 4. Komponen Bakteri dan Patologi Tulang

Nair S P, Meghi S, Wilson M, et al. Bacterially induced bone destruction : mechanisms and misconceptions. Infection and Immunity. 1997 ; 64 (7) : 2371-2380.

Tidak diketahui secara pasti bagaimana infeksi Mt pada tulang menyebabkan penghancuran tulang. Tulang yang sehat dipertahankan oleh keseimbangan dinamis antara sel

osteoblast yang membentuk matriks tulang dan sel osteoclast yang meresoprsi tulang. Infeksi Mt pada tulang belakang tampaknya mengubah keseimbangan dinamis ini, menyebabkan hilangnya matriks ekstraseluler dari tulang vertebra dan kolaps vertebra. 24

Sekarang telah diketahui bahwa bakteri yang terlibat dalam penyakit tulang mengandung atau memproduksi molekul dengan efek poten terhadap sel tulang. Salah satu dari molekul ini adalah chaperonin, yang merupakan subgrup chaperones. 24 Chaperones atau protein stres atau

heat-shock protein adalah protein yang disintesis sebagai respon terhadap stres. Chaperone

(28)

chaperone, yaitu chaperonin , kini banyak menjadi fokus perhatian. Chaperonin terdiri dari dua kelompok protein, yaitu chaperonin 60 (cpn60) dan chaperonin 10 (cpn10). 25

Bukti menunjukkan bahwa molekul chaperone memiliki aksi biologis selain aktivitas untuk protein-folding intraseluler.24 Aktivitas yang sangat poten dari cpn60 adalah resorpsi tulang. Hilangnya tulang adalah faktor kunci pada penyakit spondilitis tuberkulosa.25

Chaperonin60 adalah faktor osteolitik yang aktif. Telah dilaporkan bahwa cpn60 tertentu juga dapat menstimulasi sintesis sitokin. Penelitian terkini menunjukkan bahwa kerja dari cpn60 pada tulang mungkin disebabkan oleh aktivasi langsung osteoklas dan perekrutan osteoklas. 23

Dalam suatu studi ditemukan bahwa aktivitas resorpsi tulang dari Mt disebabkan oleh cpn10 yang sama aktifnya dengan sitokin osteolitik yang paling poten, interleukin-1. Chaperonin

10 dari Mt juga menghambat proliferasi dari osteoblas yang dikultur.24 Selain menstimulasi penghancuran tulang secara in vitro dan pada kultur sel, cpn10 Mt juga menginduksi monosit secara invitro untuk mensintesa dan mensekresi sitokin pro-inflamasi.25 Cpn10 dipostulasikan sebagai komponen utama yang bertanggung jawab terhadap resorpsi tulang pada spondilitis tuberkulosa.26

III.6. Patofisiologi

Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dan timbul deformitas berbentuk kifosis (angulasi posterior) yang progresifitasnya tergantung dari derajat kerusakan,level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.13

Deformitas kifosis disebabkan kolaps pada vertebra anterior. Suatu abses dingin dapat terbentuk jika infeksi meluas ke ligamen dan jaringan lunak di dekatnya.21  Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar dari berat badan akan ditransmisikan ke posterior sehingga terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal.13,21

(29)

Fakta bahwa defisit neurologis sering dijumpai pada daerah servikal dapat dijelaskan oleh diameter melintang kanalis spinalis yang relatif kecil terhadap diameter medula spinalis servikalis. Gejala neurologis dapat disebabkan oleh satu atau lebih penjelasan berikut : subluksasi vertebra, penekanan medula spinalis oleh tulang, diskus atau abses, respon inflamasi lokal dan vaskulitis tuberkulosa.9

III.7. Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari spondilitis tuberkulosa sangat bervariasi. Tipe dan intensitas gejala bergantung pada level keterlibatan spinal, keparahan penyakit dan durasi infeksi.6 Pasien biasanya muncul dengan kombinasi dari manifestasi sistemik seperti penurunan berat badan, demam, fatigue dan malaise dan nyeri punggung.1,6 Rasa nyeri bervariasi dari ringan dan menetap hingga berat dan berhubungan dengan aktivitas. Nyeri biasanya terlokalisir pada tempat yang terlibat dan paling sering dijumpai pada vertebra torakalis. Nyeri dapat bersifat konstan dan ringan, menggambarkan destruksi progresif dari celah diskus dan elemen vertebra yang terlibat, atau dapat juga berat dan secara langsung berhubungan dengan pergerakan spinal dan weight-bearing, yang disebabkan oleh disrupsi diskus lebih lanjut dan instabilitas spinal, kompresi akar saraf atau fraktur patologis.6

Abses dalam kanalis spinalis dapat menekan medula spinalis, dan gejala neurologis dapat muncul dengan cepat. Bergantung pada level keterlibatan,abses spinal dapat menyebabkan gejala penekanan akar saraf, menyerupai herniasi diskus atau dapat menyebabkan kompresi medula spinalis yang progresif menyebabkan paraplegia atau tetraplegia jika tidak ditangani.6

Gejala neurologis dari keterlibatan spinal tampak tidak jelas pada awalnya, namun akan berkembang seiring waktu. Level keterlibatan medula spinalis menentukan level gangguan. Jika tuberkulosis servikal berkembang dan menyebabkan kompresi medula spinalis atau akar saraf, tanda-tanda awal adalah kelemahan, nyeri, dan kebas pada ekstremitas atas dan bawah. Deformitas atau abses pregresif kemudian akan meningkatkan tekanan pada medula spinalis, dan gejala akhirnya berkembang menjadi tetraplegi.6

Spondilitis tuberkulosa servikalis merupakan gambaran yang jarang dijumpai, namun lebih serius karena komplikasi neurologis yang serius lebih cenderung terjadi. Kondisi ini dicirikan dengan nyeri dan kaku pada leher. Pasien dengan lesi yang melibatkan vertebra servikal bawah dapat mengalami disfagi atau stridor. Gejala dapat mencakup tortikolis, suara parau dan defisit neurologis.21

(30)

bergantung pada level kompresi medula spinalis. Spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis atas dapat menyebabkan gejala yang berkembang cepat. Abses retrofaring dijumpai pada hampir semua kasus. Manifestasi neurologis terjadi pada awal penyakit dan bervariasi dari kelumpuhan saraf tunggal hingga hemiparese atau tetraparese.21 Banyak penderita spondilitis tuberkulosa (62-90% pasien pada suatu studi) tidak menunjukkan bukti adanya tuberkulosis ekstraspinal, yang menyulitkan diagnosis yang segera.21

III.8. Prosedur Diagnostik

Diagnosis spondilitis tuberkulosa harus dijajaki jika terdapat kecurigaan klinis, bahkan jika tidak dijumpai gambaran radiologi paru yang mendukung. Spondilitis tuberkulosa juga harus selalu diduga jika gambaran radiologis menunjukkan proses destruksi vertebra.21

Algoritma diagnostik untuk infeksi tulang belakang dapat dilihat pada gambar 5. Terlepas dari agen penyebabnya, gejala klinis yang paling sering adalah nyeri punggung dan spasme otot para vertebral. 29

Gambar 5. Algoritma Diagnostik Infeksi Tulang Belakang

Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving concepts. Curr Opin Rheumatol. 2008 ; 20 (4) : 471-479.

III.8.1. Anamnese

(31)

Escherichia coli). Perjalanan penyakit yang lebih bersifat perlahan mendukung diagnosis penyakit granulomatosa. Pasien dengan immunocompromised, akibat obat-obatan atau infeksi HIV, memiliki risiko tinggi untuk menderita tuberkulosa aktif. 6

Gambaran adanya penyakit sistemik, berupa kehilangan berat badan,keringat malam,demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia

mendukung adanya infeksi tuberkulosa. Begitu pula jika dijumpai riwayat batuk lama (lebih dari tiga minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri dada.13

Pasien biasanya mengeluhkan nyeri punggung,baik berupa nyeri yang terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke lengan. Lesi di torakal atas akan menyebabkan nyeri yang terasa di dada atau interkostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku. Pola berjalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung. 13,20

Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu tangannya,sementara tangan lainnya di oksipital. Kekakuan pada leher pada bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis tortikolis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakea sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medula spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis.13

III.8.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tulang belakang dapat menunjukkan adanya nyeri tekan pada prosesus spinosus 6 dan spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.13 Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di atasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retrofaring, atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi.13

(32)

dan berjalan.6 Pada penyakit tahap lanjut, kifosis fokal dapat terlihat pada pemeriksaan fisik, biasanya pada tulang belakang midthoracic hingga thoracolumbar. Angulasi tajam menyebabkan penonjolan prosesus spinosus pada level kolaps vertebra, menyebabkan pasien harus membungkuk ke depan.6

III.8.3. Pemeriksaan Penunjang III.8.3.1. Laboratorium Darah

Dapat dijumpai peningkatan laju endap darah (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam. Pemeriksaan apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif. 13

III.8.3.2. Radiologis

III.8.3.2.1. Foto Polos Vertebra

Foto polos anterior-posterior dan lateral merupakan pemeriksaan imejing awal yang dilakukan pada tiap pasien dengan nyeri punggung kronis dan progresif. Pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa, gambaran radiologis bergantung pada luas dan durasi infeksi. Gambaran radiologis awal dapat terlihat normal pada penyakit tuberkulosis, namun seiring perjalanan waktu, penyempitan celah diskus dan reaksi end-plate dapat menjadi gambaran yang menonjol.6

Foto polos harus dievaluasi untuk destruksi tulang, sklerosis tulang, disrupsi end-plate,destruksi pedikel, diskus intervertebralis dan jaringan lunak paravertebral.28 Gambaran radiologis yang mendukung diagnosis tuberkulosis mencakup keterlibatan banyak level, relatif tidak terkenanya diskus intervertebralis, abses paravertebral yang besar, dan penyebaran subligamentosa.2

Gambar 6. Foto Polos Vertebra pada Spondilitis Tuberkulosa

(33)

Destruksi endplate dan destruksi korpus vertebra adalah dua tanda yang paling bermanfaat pada foto polos untuk mendiagnosa spondilitis tuberkulosa dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (>79%). Adanya jaringan lunak paravertertebral dan destruksi pedikel memiliki spesifisitas yang tinggi namun sensitifitas yang rendah, sedangkan penyempitan diskus memiliki sensitifitas yang tinggi namun spesifisitas yang rendah. Secara keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas dari foto polos adalah 82.8% dan 83.9% secara berurutan. (tabel 1) 28

Tabel 1. Sensitifitas dan Spesifisitas Gambaran Foto Polos Vertebra Pada Spondilitis Tuberkulosa

Dikutip dari : Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al. Diagnostic accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med Assoc Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589

Pada foto polos, temuan dini yang paling sering adalah penyempitan diskus dan osteolisis vertebra. Kemudian diikuti dengan bayangan paravertebra, kolaps vertebra dan angulasi vertebra pada kasus lanjut. Abnormalitas ini mungkin tidak dijumpai pada foto polos hingga 8 minggu.28,30

III.8.3.2.2. Computed Tomography Scan (CT Scan)

Kalsifikasi di sekitar paraspinal paling baik terlihat dengan CT Scan, yang juga paling baik untuk menunjukkan sejumlah fragmen tulang kecil yang mungkin masih berada di daerah tulang yang rusak. CT scan juga paling baik menunjukkan perluasan anatomis dari destruksi tulang, terutama elemen posterior dan juga membantu untuk mengklarifikasi apakah gangguan pada kanalis spinalis disebabkan oleh keterlibatan jaringan lunak atau tulang. 30

III.8.3.2.3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas pilihan untuk evaluasi adanya infeksi tulang belakang.31 Magnetic resonance imaging adalah metode investigasi pilihan untuk diagnosis spondilitis karena berbagai keuntungannya, mencakup sensitifitas yang tinggi pada tahap awal, gambaran epidural dan paravertebral yang lebih jelas, keterlibatan medula spinalis dan kemungkinan untuk membedakan infeksi tuberkulosa dari yang lain.28

(34)

Pada MRI, berbagai gambaran yang perlu dievaluasi adalah intensitas sinyal dari vertebra dan diskus intervertebralis yang terlibat pada T1W, T2W dan gambaran contrast-enhanced, destruksi korpus vertebra dan vertebral end plate, luasnya keterlibatan korpus vertebra, massa jaringan lunak paraspinal atau pembentukan abses, derajat gangguan kanalis spinalis dengan atau tanpa kompresi akar saraf atau medula spinalis dan alignment vertebra.28

Penelitian oleh Kotze dkk (2006) terhadap gambaran MRI 23 pasien spondilitis tuberkulosa yang telah dikonfirmasi secara histologis dan menemukan gambaran sebagai berikut : pembentukan abses paravertebral yang melibatkan banyak level, penyebaran subligamentosa ke berbagai level, hiperintensitas pada vertebra yang terkena pada gambaran T2 dan hipointensitas vertebra yang terkena pada gambaran T1.27

Perubahan radiologis tipikal adalah perubahan pada dua korpus vertebra yang berdekatan dengan destruksi diskus intervertebralis dan adanya abses paravertebral. Gambaran MRI dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (>80%) adalah disrupsi endplate (100%,81.4%), jaringan lunak paravertebral (96.8%, 85.3%) dan intensitas sinyal tinggi pada diskus intervertebralis pada T2W (80.6%, 82.4%). Tanda pada MRI dengan sensitifitas tinggi namun spesifisitas rendah adalah edema bone marrow (90.3%, 76.5%), bone marrow enhancement (100%, 42.5%), keterlibatan elemen posterior (93.5%, 76.5%), stenosis kanalis (87.1%, 26.5%) dan kompresi medula spinalis atau akar saraf 980.6%, 38.2%). Gambaran MRI dengan sensitifitas yang rendah namun spesifisitas tinggi adalah enhancement diskus intervertebralis (63.3%, 84.2%), kolaps vertebra (58.1%, 85.3%), dan deformitas kifosis (67.7%, 82.4%). Detail sensitifitas dan spesifisitas tiap gambaran MRI terlihat pada tabel 2. Secara keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas MRI untuk spondilitis tuberkulosa adalah 100% dan 88.2% secara berturut-turut.28

Tabel 2. Sensitifitas dan Spesifisitas Gambaran MRI pada Spondilitis Tuberkulosa

(35)

Gambar 7. Gambaran MRI Spondilitis Tuberkulosa

Dikutip dari :Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.

III.8.2.4. Biopsi Jarum

Jika terdapat kecurigaan klinis terhadap adanya suatu spondilitis tuberkulosa dan gambaran radiologis menunjukkan lesi destruktif yang membutuhkan terapi bedah, maka

debridement lesi akan menyediakan materi yang cukup banyak untuk kultur dan diagnosis. Namun, jika ditemukan pada awal perjalanan penyakit, mungkin tidak ada indikasi untuk intervensi bedah. Untuk kasus ini, biopsi jarum yang diarahkan dengan CT atau MRI dapat memberikan material diagnostik. Dengan arahan imejing, jarum halus dapat ditujukan ke rongga abses melalui dinding otot posterior. Jika didapatkan cairan abses, cairan ini dapat ditarik melalui jarum halus tanpa kesulitan. Jika dijumpai jaringan granulasi, mungkin diperlukan suatu trocar untuk memperoleh spesimen jaringan. 6

III.8.2.5. Konfirmasi Diagnostik

Jika muncul kecurigaan adanya spondilitis tuberkulosa, maka diperlukan pemeriksaan primer untuk infeksi sistemik.6

III.8.2.5.1. Foto Toraks

(36)

lobus bawah; kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular; bayangan bercak milier; efusi pleura unilateral.18

III.8.2.5.2. Tes Tuberkulin

Tes tuberkulin (purified protein derivative/PPD) merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk adanya paparan penyakit namun tidak menunjukkan penyakit aktif atau menunjukkan derajat infeksi. Tes ini juga dapat sedikit positif jika pasien pernah menerima vaksin BCG.6 Di Indonesia, dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi,uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. 18

Tes tuberkulin didasarkan pada fakta bahwa infeksi Mt menghasilkan reaksi hipersensitifitas tipe lambat terhadap komponen antigenik tertentu dari organisme yang terkandung dalam ekstrak filtrat kultur yang disebut ‘tuberkulin”. Sebagian besar konstituen PPD adalah protein kecil dengan massa molekuler lebih kurang 10.000 Da, namun juga dijumpai polisakarida dan lipid. Ukuran konstituen pada PPD yang relatif kecil adalah alasan mengapa PPD tidak mensensitisasi individu yang tidak pernah terpapar terhadap mycobacteria.1

III.8.2.5.3. Pemeriksaan Bakteriologis dan Kultur

Deteksi basil tahan asam secara mikroskopis pada sediaan yang telah diwarnai adalah bukti bakteriologis pertama dari adanya mycobacteria di spesimen klinis. Teknik ini merupakan prosedur yang paling mudah dan paling cepat yang dapat dilakukan. Prosedur pewarnaan yang umum digunakan adalah metode carbolfuchsin, yang mencakup metode Ziehl-Neelsen dan

Kinyoun, dan prosedur fluorochrome menggunakan auramin-0 atau auramine-rhodamin. Sejumlah studi kuantitatif menunjukkan bahwa harus terdapat 5.000 hingga 10.000 basil per mililiter spesimen untuk memungkinkan deteksi bakteri pada pewarnaan. Sebaliknya, 10-100 organisme dibutuhkan untuk kultur positif.1 

Diagnosis pasti dibuat jika dijumpai basil tuberkulosis tahan asam pada kultur sputum, urin atau bahan biopsi. Basil tuberkulosis tumbuh lambat pada kultur, sekitar 6-8 minggu.6 Seluruh spesimen klinis yang dicurigai mengandung mycobacteria harus diinokulasi ke media kultur untuk empat alasan : (1). Kultur lebih sensitif dibanding mikroskopis, mampu mendeteksi sampai sesedikit 10 bakteria/ml material; (2) pertumbuhan organisme diperlukan untuk identifikasi spesies dengan tepat; (3) uji sensitifitas obat membutuhkan kultur organisme ; (4)

(37)

III.8.2.5.4. Metode Amplifikasi Asam Nukelat

Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. 18 Kemajuan dramatis dalam deteksi dan identifikasi Mt diperoleh dengan metode menggunakan teknik amplifikasi asam nukleat. 1 Beberapa tekniknya mencakup polymerase chain reaction (PCR), transcription mediated amplification, strand dispalcement amplification, ligase chain rection.33,34 Tes PCR sangat spesifik untuk basil tuberkulosis dan memberikan konfirmasi cepat dari kultur yang positif.6 Bahan pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ektraparu sesuai dengan organ yang terlibat.18 Sensitifitas PCR untuk deteksi langusng Mt mencapai 80% sedangkan spesifisitasnya 97%. 33

III.9. Diagnosa Banding

Diagnosis banding spondilitis tuberkulosa cukup luas. Selain spondilitis piogenik, infeksi yang memiliki gambaran radiologis yang mirip adalah Salmonella typhi, brucella, jamur (actinomycosis, blastomycosis) dan syphilis.Baik tumor jinak (hemangioma, giant cell tumor, kista) maupun tumor ganas (Ewing’s sarcoma, osteosarcoma,multiple myeloma, metastase) juga termasuk dalam diagnosis banding.2

(38)

Tabel 3. Perbedaan Gambaran Klinis, Laboratorium dan Radiologis pada Infeksi Vertebra

Dikutip dari : Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving concepts. Curr Opin Rheumatol. 2008 ; 20 (4) : 471-479.

(39)

Tabel 4. Perbedaan Radiologis Spondilitis Tuberkulosa dan Piogenik

Dikutip dari : Manelfe C. Infections of the spine imaging.

Gambaran yang paling jelas membedakan spondilitis tuberkulosa dari piogenik adalah relatif tidak terkenanya diskus intervertebralis. Mycobacteria tidak memiliki enzim proteolitik yang diumpai pada bakteri yang umumnya menyebabkan osteomielitis piogenik. Spondilitis tuberkulosa juga dapat dibedakan dari ciri abses paravertebral. Beberapa penulis meyakini bahwa semakin besar abses yang terbentuk, semakin besar kecenderungan bahwa tuberkulosa adalah penyebabnya. Dinding abses tebal dan tampak enhancing secara ireguler pada gambaran MRI, dan gambaran ini dianggap diagnostik untuk spondilitis tuberkulosa.30

Tabel 5. Gambaran Radiologis Sugestif Tuberkulosa

Dikutip dari : Joseffer SS, Cooper PR. Modern imaging of spinal tuberculosis. J Neurosurg Spine. 2005 ; 2: 145-150.

III.10. Penatalaksanaan

(40)

Strategi manajemen optimal bergantung pada luas dan lokasi destruksi tulang, adanya deformitas spinal dan instabilitas, dan keparahan gangguan neurologis.9 Dekompresi agresif, pemberian obat antituberkulosa selama 9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan terjaganya fungsi neurologis.9

III.10.1. Penatalaksanaan Medis/Konservatif 1. Pemberian Nutrisi yang Bergizi13

2. Istirahat dan Immobilisasi

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakang dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sampai dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. 13 Immobilisasi leher dapat dilakukan dengan menggunakan cervical brace selama 6-18 bulan.20

3. Pemberian Obat Anti Tuberkulosa

Pemberian obat-obatan tetap menjadi prinsip utama penatalaksanaan pada individu dengan tuberkulosis. Awalnya dianggap bahwa tuberkulosa skeletal memerlukan penatalaksanaan selama 12-18 bulan akibat penetrasi yang buruk dari obat antituberkulosis ke struktur tulang; walaupun begitu terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa tuberkulosa skeletal dapat diterapi dengan pemberian obat yang lebih singkat. Untuk infeksi spondilitis tuberkulosa tanpa komplikasi, British and American Thoracic Societies merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan. Respon pengobatan dapat dinilai dengan radiologis, perbaikan nyeri punggung, dan kembalinya defisit neurologis,jika ada. Jika pasien tidak menunjukkan respon terhadap terapi, pengobatan harus diperpanjang hingga 9-12 bulan. Terapi untuk individu yang sensitif terhadap obat terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial atau intensif selama 2 bulan dengan 4 jenis obat, yaitu isoniazid (H) (5mg/kgBB/hari 10 mg/kgBB/hari hingga 300 mg/hari) , rifampicin (R) (10 mg/kgBB/hari hingga 600 mg/hari), pyrazinamide (Z) (15-30 mg/kgBB/hari) dan etambutol (E) (15-25 mg/kgBB/hari) , diikuti dengan fase lanjutan 4-7 bulan, dengan isoniazid dan rifampicin.

13,15,21

(41)

III.10.2. Penatalaksanaan Bedah

Intervensi bedah diperlukan pada kasus lanjut dengan destruksi tulang ekstensif, pembentukan abses atau gangguan neurologis. Tujuan pembedahan adalah untuk mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal. Pembedahan juga memfasilitasi kemoterapi yang sukses, karena kavitas abses menimbulkan lingkungan yang melindungi basil dari antibiotik sistemik. Ketika diperlukan pembedahan, hasilnya paling baik jika dilakukan pada awal proses penyakit, sebelum terbentuk fibrosis dan jaringan parut. Selanjutnya,pembentukan jaringan parut yang padat menyebabkan perlekatan ke pembuluh darah besar atau struktur vital, menyebabkan diseksi dan paparan pembedahan menjadi berbahaya. Respon klinis terhadap pembedahan juga lebih cepat dan lebih lengkap pada pasien dengan penyakit aktif jika dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kronis dan deformitas.6,36

Indikasi untuk pembedahan pada spondilitis tuberkulosa secara umum mencakup defisit neurologis (perburukan neurologis akut, paraparesis), deformitas spinal dengan instabilitas atau nyeri, tidak menunjukkan respon terhadap terapi medis (kifosis atau instabilitas yang terus berlanjut), abses paraspinal yang besar, biopsi diagnsotik.9,15,21

Indikasi pembedahan mencakup faktor klinis (keterlibatan saraf, paraplegia, dan abses retrofaring besar yang menyebabkan gangguan ventilasi atau menelan), faktor pengobatan (defisit persisten atau progresif saat pemberian terapu konservatif yang sesuai, faktor imejing yaitu keterlibatan panvertebral (skoliosis atau kifosis berat pada foto polos,destruksi global pada CT atau MRI) atau kompresi ekstradural (kompresi medula spinalis akibat jaringan granulasi pada MRI) dan faktor pasien (spasme yang menyakitkan atau kompresi akar saraf).2

Keterlibatan vertebra servikalis cukup jarang dan pasien biasanya menunjukkan gejala nyeri, kaku dan tortikolis. Abses yang besar dapat menyebabkan suara serak, stridor dan disfagia. Indikasi untuk pembedahan adalah jika abses menyebabkan disfagia, stridor, atau kesulitan bernafas.2 Pada spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis, faktor yang membenarkan intervensi bedah dini adalah defisit neurologis dengan frekuensi dan keparahan yang berat, kompresi abses yang berat yang menyebabkan disfagi atau asfiksia, instabilitas vertebra servikalis.21

(42)

Tabel 6. Klasifikasi Spondilitis Tuberkulosa

Dikutip dari : Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M,et al. A new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics. 2008 ; 32 : 127-133.

III.11. Prognosis

Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan. 13 Secara umum, prognosis untuk pemulihan cukup baik jika disfungsi neurologis berkembang secara bertahap dan memiliki durasi singkat. Prognosis buruk jika pasien menunjukkan paraplegia komplit, perkembangan cepat, durasi gejala yang lama dan onset penyakit yang lambat.2

IV. DISKUSI KASUS

(43)

Dari anamnesa diperoleh keluhan utama berupa lemah keempat anggota gerak. Hal ini dialami OS sejak ± 2 minggu sebelum masuk RSUP H. Adam Malik, terjadi secara perlahan – lahan. Awalnya os merasa nyeri pada leher sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit yang semakin lama semakin memberat. Nyeri memberat dengan aktivitas dan berkurang jika os beristirahat, yang disertai keterbatasan gerak leher dan rasa kebas pada lengan. Lemah lengan kanan dialami os sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Dalam 2 minggu berikutnya OS mulai merasakan kelemahan pada lengan kirinya, disusul lemah pada tungkai kanan 2 minggu berikutnya dan lemah pada tungkai kiri 2 minggu kemudian. Riwayat BAK dan BAB tertahan dijumpai sejak 2 minggu terakhir. Sulit menelan dialami os sejak 3 minggu sebelum masuk RS dan memberat dalam 1 minggu terakhir. Riwayat trauma (-). Riwayat demam (+) sejak 2 bulan ini, demam terutama pada malam hari. Riwayat batuk –batuk lama (-), riwayat batuk darah (-), riwayat keringat malam (-), riwayat penurunan berat badan (+) dialami os sejak ± 2 bulan terakhir.

Pada pemeriksaan neurologis dijumpai gangguan motorik berupa tetraparese tipe UMN dengan disertai hiperrefleks dan refleks patologis (+). Pada pemeriksaan sensibilitas terdapat hipestesi setinggi medula spinalis servikalis 4 dan gangguan proprioseptif. Juga dijumpai gangguan vegetatif berupa retensio urine dan alvi.

Pada pemeriksaan penunjang laboratorium dalam batas normal Pada pemeriksaan thoraks, kesan tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo. Pada pemeriksaan foto vertebra servikal AP/L dijumpai spondilosis servikalis.

Selanjutnya dilakukan MRI servikal dengan kontras dan dijumpai proses inflammation

dari corpus C-3 dengan prevertebral soft tissue mass dan epidural soft tissue mass yang menekan spinal cord di dorsalnya. Spondilitis tuberculosa?

Diagnosa banding yang pertama, spondilitis piogenik, dapat disingkirkan karena perjalanan penyakit yang relatif perlahan dan pada MRI dijumpai gambaran keterlibatan banyak segmen vertebra dan abses paraspinal yang besar. Pada spondilitis piogenik lebih jarang dijumpai keterlibatan korpus vertebra multipel dan abses yang relatif lebih kecil.

Diagnosis banding tumor medula spinalis dapat disingkirkan karena pada MRI tidak dijumpai gambaran SOL pada medula spinals. Pasien ini diterapi dengan obat antituberkulosis dan rencana pemasangan collar neck.

V. PERMASALAHAN

1. Apakah diagnosa pasien ini sudah benar?

(44)

VI. KESIMPULAN

1. Diagnosis spondilitis tuberkulosa servikalis ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan klinis, pemeriksaan neurologis serta pemeriksaan penunjang.

2. Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian obat antituberkulosis, penggunaan collar neck, atau kombinasi dengan pembedahan.

VII. SARAN

(45)

DAFTAR PUSTAKA

1. American Thoracic Society. Diagnostic standards and classification of tuberculosis in adults and children. Am J respir Crit. 2000 ; 161 : 1376-1395.

2. Spiegel DA, Singh GK, Banskota AK. Tuberculosis of the Musculoskeletal System. Techniques in Orthopaedics. 2005 ; 20 (2) : 167-178.

3. Harisinghani M G, McLoud T C, Shepard J, et al. Tuberculosis from Head to Toe. Radiographics. 2000 ; 20 : 449-470

4. Golden M P,Vikram H R. Extrapulmonary tuberculosis : An overview. Am Fam Physician. 2005 ; 72 : 1761-8.

5. Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.

6. McLain RF, Isada C. Spinal Tuberculosis Deserves A Place On The Radar Screen. Cleveland Clinic Journal of Medicine.2004; 71:537-49.

7. Ringhausen FC, Tannapfel A, Nicolas V, et al. A fatal case of spinal tuberculosis mistaken for metastatic lung cancer : recalling ancient Pott’s disease. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials. 2009 ; 8 : 32

8. Androniku S, Jadwat S, Douis H. Patterns of disease on MRI in 53 children with tuberculous spondylitis and the role of gadolinium. Pediatr Radiol. 2002 ; 32 : 798-805. 9. Abdeen K. Surgery for tuberculosis of the cervical spine. The Internet Journal of

Neurosurgery. 2006 ; 3 : 2

10.Palama E, Golias C, Illiadis I, et al. Pulmonary miliary tuberculosis complicated with tuberculous spondylitis : an extraordinary rare association : a case report. Cases Journal. 2009 ; 2 : 7983

11.Pedoman Penatalaksanaan spondilitis Tuberkulosa. Departemen Neurologi FK USU Medan. 2008.

12.Smith I. Mycobacterium tuberculosis pathogenesis and molecular determinants of virulence. Clinical Microbiology Reviews. 2003 ; 16 : 463-496

13.Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. 2002. Available from :

pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/spondilitis_tuberkulosa.pdf

14.Global tuberculosis control : epidemiology, strategy, financing : WHO report 2009. Available from : www.who.int/tb/publications/...report/2009/en/index.html

(46)

16.Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Jawetz,Melnick & Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran.Edisi 20. Jakarta : EGC. 1996. p. 302-310.

17.Kayser FH, Bienz KA, Eckert J. Medical Microbiology.2005. New York. Thieme.

18.Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta. 2006

19.Kaufmann S H. New Issue in tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2004 ;63(Suppl II) : ii50-ii56)

20.Solomon L, warwick DJ, Nayagam S. Apley’s system of orthopaedics and fractures. Eight edition. New York :Oxford university press, 2001.

21.Hidalgo JA. Pott Disease (Tuberculous Spondylitis). 2008. Available from :

emedicine.medscape.com/article/226141

22.Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletalsystem. Third edition. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins, 1999 : 226-231.

23.Nair S P, Meghi S, Wilson M, et al. Bacterially induced bone destruction : mechanisms and misconceptions. Infection and Immunity. 1997 ; 64 (7) : 2371-2380.

24.Meghji S, White PA, Nair S P, et al. Mycobacterium tuberculosis chaperonin stimulates bone resorption : a potential contributory factor in Pott’s disease. J Exp Med. 1997 ; 1241-1246.

25.Ranford JC, Coates A R M, Henderson B. Chaperonins are cell-signalling proteins : the unfolding bioligy of molecular chaperones. Expert reviews in molecular medicine. 2000. Available from : http://www.ermm.cbcu.cam.ac.uk

26.Qamra R, Mande SC, Coates ARM, et al. The unusual chaperonins of Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis. 2005 ; 85 : 385-394.

27.Kotze D J, Erasmus L J. MRI findings in proven mycobacterium tuberculosis spondylitis. SA journal of Radiology. 2006 ; 10 (2) : 6-12.

28.Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al. Diagnostic accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med Assoc Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589.

29.Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving concepts. Curr Opin Rheumatol. 2008 ; 20 (4) : 471-479.

30.Joseffer SS, Cooper PR. Modern imaging of spinal tuberculosis. J Neurosurg Spine. 2005 ; 2: 145-150.

(47)

32.Hong SH, Kim SM, Ahn JM,et al. Tuberculous versus pyogenic arthritis: MR imaging evaluation. Radiology. 2001 ; 218 : 848-853.

33.Kurth R, Haas WH. Epidemiology, diagnostic possibilities and treatment of tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2002 ; 61 (Suppl II) : ii59-ii61.

34.Gamboa F, Dominguez J, Padilla E, et al. Rapid diagnosis of extrapulmonaru tuberculosis by ligase chain reaction amplification. Journal of Clinical Mycrobiology. 1998 ; 36 (5) : 1324-1329.

35.Manelfe C. Infections of the spine imaging. Available from : www.star-program.com/resource.ashx/abstract/232

36.Ge Z, Wang Z, Wei M. Measurement of the concentration of three antituberculosis drugs in the focus of spinal tuberculosis. Eur Spine . 2008 ; 17 : 1482-1487.

(48)

Lampiran 1

(49)
(50)

Gambar

Gambar 1. Infeksi, perjalanan penyakit dan mekanisme imun pada tuberkulosis
Gambar 2. Patogenesis Spondilitis  Tuberkulosa
Gambar 3. Penyebaran basil tuberkel pada vertebra
Gambar 4. Komponen Bakteri dan Patologi Tulang
+7

Referensi

Dokumen terkait

secara insidental ditemukan pada gambaran foto toraks. Seseorang dengan lesi fibrotik seharusnya menjalankan uji diagnosis LTBI dan dievaluasi untuk penyakit aktif.

Skripsi ini yang berjudul Gambaran Intensitas Nyeri Pada Pasien Karsinoma.. Nasofaring (KNF) Di

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan gambaran nyata tentang mutu cookies garut yang digunakan pada program PMT untuk ibu hamil sehingga dapat dievaluasi

Berbagai tingkatan yang membentuk lintasan kontrol untuk aliran sinyal mulai dari sinyal masukan menuju sinyal keluaran, seperti ditunjukkan pada gambar berikut : ALAT AKTUASI

Gambaran sinyal ECG pada subjek pre exercise pada awalnya dalam kondisi normal, setelah menjalankan exercise selama 15 menit dan minum minuman.. Sedangkan pada

Gambar 4: Jalur transduksi sinyal dan jaringan komunikasi silang antara gen tumor supresor yang terlibat pada karsinoma nasofaring. Penelitian di Cina tahun 2010, pada

magnetisasi transversal lemak akan decay lebih cepat dari pada air sehingga akan menghasilkan intensitas sinyal lemah sehingga tampak hipointens pada kontras citra

Persamaan linier yang didapatkan dari model IPS digunakan untuk menentukan jarak antara receiver dan transmitter berdasarkan intensitas sinyal Wi-Fi yang terukur pada saat