• Tidak ada hasil yang ditemukan

8.2.5.4 Metode Amplifikasi Asam Nukelat

Dalam dokumen Spondilitis Tuberkulosa Servikalis (Halaman 37-42)

Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. 18 Kemajuan dramatis dalam deteksi dan identifikasi Mt diperoleh dengan metode menggunakan teknik amplifikasi asam nukleat. 1 Beberapa tekniknya mencakup polymerase chain reaction (PCR), transcription mediated amplification, strand dispalcement amplification, ligase chain rection.33,34 Tes PCR sangat spesifik untuk basil tuberkulosis dan memberikan konfirmasi cepat dari kultur yang positif.6 Bahan pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ektraparu sesuai dengan organ yang terlibat.18 Sensitifitas PCR untuk deteksi langusng Mt mencapai 80% sedangkan spesifisitasnya 97%. 33

III.9. Diagnosa Banding

Diagnosis banding spondilitis tuberkulosa cukup luas. Selain spondilitis piogenik, infeksi yang memiliki gambaran radiologis yang mirip adalah Salmonella typhi, brucella, jamur (actinomycosis, blastomycosis) dan syphilis.Baik tumor jinak (hemangioma, giant cell tumor, kista) maupun tumor ganas (Ewing’s sarcoma, osteosarcoma,multiple myeloma, metastase) juga termasuk dalam diagnosis banding.2

Membedakan spondilitis tuberkulosa dari spondilitis piogenik biasanya cukup sulit. Secara klinis, infeksi tuberkulosis secara umum mengenai orang dewasa pada dekade keempat dan kelima sedangkan insidensi puncak spondilitis piogenik adalah pada dekade keenam atau ketujuh. Batas halus dari abses dingin, yang memiliki penyebaran subligamentosa, berkebalikan dengan batas irreguler dari abses piogenik, dimana enzim proteolitik dapat menghancurkan ligamen paraspinal. Keterlibatan korpus vertebra multipel lebih jarang dijumpai pada spondilitis piogenik. Ukuran massa paraspinal biasanya lebih besar pada infeksi tuberkulosis dibanding infeksi piogenik. Kolaps korpus vertebra jarang dijumpai pada infeksi spinal piogenik namun sering dijumpai pada spondilitis tuberkulosa. Pada tahap kronik, spondilitis tuberkulosa menunjukkan sinyal hiperintense korpus vertebra pada gambaran T1-weighted, sedangkan spondilitis non-tuberkulosa menunjukkan intensitas sinyal rendah.28 Gambaran klinis, laboratorium dan radiologis yang membedakan infeksi vertebra akibat infeksi baktetri, tuberkulosis atau brucella terlihat pada tabel 4. 29

Tabel 3. Perbedaan Gambaran Klinis, Laboratorium dan Radiologis pada Infeksi Vertebra

Dikutip dari : Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving concepts. Curr Opin Rheumatol. 2008 ; 20 (4) : 471-479.

Lesi metastatik akibat malignansi sistemik merupakan kelainan yang harus dibedakan dari spondilitis tuberkulosa. Metastatik memiliki ciri tidak mengenai diskus, seperti halnya spondilitis tuberkulosa. Bahkan karena spondilitis tuberkulosa juga tidak mengenai celah diskus dan dapat mengenai vertebra multipel, gambarannya dapat disalahartikan sebagai metastatik malignansi. Faktor yang menunjukkan dan membedakan spondilitis tuberkulosa dari neoplastik adalah adanya abses paravertebral dan penyebaran subligamentosa. Walapun jarang, spondilitis fungal sulit dibedakan dengan spondilitis tuberkulosa berdasarkan gambaran imejing dan gambaran klinis. Gambaran klinisnya mirip dan mencakup relatif tidak terkenanya diskus dan lesi paravertebral. Tidak mungkin menegakkan diagnosis tanpa melakukan prosedur biosi dengan panduan CT scan untuk evaluasi histopatologis.30

Tabel 4. Perbedaan Radiologis Spondilitis Tuberkulosa dan Piogenik

Dikutip dari : Manelfe C. Infections of the spine imaging.

Gambaran yang paling jelas membedakan spondilitis tuberkulosa dari piogenik adalah relatif tidak terkenanya diskus intervertebralis. Mycobacteria tidak memiliki enzim proteolitik yang diumpai pada bakteri yang umumnya menyebabkan osteomielitis piogenik. Spondilitis tuberkulosa juga dapat dibedakan dari ciri abses paravertebral. Beberapa penulis meyakini bahwa semakin besar abses yang terbentuk, semakin besar kecenderungan bahwa tuberkulosa adalah penyebabnya. Dinding abses tebal dan tampak enhancing secara ireguler pada gambaran MRI, dan gambaran ini dianggap diagnostik untuk spondilitis tuberkulosa.30

Tabel 5. Gambaran Radiologis Sugestif Tuberkulosa

Dikutip dari : Joseffer SS, Cooper PR. Modern imaging of spinal tuberculosis. J Neurosurg Spine. 2005 ; 2: 145-150.

III.10. Penatalaksanaan

Pada pasien dengan infeksi spinal, tujuan terapi adalah untuk menghilangkan penyakit dan untuk mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal.6 Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversi; beberapa penulis menganjurkan pemberian obat- obatan saja sedangkan yang lain merekomendasikan pemberian obat-obatan dengan intervensi bedah. Penatalaksanaan optimal spondilitis tuberkulosa bersifat individual pada tiap kasus.

Strategi manajemen optimal bergantung pada luas dan lokasi destruksi tulang, adanya deformitas spinal dan instabilitas, dan keparahan gangguan neurologis.9 Dekompresi agresif, pemberian obat antituberkulosa selama 9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan terjaganya fungsi neurologis.9

III.10.1. Penatalaksanaan Medis/Konservatif 1. Pemberian Nutrisi yang Bergizi13

2. Istirahat dan Immobilisasi

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakang dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sampai dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. 13 Immobilisasi leher dapat dilakukan dengan menggunakan cervical brace selama 6-18 bulan.20

3. Pemberian Obat Anti Tuberkulosa

Pemberian obat-obatan tetap menjadi prinsip utama penatalaksanaan pada individu dengan tuberkulosis. Awalnya dianggap bahwa tuberkulosa skeletal memerlukan penatalaksanaan selama 12-18 bulan akibat penetrasi yang buruk dari obat antituberkulosis ke struktur tulang; walaupun begitu terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa tuberkulosa skeletal dapat diterapi dengan pemberian obat yang lebih singkat. Untuk infeksi spondilitis tuberkulosa tanpa komplikasi, British and American Thoracic Societies merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan. Respon pengobatan dapat dinilai dengan radiologis, perbaikan nyeri punggung, dan kembalinya defisit neurologis,jika ada. Jika pasien tidak menunjukkan respon terhadap terapi, pengobatan harus diperpanjang hingga 9-12 bulan. Terapi untuk individu yang sensitif terhadap obat terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial atau intensif selama 2 bulan dengan 4 jenis obat, yaitu isoniazid (H) (5mg/kgBB/hari 10 mg/kgBB/hari hingga 300 mg/hari) , rifampicin (R) (10 mg/kgBB/hari hingga 600 mg/hari), pyrazinamide (Z) (15-30 mg/kgBB/hari) dan etambutol (E) (15-25 mg/kgBB/hari) , diikuti dengan fase lanjutan 4-7 bulan, dengan isoniazid dan rifampicin.

13,15,21

Menurut The Medical Research Council, terapi pilihan untuk spondilitis tuberkulosa di negara yang sedang berkembang adalah isoniazid dan rifampicin selama 6-9 bulan.13 Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, lama pengobatan untuk tuberkulosa tulang adalah 9-12 bulan, dengan panduan OAT yang diberikan adalah 2 RHZE/ 7-10 RH. 18

III.10.2. Penatalaksanaan Bedah

Intervensi bedah diperlukan pada kasus lanjut dengan destruksi tulang ekstensif, pembentukan abses atau gangguan neurologis. Tujuan pembedahan adalah untuk mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal. Pembedahan juga memfasilitasi kemoterapi yang sukses, karena kavitas abses menimbulkan lingkungan yang melindungi basil dari antibiotik sistemik. Ketika diperlukan pembedahan, hasilnya paling baik jika dilakukan pada awal proses penyakit, sebelum terbentuk fibrosis dan jaringan parut. Selanjutnya,pembentukan jaringan parut yang padat menyebabkan perlekatan ke pembuluh darah besar atau struktur vital, menyebabkan diseksi dan paparan pembedahan menjadi berbahaya. Respon klinis terhadap pembedahan juga lebih cepat dan lebih lengkap pada pasien dengan penyakit aktif jika dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kronis dan deformitas.6,36

Indikasi untuk pembedahan pada spondilitis tuberkulosa secara umum mencakup defisit neurologis (perburukan neurologis akut, paraparesis), deformitas spinal dengan instabilitas atau nyeri, tidak menunjukkan respon terhadap terapi medis (kifosis atau instabilitas yang terus berlanjut), abses paraspinal yang besar, biopsi diagnsotik.9,15,21

Indikasi pembedahan mencakup faktor klinis (keterlibatan saraf, paraplegia, dan abses retrofaring besar yang menyebabkan gangguan ventilasi atau menelan), faktor pengobatan (defisit persisten atau progresif saat pemberian terapu konservatif yang sesuai, faktor imejing yaitu keterlibatan panvertebral (skoliosis atau kifosis berat pada foto polos,destruksi global pada CT atau MRI) atau kompresi ekstradural (kompresi medula spinalis akibat jaringan granulasi pada MRI) dan faktor pasien (spasme yang menyakitkan atau kompresi akar saraf).2

Keterlibatan vertebra servikalis cukup jarang dan pasien biasanya menunjukkan gejala nyeri, kaku dan tortikolis. Abses yang besar dapat menyebabkan suara serak, stridor dan disfagia. Indikasi untuk pembedahan adalah jika abses menyebabkan disfagia, stridor, atau kesulitan bernafas.2 Pada spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis, faktor yang membenarkan intervensi bedah dini adalah defisit neurologis dengan frekuensi dan keparahan yang berat, kompresi abses yang berat yang menyebabkan disfagi atau asfiksia, instabilitas vertebra servikalis.21

Dengan indikasi yang tepat, tindakan bedah lebih unggul dalam mencegah perburukan neurologis, mempertahankan stabilitas, pemulihan dan mobilisasi segera. Oguz et al (2008) menerapkan suatu sistem klasifikasi untuk panduan terapi dan membagi spondilitis tuberkulosa menjadi tiga tipe. (table 6) 37

Tabel 6. Klasifikasi Spondilitis Tuberkulosa

Dikutip dari : Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M,et al. A new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics. 2008 ; 32 : 127-133.

III.11. Prognosis

Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan. 13 Secara umum, prognosis untuk pemulihan cukup baik jika disfungsi neurologis berkembang secara bertahap dan memiliki durasi singkat. Prognosis buruk jika pasien menunjukkan paraplegia komplit, perkembangan cepat, durasi gejala yang lama dan onset penyakit yang lambat.2

Dalam dokumen Spondilitis Tuberkulosa Servikalis (Halaman 37-42)

Dokumen terkait