• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dilema badan kehormatan dpr antara penegak etika anggota dewan dan kepentingan fraksi(Studi Kasus Video Pornografi Karolina Margaret Natasa dan Kasus Upaya Pemerasan BUMN )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dilema badan kehormatan dpr antara penegak etika anggota dewan dan kepentingan fraksi(Studi Kasus Video Pornografi Karolina Margaret Natasa dan Kasus Upaya Pemerasan BUMN )"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR ANTARA PENEGAK ETIKA ANGGOTA DEWAN DAN KEPENTINGAN FRAKSI

(Studi Kasus Video Pornografi Karolina Margaret Natasa dan Kasus Upaya Pemerasan BUMN )

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun oleh RIZQI RAMADHANI

NIM: 109033200019

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR ANTARA PENEGEK ETIKA ANGOTA DEWAN DAN KEPENTINGAN FRAKSI

(Studi Kasus Video Pornografi Karolina margaret Natasa dan Kasus Upaya Pemerasan BUMN)

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 Desember 2013

(3)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Rizqi Ramadhani NIM : 109033200019 Program Studi : Ilmu Politik

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR ANTARA PENEGEK ETIKA ANGGOTA DEWAN DAN KEPENTINGAN FRAKSI (Studi Kasus Video Pornografi Karolina Margaret Natasa dan Kasus Upaya Pemerasan BUMN ) ... ...

Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji

Jakarta, 24 Desember 2013

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Program Studi Pembimbing,

(4)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

DILEMA BADAN KEHORMATAN (BK) DPR ANTARA PENEGEK ETIKA ANGGOTA DEWAN DAN KEPENTINGAN FRAKSI

Oleh Rizqi Ramadhani NIM: 109033200019

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Desember 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.

Ketua, Sekretaris,

Dr. Ali Munhanif M. Zaki Mubarak, M.Si

NIP. 19651212 199203 1 004 NIP. 19730927 200501 1 008

Penguji I, Penguji II,

Idris Thaha, M.Si M. Zaki Mubarak, M.Si

NIP. 19660805 200112 1 001 NIP. 19730927 200501 1 008

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada 24 Desember 2013

Ketua Program Studi FISIP UIN Jakarta

Dr. Ali Munhanif

(5)

iv

ABSTRAKSI

DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR ANTARA PENEGEK ETIKA ANGGOTA DEWAN DAN KEPENTINGAN FRAKSI

Ketika ditanya apakah etika itu penting? Semua akan menjawab dengan cepat, etika itu sangat penting. Namun ketika ditanya, lantas bagaimana cara kita untuk menegakkan etika tersebut? Semua akan terdiam sesaat untuk menjawabnya. Pasca reformasi 1998, kesadaran untuk menuju demokrasi yang berbudaya semakin tinggi. Era demokrasi terbuka menuntut anggota perwakilan rakyat untuk menjadi sosok legislator yang bermoral. Maraknya kasus korupsi, rendahnya integritas anggota dewan, dan bobroknya moral anggota dewan berdampak terhadap buruknya citra lembaga perwakilan. Pada tahun 2003 sebuah alat kelengkapan tetap yang bertugas untuk menegakkan kode etik anggota dewan terbentuk. Badan Kehormatan DPR menjadi alat kelengkapan tetap. Pembentukkan Badan Kehormatan DPR sebagai alat kelengkapan tetap berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 (mengenai Susunan dan Kedudukan) yang kemudian direvisi kembali pada UU No. 27 tahun 2009 merupakan jawaban atas pertanggungjawaban moral anggota DPR. Tugasnya dalam menegakkan kode etik DPR membuat masyarakat menilai positif akan kemajuan dari lembaga perwakilan tersebut dalam segi moral dan etika.

Skripsi ini menganalisa mengenai penegakkan kode etik oleh alat kelengapan tetap DPR yang bernama Badan Kehormatan DPR (BK DPR). BK sebagai lembaga penegak kode etik DPR mempunyai tugas yang tidak muda. Kehadiran BK seperti buah simalakama disaat yang sama BK bertugas menegakkan dan menghukum anggota dewan yang terbukti telah melanggar kode etik DPR. Disisi lain BK menghukum satu teman fraksinya sendiri. BK DPR terlihat mengalami dilematis sebagai lembaga penegak etik. BK DPR RI kini telah berusia delapan tahun, usia yang masih terbilang baru untuk sebuah lembaga penegak etik. Berbagai macam permasalahan kode etik para anggota DPR masih banyak kerap terjadi.

(6)

v

KATA PENGANTAR ﻢﯿﺣﺮﻟا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ

Assalaamu'alaikum wr. wb

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak nikmat dan senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis sehingga hanya karena limpahan nikmat-nikmat itu penulisan dapat menyelesaikan skripsi ini dengan waktu yang diharapkan. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang tiada terhitung jasanya bagi umat manusia, dengan membawa umatnya dari alam kegelapan dan kebodohan kepada alam yang terang benderang yang bertaburan ilmu pengetahuan.

Penulisan skripsi ini adalah salah satu syarat dari sebuah uji persyaratan yang harus ditempuh dalam menyelesaikan program studi Strata Satu ( S1) Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini penulis beri judul “DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR ANTARA PENEGEK ETIKA ANGGOTA DEWAN DAN KEPENTINGAN FRAKSI (Studi Kasus Video Pornografi Karolina Margaret Natasa dan Kasus Upaya Pemerasan BUMN )”.

(7)

vi

skripsi ini. Kepada Bapak tercinta, Ibu tersayang dan kakak-kakak penulis yang baik, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam atas semua pengorbanan dan kasih sayangnya. Sehingga penulis bisa kuliah dan bisa menyelesaikan studi strata 1 (S1) penulis. Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan betapa berterima kasihnya penulis kepada orang tua. Selain itu penulis juga haturkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy selaku Dekan FISIP UIN Jakarta atas kepemimpinannya terhadap FISIP UIN Jakarta.

2. Bapak Dr. Ali Munhanif selaku ketua program studi Ilmu politik 3. Bapak Zaki Mubarak, M.Si selaku seketaris program studi Ilmu

Politik, yang telah memberikan penulis masukkan atas penulisan judul skripsi ini.

4. Ibu Haniah Hanafie, M.Si selaku dosen pembimbing. Penulis haturkan terima kasih banyak atas waktu, saran, nasihat, semangat dan gagasan-gagasannya selama ini.

5. Bapak Idris Thaha, M.Si dan Bapak Zaki Mubarak, M.Si selaku dosen penguji.

(8)

vii

7. Staf dan Karyawan FISIP yang banyak membantu penulis dalam surat menyurat, Pak Jajang dan semua yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

8. Seluruh Teman-teman seperjuangan Prodi Ilmu politik 2009 (Agil, Agus, Eko, Fikri, Ghofur, Riben, Rangga, Zidni, Hafidz, Eni dll). Penulis haturkan terima kasih banyak atas kebersamaannya selama kurang lebih 4 Tahun ini. Sampai bertemu kembali di mimpi-mimpi indah.

9. Teman-teman kelompok PAKZI yang selalu menjadi inspirasi. Arep, Algi, Ayu, Baihaqi, Elva, Lina, Mutya, Novie, Riza, Dwi dan Riski Noa. Masa-masa indah kuliah telah berakhir. Semoga kita masih bersua kembali disaat impian kita semua tercapai. See U on Top Guys. 10.Tidak lupa teman-teman KKN BBM 2012 serta teman-teman kosan

“Warna-Warni”. Nabil, Fajar, Andri dan Amar. Yang memiliki janji untuk bisa mengangkat toga secara bersama.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat atas kebaikan dalam membantu penyusunan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Wassalaamu'alaikum wr wb Jakarta, 24 Desember 2013

Rizqi Ramadhani

(9)

viii DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...i

LEMBAR PERSETUJUAN...ii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN...iii

ABSTRAKS ...iv

KATA PENGANTAR ...v

DAFTAR ISI ...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ...9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...9

D. Tinjauan Pustaka ...10

E. Metodologi Penelitian ...11

F. Sistematika Penulisan ...13

BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Kelembagaan Baru ...15

B. Teori Etika Politik ...22

BAB III BADAN KEHORMATAN DPR DALAM PARLEMEN INDONESIA PASCA REFORMASI (2004-2014) A. Dasar Pembentukkan Badan Kehormatan DPR ...27

B. Tugas, Wewenang dan Skema Tata-Beracara BK DPR ...32

C. Komposisi Pimpinan BK DPR ...37

D. Perbedaan BK DPR, BK DPD dan BK DPRD ...43

(10)

ix

BAB IV DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR DALAM PENANGANAN KASUS VIDEO PORNOGRAFI DAN KASUS UPAYA PEMERASAN BUMN

A. Kasus Video Pornografi ... 53

B. Kasus Upaya Pemerasan BUMN (Dahlan Iskan VS DPR) ... 60

C. Dilema Badan Kehormatan DPR ... 76

D. Reformasi Badan Kehormatan DPR ...83

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...90

B. Saran ...91

DAFTAR PUSTAKA ...x

[image:10.612.133.505.198.618.2]

LAMPIRAN TABEL DAN GAMBAR 1. Tabel 1.1 Perubahan Badan Kehormatan DPR ...2

2. Tabel 2.1 Perbedaan lembaga dengan Organisasi ... 20

3. Tabel 3.1 Komposisi Keanggotaan BK DPR 2004-2009 ...38

4. Tabel 3.2 Komposisi Pimpinan BK DPR 2004 -2009 ...39

5. Tabel 3.3 Komposisi Pimpinan BK DPR 2009-2014 ...41

6. Tabel 3.4 Perbedaan BK DPR, BK DPD, BK DPRD ...44

7. Tabel 3.5 Perubahan Kode Etik DPR ...49

8. Tabel 4.1 Saran Perbaikan BK DPR di Periode 2014-2019 ...87

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketika ditanya apakah etika itu penting? Semua akan menjawab dengan cepat, etika itu sangat penting. Namun ketika ditanya, lantas bagaimana cara kita untuk menegakkan etika? Bagaimana kita menegakkan etika dalam dunia politik dan khususnya dunia legislatif? Semua akan terdiam sesaat untuk menjawabnya. Pasca reformasi Mei 1998 di Indonesia, kesadaran untuk menuju demokrasi yang berbudaya semakin tinggi. Etika menjadi sub pokok dalam progres pemerintahan. Etika menjadi perhatian penting terhadap pejabat negara terutama anggota dewan yang notabane dipilih langsung oleh rakyat. Maraknya kasus korupsi, rendahnya integritas anggota dewan, dan bobroknya moral anggota dewan berdampak terhadap buruknya citra lembaga perwakilan.

Pada tahun 2004 Badan Kehormatan (BK) DPR, sebuah alat kelengkapan tetap yang bertugas untuk menegakkan kode etik anggota dewan terbentuk. BK DPR adalah salah satu bentuk perwujudan tanggung jawab moral anggota dewan kepada rakyat. Pembentukan BK DPR merupakan tanggapan atas sorotan publik terhadap kinerja buruk sebagian anggota DPR. Beberapa kasus pelanggaran kode etik1 oleh anggota DPR juga sempat memunculkan desakan agar Badan Kehormatan segera dibentuk, misalnya dalam kasus suap yang diduga melibatkan

1 Kode etik yang dimaksud adalah Pasal 1 kode etik DPR, kode etik sebagai norma-norma

(12)

2

anggota Komisi Keuangan, Perbankan dan Perencanaan Pembangunan DPR dalam periode 1999-2004 untuk melancarkan divestasi Bank Niaga oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Demikian juga ketika muncul indikasi keengganan sebagian anggota DPR untuk menyerahkan formulir daftar kekayaan yang diserahkan oleh Komisi Penyelidik Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) 2. Kini telah digantikan perannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

BK merupakan alat kelengkapan tetap yang paling muda saat ini di DPR. Pada awal pembentukannya bernama Dewan Kehormatan (DK) lalu menjadi Badan Kehormatan (BK). Dulunya BK termasuk dalam alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara, namun dengan perubahan UU No. 22 Tahun 2003 dan revisi terbaru UU No. 27 Tahun 2009, alat kelengkapan ini berubah menjadi alat kelengkapan tetap DPR. Berikut perbedaan pengaturan BK DPR dari awal pembentukkan hingga periode 2014.

Tabel 1.I

Perubahan Badan Kehormatan DPR

No. Point

pengaturan Dewan Kehormatan (DK) 1999-2004 Badan Kehormatan (BK) Periode 2004-2009 Badan Kehormatan (BK) Peroide 2009- 2014.

1 Legalitas Hukum UU No. 4 Tahun 1999 dalam Pasal 37.

Dibentuk sebagai alat kelengkapan yang bersifat sementara.

UU No.22 Tahun 2003 dalam Pasal 56. Dibentuk sebagai alat kelengkapan bersifat tetap.

UU No.27 Tahun 2009 dalam Pasal 123.

Dibentuk sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

2 Jumlah dan Komposisi

Tidak ada pasal. Tidak diketahui tentang jumlah anggota.

UU No.22 Tahun 2003 dalam Pasal 57.

Berjumlah tiga belas orang, terdistribusi

UU No.27 Tahun 2009 dalam Pasal 124.

Berjumlah sebelas

2

(13)

3

menurut komposisi Fraksi.

orang dengan pertimbangan dan pemerataan jumlah Fraksi

3 Pengangkatan Anggota BK

Tidak ada penjelasan.

UU No.22 Tahun 2003 Pasal 57.

Dipilih dan dapat diganti sewaktu-waktu oleh Fraksi

UU No.27 Tahun 2009 Pasal 124.

Dipilih dan dapat diganti sewaku-waktu oleh Fraksi.

4 Pemilihan Pimpinan BK

DPR

Pemimpin terdiri dari satu orang dan wakil dua orang.

Dipilih oleh anggota dewan kehormatan.

Pasal 58.

Pimpinan terdiri dari satu orang dan wakil dua orang.

Dipilih berdasarkan musyawarah dan mufakat .

Pasal 125.

Pemimpin terdiri dari satu orang dan wakil dua orang.

Dipilih berdasarkan musyawarah dan mufakat dan proposional dengan memperhatikan komposisi perempuan menurut perimbangan menurut jumlah Fraksi.

5 Tugas dan Wewenang

Penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan. Memangil yang teradu dan pengadu.

Pasal 59.

Penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan.

Memanggil teradu dan pengadu.

Pasal 127.

Penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan.

Memanggil teradu dan pengadu.

6 Sifat Rapat Tidak ada penjelasan.

Pasal 59.

Bersifat tertutup.

Tartib DPR Tahun 2011 dalam pasal 15. Rapat bersifat tertutup.

7 Sanksi Sanksi

administrasi hingga diberhentikan menjadi anggota DPR.

Pasal 62 dan 63.

Sanksi teguran dan larangan menjadi pimpinan alat kelengkapan.

Tartib DPR Tahun 2011 dalam pasal 38.

Sanksi berupa teguran,

pemberhentian sementara hingga pemberhentian dari anggota DPR.

8. Skema Tata Beracara

Tidak ada pengaturan mengenai skema tata beracara.

Mulai dibuat UU khusus mengenai skema tata beracara BK DPR yaitu, Peraturan DPR No.2 Tahun 2007/2008.

Direvisi kembali pada Peraturan DPR No.2

Tahun 2011

mengenai skema tata beracara BK DPR.

(14)

4

Perbedaan pada tabel adalah perbedaan secara struktural. Perubahan terlihat dari nama, sifat ketetapan, pengangkatan dan jumlah komposisi anggota hingga sanksi. Perubahan dalam struktur BK (2004-2014) terlihat bahwa Fraksi masih dominan. Dominasi Fraksi dapat dideteksi dalam jumlah anggota, komposisi anggota, pemilihan dan pengangkatan anggota hingga sifat rapat yang tertutup. Pada penjelasan mengenai jumlah komposisi anggota BK terbaru disebutkan bahwa “anggota komposisi BK berjumlah 11 (sebelas) orang dengan memperhatikan jumlah angggota Fraksi”. Artinya setiap Fraksi mempunyai wakil anggotanya dalam BK, namun hingga sekarang terdapat 2 (dua) Fraksi yang tidak ada dalam komposisi BK, yaitu Fraksi Gerindra dan Hanura. Komposisi BK ini terlihat menekankan kepentingan Fraksi yang memiliki suara terbanyak diperlemen.

Begitupun dalam hal pengangkatan pimpinan dan anggota BK, semestinya komponen anggota ditetapkan masa tugasnya. Untuk jangka berapa lama anggota BK bertugas, tidak semestinya anggota BK dapat silih berganti sesuai keinginan Fraksi. Apabila terjadi sidang kasus dan ada terjadi pergantian komposisi anggota BK, ditakutkan anggota BK yang baru tidak mengerti mengenai kasus yang disidangkan. Sungguh sangat disayangkan sampai saat ini sifat rapat BK DPR masih bersifat tertutup. Akuntabilitas penanganan kasus seakan ditutupi untuk melindungi teman satu Fraksi dan kepentingan.

(15)

5

dewan yang dipilih langsung oleh rakyat haruslah bertanggung jawab kepada rakyat. Sidang pelanggaran kode etik DPR yang tertutup demikian membuat rakyat menduga BK DPR hanya “bersidang-sidangan” untuk menutupi kejelekan etik angggota dewan. BK seharusnya memposisikan diri bukan lagi bagian dari partai politik di DPR, karena kedudukan anggota partai politik di dalam tubuh BK sangat rentan dibajak oleh pihak parpol yang anggotanya bermasalah di BK

Revisi Paket Undang-undang Politik terutama revisi atas Undang-undang No. 22 Tahun 2003 menjadi UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD dan DPD akan meninjau kembali fungsi, kewenangan dari lembagai perwakilan. Proses ini sangat penting dikawal untuk memastikan perubahan yang berarti dari pelaksanaan kewenangan lembaga perwakilan sekaligus alat kelengkapan yang ada di dalamnya, termasuk Badan Kehormatan DPR RI3.

Tugasnya dalam menegakan kode etik anggota dewan membuat alat kelengkapan ini di satu sisi sangat berguna dan di sisi lain memiliki tantangan yang sangat berat. Maraknya kasus indikasi pelanggaran kode etik yang kongruen dan berjalan paralel dengan skandal kasus publik seperti korupsi juga membuat alat kelengkapan ini tugasnya semakin berat. Ada persoalan kewajiban melaksanakan fungsi alat kelengkapan sesuai dengan amanat undang-undang, tata tertib dan kode etik di satu sisi. Namun, di satu sisi yang lain BK juga berada dalam dilema antara membela kepentingan publik dan menjaga citra, baik citra kelembagaan DPR RI maupun citra Partai Politik serta anggota DPR. Beratnya

3

(16)

6

tugas dan tanggung jawab Badan Kehormatan memerlukan penguatan kewenangan yang dapat menunjang pelaksanaan fungsinya menegakan citra DPR. Pengaturan terkait Badan Kehormatan DPR harus juga mampu memperkuat dari sisi kelembagaan sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan.

BK DPR kini telah berusia delapan tahun, usia yang masih terbilang baru untuk sebuah lembaga penegak etik. Berbagai macam permasalahan kode etik para anggota DPR masih banyak kerap terjadi. Fungsi penegakkan etika anggota dewan oleh BK DPR terlihat mengalami dilema dalam dua kasus berikut. Pertama, mengenai kasus pornografi yang dilakukan anggota dewan yang bernama Karolina Margaret Natasa dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP). Kedua, kasus pemerasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilakukan sejumlah anggota dewan berdasarkan laporan dari Menteri BUMN, Dahlan Iskan.

Penulis sengaja mengambil dua kasus ini sebagai studi penelitian dikarenakan dua kasus ini adalah kasus yang berbeda dari segi pengaduan. Kasus dengan pengaduan dan kasus tanpa melalui pengaduan langsung ke sekretariat BK. Dua kasus ini sudah muncul karena sudah ramai dibicarakan oleh berbagai media. Melihat ini penulis beranggapan bahwa mau tidak mau BK harus bertindak secara aktif untuk menangani dua kasus ini, kasus video pornografi Karolina Margaret Natasa dan kasus upaya pemerasan BUMN.

(17)

7

anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) yang sekaligus putri Gubernur Kalimantan Barat Cornellis ini pertama kali diunggah di situs www.kilikitik.net. Namun video itu kini sudah ditarik dan situs itu sudah tidak bisa dibuka4.

Karolina Margaret Natasa adalah seorang anggota dewan Komisi IX dari Fraksi PDIP dapil Kalimantan Barat. Dia tersandung kasus pornografi dengan tersebarnya video tidak senonoh dengan seorang pria yang juga anggota dewan (DPR) dan berasal dari Fraksi yang sama yaitu Aria Bima wakil ketua Komisi VI DPR. Kasus ini diusut oleh BK pada April 2012 namun sampai saat ini kasus ini hilang dari peredaran dan anggota dewan tersebut masih bertugas di Senayan. Kasus ini membuat prasangka terhadap BK, bahwa BK menghadapi dilema dalam menegakkan kode etik anggota dewan dan rela melindungi teman satu Fraksi.

Selain itu, pada kasus upaya pemerasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilakukan oleh sejumlah anggota dewan menjadi kasus terbesar sepanjang berdirinya BK DPR. Dalam kasus upaya pemerasan BUMN, ada tiga BUMN yang dilaporkan Dahlan Iskan mengalami pemerasan. Pertama, kasus dugaan pemerasan yang dilakukan anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP, Sumaryoto, yang dilakukannya seorang diri terhadap direksi PT Merpati Nusantara Airlines. Kedua, kasus dugaan pemerasan yang dilakukan dalam sebuah rapat pertemuan pada 1 Oktober antara beberapa anggota Komisi XI dan

4

(18)

8

direksi Merpati. Sejumlah politisi yang diadukan Dahlan Iskan, yakni Zulkilfliemansyah (F-PKS), Achsanul Qosasi, Linda Megawati, Saidi Butar-butar (F- Demokrat), dan I Gusti Agung Ray Wijaya (F-PDI Perjuangan). Ketiga, kasus dugaan pemerasan Idris Laena terhadap direksi PT PAL Indonesia dan PT Garam. BK dalam proses penyelidikannya sudah memeriksa satu per satu anggota dewan yang diduga memeras dan juga direksi BUMN yang mengaku diperas. BK juga sudah mempertemukan pihak-pihak yang dilaporkan dalam satu forum konfrontasi5.

Meskipun Badan Kehormatan DPR telah memberikan sangsi kepada empat tersangka dan tiga tersangka lainnya telah dibersihkan namanya dikarenakan tidak terbukti, tapi kasus ini menjadi menarik perhatian untuk dikaji lebih jauh. Pelaksanaan tugas BK DPR banyak mendapat apresiasi bagi perbaikkan internal DPR. BK DPR mengalami dilema, ada persoalan kewajiban BK dalam melaksanakan fungsi alat kelengkapan sesuai dengan amanat Undang-undang, Tata tertib dan Kode Etik di satu sisi. Di sisi yang lain, BK juga harus berada di dalam dilema antara membela kepentingan publik dan menjaga citra, baik citra kelembagaan DPR RI maupun citra Partai Politik serta anggota DPR.

Beratnya tugas dan tanggungjawab BK memerlukan penguatan kewenangan yang dapat menunjang pelaksanaan fungsinya menegakan citra DPR. Pengaturan terkait BK DPR harus juga mampu memperkuat dari sisi kelembagaan sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin

5

(19)

9

mengkaji lebih jauh tentang “Dilema Badan Kehormatan (BK) DPR RI Sebagai Penegak Etika Anggota Dewan dan Kepentingan (studi kasus video pornografi Karolina Margaret Natasa dan kasus upaya pemerasan BUMN).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan penulis kaji adalah:

1. Bagaimanakah penanganan kasus pelanggaran kode etik anggota dewan oleh BK DPR khususnya kasus video pornigrafi Karolina Margaret Natasa dan kasus upaya pemerasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?

2. Apakah BK dalam penanganan kasus video pornografi Karolina Margaret Natasa dan kasus upaya pemerasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami dilema?

C. Tujuan dan Manfaat penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui secara lebih dalam mengenai:

1. Fungsi, tugas dan wewenang Badan Kehormatan DPR RI.

2. Untuk melihat lebih jauh bagaimana penanganan kasus pelanggaran kode etik anggota dewan.

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:

(20)

10

2. Untuk manfaat akademik yaitu, mengembangkan dan menambah khasanah ilmu politik terutama dalam kajian kelembagaan terkhusus lembaga penegak etik yaitu, Badan Kehormatan DPR.

D. Tinjauan Pustaka

Penulis tidak menemukan tinjauan pustaka (dalam bentuk buku) mengenai Badan Kehormatan DPR. Penulis menemukan sebuah artikel yang membahas mengenai Badan Kehormatan dan UU yang mengaturnya, yaitu UU No. 4 Tahun 1999, UU No. 22 Tahun 2003 beserta Tartib DPR 2004 dan UU yang terbaru UU No. 27 Tahun 2009 beserta Peraturan DPR Tahun 2011 (mengenai skema tata beracara BK DPR).

Pada artikel yang penulis temukan yaitu “Penguatan Fungsi Pengawasan Badan Kehormatan DPR RI yang ditulis oleh Ibrahim Z. Fahmy Badoh, seorang peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Artikel ini membahas mengenai penguatan Badan Kehormatan DPR yang diangap tidak menjalankan fungsinya sebagai mana penegak etika anggota dewan. Membahas juga mengenai saran untuk Badan Kehormatan DPR untuk lebih tegas dan tanpa pandang pilih untuk menegakkan kode etik angota dewan.

(21)

11

DPR diatur pada tartib DPR Tahun 2004. UU mengenai SUSDUK yang terbaru yaitu UU No. 27 Tahun 2009 dan tartib DPR dan peraturan DPR No.2 Tahun 2011 juga membahas mengenai Skema Tata Beracara BK DPR.

E. Metodologi Penelitian E.1 Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data-data yang deskriptif, yaitu menggambarkan dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penanganan kasus BK DPR. Dalam hal ini adalah kasus video pornografi Karolina Margaret Natasa dan kasus upaya pemerasan BUMN. Penulisa melakukan kajian kasus secara mendalam dan komprehensif.

E. 2 Jenis Data

Pada penulisan skripsi ini ada dua sumber data yang penulis gunakan, yaitu data primer dan data sekunder. Untuk data primer penulis mengambil data dan infromasi dari pemberitaan media (online dan cetak) mengenai kasus pelangaran kode etik yang ditangani BK DPR, dan dari berbagai artikel serta aturan-aturan yang penulis temukan yang berkaitan dengan penelitian ini.

Untuk data sekunder, penulis melakukan wawancara dengan dua tokoh key informan. Kedua tokoh key informan tersebut adalah:

(22)

12

2. Ronald Rofiandri selaku Direktur Monitoring, Advokasi dan jaringan dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakkan (PSHK).

E.3 Teknik Penentuan Informan

Sebagaimana dikemukakan diatas untuk dua orang key informan yaitu M. Nurdin dan Ronald Rofiandri, cara penulis menentukan kedua tokoh key informan tersebut adalah dengan “teknik purposif sampling”, yaitu penentuan sample berdasarkan tujuan penelitian. Satu tokoh dari pihak internal BK dan satu tokoh lagi dari pihak eksternal BK. Penulis memilih kedua tokoh tersebut karena penulis anggap kompeten untuk untuk menjelaskan dan memberikan informasi yang penulis perlukan dalam penelitian ini.

E.4 Teknik Analisa Data

[image:22.612.132.509.237.528.2]
(23)

13 F. Sistematika Penulisan

Dalam menjelaskan permasalahan tersebut dalam bagian yang lengkap, serta agar lebih memperjelas rangkaian studi ini, maka penulis memberikan sistematika. Penulisan dalam suatu kaidah garis-garis besar penulisan melalui beberapa bab, serta disertai dengan sub-sub dalam menjelaskan pelbagai hal yang lebih terperinci dan membutuhkan kajian pengetahuan yang lebih mendalam. Adapun deskripsi dari sistematika penulisan ini dilampirkan sebagai berikut:

 Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang

menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

 Bab II : Landasan teori, pada bab ini berisi tentang landasan teori

mengenai BK DPR, yaitu teori kelembagaan baru (Neo-Institutional) dan Teori etika politik. Dalam pembahasan ini akan dipaparkan mengenai teori-teori kelembagaan baru (Neo-Institutional), teori etika politik legisilatif.

 Bab III : Berisi mengenai segala hal tentang Badan Kehormatan

(24)

14

 Bab IV : Berisi mengenai permasalahan BK DPR. Bagaimana

proses penanganan BK DPR terhadap kasus pelanggaran etika dalam menegakkan kode etik terhadap anggota dewan, melihat apakah BK DPR dalam menegakkan etika anggota dewan tanpa pandang bulu atau BK DPR mengalami dilema dalam menegakkan kode etik.

 Bab V : Bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran

berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan skripsi ini.

 Daftar Pustaka

(25)

15 BAB II LANDASAN TEORI

Dalam bab ini, secara garis besar akan dibahas mengenai sebuah landasan teoritis dalam ruang lingkup normatif dengan asumsi-asumsi penelitian mengenai hal-hal yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini. Dengan memberikan landasan teoritis, diharapkan penelitian ini memberikan jawaban awal dalam pembentukkan masalah yang ditimbulkan oleh penulis mengenai Badan Kehormatan DPR.

Secara khusus, teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena dan dalam menyusun generalisasi, teori selalu memakai konsep. Jadi teori adalah konsep-konsep yang saling berhubungan menurut aturan logika menjadi suatu bentuk pernyataan tertentu sehingga dapat menjelaskan fenomena tersebut secara ilmiah1. Teori juga memiliki peran dalam melakukan korelasi antara permasalahan dan aktualisasi penelitian. Penulisan ini menggambarkan fenomena-fenomena politik di Indonesia yang berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran kode etik oleh anggota dewan. Penulis mengunakan teori kelembagaan baru (neo institutionalism theory) dan teori etika politik legislatif

A. Teori Kelembagaan Baru (Neo Institutionalism Theory)

Menurut Scott W. Rights seorang ahli kelembagaan, teori kelembagaan baru (neo institutional theory) adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan

1 Miriam Budiharjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

(26)

16

kelembagaan baru dalam mempelajari sosiologi organisasi2. Akar teoritisnya berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta fenomenologi dan etnometodologi. Ada tigaelemen analisis yang membangun kelembagaan walau kadang-kadang ada yang dominan, tapi mereka bekerja dalam kombinasi. Ketiganya datang dari perbedaan cara pandang terhadap sifat realitas sosial dan keteraturan sosial dalam tradisi sosiologi sebelumnya. Ketiga elemen tersebut adalah aspek regulatif, aspek normatif, dan aspek kultural-kognitif. Ketiga elemen tersebut akan dipakai untuk meneliti mengenai Badan Kehormatan DPR sebagai lembaga penegak etika.

A.1 Pengertian Lembaga dan Perspektif Kelembagaan Baru

Istilah lembaga, dalam Ensiklopedia Sosiologi diistilahkan dengan institusi sebagaimana didefinisikan oleh Macmillan lembaga adalah merupakan seperangkat hubungan norma-norma, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai yang nyata, yang terpusat pada kebutuhan-kebutuhan sosial dan serangkaian tindakan yang penting dan berulang3.

Doglas North4 seorang sejarawan ekonomi terkemuka mendefinisikan kelembagaan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi. Begitupula dengan Scott yang merumuskan kelembagaan sebagai: “institution are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive

2

Scott, W. R. Institutions and Organizations. (Thousand Oaks, CA: Sage. US. 2008).38.

3

Saharuddin. Nilai Kultur Inti dan Institusi Lokal Dalam Konteks Masyarakat Multi-Etnis. 2001. Bahan Diskusi Tidak Diterbitkan. Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Dalam www.rida’sblogspot.com diakses pada 30 April 2013.

4 North, D. C.. Institutions, Institutional Change and Economics Performance. 1990. Dalam

(27)

17

elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning to social life.” (Institusi terbagi menjadi elemen-elemen regulatif, normatif dan kultural-kognitif. Bersama-sama bergabung dan menjadi sumber daya yang menyediakan stabilitas dan arti sebuah kehidupan sosial).5

Lebih jauh, Scott menjelaskan tentang adanya 3 pilar dalam perspektif kelembagaan baru6. Pertama, pilar regulatif (regulative pillar), yang bekerja pada konteks aturan (rule setting), monitoring, dan sanksi. Hal ini berkaitan dengan kapasitas untuk menegakkan aturan, serta memberikan reward and punishment. Cara penegakkannya melalui mekanisme informal (folkways) dan formal (polisi dan pengeadilan). Meskipun ia bekerja melalui represi dan pembatasan (constraint), namun disadari bahwa kelembagaan dapat memberikan batasan sekaligus kesempatan (empower) terhadap aktor. Aktor yang berada dalam konteks ini dipandang akan memaksimalkan keuntungan, karena itulah kelembagaan ini disebut pula dengan kelembagaan regulatif (regualtive institution) dan kelembagaan pilihan rasional (rational choice instituion). Dalam persfekif ini kita akan melihat bagaimana BK memberikan punishment kepada anggota dewan yang melanggar kode etik dan sebaiknya BK juga memberikan hadiah (reward) untuk anggota dewan yang melakukan kerjanya dan dalam mengikuti kode etik.

Kedua, pilar normatif (normative pillar). Dalam pandangan ini, norma menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan menegaskan tanggung jawab dalam kehidupan sosial. Dalam pilar ini dicakup nilai (value) dan norma. Norma

5Scott, W. R. Institutions and Organizations. 46 . 6

(28)

18

berguna untuk memberi pedoman pada aktor apa tujuannya (goal dan objectives), serta bagaimana cara mencapainya. Karena itu, bagian ini sering pula disebut dengan kelembagaan normatif (normatif institution) dan kelembagaan historis (historical instituionalism). Inilah pula yang sering disebut sebagai teori ”kelembagaan yang asli”. Pada persfektif ini BK dihadapkan sebagai lembaga formal dalam memberikan tujuannya yaitu menegakkan kode etik DPR.

Ketiga, pilar kultural-kognitif (cultural-cognitive pillar). Inti dari pilar ini adalah bahwa manusia berperilaku sangat ditentukan oleh bagaimana ia memaknai (meaning) dunia dan lingkungannya. Manusia mengalami sedimentasi makna dan kristalisasi makna dalam bentuk objektif. Aktor (individu dan organisasi) mengalami proses interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal, dalam memaknai lingkungan sebagai situation shared secara kolektif. Dalam konteks ini, diyakini aktor memiliki makna yang sangat variatif, sehingga kreativitas aktor dihargai. Bagian ini sering disebut dengan kelembagaan sosial (social institution).

Perspektif kultural inilah yang menurut penulis anggap sebagai basis penilaian dalam dilema BK DPR. Apakah BK DPR berani tegas menjatuhkan sanksi kepada pelanggar kode etik tanpa pengaruh intervensi dari lingkungannya (DPR dan Fraksi).

A.2 Perbedaan Lembaga dengan Organisasi

(29)

19

dibedakan secara jelas. Menyamakan kelembagaan dengan organisasi dalam konteks sosiologi kelembagaan adalah menyesatkan. Hal ini telah banyak ditemukan dalam karya ilmiah yang melakukan analisis kelembagaan namun salah sasaran.

North mendefinisikan organisasi sebagai bangunan atau wadah tempat manusia berinteraksi, seperti organisasi politik, ekonomi, keagamaan, pendidikan, olah raga dan lain-lain. Yaitu, kumpulan individu yang terikat oleh kesamaan tujuan dan berupaya untuk mencapai tujuan tersebut sebagai kepentingan bersama7. North mengilustrasikan organisasi dengan tim olah raga (sepak bola, bola basket) dimana banyak orang terlibat baik sebagai pelatih, pengurus organisasi, pemain, dan lain-lain dengan tujuan bagaimana memenangkan setiap pertandingan. Sedangkan lembaga adalah serangkaian peraturan yang berlaku dalam setiap pertandingan yang harus ditaati baik oleh pemain, pelatih maupun stakeholder lainnya. Ketidakjelasan lembaga akan menyebabkan pertandingan berjalan kacau dan tujuan memenangkan setiap pertandingan yang ditargetkan oleh tim tidak akan tercapai dengan baik.

Norman T. Uphoff, seorang ahli sosiologi yang banyak berkecimpung dalam penelitian lembaga lokal, menyatakan sangat sulit sekali mendefinisikan institusi, karena pengertian institusi sering dipertukarkan dengan organisasi. Institutions are complexes of norms and behaviors that persist over time serving

7

(30)

20

collectivelly valued purposes 8. (Institusi atau lembaga merupakan serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan (digunakan) selama periode waktu tertentu yang relatif lama).

Kekeliruan pemahaman seperti ini telah menjadi sangat umum sehingga organisasi dan kelembagaan juga dimengerti secara “salah kaprah” di mana-mana. Hal ini pulalah yang mengakibatkan pengembangan kelembagaan diterjemahkan secara “salah kaprah” menjadi pembentukan organisasi.

[image:30.612.128.515.234.659.2]

Berikut Rekonseptulasisasi sesuai dengan padanan penggunaan konsep dengan berpedoman kepada sistematika konsep di berbagai literatur terakhir yang lebih kuat

Tabel 2.1

Perbedaan lembaga dengan organisasi

No. Segi Perbedaan. Lembaga. Organisasi.

1. Bahasa Institusi dan Institution (kelembagaan).

Organitation dan Organitational (keorganisasian).

2. Fokus Utama Perilaku Sosial. Struktur Sosial.

3. Inti Kajian Nilai (Value), Aturan (Rule), dan norma (Norm).

Pada peran (Roles).

4. Aspek Kajian Perilaku, berupa pola-pola kelakuan, fungsi dari tata

kelakuan, kebutuhan dll.

Struktur, seperti struktur kewenangan kekuasaan, hubungan kegiatan dengan tujuan dan pola kekuasaan.

5. Waktu Dalam proses perubahan

dibutuhkan waktu yang lama.

Dalam proses perubahan relatif lebih cepat.

8 Uphoff, Norman.T. Local Institutional Development: An Analitycal Sourcebook with

(31)

21

6. Bentuk Perubahan Sosial bersifat kultural. Sosial Bersifat struktural.

7. Sifat Lebih abstrak dan dinamis. Lebih visual dan statis.

Sumber: Syahyuti. Lembaga dan Organisasi Petani dalam Negara dan Pasar dalam www.shayuti’sblogspot.com

Uphopf mengklasifikasi institusi ke dalam tiga kelompok9, pertama institusi yang bukan organisasi. Sistem kepemilikan lahan (land tenure system), hukum, pernikahan, dan daya tawar kelompok (collective bargaining power) merupakan contoh dari institusi yang bukan organisasi. Kedua institusi yang organisasi, yaitu keluarga, mahkamah agung, dan bank nasional (seperti Bank Indonesia) dan ketiga hal sebaliknya yaitu (orgainasi juga institusi), dan organisasi yang bukan institusi. Contohnya yaitu bank daerah, perusahaan dan organisasi penyedia jasa konsultan merupakan contoh organisasi yang bukan institusi.

Badan Kehormatan masuk ke dalam contoh yang ketiga yaitu, organisasi juga sebuah institusi. Sebagai sebuah organisasi BK terlihat dalam inti kajiannya, dan aspek kajian, yaitu perannya sebagai penegak kode etik DPR dan memiliki struktur. Sebagai sebuah lembaga, dapat dilihat dari waktu, bentuk perubahan dan sifat. Dari segi waktu pembentukkan BK dibutuhkan satu periode (1999-2004) untuk mengubahnya sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Organisasi dan institusi juga dapat dilihat dari derajat kekuatan dan kelemahannya. Sebuah organisasi dikatakan kuat (well organized) jika ia tertata dengan baik, produktif efisien, dan tangguh. Jika sebaliknya, maka ia diakatakan

9

(32)

22

organisasi yang lemah (less/weak organized). Demikian juga dengan intitusi dikatakan kuat (more institutionalized) jika dapat berjalan dengan baik, well enforeced, respected, dan effective. Dan, dikatakan institusi yang lemah, kurang melembaga (less institutioalized) jika menunjukan keadaan sebaliknya10.

Berangkat dari teori inilah kita bisa melihat BK sebagai organisasi penegak etik anggota dewan. Berdasarkan beberapa teori yang dikemukan oleh ahli tersebut, penulis mencoba untuk melakukan sebuah penelitian yang berlandaskan pada teori dengan berupaya melakukan sinkronisasi hipotesis penulis terhadap teori-teori tersebut, terkhusus mengenai lembaga penegak etika seperti Badan Kehormatan DPR.

B. Teori Etika Politik

Dalam tradisi pemikiran politik, etika dipahami sebagai sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi dan maupun secara kolektif11. Pada tataran yang lain, etika juga dipahami sebagai sebuah landasan normatif yang meliputi segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukannya, sehingga ia menyadari apa yang ia perbuat12.

10

Uphoff, Norman.T. Building Partnership with Rural Institutions in Developing Local Capacity for Agricultural R & D. In Capacity Development for Participatory Research. International Potato Center. Los Banos, Philippines. 2002 dalam Aceng Hidayat Modul Kelembagaan Ekonomi. IPB.

11

Burhanuddin Salam. Etika Sosial dan Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. (Jakarta. PT Rineka Cipta. 2002). 1.

12

(33)

23

Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih baik, baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang adil. Etika politik membantu untuk menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Dalam penulisan landasan teori mengenai etika politik penulis akan menjelaskan etika legislatif.

B.1 Etika Legislatif

Pelanggaran etika mayoritas terjadi di wilayah legislatif, karena di area politik tersebut banyak menyangkut kepentingan dari sekelompok orang maupun partai, meskipun seseorang atau kelompok partai memperjuangkan suatu kebenaran atau keadilan. Para legislator menghadapi konflik antara kewajiban demi kebaikkan orang-orang tertentu (kolega, partai) dan kewajiban demi kebaikkan publik atau konsituennya. Dibandingkan dengan para administrator dan pejabat eksekutif, para legislator menikmati lebih banyak independensi dari kolega mereka. Para legislator sama sekali tidak bisa membuat keputusan (UU) tanpa kerja sama kolega mereka. Hubungan mereka lebih kolegial daripada hubungan hirarkis yang biasa ada di eksekutif13.

Masalah etika legislatif jauh berbeda dengan jenis etika yang berorientasi pada peran, yakni etika profesi. Khususnya hukum dan kedokteran. Salah satu perbedaannya adalah legislator tidak mengontrol orang untuk menjadi legislator,

13 Dennis Thompson. Etika Politik Pejabat Negara, ed: Terjemahan. (Jakarta. Yayasan

(34)

24

tidak mengatur pendidikan dan perizinan orang yang akan menjadi anggota legislatif pada peroide berikutnya. Berbeda dengan etika profesi seperti etika kedokteran yang menerapkan kode etik bagi tiap calon dokter.

Dennis F Thompson14 dalam Political Ethics and Public Office yang dialih bahasakan menjadi Etika Politik Pejabat Negara menulis, setidak-tidaknya ada tiga pendekatan untuk mengetahui etika legislatif anggota dewan. Pertama, etika minimalis. Etika ini memerintahkan diharamkannya beberapa tindakan yang buruk, semisal korupsi, dengan membuat aturan internal objektif yang berlaku bagi anggota dewan. Contoh penerapan etika minimalis di tubuh dewan adalah dibentuknya aturan tata tertib dan kode etik yang diterbitkan di internal parlemen serta dibentuknya sebuah badan kehormatan.

Kedua, etika fungsionalis. Thompson mencatat, etika fungsionalis menawarkan basis fungsional bagi para legislator. Etika tersebut mendefinisikan tugas bagi anggota dewan dalam lingkup fungsi mereka sebagai wakil rakyat. Anggota dewan mesti paham kenapa mereka dipilih dan untuk apa mereka duduk di kursi dewan perwakilan. Dalam pesta demokrasi yang baru saja digelar, potensi calon legislator maupun legislator yang mengalami gangguan jiwa lebih besar di banding periode sebelumnya. Penyebabnya, mereka masih mempersepsikan menjadi anggota legislatif sebagai suatu pekerjaan dan mata pencaharian. Anggota dewan belum mampu menempatkan diri bahwa menjadi legislator adalah amanah, bukan pekerjaan. Jika ditempatkan sebagai pekerjaan, tentunya mereka akan bekerja kepada siapa saja yang mampu bayar tinggi. Akibatnya, mudah sekali

14

(35)

25

uang haram korupsi yang berupa ”sumbangan”, ”bantuan”, atau apa pun namanya, masuk ke gedung dewan15.

Ketiga, etika rasionalis. Fondasi rasional menyandarkan para legislator, setidaknya, harus bertugas pada prinsip-prinsip hakiki politik, seperti keadilan, kebebasan, atau kebaikan bersama (bonum commune). Berdasarkan pendekatan etika rasionalis, maka anggota legislatif diharamkan bertindak memperkaya diri dengan melawan hukum, baik atas nama kepentingan pribadi, golongan, maupun partainya. Ssaat anggota dewan telah duduk di kursi parlemen, maka tuan mereka bukan lagi partai, bukan pula petinggi partai, melainkan rakyat dan konstituen.

Atas tiga pendekatan etika legislatif legislator tersebut, maka kebijakan untuk memberikan dana purna tugas atau uang pesangon wajib dikoreksi ulang periode kedepan dan selanjutnya diurungkan, khususnya di tengah kondisi rakyat yang masih serba sulit seperti sekarang. Hal ini penting dilakukan untuk tetap menjaga sikap etis anggota dewan. Meminimalisasi segala perilaku dan kebijakan yang tidak familiar di mata masyarakat16.

Dalam dunia politik jadilah cerdik seperti ular namun etika menambahkan jadilah seperti merpati yang tulus. Immanuel Kant mengatakan bahwa ular dan merpati dapat hidup berdampingan dan selanjutnya bahwa merpatilah yang akan menang, namun seorang filsuf mengatakan lain “ular dan merpati akan berbaring bersama, tetapi merpati akan sulit untuk tidur”.

15

Hifidzi Alim. Merumuskan Etika Legislatif. Dalam www.suaramerdeka.com. Diakses pada 28 Mei 2013.

16 Hifidzi Alim. Merumuskan Etika Legislatif. Dalam www.suaramerdeka.com. Diakses

(36)

26

Etika legislatif mungkin jika tuntutan-tuntuannya diinterprestasikan dalam konteks proses legislator. Tuntutan-tuntuan itu membatasi perilaku legislator, tetapi tidak dengan cara mencegah mereka menjalankan peran mereka sebagai wakil rakyat17.

17

(37)

27 BAB III

BADAN KEHORMATAN DPR DALAM PARLEMEN INDONESIA PASCA REFORMASI (2004-2014)

Semenjak bergulirnya UU No.22 Tahun 2003, Badan Kehormatan menjadi alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. BK DPR bertugas menegakkan kode etik anggota dewan, pembentukan BK DPR merupakan tanggapan atas sorotan publik terhadap kinerja buruk sebagian anggota DPR. Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengenai BK pasca ditetapkannya sebagai alat kelengkapan bersifat tetap DPR. Penulis mengajak pembaca untuk mengenal lebih jauh tentang BK. Dimulai dari latar belakang berdirinya BK, lalu mengenai tugas dan wewenang serta mengenai skema tata-beracara. Tidak lupa para pimpinan BK dari periode 2004 hingga sekarang dibahas pada bab ini. Pada bab ini juga akan Membahas mengenai perbedaan BK DPR dengan BK DPD dan BK DPRD. Serta mengulas mengenai kode etik DPR RI Tahun 2004 dan 2011.

A. Dasar Pembentukkan Badan Kehormatan DPR

Pendirian BK didasarkan pada dua hal, yaitu dasar filosofis dan dasar yuridis1. Pembentukkan BK sebagai alat kelengkapan tetap didasarkan pada akar filosofis, yaitu melihat etika politik sebagai dasar konseptual. Etika Politik merupakan ilmu yang fundamental untuk melihat gejala-gejala politik dari sisi moralitas. Sedangkan dasar yuridis yuridis kita dapat melihat pendekatan kelembagaan (khususnya BK) dalam lingkup tata hukum nasional.

1Lihat www.bkwordpress.com dalam Konsideran Badan kehormatan . Diakses pada

(38)

28 A.1 Dasar Filosofis

Adapun pertimbangan filosofis pertama yang menjadi dasar pembentukan BK dapat kita simak terlebih dahulu dalam bagian “Mengingat” huruf a UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.

“…bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perumusyawaratan/perwakilan perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara…”

Bila kita simak bahasa konsideran2 UU Susduk, maka pembentukan BK nampak didasari suatu pemikiran tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dipetik dari nilai-nilai Pancasila (baik sebagai norma dasar maupun ideologi terbuka). Antara “kedaulatan rakyat” dan “hikmat kebijaksanaan” menjadi dasar fundamental agar suatu institusi yang dibentuk dalam lembaga perwakilan rakyat seperti BK itu, dapat benar-benar menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat.

Istilah “hikmat kebijaksanaan” memposisikan anggota BK DPR, serta BK lain di DPD dan DPRD agar menggunakan “hati nurani” sebagai fenomena moral. “Hikmat kebijaksanaan” merupakan upaya rasio agar segala keputusan manusia dapat diterima oleh sesamanya. Begitupun dengan “hati nurani” dan “kesadaran” itu merupakan tema penting dalam etika. Dalam hal ini, “hati nurani“ cenderung mempunyai aspek transenden yang melampaui diri kita, dan meletakkan kita sebagai ‘pendengar’ dari suara-suara transendennya.

2Konsideran adalah istilah hukum yang memiliki pengertian menimbang. Menimbang arti

(39)

29

Keberadaan BK mendorong penggunaan “hikmat kebijaksanaan” untuk menciptakan suatu shame culture dan guilt culture3. Artinya, anggota parlemen mempunyai rasa malu dan rasa bersalah bila perilakunya melanggar ketentuan dalam Kode Etik dan Tata Tertib. Pasca reformasi tuntutan untuk Rasa malu dan rasa bersalah itu muncul dalam kesadaran pribadi Anggota parlemen tanpa adanya suatu sanksi/hukuman dari BK maupun institusi peradilan.

Dasar pembentukan BK mempunyai nuansa filosofis yang amat mendasar. Pembentukan BK meletakkan tanggung jawab dan kewajiban moral tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui hikmat kebijaksanaan dalam kinerjanya sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang berfungsi untuk menegakkan martabat manusiawi anggota parlemen. Selain itu pembentukan BK meletakkan hubungan yang erat antara ,moral dan agama, serta moral dan politik, apabila kita melihat dari sumpah/janji anggota parlemen. Sebagai pendasarannya adalah Moralitas sebagai ciri khas manusia, dimana BK menilai seluruh perbuatan yang dilakukan Anggota Parlemen dalam cara pandang Moralitas.

A.2 Dasar Yuridis

Ilmuwan Hukum Tata Negara, Jimly Ashiddiqie, dalam Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia4, menyatakan bahwa salah satu ciri penting dari good governance adalah prinsip the rule of law yang harus digandengkan pula sekaligus dengan theliving ethics. Keduanya berjalan seiring dan sejalan secara

3

Mengutip dari www.bkwordpress.com/konsideranpembentukkanbk. Diakses pada 20 Juni 2013.

4Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi (Jakarta,

(40)

30

fungsional dalam upaya membangun perikehidupan yang menerapkan prinsip good governance, baik dalam lapisan pemerintahan dan kenegaraan (supra-struktur) maupun dalam lapisan kemasyarakatan (infra(supra-struktur).

Ide pokok tentang the rule of law dan the living ethics adalah di samping membangun sistem hukum dan menegakkan hukum, kita juga harus membangun dan menegakkan sistem etika dalam kehidupan keorganisasian warga masyarakat dan warga negara. Dengan demikian, tidak semua persoalan harus ditangani oleh dan secara hukum. Yang menarik dari pemikiran Jimly Ashiddiqie adalah sebelum segala sesuatu bersangkutan dengan hukum, sistem etika sudah lebih dulu menanganinya, sehingga diharapkan beban sistem hukum tidak terlalu berat. Jika etika tegak dan berfungsi baik maka mudah diharapkan bahwa hukum juga dapat ditegakkan semestinya.

Sebagai positive ethics yang berperan penting sebagai pendamping positive law dalam arti sebagai perangkat norma aturan yang diberlakukan secara resmi dalam satu ruang dan waktu tertentu. Jika etika positif dapat ditegakkan, maka etika publik pada umumnya dapat diharapkan tumbuh sebagai living ethics atau sebagai etika yang hidup dan berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk itulah dibuat kode etik. Kode etik adalah ide-ide besar negara hukum yang dilandasi basis etika dan hidup secara berdampingan dengan perilaku sehari-hari.

(41)

31

mengusulkan agar terdapat pengaturan operasional yang menyeluruh5. Utamanya, dalam upaya membangun sistem etika di tingkat supra-struktur maupun di tingkat infrastruktur. Ketetapan MPR tersebut diacu untuk menyusun sistem kode etik dan pemberlakuannya secara umum melalui suatu Undang-Undang yang mengatur tentang ketentuan pokok etika dalam kehidupan berbangsa. Undang-Undang inilah nanti yang akan memayungi semua ketentuan tentang etika, kode etik, dan komisi etik yang diatur dalam berbagai Undang-Undang lain yang terkait.

Keseluruhan sistem etika itu dinamakan oleh Jimly Ashiddiqie sebagai positive ethics yang berperan penting sebagai pendamping positive law dalam arti sebagai perangkat norma aturan yang diberlakukan secara resmi dalam satu ruang dan waktu tertentu. Jika etika positif dapat ditegakkan, maka etika publik pada umumnya dapat diharapkan tumbuh sebagai living ethics atau sebagai etika yang hidup dan berfungsi sebagaimana mestinya. Ide-ide besar negara hukum tidak akan tegak tanpa dilandasi basis etika yang hidup secara fungsional dan terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Pandangan seperti ini meletakkan keberadaan Kode Etik DPR RI sebagai infrastruktur sistem kode etik positif yang merupakan ciri khas sistem hukum Indonesia pasca reformasi. Kode Etik DPR RI dipahami sebagai salah satu bagian infrastruktur sistem kode etik positif, karena masih banyak kode etik positif pada lembaga-lembaga publik lainnya.

5Mengutip dari www.bkwordpress.com/konsideranpembentukkanbk. Diakses pada 20

(42)

32

Kehadiran BK sebagai lembaga penegak etik adalah salah satu jawaban dari living ethics. Adanya BK di parlemen belumlah cukup kuat pelaksanaan etika terapannya, bila tidak didukung oleh lembaga etik di pemerintahan dan alat negara lainnya. Maraknya pembentukan lembaga etik di seluruh lembaga negara amat berarti sebagai elemen pendukung etika terapan di bidang politik.

Dengan demikian, konsideran pembentukan BK baik antara konsideran filosofis dan yuridis masih memerlukan penyempurnaan dalam hal pelaksanaan, refleksi konseptual, dan uji validitas terhadap berbagai aturan hukum positif. Tak terkecuali, Kode Etik DPR RI dan DPRD pun membutuhkan kritik agar terdapat acuan moralitas yang berjalan sesuai perkembangan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang lebih matang.

B. Tugas dan Wewenang BK Serta Skema Tata-Beracara BK

Semua hal mengenai Badan Kehormatan diatur sepenuhnya dalam UU No.27 Tahun 2009 mengenai SUSDUK dalam pasal 123-129 dan Peraturan DPR RI No.2 Tahun 2011 mengenai Skema Tata-Beracara BK DPR.

B.1 Tugas dan Wewenang BK

Berdasarkan pasal 127 ayat (1) dan (2), BK bertugas melakukan penyelidikan & Verifikasi terhadap pengaduan atau peristiwa yang diduga dilakukan oleh anggota DPR sebagai suatu pelanggaran kode etik, karena6:

a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-undang;

6

(43)

33

b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR RI selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang sah7;

c. tidak menghadiri Rapat Paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR RI yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah dan jelas;

d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPR RI sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau

e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Tata Tertib dan Kode Etik.

Tugas Kedua Badan Kehormatan yaitu menetapkan keputusan hasil penyelidikan dan verifikasi. Sebelum mengambil keputusan, seluruh hasil Sidang maupun Rapat Badan Kehormatan diverifikasi dan hasilnya ditulis dalam lembar keputusan. Isi putusan adalah terbukti atau tidaknya suatu pelanggaran, disertai dengan pemberian sanksi atau rehabilitasi. BK DPR juga melakukan evaluasi dan penyempurnaan DPR tentang kode etik.

Berdasarkan pasal 127 ayat (3) UU no.27 tahun 2009 wewenang BK DPR RI adalah memanggil pihak yang terkait, memangil teradu dan pengadu serta melakukan kerja sama dengan lembaga negara lain, seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Hal tersebut diperlukan agar Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam menjalankan tugas dan fungsinya tetap konsisten mematuhi Kode Etik demi menjaga citra, martabat, kehormatan, dan kredibilitas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

7

(44)

34 B.2 Skema Tata-Beracara BK DPR

[image:44.612.150.500.239.540.2]

Untuk Tata-Beracara BK DPR diatur sepenuhnya dalam peraturan DPR RI No.2 Tahun 2011 mengenai Tata-Beracara Badan Kehormatan DPR. Untuk mengetahui lebih jelas skema tata-beracara BK DPR Berikut penulis tampilkan visualisasi skema tata-beracara BK DPR RI.

Gambar 3.1

Visualisasi skema tata-beracara BK DPR

Sumber: Buku Panduan Kode Etik Anggota Dewan Tahun 2011

Mekanisme pengaduan dan tata cara pengaduan ke BK diatur dalam Pasal 6 sampai pasal 11 Tata beracara pelaksanaan tugas dan wewenang Badan kehormatan DPR. Penulis jelaskan sebagai berikut:

1. Pengaduan

(45)

35

dari masyarakat, anggota DPR dan/atau perkembangan yang telah diketahui secara luas dalam masyarakat melalui media. Pengaduan disampaikan kepada sekretariat BK secara tertulis dan dilengkapi identitas yang sah dalam pasal 4 ayat (3) yaitu:

a. nama lengkap;

b. tempat tanggal lahir/umur; c. jenis kelamin;

d. pekerjaan;

e. kewarganegaraan; dan f. alamat lengkap/domisili.

2. Verifikasi

(46)

36 3. Penyelidikan

Setelah semua pengaduan diverifikasi oleh sekretarian BK dan tenaga ahli BK selanjutnya melakukan penyelidikkan. Dalam hal ini BK memanggil pengadu dan teradu. Penyelidikan dilakukan guna mencari kebenaran dari suatu pengaduan atau kebenaran Alat Bukti yang didapatkan dalam Sidang BK. Namun, yang amat disayangkan dalam hal penyelidikan adalah BK merahasiakan materi pengaduan dan verifikasi pengaduan sampai perkara diputuskan.

4. Rapat BK

BK dalam rapat dan sidang perkara bisa dilakukan baik didalam maupun di luar lingkungan parlemen. BK memutuskan untuk menindaklanjuti, atau tidak menindaklanjuti pengaduan berdasarkan kelengkapan data atau bukti-bukti pengaduan. Selain memutuskan untuk menindaklanjuti pengaduan berdasarkan kelengkapan data atau bukti-bukti pengaduan, BK dapat menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

5. Keputusan

(47)

37

kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga tercapai, cara penyelesaian kuorum diserahkan kepada Pimpinan DPR RI. Inilah point minus dalam peraturan DPR No. 2 tahun 2011 mengenai Tata-Beracara BK DPR

Peraturan tata beracara BK masih membiarkan adanya kedudukan dan wewenang yang kuat dari Pimpinan DPR dalam kerja BK terutama dalam memproses pengaduan. Definisi pengaduan hanya ditujukan kepada pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR (Pasal 1 angka 8). Di sisi lain, definisi antara Pimpinan dan Anggota DPR dibuat terpisah (perhatikan ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 6).

C. Komposisi Pimpinan BK DPR

C.1 Sejarah Terbentuknya Komposisi Anggota Badan Kehormatan DPR

UU No.22 Tahun 2003 mengenai SUSDUK yang terdahulu pada pasal 56 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPR RI menyatakan bahwa anggota BK berjumlah 13 orang. Sesuai ketentuan Peraturan Tata Tertib tersebut komposisi Fraksi-Fraksi dalam keanggotaan BK dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Jumlah Anggota Fraksi X Jumlah Angggota BK (13 orang) Jumlah Anggota DPR (550 orang)

(48)
[image:48.612.128.512.113.538.2]

38

Tabel 3.1

Komposisi Keanggotaan BK DPR Periode 2004-2009

No. Fraksi Rumus Hasil Sebenarnya Pembulatan

1. F-PG (129-1):550x13 3,03 3

2. F-PDIP (109-1):550x13 2,55 2

3. F-PPP 58:550x13 1,37 1

4. F-PD 57:550x13 1,35 1

5. F-PAN 53:550x13 1,25 1

6. F- PKB (52-1):55x13 1,21 1

7. F-PKS 45:550x13 1,06 1

8. F-PBB 20:550x13 0,47 1

9. F-PBR (14-1):550x13 0,31 1

10. F-PDS 13:550x13 0,31 1

Jumlah 13 Sumber: Laporan Kinerja BK DPR Periode 2004-2009 Tahun Pertama.

(49)

39 C.2 Pimpinan Badan Kehormatan DPR

a. Periode 2004-2009

[image:49.612.128.515.231.680.2]

Sesuai ketentuan pada Tartib DPR pasal 57 ayat (1) dan (2), pimpinan BK terdiri dari satu orang ketua dan dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BK berdasarkan keputusan rapat Badan Kehormatan DPR. Berikut komposisi pimpinan BK DPR periode 2004-2009.

Tabel 3.2

Komposisi Pimpinan Badan Kehormatan Periode 2004-2009

No. Jabatan Nama Fraksi Keterangan

1. Ketua Drs. H. Slamet Yusuf effendi, M.si F- PG Menjabat dari 29 Oktober 2004 sampai 23 Agustus 2007.

Drs. H.M Irsyad Sudiro M,Si F-PG Menjabat selama sisa periode.

(50)

40

Ir. Soetjipto (Alm) F-PDIP Menjabat pada Tahun ketiga

Permadi, SH. F-PDIP Hanya Menjabat selama 3 Bulan pada tahun ke 3.

Prof.Dr.T. Gayus Lumbuun, SH, MH F-PDIP Menjabat selama tahun ke 5.

3. Wakil Ketua 2 Tiurlan Basaria Hutagoul, S.Th, MA. F-PDS Menjabat penuh selama periode. Tidak pernah digantikan oleh Fraksi.

Sumber: laporan Kinerja DPR RI Periode 2004-2009

(51)

41

perwakilan perempuan dalam Komposisi pimpinan BK periode 2004-2009 yaitu Tiurlan Basaria Hutagoul dari Fraksi PDS.

b. Periode 2009-2014

[image:51.612.127.517.232.669.2]

Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 dalam pasal 124 ayat 2 diatur mengenai pimpinan Badan Kehormatan DPR yang terdiri dari 1 ketua dan 2 wakil ketua yang dipilih berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Pemilihan pimpinan Badan Kehormatan dilakukan dalam rapat Badan Kehormatan

Tabel 3.3

Komposisi Pimpinan Badan Kehormatan Periode 2009-2014

No. Jabatan Nama Fraksi Keterangan

1. Ketua Prof.Dr.T. Gayus Lumbuun, SH, MH F-PDIP Menjabat selama 1 tahun. Diberhentikan oleh Fraksi karena

konflik Internal BK DPR Tahun

2010.

H.Tri Tamtomo, SH. F-PDIP Hanya menjabat selama tiga bulan

lalu dighantikan kembali oleh Gayus Lumbuun.

Dr. M. Prakosa F-PDIP Menjabat selama 2 tahun menggantikan Gayus Lumbuun dari Fraksi yang

(52)

42

Trimedya Panjaitan, Sh, MH. F-PDIP Ketua BK yang baru. Baru Menjabat selama 4 bulan dari bulan

Maret 2013.

2. Wakil Ketua 1. H. Abdul Wahab Dalimuntthe, SH F-PD Wakil ketua BK 1 dari Fraksi Demokrat yang

tidak pernah digantikan oleh

Fraksi.

3. Wakil Ketua 2. Chairumman Harahap, SH, MH. F-PG Hanya Menjabat pada tahun pertama periode

2009-20014.

Nudirman Munir, SH, MH. F-PG Menjabat selama 2 Tahun (2010-2012)

Dr.(Hc) Ir. Siswono Yudo Husodo. F-PG Menjabat dari tahun 2012 sampai sekarang.

(53)

43

Dominasi Fraksi cukup kuat di tubuh keanggotaan BK DPR, dalam UU No.27 Tahun 2009 Pasal 124, yaitu pengangkatan anggota BK DPR dipilih dan dapat diganti sewaku-waktu oleh Fraksi. Dengan merujuk pada pasal tersebut anggota BK silih berganti tiap tahunya yang menyebabkan banyaknya anggota BK yang keluar masuk dalam keanggotaan oleh Fraksi.

D. Perbedaan BK DPR , BK DPD dan BK DPRD

Badan Kehormatan adalah lembaga penegak etika khusus bidang legislatif. Badan Kehormatan dibentuk guna menjaga martabat dan moral anggota dewan. BK adalah badan kelengkapan yang tugasnya menegakkan kode etik anggota dewan. BK ada dan dibentuk dalam suatu lembaga permusyawaratan rakyat (BK MPR), lembaga perwakilan rakyat (BK DPR), dan lembaga perwakilan daerah (BK DPD atau BK DPRD). Bila kita simak bahasa konsideran UU Susduk, maka pembentukan BK nampak didasari suatu pemikiran tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dipetik dari nilai-nilai Pancasila.

(54)
[image:54.612.127.514.82.671.2]

44 Tabel 3.4

Perbedaan BK DPR, BK DPD dan BK DPRD

No Materi

Perbedaan BK DPR BK DPD BK DPRD

1. Legalitas hukum UU No. 27 tahun 2009

Keputusan DPD No. 29 Tahun 2005

PP No. 16 Tahun 2010

2. Tugas Penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan.

(dalam pasal 127, Per DPR no.2 tahun 2011)

melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota. (pasal 37)

:memantau dan mengevaluasi disiplin dan/atau kepatuhan terhadap moral, kode etik DPRD. (pasal 57).

3. Wewenang Memanggil teradu dan diadu. (pasal 127).

Memanggil teradu dan diadu. (pasal 37 ayat 4).

Memanggil teradu dan diadu dan meminta keterangan saksi dan bukti. (pasal 58) 4. Jumlah anggota

dan Komposisi. Berjumlah 11 (sebelas) orang. Dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi.

(UU No. 27 Tahun 2009, Pasal 124).

Keanggotaan Badan Kehormatan terdiri atas

sebanyakbanyaknya 32 (tiga puluh dua) orang Anggota yang mencerminkan keterwakilan setiap provinsi. (pasal 35). Untuk DPRD Provisnsi yg berjumlah 75-100 orang. Anggota Bk terdiri dari 5-7. U/ DPRD Kab atau kota yg anggota y berjumlah 34-50, anggota BK terdiri dari 3-5 orang. (pasal 56)

5. Pemilihan Pimpinan BK

(55)

45 6. Masa Jabatan. Tidak ada penjelasan

mengenai pergantian anggota dewan. Fraksi berkuasa untuk mengganti

anggotanya di BK.

Masa jabatan Pimpinan Badan Kehormatan selama 1 (satu) tahun sidang dan sesudahnya dapat dipilih kembali. (pasal 36).

Masa tugas anggota Badan Kehormatan paling lama 2½ (dua setengah) tahun. (pasal 56 ayat 8)

7. Sifat Rapat. Tartib DPR tahun 2011 dalam pasal 15. Bersifat Tertutup

Tertutup. (pasal 37 ayat 2)

Tertutup dan Rahasia.

8. Sanksi. Tartib DPR tahun 2011 dalam pasal 38. Sanksi berupa teguran, pemberhentian sementara hingga pemberhentian dari anggota DPR. Pimpinan BK, meneruskan putusan ke-ketua Fraksi lalu diputuskan oleh pimpinan DPR. Sanksi berupa teguran, pemberhentian sementara hingga pemberhentian dari anggota DPD. Pimpinan BK melaporkan ke Pimpinan DPD, lalu Pimpinan DPD meminta Presiden meresmikan pemberhentian anggota DPD. Pasal 39. Sanksi berupa teguran, pemberhentian sementara hingga pemberhentian dari anggota DPRD Pimpinan meneruskan putusan/rekomendasi ke gubernur dan mendagri. (Pasal 59)

9. Tata-Beracara 1.Pengaduan (bisa dr pimpinan DPR atau masyarakat) 2.Ke sekretariat BK (verifikasi

administrasi dan materi aduan), 3. Ke Rapat BK (BK memanggil pengadu dan teradu), 4. Hasil penyelidikkan disampaikan ke pimpinan DPR. (pasal 6- 11 Tata Beracara BK DPR)

1.Pengaduan.

Gambar

TABEL DAN GAMBAR
gambaran terhadap data-data yang terkumpul untuk memberikan interpretasi
Tabel 2.1 Perbedaan lembaga dengan organisasi
Gambar 3.1 Visualisasi skema tata-beracara BK DPR
+7

Referensi

Dokumen terkait