(Melalui Pendekatan Teori Solidaritas Mekanik dan Organik Emile Durkheim)
Diajukan kepada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Guna mendapatkan Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
SKRIPSI
Oleh: Rima Setiyawati
1110015000068
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS
i
Jatirejo Kabupaten Semarang (Melalui Pendekatan Teori Solidaritas Mekanik dan Organik Emile Dhurkeim). Oleh Prof. Dr. H. Rusmin Tumanggor MA. Di era modern seperti sekarang ini peranan dukun bayi masih sangat besar pengaruhnya dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Begitu pula dengan masyarakat dusun Noloprayan yang masih menggunakan jasa dukun bayi untuk penanganan persalinan daripada melalui bidan. Hal tersebut menarik ketika dikaji melalui teori solidaritas sosial mekanik dan organik Emile Dhurkeim. Tujuan penulisan skripsi ini adalah (1) Mengetahui bagaimana peranan dukun bayi dalam perspektif masyarakat Jawa terhadap proses persalinan di dusun Noloprayan, desa Jatirejo, kecamatan Suruh, kabupaten Semarang, (2) Mengetahui persepsi masyarakat setempat mengenai peran dukun bayi tersebut. Teknik pengumpulan data dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pergeseran peran dukun bayi. Sejak tahun 2012 dukun bayi di dusun Noloprayan tidak lagi berperan sebagai tenaga penolong persalinan tetapi hanya melakukan penanganan kehamilan bagi ibu hamil dan pelayanan perawatan pasca persalinan. Peran tersebut telah diambil alih oleh bidan. Dikaji melalui teori solidaritas mekanik Emile Dhurkeim, bahwa kecenderungan masyarakat setempat yang memilih dukun bayi sebagai konsultan kesehatan kehamilan dan perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayinya menunjukkan suatu kondisi masyarakat yang masih patuh terhadap adat dan tradisi yang berlaku sehingga masyarakat ini bersifat primitif dan sederhana. Sedangkan sikap masyarakat yang menunjuk bidan sebagai rujukan utama pelaku penolong persalinan oleh Dhurkeim dikatakan sebagai masyarakat yang lebih maju, kompleks dan berfikir rasional. Hasil persepsi masyarakat Noloprayan mengenai peranan dukun bayi terhadap proses persalinan dan pelayanan kesehatan adalah baik yaitu sebagai agen pelestarian budaya pada peristiwa diseputar kehamilan dan kelahiran masyarakat Jawa.
Saran yang dapat diajukan kepada masyarakat Noloprayan khususnya kepada dukun bayi supaya diberikan penjadwalan jam kerja agar lebih efektif dan efisien. Bagi pemerintah setempat hendaknya menyediakan fasilitas serta memberikan binaan pada dukun bayi dan bidan desa, agar pelayanan kesehatan yang dilakukan dapat terjamin memuaskan masyarakat.
ii
Dhurkheim’s Theory Approach of Mechanicaland Organic Solidarity).
In the modern era like today, the role of TBAs still have very big influence in the community, particularly the Javanese community. As wellas the people of Noloprayan hamlet that still use the services of TBAs for delivery handling rather
than a midwife. It is interesting when studied by using Emile Dhurkeim’s theory
of mechanical and organic social solidarity. The purpose of this paper is (1) Knowing how the role of TBAs in the perspective of Javanese community on deliveryprocess at Noloprayanhamlet, Jatirejo village, Suruh district, Semarang regency, (2) Knowing perception of local community on the role of TBAs. Data collection technique used is qualitative-descriptive analysis method. The data were collected through observation, interviews, and documentation.
The results showed that there was a shift in the role of TBAs. Since 2012,TBAs at Noloprayan hamlet no longer act as birth attendants but only handling pregnancy for pregnant women and postpartum care services. The role has been taken over
by midwife. Being assessed by using Emile Dhurkeim’s theory of mechanical
solidarity, that the tendency of the local community who choose TBAs as a consultant of pregnancy health and post-partum care for the mother and her baby showed a condition of society which still adhere to the prevailing customs and traditions so that these communities are primitive and simple,while community attitudes which point to midwife as the main reference for birth attendant were referred by Dhurkeim as more advanced, complex and rational thinkingsocieties. Perception results of Noloprayan communityregarding to the role of TBAs on delivery process and health care is good, namely as an agent of cultural preservation at events concerning pregnancy and birth of the Javanese community.
The suggestions can be submitted to the Noloprayan community, especially TBAs, is that they are given a schedule of working hours to make it more effective and efficient. For local government should provide facilities and guidance toTBAs and village midwives, so that health care can be guaranteed to satisfy the public.
iii
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya. Alhamdulillah rabbil „alamiin, senantiasa penulis panjatkan kepada
-Nya. Karena atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi serta shalawat
dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga
dan para sahabatnya.
Disadari sepenuhnya bahwa kemampuan dan pengetahuan penulis sangat
terbatas, maka adanya bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak
sangat membantu penulis dalam menyeleseikan skripsi ini. Izinkanlah penulis
mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada:
1. Ibu Dra. Nurlena Rifa‟i, Ph. D selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan IPS Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Berkat jasa Beliau yang senantiasa
memberikan yang terbaik untuk seluruh mahasiswa Pendidikan IPS.
3. Bapak Prof. Dr. H. Rusmin Tumanggor, MA, selaku dosen pembimbing.
Berkat jasa beliau, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan sangat baik.
4. Bapak H. Syamsuddin, Kepala Desa Jatirejo, Kecamatan Suruh Kabupaten
Semarang.
5. Bapak Bushaeri, Kepala Dusun Noloprayan Desa Jatirejo.
6. Ibu H. Shulaikah, Dukun bayi di Dusun Noloprayan Desa Jatirejo.
7. Seluruh warga masyarakat di Dusun Noloprayan Desa Jatirejo.
8. Seluruh civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
9. Nenek dan Ibunda ku tercinta, yang senantiasa memberikan semangat dan
iv
motivasi, do‟a, dan canda tawa kepada penulis.
11.Paman dan bibik ku, Aminudin SE, Ika Rusilowati SE, Siti Muawanah SE,
Lia Listiana SE, Trimunaryati, Muhammad Mansyur, Siti Kholisoh, dan
Saptan Keton yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada
penulis.
12.Sahabat sejatiku, Eka Rahayu, Novi Arianti, Dine Ertanti Zuhri, Maya
Rizki Yulianti, Lita Jamallia, dan Usniah yang selalu memberikan do‟a,
bantuan, dukungan, dan menghibur penulis ketika sedang gundah gulana. Serta “Someone” ku tercinta, Shalihin Said sebagai penyemangat dan membantu penulis dalam penulisan skripsi ini semoga oleh Allah
disatukan dalam ikatan yang suci.
13.Kawan-kawan seperjuangan Pendidikan IPS angkatan 2010, khusunya
kelas A Sosiologi- Antropologi yang telah banyak memberikan banyak
inspirasi kepada penulis.
14.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yag telah
memberikan bantuan, menyelesaikan skripsi ini.
Ahirnya hanya kepada Allah SWT jualah penulis berdo‟a, semoga Allah
SWT menerima amal bakti yang diabdikan dengan ikhlas mendapatkan balasan
yang setimpal.
Amin-amin ya robbal alamin.
Jakarta, 16 Juli 2014
Penulis,
v
ABSTRAK...i
ABSTRAC………..ii
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR ISI...v
BAB I. PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang Masalah...1
B. Pembahasan Masalah...10
1. Identifikasi Masalah...10
2. Pembatasan Masalah...10
3. Rumusan Masalah...10
4. Pertanyaan Penelitian...11
C. Hipotesis...11
D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian...11
BAB II. DESKRIPSI TEORITIS DAN KERANGKAKONSEPTUAL...13
A.Deskripsi Teoritis ...13
1. Perspektif Masyarakat...13
a. Definisi Perspektif...13
b. Perspektif Masyarakat...13
vi
2) Budaya Masyarakat Jawa...17
a) Agama...17
b) Bahasa...17
c) Sikap hidup...19
d) Sistem Kemasyarakatan...20
e) Sistem Pemerintahan...21
f) Mata Pencaharian...22
g) Kesehatan...22
h) Kesenian...23
3. Kehamilan...24
a. Defininisi Kehamilan...24
b. Upaya Masyarakat...25
c. Penjagaan Kesehatan...25
4. Persalinan...26
a. Definisi Persalinan...26
b. Tenaga Penolong Persalinan...26
1) Dukun Bayi...26
2) Peran Dukun Bayi...28
3) Layanan Dukun Bayi...31
4) Cara Pertolongan Persalinan Oleh Dukun Bayi...31
vii
2) Solidaritas Organis...35
B. Kerangka Konseptual dan Skema...35
C.Penelitian Relevan……….38
BAB III. METODE PENELITIAN YANG DIGUNAKAN...39
A.Objek...39
B.Subjek...39
C.Data yang dikumpul...40
D.Sumber Data...40
E. Teknik Pengumpulan Data...41
1. Observasi...41
2. Wawancara...42
3. Dokumen...43
4. Analisa...43
F. Teknik Pengolahan Data...44
G. Teknik Penulisan Skripsi...44
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………45
A. DESKRIPSI DATA………45
1. Posisi Dusun Noloprayan...45
viii
6. Hubungan dengan Dusun lainnya...51
7. Prestasi Pembangunan...51
B. TEMUAN HASIL ANALISIS………..53
1. Temuan Lapangan Tentang Dukun Bayi………...53 a. Prestasi Dukun Bayi...53
b. Cara Pertolongan Dukun Bayi dalam Persalin….53
c. Keamanan Bayi yang ditangani...55
d. Syarat – syarat penanganan Bayi oleh Dukun
bayi...55
e. Hubungan Dukun Bayi dengan Warga Masyarakat
……….56
f. Hubungan Dukun Bayi dengan Instansi dan tenaga
Medis………...56
1) Hubungan Dukun Bayi dengan Puskesmas....56
2) Hubungan Dukun Bayi dengan Bidan...57
2. Temuan Lapangan Tentang Pergeseran Dukun....57
a. Peran Dukun Bayi sampai dengan 2011...57
b. Peran Dukun Bayi Sejak 2012 sampai Sekarang...58
3. Temuan Lapangan Tentang Perspektif Masyarakat
Terhadap Dukun………......58
ix
Bayi dalam Proses Persalinan...59
C. PEBAHASAN TEMUAN………...61
1. Ketepatan Hipotesis...61
2. Kerangka Konseptual TeoriTemuan...63
3. Perspektif Peneliti tentang Dukun Bayi di Dusun Noloprayan...68
BAB V. PENUTUP...68
A. Kesimpulan...68
B. Saran...69
DAFTAR PUSTAKA
1 1. Landasan Filosofis
Pesatnya kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah
menghantarkan manusia kepada peradaban yang lebih baik. Manusia dengan
berbagai bentuk aktivitasnya seolah dipermudahkan dengan ketersediaan
fasilitas-fasilitas hidup yang semakin canggih. Kemajuan teknologi
diberbagai bidang turut serta dalam mengubah cara pandang dan cara
berfikir manusia menjadi lebih fleksibel dan mengikuti arah perkembangan
zaman. Kemajuan dalam bidang medis misalnya, adanya
perubahan-perubahan baik dari segi cara, alat yang digunakan, serta sumber daya
manusianya. Hal ini sebagai salah satu indikasi munculnya suatukesadaran
pentingnya kesehatan.
Berdasarkan UUD 1945 pasal 34 ayat 3 menegaskan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Oleh sebab itu, pemerintaah mulai mengupayakan berbagai program dalam bidang kesehatan salah satunya adalah upaya peningkatan kesehatan pada ibu dan anak. Hal ini dicantumkan dalam GBHN tahun 1993 yang menyatakan bahwa, “Pembinaan anak yang dimulai sejak anak dalam kandungan diarahkan pada peningkatan kualitas kesehatan ibu dan anak dengan mempertinggi mutu gizi, menjaga kesehatan jasmani dan ketenangan jiwa ibu serta dengan menjaga ketentraman suasana keluarga dan pemenuhan kebutuhan dasar keluarga...”.1
Program-program kesehatan masyarakat yang telah tersebar luas
jangkauan pelayanan kesehatannya hingga ke daerah-daerah pelosok di
tanah air adalah salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam
mensejahterakan masyarakat, Akan tetapi faktanya masih ditemukan
berbagai kendala mengenai pelaksanaan pelayanan bagi ibu dan bayi,
seperti misalnya terdapat tingginya angka kematian ibu dan bayi pada saat
1
yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan menurut ilmu
kedokteran.
Para ahli antropologi melihat bahwa pembentukan janin, kelahiran hingga kematian pada umumnya dianggap oleh warga berbagai masyarakat di berbagai penjuru dunia sebagai peristiwa-peristiwa yang wajar dalam kehidupan manusia. Dalam konteks kehamilan dan kelahiran bayi itu, setiap masyarakat memiliki cara-cara budaya mereka sendiri dalam memahami dan menanggapi peristiwa pertumbuhan janin dan kelahiran bayi, yang sudah dipraktekkan jauh sebelum masuknya sistem medis biomedikal dilingkungan komuniti mereka. Berbagai kelompok masyarakat juga memiliki cara-cara tertentu dalam mengatur aktivitas-aktivitas
mereka saat menghadapi wanita yang hamil dan bersalin.2
Beberapa masyarakat percaya bahwa setiap perpindahan tahapan
kehidupan adalah suatu hal yang krisis baik bersifat nyata atau gaib
sehingga diperlukan upaya pencegahan yaitu dengan mengadakan
upacara-upacara adat. Peristiwa kehamilan dan melahirkan adalah tahapan kritis
dalam kehidupan yang tetap harus dijalanimaka sebagian dari masyarakat
menitik beratkan perhatiannya terhadap aspek kultural dari kehamilan dan
kelahiran itu. Orang Jawaadalah salah satu contoh masyarakat yang menitik
beratkan perhatiannya pada 2 aspek kultural tersebut sehingga mereka
sering melakukan upacara-upacara ritual seputar kedua peristiwa penting
tersebut.
Geertz pada penelitiannya di daerah terpencil Jawa timur, Mojokuto, menjelaskan bahwa upacara ritual sebagai tahapan peralihan (rites of passage) yang menekankan kesinambungan dan identitas yang mendasari semua segi kehidupan dan transisi serta fase-fase khusus yang dilewati yang dalam keseluruhannya slametan tersebut memiliki simbolisme khusus dari
peristiwa-peristiwa tersebut.3
Upacara adat disekitar kehamilan yang masih dijalankan oleh orang
Jawa antara lain Tingkeban (upacara di usia 7 bulan kehamilan), babaran
2Ibid
., h. viii.
3
setelah bayi dilahirkan), dan selapanan (upacara bulan pertama sejak bayi dilahirkan). Dari keseluruhan tahapan upacara tersebut masing-masing
memiliki simbol, makna dan tujuan yang berbeda-beda.
Adanya kepercayaan masyarakat Jawa atas peristiwa kehamilan
sebagai aspek kultural yang sarat akan kemistisan, maka pemberian
pertolongan dan tempat persalinan juga menjadi hal yang penting untuk
diperhatikan. Peran dukun bayi atau paraji berperan penting sebagai
penolong proses persalinan jika dibandingkan dengan penanganan seorang
bidan. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan masyarakat terhadap dukun
sebagai pelaku pertolongan pada kelahiran yang lebih menitik beratkan pada
aspek kultural dan memiliki kekuatan gaib.
2. Landasan Historis
Menurut amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat (1)
menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejatera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memproleh pelayanan kesehatan”.4 Guna menjalankan apa
yang menjadi amanat UUD 1945, dalam hal memperoleh pelayanan
kesehatan maka pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk menentukan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Persalinan yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai proses
kultural dan memaknai suatu kehamilan dan kelahiran sebagai suatu krisis
kehidupan yang dihubungkan dengan hal yang gaib, maka tempat dan
pertolongan persalinan menjadi sangat penting. Dukun bayi yang tidak
hanya sebatas penolong persalinan tetapi juga memiliki keahlian secara
gaib, banyak dipilih masyarakat Jawa sebagai pelayanan kesehatan dalam
konteks persalinan.
4
di daerah pedesaan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran
masyarakat dipedesaan terhadap kesehatan masih rendah serta perilaku
budaya yang masih di pertahankan. Pertolongan persalinan oleh dukun
menimbulkan berbagai masalah dan penyebab utama tingginya angka
kematian dan kesakitan ibu dan perinatal. Dapat dipahami bahwa dukun
tidak dapat mengetahui tanda-tanda bahaya perjalanan persalinan.5 Orang
yang pergi keseorang bidan untuk melahirkan menjadi petunjuk kuat tentang
urbanismenya yang bersangkutan, pegawai pemerintah, dan kalangan yang
berpendidikan. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa mereka lebih
memilih untuk melepaskan tradisi diseputar kehamilan dengan menganut
pandangan yang lebih rasional.
Berbeda dengan masyarakat yang menganut pandangan rasional,
masyarakat yang menggunakan jasa dukun bayi, percaya bahwa pemberian
pertolongan saat melahirkan bukan masalah teknis belaka jauh dari itu,
keahlian gaib yang dimiliki seoarang dukun akan mampu mengurangi
penderitaan dan kesulitan ketika melahirkan. selain faktor kepercayaan,
faktor ekonomi juga menjadi salah satu penyebabnya. Dengan
menggunakan jasa dukun bayi itu, biaya yang akan dikeluarkannya lebih
murah jika dibandingkan dengan biaya dengan memakai jasa seorang bidan.
Belum lagi soal layanan yang diberikan antara keduanya, seorang dukun
biasanya memberikan perawatan baik sebelum dan sesudah kelahiran.
Selama kurang lebih 40 hari pasca kelahiran dukun bayi masih
mendampingi ibu dan bayi guna memberikan ramua-ramuan tradisioanal
dan pijit perawatan bagi keduanya.
Dukun bayi adalah pelayan kesehatan yang mempunyai tujuan
sama seperti bidan namun berbeda dalam hal penanganan. Jika bidan
menangani persalinan dengan menggunakan keahlian medis dan difasilitasi
5
dukun bayi. Mereka bekerja dengan cara dan alatyang masih sederhana.
Peran dan keberadaan dukun bayi tetap harus dilestarikan dan
diperhatikan perkembangannya, karena kehadiran dukun bayi
ditengah-tengah masyarakat adalah selain untuk melestarikan budaya dan adat
istiadat yang berlaku didalam masyarakat juga dapat membantu
meringankan biaya persalinan bagi keluarga yang kurang mampu.
Mengingat bahwa kesehatan adalah hak setiap warga Indonesia,
sehingga secara mandiri dan bertanggung jawab masyarakatberhak
menetukan pelayanan kesehataan dalam hal ini persalinan, maka bagi
masyarakat yang menentukan pilihannya kepada dukun bayi berhak juga
atas jaminan kesehatan pasca persalinan. Maka untuk mengupayakannya
pemerintah memberikan pelatihan terhadap para dukun bayi secara
terprogram yang salah satunya melalui program puskesmas.
Di dalam program pelatihan tersebut para dukun bayi diberikan
berbagai pelatihan-pelatihan mengenai cara penanganan persalinan,
penanganan jika terjadi kesulitan dalam bersalin, penanganan nifas, dan
pelatihan terhadap cara perawatan bayi dan ibu pasca bersalin, secara sehat
dan bersih yang sesuai dengan standar medis.
Pengadaan Program ini adalah salah satu upaya pemerintah untuk
meminimalisir tingkat kematian ibu dan bayi serta kesakitan ibu dan
perinatal terhadap pelayanan persalinan oleh dukun bayi. Sehingga
kesehatan yang merupakan hak seluruh warga Indonesia telah diupayakan
oleh pemerintah.
3. Landasan Yuridis
Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 ayat 3 tentang kesehatan
dirinya.6
Mengacu pada Undang- Undang tersebut di atas, dukun bayi
memiliki hak dalam memberikan pertolongan persalinan sebagai alternatif
pilihan masyarakat meskipun tidak memiliki keahlian secara medis.
Masyarakat atau individu memiliki kebebasan apakah ia akan melahirkan
melalui bidan atau melalui seorang dukun bayi. Tentu pemilihan kedua
alternatif tersebut masing-masing memiliki resiko yang berbeda satu dengan
lainnya.
Kebebasan individu atau masyarakat dalam menentukan pelayanan
kesehatan dalam hal ini dukun bayi, selain faktor ekonomi,adanya
kepercayaan serta adat istiadat seputar kehamilan dan kelahiran oleh
masyarakat Jawa dimaknai sebagai suatu proses kultural yang syarat akan
kepercayaan, maka peranan dukun bayi sangatlah penting karena dukun
bayi dipercaya memiliki keahlian gaib dalam membantu proses persalinan.
4. Kekontemporeran
Dukun bayi adalah gabungan dari dua kata, yakni dukun dan bayi.
Masing-masing kata ini mengandung makna yang berbeda satu sama
lainnya, namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat sehingga
penggabungan kedua kata tersebut membentuk suatu kesatuan pemahaman
yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam bahasa Arab, “Dukun bayi disebut kahin adalah kata yang
biasa dipakai untuk mengungkapkan orang yang dapat meramal nasib
dengan batu kerikil. Kata dukun juga dapat dipakai untuk orang yang
mengerjakan perkara orang lain dan berusaha untuk memenuhi segala
kebutuhannya”.7 Penyembuh, secara umum di Indonesia, di Jawa khususnya
kata bayi memiliki pengertian anak kecil yang belum lama lahir.9
Dari penggabungan kedua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa
dukun bayi adalah seseorang yang memiliki keahlian dan kemampuan
secara tradisional dalam membantu proses kelahiran seorang bayi.
Pengertian dukun bayi yang dikemukakan oleh DepKes RI (1994),
Pada dasarnya dukun bayi atau Paraji adalah, “Seorang anggota
masyarakat pada umumnya seorang wanita yang mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan dalam menolong persalinan secara tradisional dan memperoleh keterampilan tersebut dengan secara turun temurun, belajar secara praktis atau dengan cara lain yang menjurus kearah peningkatan keterampilan bidan
serta melalui petugas kesehatan.”10
Batas kewenangan dukun dalam melakukan pertolongan persalinan menurut Depkes RI (1994: 14) adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan pertolongan persalinan meliputi mempersiapkan
tempat, kebutuhan ibu dan kebutuhan bayi, mempersiapkan alat-alat persalinan sederhana secara bersih, mencuci tangan sebatas siku dengan sempurna (10 menit).
2. Memimpin persalinan normal dengan teknik-teknik sederhana
yang meliputi membimbing ibu mengejan, menahan perineum, merawat tali pusat, memeriksa kelengkapan placenta.
3. Dukun tidak melakukan tindakan yang dilarang seperti memijat
perut serta mendorong rahim, menarik plasenta, memasukkan tangan ke dalam liang senggama.
4. Melakukan perawatan pada bayi baru lahir yang meliputi
perawatan mata, mulut dan hidung bayi baru lahir, perawatan tali
pusat dan memandikan bayi.11
Di dalam prakteknya, tidak semua dukun yang tidak berbekal
keahlian medis karena banyak dukun bayi yang memperoleh
pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh tenaga medis guna melakukan pertolongan
persalinan secara bersih dan sehat.
8
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A.. Dokter Atau Dan Dukun: Pergumulan Pengobatan Di Indonesia, (Jakarta : LEMLIT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 55.
9
Ivenie Dewintari S, Alvina Tria Febianda, Kamus Istilah Penting Modern, (Jakarta: Aprindo 2003), h.42.
10
http://boulluwellwinda.blogspot.com/2013/05/definisi-paraji.html, di akses pada tgl 4 jan 2014.
11
tenaga kesehatan yang dinyatakan lulus. Sedangkan dukun tidak terlatih
adalah dukun bayi yang belum pernah dilatih oleh tenaga kesehatan atau
dukun bayi yang sedang dilatih dan belum dinyatakan lulus. Peranan dukun
beranak sulit ditiadakan karena masih mendapat kepercayaan masyarakat
dan tenaga terlatih yang masih belum mencukupi. Dukun beranak masih
dapat dimanfaatkan untuk ikut serta memberikan pertolongan persalinan.12
Peran dukun dalam pertolongan persalinan dalam Pedoman
Kemitraan Bidan dengan Dukun adalah sebagai berikut:
a. Mengantar calon ibu bersalin ke Bidan
b. Mengingatkan keluarga menyiapkan alat transportasi untuk
pergi ke bidan atau memanggil bidan
c. Mempersiapkan sarana prasarana persalinan aman seperti air
bersih dan kain bersih
d. Mendampingi ibu pada saat persalinan
e. Membantu bidan pada saat proses persalinan
f. Melakukan ritual keagamaan/tradisional yang sehat yang
sesuai tradisi setempat
g. Membantu bidan dalam perawatan bayi baru lahir
h. Membantu ibu dalam inisiasi menyusui dini kurang dari 1 di akses pada Selasa, 18 Maret 2014.
13
permaslahan sebagai barikut:
a. Kemajuan teknologi dibidang ilmu medis dan kedokteran telah
berkembang sangat pesat dengan menjamurnya tenaga medis dan
kesadaran kesehatan dalam suatu masyarakat.
b. Resiko kematian dan penyakit pada ibu dan bayi tinggi akibat proses
persalinan melalui dukun bayi
c. Dukun bayi tidak memiliki keahlian dalam bidang medis selain praktek
kerja secara tradisional
d. Mahalnya biaya persalinan melalui jasa bidan
2. Pembatasan Masalah
Dari beberapa identifikasi masalah tersebut, supaya penelitian lebih
terarah sesuai dengan judul dan tujuan dilakukannya penelitian, maka
penulis memberikan batasan permasalahan ini pada jasa dukun bayi yang
masih bertahan dan tetap digunakan dalam hal ini pada proses persalinan
atau kelahiran, meskipun dukun bayi tidak memiliki keahlian medis serta
dalam prakteknya masih menggunakan cara-cara tradisional yang secara
turun-temurun dilakukan.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari identifikasi permasalahan yang ada, agar
penelitian lebih terarah dan fokus, maka rumusan masalahnya yaitu peneliti
hanya melakukan observasi dan penelitian di Dusun Noloprayan, Desa
Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang mengenai kondisi
masyarakat setempat yang sudah maju dan mengikuti arah perkembangan
zaman, tetapi eksistensi dan peran dukun bayi sebagai pelaku pertolongan
persalinan tradisional yang tidak memiliki kemampuan medis masih tetap
Dengan dasar rumusan masalah atau lingkup pembahasan di atas,
maka penulis dapat mengajukan pertanyaan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
a. Bagaimana persepsi masyarakat di Dusun Noloprayan, Desa Jatirejo,
Kabupaten Semarang tentang dukun bayi terhadap proses persalinan?
b. Bagaimana peranan dukun bayi terhadap proses persalinan bagi
masyarakat Jawa, khusunya bagi masyarakat di Dusun Noloprayan?
C.Hipotesis
Hipotesis merupakan dugaan yang diajukan atas pertanyaan penelitian
yang berupa kalimat pernyataan peneliti. Berdasarkan dari pertanyaan
penelitian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah bagi masyarakat
Noloprayan dengan melahirkan melalui dukun bayi serta mentaati adat-istiadat
dalam menjalankan ritual diseputar kehamilan dan kelahiranakan membawa
keberkahan tersendiri bagi kelangsungan hidup jabang bayi.
D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun skripsi pada program
strata satu (S1) Pendididikan Ilmu Pengetahuan Sosial Konsentrasi
Sosiologi-Antropologi pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
b. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana peranan dukun bayi dalam
perspektif masyarakat Jawa terhadap proses persalinan di Dusun
Noloprayan, Desa Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang dan
untuk mengetahui mengapa masyarakat setempat masih menggunakan
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dan kegunaan
bagi dunia akademik, masyarakat, dan bagi penulis. Adapun manfaatnya
sebagai berikut:
a. Bagi Akademisi
Dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi akademisi, dan
penelitian lanjutan secara lebih mendalam terhadap bagian dari setting
penelitian ini.
b. Bagi masyarakat umum
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pengevaluasian
dan pengambilan keputusan bagi keluarga dan calon ibu dalam pemilihan
pertolongan persalinan.
c. Bagi Penulis
Dapat menambah informasi dan wawasan mengenai peranan
BAB II
DESKRIPSI TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A.Deskripsi Teoritis
1. Perspektif Masyarakat a. Definisi Perspektif
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “Perspektif adalah
pandangan (jauh ke masa depan), kita harus dapat melihat kehidupan”.1
Sedangkan secara kognitif,“Perspektif yakni sudut pandang manusia dalam
memilih opini, kepercayaan, dan lain-lain”.2 Sehingga didalam memberikan
respon atau tanggapan terhadap suatu peristiwa atau fenomena sosial itu
tergantung kepada cara berfikir atau sudut pandang masing-masing
seseorang yang diperkuat dengan alasan-alasan teoritik sehingga akan
berpengaruh terhadap perilaku mereka.
b. Perspektif Masyarakat
Perspektif masyarakat adalah sudut pandang atau cara pandang
masyarakat atau sekelompok orang tertentu dalam memberikan pendapat
atau opininya tentang sesuatu hal yang dipercayai, yang ada dalam realitas
sosial. Proses penganalisaan suatu peristiwa pada dasarnya dipengaruhi oleh
apa yang kita sebut dengan persepsi atau pandangan, mereka
mengeneralisasikan sesuatu yang mereka respon sesuai dengan opini yang
didasarkan pada alasan alasan yang kuat.
2. Masyarakat Jawa a. Definisi Masyarakat
Masyarakat merupakan golongan besar atau kecil terdiri dari
beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara
1
Badudu, Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h.19
2
http://id.wikipedia.org/wiki/PerspektifDisambiguasi, Di akses pada tgl 8 Januari 2014, pukul 16.46
golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Definisi masyarakat
adalah, “Suatu kesatuan sosial yang berisikan sejumlah orang, menempati
suatu wilayah dengan batas-batas yang jelas, menyandang suatu kebudayaan, dan biasanya memiliki suatu bahasa”.3
Adapun pengertian masyarakat secara umum menurut pendapat
para ahli antara lain :
1. Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah suatu kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu
yang bersifat kontityu, dan yang terkait oleh suatu rasa idenetitas
3. Menurut Anderson dan Parker, sebagai bentuk kehidupan bersama,
memberikan perincian mengenai ciri-ciri pokok masyarakat , yaitu (1)
adanya jumlah orang; (2) menempati wilayah geografis tertentu; (3)
mengadakan hubungan tetap dan teratur satu sama lain; (4) membentuk
suatu sistem hubungan antarmanusia; (5) adanya keterkaitan akibat
kepentingan bersama; (6) mempunyai tujuan dan bekerja sama; (7)
mengadakan ikatan berdasarkan unsur-unsur sebelumnya; (8) memiliki
solidaritas sosial; (9) memiliki ketergantungan sosial; (10) membentuk
sistem nilai; (11) membentuk kebudayaan.5
Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
dalam suatu masyarakat terdapat sebuah interaksi, norma, adat-istiadat,
3
Ahmad Fedyani Saifuddin, Catatan Reflektis Antropologi Sosialbudaya, (Institut Antropologi Indonesia, 2011), Cet.1, h. 143.
4
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Aksara Baru, 1980), Cet.ke-2, h. 160-161.
5
hukum atau aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah
lakuwarga didalam masyarakat tersebut sekaligus dijadikan sebagai
pandangan hidup didalam kehidupannya.
b. Masyarakat Jawa
Dalam menunjukkan suatu masyarakat tertentu yang sifatnya
mengkrucut, maka ada istilah community yang diterjemahkan sebagai
masyarakat setempat yang menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku,
atau bangsa. Masyarakat setempat adalah suatu wilayah kehidupan sosial
yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial tertentu. Dasar-dasar dari
masyarakat setempat adalah lokalitas, solidaritas, dan perasaan semasyarakat
setempat
Masyarakat Jawa yaitu suatu masyarakat yang mendiami wilayah di
Pulau Jawa yang terikat oleh aturan-aturan, norma, serta adat-istiadat yang
berlaku di masyarakat Jawa tersebut. Sebanyak 60% orang Jawa tersebar
diseluruh Nusantara bahkan dipelosok-pelosok wilayah. Hal ini membuat
orang-orang Jawa mudah dijumpai oleh orang lain dari suku selain Jawa.
1) Karakteristik Pulau Jawa
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau diIndonesia, suatu
kepulauan yang terbentang antara 6 derajat lintang utara, 11 derajat lintang
selatan dan 95-141 derajat Bujur Timur. Pulau Jawa sendiri terletak di
antara 5-10 derajat Lintang Selatan dan 105-115 derajat Bujur Timur.6
Pulau Jawa kurang lebih sepanjang 1.100 km dan rata-rata selebar
120 km dan terletak antara garis lintang selatan ke-5 dan ke-8. Dengan
132-187 km persegi (termasuk Madura), Jawa memuat kurang dari 7 % dari
tanah seluruh Indonesia.7Jawa terdiri dari dataran-dataran rendah dengan
tanah vulkanis yang subur, beberapa daerah yang agak kering khususnya di
6
sebelah selatan pulau, dan terdapat beberapa gunung berapi yang masih
aktif, Iklim Pulau Jawa adalah tropis. Di dataran rendah suhu rata-rata
berkisar antara 26 dan 27 derajat Celsius dengan kelembaban udara rata-rata
85% sampai dengan 73%. Pulau Jawa tidak mengenal musim dingin dan
musim panas tetapi ada perbedaan yang cukup jelas antara musim penghujan
dengan musim kering walaupun juga dalam musim kering, khususnya di
bagian utara dan barat Pulau Jawa, sering ada hujan.8
Dari 150 juta orang Indonesia seluruhnya kurang lebih 64% atau
96 juta hidup di Jawa dan Madura dengan kepadatan penduduk rata-rata 726
orang per kilometer persegi. termasuk wilayah-wilayah yang paling padat
penduduknya di dunia. Tetapi karena di Pulau Jawa daerahnya tidak dihuni
secara merata karena kesubururannya tidak sama di mana-mana, seperti
Jawa Barat dan Jawa Timur masih ada beberapa daerah yang masih sedikit
penduduknya maka kepadatan penduduk nyata dalam daerah-daerah yang
ada penduduknya itu jauh lebih tinggi. Misalnya, di sekitar Malang
kepadatan penduduk melebihi dua ribu penduduk per kilometer persegi.
Kota-kota terpenting Indonesia terletak di Jawa yaitu Jakarta, Bandung,
Bogor; Cirebon, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Surakarta, Yogyakarta,
Madiun, Kediri, dan Malang.9
2) Budaya Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa memiliki ragam budaya yang unik diantaranya
adalah sebagai berikut :
a) Agama
Masyarakat Jawa sebagian besar adalah pemeluk agama Islam.
masyarakat Jawa, yaitu agama Islam orang Jawa yang bersifat sinkretis
dan agama Islam Puritan.
Bentuk agama Islam orang Jawa yang sifatnya sinkretis
diwujudkan dalam bentuk Agami Jawi atau Kejawen yaitu suatu
kompleks keyakinan yang diadopsi dari konsep-konsep Hindu-Budha
yang cenderung ke arah mistik. Sedangkan bentuk agama Islam yang
bersifat puritan diwujudkan dalam Varian Agami Islam Santri, “Yaitu
suatu ajaran yang lebih menekankan pada dogma-dogma ajaran Islam
yang sebenarnya tetapi juga terdapat sedikit unsur Hindhu Budha”.10
Masyarakat Jawa juga banyak yang menganut agama selain agama Islam seperti agama Katolik, Protestan, Budha dan Hindu. Jumlah penganut agama Katolik melebihi satu juta orang, dan mereka pada umumnya terpusat di daerah pusat kebudayaan Jawa. Orang jawa yang beragama Protestan dalam tahun 1967 berjumlah lebih dari 250.000. Penganut agama Budha dan Hindu hanya kecil sekali jumlanya, dan pada
umumnya berasal dari daerah sekitar kota Yogyakarta.11
b) Bahasa
Masyarakat Jawa adalah orang yang bahasa ibunya bahasa
Jawa sehingga orang Jawa merupakan penduduk asli bagian tengah dan
timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa dalam berbahasa sehari-hari.
Bahasa orang Jawa tergolong sub-keluarga Hesperonesia dari
keluarga bahasa Malayo-Polinesia. Bahasa Jawa memiliki suatu sejarah
kesusasteraan yang dimulai pada abad ke-8, dan berkembang melalui
beberapa fase yang dapat dibeda-bedakan atas dasar beberapa ciri
idiomatik yang khas dan beberapa lingkungan kebudayaan yang
berbeda-beda dari tiap pujanngganya. Fase-fase tersebut adalah sebagai
berikut:
10
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 312.
11Ibid
1) Bahasa Jawa Kuno, yang dipakai dalam prasasti-prasasti keraton pada zaman antara abad ke-8 dan ke-10, dipahat pada batu atau
diukir pada perunggu, dengan bahasa yang seperti dipergunakan
dalam karya-karya kesusasteraan kuno abad ke-10 hingga ke-14.
Hanya sebagian kecil dari naskah-naskah Jawa kuno yang kita
miliki sekarang dibuat di Jawa Tengah; bagian terbesar ditulis di
Jawa Timur.
2) Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusasteraan Jawa-Bali. Kesusasteraan ini ditulis di Bali dan di Lombok sejak abad ke-14. Kemudian dengan tibanya Islam di Jawa Timur, kebudayaan
Hindu-Jawa pindah ke Bali dimana kebudayaan itu menjadi mantap
dalam abad ke-16. Bahasa kesusasteraan ini hidup terus sampai
abad ke-20, tetapi ada perbedaan yang pokok dengan bahasa yang
dipakai sehari-hari di Bali sekarang.
3) Bahasa yang dipergunakan dalam kesusasteraan Islam di Jawa Timur. Kesusateraan ini ditulis di zaman berkembangnya kebudayaan Islam yang menggantikan kebudayaan Hindu- Jawa di
daerah aliran Sungai Brantas dan daerah hilir Sungai Bengawan
Solo dalam abad ke-16 dan ke-17.
4) Bahasa kesusasteraan kebudayaan Jawa-Islam di daerah Pesisir. Kebudayaan yang berkembang di pusat-pusat agama di kota pantai
utara Pulau Jawa dalam abad ke-17 dan ke-18, oleh orang Jawa
sendiri disebut Kebudayaan Pesisir. Orang Jawa juga membedakan
antara kebudayaan Pesisir yang lebih muda, yang berpusat di kota
pelabuhan Cirebon, dan suatu kebudayaan Pesisir Timur yang lebih
tua yang berpusat di kota-kota Demak, Kudus, dan Gresik.
5) Bahasa kesusasteraan di kerajaan Mataram. Bahas ini adalah bahasa yang dipakai dalam karya-karya kesusasteraan karangan
yang terletak didaerah aliran Sungai Bengawan Solo di tengah
komplek Pegunungan Merapi-Merbabu-Lawu di Jawa Tengah,
dimana bertemu juga lembah Sungai Opak dan Praga.
6) Bahasa Jawa masakini, adalah bahasa yang dipaki dalam percakapan sehari-hari dlam mayarakat orang Jawa dan dalam
buku-buku serta surat-surat kabar berbahasa Jawa dalm abd ke-20
ini.12
c) Sikap Hidup Orang Jawa
Didalam Serat Sasangka Djati, dituliskan delapan sikap dasar
manusia yang terdiri dari dua pedoman hidup yakni Tri-Sila dan
Panca-Sila. Tri-Sila merupakan pokok yang harus dilaksanakan setiap hari
dalam hubungannya dengan Tuhan yaitu pertama, berbakti kepada Tuhan
yang Maha Esa, kedua adalah percaya kepada semua Utusan Tuhan dan
ketiga, taat dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.13
Sebelum manusia dapat melaksanakan Tri-Sila tersebut maka sesorang
harus memiliki watak dan tingkah laku yang disebutkan dalam Panca-Sila
yaitu:
a. Pertama, rila adalah keiklasan hati sewaktu menyerahkan segalah
miliknya, kekuasaannya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan,
c. Ketiga, temen adalah perilaku yang selalu menepati janji atau ucapannya sendiri. Baik janji yang diucapkan dengan lisan atau janji
dalam hati. Sedangkan orang yang tidak menepati kata hatinya berarti
ia menipu dirinya sendiri.
d. Keempat, sabar adalah merupakan tingkah laku terbaik, yang harus
dimiliki setiap orang. Karena sabar itu berarti momot, kuat terhadap
segalah cobaan, tetapi bukan berarti putus asa.
e. Kelima, budi luhur adalah selalu berusaha untuk menjalankan
hidupnya dengan segalah tabiat dan sifat-sifat yang dimiliki oleh
Tuhan Yang Maha Esa.14
Dari delapan sikap dasar manusia diatas dapat disimpulkan
bahwa sikap hiduporang Jawa bersifat religius yaitu selalu mengaitkan
segala sesuatunya kepada Tuhan serta menjunjung tinggi nilai-nilai
kebersamaan dan keharmonisan kehidupan antar sesama.
d)Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan pada masayarakat Jawa dapat dilihat dari
dua pengklasifikasian lapisan sosial yang ditinjau dari segi
sosial-ekonomis dan kegamaannya.
Dari segi sosial-ekonomis, terdapat dua golongan sosial yaitu, Wong cilik atau orang kecil, merupakan lapisan masyarakat paling rendah terdiri dari sebagian besar petani dan orang-orang
yang berpendapatan rendah di kota, dan kaum priyayi,
merupakan lapisan masyarakat yang menduduki tingkat teratas, terdiri dari kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Sedangkan dari segi religiunitasnya terdapat golongan santri dan abangan. Santri merupakan golongan yang berusaha hidup sesuai dengan ajaran agama Islam sedangkan abangan merupakan
14Ibid
sekelompok orang yang hidup dengan tradisi-tradisi pra-Islam
dan dipengaruhi dengan unsur-unsur animisme.15
e) Sistem Pemerintahan
Desa merupakan tempat pemukiman menetap bagi masyarakat
Jawa yang terdiri dari beberapa dukuh atau dusun. Desa menjadi wilayah
hukum dan sekaligus sebagai pusat pemerintahan tingkat daerah paling
rendah. Wilayah administratif diatas desa adalah kecamaatan, yaitu suatu
kumpulan dari 15 sampai 25 desa yang dikepalai oleh seorang camat.16
Secara administratif, suatu desa di Jawa disebut kelurahan yang
dikepalai seorang lurah. Lurah dipilih oleh dan dari penduduk desa
sendiri, dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi calon yang dipilih
atau yang memilih. Dalam organisasi pemerintahan sekaligus sebagai
badan pimpinan rakyat, seorang lurah diwajibkan untuk mengangkat
pembantu- pembantu yang disebut sebagai pamong desa yang meliputi
(1) carik, yang bertindak sebagai pembantu umum dan sekretaris desa, (2) sosial, yang memelihara kesejahteraan penduduk baik rohani maupu
jasmani,(3) kemakmuran, yang mempunyai kewajiban memperbesar
produksi pertanian, (4) keamanan, yang bertanggung jawab atas
ketentraman lahir dan batin penduduk desa. (5) kaum, yakni yang
mengurus soal-soal mengenai nikah, talak dan rujuk, kegiatan keagamaan
serta kematian.17
Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah didesa dilakukan
secara demokratis, terbuka, jujur dan biasanya dilakukan di tempat
terbuka seperti pekarangan rumah atau di tengah lapang.
15
Koentjaraningrat op. cit., h.12. 16
Koentjaraningrat: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1985), h.59
17
f) Mata pencaharian
Sumber utama penghasilan masyarakat Jawa yang notabennya
wilayah pedesaan adalah bertani. Di daerah dataran tinggi, seperti
pegunungan masyarakat memanfaatkan lahannya untuk dijadikan sebagai
tegalan atau lahan kering yang ditanami sayur mayur, buah-buahan dan
jenis pohon lainnya. Sedangkan untuk daerah dataran rendah dibuka lahan
persawahan dan palawija. Bagi orang desa yang tidak memiliki sawah
mereka bekerja sebagai buruh tani yaitu menggarap sawah orang lain
dengan sistem yang disepakati oleh kedua pihak.
Selain dari sektor pertanian, sumber pendapatan masyarakat
diperoleh dari hasil berdagang, menjadi tukang, dan menjadi seorang
pegawai seperti guru, PNS, pamong desa, lurah, camat dan lain
sebagainya.
g) Kesehatan
Dalam bidang kesehatan, dalam hal ini pengobatan, masyarakat
Jawa khususnya Jawa Tengah mengenal pengobatan-pengobatan secara
tradisioanal.
Pengobatan tradisioanal disini terdiri dari 3 jenis yaitu (1) pengobatan tradisional yang menggunakan ramuan obat traadisional atau jamu yang dapat dikerjakan setiap induvidu baik dengan menggunakan ramuan tradisional yang telah diproduksi oleh pabrik atau perusahaan, maupun suatu ramuan yang dibuat sendiri berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dari tanaman obat yang ada disekitarnya, (2) pengobatan tradisioanal dengan keterampilan khusus yaitu urut/ pijit, persalinan dan tusuk jarum, (3) pengobatan tradisional paranormal. Yaitu dikerjakan para pengobat atas
kepercayaan indra keenam.18
18
Orang Jawa memanfaatkan pekarangan mereka untuk ditanami
jenis-jenis tanaman yang memiliki khasiat pengobatan. Selain obat
tradisional, masyarakat ini juga memakai obat dan pengobatan secara
medikal ketika penyakit yang diderita bersifat serius dan memerlukan
penanganan medis.
h)Kesenian
Masyarakat Jawa memiliki keberagaman seni budaya
diantaranya adalah seni peran, seni tari,seni musik, dan seni membatik.
Seni peran pada masyarakat Jawa memiliki beragam versi. Di Jawa Tengah seni peran dikenal dengan sebutan ketoprak yang ditemukan pada akhir tahun 1923, di Surabaya
terkenal dengan ludruk, sedangkan di Jawa Barat dikenal
dengan istilah sandiwara lelucon. Bentuk dari seni peran yang populer di Jawa adalah pertunjukan seni wayang baik wayang wong, golek, ataupun wayang kulit. Wayang dimainkan oleh seorang dalang yang berada dibelakang layar. Sebagian besar cerita yang diangkat dalam pewayangan adalah cerita Mahabarata dan Ramayana. Seni pertunjukan ini sebagian besar
dipengaruhi oleh unsur agama Hindu-Budha.19
Seni batik merupakan metode pembuatan design tekstil
dengan teknik pencelupan menggunakan bahan dasar lilin. Batik
memiliki beragam corak dan warna corak yang paling populer yaitu
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Produksi batik merupakan industri
penting di Jawa. Pusat-pusat batik yang terkenal di Jawa adalah batik
khas Yogyakarta, Solo, Pekalongan dan Surabaya.
Seni tari pada masyarakat Jawa terdiri dari dua kelompok
Sedangkan tarian modern biasanya ditarikan oleh kedua jenis kelamin
yang dikenal dengan wayang wong. Semua jenis tarian memiliki
makna yang berbeda-beda.20
3. Kehamilan a. Definisi Hamil
Pengertian kehamilan yang dikemukakan oleh BKKBN (Badan
Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional) menyatakan bahwa, “kehamilan adalah proses yang diawali dengan keluarnya sel telur yang matang pada saluran telur yang kemudian bertemu dengan sperma dan
keduanya menyatu membentuk sel yang akan bertumbuh”.21
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kehamilan adalah
suatu proses dimana terjadinya pertemuan antara sel telur dengan sperma
yang kemudian tumbuh menjadi embrio, dengan masa hamil selama 9 bulan.
b. Upaya masyarakat
Dari hasil penelitian Swasono (1998) melaporkan bahwa perilaku
ibu pada kehamilan, persalinan dan nifas berbeda-beda, respon masyarakat
yang bersifat budaya terhadap fenomena kelahiran bayi ditunjukkan sejak
mulai terbentuknya janin sampai melahirkan. Respon-respon tersebut
mempunyai implikasi yang baik maupun yang buruk terhadap kesehatan
bayi dan ibunya, dengan demikian aspek sosio budaya yang berkaitan
dengan kelahiran bayi sejak dari perkembangan janin dalam kandungan ibu
sampai masa nifas merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam upaya
pelayanan kesehatan bagi bayi dan ibunya.22
20
Geertz, op. cit., h. 379-388.
21
http://www.kesehatan123.com/2642/kehamilan/, diakses pada Senin, 21 April 2014
22
Kehidupan Jawa yang bersifat ritualistis, dimana
perubahan-perubahan dan kejadian-kejadian baru harus dimasukkan secara formal
kedalam struktur keadaan yang sudah ada, kejadian-kejadian harus diatur
dan dibekukan lewat upacara sebelum diakui adanya, keberadaannya harus
diakui secara ritual yang hakekatnya ritual-ritual tersebut menyangkut daur
kehidupan seperti kelahiran, khitanan dan perkawinan.23
Proses kelahiran yang dianggap sebagai peristiwa religiomagi baik
pra dan pasca kelahiran masyarakat Jawa melakukan berbagai upacara
selamatan dari mulai bulan ketujuh masa kehamilan, tingkeban (yang
diselenggarakan hanya apabila anak yang dikandung adalah anak pertama
bagi si ibu, si ayah, atau keduanya), pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran
atau brokahan), lima hari sesudah kelahiran (pasaran), dan satu bulan
setelah kelahiran (selapanan).
Selain ritual upacara seputar kehamilan dan kelahiran, masyarakat
Jawa juga mengenal berbagai pantangan saat kehamilan baik dari faktor
makanan ataupun dari faktor perilaku. Calon ibu dilarang memakan
makanan dan berperilaku tertentu. Pantangan-pantangan masa kehamilan ini
dimaksudkan untuk menghindari bahaya dan keselamatan bayi.24
c. Penjagaan Kesehatan
Dari segi magis, mentaati berbagai macam pantangan kehamilan
berarti secara tidak langsung telah melakukan upaya penjagaan kesehatan
sekaligus penghindaran dari bahaya bagi kelangsungan bayi. Tetapi secara
medis, masyarakat Jawa telah mengenal adanya program-program kesehatan
yang diadakan oleh pihak puskesmas setempat guna memberikan pelayanan
kesehatan bagi ibu dan bayi.
23
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 53-54.
24
Melalui program PKK yang diadakan disetiap desa secara rutin
yaitu setiap 2 bulan sekali, masyarakat khususnya ibu hamil mendapatkan
penyuluhan-penyuluhan seputar kesehatan bagi bayi dan calon ibu.
Penjagaan kesehatan kehamilan juga ditunjukkan dengan mengurangi
konsumsi obat-obatan kimia dan menggunakan ramu-ramuan tradisional
yang diyakini lebih sehat danaman bagi ibu dan bayi.
4. Persalinan
a. Definisi Persalinan
Menurut Manuaba, persalinan adalah, “Suatu proses pengeluaran
hasil konsepsi (janin dan uteri) yang telah cukup bulan ataudapat hidup di
luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain tanpa bantuan
(kekuatan sendiri)”.25
Pengertian lain menurut Prawirohardjo persalinan adalah, “Proses
pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37 – 42
minggu) lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung
dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin.”26
b. Tenaga Penolong
Masyarakat Jawa memandang suatu kelahiran sebagai salah satu
puncak dari krisis kehidupan dalam sebuah rumah tangga. Kelahiran bagi
orang Jawa adalah momentum yang sarat akan upacara-upacara slametan
dan sedikit banyak mengandung mistis. Oleh orang Jawa, ketika akan
melahirkan mereka akan lebih memilih seorang dukun bayi dari pada
seorang ahli medis untuk membantu proses persalinan mereka.
25
http://khikmatulleli.blogspot.com/p/definisi-persalinan.html, diakses pada tanggal 21 April 2014 pukul 09.00 WIB.
26
http://khikmatulleli.blogspot.com/p/definisi-persalinan.html, diaksespada Senin, 21 April
1) Dukun Bayi
Dukun bayi adalah,“Seseorang yang khusus menolong
mengobati ibu hamil, persalinan, dan perawatan anak”.27 Dukun bayi
sering juga disebut dengan paraji.
Paraji menurut Departemen Kesehatan RI (1994)adalah,
“Seorang anggota masyarakat pada umumnya seorang wanita yang
mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan dalam menolong
persalinan secara tradisional dan memperoleh keterampilan tersebut
dengan secara turun temurun, belajar secara praktis atau dengan cara
lain yang menjurus kearah peningkatan keterampilan bidan serta melalui petugas kesehatan”.28
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dukun bayi
atau paraji dalam melakukan pertolongan persalinan tidak menggunakan
bantuan alat medis dan melakukan penanganan sesuai dengan
pengalaman pertolongan sebelumnya. Keterampilan yang mereka miliki
selain dari faktor keturunan, diperoleh juga dari hasil belajar.
Keahlian dan proses pendidikan untuk menjadi seorang dukun bayi bermacam-macam. Keahlian yang mereka miliki dapat berasal dari warisan nenek moyang mereka yang secara turun-temurun tetap dijalankan, cara lain yang lebih umum dengan
melalui proses belajar melalui orang lain (berguru). Dan dalam
peranannya sebagai seorang dukun, mereka banyak melakukan
tirakat dengan cara berpuasa, bertapa, dan meditasi.29
Hal lain keterampilan yang diperoleh adalah dari apa yang
http://boulluwellwinda.blogspot.com/2013/05/definisi-paraji.html, di akses pada tgl 4 jan
2014
29
beranggapan, dari sanalah mengetahui ilmu gaib atau ilmu Laduni
(mengetahui apa yang sudah dan belum terjadi).30
Batas kewenangan dukun dalam melakukan pertolongan
persalinan menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:
1) Mempersiapkan pertolongan persalinan meliputi mempersiapkan
tempat, kebutuhan ibu dan kebutuhan bayi, mempersiapkan
alat-alat persalinan sederhana secara bersih, mencuci tangan sebatas
siku dengan sempurna (10 menit).
2) Memimpin persalinan normal dengan teknik-teknik sederhana
yang meliputi membimbing ibu mengejan, menahan perineum,
merawat tali pusat, memeriksa kelengkapan placenta.
3) Dukun tidak melakukan tindakan yang dilarang seperti memijat
perut serta mendorong rahim, menarik plasenta, memasukkan
tangan ke dalam liang senggama.
4) Melakukan perawatan pada bayi baru lahir yang meliputi
perawatan mata, mulut dan hidung bayi baru lahir, perawatan tali
pusat dan memandikan bayi.31
Menurut orang Jawa seseorang yang membantu proses
persalinan dan perawatan terhadap bayi dan ibu pasca melahirkan adalah, “Orang yang harus mengetahui tentang segala macam upacara, sajian serta mantera, dan harus memiliki pengetahuan mengenai
jamu-jamu untuk merawat bayi yang baru lahir serta ibunya”.32
2) Peran Dukun Bayi
a) Peran dukun bayi sebagai penolong persalinan
30
Endra K. Prihadi, Makhluk Halus dalam Fenomena Kemusyrikan,h.157-160.
31
http://kti-kedokteran.blogspot.com/2011/10/definisi-dukun-bayi_597.html. diakses pada
tgl 8 Jan 2014
32
Kelahiran (babaran) merupakan klimaks dari krisis dalam rumah tangga yang dimulai sejak bulan ketiga dari masa mengandung.
Dukun bayi dipanggil untuk menolong kelahiran dan disamping
berlaku sebagai seorang bidan, dukun bayi merupakan orang yang ahli
dalam ilmu gaib. Peran dukun bayi terlihat sangat penting ketika ia
mempertahankan seorang bayi dan ibunya dari bahaya-bahaya gaib
yang mungkin akan menimpa mereka, dengan menggunakan keahlian
dibidangnya yang menggunakan cara dan ilmu gaib.33 Bidan, tentu
tidak memiliki keahlian magis seperti halnya keahlian dukun bayi
(paraji) selain keahliannya yang secara medis.
b) Peran dukun bayi dalam memberikan perawatan kepada bayi dan ibu
Dukun bayi juga memberikan asuhan keperawatan kepada ibu
dan bayi baik sebelum ataupun sesudah melahirkan. Asuhan keperawatan adalah ”Suatu proses rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada klien atau pasien yang
sesuai dengan latar belakang budayanya, pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan”.34
Menurut hukum Islam bahwa, “Seorang ibu yang baru melahirkan harus menjalani masa pantang selama 40 hari. dalam
bahasa Jawa masa ini disebut ngedah, dan selama waktu itu bayi dan
ibunya masih harus diawasi oleh dukun atau bidan”.35
Dukun bayi datang setiap hari selama 35 hari pertama untuk
meneruskan perawatan. Selama lima hari pertama pasca kelahiran
yaitu setiap dua kali sehari bayi di pijit yang oleh masyarakat Jawa
33
Koentjaraningrat, Masyarakat Desa Di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1984), h. 285.
34
Pratiwi,op. cit.,h. 34.
35
dikenal dengan istilah dadah. Pijit ini bertujuan untuk melatih
kelenturan tubuh bayi.36
Pasca melahirkan, seorang ibu mendapatkan perhatian dan
perawatan khusus dari dukun yang membantu persalinananya.
Diantaranya adalah perawatan dengan memberikan ramuan tradisional.
Bahan-bahan ramuan itu digunakan untuk berbagai tujuan,
antara lain untuk mengembalikan tenaga, untuk
memperkuat tubuh sang ibu, mengembalikan fungsi-fungsi tubuh menjadi seperti sebelum ia hamil, membersihkan tubuh dari nifas dan zat-zat yang dianggap kotor lainnya, serta mengembalikan bentuk tubuh dalam konteks
keindahan tubuh.37
Selain berupa ramuan, perawatan pasca melahirkan berupa mandi
khusus yang oleh orang Jawa disebut sebagaiadus wuwung, yaitu sang ibu
bayi mandi dengan mengguyur badannya mulai dari kepala dan seluruh
tubuh, dengan mata tetap terbuka dan tiap kali bersamaan dengan guyuran
air, ibu bayi harus membuka mulutnya untuk menghembuskan udara.
mandi dengan cara seperti ini ditujukan untuk menjaga ibu bayi dari
gangguan makhluk halus. Perawatan selanjutnya adalah dadah walik
yaitu mengurutnya kembali pada keadaan semulaseperti sebelum
melahirkan.38
c) Peran Paraji sebagai Pemimpin Jalannya Upacara Slametan
Bagi masyarakat Jawa proses kelahiran bukan hanya sebagai
peristiwa biomedikal saja, melainkan juga suatu peristiwa
religiomegi.39 Selain tugas dukun bayi sebagai pelaku pertolongan persalinan dan keperawatan, dukun bayi juga berperan sebagai
pemimpin jalannya ritual diseputar pra dan pasca kelahiran.
Oleh Geertz disebutkan bahwa, “Upacara-upacara yang secara turun-temurun dijalankan oleh masyarakat Jawa, menekankan
kesinambungan dan identitas yang didasarkan pada seluruh segi
kehidupan dan transisi serta fase-fase khusus yang dilewati”.40 Oleh
sebab itu, pada masa kehamilan, kelahiran, dan pasca kelahiran
orang-orang Jawa selalu mengadakan upacara selamatan sebagai bentuk rasa
syukur dan demi keselamatan ibu dan bayi. Upacara-upacara slametan
diseputar kelahiran seperti Tingkeban, babaran (kelahiran), pasaran,
dan pitonan pada proses pelaksanaanya dipimpin atau dipandu oleh seorang dukun bayi yang semula membantu persalinan wanita terebut.
3) Layanan Dukun Bayi
Layanan yang diberikan dukun bayi terhadap ibu dan bayi, baik
sebelum dan setelah melahirkan, adalah sebagai berikut:
a. Dukun mau mendatangi setiap ibu hamil untuk melakukan
melahirkan dengan sabar memanjakan ibu dan bayinya misalkan dia
mencuci dan membersihkan ibu setelah melahirkan.41
4) Cara Pertolongan Persalinan
Cara pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi
pada umumnya masih dengan cara serta alat yang sederhana.
Tahapan-tahapan pertolongan persalinan adalah sebagai berikut:
40
Geertz,op. cit., h. 48 41
http://kti-kedokteran.blogspot.com/2011/10/definisi-dukun-bayi_597.html. diakses pada tgl 8 Jan
a. Tahap pertama, persiapan tempat bersalin
Dukun bayi menyiapakan tempat bersalin dengan menggelar alas
sertamemposisikan calon ibu dengan duduk senden.
b. Tahap kedua, pemijatan
Dukun bayi melakukan pemijatan terhadap calon ibu pada bagian
kaki, paha, serta perut sambil membacakan mantera untuk
memberikan perlindungan kepada ibu dan bayi. Sementara itu sang
suami berada tepat dibelakang istri untuk menopang sambil
mengunyah sebuah ramuan dari dukun bayi yang kemudian
disemburkan ke ubun-ubun sang istri.
c. Tahap ketiga, pemotongan tali pusat setelah turunnya plasenta.
Proses ini dilakukan dengan menggunakan pisau bambu yang telah
diberi mantera khusus. Setelah itu dilakukan proses pengolesan
kunyit pada tunggal tali pusatuntuk mempercepat proses pengeringan
luka.
d. Tahap keempat, penguburan ari-ari.
Proses penguburan ari-ari ini dilakukan dengan membacakan
mantera yang dimaksudkan agar bayi terhindar dari bahaya, ari-ari
dikuburkan di sekitar halaman rumah.
e. Tahap terakhir yaitu pencucian bekas alas melahirkan istri (kopohan).
Pada tahap ini khusus dikerjakan oleh suami. Proses ini disertai
dengan ritual bakar kemenyan, merang, bunga, dan wangi-wangian
serta pembacaan mantera yang diajarkan oleh dukun bayi.42
42
5. Teori solidaritas sosial Emile Durkheim a. Biografi Emile Durkheim
Emile Durkheim (1859-1917), adalah Profesor Sosiologi Pertama dari
Universitas Parisia lahir pada tahun 1858 di Perancis dari kaum Yahudi. Ayah
dan kakeknya adalah seoarng rabi. Pada usia 21 tahun Durkheim diterima di
Ecole Normale Suprerieure sebelumnya ia pernah dua kali mengalami
kegagalan ketika ingin masuk di sekolah Lycee Louis-Le-Grand di Inggris.
Berkat profesor Fustel de Coulanges dan Emile Boutroux, Durkheim tumbuh
menjadi seorang Mahasiswa yang sangat berpengaruh di Ecole. Sesudah
menamatkan pendidikannya di Ecole, Durkheim mengabdi disalah satu SMA di
Paris selama 5 tahun selama mengajar, Ia memfokuskan kepada pengajaran
praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan filsafat tradisional.43 Durkheim
meninggal dunia pada usia 59 tahun, yaitu pada 15 November 1917.
Semasa hidupnya Durkheim secara aktif menaruh perhatiannya pada
politik negara Perancis, terutama dalam hal untuk menemukan nilai dan prinsip
yang sebaiknya menjadi pedoman pelaksanaan pendidikan yang dilandaskan
pada aspek sekuler. Durkheim terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran sosial
Comte, Maistre, dan St. Simon. Dan gagasan-gagasan individualistik Herbert
Spencer dan aliran utilatiriumdari Inggris. Hasil karya ilmiah pertamanya
berjudul Division Of Labour yang memuat tentang reaksi terhadap pandangan
yang menyatakan bahwa masyarakat industrial modern cukup didasarkan pada
perjanjian-perjanjian kontraktual antara individu-individu yang didorong oleh
kepentingan diri sendiri tanpa adanya suatu kesepakatan. Tetapi dalam buku
tersebut, ia menyatakan bahwa jenis konsensus pada masyarakat modern
berbeda dengan sistem sosial yang lebih sederhana. Durkheim menyebutnya
sebagai solidaritas sosial. Solidaritas mekanis dicirikan sebagai tipe yang
bersahaja dan dibentuk atas dasar kolektifitas sedangkan solidaritas organis
43
meupakan bentuk yang dilandaskan pada pembagian kerja sehingga sifatnya
modern.
Dalam bukunya yang berjudul Rules of Suciological Methods,
Durkheim berbicara mengenai tugas sosiologi sebagai ilmu yang meneliti
tentang karakteristik fakta sosial serta hal-hal yang mengendalikan tingkah
laku manusia.
Kelanjutan dari karya ilmiah Emile Durkheim adalah tentang
fenomena bunuh diri yang terjadi dalam berbagai kelompok serta sebab-sebab
sosial yang melatarbelakangi peristiwa tersebut yang dituangkan dalam buku
yang berjudul Sucide. Hasil karya lain dari Dhurkeim, yang ditulis dalam
bahasa Perancis adalah:
a) Socialism and St. Simon,
b) Professional Ethics and Civic Morals,
c) The Elementary F orms of Religious Life.44
b. Teori Solidaritas Sosial
Di dalam buku the Devision of Labor in Society (1968), Emile
Durkheim membagi klasifikasi kelompok yang didasarkan pada solidaritas
sosial yaitu suatu keadaan dimana hubungan antara individu atau kelompok
berdasarkan perasaan dan kepercayaan yang dianut bersama dan kemudian
diperkuat dengan adanya pengalaman emosianal pada suatu masyarakat
tersebut. Oleh Durkheim, rasa solidaritas ini diklasifikasikan ke dalam suatu
kelompok yang sifatnya sederhana (pedesaan) dan kelompok masyarakat yang
sifatnya kompleks (perkotaan).
Durkheim melakukan analisa terhadap ikatan-ikatan sosial antara
masyarakat primitif dengan masyarakat modern. Ia menyimpulkan bahwa
ikatan sosial yang ada pada masyarakat primitif berdasarkan kesamaan moral
44