• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Dukun Bayi Dalam Perspektif Masyarakat Jawa Terhadap Proses Persalinan Di Dusun Noloprayan Desa Jatirejo Kabupaten Semarang Jawa Tengah (Melalui Pendekatan Teori Solidaritas Mekanik Dan Organik Emile Durkheim)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Dukun Bayi Dalam Perspektif Masyarakat Jawa Terhadap Proses Persalinan Di Dusun Noloprayan Desa Jatirejo Kabupaten Semarang Jawa Tengah (Melalui Pendekatan Teori Solidaritas Mekanik Dan Organik Emile Durkheim)"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

(Melalui Pendekatan Teori Solidaritas Mekanik dan Organik Emile Durkheim)

Diajukan kepada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Guna mendapatkan Gelar

Sarjana Pendidikan (S.Pd)

SKRIPSI

Oleh: Rima Setiyawati

1110015000068

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i

Jatirejo Kabupaten Semarang (Melalui Pendekatan Teori Solidaritas Mekanik dan Organik Emile Dhurkeim). Oleh Prof. Dr. H. Rusmin Tumanggor MA. Di era modern seperti sekarang ini peranan dukun bayi masih sangat besar pengaruhnya dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Begitu pula dengan masyarakat dusun Noloprayan yang masih menggunakan jasa dukun bayi untuk penanganan persalinan daripada melalui bidan. Hal tersebut menarik ketika dikaji melalui teori solidaritas sosial mekanik dan organik Emile Dhurkeim. Tujuan penulisan skripsi ini adalah (1) Mengetahui bagaimana peranan dukun bayi dalam perspektif masyarakat Jawa terhadap proses persalinan di dusun Noloprayan, desa Jatirejo, kecamatan Suruh, kabupaten Semarang, (2) Mengetahui persepsi masyarakat setempat mengenai peran dukun bayi tersebut. Teknik pengumpulan data dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pergeseran peran dukun bayi. Sejak tahun 2012 dukun bayi di dusun Noloprayan tidak lagi berperan sebagai tenaga penolong persalinan tetapi hanya melakukan penanganan kehamilan bagi ibu hamil dan pelayanan perawatan pasca persalinan. Peran tersebut telah diambil alih oleh bidan. Dikaji melalui teori solidaritas mekanik Emile Dhurkeim, bahwa kecenderungan masyarakat setempat yang memilih dukun bayi sebagai konsultan kesehatan kehamilan dan perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayinya menunjukkan suatu kondisi masyarakat yang masih patuh terhadap adat dan tradisi yang berlaku sehingga masyarakat ini bersifat primitif dan sederhana. Sedangkan sikap masyarakat yang menunjuk bidan sebagai rujukan utama pelaku penolong persalinan oleh Dhurkeim dikatakan sebagai masyarakat yang lebih maju, kompleks dan berfikir rasional. Hasil persepsi masyarakat Noloprayan mengenai peranan dukun bayi terhadap proses persalinan dan pelayanan kesehatan adalah baik yaitu sebagai agen pelestarian budaya pada peristiwa diseputar kehamilan dan kelahiran masyarakat Jawa.

Saran yang dapat diajukan kepada masyarakat Noloprayan khususnya kepada dukun bayi supaya diberikan penjadwalan jam kerja agar lebih efektif dan efisien. Bagi pemerintah setempat hendaknya menyediakan fasilitas serta memberikan binaan pada dukun bayi dan bidan desa, agar pelayanan kesehatan yang dilakukan dapat terjamin memuaskan masyarakat.

(7)

ii

Dhurkheim’s Theory Approach of Mechanicaland Organic Solidarity).

In the modern era like today, the role of TBAs still have very big influence in the community, particularly the Javanese community. As wellas the people of Noloprayan hamlet that still use the services of TBAs for delivery handling rather

than a midwife. It is interesting when studied by using Emile Dhurkeim’s theory

of mechanical and organic social solidarity. The purpose of this paper is (1) Knowing how the role of TBAs in the perspective of Javanese community on deliveryprocess at Noloprayanhamlet, Jatirejo village, Suruh district, Semarang regency, (2) Knowing perception of local community on the role of TBAs. Data collection technique used is qualitative-descriptive analysis method. The data were collected through observation, interviews, and documentation.

The results showed that there was a shift in the role of TBAs. Since 2012,TBAs at Noloprayan hamlet no longer act as birth attendants but only handling pregnancy for pregnant women and postpartum care services. The role has been taken over

by midwife. Being assessed by using Emile Dhurkeim’s theory of mechanical

solidarity, that the tendency of the local community who choose TBAs as a consultant of pregnancy health and post-partum care for the mother and her baby showed a condition of society which still adhere to the prevailing customs and traditions so that these communities are primitive and simple,while community attitudes which point to midwife as the main reference for birth attendant were referred by Dhurkeim as more advanced, complex and rational thinkingsocieties. Perception results of Noloprayan communityregarding to the role of TBAs on delivery process and health care is good, namely as an agent of cultural preservation at events concerning pregnancy and birth of the Javanese community.

The suggestions can be submitted to the Noloprayan community, especially TBAs, is that they are given a schedule of working hours to make it more effective and efficient. For local government should provide facilities and guidance toTBAs and village midwives, so that health care can be guaranteed to satisfy the public.

(8)

iii

penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya. Alhamdulillah rabbil „alamiin, senantiasa penulis panjatkan kepada

-Nya. Karena atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi serta shalawat

dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga

dan para sahabatnya.

Disadari sepenuhnya bahwa kemampuan dan pengetahuan penulis sangat

terbatas, maka adanya bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak

sangat membantu penulis dalam menyeleseikan skripsi ini. Izinkanlah penulis

mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada:

1. Ibu Dra. Nurlena Rifa‟i, Ph. D selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan IPS Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Berkat jasa Beliau yang senantiasa

memberikan yang terbaik untuk seluruh mahasiswa Pendidikan IPS.

3. Bapak Prof. Dr. H. Rusmin Tumanggor, MA, selaku dosen pembimbing.

Berkat jasa beliau, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini

dengan sangat baik.

4. Bapak H. Syamsuddin, Kepala Desa Jatirejo, Kecamatan Suruh Kabupaten

Semarang.

5. Bapak Bushaeri, Kepala Dusun Noloprayan Desa Jatirejo.

6. Ibu H. Shulaikah, Dukun bayi di Dusun Noloprayan Desa Jatirejo.

7. Seluruh warga masyarakat di Dusun Noloprayan Desa Jatirejo.

8. Seluruh civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

9. Nenek dan Ibunda ku tercinta, yang senantiasa memberikan semangat dan

(9)

iv

motivasi, do‟a, dan canda tawa kepada penulis.

11.Paman dan bibik ku, Aminudin SE, Ika Rusilowati SE, Siti Muawanah SE,

Lia Listiana SE, Trimunaryati, Muhammad Mansyur, Siti Kholisoh, dan

Saptan Keton yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada

penulis.

12.Sahabat sejatiku, Eka Rahayu, Novi Arianti, Dine Ertanti Zuhri, Maya

Rizki Yulianti, Lita Jamallia, dan Usniah yang selalu memberikan do‟a,

bantuan, dukungan, dan menghibur penulis ketika sedang gundah gulana. Serta “Someone” ku tercinta, Shalihin Said sebagai penyemangat dan membantu penulis dalam penulisan skripsi ini semoga oleh Allah

disatukan dalam ikatan yang suci.

13.Kawan-kawan seperjuangan Pendidikan IPS angkatan 2010, khusunya

kelas A Sosiologi- Antropologi yang telah banyak memberikan banyak

inspirasi kepada penulis.

14.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yag telah

memberikan bantuan, menyelesaikan skripsi ini.

Ahirnya hanya kepada Allah SWT jualah penulis berdo‟a, semoga Allah

SWT menerima amal bakti yang diabdikan dengan ikhlas mendapatkan balasan

yang setimpal.

Amin-amin ya robbal alamin.

Jakarta, 16 Juli 2014

Penulis,

(10)

v

ABSTRAK...i

ABSTRAC………..ii

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...v

BAB I. PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembahasan Masalah...10

1. Identifikasi Masalah...10

2. Pembatasan Masalah...10

3. Rumusan Masalah...10

4. Pertanyaan Penelitian...11

C. Hipotesis...11

D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian...11

BAB II. DESKRIPSI TEORITIS DAN KERANGKAKONSEPTUAL...13

A.Deskripsi Teoritis ...13

1. Perspektif Masyarakat...13

a. Definisi Perspektif...13

b. Perspektif Masyarakat...13

(11)

vi

2) Budaya Masyarakat Jawa...17

a) Agama...17

b) Bahasa...17

c) Sikap hidup...19

d) Sistem Kemasyarakatan...20

e) Sistem Pemerintahan...21

f) Mata Pencaharian...22

g) Kesehatan...22

h) Kesenian...23

3. Kehamilan...24

a. Defininisi Kehamilan...24

b. Upaya Masyarakat...25

c. Penjagaan Kesehatan...25

4. Persalinan...26

a. Definisi Persalinan...26

b. Tenaga Penolong Persalinan...26

1) Dukun Bayi...26

2) Peran Dukun Bayi...28

3) Layanan Dukun Bayi...31

4) Cara Pertolongan Persalinan Oleh Dukun Bayi...31

(12)

vii

2) Solidaritas Organis...35

B. Kerangka Konseptual dan Skema...35

C.Penelitian Relevan……….38

BAB III. METODE PENELITIAN YANG DIGUNAKAN...39

A.Objek...39

B.Subjek...39

C.Data yang dikumpul...40

D.Sumber Data...40

E. Teknik Pengumpulan Data...41

1. Observasi...41

2. Wawancara...42

3. Dokumen...43

4. Analisa...43

F. Teknik Pengolahan Data...44

G. Teknik Penulisan Skripsi...44

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………45

A. DESKRIPSI DATA………45

1. Posisi Dusun Noloprayan...45

(13)

viii

6. Hubungan dengan Dusun lainnya...51

7. Prestasi Pembangunan...51

B. TEMUAN HASIL ANALISIS………..53

1. Temuan Lapangan Tentang Dukun Bayi………...53 a. Prestasi Dukun Bayi...53

b. Cara Pertolongan Dukun Bayi dalam Persalin….53

c. Keamanan Bayi yang ditangani...55

d. Syarat – syarat penanganan Bayi oleh Dukun

bayi...55

e. Hubungan Dukun Bayi dengan Warga Masyarakat

……….56

f. Hubungan Dukun Bayi dengan Instansi dan tenaga

Medis………...56

1) Hubungan Dukun Bayi dengan Puskesmas....56

2) Hubungan Dukun Bayi dengan Bidan...57

2. Temuan Lapangan Tentang Pergeseran Dukun....57

a. Peran Dukun Bayi sampai dengan 2011...57

b. Peran Dukun Bayi Sejak 2012 sampai Sekarang...58

3. Temuan Lapangan Tentang Perspektif Masyarakat

Terhadap Dukun………......58

(14)

ix

Bayi dalam Proses Persalinan...59

C. PEBAHASAN TEMUAN………...61

1. Ketepatan Hipotesis...61

2. Kerangka Konseptual TeoriTemuan...63

3. Perspektif Peneliti tentang Dukun Bayi di Dusun Noloprayan...68

BAB V. PENUTUP...68

A. Kesimpulan...68

B. Saran...69

DAFTAR PUSTAKA

(15)

1 1. Landasan Filosofis

Pesatnya kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah

menghantarkan manusia kepada peradaban yang lebih baik. Manusia dengan

berbagai bentuk aktivitasnya seolah dipermudahkan dengan ketersediaan

fasilitas-fasilitas hidup yang semakin canggih. Kemajuan teknologi

diberbagai bidang turut serta dalam mengubah cara pandang dan cara

berfikir manusia menjadi lebih fleksibel dan mengikuti arah perkembangan

zaman. Kemajuan dalam bidang medis misalnya, adanya

perubahan-perubahan baik dari segi cara, alat yang digunakan, serta sumber daya

manusianya. Hal ini sebagai salah satu indikasi munculnya suatukesadaran

pentingnya kesehatan.

Berdasarkan UUD 1945 pasal 34 ayat 3 menegaskan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Oleh sebab itu, pemerintaah mulai mengupayakan berbagai program dalam bidang kesehatan salah satunya adalah upaya peningkatan kesehatan pada ibu dan anak. Hal ini dicantumkan dalam GBHN tahun 1993 yang menyatakan bahwa, “Pembinaan anak yang dimulai sejak anak dalam kandungan diarahkan pada peningkatan kualitas kesehatan ibu dan anak dengan mempertinggi mutu gizi, menjaga kesehatan jasmani dan ketenangan jiwa ibu serta dengan menjaga ketentraman suasana keluarga dan pemenuhan kebutuhan dasar keluarga...”.1

Program-program kesehatan masyarakat yang telah tersebar luas

jangkauan pelayanan kesehatannya hingga ke daerah-daerah pelosok di

tanah air adalah salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam

mensejahterakan masyarakat, Akan tetapi faktanya masih ditemukan

berbagai kendala mengenai pelaksanaan pelayanan bagi ibu dan bayi,

seperti misalnya terdapat tingginya angka kematian ibu dan bayi pada saat

1

(16)

yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan menurut ilmu

kedokteran.

Para ahli antropologi melihat bahwa pembentukan janin, kelahiran hingga kematian pada umumnya dianggap oleh warga berbagai masyarakat di berbagai penjuru dunia sebagai peristiwa-peristiwa yang wajar dalam kehidupan manusia. Dalam konteks kehamilan dan kelahiran bayi itu, setiap masyarakat memiliki cara-cara budaya mereka sendiri dalam memahami dan menanggapi peristiwa pertumbuhan janin dan kelahiran bayi, yang sudah dipraktekkan jauh sebelum masuknya sistem medis biomedikal dilingkungan komuniti mereka. Berbagai kelompok masyarakat juga memiliki cara-cara tertentu dalam mengatur aktivitas-aktivitas

mereka saat menghadapi wanita yang hamil dan bersalin.2

Beberapa masyarakat percaya bahwa setiap perpindahan tahapan

kehidupan adalah suatu hal yang krisis baik bersifat nyata atau gaib

sehingga diperlukan upaya pencegahan yaitu dengan mengadakan

upacara-upacara adat. Peristiwa kehamilan dan melahirkan adalah tahapan kritis

dalam kehidupan yang tetap harus dijalanimaka sebagian dari masyarakat

menitik beratkan perhatiannya terhadap aspek kultural dari kehamilan dan

kelahiran itu. Orang Jawaadalah salah satu contoh masyarakat yang menitik

beratkan perhatiannya pada 2 aspek kultural tersebut sehingga mereka

sering melakukan upacara-upacara ritual seputar kedua peristiwa penting

tersebut.

Geertz pada penelitiannya di daerah terpencil Jawa timur, Mojokuto, menjelaskan bahwa upacara ritual sebagai tahapan peralihan (rites of passage) yang menekankan kesinambungan dan identitas yang mendasari semua segi kehidupan dan transisi serta fase-fase khusus yang dilewati yang dalam keseluruhannya slametan tersebut memiliki simbolisme khusus dari

peristiwa-peristiwa tersebut.3

Upacara adat disekitar kehamilan yang masih dijalankan oleh orang

Jawa antara lain Tingkeban (upacara di usia 7 bulan kehamilan), babaran

2Ibid

., h. viii.

3

(17)

setelah bayi dilahirkan), dan selapanan (upacara bulan pertama sejak bayi dilahirkan). Dari keseluruhan tahapan upacara tersebut masing-masing

memiliki simbol, makna dan tujuan yang berbeda-beda.

Adanya kepercayaan masyarakat Jawa atas peristiwa kehamilan

sebagai aspek kultural yang sarat akan kemistisan, maka pemberian

pertolongan dan tempat persalinan juga menjadi hal yang penting untuk

diperhatikan. Peran dukun bayi atau paraji berperan penting sebagai

penolong proses persalinan jika dibandingkan dengan penanganan seorang

bidan. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan masyarakat terhadap dukun

sebagai pelaku pertolongan pada kelahiran yang lebih menitik beratkan pada

aspek kultural dan memiliki kekuatan gaib.

2. Landasan Historis

Menurut amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat (1)

menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejatera lahir dan batin,

bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

serta berhak memproleh pelayanan kesehatan”.4 Guna menjalankan apa

yang menjadi amanat UUD 1945, dalam hal memperoleh pelayanan

kesehatan maka pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat

untuk menentukan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat.

Persalinan yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai proses

kultural dan memaknai suatu kehamilan dan kelahiran sebagai suatu krisis

kehidupan yang dihubungkan dengan hal yang gaib, maka tempat dan

pertolongan persalinan menjadi sangat penting. Dukun bayi yang tidak

hanya sebatas penolong persalinan tetapi juga memiliki keahlian secara

gaib, banyak dipilih masyarakat Jawa sebagai pelayanan kesehatan dalam

konteks persalinan.

4

(18)

di daerah pedesaan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran

masyarakat dipedesaan terhadap kesehatan masih rendah serta perilaku

budaya yang masih di pertahankan. Pertolongan persalinan oleh dukun

menimbulkan berbagai masalah dan penyebab utama tingginya angka

kematian dan kesakitan ibu dan perinatal. Dapat dipahami bahwa dukun

tidak dapat mengetahui tanda-tanda bahaya perjalanan persalinan.5 Orang

yang pergi keseorang bidan untuk melahirkan menjadi petunjuk kuat tentang

urbanismenya yang bersangkutan, pegawai pemerintah, dan kalangan yang

berpendidikan. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa mereka lebih

memilih untuk melepaskan tradisi diseputar kehamilan dengan menganut

pandangan yang lebih rasional.

Berbeda dengan masyarakat yang menganut pandangan rasional,

masyarakat yang menggunakan jasa dukun bayi, percaya bahwa pemberian

pertolongan saat melahirkan bukan masalah teknis belaka jauh dari itu,

keahlian gaib yang dimiliki seoarang dukun akan mampu mengurangi

penderitaan dan kesulitan ketika melahirkan. selain faktor kepercayaan,

faktor ekonomi juga menjadi salah satu penyebabnya. Dengan

menggunakan jasa dukun bayi itu, biaya yang akan dikeluarkannya lebih

murah jika dibandingkan dengan biaya dengan memakai jasa seorang bidan.

Belum lagi soal layanan yang diberikan antara keduanya, seorang dukun

biasanya memberikan perawatan baik sebelum dan sesudah kelahiran.

Selama kurang lebih 40 hari pasca kelahiran dukun bayi masih

mendampingi ibu dan bayi guna memberikan ramua-ramuan tradisioanal

dan pijit perawatan bagi keduanya.

Dukun bayi adalah pelayan kesehatan yang mempunyai tujuan

sama seperti bidan namun berbeda dalam hal penanganan. Jika bidan

menangani persalinan dengan menggunakan keahlian medis dan difasilitasi

5

(19)

dukun bayi. Mereka bekerja dengan cara dan alatyang masih sederhana.

Peran dan keberadaan dukun bayi tetap harus dilestarikan dan

diperhatikan perkembangannya, karena kehadiran dukun bayi

ditengah-tengah masyarakat adalah selain untuk melestarikan budaya dan adat

istiadat yang berlaku didalam masyarakat juga dapat membantu

meringankan biaya persalinan bagi keluarga yang kurang mampu.

Mengingat bahwa kesehatan adalah hak setiap warga Indonesia,

sehingga secara mandiri dan bertanggung jawab masyarakatberhak

menetukan pelayanan kesehataan dalam hal ini persalinan, maka bagi

masyarakat yang menentukan pilihannya kepada dukun bayi berhak juga

atas jaminan kesehatan pasca persalinan. Maka untuk mengupayakannya

pemerintah memberikan pelatihan terhadap para dukun bayi secara

terprogram yang salah satunya melalui program puskesmas.

Di dalam program pelatihan tersebut para dukun bayi diberikan

berbagai pelatihan-pelatihan mengenai cara penanganan persalinan,

penanganan jika terjadi kesulitan dalam bersalin, penanganan nifas, dan

pelatihan terhadap cara perawatan bayi dan ibu pasca bersalin, secara sehat

dan bersih yang sesuai dengan standar medis.

Pengadaan Program ini adalah salah satu upaya pemerintah untuk

meminimalisir tingkat kematian ibu dan bayi serta kesakitan ibu dan

perinatal terhadap pelayanan persalinan oleh dukun bayi. Sehingga

kesehatan yang merupakan hak seluruh warga Indonesia telah diupayakan

oleh pemerintah.

3. Landasan Yuridis

Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 ayat 3 tentang kesehatan

(20)

dirinya.6

Mengacu pada Undang- Undang tersebut di atas, dukun bayi

memiliki hak dalam memberikan pertolongan persalinan sebagai alternatif

pilihan masyarakat meskipun tidak memiliki keahlian secara medis.

Masyarakat atau individu memiliki kebebasan apakah ia akan melahirkan

melalui bidan atau melalui seorang dukun bayi. Tentu pemilihan kedua

alternatif tersebut masing-masing memiliki resiko yang berbeda satu dengan

lainnya.

Kebebasan individu atau masyarakat dalam menentukan pelayanan

kesehatan dalam hal ini dukun bayi, selain faktor ekonomi,adanya

kepercayaan serta adat istiadat seputar kehamilan dan kelahiran oleh

masyarakat Jawa dimaknai sebagai suatu proses kultural yang syarat akan

kepercayaan, maka peranan dukun bayi sangatlah penting karena dukun

bayi dipercaya memiliki keahlian gaib dalam membantu proses persalinan.

4. Kekontemporeran

Dukun bayi adalah gabungan dari dua kata, yakni dukun dan bayi.

Masing-masing kata ini mengandung makna yang berbeda satu sama

lainnya, namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat sehingga

penggabungan kedua kata tersebut membentuk suatu kesatuan pemahaman

yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam bahasa Arab, “Dukun bayi disebut kahin adalah kata yang

biasa dipakai untuk mengungkapkan orang yang dapat meramal nasib

dengan batu kerikil. Kata dukun juga dapat dipakai untuk orang yang

mengerjakan perkara orang lain dan berusaha untuk memenuhi segala

kebutuhannya”.7 Penyembuh, secara umum di Indonesia, di Jawa khususnya

(21)

kata bayi memiliki pengertian anak kecil yang belum lama lahir.9

Dari penggabungan kedua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa

dukun bayi adalah seseorang yang memiliki keahlian dan kemampuan

secara tradisional dalam membantu proses kelahiran seorang bayi.

Pengertian dukun bayi yang dikemukakan oleh DepKes RI (1994),

Pada dasarnya dukun bayi atau Paraji adalah, “Seorang anggota

masyarakat pada umumnya seorang wanita yang mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan dalam menolong persalinan secara tradisional dan memperoleh keterampilan tersebut dengan secara turun temurun, belajar secara praktis atau dengan cara lain yang menjurus kearah peningkatan keterampilan bidan

serta melalui petugas kesehatan.”10

Batas kewenangan dukun dalam melakukan pertolongan persalinan menurut Depkes RI (1994: 14) adalah sebagai berikut:

1. Mempersiapkan pertolongan persalinan meliputi mempersiapkan

tempat, kebutuhan ibu dan kebutuhan bayi, mempersiapkan alat-alat persalinan sederhana secara bersih, mencuci tangan sebatas siku dengan sempurna (10 menit).

2. Memimpin persalinan normal dengan teknik-teknik sederhana

yang meliputi membimbing ibu mengejan, menahan perineum, merawat tali pusat, memeriksa kelengkapan placenta.

3. Dukun tidak melakukan tindakan yang dilarang seperti memijat

perut serta mendorong rahim, menarik plasenta, memasukkan tangan ke dalam liang senggama.

4. Melakukan perawatan pada bayi baru lahir yang meliputi

perawatan mata, mulut dan hidung bayi baru lahir, perawatan tali

pusat dan memandikan bayi.11

Di dalam prakteknya, tidak semua dukun yang tidak berbekal

keahlian medis karena banyak dukun bayi yang memperoleh

pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh tenaga medis guna melakukan pertolongan

persalinan secara bersih dan sehat.

8

Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A.. Dokter Atau Dan Dukun: Pergumulan Pengobatan Di Indonesia, (Jakarta : LEMLIT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 55.

9

Ivenie Dewintari S, Alvina Tria Febianda, Kamus Istilah Penting Modern, (Jakarta: Aprindo 2003), h.42.

10

http://boulluwellwinda.blogspot.com/2013/05/definisi-paraji.html, di akses pada tgl 4 jan 2014.

11

(22)

tenaga kesehatan yang dinyatakan lulus. Sedangkan dukun tidak terlatih

adalah dukun bayi yang belum pernah dilatih oleh tenaga kesehatan atau

dukun bayi yang sedang dilatih dan belum dinyatakan lulus. Peranan dukun

beranak sulit ditiadakan karena masih mendapat kepercayaan masyarakat

dan tenaga terlatih yang masih belum mencukupi. Dukun beranak masih

dapat dimanfaatkan untuk ikut serta memberikan pertolongan persalinan.12

Peran dukun dalam pertolongan persalinan dalam Pedoman

Kemitraan Bidan dengan Dukun adalah sebagai berikut:

a. Mengantar calon ibu bersalin ke Bidan

b. Mengingatkan keluarga menyiapkan alat transportasi untuk

pergi ke bidan atau memanggil bidan

c. Mempersiapkan sarana prasarana persalinan aman seperti air

bersih dan kain bersih

d. Mendampingi ibu pada saat persalinan

e. Membantu bidan pada saat proses persalinan

f. Melakukan ritual keagamaan/tradisional yang sehat yang

sesuai tradisi setempat

g. Membantu bidan dalam perawatan bayi baru lahir

h. Membantu ibu dalam inisiasi menyusui dini kurang dari 1 di akses pada Selasa, 18 Maret 2014.

13

(23)

permaslahan sebagai barikut:

a. Kemajuan teknologi dibidang ilmu medis dan kedokteran telah

berkembang sangat pesat dengan menjamurnya tenaga medis dan

kesadaran kesehatan dalam suatu masyarakat.

b. Resiko kematian dan penyakit pada ibu dan bayi tinggi akibat proses

persalinan melalui dukun bayi

c. Dukun bayi tidak memiliki keahlian dalam bidang medis selain praktek

kerja secara tradisional

d. Mahalnya biaya persalinan melalui jasa bidan

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa identifikasi masalah tersebut, supaya penelitian lebih

terarah sesuai dengan judul dan tujuan dilakukannya penelitian, maka

penulis memberikan batasan permasalahan ini pada jasa dukun bayi yang

masih bertahan dan tetap digunakan dalam hal ini pada proses persalinan

atau kelahiran, meskipun dukun bayi tidak memiliki keahlian medis serta

dalam prakteknya masih menggunakan cara-cara tradisional yang secara

turun-temurun dilakukan.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari identifikasi permasalahan yang ada, agar

penelitian lebih terarah dan fokus, maka rumusan masalahnya yaitu peneliti

hanya melakukan observasi dan penelitian di Dusun Noloprayan, Desa

Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang mengenai kondisi

masyarakat setempat yang sudah maju dan mengikuti arah perkembangan

zaman, tetapi eksistensi dan peran dukun bayi sebagai pelaku pertolongan

persalinan tradisional yang tidak memiliki kemampuan medis masih tetap

(24)

Dengan dasar rumusan masalah atau lingkup pembahasan di atas,

maka penulis dapat mengajukan pertanyaan dalam penelitian ini sebagai

berikut:

a. Bagaimana persepsi masyarakat di Dusun Noloprayan, Desa Jatirejo,

Kabupaten Semarang tentang dukun bayi terhadap proses persalinan?

b. Bagaimana peranan dukun bayi terhadap proses persalinan bagi

masyarakat Jawa, khusunya bagi masyarakat di Dusun Noloprayan?

C.Hipotesis

Hipotesis merupakan dugaan yang diajukan atas pertanyaan penelitian

yang berupa kalimat pernyataan peneliti. Berdasarkan dari pertanyaan

penelitian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah bagi masyarakat

Noloprayan dengan melahirkan melalui dukun bayi serta mentaati adat-istiadat

dalam menjalankan ritual diseputar kehamilan dan kelahiranakan membawa

keberkahan tersendiri bagi kelangsungan hidup jabang bayi.

D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun skripsi pada program

strata satu (S1) Pendididikan Ilmu Pengetahuan Sosial Konsentrasi

Sosiologi-Antropologi pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

b. Tujuan Umum

Untuk mengetahui bagaimana peranan dukun bayi dalam

perspektif masyarakat Jawa terhadap proses persalinan di Dusun

Noloprayan, Desa Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang dan

untuk mengetahui mengapa masyarakat setempat masih menggunakan

(25)

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dan kegunaan

bagi dunia akademik, masyarakat, dan bagi penulis. Adapun manfaatnya

sebagai berikut:

a. Bagi Akademisi

Dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi akademisi, dan

penelitian lanjutan secara lebih mendalam terhadap bagian dari setting

penelitian ini.

b. Bagi masyarakat umum

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pengevaluasian

dan pengambilan keputusan bagi keluarga dan calon ibu dalam pemilihan

pertolongan persalinan.

c. Bagi Penulis

Dapat menambah informasi dan wawasan mengenai peranan

(26)

BAB II

DESKRIPSI TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL

A.Deskripsi Teoritis

1. Perspektif Masyarakat a. Definisi Perspektif

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “Perspektif adalah

pandangan (jauh ke masa depan), kita harus dapat melihat kehidupan”.1

Sedangkan secara kognitif,“Perspektif yakni sudut pandang manusia dalam

memilih opini, kepercayaan, dan lain-lain”.2 Sehingga didalam memberikan

respon atau tanggapan terhadap suatu peristiwa atau fenomena sosial itu

tergantung kepada cara berfikir atau sudut pandang masing-masing

seseorang yang diperkuat dengan alasan-alasan teoritik sehingga akan

berpengaruh terhadap perilaku mereka.

b. Perspektif Masyarakat

Perspektif masyarakat adalah sudut pandang atau cara pandang

masyarakat atau sekelompok orang tertentu dalam memberikan pendapat

atau opininya tentang sesuatu hal yang dipercayai, yang ada dalam realitas

sosial. Proses penganalisaan suatu peristiwa pada dasarnya dipengaruhi oleh

apa yang kita sebut dengan persepsi atau pandangan, mereka

mengeneralisasikan sesuatu yang mereka respon sesuai dengan opini yang

didasarkan pada alasan alasan yang kuat.

2. Masyarakat Jawa a. Definisi Masyarakat

Masyarakat merupakan golongan besar atau kecil terdiri dari

beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara

1

Badudu, Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h.19

2

http://id.wikipedia.org/wiki/PerspektifDisambiguasi, Di akses pada tgl 8 Januari 2014, pukul 16.46

(27)

golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Definisi masyarakat

adalah, “Suatu kesatuan sosial yang berisikan sejumlah orang, menempati

suatu wilayah dengan batas-batas yang jelas, menyandang suatu kebudayaan, dan biasanya memiliki suatu bahasa”.3

Adapun pengertian masyarakat secara umum menurut pendapat

para ahli antara lain :

1. Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah suatu kesatuan hidup

manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu

yang bersifat kontityu, dan yang terkait oleh suatu rasa idenetitas

3. Menurut Anderson dan Parker, sebagai bentuk kehidupan bersama,

memberikan perincian mengenai ciri-ciri pokok masyarakat , yaitu (1)

adanya jumlah orang; (2) menempati wilayah geografis tertentu; (3)

mengadakan hubungan tetap dan teratur satu sama lain; (4) membentuk

suatu sistem hubungan antarmanusia; (5) adanya keterkaitan akibat

kepentingan bersama; (6) mempunyai tujuan dan bekerja sama; (7)

mengadakan ikatan berdasarkan unsur-unsur sebelumnya; (8) memiliki

solidaritas sosial; (9) memiliki ketergantungan sosial; (10) membentuk

sistem nilai; (11) membentuk kebudayaan.5

Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa

dalam suatu masyarakat terdapat sebuah interaksi, norma, adat-istiadat,

3

Ahmad Fedyani Saifuddin, Catatan Reflektis Antropologi Sosialbudaya, (Institut Antropologi Indonesia, 2011), Cet.1, h. 143.

4

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Aksara Baru, 1980), Cet.ke-2, h. 160-161.

5

(28)

hukum atau aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah

lakuwarga didalam masyarakat tersebut sekaligus dijadikan sebagai

pandangan hidup didalam kehidupannya.

b. Masyarakat Jawa

Dalam menunjukkan suatu masyarakat tertentu yang sifatnya

mengkrucut, maka ada istilah community yang diterjemahkan sebagai

masyarakat setempat yang menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku,

atau bangsa. Masyarakat setempat adalah suatu wilayah kehidupan sosial

yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial tertentu. Dasar-dasar dari

masyarakat setempat adalah lokalitas, solidaritas, dan perasaan semasyarakat

setempat

Masyarakat Jawa yaitu suatu masyarakat yang mendiami wilayah di

Pulau Jawa yang terikat oleh aturan-aturan, norma, serta adat-istiadat yang

berlaku di masyarakat Jawa tersebut. Sebanyak 60% orang Jawa tersebar

diseluruh Nusantara bahkan dipelosok-pelosok wilayah. Hal ini membuat

orang-orang Jawa mudah dijumpai oleh orang lain dari suku selain Jawa.

1) Karakteristik Pulau Jawa

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau diIndonesia, suatu

kepulauan yang terbentang antara 6 derajat lintang utara, 11 derajat lintang

selatan dan 95-141 derajat Bujur Timur. Pulau Jawa sendiri terletak di

antara 5-10 derajat Lintang Selatan dan 105-115 derajat Bujur Timur.6

Pulau Jawa kurang lebih sepanjang 1.100 km dan rata-rata selebar

120 km dan terletak antara garis lintang selatan ke-5 dan ke-8. Dengan

132-187 km persegi (termasuk Madura), Jawa memuat kurang dari 7 % dari

tanah seluruh Indonesia.7Jawa terdiri dari dataran-dataran rendah dengan

tanah vulkanis yang subur, beberapa daerah yang agak kering khususnya di

6

(29)

sebelah selatan pulau, dan terdapat beberapa gunung berapi yang masih

aktif, Iklim Pulau Jawa adalah tropis. Di dataran rendah suhu rata-rata

berkisar antara 26 dan 27 derajat Celsius dengan kelembaban udara rata-rata

85% sampai dengan 73%. Pulau Jawa tidak mengenal musim dingin dan

musim panas tetapi ada perbedaan yang cukup jelas antara musim penghujan

dengan musim kering walaupun juga dalam musim kering, khususnya di

bagian utara dan barat Pulau Jawa, sering ada hujan.8

Dari 150 juta orang Indonesia seluruhnya kurang lebih 64% atau

96 juta hidup di Jawa dan Madura dengan kepadatan penduduk rata-rata 726

orang per kilometer persegi. termasuk wilayah-wilayah yang paling padat

penduduknya di dunia. Tetapi karena di Pulau Jawa daerahnya tidak dihuni

secara merata karena kesubururannya tidak sama di mana-mana, seperti

Jawa Barat dan Jawa Timur masih ada beberapa daerah yang masih sedikit

penduduknya maka kepadatan penduduk nyata dalam daerah-daerah yang

ada penduduknya itu jauh lebih tinggi. Misalnya, di sekitar Malang

kepadatan penduduk melebihi dua ribu penduduk per kilometer persegi.

Kota-kota terpenting Indonesia terletak di Jawa yaitu Jakarta, Bandung,

Bogor; Cirebon, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Surakarta, Yogyakarta,

Madiun, Kediri, dan Malang.9

2) Budaya Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa memiliki ragam budaya yang unik diantaranya

adalah sebagai berikut :

a) Agama

Masyarakat Jawa sebagian besar adalah pemeluk agama Islam.

(30)

masyarakat Jawa, yaitu agama Islam orang Jawa yang bersifat sinkretis

dan agama Islam Puritan.

Bentuk agama Islam orang Jawa yang sifatnya sinkretis

diwujudkan dalam bentuk Agami Jawi atau Kejawen yaitu suatu

kompleks keyakinan yang diadopsi dari konsep-konsep Hindu-Budha

yang cenderung ke arah mistik. Sedangkan bentuk agama Islam yang

bersifat puritan diwujudkan dalam Varian Agami Islam Santri, “Yaitu

suatu ajaran yang lebih menekankan pada dogma-dogma ajaran Islam

yang sebenarnya tetapi juga terdapat sedikit unsur Hindhu Budha”.10

Masyarakat Jawa juga banyak yang menganut agama selain agama Islam seperti agama Katolik, Protestan, Budha dan Hindu. Jumlah penganut agama Katolik melebihi satu juta orang, dan mereka pada umumnya terpusat di daerah pusat kebudayaan Jawa. Orang jawa yang beragama Protestan dalam tahun 1967 berjumlah lebih dari 250.000. Penganut agama Budha dan Hindu hanya kecil sekali jumlanya, dan pada

umumnya berasal dari daerah sekitar kota Yogyakarta.11

b) Bahasa

Masyarakat Jawa adalah orang yang bahasa ibunya bahasa

Jawa sehingga orang Jawa merupakan penduduk asli bagian tengah dan

timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa dalam berbahasa sehari-hari.

Bahasa orang Jawa tergolong sub-keluarga Hesperonesia dari

keluarga bahasa Malayo-Polinesia. Bahasa Jawa memiliki suatu sejarah

kesusasteraan yang dimulai pada abad ke-8, dan berkembang melalui

beberapa fase yang dapat dibeda-bedakan atas dasar beberapa ciri

idiomatik yang khas dan beberapa lingkungan kebudayaan yang

berbeda-beda dari tiap pujanngganya. Fase-fase tersebut adalah sebagai

berikut:

10

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 312.

11Ibid

(31)

1) Bahasa Jawa Kuno, yang dipakai dalam prasasti-prasasti keraton pada zaman antara abad ke-8 dan ke-10, dipahat pada batu atau

diukir pada perunggu, dengan bahasa yang seperti dipergunakan

dalam karya-karya kesusasteraan kuno abad ke-10 hingga ke-14.

Hanya sebagian kecil dari naskah-naskah Jawa kuno yang kita

miliki sekarang dibuat di Jawa Tengah; bagian terbesar ditulis di

Jawa Timur.

2) Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusasteraan Jawa-Bali. Kesusasteraan ini ditulis di Bali dan di Lombok sejak abad ke-14. Kemudian dengan tibanya Islam di Jawa Timur, kebudayaan

Hindu-Jawa pindah ke Bali dimana kebudayaan itu menjadi mantap

dalam abad ke-16. Bahasa kesusasteraan ini hidup terus sampai

abad ke-20, tetapi ada perbedaan yang pokok dengan bahasa yang

dipakai sehari-hari di Bali sekarang.

3) Bahasa yang dipergunakan dalam kesusasteraan Islam di Jawa Timur. Kesusateraan ini ditulis di zaman berkembangnya kebudayaan Islam yang menggantikan kebudayaan Hindu- Jawa di

daerah aliran Sungai Brantas dan daerah hilir Sungai Bengawan

Solo dalam abad ke-16 dan ke-17.

4) Bahasa kesusasteraan kebudayaan Jawa-Islam di daerah Pesisir. Kebudayaan yang berkembang di pusat-pusat agama di kota pantai

utara Pulau Jawa dalam abad ke-17 dan ke-18, oleh orang Jawa

sendiri disebut Kebudayaan Pesisir. Orang Jawa juga membedakan

antara kebudayaan Pesisir yang lebih muda, yang berpusat di kota

pelabuhan Cirebon, dan suatu kebudayaan Pesisir Timur yang lebih

tua yang berpusat di kota-kota Demak, Kudus, dan Gresik.

5) Bahasa kesusasteraan di kerajaan Mataram. Bahas ini adalah bahasa yang dipakai dalam karya-karya kesusasteraan karangan

(32)

yang terletak didaerah aliran Sungai Bengawan Solo di tengah

komplek Pegunungan Merapi-Merbabu-Lawu di Jawa Tengah,

dimana bertemu juga lembah Sungai Opak dan Praga.

6) Bahasa Jawa masakini, adalah bahasa yang dipaki dalam percakapan sehari-hari dlam mayarakat orang Jawa dan dalam

buku-buku serta surat-surat kabar berbahasa Jawa dalm abd ke-20

ini.12

c) Sikap Hidup Orang Jawa

Didalam Serat Sasangka Djati, dituliskan delapan sikap dasar

manusia yang terdiri dari dua pedoman hidup yakni Tri-Sila dan

Panca-Sila. Tri-Sila merupakan pokok yang harus dilaksanakan setiap hari

dalam hubungannya dengan Tuhan yaitu pertama, berbakti kepada Tuhan

yang Maha Esa, kedua adalah percaya kepada semua Utusan Tuhan dan

ketiga, taat dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.13

Sebelum manusia dapat melaksanakan Tri-Sila tersebut maka sesorang

harus memiliki watak dan tingkah laku yang disebutkan dalam Panca-Sila

yaitu:

a. Pertama, rila adalah keiklasan hati sewaktu menyerahkan segalah

miliknya, kekuasaannya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan,

(33)

c. Ketiga, temen adalah perilaku yang selalu menepati janji atau ucapannya sendiri. Baik janji yang diucapkan dengan lisan atau janji

dalam hati. Sedangkan orang yang tidak menepati kata hatinya berarti

ia menipu dirinya sendiri.

d. Keempat, sabar adalah merupakan tingkah laku terbaik, yang harus

dimiliki setiap orang. Karena sabar itu berarti momot, kuat terhadap

segalah cobaan, tetapi bukan berarti putus asa.

e. Kelima, budi luhur adalah selalu berusaha untuk menjalankan

hidupnya dengan segalah tabiat dan sifat-sifat yang dimiliki oleh

Tuhan Yang Maha Esa.14

Dari delapan sikap dasar manusia diatas dapat disimpulkan

bahwa sikap hiduporang Jawa bersifat religius yaitu selalu mengaitkan

segala sesuatunya kepada Tuhan serta menjunjung tinggi nilai-nilai

kebersamaan dan keharmonisan kehidupan antar sesama.

d)Sistem Kemasyarakatan

Sistem kemasyarakatan pada masayarakat Jawa dapat dilihat dari

dua pengklasifikasian lapisan sosial yang ditinjau dari segi

sosial-ekonomis dan kegamaannya.

Dari segi sosial-ekonomis, terdapat dua golongan sosial yaitu, Wong cilik atau orang kecil, merupakan lapisan masyarakat paling rendah terdiri dari sebagian besar petani dan orang-orang

yang berpendapatan rendah di kota, dan kaum priyayi,

merupakan lapisan masyarakat yang menduduki tingkat teratas, terdiri dari kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Sedangkan dari segi religiunitasnya terdapat golongan santri dan abangan. Santri merupakan golongan yang berusaha hidup sesuai dengan ajaran agama Islam sedangkan abangan merupakan

14Ibid

(34)

sekelompok orang yang hidup dengan tradisi-tradisi pra-Islam

dan dipengaruhi dengan unsur-unsur animisme.15

e) Sistem Pemerintahan

Desa merupakan tempat pemukiman menetap bagi masyarakat

Jawa yang terdiri dari beberapa dukuh atau dusun. Desa menjadi wilayah

hukum dan sekaligus sebagai pusat pemerintahan tingkat daerah paling

rendah. Wilayah administratif diatas desa adalah kecamaatan, yaitu suatu

kumpulan dari 15 sampai 25 desa yang dikepalai oleh seorang camat.16

Secara administratif, suatu desa di Jawa disebut kelurahan yang

dikepalai seorang lurah. Lurah dipilih oleh dan dari penduduk desa

sendiri, dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi calon yang dipilih

atau yang memilih. Dalam organisasi pemerintahan sekaligus sebagai

badan pimpinan rakyat, seorang lurah diwajibkan untuk mengangkat

pembantu- pembantu yang disebut sebagai pamong desa yang meliputi

(1) carik, yang bertindak sebagai pembantu umum dan sekretaris desa, (2) sosial, yang memelihara kesejahteraan penduduk baik rohani maupu

jasmani,(3) kemakmuran, yang mempunyai kewajiban memperbesar

produksi pertanian, (4) keamanan, yang bertanggung jawab atas

ketentraman lahir dan batin penduduk desa. (5) kaum, yakni yang

mengurus soal-soal mengenai nikah, talak dan rujuk, kegiatan keagamaan

serta kematian.17

Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah didesa dilakukan

secara demokratis, terbuka, jujur dan biasanya dilakukan di tempat

terbuka seperti pekarangan rumah atau di tengah lapang.

15

Koentjaraningrat op. cit., h.12. 16

Koentjaraningrat: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1985), h.59

17

(35)

f) Mata pencaharian

Sumber utama penghasilan masyarakat Jawa yang notabennya

wilayah pedesaan adalah bertani. Di daerah dataran tinggi, seperti

pegunungan masyarakat memanfaatkan lahannya untuk dijadikan sebagai

tegalan atau lahan kering yang ditanami sayur mayur, buah-buahan dan

jenis pohon lainnya. Sedangkan untuk daerah dataran rendah dibuka lahan

persawahan dan palawija. Bagi orang desa yang tidak memiliki sawah

mereka bekerja sebagai buruh tani yaitu menggarap sawah orang lain

dengan sistem yang disepakati oleh kedua pihak.

Selain dari sektor pertanian, sumber pendapatan masyarakat

diperoleh dari hasil berdagang, menjadi tukang, dan menjadi seorang

pegawai seperti guru, PNS, pamong desa, lurah, camat dan lain

sebagainya.

g) Kesehatan

Dalam bidang kesehatan, dalam hal ini pengobatan, masyarakat

Jawa khususnya Jawa Tengah mengenal pengobatan-pengobatan secara

tradisioanal.

Pengobatan tradisioanal disini terdiri dari 3 jenis yaitu (1) pengobatan tradisional yang menggunakan ramuan obat traadisional atau jamu yang dapat dikerjakan setiap induvidu baik dengan menggunakan ramuan tradisional yang telah diproduksi oleh pabrik atau perusahaan, maupun suatu ramuan yang dibuat sendiri berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dari tanaman obat yang ada disekitarnya, (2) pengobatan tradisioanal dengan keterampilan khusus yaitu urut/ pijit, persalinan dan tusuk jarum, (3) pengobatan tradisional paranormal. Yaitu dikerjakan para pengobat atas

kepercayaan indra keenam.18

18

(36)

Orang Jawa memanfaatkan pekarangan mereka untuk ditanami

jenis-jenis tanaman yang memiliki khasiat pengobatan. Selain obat

tradisional, masyarakat ini juga memakai obat dan pengobatan secara

medikal ketika penyakit yang diderita bersifat serius dan memerlukan

penanganan medis.

h)Kesenian

Masyarakat Jawa memiliki keberagaman seni budaya

diantaranya adalah seni peran, seni tari,seni musik, dan seni membatik.

Seni peran pada masyarakat Jawa memiliki beragam versi. Di Jawa Tengah seni peran dikenal dengan sebutan ketoprak yang ditemukan pada akhir tahun 1923, di Surabaya

terkenal dengan ludruk, sedangkan di Jawa Barat dikenal

dengan istilah sandiwara lelucon. Bentuk dari seni peran yang populer di Jawa adalah pertunjukan seni wayang baik wayang wong, golek, ataupun wayang kulit. Wayang dimainkan oleh seorang dalang yang berada dibelakang layar. Sebagian besar cerita yang diangkat dalam pewayangan adalah cerita Mahabarata dan Ramayana. Seni pertunjukan ini sebagian besar

dipengaruhi oleh unsur agama Hindu-Budha.19

Seni batik merupakan metode pembuatan design tekstil

dengan teknik pencelupan menggunakan bahan dasar lilin. Batik

memiliki beragam corak dan warna corak yang paling populer yaitu

tumbuh-tumbuhan dan hewan. Produksi batik merupakan industri

penting di Jawa. Pusat-pusat batik yang terkenal di Jawa adalah batik

khas Yogyakarta, Solo, Pekalongan dan Surabaya.

Seni tari pada masyarakat Jawa terdiri dari dua kelompok

(37)

Sedangkan tarian modern biasanya ditarikan oleh kedua jenis kelamin

yang dikenal dengan wayang wong. Semua jenis tarian memiliki

makna yang berbeda-beda.20

3. Kehamilan a. Definisi Hamil

Pengertian kehamilan yang dikemukakan oleh BKKBN (Badan

Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional) menyatakan bahwa, “kehamilan adalah proses yang diawali dengan keluarnya sel telur yang matang pada saluran telur yang kemudian bertemu dengan sperma dan

keduanya menyatu membentuk sel yang akan bertumbuh”.21

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kehamilan adalah

suatu proses dimana terjadinya pertemuan antara sel telur dengan sperma

yang kemudian tumbuh menjadi embrio, dengan masa hamil selama 9 bulan.

b. Upaya masyarakat

Dari hasil penelitian Swasono (1998) melaporkan bahwa perilaku

ibu pada kehamilan, persalinan dan nifas berbeda-beda, respon masyarakat

yang bersifat budaya terhadap fenomena kelahiran bayi ditunjukkan sejak

mulai terbentuknya janin sampai melahirkan. Respon-respon tersebut

mempunyai implikasi yang baik maupun yang buruk terhadap kesehatan

bayi dan ibunya, dengan demikian aspek sosio budaya yang berkaitan

dengan kelahiran bayi sejak dari perkembangan janin dalam kandungan ibu

sampai masa nifas merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam upaya

pelayanan kesehatan bagi bayi dan ibunya.22

20

Geertz, op. cit., h. 379-388.

21

http://www.kesehatan123.com/2642/kehamilan/, diakses pada Senin, 21 April 2014

22

(38)

Kehidupan Jawa yang bersifat ritualistis, dimana

perubahan-perubahan dan kejadian-kejadian baru harus dimasukkan secara formal

kedalam struktur keadaan yang sudah ada, kejadian-kejadian harus diatur

dan dibekukan lewat upacara sebelum diakui adanya, keberadaannya harus

diakui secara ritual yang hakekatnya ritual-ritual tersebut menyangkut daur

kehidupan seperti kelahiran, khitanan dan perkawinan.23

Proses kelahiran yang dianggap sebagai peristiwa religiomagi baik

pra dan pasca kelahiran masyarakat Jawa melakukan berbagai upacara

selamatan dari mulai bulan ketujuh masa kehamilan, tingkeban (yang

diselenggarakan hanya apabila anak yang dikandung adalah anak pertama

bagi si ibu, si ayah, atau keduanya), pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran

atau brokahan), lima hari sesudah kelahiran (pasaran), dan satu bulan

setelah kelahiran (selapanan).

Selain ritual upacara seputar kehamilan dan kelahiran, masyarakat

Jawa juga mengenal berbagai pantangan saat kehamilan baik dari faktor

makanan ataupun dari faktor perilaku. Calon ibu dilarang memakan

makanan dan berperilaku tertentu. Pantangan-pantangan masa kehamilan ini

dimaksudkan untuk menghindari bahaya dan keselamatan bayi.24

c. Penjagaan Kesehatan

Dari segi magis, mentaati berbagai macam pantangan kehamilan

berarti secara tidak langsung telah melakukan upaya penjagaan kesehatan

sekaligus penghindaran dari bahaya bagi kelangsungan bayi. Tetapi secara

medis, masyarakat Jawa telah mengenal adanya program-program kesehatan

yang diadakan oleh pihak puskesmas setempat guna memberikan pelayanan

kesehatan bagi ibu dan bayi.

23

Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 53-54.

24

(39)

Melalui program PKK yang diadakan disetiap desa secara rutin

yaitu setiap 2 bulan sekali, masyarakat khususnya ibu hamil mendapatkan

penyuluhan-penyuluhan seputar kesehatan bagi bayi dan calon ibu.

Penjagaan kesehatan kehamilan juga ditunjukkan dengan mengurangi

konsumsi obat-obatan kimia dan menggunakan ramu-ramuan tradisional

yang diyakini lebih sehat danaman bagi ibu dan bayi.

4. Persalinan

a. Definisi Persalinan

Menurut Manuaba, persalinan adalah, “Suatu proses pengeluaran

hasil konsepsi (janin dan uteri) yang telah cukup bulan ataudapat hidup di

luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain tanpa bantuan

(kekuatan sendiri)”.25

Pengertian lain menurut Prawirohardjo persalinan adalah, “Proses

pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37 – 42

minggu) lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung

dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin.”26

b. Tenaga Penolong

Masyarakat Jawa memandang suatu kelahiran sebagai salah satu

puncak dari krisis kehidupan dalam sebuah rumah tangga. Kelahiran bagi

orang Jawa adalah momentum yang sarat akan upacara-upacara slametan

dan sedikit banyak mengandung mistis. Oleh orang Jawa, ketika akan

melahirkan mereka akan lebih memilih seorang dukun bayi dari pada

seorang ahli medis untuk membantu proses persalinan mereka.

25

http://khikmatulleli.blogspot.com/p/definisi-persalinan.html, diakses pada tanggal 21 April 2014 pukul 09.00 WIB.

26

http://khikmatulleli.blogspot.com/p/definisi-persalinan.html, diaksespada Senin, 21 April

(40)

1) Dukun Bayi

Dukun bayi adalah,“Seseorang yang khusus menolong

mengobati ibu hamil, persalinan, dan perawatan anak”.27 Dukun bayi

sering juga disebut dengan paraji.

Paraji menurut Departemen Kesehatan RI (1994)adalah,

“Seorang anggota masyarakat pada umumnya seorang wanita yang

mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan dalam menolong

persalinan secara tradisional dan memperoleh keterampilan tersebut

dengan secara turun temurun, belajar secara praktis atau dengan cara

lain yang menjurus kearah peningkatan keterampilan bidan serta melalui petugas kesehatan”.28

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dukun bayi

atau paraji dalam melakukan pertolongan persalinan tidak menggunakan

bantuan alat medis dan melakukan penanganan sesuai dengan

pengalaman pertolongan sebelumnya. Keterampilan yang mereka miliki

selain dari faktor keturunan, diperoleh juga dari hasil belajar.

Keahlian dan proses pendidikan untuk menjadi seorang dukun bayi bermacam-macam. Keahlian yang mereka miliki dapat berasal dari warisan nenek moyang mereka yang secara turun-temurun tetap dijalankan, cara lain yang lebih umum dengan

melalui proses belajar melalui orang lain (berguru). Dan dalam

peranannya sebagai seorang dukun, mereka banyak melakukan

tirakat dengan cara berpuasa, bertapa, dan meditasi.29

Hal lain keterampilan yang diperoleh adalah dari apa yang

http://boulluwellwinda.blogspot.com/2013/05/definisi-paraji.html, di akses pada tgl 4 jan

2014

29

(41)

beranggapan, dari sanalah mengetahui ilmu gaib atau ilmu Laduni

(mengetahui apa yang sudah dan belum terjadi).30

Batas kewenangan dukun dalam melakukan pertolongan

persalinan menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:

1) Mempersiapkan pertolongan persalinan meliputi mempersiapkan

tempat, kebutuhan ibu dan kebutuhan bayi, mempersiapkan

alat-alat persalinan sederhana secara bersih, mencuci tangan sebatas

siku dengan sempurna (10 menit).

2) Memimpin persalinan normal dengan teknik-teknik sederhana

yang meliputi membimbing ibu mengejan, menahan perineum,

merawat tali pusat, memeriksa kelengkapan placenta.

3) Dukun tidak melakukan tindakan yang dilarang seperti memijat

perut serta mendorong rahim, menarik plasenta, memasukkan

tangan ke dalam liang senggama.

4) Melakukan perawatan pada bayi baru lahir yang meliputi

perawatan mata, mulut dan hidung bayi baru lahir, perawatan tali

pusat dan memandikan bayi.31

Menurut orang Jawa seseorang yang membantu proses

persalinan dan perawatan terhadap bayi dan ibu pasca melahirkan adalah, “Orang yang harus mengetahui tentang segala macam upacara, sajian serta mantera, dan harus memiliki pengetahuan mengenai

jamu-jamu untuk merawat bayi yang baru lahir serta ibunya”.32

2) Peran Dukun Bayi

a) Peran dukun bayi sebagai penolong persalinan

30

Endra K. Prihadi, Makhluk Halus dalam Fenomena Kemusyrikan,h.157-160.

31

http://kti-kedokteran.blogspot.com/2011/10/definisi-dukun-bayi_597.html. diakses pada

tgl 8 Jan 2014

32

(42)

Kelahiran (babaran) merupakan klimaks dari krisis dalam rumah tangga yang dimulai sejak bulan ketiga dari masa mengandung.

Dukun bayi dipanggil untuk menolong kelahiran dan disamping

berlaku sebagai seorang bidan, dukun bayi merupakan orang yang ahli

dalam ilmu gaib. Peran dukun bayi terlihat sangat penting ketika ia

mempertahankan seorang bayi dan ibunya dari bahaya-bahaya gaib

yang mungkin akan menimpa mereka, dengan menggunakan keahlian

dibidangnya yang menggunakan cara dan ilmu gaib.33 Bidan, tentu

tidak memiliki keahlian magis seperti halnya keahlian dukun bayi

(paraji) selain keahliannya yang secara medis.

b) Peran dukun bayi dalam memberikan perawatan kepada bayi dan ibu

Dukun bayi juga memberikan asuhan keperawatan kepada ibu

dan bayi baik sebelum ataupun sesudah melahirkan. Asuhan keperawatan adalah ”Suatu proses rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada klien atau pasien yang

sesuai dengan latar belakang budayanya, pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan”.34

Menurut hukum Islam bahwa, “Seorang ibu yang baru melahirkan harus menjalani masa pantang selama 40 hari. dalam

bahasa Jawa masa ini disebut ngedah, dan selama waktu itu bayi dan

ibunya masih harus diawasi oleh dukun atau bidan”.35

Dukun bayi datang setiap hari selama 35 hari pertama untuk

meneruskan perawatan. Selama lima hari pertama pasca kelahiran

yaitu setiap dua kali sehari bayi di pijit yang oleh masyarakat Jawa

33

Koentjaraningrat, Masyarakat Desa Di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1984), h. 285.

34

Pratiwi,op. cit.,h. 34.

35

(43)

dikenal dengan istilah dadah. Pijit ini bertujuan untuk melatih

kelenturan tubuh bayi.36

Pasca melahirkan, seorang ibu mendapatkan perhatian dan

perawatan khusus dari dukun yang membantu persalinananya.

Diantaranya adalah perawatan dengan memberikan ramuan tradisional.

Bahan-bahan ramuan itu digunakan untuk berbagai tujuan,

antara lain untuk mengembalikan tenaga, untuk

memperkuat tubuh sang ibu, mengembalikan fungsi-fungsi tubuh menjadi seperti sebelum ia hamil, membersihkan tubuh dari nifas dan zat-zat yang dianggap kotor lainnya, serta mengembalikan bentuk tubuh dalam konteks

keindahan tubuh.37

Selain berupa ramuan, perawatan pasca melahirkan berupa mandi

khusus yang oleh orang Jawa disebut sebagaiadus wuwung, yaitu sang ibu

bayi mandi dengan mengguyur badannya mulai dari kepala dan seluruh

tubuh, dengan mata tetap terbuka dan tiap kali bersamaan dengan guyuran

air, ibu bayi harus membuka mulutnya untuk menghembuskan udara.

mandi dengan cara seperti ini ditujukan untuk menjaga ibu bayi dari

gangguan makhluk halus. Perawatan selanjutnya adalah dadah walik

yaitu mengurutnya kembali pada keadaan semulaseperti sebelum

melahirkan.38

c) Peran Paraji sebagai Pemimpin Jalannya Upacara Slametan

Bagi masyarakat Jawa proses kelahiran bukan hanya sebagai

peristiwa biomedikal saja, melainkan juga suatu peristiwa

religiomegi.39 Selain tugas dukun bayi sebagai pelaku pertolongan persalinan dan keperawatan, dukun bayi juga berperan sebagai

pemimpin jalannya ritual diseputar pra dan pasca kelahiran.

(44)

Oleh Geertz disebutkan bahwa, “Upacara-upacara yang secara turun-temurun dijalankan oleh masyarakat Jawa, menekankan

kesinambungan dan identitas yang didasarkan pada seluruh segi

kehidupan dan transisi serta fase-fase khusus yang dilewati”.40 Oleh

sebab itu, pada masa kehamilan, kelahiran, dan pasca kelahiran

orang-orang Jawa selalu mengadakan upacara selamatan sebagai bentuk rasa

syukur dan demi keselamatan ibu dan bayi. Upacara-upacara slametan

diseputar kelahiran seperti Tingkeban, babaran (kelahiran), pasaran,

dan pitonan pada proses pelaksanaanya dipimpin atau dipandu oleh seorang dukun bayi yang semula membantu persalinan wanita terebut.

3) Layanan Dukun Bayi

Layanan yang diberikan dukun bayi terhadap ibu dan bayi, baik

sebelum dan setelah melahirkan, adalah sebagai berikut:

a. Dukun mau mendatangi setiap ibu hamil untuk melakukan

melahirkan dengan sabar memanjakan ibu dan bayinya misalkan dia

mencuci dan membersihkan ibu setelah melahirkan.41

4) Cara Pertolongan Persalinan

Cara pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi

pada umumnya masih dengan cara serta alat yang sederhana.

Tahapan-tahapan pertolongan persalinan adalah sebagai berikut:

40

Geertz,op. cit., h. 48 41

http://kti-kedokteran.blogspot.com/2011/10/definisi-dukun-bayi_597.html. diakses pada tgl 8 Jan

(45)

a. Tahap pertama, persiapan tempat bersalin

Dukun bayi menyiapakan tempat bersalin dengan menggelar alas

sertamemposisikan calon ibu dengan duduk senden.

b. Tahap kedua, pemijatan

Dukun bayi melakukan pemijatan terhadap calon ibu pada bagian

kaki, paha, serta perut sambil membacakan mantera untuk

memberikan perlindungan kepada ibu dan bayi. Sementara itu sang

suami berada tepat dibelakang istri untuk menopang sambil

mengunyah sebuah ramuan dari dukun bayi yang kemudian

disemburkan ke ubun-ubun sang istri.

c. Tahap ketiga, pemotongan tali pusat setelah turunnya plasenta.

Proses ini dilakukan dengan menggunakan pisau bambu yang telah

diberi mantera khusus. Setelah itu dilakukan proses pengolesan

kunyit pada tunggal tali pusatuntuk mempercepat proses pengeringan

luka.

d. Tahap keempat, penguburan ari-ari.

Proses penguburan ari-ari ini dilakukan dengan membacakan

mantera yang dimaksudkan agar bayi terhindar dari bahaya, ari-ari

dikuburkan di sekitar halaman rumah.

e. Tahap terakhir yaitu pencucian bekas alas melahirkan istri (kopohan).

Pada tahap ini khusus dikerjakan oleh suami. Proses ini disertai

dengan ritual bakar kemenyan, merang, bunga, dan wangi-wangian

serta pembacaan mantera yang diajarkan oleh dukun bayi.42

42

(46)

5. Teori solidaritas sosial Emile Durkheim a. Biografi Emile Durkheim

Emile Durkheim (1859-1917), adalah Profesor Sosiologi Pertama dari

Universitas Parisia lahir pada tahun 1858 di Perancis dari kaum Yahudi. Ayah

dan kakeknya adalah seoarng rabi. Pada usia 21 tahun Durkheim diterima di

Ecole Normale Suprerieure sebelumnya ia pernah dua kali mengalami

kegagalan ketika ingin masuk di sekolah Lycee Louis-Le-Grand di Inggris.

Berkat profesor Fustel de Coulanges dan Emile Boutroux, Durkheim tumbuh

menjadi seorang Mahasiswa yang sangat berpengaruh di Ecole. Sesudah

menamatkan pendidikannya di Ecole, Durkheim mengabdi disalah satu SMA di

Paris selama 5 tahun selama mengajar, Ia memfokuskan kepada pengajaran

praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan filsafat tradisional.43 Durkheim

meninggal dunia pada usia 59 tahun, yaitu pada 15 November 1917.

Semasa hidupnya Durkheim secara aktif menaruh perhatiannya pada

politik negara Perancis, terutama dalam hal untuk menemukan nilai dan prinsip

yang sebaiknya menjadi pedoman pelaksanaan pendidikan yang dilandaskan

pada aspek sekuler. Durkheim terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran sosial

Comte, Maistre, dan St. Simon. Dan gagasan-gagasan individualistik Herbert

Spencer dan aliran utilatiriumdari Inggris. Hasil karya ilmiah pertamanya

berjudul Division Of Labour yang memuat tentang reaksi terhadap pandangan

yang menyatakan bahwa masyarakat industrial modern cukup didasarkan pada

perjanjian-perjanjian kontraktual antara individu-individu yang didorong oleh

kepentingan diri sendiri tanpa adanya suatu kesepakatan. Tetapi dalam buku

tersebut, ia menyatakan bahwa jenis konsensus pada masyarakat modern

berbeda dengan sistem sosial yang lebih sederhana. Durkheim menyebutnya

sebagai solidaritas sosial. Solidaritas mekanis dicirikan sebagai tipe yang

bersahaja dan dibentuk atas dasar kolektifitas sedangkan solidaritas organis

43

(47)

meupakan bentuk yang dilandaskan pada pembagian kerja sehingga sifatnya

modern.

Dalam bukunya yang berjudul Rules of Suciological Methods,

Durkheim berbicara mengenai tugas sosiologi sebagai ilmu yang meneliti

tentang karakteristik fakta sosial serta hal-hal yang mengendalikan tingkah

laku manusia.

Kelanjutan dari karya ilmiah Emile Durkheim adalah tentang

fenomena bunuh diri yang terjadi dalam berbagai kelompok serta sebab-sebab

sosial yang melatarbelakangi peristiwa tersebut yang dituangkan dalam buku

yang berjudul Sucide. Hasil karya lain dari Dhurkeim, yang ditulis dalam

bahasa Perancis adalah:

a) Socialism and St. Simon,

b) Professional Ethics and Civic Morals,

c) The Elementary F orms of Religious Life.44

b. Teori Solidaritas Sosial

Di dalam buku the Devision of Labor in Society (1968), Emile

Durkheim membagi klasifikasi kelompok yang didasarkan pada solidaritas

sosial yaitu suatu keadaan dimana hubungan antara individu atau kelompok

berdasarkan perasaan dan kepercayaan yang dianut bersama dan kemudian

diperkuat dengan adanya pengalaman emosianal pada suatu masyarakat

tersebut. Oleh Durkheim, rasa solidaritas ini diklasifikasikan ke dalam suatu

kelompok yang sifatnya sederhana (pedesaan) dan kelompok masyarakat yang

sifatnya kompleks (perkotaan).

Durkheim melakukan analisa terhadap ikatan-ikatan sosial antara

masyarakat primitif dengan masyarakat modern. Ia menyimpulkan bahwa

ikatan sosial yang ada pada masyarakat primitif berdasarkan kesamaan moral

44

Gambar

GAMBAR KEGIATAN
Gambaran

Referensi

Dokumen terkait

Hendro Gunawan, MA Pembina Utama Muda

Pemeriksaan Objek-Objek Perijinan Laporan Meningkatnya Sistem, Mekanisme dan Kualitas Pelayanan Perijinan Terpadu dan Terintegrasi Meningkatkan Sistem, Mekanisme dan Kualitas

Kemudian individu dengan tingkat kebingungan yang berbeda (tinggi dan rendah) dan gaya pengambilan keputusan (perfectsionis, novelty, hedonis, brand loyalty) yang

Individu yang berbeda pasti mempunyai keinginan yang berbeda-beda, tidak hanya itu faktor gaya pengambilan keputusan masing- masing individu juga dapat memberi pengaruh

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan di dalam penelitian ini, peneliti ingin menyampaikan suatu hal yang dituangkan ke dalam bentuk saran, yaitu agar Public Relations di

Kajian ini bertujuan untuk memahami peran gender dari aspek akses dan keterlibatan laki-Iaki dan perempuan dalam penanganan pasca bencana, dan dari aspek kebijakan

Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository

In this study, the authors investigated the effect of Zarco, an operations management “mock factory” experiential learning activity, on student recollection of operations