• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Lahan Perkotaan, Keteraturan Permukiman, Konsistensi Penghuni Terhadap Keberadaan Pekarangan (Studi Kasus: Kecamatan Pekanbaru Kota, Sail, Dan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Lahan Perkotaan, Keteraturan Permukiman, Konsistensi Penghuni Terhadap Keberadaan Pekarangan (Studi Kasus: Kecamatan Pekanbaru Kota, Sail, Dan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau)"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN LAHAN PERKOTAAN, KETERATURAN

PERMUKIMAN, KONSISTENSI PENGHUNI TERHADAP

KEBERADAAN PEKARANGAN

(Studi Kasus: Kecamatan Pekanbaru Kota, Sail dan Marpoyan

Damai, Kota Pekanbaru, Riau)

ZAHRA KARTIKA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penggunaan Lahan Perkotaan, Keteraturan Permukiman, Konsistensi Penghuni Terhadap Keberadaan Pekarangan (Studi Kasus: Kecamatan Pekanbaru Kota, Sail, dan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Zahra Kartika

(4)

ABSTRAK

ZAHRA KARTIKA. Penggunaan Lahan Perkotaan, Keteraturan Permukiman, Konsistensi Penghuni Terhadap Keberadaan Pekarangan (Studi Kasus: Kecamatan Pekanbaru Kota, Sail, dan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau). Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan SETYARDI PRATIKA MULYA.

Penggunaan lahan merupakan kegiatan yang dilakukan manusia terhadap sebidang tanah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan permintaan masyarakat terhadap lahan kuhususnya tempat tinggal juga semakin meningkat bahkan kebutuhan lahan untuk permukiman lebih besar di wilayah perkotaan seperti Kota Pekanbaru yang menjadi lokasi penelitian ini. Dengan tekanan permintaan lahan yang cukup tinggi, Kota Pekanbaru berpotensi terjadi perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya di masa mendatang dan iikuti dengan semakin berkurangnya ketersediaan ruang terbuka hijau. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi penggunaan lahan pada citra Ikonos dan pengecekan lapang, mengidentifikasi keteraturan permukiman dan karakteristik penghuninya serta mengidentifikasi persepsi penghuni permukiman terhadap ruang terbuka hijau privat. Teknik analisis yang dilakukan adalah interpretasi citra dilanjutkan dengan pengecekan lapang. Teknik Slovin digunakan untuk menentukan jumlah titik pengecekan lapang dan wawancara. Metode yang digunakan untuk menentukan penyebaran titik cek lapang dan wawancara adalah stratified random sampling. Berdasarkan hasil analisis diketahui Kecamatan Marpoyan Damai memiliki luas keteraturan permukiman tertinggi sebesar 588.8 ha, luas permukiman yang tidak teratur tertinggi adalah di Kecamatan Pekanbaru Kota 10.4 ha. Kecamatan Pekanbaru Kota berkembang lebih dahulu dibandingkan dengan Kecamatan Sail dan Marpoyan Damai sehingga permukiman yang ada saat ini dibangun tanpa adanya konsep keteraturan permukiman sehingga Kecamatan Pekanbaru Kota memiliki proporsi penggunaan lahan terbangun tertinggi sebesar 90.89 %. Persepsi penghuni tertinggi mengenai keteraturan permukiman berada di Kecamatan Sail sebesar 63.64 %. Persepsi ini dihasilkan dari pemahaman penghuni mengenai keteraturan permukiman. Pendapatan penghuni, luas bangunan dan harga jual tanah berkorelasi positif nyata terhadap keteraturan permukiman. Ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara sosial masyarakat dengan keteraturan permukiman. Persepsi penghuni tertinggi mengenai keberadaan pekarangan berada di Kecamatan Sail sebesar 81.82 % sedangkan yang terendah di Kecamatan Pekanbaru Kota yaitu 58.33 %. Ketersediaan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai pekarangan memiliki luas yang terbatas karena luas lahan yang tersisa ± 2-5 m sehingga keinginan masyarakat untuk memiliki pekarangan sulit terpenuhi.

(5)

ABSTRACT

ZAHRA KARTIKA. Urban Land Use, Settlement Regularity, Residence Consistency towards the Yard (Case Study: District of Pekanbaru Kota, Sail, and Marpoyan Damai, Pekanbaru City, Riau). Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and SETYARDI PRATIKA MULYA.

Land use is the human activities on the land to improve their lives. Increasing population led to public demand for land, especially residence also increased even land requirements for larger settlements in urban areas like the city of Pekanbaru as the research location. With the pressure of demand for land is high enough, the city of Pekanbaru potential changes in landuse that is incompatible with its function in the future and is followed by the decreasing availability of green open space. The aims of this study are to mapping the use of urban land with Ikonos imagery, to classify the settlement regularity visually and know the perception of its inhibitants, to know the perception of the inhibitants of yard as a private green open space. The analysis technique performed is image interpretation followed by field checking. Slovin techniques used to determine the number of checking points and interviews. The method used to determine the spread of field checks point and interviews are stratified random sampling methode. Based on the results of analysis Marpoyan Damai District has the highest comprehensive settlement regularity by 588.8 hectare, the highest comprehensive settlement irregularity is in the district of Pekanbaru Kota 10.4 hectare. District of Pekanbaru Kota develops earlier than the District of Sail and Marpoyan Damai so that the existing settlements built without any concept of regularity so the District of Pekanbaru Kota has the highest proportion of building by 90.89 %. The highest occupant perceptions about the regularity of settlements located in Sail District by 63.64 % and the highest occupant perceptions of the irregularity of settlements located in Pekanbaru Kota District by 66.67 %. This difference is caused by a lack of public understanding about the regularity of settlements so the interview was not enough to present the desired goal. Income, the building area and land prices are significantly correlated affect the regularity of settlements. This shows that there is a correlation between social community with regularity settlements. The highest occupant perceptions about the existence of yards located in the District Sail by 81.82% while the lowest perception is in the District of Pekanbaru Kota by 58.33%. The availability of open space that could be used as yards to have a limited area because the remaining land area approxiamately 2-5 m so the people's desire to have the yards are not met.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

PENGGUNAAN LAHAN PERKOTAAN, KETERATURAN

PERMUKIMAN, KONSISTENSI PENGHUNI TERHADAP

KEBERADAAN PEKARANGAN

(Studi Kasus: Kecamatan Pekanbaru Kota, Sail dan Marpoyan

Damai, Kota Pekanbaru, Riau)

ZAHRA KARTIKA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhannahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah permukiman, dengan judul Penggunaan Lahan Perkotaan, Keteraturan Permukiman, Konsistensi Penghuni Terhadap Keberadaan Pekarangan (Studi Kasus: Kecamatan Pekanbaru Kota, Sail, dan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau).

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr Khursatul Munibah, MSc selaku pembimbing skripsi atas teladan, bimbingan, ide, kritik, saran, motivasi, ilmu yang diajarkan dan kesabaran. 2. Setyardi Pratika Mulya, MSi selaku pembimbing skripsi atas teladan, bimbingan, ide, kritik, saran, kesabaran, motivasi, dan ilmu yang diajarkan kepada penulis.

3. Dr Boedi Tjahjono, MSc selaku dosen penguji, yang telah bersedia memberi masukan dan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini.

4. Umi dan Abi yang selalu memberi motivasi dan senantiasa mencurahkan kasih sayang dan mendoakan penulis. Adikku Zalika yang selalu ada untuk memberikan support kepada penulis.

5. Teman-teman MSL’48 yang selalu memberi motivasi dan doa.

6. Teman-teman di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial Rizaldy Anhar, SP, Indah Purnama Sari, SP, Novi Anggraini, SP, Siti Huzaimah, SP, Julyani Widya, SP, Yuliyati, SP, Diendra A. Karim, SP, Noviana D. Purwati, SP terima kasih atas motivasi dan kerjasamanya.

7. Sahabatku para “Sarjana Tangguh” Aziz RainbowCake, Fitri, Wulan, Stevia, Metha, Ade dan Arroyan terima kasih sudah menemani saat-saat susah dan senang selama di IPB.

8. Sahabatku Raffica Zahara, SPd, Widya Putri, SKed, Siska Paramitha, SPd, Adhitya Warman, SH, Syahrina Irya, SPd, Fatin Hanifa, SPSi, Vika Aristantya, SPd terima kasih atas support yang diberikan.

9. “Si Jenong” yang selalu setia menemani penulis dan mempermudah penulis untuk pergi kemanapun selama berada di IPB.

10.BAPPEDA Kota Pekanbaru dan Dinas Tata Ruang Kota Pekanbaru yang senantiasa membantu penulis.

11.Staff tata usaha yang senantiasa membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian.

12.Staff Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Pekanbaru dan Dinas Tata Ruang Kota Pekanbaru terima kasih atas bantuannya selama di Pekanbaru.

13.Semua pihak yang sudah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu

.

Bogor, Januari 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... iii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 2

Ruang Terbuka Hijau ... 3

Citra Ikonos ... 4

Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 5

METODE... 6

Waktu dan Tempat Penelitian ... 6

Bahan dan Alat Penelitian ... 7

Prosedur Penelitian ... 7

1. Tahap Persiapan ... 9

2. Tahap Pengumpulan Data ... 9

3. Tahap Analisis ... 10

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 12

Kondisi Geografis ... 12

Iklim ... 13

Demografi dan Tenaga Kerja ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Interpretasi Penggunaan Lahan Melalui Citra Ikonos ... 15

Permukiman ... 15

Fasilitas umum ... 15

Perkantoran ... 17

Bandar Udara (Bandara) ... 19

Lahan Tidak Terbangun ... 19

(14)

Penggunaan Lahan ... 22

Keteraturan Permukiman Secara Visual ... 25

Keteraturan Permukiman Menurut Persepsi Penghuni Permukiman ... 27

Kesamaan Jawaban Antara Keinginan Penghuni dengan Realita Terhadap Keberadaan Pekarangan Sebagai RTH Privat ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

Kesimpulan ... 32

Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

LAMPIRAN ... 37

RIWAYAT HIDUP ... 53

DAFTAR TABEL

1. Karakteristik Dasar Satelit Ikonos ... 5

2. Bahan Penelitian ... 7

3. Alat Penelitian ... 7

4. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Tahun 2013 ... 13

5. Jumlah Lowongan Kerja, Jumlah Pekerja, dan Pengangguran Tahun 2013 ... 13

6. Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan Interpretasi Secara Visual ... 23

7. Keteraturan Permukiman Berdasarkan Interpretasi Secara Visual ... 27

8. Persepsi Penghuni Terhadap Keteraturan Permukiman ... 27

9. Perbandingan Keteraturan Permukiman Berdasarkan Interpretasi Secara Visual dengan Persepsi Penghuni Permukiman Berdasarkan Jumlah Responden ... 28

10. Korelasi Keteraturan Permukiman Beradasarkan Interpretasi Secara Visual dengan Karakteristik Sosial Masyarakat ... 30

11. Proporsi Kesamaan Jawaban antara Keinginan dengan Realita terhadap Keberadaan Pekarangan ... 31

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram Alir Penelitian ... 8

2. Peta Administrasi Tiga Kecamatan Daerah Penelitian ... 14

3. (a) Kenampakan Visual Permukiman dan (b) Foto Kenampakan Lapang Permukiman. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang ... 15

4. (a) Kenampakan Visual Sekolah dan (b) Foto Kenampakan Lapang Sekolah. (c) Kenampakan Visual Gelanggang Olahraga dan (d) Foto Kenampakan Lapang Gelanggang Olahraga. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang ... 16 5. (a) Kenampakan Visual Perkantoran Pemerintahan dan (b) Foto

(15)

Perkantoran Non Pemerintah. Titik Kuning merupakan Lokasi

Pengecekan Lapang ... 18

6. (a) Kenampakan Visual Ruko dan (b) Foto Kenampakan Lapang Ruko. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang ... 18

7. (a) Kenampakan Visual Bandar Udara dan (b) Foto Kenampakan Lapang Bandar Udara ... 19

8. (a) Kenampakan Visual Perkebunan dan (b) Foto Kenampakan Lapang Perkebunan. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang ... 20

9. (a) Kenampakan Visual Lahan Semak Belukar dan (b) Foto Kenampakan Lapang Semak Belukar ... 20

10. (a) Kenampakan Visual Kebun Campuran dan (b) Foto Kenampakan Lapang Kebun Campuran. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang ... 21

11. (a) Kenampakan Visual Hutan dan (b) Foto Kenampakan Lapang Hutan. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang ... 21

12. (a) Kenampakan Visual Taman (b) Foto Kenampakan Lapang Taman di Halaman Kantor Gubernur. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang ... 22

13. (a) Kenampakan Visual Non Vegetasi (Lahan Terbuka) dan (b) Foto Kenampakan Lapang Lapangan Bola, Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang ... 22

14. Peta Penggunaan Lahan ... 24

15. (a) Kenampakan Penggunaan Lahan Permukiman Teratur pada Citra dan (b) Foto Kenampakan Lapang. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang ... 26

16. (a) Kenampakan Visual Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur dan (b) Foto Kenampakan Lapang. Titik Kuning merupakan Titik Pengecekan Lapang ... 26

17. (a) Peta Keteraturan Permukiman Secara Visual dan (b) Berdasarkan Persepsi Penghuni Permukiman ... 29

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tabel Titik Persebaran Cek Lapang Menggunakan GPS ... 39

2. Tabel Perbandingan Keteraturan Permukiman Secara Visual dan Persepsi Penghuni ... 45

3. Form Kuisioner ... 47

4. Form Pengecekan Lapang ... 49

5. Koefisien Korelasi ... 50

6. Perhitungan Jumlah Titik Pengecekan Lapang ... 51

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkotaan merupakan pusat berlangsungnya aktivitas manusia yaitu kegiatan sosial dari berbagai dimensi. Kemajuan dan perkembangan kota diikuti dengan aspek-aspek pembentuk kota diantaranya aspek sosial dan ekonomi. Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1999, kota merupakan kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Pemerintah RI 1999b). Seiring dengan perkembangan zaman yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan manusia terdapat beberapa permasalahan yang terjadi di perkotaan terutama permasalahan lingkungan. Lingkungan kota cenderung berkembang secara ekonomis dan menurun secara ekologis dimana pembangunan perkotaan mengarah kepada pembangunan fisik yaitu sarana dan prasarana (Chairunnisa 2013). Ketersediaan lahan dan pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak seimbang menyebabkan terjadinya konversi lahan dan ketidaksesuaian penggunaan lahan.

Kota Pekanbaru merupakan salah satu kota besar dan pusat pertumbuhan di Pulau Sumatera. Pada dekade 10 tahun terakhir pembangunan infrastruktur di Kota Pekanbaru cukup pesat. Hal ini ditandai dengan telah dibangunnya fly over

di pusat Kota Pekanbaru. Perkembangan pembangunan permukiman, sarana, dan prasarana merupakan wujud peningkatan kebutuhan masyarakat akan lahan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Peningkatan jumlah penduduk Kota Pekanbaru berdasarkan data yang diperoleh BPS tahun 2000, 2005, 2010 dan 2013 masing - masing sebesar 586 223 jiwa, 720 197 jiwa, 897 768 jiwa dan 964 558 jiwa (BPS Kota Pekanbaru 2014). Ketersediaan sarana dan prasarana yang cukup lengkap di Kota Pekanbaru menjadi penarik minat masyarakat luar Kota Pekanbaru untuk mencari pekerjaan di wilayah ini.

Peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi menuntut penyediaan permukiman layak huni juga meningkat. Permukiman layak huni dapat diartikan sebagai permukiman teratur yaitu permukiman yang dibangun secara terencana sehingga menghasilkan bangunan dengan pola yang teratur dilengkapi dengan kualitas sarana dan prasarana yang lebih baik. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 2011, permukiman merupakan bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang memiliki prasarana, sarana, utilitas umum serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan (Pemerintah RI 2011). Ketidakseimbangan ketersediaan lahan dan jumlah penduduk menyebabkan Kota Pekanbaru berpotensi mengalami perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai sehingga muncul bangunan-bangunan permukiman dengan tingkat keteraturan rendah pada lahan yang tidak sesuai peruntukannya.

(18)

2

milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan (DJPR PU 2008). Undang-undang No. 26 Tahun 2007 mengamanatkan untuk menyediakan RTH publik minimal 20 % dari luas kota dan RTH privat minimal 10 % dari luas kota sehingga dapat menciptakan suasana kota yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan (Pemerintah RI 2007). Persepsi masyarakat yang berbeda terkait dengan keberadaan pekarangan dan keterbatasan lahan di lingkungan permukiman menyebabkan tidak termanfaatkannya lahan kosong untuk pekarangan.

Untuk menganalisis ketersediaan lahan pekarangan di setiap lingkungan permukiman dilakukan wawancara kuisioner mengenai persepsi penghuni permukiman terkait pemanfaatan lahan kosong sebagai pekarangan dan persepsi penghuni mengenai keteraturan permukiman. Keteraturan permukiman yang berada di daerah perkotaan dianalisis melalui interpretasi visual menggunakan citra satelit Ikonos dengan resolusi spasial yang detil yaitu 1 m x 1 m menggunakan software ArcGis 9.3 skala 1 : 3 500. Sehingga dapat diperoleh hasil analisis yang tepat dan detil mengenai lahan permukiman serta keteraturan permukiman yang berada di Kota Pekanbaru.

Tujuan Penelitian

1. Melakukan pemetaan penggunaan lahan perkotaan dengan citra Ikonos

2. Melakukan klasifikasi keteraturan permukiman secara visual dan mengetahui persepsi penghuninya

3. Mengetahui persepsi penghuni terhadap pekarangan sebagai RTH privat

TINJAUAN PUSTAKA

Lahan, Penggunaan Lahan, Penutupan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya (Sitorus 1989). Penutupan lahan menurut Liliesand dan Kiefer (1997) merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut. Berbeda dengan penutupan lahan, menurut Arsyad (1989) penggunaan lahan merupakan setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik materil maupun spiritual. Penggunaan lahan menyebabkan terjadinya tekanan terhadap lahan (Malingreau dan Mangunsukoharjo 1978). Tekanan terhadap lahan merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama kebutuhan sekunder yaitu permukiman.

(19)

3 penduduk menyebabkan tekanan populasi sehingga mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan pertambahan kebutuhan sandang, pangan, dan papan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Perubahan penggunaan lahan pada kenyataannya tidak dapat dihindari karena keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan tidak terbatas namun sumberdaya yang tersedia semakin terbatas.

Pada penelitian ini penggunaan lahan dibagi menjadi dua jenis, yaitu penggunaan lahan terbangun dan lahan tidak terbangun. Penggunaan lahan terbangun terdiri dari permukiman, perkantoran, rumah toko (ruko), bandar udara (bandara), dan fasilitas umum. Penggunaan lahan tidak terbangun terdiri dari perkebunan, kebun campuran, semak belukar, lahan terbuka, dan taman.

Permukiman

Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 2011, permukiman merupakan bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang memiliki prasarana, sarana, utilitas umum serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau perdesaan (Pemerintah RI 2011). Permukiman menurut BSN (2010) adalah areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian serta tempat berlangsungnya kegiatan yang mendukung kehidupan.

Pada penelitian ini permukiman terbagi menjadi dua, yaitu permukiman teratur dan tidak teratur. Permukiman teratur merupakan permukiman yang memiliki perencanaan pembangunan. Permukiman terencana merupakan permukiman yang dibangun secara terencana dalam suatu kawasan perumahan dan secara umum mempunyai keseragaman dari aspek bentuk, ukuran, kualitas dan tata letak bangunan serta terintegrasi dengan pembangunan prasarana dan sarana perumahan (Martono et al 2006). Berbeda dengan permukiman teratur, permukiman tidak teratur merupakan permukiman yang tidak memiliki keseragaman bentuk bangunan, ukuran, kualitas, dan memiliki tata letak yang kurang strategis.

Ruang Terbuka Hijau

Berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2007, Ruang terbuka hijau (RTH) didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaanya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Pemerintah RI 2007). Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988, yang dimaksud dengan ruang terbuka hijau adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan (Kemendagri 1988). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008 menjelaskan bahwa ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi dengan tumbuhan, tanaman,dan vegetasi (DJPR PU 2008).

(20)

4

pendidikan dan penelitian. RTH berfungsi sebagai bio-ekologis karena dapat menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap polutan media udara, air, tanah, serta penahan angin. RTH juga memiliki fungsi estetis untuk meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota, baik pada skala mikro seperti pekarangan dan lingkungan permukiman maupun skala makro seperti taman kota.

Berdasarkan status kepemilikannya, RTH dibagi menjadi dua, yaitu RTH publik dan RTH privat. RTH publik berada di lahan-lahan publik atau lahan-lahan milik pemerintah. RTH privat berada pada lahan-lahan milik pribadi seperti pekarangan rumah (DJPR PU 2008). Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008 proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar 30 % yang terdiri dari 20 % ruang terbuka hijau publik dan 10 % terdiri dari ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau privat adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan (DJPR PU 2008). RTH privat memiliki beberapa fungsi utama seperti fungsi ekologis serta fungsi tambahan, yaitu sosial budaya, ekonomi, estetika/arsitektural. Memiliki ruang terbuka yang dimanfaatkan sebagai RTH privat di setiap rumah membantu dalam keseimbangan sistem ekologis dalam menciptakan udara bersih yang dibutuhkan anggota keluarga dalam skala kecil dan dibutuhkan masyarakat perkotaan dalam cakupan yang luas.

Citra Ikonos

Ikonos berasal dari bahasa Yunani “Eye-KOH-NOS” yang berarti citra atau

image. Sistem satelit Ikonos dibuat oleh Lockheed Martin Commercial Space System. Satelit Ikonos dioperasikan oleh Space Imaging Inc. Denver Colorado, Amerika Serikat. Ikonos merupakan satelit komersial pertama dengan resolusi spasial tinggi yang merekam data multispektral 4 kanal pada resolusi 4 m (citra berwarna) dan sebuah kanal pankromatik dengan resolusi 1 m (hitam-putih) sehingga dapat membuat citra beresolusi tinggi. Citra Ikonos dapat diaplikasikan untuk pemetaan sumberdaya alam daerah pedalaman dan perkotaan, analisis bencana alam, kehutanan, pertanian, pertambangan dan deteksi perubahan. Citra Ikonos dapat menyediakan data relevan untuk studi lingkungan (Crystiana dan Tri 2013).

(21)

5 Tabel 1. Karakteristik Dasar Satelit Ikonos

Data Teknis Satelit Ikonos

Tanggal peluncuran 24 September 1999 di

Vabdeberg Air Force Base, 3 hari pada lintang 40°

Resolusi Spektral

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1997). Prinsip perekaman data oleh sensor dilakukan berdasarkan perbedaan daya reflektansi energi elektromagnetik masing-masing objek di permukaan bumi. Terdapat tiga resolusi yang umum digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik citra, yaitu resolusi spektral, resolusi spasial, resolusi temporal dan resolusi radiometrik (Jansen 1996). Data penginderaan jauh dapat berupa data analog dan data digital (citra satelit).

Murai (1996) mengklasifikasikan tipe-tipe informasi yang dapat diekstrak melalui data penginderaan jauh, diantaranya tipe klasifikasi (land cover), deteksi perubahan land cover, ekstraksi kualitas fisik (temperatur, komponen atmosfer, elevasi), dan tipe identifikasi feature spesifik (identifikasi bencana alam). Beberapa contoh manfaat dalam aplikasi penginderaan jauh adalah mampu mengidentifikasi penutupan lahan, mengidentifikasi pola perubahan lahan, melakukan manajemen dan perencanaan wilayah serta melakukan manajemen sumber daya hutan.

Sistem Informasi Geografis (SIG)

(22)

6

(kertas/transparansi), bersifat data analog, dan (2) cara terkomputer atau lebih sering disebut cara otomatis yang prinsip kerjanya menggunakan komputer sehingga data yang dihasilkan adalah data digital (Barus dan Wiradisasta 1997).

Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital. Penyajian data spasial mempunyai tiga cara dasar yaitu dalam bentuk titik, garis, dan area (poligon). Titik merupakan kenampakan tunggal dari sepasang koordinat x,y yang menunjukkan lokasi objek berupa ketinggian, lokasi kota, lokasi pengambilan sampel. Garis merupakan sekumpulan titik-titik yang membentuk kenampakan memanjang seperti sungai, jalan, kontur, dan lain-lain. Area merupakan kenampakan yang dibatasi oleh suatu garis yang membentuk ruang homogen seperti batas daerah dan batas penggunaan lahan (Chairunnisa 2013).

Menurut Prahasta (2002) sistem informasi geografis dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem berikut :

1) Data input : mengumpulkan serta mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber.

2) Data output : menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data dalam bentuk softcopy maupun hardcopy.

3) Data manajemen : mengorganisasi data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sehingga mudah dipanggil, diupdate dan diedit.

4) Data manipulation dan analysis: menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG serta melakukan manipulasi atau pemodelan data untuk memperoleh hasil yang diinginkan.

SIG sudah banyak dipakai pada periode 1990-an di negara maju sebagai alat yang ampuh untuk mendukung pembuatan suatu keputusan (Parker 1994). Munculnya perkembangan teknik geospasial mengintegrasikan penggunaan

remote sensing, sistem informasi geografis dan global positioning systems

sehingga mempermudah pengolahan data spasial dan menghemat biaya (Rawat dan Kumar 2015). Beberapa alasan yang menyebabkan konsep-konsep SIG beserta aplikasinya menjadi menarik untuk digunakan diberbagai ilmu, diantaranya:

1) SIG dapat digunakan sebagai alat bantu utama yang efektif, menarik, meningkatkan pemahaman mengenai ide-ide atau konsep-konsep lokasi, ruang (spasial), kependudukan, dan unsur-unsur geografis yang terdapat di permukaan bumi beserta data-data atribut yang menyertainya.

2) SIG menggunakan data spasial dan atribut secara terintegrasi sehingga sistemnya dapat menjawab pertanyaan spasial maupun non spasial.

3) SIG memiliki kemampuan dalam memvisualkan data spasial dan atribut.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

(23)

7 Kecamatan Pekanbaru Kota berada di pusat Kota. Penelitian ini berlangsung selama tujuh bulan, terhitung sejak bulan Mei hingga November 2015. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Tabel 2. Sementara itu, alat yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 2. Bahan Penelitian

Tabel 3. Alat Penelitian

No. Alat Keterangan

1 ArcGis 9.3 Interpretasi penggunaan/penutupan lahan dan pengolahan data

2 Microsoft Office Visio 2007 Perancangan diagram alir 3 Microsoft Excel 2007 Tabulasi data

4 Microsoft Word 2007 Penulisan karya ilmiah

5 GPS Menentukan titik koordinat pengecekan lapang 6 Digital Camera Dokumentasi objek lapang

Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data dan analisis data. Tahap penelitian digambarkan secara diagfragmatis pada Gambar 1.

No Bahan Resolusi/Skala Sumber 1.

Dinas Tata Ruang dan Kota Pekanbaru

Dinas Tata Ruang dan Kota Pekanbaru

Dinas Tata Ruang dan Kota Pekanbaru

Dinas Tata Ruang dan Kota Pekanbaru

(24)

8

(25)

9 1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemilihan dan penentuan tema penelitian, pembuatan proposal penelitian, dan melakukan studi literatur. Tahap ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai analisis permukiman di tiga kecamatan daerah penelitian.

2. Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap pengumpulan data diantaranya adalah pengumpulan data spasial. Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder seperti Citra Ikonos tahun 2013, peta jalan, peta sungai, peta Administrasi Kota Pekanbaru dan data primer yang diperoleh dari pengecekan lapang. Data lainnya adalah data hasil wawancara kuisioner mengenai persepsi penghuni permukiman terhadap keteraturan permukiman dan mendokumentasikan kegiatan dalam bentuk foto. Pengecekan lapang bertujuan untuk validasi hasil interpretasi sehingga hasil peta yang diperoleh memiliki tingkat ketepatan yang lebih baik sebab citra Ikonos Kota Pekanbaru yang diinterpretasi adalah citra tahun 2013 dan ingin melihat gambaran tutupan lahan pada tahun 2015.

Lokasi pengecekan lapang dan persebaran kuisioner ditentukan dari 800 poligon penggunaan lahan hasil dijitasi di tiga kecamatan lokasi penelitian. Penentuan jumlah poligon penggunaan lahan untuk pengecekan lapang dan persebaran kuisioner untuk wawancara ditentukan dengan menggunakan teknik Slovin yaitu teknik yang digunakan untuk menentukan sub poligon penggunaan lahan di tiap kelurahan di tiga kecamatan lokasi penelitian dari 800 poligon yang berada di lokasi penelitian. Jumlah keseluruhan poligon penggunaan lahan untuk pengecekan lapang yang direncanakan adalah 216 poligon dan jumlah poligon untuk wawancara kuisioner adalah 100 poligon. Berdasarkan jumlah poligonyang telah ditentukan dengan teknik Slovin tersebut selanjutnya dilakukan penitikan lokasi pengecekan lapang dan wawancara kuisioner dengan metode stratified random sampling adalah metode pengambilan sampel berdasarkan strata (tingkatan) dari sejumlah populasi (poligon). Perhitungan jumlah titik pengecekan lapang disajikan pada Lampiran 6.

Penentuan jumlah polygon pengecekan lapang (sejumlah 216) dan wawancara kuisioner (sejumlah 100 responden) diperoleh berdasarkan perhitungan rumus Slovin. Rumus Slovin disajikan sebagai berikut (Sevilla et al

2007).

n =

Keterangan :

n : Jumlah sampel poligon penggunaan lahan lokasi penelitian N : Jumlah keseluruhan poligon penggunaan lahan

(26)

10

Berikut merupakan rumus yang digunakan untuk menentukan sub sampel:

ni =

Keterangan :

ni : Jumlah poligon sampel penggunaan lahan tipe-i Ni : Jumlah poligonsatu jenis penggunaan lahan tipe-i N : Jumlah keseluruhan poligon penggunaan lahan

n : Jumlah sampel poligon penggunaan lahan lokasi penelitian i : Kelurahan

Berdasarkan kebutuhan penelitian dihasilkan 50 responden dari 100 responden untuk wawancara kuisioner mengenai persepsi penghuni terhadap keteraturan permukiman. Jumlah semula responden 100 responden merupakan jumlah responden dengan penggunaan lahan beragam atau tidak hanya permukiman sebagai akibat dari perubahan tujuan penelitian.

3. Tahap Analisis Interpretasi Citra

Interpretasi merupakan proses ekstraksi informasi kualitatif maupun kuantitatif sebuah peta, baik mengenai bentuk, lokasi, struktur, fungsi, kualitas, hubungan antar objek dan lain-lain (Murai 1999). Interpretasi pada dasarnya terdiri dari dua kegiatan utama yaitu (1) proses pengenalan data dari citra berupa pengenalan objek tergambar pada citra serta penyajiannya ke tabel, grafik, dan peta tematik, (2) penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Urutan pekerjaan (interpretasi) mneurut Sutanto (1989) dimulai dari menguraikan atau memisahkan objek dengan pola atau bentuk berbeda diikuti dengan proses penarikan garis batas bagi objek yang memiliki pola dan bentuk yang sama. Sutanto (1989) memberikan karakteristik dasar kenampakan pada citra sebagai kunci dalam proses interpretasi citra, yaitu:

1. Bentuk : konfigurasi atau kerangka suatu obyek.

2. Ukuran : besar kecilnya obyek pada citra dengan mempertimbangkan skala citra.

3. Pola : hubungan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum tertentu atau hubungan obyek alami atau buatan akan memberikan suatu pola yang dapat membantu penafsiran.

4. Bayangan : memberikan gambaran profil suatu obyek atau menghalangi proses interpretasi akibat kurangnya cahaya sehingga sukar diamati pada citra.

5. Rona : adanya tingkatan keabuan atau kecerahan relatif obyek pada citra. 6. Warna : dipresentasikan dengan hue, value, dan chroma.

7. Tekstur : frekuensi perubahan rona pada citra. Tekstur merupakan gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan ronanya.

(27)

11 9. Asosiasi : keterkaitan suatu obyek terhadap lokasi dimana obyek tersebut

ditemukan.

Interpretasi citra Ikonos dilakukan secara on screen digitizing yaitu mendijitasi penggunaan lahan secara manual langsung di komputer (Crystiana dan Tri 2013). Proses dijitasi on screen dilakukan pada skala 1 : 3 500 untuk memperoleh data penggunaan dan penutupan lahan (land cover/use). Data penggunaan dan penutupan lahan didukung dengan pengecakan lapang. Hasil interpretasi citra digunakan untuk membandingkan keteraturan permukiman secara visual dengan keteraturan permukiman berdasarkan persepsi masyarakat yang menempati suatu wilayah.

Interpretasi Visual Keteraturan Permukiman

Penggunaan lahan permukiman dibedakan menjadi permukiman teratur dan tidak teratur. Keteraturan permukiman didasari oleh kunci klasifikasi visual dimana permukiman teratur dicirikan dengan bentuk bangunan yang sama, memiliki pola bangunan berulang serta ukuran bangunan yang relatif sama. Permukiman yang tidak teratur dicirikan dengan pola bangunan yang tidak teratur, memiliki variasi ukuran bangunan dan padatnya kerapatan bangunan ditandai dengan tidak terlihatnya jalan.

Identifikasi Persepsi Penghuni Permukiman

Identifikasi mengenai persepsi penghuni permukiman dilakukan dengan wawancara yang dipandu dengan kuisioner. Kuisioner yang digunakan adalah kuisioner terstruktur untuk menjaring informasi mengenai persepsi penghuni yaitu identitas responden, pendapatan bulanan, kondisi tempat tinggal dan infrastruktur. Setiap kuisioner yang sudah diisi secara lengkap kemudian diinput

dalam format excel untuk mempermudah pengolahan data. Data hasil berformat

excel diuji lanjut dengan menggunakan analisis statistika yaitu korelasi sederhana untuk memperoleh hubungan antara data dependent dan data independent. Identifikasi persepsi penghuni dilakukan untuk mengetahui pendapat penghuni mengenai lingkungan permukiman dan mengetahui pemahaman penghuni mengenai keteraturan permukiman.

Rumus Korelasi Sederhana dapat disajikan sebagai berikut (Walpole 1993).

r =

∑ ∑ ∑

√ ∑ ( ∑ ) ∑ (∑ )

Keterangan:

r : Korelasi sederhana pearson n : Ukuran sampel

(28)

12

Identifikasi Persepsi Penghuni Terhadap Keberadaan Pekarangan Sebagai RTH Privat

Identifikasi persepsi penghuni permukiman terhadap pekarangan diperoleh melalui wawancara terhadap responden yang dipandu dengan kuisioner. Persepsi ini diuji kesamaanya dengan cara membandingkan persepsi responden dengan keberadaan pekarangan di rumah yang bersangkutan. Daftar kuisioner disajikan pada Lampiran 3.

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Kondisi Geografis

Tiga kecamatan yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Pekanbaru Kota, Sail dan Marpoyan Damai masuk ke dalam administrasi Kota Pekanbaru (Gambar 2). Secara geografis, Kota Pekanbaru terletak antara 101º24’–101º30’ Bujur Timur dan 0º26’–0º30’ Lintang Utara. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.19 Tahun 1987, pada tanggal 7 September 1987 ditetapkan bahwa daerah Kota Pekanbaru mengalami perluasan sebesar ± 383.5 km², dari ± 62.9 km² menjadi ± 446.5 km² (Pemerintah RI 1987). Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru No. 4 Tahun 2003 dibentuk kecamatan baru menjadi 12 kecamatan dan kelurahan baru menjadi 58 kelurahan (Pemda Kota Pekanbaru 2003). Lokasi penelitian berbatasan dengan :

Sebelah Utara : Kecamatan Lima Puluh, Senapelan dan Rumbai Sebelah Timur : Kecamatan Tenayan Raya dan Kabupaten Pelalawan Sebelah Selatan : Kabupaten Kampar

Sebelah Barat : Kecamatan Tampan dan Payung Sekaki. Topografis dan Geologi

Secara umum Kota Pekanbaru memiliki ketinggian 5–50 m di atas permukaan laut. Sebagian wilayah terdiri dari dataran rendah yang datar (0–2%) dan sebagian kecil bergelombang (2–40%). Kawasan pusat kota memiliki ketinggian rata-rata antara 10-20 m di atas permukaan laut. Kondisi topografis Kota Pekanbaru yang dominan datar merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan perekonomian. Adanya pusat perbelanjaan yaitu Pasar Bawah dan taman rekreasi Alam Mayang merupakan tujuan wisata yang menarik bagi pengunjung yang berasal dari luar kota dan juga masyarakat Kota Pekanbaru.

(29)

13 Iklim

Kota Pekanbaru pada umumnya beriklim tropis dengan suhu udara maksimum berkisar antara 32.4–33.8ºC dan suhu minimum berkisar antara 23.0- 24.2ºC. Kota Pekanbaru memiliki kisaran curah hujan antara 66.3–392.4 mm per tahun dengan curah hujan dan hari hujan tertinggi pada bulan November. Kelembaban rata–rata Kota Pekanbaru berkisar antara 68-83% (BPS Kota Pekanbaru 2014).

Demografi dan Tenaga Kerja

Jumlah penduduk Kota Pekanbaru mengalami pertambahan setiap tahun. Hal ini menandakan Kota Pekanbaru merupakan daerah tujuan bagi masyarakat pendatang untuk mencari pekerjaan. Jumlah penduduk Kota Pekanbaru mencapai 999 031 jiwa pada tahun 2013 dengan jumlah penduduk terpadat berada di Kecamatan Marpoyan Damai sebesar 139 707 jiwa (Tabel 4).

Masalah penduduk yang terjadi di Kota Pekanbaru sama halnya seperti masalah penduduk yang terjadi di daerah lain di Indonesia yaitu peningkatan jumlah penduduk yang tinggi. Masalah peningkatan jumlah penduduk dapat dikaitkan dengan jumlah ketersediaan lapangan pekerjaan dimana penduduk yang mencari pekerjaan cenderung tidak seimbang dengan jumlah kesempatan kerja yang tersedia sehingga jumlah pengangguran terutama di kota-kota besar seperti Kota Pekanbaru cenderung meningkat. Hal ini mengacu pada data BPS Kota Pekanbaru (2014) yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 4. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Tahun 2013

Kecamatan Luas Penduduk Kepadatan

Penduduk

Km2 Jiwa Orang/Km2

Pekanbaru Kota 2.3 105.52 46.7

Sail 3.3 98.78 30.37

Marpoyan Damai 29.7 104.12 3.57

Tabel 5. Jumlah Lowongan Kerja, Jumlah Pekerja, dan Pengangguran Tahun 2013

Keterangan Jumlah

Bekerja Pengangguran

(30)

14

(31)

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Interpretasi Penggunaan Lahan Melalui Citra Ikonos

Penggunaan lahan di tiga kecamatan lokasi penelitian yaitu Kecamatan Pekanbaru Kota, Sail dan Marpoyan Damai terdiri dari 11 jenis penggunaan lahan, permukiman, fasilitas umum, perkantoran, rumah toko (ruko), bandar udara (bandara), perkebunan, semak belukar, kebun campuran, hutan, taman, dan lahan terbuka. Penggunaan lahan di lokasi penelitian ditentukan berdasarkan unsur interpretasi menurut Sutanto (1989). Berikut ini gambaran karakteristik masing-masing penggunaan lahan.

Lahan Terbangun Permukiman

Berdasarkan interpetasi secara visual, permukiman memiliki penutup atap genteng yang ditandai dengan warna atap oranye, coklat, hitam, biru atau putih (seng) dengan pola teratur dan pola tidak teratur, rona agak terang, tekstur agak kasar. Berdasarkan keadaan di lapang, permukiman berada dekat dengan jalan kompleks, memiliki luas bangunan ± 200-250 m2, sebagian permukiman memiliki pekarangan, memiliki fasilitas umum seperti masjid dan lapangan atau taman bermain di lingkungan permukiman. Kawasan ini didefinisikan sebagai lingkungan hunian yang dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan mensejahterakan kehidupan.

(a) (b)

Fasilitas umum

Fasilitas umum didefinisikan sebagai sarana dan prasarana yang memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum. Berdasarkan interpretasi secara visual fasilitas umum yang terdapat di lokasi penelitian adalah gelanggang olahraga, sekolah, kampus perguruan tinggi, hotel, pasar, rumah sakit dan tempat ibadah. Gelanggang olahraga berbentuk persegi empat, pada bagian Gambar 3. Penggunaan Lahan Permukiman (a) Berdasarkan Interpretasi Visual dan

(32)

16

tengah bangunan terdapat halaman luas berwarna hijau (Gambar 4c). Gelanggang olahraga terlihat memiliki ukuran yang luas dan dikelilingi oleh lahan terbuka yang dimanfaatkan sebagai lahan parkir. Berdasarkan keadaan di lapang gelanggang olahraga memiliki bentuk yang khas yaitu melingkar dan pada bagian tengah terdapat lapangan olahraga (Gambar 4d).

Berdasarkan interpretasi secara visual hotel memiliki ciri-ciri bentuk persegi dengan perbedaan elevasi yang tinggi dibandingkan dengan bangunan disekelilingnya ditandai dengan adanya bayangan. Pada bagian belakang hotel terdapat ruang terbuka dengan pola persegi panjang. Berdasarkan keadaan di lapang hotel memiliki lantai bertingkat dan terlihat lebih tinggi. Pada bagian belakang hotel terdapat kolam renang. Pada citra, kolam renang ditandai dengan tekstur halus berwarna biru karena sesuai dengan bagian dasar kolam renang menggunakan keramik berwarna biru.

(a) (b)

(c) (d)

Pasar adalah salah satu bangunan yang memiliki kenampakan tidak teratur ditandai dengan pola bangunan yang tidak sama. Berdasarkan interpretasi secara visual pasar memiliki penutup atap seng berwarna coklat atau merah dan terdapat lahan terbuka di bagian depan pasar. Selain itu, pasar juga memiliki pola persegi empat seperti bangunan perkantoran namun lokasi pasar tidak terpusat. Berdasarkan keadaan di lapang, pasar memiliki ukuran bangunan yang bervariasi, Gambar 4. (a) Interpretasi Secara Visual Sekolah dan (b) Foto Keadaan Lapang

(33)

17 tersedianya lahan parkir di bagian depan pasar, dan terdapat kios-kios pasar yang bertingkat.

Berdasarkan interpretasi secara visual, bangunan sekolah memiliki bentuk persegi empat dan pola bangunan membentuk huruf U atau L, terdapat lahan terbuka pada bagian tengah bangunan (Gambar 4a). Berdasarkan keadaan di lapang sekolah memiliki bangunan bertingkat, terdapat lahan terbuka pada bagian tengah dan depan sekolah yang dimanfaatkan sebagai lapangan berbagai aktivitas seperti upacara dan olahraga (Gambar 4b).

Interpretasi secara visual bangunan kampus perguruan tinggi adalah memiliki bentuk bangunan persegi panjang dan memiliki elevasi yang berbeda dengan bangunan disekitarnya, serta memiliki lahan terbuka di sekitar bangunan. Berdasarkan keadaan di lapang bangunan kampus perguruan tinggi umumnya bertingkat dan memiliki lahan terbuka pada bagian depan bangunan yang dimanfaatkan sebagai lahan parkir.

Berdasarkan interpretasi secara visual, bangunan rumah sakit berbentuk persegi panjang dan susunan bangunan berdekatan dengan menggunakan penutup atap berwarna coklat mengikuti pola bangunan. Hasil interpretasi visual bentuk bangunan rumah sakit lain adalah bangunan tinggi seperti bangunan ruko namun berukuran lebih luas. Berdasarkan kenampakan di lapang rumah sakit memiliki bangunan bertingkat dan terdapat lorong-lorong, memiliki pekarangan, memiliki lahan parkir bagi pengunjung.

Perkantoran

Berdasarkan interpretasi secara visual bangunan perkantoran memiliki ciri– ciri bangunan berbentuk persegi panjang dengan penutup atap berwarna coklat, hitam dan biru, berlokasi di sepanjang jalan provinsi atau sebaliknya terdapat beberapa bangunan yang jauh dari pusat kota (Gambar 5a dan c). Berdasarkan keadaan di lapang perkantoran pemerintahan memiliki penutup atap berwarna biru, bangunan bertingkat, memiliki lahan terbuka berpaving block pada bagian depan bangunan yang dimanfaatkan sebagai lahan parkir, memiliki halaman luas sebagai pekarangan (Gambar 5b dan d). Kawasan ini dapat didefinisikan sebagai area yang digunakan untuk bangunan pabrik atau industri yang berupa kawasan industi atau area ini digunakan untuk bangunan pemerintahan (BSN 2010).

(34)

18

(c) (d)

Rumah Toko (Ruko)

Rumah toko merupakan sebutan bagi bangunan-bangunan di Indonesia yang umumnya dibuat bertingkat antara dua hingga lima lantai, dimana fungsinya lebih dari satu, yaitu sebagai fungsi hunian dan komersial. Lantai bawah dimanfaatkan sebagai tempat usaha atau kantor dan lantai atas dimanfaatkan sebagai tempat tinggal (Wicaksono 2007). Berdasarkan interpretasi secara visual, ruko berukuran lebih besar dibandingkan dengan bangunan permukiman. Ruko berwarna putih dan memiliki bayangan karena memiliki tinggi bangunan yang berbeda dengan bangunan di sekitarnya (Gambar 6a).

(a) (b)

Berdasarkan keadaan di lapang ruko tersusun di sepanjang tepi jalan provinsi, memiliki luas yang bervariasi antara lain < 100 m2, 100-200 m2 hingga > 200 m2. Keberadaan ruko tidak hanya di sepanjang tepi jalan provinsi melainkan juga berada di lingkungan permukiman sehingga ruko terlihat sebagai bangunan paling menonjol dengan ukuran yang besar dibandingkan dengan permukiman di sekelilingnya (Gambar 6b). Bangunan ruko sebagian memiliki halaman berlapis paving block yang dimanfaatkan sebagai lahan parkir bagi pengunjung ruko.

Gambar 5. (a) Interpretasi Secara Visual Perkantoran Pemerintahan dan (b) Foto Keadaan Lapang Perkantoran Pemerintah. (c) Interpretasi Secara Visual Perkantoran Non Pemerintah dan (d) Foto Keadaan Lapang Perkantoran Non Pemerintah. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang

(35)

19 Bandar Udara (Bandara)

Bandar udara (bandara) didefinisikan sebagai tempat yang memiliki fasilitas lengkap untuk penerbangan luar dan dalam negeri (BSN 2010). Berdasarkan interpretasi secara visual, bandara memiliki rona terang, tekstur halus, memiliki pola yang teratur, umumnya berbentuk persegi panjang dan berasosiasi dengan hangar area parkir untuk pesawat (Gambar 7a). Berdasarkan keadaan di lapang bandara memiliki ruang tunggu berbentuk gedung, pada bagian depan bandara terdapat area parkir bagi pengunjung bandara, dan terdapat landasan pesawat udara (Gambar 7b).

(a) (b)

Lahan Tidak Terbangun Perkebunan

Menurut Undang-undang No. 18 Tahun 2004, perkebunan merupakan segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/ atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat (Pemerintah RI 2004).

Berdasarkan interpretasi secara visual, ukuran perkebunan sangat luas, memiliki warna hijau hingga hijau gelap dan bertekstur kasar (Gambar 8a). Berdasarkan keadaan di lapang (Gambar 8b) perkebunan ditanami satu jenis tanaman seperti kelapa sawit yang memiliki jarak tanam, terdapat bangunan permukiman yang berada di sekitar perkebunan (teridentifikasi sebagai rumah pengelola perkebunan atau penduduk asli lingkungan perkebunan).

(36)

20

(a) (b)

Semak Belukar

Berdasarkan interpretasi secara visual, semak belukar bertekstur sedang, berwarna agak gelap dengan pola yang tidak teratur (Gambar 9a). Berdasarkan keadaan di lapang semak belukar berada dekat dengan lahan terbuka, di sekitar lingkungan permukiman (Gambar 9b). Semak belukar didefinisikan sebagai kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi berbagai vegetasi alami (heterogen) maupun homogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat. Kawasan ini didominasi vegetasi alami (BSN 2010).

(a) (b)

Kebun Campuran

Kebun campuran diinterpretasikan secara visual dengan tekstur kasar, berwarna hijau hingga coklat, dan memiliki pola yang tidak teratur (Gambar 10a). Berdasarkan keadaan di lapang kebun campuran ditanami tanaman dengan komoditas beragam seperti rambutan, kelapa, jambu air. Secara umum kebun campuran berada di pekarangan atau di lingkungan permukiman yang diusahakan secara tradisional (Gambar 10b). Kebun campuran didefinisikan sebagai lahan yang ditanami tanaman keras lebih dari satu jenis atau tidak seragam yang

Gambar 8. (a) Interpretasi Secara Visual Perkebunan dan (b) Foto Keadaan Lapang Perkebunan. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang

(37)

21 menghasilkan bunga, buah, dan getah dengan cara pengambilan hasil tanpa menebang pohon (BSN 2010).

(a) (b)

Hutan

Hutan diinterpretasikan secara visual dengan warna hijau gelap, pola tidak teratur dan memiliki tekstur kasar (Gambar 11a). Berdasarkan keadaan di lapang hutan terdiri dari sekumpulan pepohonan dengan komoditas homogen atau heterogen (Gambar 11b). Menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungan yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan (Pemerintah RI 1999a).

(a) (b)

Taman

Taman didefinisikan sebagai sebidang tanah terbuka dengan luasan tertentu di dalamnya ditanam pepohonan, perdu, semak, dan rerumputan yang dapat dikombinasikan dengan kreasi dari bahan lainnya (Djamal 2005). Berdasarkan interpretasi secara visual, taman memiliki pola yang tidak teratur, berwarna hijau Gambar 10. (a) Interpretasi Secara Visual Kebun Campuran dan (b) Foto Keadaan

Lapang Kebun Campuran. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang

(38)

22

dengan tekstur halus (Gambar 12a). Berdasarkan keadaan di lapang taman dapat diidentifikasi berada di halaman bagian depan dan belakang kantor Gubernur Pekanbaru, serta di halaman depan Masjid Agung Annur (Gambar 12b).

(a) (b)

Lahan Terbuka

Lahan terbuka merupakan lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat alamiah, semi alamiah maupun artifisial (BSN 2010). Berdasarkan interpretasi secara visual, lahan terbuka memiliki pola tidak teratur dan berwarna coklat cerah (Gambar 13a). Berdasarkan keadaan di lapang lahan terbuka berada di sekitar perkebunan, bagian tengah sekolah dan disekitar permukiman (Gambar 13b). Lahan terbuka juga terdapat di sekitar proyek pembangunan seperti proyek pembangunan kompleks, gedung perkantoran dan fasilitas umum (bangunan belum terbangun).

(a) (b)

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan yang berada di lokasi penelitian dibagi menjadi dua, yaitu penggunaan lahan terbangun dan penggunaan lahan tidak terbangun. Penggunaan lahan yang tergolong ke dalam penggunaan lahan terbangun adalah permukiman, perkantoran, rumah toko (ruko), bandara dan fasilitas umum (Gambar 14). Gambar 12. (a) Interpretasi Secara Visual Taman (b) Foto Keadaan Lapang Taman

Kantor Gubernur. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang

(39)

23 Penggunaan lahan yang tergolong ke dalam penggunaan lahan bervegetasi adalah perkebunan, kebun campuran, semak belukar, hutan, taman, dan lahan terbuka (Gambar 14). Lahan terbangun dicirikan oleh adanya substitusi penutup lahan yang bersifat alamiah atau semi alamiah oleh penutup lahan yang bersifat artifisial dan sering kedap air (BSN 2010). Lahan tidak terbangun telah mengalami intervensi (campur tangan) manusia sehingga penutup lahan alami (semi alami) tidak dapat dijumpai lagi namun lahan ini tidak mengalami pembangunan sebagaimana yang terjadi pada lahan terbangun (BSN 2010).

Luas penggunaan lahan diperoleh berdasarkan data luas poligon setiap penggunaan lahan di tiga kecamatan lokasi penelitian dalam satuan hektar. Luas penggunaan lahan setiap kecamatan lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6. Table 6. Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan Interpretasi Secara Visual

Penggunaan Lahan

(40)

24

Kecamatan Marpoyan Damai memiliki luas penggunaan lahan terbangun dan tidak terbangun paling luas karena secara wilayah, Kecamatan Marpoyan Damai memang memiliki luas paling besar dibandingkan Kecamatan Pekanbaru Kota dan Sail (29.7 km2). Sedangkan Kecamatan Pekanbaru Kota dan Sail hanya memiliki luas wilayah berturut-turut sebesar 3.3 km2 dan 2.3 km2.

Luas lahan permukiman yang berada di Kecamatan Marpoyan Damai merupakan penggunaan lahan terluas dibandingkan dengan luas penggunaan lahan terbangun lainnya sebesar 913.7 ha. Kecamatan Marpoyan Damai merupakan kecamatan yang berlokasi di daerah pinggir kota sehingga memiliki peranan sebagai penyedia lahan permukiman dan sebagai lokasi terkonsentrasinya penduduk sehingga pembangunan mengalami perkembangan terutama pembangunan permukiman. Perkembangan permukiman yang terjadi diikuti dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan lahan terutama permukiman. Namun masalah penggunaan lahan sering mengalami benturan kepentingan atas lahan sehingga terjadi ketidaksesuaian peruntukan lahan (Khadiyanto 2005).

Untuk mengurangi dampak negatif mengenai pemadatan penggunaan lahan terbangun yang tidak sesuai perencanaan dilakukan pembangunan yang terintegrasi yaitu dengan membangun permukiman di daerah berkembang seperti Kecamatan Marpoyan Damai. Adanya peruntukan lahan yang sesuai menghasilkan keteraturan permukiman yang tinggi seperti yang terdapat pada Tabel 7.

Diantara tiga lokasi penelitian, Kecamatan Sail memiliki luas penggunaan lahan tertinggi kedua yaitu 346.5 ha dengan rincian luas lahan terbangun sebesar 241.4 ha serta luas lahan tidak terbangun sebesar 105.1 ha. Luas penggunaan lahan terbangun tertinggi di kecamatan ini adalah permukiman yaitu sebesar 139.8 ha dan luas lahan tidak terbangun tertinggi adalah perkebunan sebesar 66.8 ha. Tingginya pembangunan permukiman dan pusat aktivitas seperti perkantoran dan fasilitas umum merupakan representasi dari tingginya aktivitas yang terjadi di Kecamatan Sail. Jarak yang strategis menuju pusat kota dan ketersediaan fasilitas umum yang lebih baik menjadi parameter tingginya permintaan lahan sebagai tempat tinggal di Kecamatan Sail. Aktivitas lain yang dilakukan masyarakat adalah kegiatan bercocok tanam. Kegiatan ini merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan masyarakat karena secara umum masyarakat yang berada di Kecamatan Sail merupakan masyarakat pendatang dari Pulau Jawa.

(41)

25 Kecamatan Pekanbaru Kota merupakan kecamatan dengan luas lahan terbangun dan tidak terbangun terkecil secara berturut-turut yaitu 204.8 ha dan 21 ha. Fenomena ini berbanding terbalik dengan proporsi penggunaan lahan yang merupakan persentase dari lahan terbangun dan tidak terbangun per luas poligon kecamatan. Kecamatan Pekanbaru dan Sail memiliki proporsi penggunaan lahan terbangun tertinggi secara berturut-turut 90.89 % dan 69.67 % sedangkan Kecamatan Marpoyan Damai memiliki proporsi penggunaan lahan terbangun terkecil yaitu 46.12 %. Hal ini dikarenakan perkembangan pembangunan lebih dahulu terjadi dibandingkan dengan Kecamatan Marpoyan Damai sehingga pembangunan kawasan perkantoran dan fasilitas umum terpusat di Kecamatan Pekanbaru Kota dan Sail terutama setelah Pekanbaru ditetapkan menjadi ibu kota Provinsi. Perkembangan yang terjadi juga disebabkan oleh pesatnya perkembangan sektor perdagangan. Hal ini sesuai dengan sejarah perdagangan yang dimulai di Kecamatan Pekanbaru Kota terutama pada daerah yang berbatasan dengan Sungai Siak sebagai jalur lalu lintas perdagangan zaman dahulu. Lokasi Kecamatan Pekanbaru Kota yang cukup startegis mempunyai peranan dalam pergerakan perdagangan antar provinsi seperti provinsi Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Adanya kegiatan berdagang yang terjadi di Kecamatan Pekanbaru Kota merupakan awal pembangunan permukiman di daerah sekitar Sungai Siak tanpa mengenal konsep keteraturan.

Keteraturan Permukiman Berdasarkan Interpretasi Secara Visual Permukiman teratur didefinisikan sebagai permukiman yang dibangun secara terencana sehingga secara umum memiliki keseragaman dari aspek bentuk dimana berdasarkan interpretasi secara visual bangunan berbentuk persegi dengan ukuran bangunan yang relatif sama dan memiliki pola yang sama antar satu dengan lainnya sehingga tata letak bangunan hasil interpretasi visual terintegrasi (Martono et al 2006). Keteraturan permukiman yang diperoleh berbentuk data poligon hasil interpretasi secara visual melalui kesamaan pola dan bentuk objek. Berikut ini merupakan karaktertistik dan definisi dari keteraturan permukiman. Permukiman Teratur

Berdasarkan interpretasi secara visual permukiman memiliki penutup atap yang ditandai dengan warna atap oranye, coklat, hitam, biru atau putih (seng). Keteraturan permukiman terlihat dari pola bangunan yang sama serta memiliki bentuk dan ukuran bangunan yang relatif sama (Gambar 15a). Kenampakan visual yang mencirikan keteraturan bangunan sesuai dengan keadaan di lapang dimana permukiman teratur dicirikan dengan bangunan permanen, adanya pembagian

(42)

26

(a) (b)

Permukiman Tidak Teratur

Berdasarkan interpretasi secara visual, bangunan permukiman tidak teratur ditandai dengan pola bangunan yang tidak sama, memiliki variasi ukuran bangunan dan jarak antar bangunan yang tidak seragam (Gambar 16a). Berdasarkan keadaan di lapang permukiman tidak teratur dicirikan dengan padatnya bangunan permukiman, terdapat jalan–jalan sempit yaitu gang, kumuh, bangunan kurang tertata dan fasilitas yang tersedia seperti lapangan, taman bermain dan sarana kebersihan tidak lebih baik dibandingkan dengan permukiman teratur (Gambar 16b). Kawasan ini didefinisikan sebagai permukiman dengan tata letak bangunan yang tidak teratur, memiliki banyak jalan berkelok dan jalan sempit,dan ukuran bangunan yang bervariasi

(a) (b)

Konsep permukiman teratur pertama dibangun di Kecamatan Marpoyan Damai sekitar tahun 1985 yaitu di Kelurahan Sidomulyo Timur. Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa konsep keteraturan permukiman merupakan bentuk adaptasi masyarakat yang berasal dari luar Kota Pekanbaru dimana masyarakat tersebut memilih untuk menerapkan suasana permukiman seperti di Gambar 15. Permukiman Teratur (a) Berdasarkan Interpretasi Secara Visual dan (b)

Berdasarkan Keadaan Lapang. Titik Kuning merupakan Lokasi Pengecekan Lapang

(43)

27 daerah asal sehingga memberi kesan lingkungan permukiman yang sama di daerah tujuan untuk menetap. Kecamatan Marpoyan Damai juga mengalami perkembangan dalam bidang pembangunan permukiman sehingga banyak ditemui bangunan permukiman teratur seperti kompleks.

Berdasarkan interpretasi secara visual keteraturan permukiman dikelompokkan menjadi permukiman teratur dan tidak teratur. Keteraturan permukiman dilihat dari pola, bentuk dan ukuran bangunan. Berikut merupakan luas dan persentase keteraturan permukiman yang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Keteraturan Permukiman Berdasarkan Interpretasi Secara Visual

Kecamatan

Tingkat keteraturan permukiman tertinggi berada di Kecamatan Marpoyan Damai sebesar 64.83 % dan tingkat ketidakteraturan permukiman tertinggi berada di Kecamatan Pekanbaru Kota sebesar 84.72 % serta Kecamatan Sail sebesar 78.67 % (Tabel 6). Hal ini dikarenakan Kecamatan Pekanbaru Kota dan Kecamatan Sail telah berkembang terlebih dahulu dibandingkan Kecamatan Marpoyan Damai sehingga pembangunan permukiman lebih dahulu dibangun tanpa adanya konsep keteraturan permukiman seperti kompleks perumahan di Kecamatan Marpoyan Damai

Keteraturan Permukiman Menurut Persepsi Penghuni Permukiman Persepsi penghuni terhadap keteraturan permukiman diperoleh melalui wawancara mengenai lingkungan tempat tinggal dan kehidupan sosial penghuni permukiman. Persepsi penghuni permukiman menunjukkan pendapat penghuni mengenai lingkungan tempat tinggal yang dihuni saat ini dan untuk mengetahui tingkat kepahaman penghuni permukiman mengenai keteraturan permukiman. Persepsi penghuni mengenai keteraturan permukiman disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Persepsi Penghuni Terhadap Keteraturan Permukiman

No Kecamatan

(44)

28

peruntukan lahan seperti saat ini sehingga banyak ditemukan bangunan permukiman di lingkungan yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan dan menghasilkan bangunan dengan konsep yang tidak teratur. Berbeda dengan Kecamatan Sail dan Marpoyan Damai yang memiliki persepsi keteraturan permukiman tertinggi secara berturut-turut yaitu 63.64 % dan 59.26 %. Tingginya persepsi penghuni mengenai keteraturan permukiman dikarenakan peruntukan lahan dan pembangunan terkonsentrasi pada peruntukan dan pembangunan permukiman teratur mengingat Kecamatan Marpoyan Damai berperan sebagai daerah berkembang bagi pembangunan tempat tinggal terutama permukiman teratur.

Kecamatan Marpoyan Damai merupakan kecamatan yang mengalami perkembangan pembangunan terutama pembangunan kawasan permukiman sedangkan Kecamatan Sail merupakan salah satu kecamatan yang sudah mengalami perkembangan pembangunan terlebih dahulu dibandingkan Kecamatan Marpoyan Damai sehingga tingkat keteraturan permukiman di Kecamatan Sail rendah namun tingginya persepsi penghuni mengenai keteraturan permukiman seperti yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan kurangnya pemahaman mengenai konsep keteraturan permukiman.

Perbandingan Keteraturan Permukiman Berdasarkan Interpretasi Secara Visual dan Berdasarkan Persepsi Penghuni Permukiman

Perbandingan keteraturan permukiman diperoleh melalui interpretasi secara visual dan berdasarkan persepsi penghuni permukiman untuk mengenai kesamaan persepsi antara peneliti dengan penghuni permukiman mengenai keteraturan permukiman. Keteraturan permukiman berdasarkan interpretasi secara visual didasari oleh unsur-unsur interpretasi (Gambar 17a) sedangkan persepsi penghuni mengenai keteraturan permukiman dihasilkan melalui pendapat penghuni permukiman terhadap keadaan lingkungan tempat tinggal yang dihuni (Gambar 17b). Persentase perbandingan keteraturan berdasarkan interpretasi secara visual dan berdasarkan persepsi dari 50 responden disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Perbandingan Keteraturan Permukiman Berdasarkan Interpretasi Secara Visual dengan Persepsi Penghuni Permukiman Berdasarkan Jumlah Responden

Kecamatan Kesamaan Jawaban

(45)

29 konsep keteraturan permukiman sehingga hasil wawancara yang dilakukan sudah cukup mempresentasikan manfaat dari penelitian.

Kecamatan Sail memiliki persentase ketidaksamaan jawaban tertinggi sebesar 45.45 %. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman penghuni permukiman di Kecamatan Sail mengingat keterbatasan pengetahuan penghuni mengenai keteraturan permukiman sehingga penghuni permukiman di kecamatan ini memberikan kriteria dan definisi yang berbeda mengenai keteraturan permukiman. Sebagai contoh persepsi yang dimiliki penghuni permukiman suatu lingkungan dimana penghuni tersebut sudah lama menempati lingkungan tersebut sehingga keteraturan permukiman yang dimaksud sesuai dengan keadaan lingkungan permukiman penghuni permukiman saat ini tanpa mengetahui keadaan lingkungan permukiman teratur sesuai dengan kriteria yang dimaksud yaitu memilki keseragaman dalam aspek bentuk, ukuran, dan tata letak serta memiliki prasarana dan sarana penunjang kegiatan manusia yang lengkap.

(a) (b)

Gambar 17 merupakan peta perbandingan keteraturan berdasarkan interpretasi secara visual dan persepsi penghuni permukiman. Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan kepahaman antara peneliti dengan penghuni permukiman dan sebagian kecil penghuni masih belum memahami keteraturan permukiman.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Dasar Satelit Ikonos
Tabel 2. Bahan Penelitian
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
Gambar 2. Peta Administrasi Tiga Kecamatan Daerah Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait