• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Fisiologi Dan Morfologi Tanaman Terung (Solanum Melongena) Terhadap Cekaman Suhu Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Fisiologi Dan Morfologi Tanaman Terung (Solanum Melongena) Terhadap Cekaman Suhu Tinggi"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON FISIOLOGI DAN MORFOLOGI TANAMAN

TERUNG (Solanum melongena) TERHADAP CEKAMAN

SUHU TINGGI

MELISNAWATI H ANGIO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Respon Fisiologi dan Morfologi Tanaman Terung (Solanum melongena) terhadap Cekaman Suhu Tinggi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Melisnawati H Angio

(4)

RINGKASAN

MELISNAWATI H ANGIO. Respon Fisiologi dan Morfologi Tanaman Terung (Solanum melongena) terhadap Cekaman Suhu Tinggi. Dibimbing oleh MIFTAHUDIN dan SOBIR.

Terung (Solanum melongena) merupakan salah satu tanaman sayuran penting dari famili Solanaceae yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan yang enak dan menyehatkan, serta memiliki nilai ekspor yang tinggi. Kondisi suhu udara yang kian meningkat akhir-akhir ini dapat mempengaruhi produktivitas tanaman terung. Cekaman suhu tinggi sering didefinisikan ketika terjadi kenaikan suhu di luar batas selama jangka waktu yang cukup untuk menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang tidak dapat balik. Namun, informasi mengenai toleransi tanaman terung terhadap cekaman suhu tinggi belum tersedia di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon fisiologi dan morfologi beberapa genotipe tanaman terung terhadap cekaman suhu tinggi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi dasar dalam pengelolaan dan pemuliaan varietas unggul terung yang toleran cekaman suhu tinggi namun tetap berproduksi optimal.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2014 sampai dengan Agustus 2015. Sebanyak 6 genotipe terung (002, 007, 053, 069, 080, dan 081) hasil koleksi PKHT (Pusat Kajian Hortikultura Tanaman) yang berasal dari seluruh Indonesia. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah 6 genotipe terung (002, 007, 053, 069, 080, dan 081) dan faktor kedua adalah perlakuan suhu dengan 2 taraf yaitu: suhu sesuai dengan kondisi lapang (25.9 °C) dan suhu tinggi di dalam rumah kaca (35.2 °C ). Sejumlah 16 peubah fisiologi, pertumbuhan, dan komponen produksi diamati dalam penelitian ini. Pengukuran peubah fisiologis meliputi konduktansi stomata, laju transpirasi, kelembaban sel daun, kandungan H2O sel daun, kandungan klorofil daun yang dicerminkan dengan tingkat kehijauan daun, kandungan CO2 interseluler, dan laju fotosintesis. Pengukuran peubah pertumbuhan meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang, sedangkan peubah produksi meliputi jumlah bunga, viabilitas polen, jumlah buah, panjang buah, dan bobot buah per tanaman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cekaman suhu tinggi menurunkan konduktansi stomata, laju transpirasi, kelembaban sel daun, kandungan H2O sel daun, kandungan klorofil daun, kandungan CO2 interseluler daun, dan laju fotosintesis. Suhu tinggi juga menurunkan tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang, sehingga menurunkan jumlah bunga, viabilitas polen, jumlah buah, panjang buah, dan bobot buah per tanaman. Genotipe 080 dan 081 memiliki nilai yang lebih tinggi pada semua peubah fisiologi dan morfologi dibanding dengan genotipe lain. Berdasarkan nilai HSI, kedua genotipe tersebut tergolong genotipe moderat toleran terhadap suhu tinggi.

(5)

SUMMARY

MELISNAWATI H ANGIO. Physiological and Morphological Responses of Eggplant (Solanum tuberesum) to Heat Stress. Supervised by MIFTAHUDIN and SOBIR.

Eggplant (Solanum melongena) is one of important vegetable plants of family Solanaceae which is known by Indonesian people as a tasty and healthy food, and also has a high export value. Temperature increasing currently can affect eggplant productivity. Heat stress is often defined as a temperature rise beyond the limits for a sufficient period of time to cause the disruption of irreversible plant growth and development. There are no data on eggplant tolerance of heat stress in Indonesia. This study aimed to study the physiological and morphological responses of eggplant genotypes to heat stress. The result of this study is expected as basic information for management and breeding of superior varieties of eggplants which are tolerant to heat stress but the eggplants are still productive.

This study was conducted in March 2014 to August 2015. Six genotypes of eggplant (002, 007, 053, 069, 080, and 081) collected by PKHT (Center for Tropical Horticulture Studies) from all over Indonesia were used. This research was designed as a complete randomized factorial design with 2 factors and 3 replicates within each treatment. The first factor was 6 genotypes of eggplant (encoded as 002, 007, 053, 069, 080, and 081) and the second factor was 2 levels of temperature treatments, i.e.: normal field temperature (daily average temperature of (25.9 °C) and heat stress temperature (35.2 °C). Sixteen variables of physiological, growth and production components were observed in this study. Measurement of physiological variables were stomatal conductance, transpiration rate, humidity leaf cells, cell H2O content of the leaves, leaf chlorophyll content as reflected by the level of leaf greenness, intercellular CO2 content, and the rate of photosynthesis. Measurement of growth variables were plant height, leaf number, and number of branches, while the production variables were the number of flowers, pollen viability, number of fruit, fruit length and weight per plant.

The results showed that heat stress decreased stomatal conductance, transpiration rate, humidity and H2O content of leaf cells, chlorophyll content of leaves, CO2 content of intercellular leaf, and the rate of photosynthesis. High temperatures also decreased plant height, leaf and branch number, thus decreased the number of flowers, pollen viability, number of fruit, fruit length and weight per plant. Two eggplant genotypes, 080 and 081, showed moderat tolerant to heat stress based on heat susceptibility index and plant growth differences between normal and high temperature condition.

Keywords: Eggplant, heat stress, morphology, physiology, tolerance

(6)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

RESPON FISIOLOGI DAN MORFOLOGI TANAMAN

TERUNG (Solanum melongena) TERHADAP CEKAMAN

SUHU TINGGI

MELISNAWATI H ANGIO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Respon Fisiologi dan Morfologi Tanaman Terung (Solanum melongena) terhadap Cekaman Suhu Tinggi” dapat diselesaikan, sebagai syarat utama untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Biologi Tumbuhan, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 hingga Agustus 2015.

Penulis menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada 1) Dosen pembimbing (Dr Ir Miftahudin, MSi dan Prof Dr Ir Sobir, MSi) yang telah memberikan nasehat, saran, motivasi, waktu luang untuk konsultasi, serta solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian dan penyusunan tesis ini; 2) Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si sebagai Dosen penguji luar komisi; 3) Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan atas kesediaan menguji dan mengoreksi penulisan tesis ini agar menjadi lebih baik; 4) DIKTI atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri tahun 2013 yang telah diberikan selama menempuh pendidikan; 5) Kepala PKHT IPB Dr Ir Darda Efendi, MSi atas bahan penelitian yang telah digunakan selama penelitian; 6) Staf di kebun percobaan Cikabayan-IPB; 7) seluruh dosen dan staf Program Studi Biologi Tumbuhan; 8) teman-teman seperjuangan Program Studi Biologi Tumbuhan Pascasarjana IPB 2013 dan teman-teman Asrama Gorontalo atas kebersamaan yang berharga dan penuh kenangan, serta 9) pihak lainnya yang tidak tersebutkan.

Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada orang tua tersayang (Papa Alm. Hamza Angio dan Mama Djamila Dumo) dan Kakak-kakak serta seluruh keluarga besar atas segala do’a, dukungan, motivasi dan dukungan dalam segala hal, pengertian dan kesabaran yang luar biasa hingga studi yang panjang ini terselesaikan. Semoga tesis ini selalu bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan selanjutnya.

Bogor, November 2016

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Botani Tanaman Terung 2

Syarat Tumbuh dan Kebutuhan Suhu Tanaman Terung 3

Pengaruh Cekaman Suhu Tinggi pada Tanaman 3

Mekanisme Toleransi dan Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Suhu Tinggi 4 Peubah Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Suhu Tinggi 5

3 METODE PENELITIAN 6

Bahan Tanaman 7

Waktu dan Tempat 7

Rancangan Percobaan 7

Pemilihan Genotipe untuk Percobaan 7

Pelaksanaan Percobaan 7

Pengukuran Peubah Pertumbuhan 8

Pengukuran Peubah Fisiologis 8

Pengukuran Peubah Produksi 8

Analisis Data 9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Iklim Mikro Lokasi Percobaan 9

Pemilihan Genotipe untuk Percobaan 11

Respon Fisiologi Tanaman Terung terhadap Cekaman Suhu Tinggi 12 Respon Morfologi Tanaman Terung terhadap Cekaman Suhu Tinggi 18 Pengaruh Cekaman Suhu Tinggi terhadap Komponen Produksi Tanaman

Terung 20

Heat Susceptibility Index 23

(12)

5 SIMPULAN DAN SARAN 27

2 Rata-rata total persentase penurunan pada 15 genotipe terung 11

3 Enam genotipe terpilih hasil penapisan 12

4 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap tinggi tanaman (cm) pada umur 8

MST 19

5 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap jumlah daun pada umur 8 MST 19 6 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap jumlah cabang pada umur 8

MST 20

7 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap jumlah bunga 20 8 Nilai duga viabilitas polen (%) pada kondisi lapang dan tercekam suhu

tinggi 21

9 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap jumlah buah 22 10 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap panjang buah (cm) 22 11 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap bobot buah per tanaman (g) 23 12 Indeks kepekaan terhadap cekaman (HSI) yang dihitung berdasarkan

peubah laju fotosintesis, viabilitas polen, dan jumlah buah 6 genotipe terung terhadap cekaman suhu tinggi pada fase pertumbuhan vegetatif

dan generatif 24

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Bagan alir penelitian respon fisiologi dan morfologi tanaman terung

(Solanum melongena) terhadap cekaman suhu tinggi 6

2 Grafik pengamatan rata-rata suhu harian pada jam 06.00 sampai dengan 18.00 di luar rumah kaca (Hs0) dengan kondisi lapangan dan di dalam

rumah kaca dengan suhu tercekam suhu tinggi 10

(13)

4 Konduktansi stomata tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC 13 5 Laju transpirasi tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada

kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC 13 6 Suhu daun tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada kondisi

lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi

(Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC 14

7 Kelembaban sel daun tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC 14 8 Kandungan H2O sel daun tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca

pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC 15 9 Kandungan klorofil tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada

kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC 16 10 Kandungan CO2 interseluler sel tanaman yang ditumbuhkan di luar

rumah kaca pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC 17 11 Laju fotosintesis tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada

kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC 17 12 Tinggi tanaman genotipe 081 (A) dan genotipe 069 (B) pada kondisi

lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi

(Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC 18

13 Bakal bunga (A) dan bunga mekar (B) yang gugur pada kondisi tercekam

suhu tinggi 21

14 Produksi buah genotipe 081 (kiri) dan genotipe 053 (kanan) pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi

(Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC 23

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

11 1 Deskripsi enam genotipe terung bahan penelitian 32

2 Hasil penapisan 15 genotipe terung terhadap cekaman suhu tinggi 35 3 Morfologi bunga 6 genotipe terung bahan penelitian 36 4 Morfologi buah 6 genotipe terung bahan penelitian 37 5 Nilai koefisien korelasi respon fisiologi dan morfologi tanaman terung (Solanum

melongena) terhadap cekaman suhu tinggi 38

(15)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Terung (Solanum melongena) merupakan salah satu tanaman sayuran penting dari famili Solanaceae yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan yang kaya kandungan gizi dan menyehatkan. Kandungan mineral (mg) dalam 100 g terung ungu antara lain 2.57 Na, 6.32 Mg, 0.14 Zn, 254.26 K, dan 0.23 Fe (Surahman & Darmajana 2004). Terung juga merupakan sumber vitamin C dan mineral. Menurut USDA NRC (2014) kandungan nutrisi terung lebih baik jika dibandingkan dengan sayuran umum lainnya, yaitu 92.7% air, 1.4% protein, 1.3% serat, 0.3% lemak, 0.3% mineral, dan 4% sisanya terdiri atas karbohidrat dan vitamin (A dan C). Lim (2013) juga melaporkan manfaat buah terung berwarna putih bagi penderita diabetes dan sangat diajurkan bagi penderita gangguan hati. Selain itu buah terung kaya akan gula total terlarut, antosianin, fenol, glycol alkaloids (seperti solasodine), dan protein yang tinggi.

Meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan kesadaran untuk hidup sehat berdampak terhadap peningkatan konsumsi sayuran termasuk terung. Data konsumsi kalori per kapita per tahun komoditas terung pada tahun 2014 sebesar 2451 kg dan meningkat menjadi 2503 kg pada tahun 2015 (SUSENAS BPS 2015). Produktivitas tanaman terung sebesar 11.20 ton/Ha pada tahun 2015 namun masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas tanaman tomat dan kentang pada tahun yang sama yaitu lebih dari 16.09 ton/Ha dan 18.20 ton/Ha (BPS 2015). Oleh karena itu perbaikan tanaman terung di Indonesia perlu ditingkatkan.

Peningkatan produktivitas tanaman pada umumnya terkendala oleh cekaman abiotik. Cekaman suhu tinggi merupakan salah satu cekaman lingkungan abiotik yang disebabkan oleh peningkatan suhu lingkungan akibat dari perubahan iklim. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah melaporkan bahwa pada akhir abad ke-21 rata-rata suhu permukaan bumi akan meningkat antara 2–4 °C (2013). Berdasarkan data suhu tahun 2015, di Indonesia telah terjadi peningkatan suhu sebesar 0.65–1.43 ºC (BMKG 2015).

Cekaman suhu tinggi sering didefinisikan sebagai kondisi terjadinya kenaikan suhu di luar batas suhu optimum pertumbuhan selama jangka waktu yang cukup untuk menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang tidak dapat balik. Tanaman mengalami cekaman suhu tinggi apabila kondisi suhu yang diterima mengalami peningkatan 10-15 °C di atas suhu optimum pertumbuhan tanaman (Kotak et al. 2007). Batas cekaman suhu tinggi ditentukan berdasarkan suhu rata-rata harian yang menyebabkan awal terjadinya penurunan pertumbuhan tanaman.

(16)

2

kriteria seleksi untuk mendapatkan tanaman yang toleran terhadap cekaman suhu tinggi adalah viabilitas polen. Kakani et al. (2005) menyatakan bahwa pada tanaman kapas varietas yang toleran memiliki viabilitas polen yang tinggi dalam kondisi suhu tinggi.

Tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman suhu tinggi dapat diduga berdasarkan besarnya penurunan relatif berbagai peubah pertumbuhan dan hasil pada kondisi lingkungan optimal dan lingkungan tercekam (Rosielle & Hamblin 1986). Pendekatan tersebut telah digunakan oleh Handayani (2013b), Altuhaish (2014) dan Frey et al. (2016) untuk mengidentifikasi toleransi terhadap cekaman suhu tinggi pada tanaman kentang, gandum, dan jagung.

Informasi mengenai toleransi tanaman terung terhadap cekaman suhu tinggi belum tersedia di Indonesia. Studi fisiologi dan morfologi perlu dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat tanaman terung toleran suhu tinggi namun tetap berproduksi optimal sehingga dapat dipilih genotipe yang memiliki sifat-sifat tersebut baik sebagai tetua dalam pemuliaan tanaman terung maupun dalam pemilihan bahan tanaman yang akan dibudidayakan pada lingkungan bersuhu tinggi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tanaman yang ditumbuhkan dalam rumah kaca dengan kondisi tercekam suhu tinggi menunjukkan perbedaaan respon fisiologi dan morfologi dengan tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi lapang.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon fisiologi dan morfologi beberapa genotipe terung terhadap cekaman suhu tinggi.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Terung

Terung merupakan tanaman asli daerah tropis yang diduga berasal dari Asia, terutama India dan Birma yang kemudian diperkenalkan ke Eropa oleh para pedagang Arab lalu dibawa ke Amerika Utara oleh para imigran Eropa. Tipe liar terung dengan ukuran buah kecil sering disebut sebagai S. melongena var. insanum, ditemukan di dataran Bengal, India. Variasi warna dan bentuk buah terung ditemukan di seluruh Asia Tenggara, hal ini menunjukkan bahwa daerah ini merupakan daerah pusat keragaman dan memungkinkan sebagai daerah asal tanaman terung (Daunay & Janick 2007 ).

(17)

3

Warna buah ungu, tetapi ada pula yang berwarna putih dan hijau bergaris putih. Warna kulit buah kurang menarik apabila terjadi kekurangan air (Ashari 1995). Setelah tua buah terung berwarna kekuningan. Bergantung jenisnya, satu buah terung berisi sekitar 2500 biji. Tanaman terung berakar tunggang dengan akar samping yang dangkal (Magioli & Mansur 2005).

Syarat Tumbuh dan Kebutuhan Suhu Tanaman Terung

Budidaya terung dilakukan di tempat terbuka dengan kondisi cahaya matahari yang cukup. Terung dapat tumbuh di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi dari kisaran 1-1000 mdpl, tetapi pada ketinggan tempat lebih dari 800 mdpl pertumbuhannya akan lambat dan produksinya akan berkurang (Siemonsma & Piluek 1994). Kondisi tanah yang ideal untuk penanaman terung yaitu tanah liat lempung berpasir dan cukup bahan organik dengan kondisi aerasi dan draenasinya baik, serta tidak mudah tergenang air. Keasaman (pH) tanah yang sesuai untuk tanaman terung sekitar 6.0-6.5. Kelembaban udara 65-80 % dengan curah hujan 800-1200 mm/tahun (Lim 2013).

Suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman terung berkisar antara 22-30 ºC. Terung tumbuh baik pada suhu siang hari berkisar antara 22-30 °C, dan suhu malam berkisar antara 20-27 °C. Suhu optimum untuk pembungaan berkisar antara 22–30 ºC. Pada suhu dibawah 17 ºC menyebabkan polen menjadi steril. Pertumbuhan tanaman terung akan terhambat pada kondisi suhu tinggi dan menyebabkan kekerdilan tanaman. Pertumbuhan tanaman terung lebih mengarah ke pertumbuhan vegetatif ketika suhu dan kelembaban tinggi (Chen et al. 2002).

Pengaruh Cekaman Suhu Tinggi pada Tanaman

Cekaman suhu tinggi adalah suatu kondisi suhu yang dihadapi oleh tanaman yang menyebabkan kerusakan yang tidak dapat balik. Suhu menjadi cekaman bagi tanaman bergantung pada laju perubahan, intensitas maupun durasinya. Cekaman suhu tinggi sering didefinisikan ketika terjadi kenaikan suhu di luar batas suhu pertumbuhan optimum tanaman selama jangka waktu yang cukup untuk menyebabkan terjadinya kerusakan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang tidak dapat balik. Secara umum, peningkatan 10-15 ºC di atas suhu optimum pertumbuhan dianggap sebagai cekaman suhu tinggi (heat shock, heat stress) (Wahid et al. 2007).

Cekaman suhu tinggi pada tanaman secara umum mempengaruhi proses fisiologi pada tanaman (Howarth 2005). Salah satu proses fisiologis yang sangat sensitif terhadap cekaman suhu tinggi adalah fotosintesis. Hasil penelitian sebelumnya membuktikan bahwa tanaman tomat, kentang, dan gandum yang diberi cekaman suhu tinggi menunjukkan penurunan laju fotosintesis dan kandungan klorofil tanaman (Camejo et al. 2005; Aien et al. 2011; Almeselmani

(18)

4

kehilangan atau pembengkakan susunan grana dimana Photosystem II terjadi. Hal ini menyebabkan perubahan distribusi energi dan menghambat aktivitas enzim metabolisme karbon, terutama rubisko melalui gangguan pada transport elektron dan inaktivasi enzim (Salvucci & Crafts 2004).

Pengaruh lain dari cekaman suhu tinggi adalah perubahan morfologi dan penurunan produksi tanaman (Rao et al. 2006; Handayani et al. 2013b). Kerentanan beberapa spesies dan genotipe terhadap suhu tinggi mungkin bervariasi dengan fase perkembangan tanaman, tetapi seluruh fase vegetatif dan generatif akan dipengaruhi oleh cekaman suhu tinggi. Selama fase vegetatif, suhu tinggi akan merusak daun tempat pertukaran gas. Pengaruh terbesar suhu tinggi terhadap pertumbuhan pucuk adalah terjadi penurunan aktivitas sink dan source

yang dapat menyebabkan penurunan hebat terhadap pertumbuhan sehingga dapat menyebabkan kematian secara prematur pada tanaman (Kotak et al. 2007).

Pada tomat ketika suhu lingkungan melampaui 35 ºC, perkecambahan biji, pertumbuhan biji, dan pertumbuhan vegetatif tetap berlangsung, tetapi pembungaan, pembentukan buah, dan pemasakan buah sangat terhambat. Paparan suhu tinggi dalam waktu singkat selama pengisian biji akan menginduksi senesense lebih awal, mengurangi pembentukan biji dan bobot biji, serta akan mengurangi hasil tanaman. Menurut Frey et al. (2016), pertumbuhan jagung menurun pada suhu 40 ºC dan terhenti pada suhu 45 ºC. Suhu tinggi memperpanjang lamanya pengisian biji dan mereduksi pertumbuhan kernel yang menyebabkan kehilangan pada kernel dan berat kernel sampai 7% pada gandum (Altuhaish 2014).

Selama fase generatif, cekaman suhu tinggi dalam periode singkat sekalipun dapat menggugurkan bakal bunga dan bunga yang mekar. Tanaman

cowpea, pada fase generatif sangat sensitif terhadap cekaman suhu tinggi. Cekaman suhu 30-35 ºC hanya dalam beberapa hari dapat menyebabkan kehilangan hasil yang besar pada tanaman legum karena gugurnya bunga dan aborsi polong (Ahmed 1992). Pengaruh lain dari cekaman suhu tinggi pada beberapa spesies tanaman adalah induksi sterilitas polen ketika tanaman terpapar suhu tinggi secara tiba-tiba pada fase sebelum atau selama pembungaan berlangsung (Muller & Rieu 2016). Kegagalan perkembangan polen dan antera oleh peningkatan suhu merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap penurunan jumlah bunga pada beberapa tanaman pada kondisi yang suhu tinggi. Dalam kondisi cekaman suhu tinggi, pembentukan buah tomat mengalami kegagalan karena adanya metabolisme gula dan transport prolin yang dihambat selama perkembangan reproduktif bunga jantan (Sato et al. 2006).

Mekanisme Toleransi dan Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Suhu

Tinggi

(19)

5

kehilangan air melalui proses transpirasi yang merupakan mekanisme penurunan suhu tubuh tanaman ketika tanaman tercekam suhu tinggi (Rao et al. 2006).

Selama fase vegetatif, suhu tinggi pada siang hari dapat menurunkan laju asimilasi CO2 sehingga membatasi peningkatan fotosintesis neto (Pn) (Nakamoto & Hiyama 1999). Kobayashiet al. (2010) melaporkan bahwa antesis bunga lebih lama merupakan salah satu mekanisme untuk menghindari cekaman panas atau suhu tinggi. Penghambatan reproduksi tanaman merupakan salah satu mekanisme tanaman untuk menghadapi cekaman suhu tinggi karena tanaman menggunakan fotosintat dalam jumlah yang terbatas untuk menghadapi cekaman suhu tinggi (Soepandi 2013).

Peubah Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Suhu Tinggi

Status air tanaman adalah peubah yang sangat penting dalam perubahan suhu lingkungan. Pada umumnya tanaman cenderung mempertahankan status airnya tanpa terpengaruh oleh perubahan suhu bila kelembaban udara cukup, tetapi pada kondisi suhu tinggi kondisi tersebut tidak memungkinkan sama sekali karena ketersediaan air sangat terbatas. Pada kondisi lapang, cekaman suhu tinggi sering dihubungkan dengan penurunan ketersediaan air. Pada umumnya, suhu tinggi meningkatkan transpirasi yang menyebabkan defisit air pada tanaman sehingga menginduksi penurunan potensial air yang menimbulkan gangguan terhadap beberapa proses fisiologis (Morales et al. 2003).

Klorofil merupakan pigmen fotosintesis di dalam kloroplas yang dihasilkan melalui serangkaian proses sintesis. Beberapa enzim berperan dalam sintesis klorofil dan aktivitasnya dihambat oleh suhu tinggi (Tewari & Tripathy 1998). Oleh karena itu, pengukuran kandungan klorofil dan laju fotosintesis dapat digunakan sebagai peubah toleransi suatu genotipe terhadap cekaman suhu tinggi (Camejo et al. 2005; Aien et al. 2011; Almeselmani et al. 2012; Handayani et al.

2013a).

Perubahan dalam atribut fotosintesis pada kondisi cekaman suhu tinggi adalah indikator yang baik dalam toleransi suhu tinggi untuk menunjukkan adanya korelasi dengan pertumbuhan tanaman. Proses fotosintesis yang terhambat akibat pengaruh cekaman suhu tinggi akan menurunkan hasil fotosintat sehingga akan membatasi pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Kotak et al 2007).

(20)

6

3 METODE

Penelitian cekaman suhu tinggi pada tanaman terung dilakukan pada saat fase vegetatif sampai dengan fase generatif. Untuk mengetahui respon fisiologi dan morfologi tanaman terung terhadap cekaman kekeringan maka diperlukan beberapa peubah penting yang diamati dan dianalisis terkait pertumbuhan dan fisiologi tanaman. Bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 1.

(21)

7

Bahan Tanaman

Bahan tanaman yang digunakan adalah 6 genotipe terung (002, 007, 053, 069, 080, dan 081) hasil koleksi Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) Bogor yang berasal dari seluruh Indonesia (Lampiran 1).

Waktu dan Tempat

Pengujian terhadap genotipe terung hasil koleksi PKHT dilakukan di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan IPB dan di Laboratorium Mikroteknik, Departeman Biologi FMIPA, IPB dari bulan Maret 2014 sampai dengan bulan Agustus 2015.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah 6 genotipe terung (002, 007, 053, 069, 080, dan 081) dan faktor kedua adalah perlakuan suhu dengan 2 taraf yaitu: suhu sesuai dengan kondisi lapang (Hs0) dan suhu tinggi di dalam rumah kaca (Hs1). Terdapat 12 kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan sehingga diperoleh 36 unit percobaan.

Pemilihan Genotipe untuk Percobaan

Uji pendahuluan dilaksanakan selama bulan Maret 2014 sampai dengan bulan Desember 2014. Benih yang diperoleh direndam dalam air hangat selama ±1 jam untuk menghilangkan sifat dormansi (15 benih/genotipe). Penelitian diawali dengan tahapan penapisan 56 genotipe terung hasil koleksi PKHT. Dari hasil penapisan tahap awal terpilih 15 genotipe yang memenuhi syarat berdasarkan persentase tumbuh ketika benih disemai selama 5 minggu. Genotipe yang memiliki presentase tumbuh yang baik dipindahkan ke dalam polybag

berukuran 30x25 cm dan ditempatkan di luar rumah kaca (kondisi lapang) serta di dalam rumah kaca (cekaman suhu tinggi). Tahap penapisan akhir dilakukan selama fase vegetatif sampai tanaman berbuah dengan mengamati peubah tinggi tanaman, jumlah daun, kandungan klorofil yang dicerminkan dengan tingkat kehijauan daun, dan jumlah buah.

Pelaksanaan Percobaan

Pelaksannaan percobaan 6 genotipe terung yang terpilih dari hasil penapisan dilaksanakan selama bulan Februari 2015 sampai dengan bulan Agustus 2015. Biji terung dikecambahkan dengan merendam biji-biji yang terpilih dalam air hangat selama ± 1 jam untuk menghilangkan sifat dormansinya. Benih ditanam pada media persemaian sampai 14 hari setelah semai (HTS), kecambah yang tumbuh baik dan sehat dengan tinggi relatif seragam dipindah ke polybag

(22)

8

setelah tanaman ditanam di polybag. Penyemprotan insektisida dilakukan sesuai tingkat dan jenis serangan hama. Penyiangan terhadap tanaman pengganggu dilakukan secara berkala.

Enam genotipe yang terpilih digolongkan ke dalam tingkat toleran terhadap cekaman suhu tinggi (toleran, moderat, dan peka) dan ditempatkan berdasarkan perlakuan suhu yang diberikan. Perlakuan suhu optimum dilakukan dengan cara menempatkan tanaman di luar rumah kaca (Hs0) dengan suhu rata-rata harian 25.9 ºC, sedangkan perlakuan cekaman suhu tinggi dilakukan dengan cara menempatkan tanaman di dalam rumah kaca (Hs1) dengan suhu rata-rata harian 35.2 ºC.

Pengukuran Peubah Pertumbuhan

Pengukuran peubah pertumbuhan terung dilakukan setiap minggu selama 3 bulan. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang terung yang ada di permukaan tanah sampai titik tumbuh tanaman dengan menggunakan meteran. Pengamatan jumlah daun dan jumlah cabang per tanaman dilakukan mulai 3 minggu setelah tanam (MST).

Pengukuran Peubah Fisiologis

Pengukuran peubah fisiologis yang meliputi konduktansi stomata, laju transpirasi, suhu daun, kelembaban sel daun, kandungan H2O sel daun, kandungan klorofil daun, kandungan CO2 interseluler daun, dan laju fotosintesis dilakukan dengan menggunakan Portable photosynthesis system (LICOR-6400, Inc., Lincoln, NE, USA). Pengukuran dilakukan pada daun lebar penuh dan berkembang sempurna (daun ketiga) dari pucuk batang utama. Pengukuran dilakukan selama fase vegetatif (5 MST) dan generatif (9 MST). Kandungan klorofil daun yang dicerminkan dengan tingkat kehijauan daun diukur menggunakan alat Chlorophyll meter, SPAD-502 (Minolta Co. Ltd, Japan).

Pengukuran Peubah Produksi

Pengukuran peubah produksi meliputi jumlah bunga, viabilitas polen, jumlah buah, panjang buah, dan bobot buah per tanaman. Pengamatan jumlah bunga per tanaman dilakukan pada saat terung berumur 9 (MST). Pengukuran viabilitas polen dilakukan dengan menggunakan metode Song (2001). Polen yang diambil di pagi hari sebelum bunga mekar, dibawa ke laboratorium dan diwarnai dengan pewarna Iodine Kalium Iodide (IKI) 1% (0.5 g potassium iodine dan 0.5 gram iodide yang dilarutkan dalam 100 ml akuades). Pengamatan dilakukan pada 48 jam setelah pewarnaan di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 40x. Polen dikategorikan normal apabila polen sudah mencapai 70% terwarnai oleh pewarna IKI. Pengamatan dihentikan apabila sudah mencapai nilai yang konstan. Untuk tiap pengujian dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali dan setiap ulangan diamati pada 5 bidang pandang. Selanjutnya dilakukan penghitungan viabilitas polen dengan menggunakan rumus :

(23)

9

Pengamatan jumlah buah dilakukan pada saat panen dengan cara menghitung jumlah buah per tanaman tiap polybag. Panjang buah diukur mulai dari pangkal buah sampai ujung buah pada saat panen. Bobot buah ditentukan dengan menimbang masing-masing buah pada saat panen. Morfologi buah (bentuk buah, warna kulit buah, dan warna daging buah) diamati pada saat panen (12 MST).

Analisis Data

Seluruh data percobaan dianalisis menggunakan analisis ragam pada taraf uji α = 0,05 dan analisis lanjut menggunakan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Pengolahan data menggunakan program statistik SPSS untuk Windows (Versi 15). Pengelompokan genotipe terung berdasarkan kemampuan toleransinya terhadap cekaman suhu tinggi dilakukan berdasarkan nilai Heat Susceptibility Index (Fischer & Maurer 1978) dengan rumus:

Dimana: Y= nilai pengamatan untuk 1 genotipe pada kondisi tercekam suhu tinggi, Yp= nilai pengamatan untuk 1 genotipe pada kondisi lapangan, X= nilai rata-rata pengamatan untuk semua genotipe dalam kondisi cekaman suhu tinggi, Xp= nilai rata-rata pengamatan untuk semua genotipe dalam kondisi lapangan. Genotipe terung dikelompokkan menjadi toleran (T) jika HSI<0.5, moderat (M) jika 0.5≤HSI≤1, dan peka (P) jika HSI>1

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Iklim Mikro Lokasi Percobaan

Selama pelaksanaan percobaan dilakukan pengukuran iklim mikro yang meliputi suhu udara, kelembaban udara, Photosynthetically Active Radiation

(24)

10

Keterangan: Hs0= Di Luar rumah kaca dengan kondisi lapangan, Hs1= Di dalam rumah kaca dengan kondisi tercekam suhu tinggi.

Dari hasil pengamatan suhu harian yang diamati dari jam 06.00-18.00 menunjukkan bahwa rata-rata suhu tertinggi terjadi pada kisaran waktu pukul 13.00-14.00 dengan suhu di luar rumah kaca 32.8-33.1ºC dan di dalam rumah kaca 38.2-40.6 ºC, sedangkan rata-rata suhu terendah terjadi pada pukul 06.00 dan 18.00 dengan suhu di luar rumah kaca 19.7-20.5 ºC dan di dalam rumah kaca 24.4-26.7 ºC (Gambar 2).

Gambar 2 Grafik pengamatan rata-rata suhu harian pada jam 06.00 sampai dengan 18.00 di luar rumah kaca (Hs0) dengan kondisi lapangan (♦) dan di dalam rumah kaca dengan suhu tercekam suhu tinggi (□).

Pengamatan suhu per minggu dilakukan dari minggu pertama pengamatan sampai dengan minggu ke-13 pengamatan yang meliputi pengamatan pada fase vegetatif dan generatif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman terung yang ditumbuhkan di luar rumah kaca (Hs0) dengan suhu rata-rata harian 25.9 ºC menerima suhu yang sesuai dengan suhu optimum pertumbuhan tanaman terung, sedangkan tanaman terung yang ditumbuhkan di dalam rumah kaca (Hs1) dengan rata-rata suhu harian 35.2 ºC menerima suhu yang melampaui batas suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman terung (Gambar 3).

(25)

11

Gambar 3 Grafik pengamatan rata-rata suhu pada fase pertumbuhan tanaman terung di luar rumah kaca (Hs0) dengan kondisi lapangan (♦) dan di dalam rumah kaca (Hs1) dengan suhu tercekam suhu tinggi (□)

Pemilihan Genotipe untuk Percobaan

Tahapan penapisan genotipe dilaksanakan di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan IPB. Suhu rata-rata di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan ±35.2 ºC lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi rumah kaca IPB yang lain, sehingga lokasi ini dianggap sesuai untuk pelaksanaan penapisan awal dari 56 genotipe terung berdasarkan persentase tumbuh dari masing-masing genotipe pada saat penyemaian. Dari hasil tahap penapisan awal terpilih 15 genotipe yang memenuhi syarat untuk dilanjutkan pada tahapan selanjutnya (Lampiran 2).

Tahapan penapisan akhir dilakukan selama fase vegetatif sampai tanaman berbuah. Hasil analisis data dari semua peubah digunakan untuk mengelompokkan genotipe berdasarkan tingkat toleransinya terhadap cekaman suhu tinggi dan dipilih 6 genotipe yang masing-masing mewakili 2 genotipe toleran, 2 genotipe moderat, dan 2 genotipe peka terhadap cekaman suhu tinggi (Tabel 2).

Tabel 2 Rata-rata total persentase penurunan pada 15 genotipe terung Genotipe

Rata-rata Total

Nilai Peubah (%) Keterangan Genotipe

Rata-rata Total

Nilai Peubah (%) Keterangan

(26)

12

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa rata-rata total dari persentase penurunan peubah yang diamati memiliki kisaran 23.66% - 54.75% pada tanaman terung (Tabel 3). Genotipe 080, 081, dan 067 memiliki persentase penurunan paling rendah rata-rata total nilai peubah (%)<32 sehingga tergolong genotipe toleran. Genotipe 089, 071, 004, 053, 001, 072, dan 056 memiliki persentase penurunan 32< rata-rata total nilai peubah (%)<47 sehingga tergolong sebagai genotipe moderat, sedangkan genotipe 025, 007, 069, dan 055 memiliki persentase penurunan paling tinggi rata-rata total nilai peubah (%)<47 sehingga tergolong genotipe peka. Sehingga untuk percobaan selanjutnya digunakan 6 genotipe terpilih yang mewakili 2 genotipe toleran, 2 genotipe moderat, dan 2 genotipe peka (Tabel 3).

Tabel 3 Enam genotipe terpilih hasil penapisan

Genotipe Keterangan

Respon Fisiologi Tanaman Terung terhadap Cekaman Suhu Tinggi

Pengukuran peubah fisiologi dilakukan selama fase vegetatif dan generatif. Terdapat perbedaan yang nyata pada hasil pengukuran peubah fisiologi antara genotipe tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada kondisi lapang (Hs0) dengan tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi tercekam suhu tinggi di dalam rumah kaca (Hs1). Namun tidak terdapat perbedaan nyata antar genotipe dan tidak ada pengaruh interaksi antara pengaruh genotipe dan suhu. Perubahan berupa penurunan hasil pengukuran peubah fisiologi terjadi pada semua genotipe pada kondisi cekaman suhu tinggi. Peubah fisiologi meliputi konduktansi stomata, laju transpirasi, kelembaban sel daun, kandungan H2O sel daun, kandungan klorofil daun, kandungan CO2 interseluler daun, dan laju fotosintesis.

Konduktansi Stomata. Konduktansi stomata pada genotipe tanaman terung yang ditumbuhkan pada kondisi lapang (HS0) dan kondisi tercekam suhu

(27)

13

Gambar 4 Konduktansi stomata tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC (■) dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC (□)

Laju Transpirasi. Hasil analisis ragam laju transpirasi menunjukkan bahwa laju transpirasi pada genotipe tanaman terung yang ditumbuhkan pada kondisi lapang (Hs0) dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) pada fase pertumbuhan vegetatif dan generatif diberikan oleh perlakuan suhu, namun tidak ada ada pengaruh yang nyata antar genotipe. Laju transpirasi pada tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi lapang lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan pada tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi tercekam suhu tinggi (Gambar 5).

Gambar 5 Laju transpirasi tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC (■) dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC (□)

Suhu Daun. Pengukuran suhu daun menunjukkan bahwa suhu daun pada genotipe tanaman terung yang ditumbuhkan pada kondisi lapang (Hs0) dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) pada fase pertumbuhan vegetatif tidak dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genotipe dan suhu maupun oleh genotipe sebagai faktor tunggal, tetapi suhu daun dipengaruhi oleh perlakuan suhu. Pada fase pertumbuhan generatif suhu daun pada genotipe tanaman terung yang

(28)

14

ditumbuhkan pada kondisi lapang (Hs0) dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) tidak berbeda nyata. Suhu daun pada tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi lapang lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan pada tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi tercekam suhu tinggi (Gambar 6).

Gambar 6 Suhu daun tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC (■) dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC (□)

Kelembaban Sel Daun. Pengukuran kelembaban sel daun menunjukkan bahwa kelembapan sel daun pada genotipe tanaman terung yang ditumbuhkan pada kondisi lapang (Hs0) dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) pada fase pertumbuhan vegetatif dan generatif tidak dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genotipe dan suhu. Pengaruh yang nyata diberikan oleh perlakuan suhu, namun tidak ada pengaruh yang nyata antar genotipe. Kelembapan sel tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi lapang lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan pada tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi tercekam suhu tinggi (Gambar 7)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Vegetatif Generatif

Fase Pertumbuhan

Su

hu

Da

un

(29)

15

Gambar 7 Kelembapan sel tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC (■) dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC (□).

Kandungan H2O Sel Daun. Analisis ragam mengenai kandungan H2O pada sel daun terhadap cekaman suhu tinggi selama fase pertumbuhan vegetatif dan generatif menunjukkan bahwa pengaruh yang nyata diberikan oleh perlakuan suhu, namun tidak ada pengaruh yang nyata antar genotipe. Kandungan H2O pada tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi lapang lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan pada tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi tercekam suhu tinggi (Gambar 8)

(30)

16

Kandungan Klorofil. Kandungan klorofil yang diukur dicerminkan dari tingkat kehijauan daun. Terdapat perbedaan yang nyata pada kandungan klorofil daun dari genotipe tanaman terung yang ditumbuhkan pada kondisi lapang (Hs0) dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) pada fase pertumbuhan vegetatif dan generatif namun tidak ada pengaruh yang nyata antar genotipe (Gambar 9).

Gambar 9. Kandungan klorofil tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC (■)dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC (□)

(31)

17

Gambar 10 Kandungan CO2 interseluler daun yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC (

)dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC (

)

Laju Fotosintesis. Laju fotosintesis pada genotipe tanaman terung yang ditumbuhkan pada kondisi lapang (Hs0) dan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1) pada fase pertumbuhan vegetatif dan generatif dipengaruhi oleh perlakuan suhu yang diberikan namun tidak ada pengaruh yang nyata antar genotipe. Laju fotosintesis menurun seiring dengan meningkatnya fase pertumbuhan tanaman (Gambar 11).

(32)

18

Respon Morfologi Tanaman Terung terhadap Cekaman Suhu Tinggi

Pengukuran peubah morfologi dilakukan selama tiga bulan. Terdapat perbedaan yang nyata pada hasil pengukuran peubah morfologi antara genotipe tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi lapang dengan tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi tercekam suhu tinggi di rumah kaca. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan genotipe dan suhu berpengaruh nyata terhadap peubah morfologi, serta terdapat pengaruh interaksi antara perlakuan genotipe dan suhu. Peubah morfologi meliputi: tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang.

Tinggi Tanaman. Genotipe berpengaruh nyata pada tinggi tanaman dari minggu pertama pengamatan, sedangkan perlakuan suhu memberikan pengaruh nyata pada minggu ke dua pengamatan. Dari enam genotipe yang ditanam di rumah kaca (cekaman suhu tinggi), semuanya memiliki pertumbuhan dengan tipe lebih tegak dan tinggi tanaman yang lebih pendek jika dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada kondisi lapang (Gambar 12).

(A) (B)

Gambar 12 Tinggi tanaman genotipe 081 (A) dan genotipe 069 (B) pada kondisi lapang di luar rumah kaca dengan suhu 25.9 ºC (Hs0) dan kondisi tercekam suhu tinggi dengan suhu 35.2 ºC (Hs1)

Dari hasil analisis ragam diperoleh bahwa persentase penurunan tinggi tanaman yang diamati memiliki kisaran 13.4 - 42.4% pada tanaman terung (Tabel 4). Genotipe 080 dan 081 memiliki persentase penurunan paling rendah, sedangkan genotipe 007 dan 069 memiliki persentase penurunan paling tinggi dibandingkan genotipe lain.

Hs1

(33)

19

Tabel 4 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap tinggi tanaman (cm) umur 8 MST

Genotipe Lingkungan Penurunan

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (α= 5%). Hs0= Dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC, Hs1=Luar rumah kaca dengan suhu 25.9 ºC

Jumlah Daun. Pada percobaan di lingkungan tercekam suhu tinggi di dalam rumah kaca terlihat bahwa genotipe dan perlakuan suhu berpengaruh nyata pada jumlah dan warna daun. Dari enam genotipe yang ditanam di rumah kaca (cekaman suhu tinggi), semuanya memiliki jumlah daun yang lebih sedikit dengan persentase penurunan jumlah daun 10.9 - 41.7% (tabel 5). Dimana, Genotipe 080 dan 081 memiliki persentase penurunan paling rendah 10.9 dan 21.1%, sedangkan genotipe 007 dan 069 memiliki persentase penurunan paling tinggi (38.8% dan 41.7%). Intensitas warna pada daun tanaman di dalam rumah kaca terlihat lebih rendah sehingga menyebabkan warna daun yang lebih terang jika dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada kondisi lapang.

Tabel 5 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap jumlah daun umur 8 MST

Genotipe Lingkungan Penurunan

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (α= 5%). Hs0= Dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC, Hs1=Luar rumah kaca dengan suhu 25.9 ºC

(34)

20

Tabel 6 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap jumlah cabang 8 MST

Genotipe Lingkungan Penurunan

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (α= 5%). Hs0= Dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC, Hs1=Luar rumah kaca dengan suhu 25.9 ºC

Pengaruh Cekaman Suhu Tinggi terhadap Komponen Produksi Tanaman Terung

Faktor genotipe dan suhu berpengaruh nyata terhadap produksi buah baik pada kondisi lapang dan kondisi tercekam suhu tinggi. Peubah reproduksi yang diamati meliputi: jumlah bunga, viabilitas polen, jumlah buah, panjang buah, dan bobot buah per tanaman.

Jumlah Bunga. Genotipe yang ditanam pada kondisi tercekam suhu tinggi memiliki jumlah bunga yang lebih sedikit dengan persentase bunga gugur yang tinggi jika dibandingkan dengan tanaman yang ditumbuhkan di kondisi lapang. Tanaman terung sangat sensitif dengan cekaman suhu tinggi pada fase generatif dengan persentase penurunan jumlah bunga 51.4 - 100% (Tabel 7).

Tabel 7 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap jumlah bunga.

Genotipe Lingkungan Penurunan

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (α= 5%). Hs0= Dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC, Hs1=Luar rumah kaca dengan suhu 25.9 ºC

(35)

21

keragaman pada genotipe 002 dengan karakter warna bunga putih, sedangkan genotipe yang lain berwarna ungu (Lampiran 3). Selama fase generatif, cekaman suhu tinggi dalam periode singkat dapat menggugurkan bakal bunga dan bunga yang mekar (Gambar 13).

(A) (B)

Gambar 13 Bakal bunga (A) dan bunga mekar (B) yang gugur pada kondisi tercekam suhu tinggi

Viabilitas Polen. Pengamatan viabilitas polen dilakukan dengan menggunakan zat pewarna Iodine Potassium Iodide (IKI). Dari hasil pengamatan di bawah mikroskop pada perbesaran 40x didapatkan bahwa persentase viabilitas polen yang diambil dari bunga tanaman yang ditanam pada kondisi cekaman suhu tinggi lebih rendah dibandingkan viabilitas polen dari bunga tanaman terung yang ditanam pada kondisi lapang (Tabel 8). Pada genotipe 007 dan 069 peubah viabilitas polen tidak terukur karena genotipe 007 memiliki persentase bunga gugur yang tinggi sedangkan genotipe 069 tidak mengalami fase generatif (stagnan pada fase vegetatif).

Tabel 8 Nilai duga viabilitas polen pada kondisi lapang dan tercekam suhu tinggi

Genotipe

Perlakuan

Lingkungan (%) Rumah Kaca (%)

007 87 Tidak terukur

069 86 Tidak berbunga

002 78 30.76

053 74 27.14

080 89 36.83

081 87 40.21

(36)

22

Tabel 9 Pengaruh genotipe dan suhu terhadap jumlah buah.

Genotipe Lingkungan Penurunan

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (α= 5%). Hs0= Dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC, Hs1=Luar rumah kaca dengan suhu 25.9 ºC

Panjang Buah. Pada 6 genotipe terung yang ditanam di dalam rumah kaca dengan kondisi tercekam suhu tinggi, terjadi penurunan panjang buah per tanaman yang cukup tinggi dengan persentase penurunan panjang buah 44.2 - 100% (Tabel 10). Dimana, genotipe 007 dan 069 memiliki persentase penurunan paling tinggi 100 % dibandingkan dengan genotipe lain pada kondisi tercekam suhu tinggi.

Tabel 10 Pengaruh genotipe dan suhu terhadap panjang buah (cm)

Genotipe Lingkungan Penurunan

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (α= 5%). Hs0= Dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC, Hs1=Luar rumah kaca dengan suhu 25.9 ºC

(37)

23

Tabel 11 Pengaruh genotipe dan suhu terhadap bobot buah per tanaman (g)

Genotipe Lingkungan Penurunan

Hs0 Hs1 (%)

007 121.1h 0.0a 100.0

069 164.5i 0.0a 100.0

002 72.3f 37c 48.6

053 60.2d 30.7b 49.0

080 189.3k 66.7e 64.8

081 186.3j 95.3g 48.8

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (α= 5%). Hs0= Dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC, Hs1=Luar rumah kaca dengan suhu 25.9 ºC

Perbedaan bentuk buah terjadi pada semua genotipe. Adapun di lokasi rumah kaca yang tercekam suhu tinggi, buah yang dihasilkan memiliki ukuran yang lebih kecil dengan kulit buah yang terlihat mengkerut dan berwarna lebih terang dibandingkan dengan buah yang dihasilkan tanaman pada kondisi suhu sesuai dengan kondisi lapang (Gambar 14).

Gambar 14 Produksi buah genotipe 080 (kiri) dan genotipe 002 (kanan) pada konduksi lapang di luar rumah kaca dengan suhu rata-rata harian 25.9 ºC (Hs0) dan kondisi tercekam suhu tinggi di dalam rumah kaca dengan suhu rata-rata harian 35.2 ºC (Hs1)

Heat Susceptibility Index

Indeks kepekaan terhadap cekaman suhu tinggi pada peubah fisiologi yang dicerminkan oleh nilai HSI dari laju fotosintesis, viabilitas polen, dan jumlah buah tanaman terung mengindikasikan bahwa dari 6 genotipe terung yang diuji genotipe 002, 053, 080 dan 081 termasuk genotipe moderat, sedangkan genotipe 007 dan 069 merupakan genotipe peka terhadap cekaman suhu tinggi (Tabel 12).

Hs1 Hs0

Hs0

(38)

24

Tabel 12. Indeks kepekaan terhadap cekaman (HSI) yang dihitung berdasarkan peubah laju fotosintesis, tinggi tanaman, viabilitas polen, dan bobot buah 6 genotipe terung terhadap cekaman suhu tinggi pada fase pertumbuhan vegetatif dan generatif.

Genotipe Nilai HSI

Laju Fotosintesis Viabilitas Polen Jumlah Buah

007 1.14 (P) 1.37 (P) 1.23 (P)

Keterangan: Pengelompokkan toleransi ke dalam toleran (T) jika HSI<0.5, moderat (M) jika 0.5≤HSI≤1, dan peka (P) terhadap cekaman suhu tinggi jika HSI>1

Pembahasan

Kondisi lingkungan di luar rumah kaca Cikabayan dengan suhu rata-rata harian 25.9 ºC sesuai untuk pertumbuhan dan produksi tanaman terung yang diuji, sedangkan suhu rata-rata harian di dalam rumah kaca yang mencapai 35.2 ºC terlihat sangat mempengaruhi pertumbuhan dan menekan produksi tanaman terung (Tabel 1). Suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman terung berkisar antara 22 ºC sampai 30 ºC. Suhu yang melebihi suhu optimum pertumbuhan tanaman akan berpengaruh terhadap proses-proses fisiologi, seperti fotosintesis, respirasi, kandungan air, dan stabilitas membran (Wahid et al. 2007). Hal tersebut merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi buah terung pada kondisi tercekam suhu tinggi.

Penentuan 6 genotipe terung yang diberi perlakuan cekaman suhu tinggi didasarkan pada hasil percobaan pendahuluan awal dimana terpilih 15 genotipe awal (Tabel 2). Penentuan 15 genotipe yang dipilih untuk percobaan awal dimulai dari fase perkecambahan yang dilihat dari persentase tumbuh dari masing-masing genotipe pada saat penyemaian. Hal ini bertujuan untuk memilih genotip yang mempunyai tingkat persentase tumbuh yang baik sehingga diharapkan pada saat penelitian laju pertumbuhan yang teramati adalah bentuk respon dari perlakuan cekaman suhu tinggi yang diberikan.

Tahapan penapisan akhir dilakukan selama fase vegetatif sampai tanaman berbuah. Hasil analisis data dari peubah seleksi tinggi tanaman, jumlah daun, kandungan klorofil, dan jumlah bunga digunakan untuk mengelompokkan genotipe berdasarkan tingkat toleransinya terhadap cekaman suhu tinggi dan dipilih 6 genotipe yang mewakili 2 genotipe peka, 2 genotipe moderat, dan 2 genotipe toleran (Tabel 3).

(39)

25

pengaruh genotipe dan suhu. Perubahan berupa penurunan hasil pengukuran peubah fisiologi terjadi pada semua genotipe pada kondisi cekaman suhu tinggi. Konduktansi stomata, laju transpirasi, suhu daun, kelembapan sel, kandungan H2O, kandungan klorofil, CO2 interseluler, dan laju fotosintesis pada tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi lapang lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan pada tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi tercekam suhu tinggi.

Pada tanaman yang mengalami cekaman suhu tinggi, secara umum terjadi penutupan stomata. Hal ini ditunjukan untuk membatasi kehilangan air melalui proses transpirasi yang merupakan mekanisme penurunan suhu tubuh tanaman ketika tanaman tercekam suhu tinggi. Kenaikan suhu daun menyebabkan kenaikan laju transpirasi sehingga kelembaban dan kandungan H2O sel daun menurun. Penurunan kandungan H2O pada sel tanaman menginduksi penurunan potensial air yang menimbulkan gangguan terhadap proses fisiologi (Wahid et al. 2007). Enam genotipe yang diuji mengalami penurunan konduktansi stomata, laju transpirasi, kelembapan sel daun, dan kandungan H2O sel daun pada kondisi tercekam suhu tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa 6 genotipe yang diuji belum ada yang toleran terhadap cekaman suhu tinggi jika dilihat dari peubah konduktansi stomata, laju transpirasi, kelembaban sel, dan kandungan H2O sel (Reynolds et al. 1990; Eofoglu & Terzioghu 2009).

Penurunan warna hijau daun yang merupakan cerminan dari kandungan klorofil daun pada kondisi tercekam suhu tinggi adalah indikator yang baik untuk menunjukkan adanya korelasi positif dengan laju fotosintesis tanaman (Lampiran 5). Penurunan kandungan klorofil yang besar pada kondisi tercekam suhu tinggi memberikan pengaruh terhadap nilai laju fotosintesis. Kandungan klorofil yang diukur dipengaruhi oleh perlakuan suhu yang diberikan namun tidak ada perbedaan yang nyata antar genotipe. Secara umum, terdapat penurunan kandungan klorofil akibat cekaman suhu tinggi pada 6 genotipe yang diuji. Suhu tinggi menurunkan kandungan klorofil karena penghambatan sintesis dan aktivitas enzim yang berperan dalam sintesis klorofil (5-aminolevulinic acid dehydratase and porphobilinogen deaminase) oleh suhu tinggi (Tewari & Tripathy 1998).

Kemampuan mempertahankan pertukaran CO2 pada kondisi suhu tinggi memiliki hubungan langsung dengan toleransi terhadap suhu tinggi (Camejo et al.

2005; Rao et al. 2006). Selama fase vegetatif dan regeneratif, suhu tinggi dapat menyebabkan rendahnya afinitas enzim rubisco terhadap CO2 sehingga menurunkan laju asimilasi CO2 yang membatasi peningkatan fotosintesis pada tanaman terung yang ditumbuhkan pada kondisi tercekam suhu tinggi. Kandungan CO2 yang diukur dipengaruhi oleh perlakuan suhu yang diberikan namun tidak ada perbedaan yang nyata antar genotipe. Secara umum, terdapat penurunan kandungan CO2 akibat cekaman suhu tinggi pada 6 genotipe yang diuji (Gambar 10).

(40)

26

inaktivasi enzim (Salvucci & Crafts 2004). Genotipe yang memiliki nilai kandungan klorofil, kandungan CO2 interseluler, dan laju fotosintesis yang lebih tinggi, lebih toleran terhadap cekaman suhu tinggi daripada genotipe dengan nilai laju fotosintesis dan kandungan klorofil yang lebih rendah (Reynolds et al. 1990). Hal ini juga didukung oleh kandungan klorofil dan CO2 interseluler yang tinggi pada kedua genotipe tersebut. Hasil yang sama juga dilaporkan pada tanaman tomat, kentang, dan gandum (Camejo et al. 2005; Aien et al. 2011; Almeselmani

et al. 2012; Handayani et al. 2013a).

Perubahan-perubahan morfologi tanaman terung yang ditumbuhkan di dalam rumah kaca dengan kondisi tercekam suhu tinggi antara lain tanaman lebih pendek dengan tipe tumbuh menjadi lebih tegak, jumlah daun dan jumlah cabang yang lebih sedikit. Perubahan-perubahan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Fageria et al (2005) dan Sato et al. (2006). Pengaruh terbesar suhu tinggi terhadap pertumbuhan tajuk adalah penurunan hasil fotosintat yang mampu menghambat pertumbuhan sehingga menyebabkan tanaman yang ditanam di rumah kaca menjadi lebih pendek dengan jumlah cabang yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan tanaman di luar rumah kaca (Gambar 12). Pengurangan jumlah daun merupakan salah satu mekanisme tanaman menghadapi cekaman suhu tinggi dengan cara menurunkan transpirasi dari daun (Wahid et al. 2007). Suhu tinggi di dalam rumah kaca menyebabkan perubahan antosianin dan penurunan klorofil daun sehingga tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi tercekam suhu tinggi memiliki warna daun yang lebih terang jika dibandingkan dengan tanaman di luar rumah kaca pada kondisi lapang.

Proses fisiologi dan pertumbuhan tanaman terung yang dipengaruhi oleh cekaman suhu tinggi berakibat pada menurunnya komponen produksi pada tanaman terung. Jumlah bunga, viabilitas polen, jumlah buah, panjang buah, dan bobot buah per tanaman secara umum menurun pada kondisi tercekam suhu tinggi. Genotipe yang ditanam pada kondisi tercekam suhu tinggi memiliki jumlah bunga yang lebih sedikit dengan persentase bunga gugur yang tinggi karena tanaman menggunakan hasil fotosintesis untuk menghadapi cekaman suhu tinggi, sehingga hasil fotosintat tidak digunakan untuk perkembangan produksi bunga (Ahmed et al. 1992; Rao et al. 2006). Selain penurunan jumlah bunga, kegagalan perkembangan pollen yang dicerminkan dari nilai duga viabilitas polen oleh peningkatan suhu merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap penurunan jumlah buah pada tanaman (Kakani et al. 2005). Tanaman terung yang ditanam di lokasi rumah kaca dalam kondisi tercekam suhu tinggi memiliki ukuran buah yang lebih kecil dengan kulit buah yang terlihat mengkerut (gambar 14). Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Sato et al. (2006) bahwa dalam kondisi tercekam suhu tinggi metabolisme gula dan transport prolin terhambat selama perkembangan bunga berlangsung sehingga mengganggu pembentukan buah pada tanaman.

(41)

27

Indeks kepekaan terhadap cekaman suhu tinggi banyak digunakan dalam menentukan genotipe yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan tercekam suhu tinggi. Pendekatan yang sama telah digunakan oleh peneliti lain untuk mengidentifikasi toleransi terhadap cekaman suhu tinggi pada tanaman kentang (Handayani et al. 2013b) dan gandum (Altuhaish 2014). Berdasarkan uji korelasi antar peubah menunjukkan laju fotosintesis dan jumlah buah per tanaman berkorelasi dengan semua peubah yang lain. Selain itu, peubah viabilitas polen berkorelasi dengan 11 peubah dari 16 peubah yang diamati (Lampiran 5). Oleh karena itu ketiga peubah digunakan untuk menentukan nilai HSI. Berdasarkan nilai HSI dari laju fotosintesis, viabilitas polen dan jumlah buah per tanaman mengelompokkan genotipe 080 dan 081 sebagai genotipe moderat toleran dengan nilai HSI yang lebih rendah dibandingkan dengan 4 genotipe yang lain (Tabel 12). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa 2 genotipe tersebut mampu beradaptasi lebih baik pada kondisi tercekam suhu tinggi dibandingkan dengan 4 genotipe lain.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Suhu tinggi menurunkan konduktansi stomata, laju transpirasi, kelembaban sel daun, kandungan H2O sel daun, kandungan klorofil daun, kandungan CO2 interseluler daun, dan laju fotosintesis. Suhu tinggi juga menurunkan tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang, sehingga menurunkan jumlah bunga, viabilitas polen, jumlah buah, panjang buah, dan bobot buah per tanaman. Pada kondisi cekaman suhu tinggi, genotipe 080 dan 081 memiliki nilai yang lebih tinggi pada semua peubah fisiologi dan morfologi dibanding dengan genotipe lain. Berdasarkan nilai HSI pada peubah laju fotosintesis, viabilitas polen, dan jumlah per tanaman, kedua genotipe tersebut tergolong genotipe moderat toleran terhadap suhu tinggi.

Saran

(42)

28

DAFTAR PUSTAKA

Aien A, Khetarpal S, Pal M. 2011. Photosynthetic characteristics of potato cultivars grown under high temperature. J Agric Environ Sci. 11:633-39. Ahmed FE, Hall AE, DeMaso DA. 1992. Heat injury during floral development in

cowpea (Vigna unguiculata). Ann. Bot. 79:784-791

Almeselmani M, Deshmukh PS, Chinnusamy V. 2012. Effects of prolonged high temperature stress on respiration, photosynthesis and gene expression in wheat (Triticum aestivum L.) varieties differing in their thermotolerance.

Plant Stress. 6:25-32.

Altuhaish AAF. 2014. The improvement of wheat (Triticum aestivum L.) adaptability to tropical environment by putrescine application [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ashari S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press

[BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). 2015.

Publikasi Data Iklim Indonesia selama 40 tahun terakhir. Jakarta (ID) [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2015.

[Internet]. [diunduh 8 September 2016]. Tersedia pada: http://bps.go.id/ Camejo D, Rodriguez, Morales MA, Dell’Amico JM, Torrecillas A, Alarcon JJ.

2005. High temperature effects on photosynthetic activity of two tomato cultivars with different heat susceptibility. Plant Physiol. 162:281-289 Chen NC, Kalb T, Taleka NS, Wang JF, MA CH. 2002. Cultivation and breeding

of eggplant. Report by Asian Vegetable Research and Development Center. Taiwan. [Internet]. [diunduh 23 Januari 2016]. Tersedia pada: http://www.avrdc.org

Daunay MC, Janik J. 2007. History and iconography of eggplant. J Chro Hortic

47(3): 16-22

Eofoglu B, Terzioglu S. 2009. Photosynthesis response of two wheat varieties to high temperature. J Biosci. 3:97-106

Fageria K, Baligar C, Clark B. 2005. Physiology of Crop Production. New York (USA): Howarth Pr.

Fischer RA, Maurer R. 1978. Drought resistance in spring wheat cultivars. Aust. J Agric. 29:897-912

Frey F, Presterl T, Lecoq P, Orlik A, Stich B. 2016. First steps to understand heat tolerance of temperate maize at adult stage: identification of QTL across multiple environments with connected segregating populations.

J.Plant Breed. 129:945–961

Handayani T, Basunanda P, Murti R, Sofiari E. 2013a. Pengujian stabilitas membrane sel dan kandungan klorofil untuk evaluasi toleransi suhu tinggi pada tanaman kentang. J Horti. 23(4):28-35

Handayani T, Basunanda P, Murti R, Sofiari E. 2013b. Perubahan morfologi dan toleransi tanaman kentang terhadap suhu tinggi. J Horti. 23:318-328

(43)

29

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2013. Climate Change 2013:

Synthesis Report. Contribution of Working Groups to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel of Climate Change. New York (USA): Cambridge Pr.

[IBPGR] International Board for Plant Genetic Resources. 1990. Descriptors for Eggplant.Roma. [Internet]. [diunduh 23 Januari 2016]. Tersedia pada: http://www.ibpgr.org

Kakani VG, Reddy KR, Koti S, Wallace TP, Prasad PVV, Reddy VR, Zhao D. 2005. Differences in in vitro pollen germination and pollen tube growth of cotton cultivars in response to high temperature. Ann. Bot. 96:59-67

Kobayashi A, Bao G, Ye S, Tomita K. 2010. Detection of quantitative trait loci for white-back and basal-white kernels under high temperature stress in

japonica rice varieties. Breed. Science. 7: 107–116.

Kotak, S, Larkindale, J, Lee, U, Do Ring, PvK, Vierling, E, and Sharf. 2007. Complexity of the heat stress response in plants. Plant Biol. 11: 310-316 Koswara E. 2006. Teknik percobaan beberapa jenis pupuk majemuk NPK pada

tanaman tomat. Bul Teknik Pertanian. 11(1): 41-43.

Lim TK. 2013. Edible Medicinal and Non-Medicinal Plants: Eggplant.

Netherlands (NL): Springer

Magioli C, Mansur E. 2005. Eggplant (Solanum melongena L.): Tissue culture, genetic transformation and use as an alternative model plant. Acta. Bot. Bras. 19(1): 139-148.

Morales D, Rodriguez P, Dell’amico J, Nicolas E, Torrecillas A, Sanzhes MJ. 2003. High-temperature preconditions and thermal shock imposition affects water relations, gas exchange and root hydraulic conductivity in tomato.

Biol. Plant. 47:2003-2008

Muller F, Rieu I. 2016. Acclimation to high temperature during pollen development. Plant Reprod. 29: 107-118

Nakamoto H, Hiyama T. 1999. Heat shock proteins and temperature stress. Plant Crop Stress. 28:399-416

Rao M, Raghavendra S, Reddy J. 2006. Physiology and Molecular Biology of Stress Tolerance. Netherlands (NL): Springer

Reynolds MP, Ewing EE, Owens TG. 1990. Photosynthesis at high temperatures in tuber bearing Solanum Species. A comparison between accessions of contrasting heat tolerance. Plant Physiol. 93:791-797

Riduan A, Aswidinoor H, Koswara J, Sudarsono. 2005. Toleransi sejumlah kultivar kacang tanah terhadap cekaman suhu tinggi. Hayati. 12:28-33 Rosielle AA, Hamblin J. 1986. Light temperature and anthocyanin production.

Plant Physiol. 81:922-934

Salvucci ME, Crafts SJ. 2004. Inhibition of photosynthesis by heat stress: the activitionstate of rubisco as a limiting factor in photosynthesis. Plant Physiol. 120:179-186

Sato S, Kamiyama M, Iwata T, Makita N, Furukawa H, Ikeda H. 2006. Moderate increase of mean daily temperature adversely fruit set of Lycopersicum esculantum. Ann. Bot. 97:731-738

Siemonsma JS, Piluek K. 1994. Plant Resourcescof South-East Asia Vegetables.

Gambar

Gambar 1 Bagan alir penelitian respon fisiologi dan morfologi tanaman terung
Tabel 2 Rata-rata total persentase penurunan pada 15 genotipe terung
Gambar 6 Suhu daun tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada kondisi
Gambar 8 Kandungan H2O sel tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi lapang ■
+7

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi cekaman salinitas antara 10002500 ppm menyebabkan penurunan tinggi tanaman, jumlah daun, rata-rata luas daun, kadar klorofil, berat kering total tanaman, berat kering

Peningkatan suhu harian sebesar 1.7 o C pada rataan suhu maksimum 35.0 o C (plot T1) dan 37.6 o C (plot T2) tidak berpengaruh terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuh hayati dan NPK mampu meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, jumlah cabang, bobot kering tanaman, jumlah buah dan

Pengamatan dilakukan terhadap morfologi tanaman (panjang batang, jumlah daun dan jumlah anakan), fisiologi tanaman (aktivitas nitrat reduktase dan produksi bahan kering)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perlakuan dosis pupuk phonska berpengaruh terhadap semua parameter yang diamati yaitu : tinggi tanaman, jumlah daun,

Suhu atau temperatur rendah yang dapat menyebabkan stress atau cekaman pada tanaman dapat dibagi menjadi dua yaitu suhu rendah &lt; 20°C disebut chilling

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pemberian Pupuk Pospat tidak ber- pengaruh nyata terhadap seluruh parameter pengamatan yaitu tinggi tanaman, jumlah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu sebesar 1.7 °C tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun per rumpun, luas daun per rumpun dan