• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Dimentions of Marital Quality: Memahami Konsep, Metode Penelitian, dan Beberapa Kajian Kepustakaan Dalam Sosiologi Keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Dimentions of Marital Quality: Memahami Konsep, Metode Penelitian, dan Beberapa Kajian Kepustakaan Dalam Sosiologi Keluarga"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN DIMENTIONS OF MARITAL QUALITY:

MEMAHAMI KONSEP, METODE PENELITIAN, DAN BEBERAPA KAJIAN KEPUSTAKAAN DALAM SOSIOLOGI KELUARGA

Rizabuana Ismail

Abstract: This article propose various concept of marriage quality measurement, terminology development and the component utilization. Family sociologist use the statistics method with various instrument to examine, analizing and pulling the sample to do the reseach, hence other knowledge and analytical technique use the same method. Finally, this article indicates the marriage quality dimension concept is related to multidimensional aspect such as economic, religius, and gender.

Keywords: marital quality, family, gender

PENDAHULUAN

Konsep Dimensi Kualitas Perkawinan

Walaupun kualitas perkawinan telah dijadikan payung untuk menaungi konsep `perkawinan yang baik’ (good marriage), ternyata ia bukan suatu usaha mudah untuk mendefinisikan istilah ini. Berbagai komponen pengistilahan telah digunakan dan berbagai pengukuran dilakukan terhadap komponen ini, untuk mencari konsep yang sesuai. Namun demikian, pengistilahan komponen kualitas perkawinan yang sering digunakan adalah seperti berikut:

(i). Kebahagiaan Dalam Perkawinan (Marital Happiness). Komponen kualitas perkawinan ini paling banyak dijadikan alat pengukur. Konsep ini merujuk kepada perasaan yang dialami seseorang dalam perkawinannya. Kebahagiaan adalah konsep yang sukar difahami sehingga tidak ada yang dapat menyeimbangkan di antara `perasaan bahagia’ dan `perasaan tidak bahagia’. Kesukaran ini disebabkan karena ia berhubungan dengan emosi yang kompleks di dalam diri seseorang (Termann, 1935).

(ii). Kepuasan Dalam Perkawinan (Marital Satisfaction). Komponen kedua untuk mengukur kualitas perkawinan adalah melalui kepuasan dalam perkawinan yang dialami oleh pasangan suami isteri. Konsep ini merujuk kepada keinginan-keinginan, harapan-harapan, dan hasrat dari masing-masing individu yang bertemu dalam sebuah perkawinan. Komponen ini dinyatakan oleh Bahr (1989) sebagai suatu

penilaian menyeluruh yang bersifat subjektif dari seorang individu.

(iii). Penyesuaian Dalam Perkawinan (Marital Adjustment). Konsep yang digunakan ini bersifat menyeluruh untuk menilai suatu perkawinan. Ia digunakan untuk menilai bagaimana seorang individu memandang pasangannya. Spanier (1976) menyatakan penyesuaian dalam perkawinan harus dilihat dari dua segi yang berlainan. Pertama, sebagai suatu proses dan kedua sebagai cara untuk menilai suatu perkawinan. Kedua-duanya dilihat sebagai suatu kontinum yang bergerak, dimulai dari sisi yang tidak dapat menyesuaikan diri dan diakhiri pada sisi bagaimana seorang individu dapat menyesuaikan diri dengan pasangannya.

(iv). Ketidakstabilan Dalam Perkawinan

(2)

konselor perkawinan tentang cara bercerai atau kemungkinan-kemungkinan untuk menghadapi perceraian.

David Johnson dan rekan-rekan (1986) telah menemukan dua komponen kualitas perkawinan secara signifikan. Pertama, kebahagiaan dalam perkawinan dan interaksi dalam perkawinan; Kedua, ketidaksefahaman dalam perkawinan, persoalan-persoalan yang dihadapi dalam perkawinan dan ketidakstabilan dalam perkawinan. Ia mengingatkan bahwa dengan mengandaikan kebahagiaan dalam perkawinan atau penyesuaian dalam perkawinan sebagai kualitas perkawinan yang bersifat unidimensional dan menyederhanakan kesimpulan dengan satu angka penilaian saja, akan menghasilkan keputusan yang tidak tepat dan menyesatkan tentang kualitas perkawinan. Secara nyata, penyesuaian dan kepuasan dalam perkawinan maupun masalah-masalah dalam perkawinan adalah dua elemen dalam perkawinan yang berlainan. Oleh karena itu, Johnson dan rekan-rekan menyimpulkan bahwa komponen kualitas dalam perkawinan seperti: interaksi dalam perkawinan, persoalan-persoalan dalam perkawinan, ketidaksefahaman dalam perkawinan, dan ketidakstabilan dalam perkawinan adalah konsep yang berbeda dan harus diukur secara berasingan dalam mengkaji kualitas perkawinan.

Beberapa peneliti mengkritik pendekatan multidimensional Johnson dengan mengatakan cara ini akan mengaburkan makna kualitas perkawinan dan hanya dapat digunakan untuk keperluan klinis saja. Namun demikian, pendekatan ini telah menjadi tumpuan kajian yang berkesinambungan mulai dekade 90-an hingga sekarang, untuk melihat berbagai aspek kehidupan keluarga seperti ekonomi keluarga, kesehatan, dan pembangunan.

Konsep perkawinan yang berkualitas dalam kehidupan sebuah keluarga, pada akhir-akhir ini telah mengalami beberapa perubahan (Glen, 1990). Perubahan ini didorong oleh pertimbangan secara metodologikal dan konseptual. Beberapa peneliti, melihat konsep kualitas perkawinan ini dari berbagai aspek. (1) Konsep kualitas perkawinan yang ditentukan sendiri oleh pasangan yang menikah itu. Mereka menilai sendiri bagaimana perasaan yang dialami dalam perkawinannya. Perasaan bahagia (happiness) dan kepuasan (satisfaction) dari

perkawinannya akan mempengaruhi pandangan terhadap konsep ini. (2) Menentukan kualitas suatu perkawinan dengan memasukkan ke dalam berbagai karekteristik dari hubungan-hubungan dalam perkawinan itu sebagai definisi. Antara lain, mereka menentukannya dengan mengukur tingkat keseringan terjadinya ketidaksesuaian antara pasangan suami isteri, bagaimana hubungan interaksi di antara pasangan ini dan jumlah terjadinya ketidaksefahaman pada kedua-dua pasangan, jumlah dan kualitas dari ketidaksefahaman antara suami dengan isteri dan bagaimana penyesuaian yang harus dilakukan dalam perkawinan mereka; (3) Memasukkan metode pengukuran yang bersifat multidimensional untuk mengukur kualitas perkawinan sebuah keluarga (Spanier, 1976). Kualitas perkawinan haruslah ditentukan dengan menilai secara individu dari pasangan masing-masing dan menilai hubungan-hubungan dari berbagai elemen. Metode pengukuran ini muncul dari kritikan terhadap latar belakang metodologikal dan konseptual yang digunakan. Secara konseptual, ia menggabungkan berbagai elemen untuk mengetahui apakah elemen itu mempengaruhi ataupun saling mempengaruhi antara elemen. Sebagai contoh, untuk menentukan kebahagiaan dalam suatu perkawinan peranan elemen lainnya yang sangat mempengaruhi harus diperhitungkan, seperti: jumlah frekwensi pertengkaran; (4) kualitas perkawinan yang berbeda bagi setiap pasangan berdasarkan lama perkawinan dan bergantung kepada gender (Johnson, White, Edwards & Booth, 1986).

(3)

intensitasnya; (4) Dimensi masalah-masalah yang muncul di dalam perkawinan (marital problems) yang disebabkan oleh tingkah laku dari setiap pasangan dan (5) Dimensi kecenderungan untuk bercerai (divorce proneness). Kelima konsep dimensi kualitas dalam perkawinan yang selalu digunakan para peneliti adalah:

1. Dimensi Kebahagiaan dalam Perkawinan (Marital Happiness).

Dimensi ini digunakan untuk menentukan tingkat kepuasan seorang individu dalam perkawinannya. Kebahagiaan suatu perkawinan bagi seorang individu berbeda dengan individu lain. Oleh karena dimensi ini lebih bersifat subjektif, komponen yang diguna untuk mengukur tingkat kepuasan dan kebahagiaan perkawinan dari seorang individu dibatasi kepada beberapa perspektif berikut:

a. Perasaan bahagia yang bersifat umum

tentang perkawinannya.

Tingkat kebahagiaan ini hanya diketahui dan dirasai oleh individu tersebut saja. Kebahagiaan dalam perkawinan ini hanya diperoleh individu apabila dibandingkan dengan kebahagiaan perkawinan yang dirasainya pada tiga tahun yang lalu. Kebahagiaan dalam perkawinan ini juga diukur dari kekuatan cinta dan kasih sayang terhadap pasangannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan dalam perkawinan (marital happiness), selalunya berhubungan dengan kepuasan dalam perkawinan (marital satisfaction). Walau bagaimanapun, determinan terpenting untuk menentukan kualitas suatu hubungan perkawinan seseorang adalah kepuasan dan kebahagiaan dari pasangan tersebut (Rogers dan White, 1998:293-308). Untuk itu, pengukuran yang digunakan untuk melihat kebahagiaan dari pasangan ini antara lain adalah komitmen terhadap peranan masing-masing suami dan isteri, persetujuan kepada perubahan peranan yang dilakukan oleh salah satu pasangan tetapi disetujui oleh pasangannya dan penyesuaian terhadap perubahan suasana di sekitarnya dan peranan pasangan masing-masing.

b. Perasaan berbahagia terhadap aspek yang bersifat spesifik dari hubungan suami isteri Selain diukur dengan kepuasan yang bersifat umum, pengukur tambahan digunakan untuk

memahami kebahagiaan setiap pasangan. Item yang digunakan pada komponen yang bersifat spesifik, antara lain hal-hal dalam mencapai kesefahaman bersama, timbulnya perasaan cinta dan kasih sayang, berusaha mencari kesamaan terhadap sesuatu hal yang berbeda, kepuasan dalam hubungan seksual dengan pasangannya, kesetiaan terhadap pasangan dan melakukan sesuatu untuk melayani pasangannya.

2. Dimensi Interaksi dalam Perkawinan

(Marital Interaction).

Bentuk interaksi yang berlaku antara pasangan suami dan isteri pada dimensi ini, terbatas pada kerjasama antara keduanya dalam kehidupan seharian. Interaksi yang dilakukan menunjukkan wujudnya `komunikasi’ terbuka di antara pasangan suami isteri, ada tanggung jawab untuk terus `menjaga’ kebersamaan mereka, menjaga keseimbangan untuk saling bergantung dengan pasangan, kesetaraan terhadap kemampuan bersama dan menghargai pasangan (Bidwell, 1999:259). Kebersamaan dalam keseharian ini diwujudkan pada lima item yaitu makan bersama, berbelanja bersama, mengunjungi teman ataupun sanak saudara bersama, mengerjakan pekerjaan rumah di dalam ataupun di luar rumah secara bersama, dan pergi berjalan-jalan ataupun pergi berlibur bersama. Dengan kata lain, interaksi diwujudkan dalam aktivitas bersama seharian pada pasangan suami isteri.

3. Dimensi Ketidaksefahaman dalam Perkawinan (Marital Disagreement)

Dimensi ini digunakan untuk melihat ketidaksefahaman dan ketidaksesuaian di antara pasangan suami isteri terhadap berbagai kesepakatan yng telah mereka nyatakan pada awal perkawinannya. Ada ketidaksesuaian terhadap tujuan masing-masing pasangan secara individu ataupun menghadapi berbagai persoalan lainnya yang membuat mereka tidak bersepakat. Pengukuran dilakukan bukan terhadap sumber ketidaksesuaian atau ketidaksefahaman tersebut, melainkan dengan melihat apa yang dilakukan akibat ketidaksesuaian ataupun ketidaksefahaman di antara mereka itu.

(4)

Pertama, melalui pertanyaan yang berhubungan dengan tingkah laku salah satu pasangan terhadap pasangannya, seperti frekwensi berbantahan terhadap apa yang dikerjakan oleh pasangannya ketika bersama-sama melakukan pekerjaan di dalam rumah. Cara lainnya adalah menghitung frekwensi pertengkaran yang terjadi dan mengukur sampai seberapa jauh tindakan dilakukan dari seorang pasangan terhadap pasangan lainnya, seperti: berteriak-teriak ataupun berbicara keras terhadap pasangannya, frekwensi ketidaksesuaian dengan segala perbuatan pasangannya ataupun ketidaksesuaian ini dilanjutkan dengan melakukan tamparan, pukulan, ataupun tendangan terhadap pasangan.

4. Dimensi Masalah dalam Perkawinan (Marital Problems).

Dimensi ini digunakan untuk melihat kemampuan pasangan suami isteri mengatasi berbagai masalah dalam perkawinannya. Masalah yang dihadapi oleh pasangan ini terbentuk disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

a. Berdasarkan ciri pembawaan seorang individu maupun disebabkan oleh tingkah laku ataupun perbuatan dari masing-masing pasangannya. Komponen dimensi masalah dalam perkawinan yang pertama: sikap mudah marah dari salah satu pasangan, mempunyai perasaan sensitif dan mudah tersinggung, terlalu mudah cemburu, tertutup dan tidak ingin bertegur sapa dengan orang lain.

b. Terjadinya kecurangan ataupun ketidaksetiaan di antara pasangan suami isteri Penyelewengan yang terjadi ini, sama ada dalam bentuk hubungan seksual dengan orang lain yang bukan pasangannya yang sah, ataupun memiliki hubungan percintaan dengan orang lain.

c. Persoalan salah satu pasangan ataupun keduanya selalu berada di luar rumah sehingga tidak mempunyai masa yang cukup untuk berinteraksi dengan keluarga juga merupakan komponen pada dimensi ini. Persoalan masalah keuangan rumahtangga sehingga ada pasangan yang dianggap lebih boros dalam penggunaan uang, tidak terbuka dalam penggunaan uang untuk keluarga, ada pasangan yang terlibat dengan perjudian, peminum alkohol, penggunaan narkoba, terlibat dengan tindakan kriminal dan pelanggaran hukum.

Persoalan-persoalan ini menyebabkan rendahnya kualitas perkawinan sebuah keluarga, yang selalunya ditandai dengan pertengkaran dan ketidakharmonisan di antara pasangan suami isteri.

5. Dimensi Kecenderungan untuk Bercerai (Divorce Pronenes).

Konsep ini ditandai dengan bentuk kecenderungan yang dimiliki oleh salah seorang dari pasangan suami isteri sebagai suatu sikap, jalan keluar ataupun pengambilan keputusan terakhir yaitu bercerai dengan pasangannya. Bentuk kecenderungan untuk bercerai ini termasuk di dalamnya komponen kognitif dan komponen tindakan. Pada komponen kognitif, bentuk kecenderungan tersebut, adalah:

a. Apabila salah satu pasangan suami isteri mempunyai fikiran bahwa perkawinan itu hanyalah tempat mencari berbagai masalah, baik masalah dalam keluarga, anak-anak, rumahtangga, keuangan, mengurangi kebebasan dan keterbatasan untuk menikmati kehidupan di luar rumahtangga.

b. Apabila salah satu pasangan suami isteri mempunyai pikiran bahwa jalan keluar dari masalah perkawinan itu adalah perceraian. Artinya, jika terjadi pertengkaran ataupun ketidaksesuaian di antara pasangan suami isteri disebabkan suatu permasalahan dalam perkawinan, tidak dapat diselesaikan atau menghadapi masalah keluarga yang rumit, jalan keluar tercepat yang diputuskan adalah memilih untuk bercerai.

Sedangkan komponen tindakan (action) yang termasuk dalam dimensi ini adalah:

a. Apabila salah satu pasangan suami isteri ini telah menyatakan kepada teman terdekatnya, saudaranya bahkan kepada pasangannya tentang keinginannya untuk bercerai. Ucapan ataupun perkataan tersebut dinyatakan sebagai suatu bentuk jalan keluar ataupun mengakhiri perbedaan dan ketidaksefahaman di antara pasangan suami isteri itu.

(5)

Dimensi ini disebut juga dengan bentuk perkawinan yang tidak stabil. Puncak dari ketidakstabilan dalam perkawinan adalah jika responden telah berada pada tahap melakukan tindakan seperti memasukkan surat tuntutan bercerai ke pengadilan agama.

Metode Penelitian Mengenai Dimensi Kualitas Perkawinan

Metode penelitian mengenai kualitas perkawinan dan stabilitas keluarga yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, merangkumi perbincangan tentang besarnya jumlah sampel, ciri-ciri, pengukuran, variabel, dan metode analisis yang sering digunakan telah dibincangkan oleh Lewis dan Spanier (1980) serta Karney dan Bradburry (1995). Mereka mengemukakan beberapa tradisi yang biasa digunakan dalam penelitian tersebut, antara lain: 1. Pada dekade awal, kajian lebih banyak

melihat respons dari kaum wanita (isteri) berbanding kaum pria (suami) terhadap kehidupan mereka. Namun, pada akhirnya unit analisis yang dilakukan adalah kepada kedua-dua pasangan dan lebih ditekankan kepada interaksi antara suami dan isteri serta ciri-ciri dari hubungan tersebut. Wawancara dan teknik observasi untuk pengumpulan data dilakukan terhadap pasangan yang menikah.

2. Pengukuran kualitas perkawinan dijadikan sebagai isu metodologi. Fokus perhatian ditumpukan kepada elemen realibiliti, validiti, respon dan alat ukur terhadap isu yang dibahas.

3. Dari 115 kajian yang pernah dilakukan mengenai kualitas perkawinan sebuah keluarga, besarnya sampel yang digunakan di antara 16 hingga 5,083 responden. Kebanyakan pengkaji menggunakan jumlah sampel yang kecil: 33 persen peneliti hanya menggunakan sampel di bawah 100 responden, 20 persen yang lain menggunakan 100-200 responden. Enam belas persen daripada 115 kajian menggunakan 200-500 responden dan selebihnya 30 persen menggunakan lebih dari 500 responden. Besar ataupun kecilnya ukuran sampel yang digunakan oleh peneliti, selalu mempertimbangkan variabel yang hendak diuji dan metode penelitian yang hendak digunakan. Ukuran sampel dalam jumlah besar lazimnya digunakan untuk menguji

variabel secara demografis. Manakala tentang tingkah laku dari salah satu pasangan diuji dengan ukuran sampel yang kecil dan menggunakan metode observasi. Selain itu, penggunaan ukuran sampel yang besar sering dilakukan pada penelitian dekade 70-an berbanding dekade 60-an yang lebih banyak menggunakan ukuran sampel kecil.

4. Pada suatu ketika, peneliti kualitas

perkawinan lebih tertarik membahas tema tentang `kehidupan bersama layaknya suami isteri’ sebagai bagian dari struktur perkawinan. Pembahasan yang dilakukan mengutarakan isu hubungan perkawinan berkualitas yang bertolak belakang, yaitu antara suami isteri yang kawin secara sah dengan hubungan lelaki dan wanita yang hidup bersama tanpa perkawinan tetapi berkualitas. Namun demikian, perbincangan secara teori dan metodologi dimulai dengan melihat kedua-duanya sebagai hubungan yang bertentangan dengan konteks hubungan perkawinan yang wajar dilakukan.

5. Kajian lebih banyak menggunakan statistik multivariat untuk menganalisa data perkawinan yang berkualitas dan bentuk penyelidikan mengaplikasikan metode secara `cross-sectional’ dan longitudinal. Masalah kekurangan atau kelebihan teknik analisa yang digunakan, didapati 37 kajian terhadap kualitas perkawinan menggunakan teknik korelasi, 16 kajian menggunakan teknik ujian-t dan 28 kajian menggunakan analisis varians (Anova). 37 kajian menggunakan teknik regresi berganda dan 30 kajian menggunakan `Structural Equation Modelling’ atau (SEM). 7 kajian lagi menggunakan kaedah statistik yang tidak tepat seperti jadwal kontigensi atau korelasi dengan kelompok yang lebih ekstrim

6. Kajian dalam tahun 1970-an, telah

memperbaiki kesilapan masa lalu terutamanya mengenai peranan lelaki dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan berusaha membentuk `body of literature’ dari konsep kualitas perkawinan yang belum pernah diteliti sebelumnya.

(6)

umumnya, kajian perkawinan berkualitas sering menggunakan variabel terikat, namun kajian ini turut mempertimbangkan kedinamikaan perkawinan sebagai suatu hal yang dipengaruhi oleh berbagai masalah yang kompleks.

8. Pada dekade ini, kajian mengenai keluarga mulai dikembangkan dan diteruskan dengan kajian-kajian perbandingan kekeluargaan di tingkat internasional, tidak terbatas di kawasan Amerika saja dan dikaji secara lintas-budaya.

Perkembangan terhadap instrumen yang digunakan dalam penyelidikan tentang kualitas perkawinan pasangan suami isteri terus berubah mengikut perkembangan masa (Bidwell dan Brenda, 2000:301). Walaupun kajian ini berkembang semenjak 1929, instrumen yang banyak digunakan pada awalnya adalah instrumen Short Marital Adjustment Test (SMAT) oleh Locke dan Wallace (1959). Ini diikuti oleh instrumen Dyadic Adjustment Scale (DAS) oleh Spanier (1976). Metode pengukuran yang digunakan Spanier lebih menekankan kepada pendekatan psikologi dan latar belakang kehidupan sosial pasangan itu sendiri. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui komponen-komponen kualitas perkawinan dan masalah-masalah yang timbul pada hubungan di antara pasangan suami isteri.

Manakala metode pengukuran yang dikemukakan oleh Locke dan Wallace lebih menekankan kepada latar belakang dan berbagai faktor lainnya ketika masa anak-anak pada pasangan yang mempengaruhi kedinamikaan hubungan kedua-duanya. Mereka telah memperkenalkan lima belas item untuk mengukur kualitas perkawinan dengan menggunakan SMAT. Secara ringkas, SMAT mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: masa ketika mereka berkenalan, latar-belakang ketika masih kanak-kanak yaitu keadaan yang berhubungan dengan kebiasaan menjalankan aktivitas keagamaan dalam keluarga, keadaan kedua orangtua ketika tinggal bersama di suatu tempat, tingkat konflik yang terjadi pada ibu bapak mereka, tingkat kebahagiaan yang dirasai anak-anak ketika bersama-sama orangtuanya, dan hal-hal yang diizinkan atau dilarang oleh orangtuanya. Instrumen ini diajukan kepada 281 pasangan yang menikah dengan tumpuan

pertanyaan tentang keadaan perkawinan secara luas (Freestone dan Plekcharty, 1997).

Sedangkan metode pengukuran DAS yang sering disebut sebagai `a mainstay in both marital functioning literature and couple treatment literature’ (Hunsley, 1995:236), tidak hanya digunakan pada pasangan yang menikah saja, malahan juga kepada pasangan-pasangan lainnya. Peneliti dapat menilai dan mengetahui tingkat hubungan yang wujud di antara setiap pasangan yang menikah. Peneliti juga dapat mengukur seberapa jauh perasaan dan hubungan individu pada saat itu terhadap pasangannya setelah membandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Metode ini berfungsi untuk mengetahui bagaimana responden memahami pasangan dan komitmen terhadap pasangannya. DAS lebih dimaksudkan sebagai satu cara penyesuaian dan pemahaman di antara pasangan suami isteri.

(7)

Beberapa Kajian Kepustakaan mengenai Dimensi Kualitas Perkawinan

Fokus kajian di bawah ini adalah kepada dimensi perkawinan berkualitas (dimentions of marital quality) sebagai bagian dari perkawinan berkualitas (marital quality). Para pakar telah menyorotinya dari berbagai aspek multidimensi dan peristilahan. Di antaranya menyoroti impak hubungan kekeluargaan di antara suami dan isteri yang dipengaruhi oleh aspek ekonomi, keagamaan dan gender. Beberapa pendapat telah dikemukakan antara lain:

Pengaruh Ekonomi terhadap Perilaku Suami-Isteri

Pengaruh aspek ekonomi terhadap keluarga yang membahas hubungan diantara suami isteri apabila berhadapan dengan kesulitan ekonomi dan apabila terjadi tekanan terhadap ekonomi rumahtangga, telah dilakukan oleh Conger, Elder, Lorenz, Simons, Whitbeck, Huck, dan Melby (1990). Mereka mengukur hubungan perkawinan berkualitas diantara pasangan suami isteri dengan tingkat perasaan kepuasan dan kebahagiaan yang diperolehi apabila menghadapi krisis ekonomi yang sulit. Kajian awal menyebutkan bahwa kesulitan ekonomi dalam keluarga menimbulkan berbagai risiko, di antaranya ialah terputusnya hubungan sebuah perkawinan, keluarga yang berpecah belah, terjadinya kekasaran fisik pada anggota keluarga dan anak-anak yang diabaikan. Namun demikian, kajian yang melihat dimensi interaksi diantara pasangan suami isteri yang sedang menghadapi krisis ekonomi, menemukan bahwa ketegangan ekonomi yang menyebabkan penambahan pertentangan dan mengurangi kemesraan hubungan suami isteri hanya didapati pada suami. Pada pihak isteri, ketegangan ekonomi tidak memberi dampak pada perasaannya yang berhubungan dengan perkawinannya. Secara tidak langsung, situasi ini memberi dampak kepada kualitas perkawinan yang disebabkan oleh tingkah laku suami.

Lorenz, Conger, Simons, Whitbeck, dan Elder (1991) juga melakukan kajian yang sama yaitu pengaruh ekonomi pada salah satu dimensi kualitas perkawinan. Perbedaannya hanya terletak kepada model yang digunakan dan metode pensampelannya. Mereka menggunakan item dimensi kualitas perkawinan yang sama. Model yang digunakan adalah untuk melihat kemesraan dan pertengkaran pada pasangan

suami isteri dengan menggunakan dimensi interaksi dalam perkawinan. Keadaan ini dilihat ketika wujud kesulitan ekonomi dan tekanan ekonomi (economic pressure) pada keluarga sehingga mempengaruhi kualitas dan ketidakstabilan dalam perkawinan. Sedangkan cara pengambilan sampel dilakukan dengan `metode varians’ yaitu masing-masing suami dan isteri menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaaan dari kuesioner yang diberikan tentang sikap dan tingkah laku pasangannya. Metode observasi secara eksternal dilakukan juga melalui pita video terutama mengenai kemesraan dan pertengkaran di antara pasangan tersebut. Konsep tekanan secara ekonomi yang digunakan merujuk secara emosi, kognitif dan maklum balas melalui tingkah laku anggota keluarga berdasarkan kesulitan memenuhi keperluan kehidupan sehari-hari dengan sumber keuangan keluarga yang dimiliki.

Selain itu juga Huggies, Galinsky, dan Morris (1992) mengemukakan dua dimensi dari kualitas perkawinan pada para karyawan perusahaan yaitu dimensi tekanan dan dimensi persahabatan. Walaupun menggunakan istilah berbeda, dimensi tekanan yang dimaksudkan adalah sebagai dimensi ketidaksefahaman dalam perkawinan. Dimensi ini digunakan untuk mengetahui berbagai aktivitas suami dan isteri yang dilakukan bersama-sama dan topik-topik yang biasa dibincangkan sehingga terjadi ketidaksefahaman dalam perkawinan pada tiga bulan terakhir ini. Demikian juga dengan dimensi persahabatan, digunakan untuk melihat hal-hal positif dalam hubungan tingkahlaku perkawinan (marital behavior) suami dan isteri, seperti percaya kepada pasangan, tertawa bersama atau merasakan kegembiraan dalam tiga bulan terakhir ini. Kedua dimensi ini dilihat dalam hubungannya dengan ciri-ciri pekerjaan suami atau isteri dan gangguan-gangguan yang dihadapi di antara kepentingan pekerjaan dengan kepentingan keluarga.

Karekteristik pekerjaan (job

(8)

kerja yang tidak tetap. Sedangkan ciri-ciri kerja secara psikososial adalah berdasarkan kepada hal-hal yang menentukan isi dan proses kerja yang harus dilakukan. Meliputi penentuan individu dalam pembuatan keputusan, kemampuan melaksanakan keputusan yang diambil, beban kerja secara psikologis, suasana kerja yang tidak nyaman, kemampuan supervisor dalam membagi pekerjaan dan perhatian supervisor memperhatikan keperluan-keperluan keluarga bawahannya.

Istilah gangguan dalam hubungan kerja dengan keluarga (work-family interference) menunjukkan terdapat banyak hal yang menjadi titik persinggungan antara pekerjaan dengan kehidupan berkeluarga seorang pekerja. Titik ini menjadikan penyebab kewujudan tekanan (tension) pada diri karyawan dan keluarganya. Ada dua bentuk gangguan yaitu gangguan secara struktur dan gangguan secara psikologi. Gangguan secara strutural (structural interference), dapat dijelaskan sebagai satu bentuk perluasan dari satu peran yang dilakukan baik oleh karena tuntutan pekerjaan, keluarga maupun keadaan organisasi yang sukar diurus. Dua aspek yang perlu dibahas dari bentuk gangguan ini yaitu kesukaran untuk berperan dalam keluarga dan juga kesukaran berperan dalam pekerjaan. Manakala gangguan secara psikologi adalah perubahan mood dari yang bersifat positif menjadi mood yang bersifat negatif. Misalnya, mood untuk bekerja telah bertukar menjadi mood untuk memikirkan keluarga. Dengan kata lain, kita lebih memperhatikan kemampuan interpersonal karyawan daripada memperhatikan anggota keluarganya atau lebih memperhatikan mood karyawan dengan menimbang keadaan rumahtangganya.

Selain itu, Rogers dan Amato (1997) telah menggunakan kelima aspek dimensi kualitas perkawinan untuk melihat pengaruh perubahan ekonomi dan perubahan sosial yang terjadi pada dua generasi. Perubahan itu adalah penurunan tingkat kualitas perkawinan pada generasi yang kawin pada tahun 1969-1980 dan generasi yang kawin pada tahun 1981-1992. Perubahan pada dua generasi ini diukur melalui dua variabel yaitu latar belakang pendidikan responden dan umur ketika mula menikah. Sedangkan indikator yang digunakan untuk melihat perubahan itu adalah: sumber ekonomi keluarga, pekerjaan dan kehadiran anak dalam rumahtangga, sikap dan peranan gender secara tradisional, hubungan suami isteri sebelum

menikah serta komitmen untuk mempertahankan perkawinan.

Penggunaan data sampel probabilitas secara nasional menunjukkan penurunan kualitas perkawinan pada tiga dari lima dimensi kualitas perkawinan pada kelompok generasi yang lebih muda berbanding dengan kelompok generasi yang lebih berusia. Perubahan itu dilihat pada item interaksi dalam perkawinan yang menurun, item konflik dalam perkawinan yang semakin meningkat dan item masalah-masalah dalam perkawinan yang juga menunjukkan peningkatan. Walaupun demikian, pada kelompok generasi yang lebih muda tidak terjadi penurunan yang signifikan pada item kebahagiaan dalam perkawinan dan kecenderungan untuk bercerai.

Ketaatan Beribadat dan Pengaruhnya terhadap Kualitas Perkawinan

(9)

Namun di sisi lainnya, peningkatan kualitas perkawinan pada dimensi kebahagiaan dalam perkawinan (marital happiness) hanya berpengaruh terhadap dua dari lima indikator pasangan yang religius yaitu hanya berpengaruh terhadap kehadiran di tempat ibadah dan berpengaruh terhadap kehidupan seharian. Demikian juga pada peningkatan dimensi interaksi dalam perkawinan, hanya berpengaruh terhadap kehadiran ke tempat ibadah. Walaupun demikian, perubahan tingkat religius salah satu pasangan terhadap kualitas perkawinannya sama-sama berpengaruh di antara lelaki dan perempuan.

Gender dan Hubungannya dengan Kualitas Perkawinan

Kajian aspek gender yang dilakukan umumnya membahas bagaimana pengaruh hubungan kekeluargaan apabila seorang isteri bekerja, berpendapatan lebih tinggi dari suami dan pembahagiaan kerja dalam rumah tangga.Dengan menggunakan kelima-lima dimensi kualitas perkawinan seperti di atas, Amato dan Booth (1995) coba melihat perubahan sikap terhadap peranan gender dari pasangan suami dan isteri. Perubahan sikap ini dilihat melalui survei secara longitudinal yaitu dengan membagikan kepada sikap secara tradisional dan sikap secara tidak-tradisional dari sesebuah keluarga. Sikap tradisional ini digambarkan dengan terjadinya pembagian secara dikotomis di antara suami sebagai satu-satunya kepala keluarga pencari nafkah dengan isteri sebagai suri rumah tangga sepenuh masa yang tidak menghasilkan pendapatan, tetapi menunjukkan dampak akibat perbedaan peranan ini. Sedangkan sikap tidak-tradisional digambarkan sebagai sebuah keluarga di mana suami dan isteri telah mempunyai peranan bersama dan hubungan kedua-duanya bersifat egalitarian.

Kesimpulan kajiannya ini adalah kualitas perkawinan yang semakin menurun akan dihadapi oleh para isteri yang masih mempunyai sikap tradisional dalam keluarga. Mereka merasa kurang bahagia dalam perkawinan karena sering menghadapi berbagai masalah. Bagi suami yang mengamalkan sedikit sikap tradisional dalam rumahtangganya, akan merasa kualitas perkawinannya semakin bertambah baik dan hanya sedikit masalah yang dialami. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai perkawinan berkualitas itu para isteri lebih

berkeinginan untuk bersikap tidak-tradisional dalam menguruskan kehidupan rumah tangganya dan para suami pula lebih berkeinginan mempunyai sikap tradisional dibandingkan pasangannya. Walaupun demikian, untuk mengurangi ketegangan antara keduanya dan mengurangi konflik yang lebih nyata, disarankan agar lebih banyak kaum lelaki yang mendukung untuk berkongsi peran (role sharing) dan melakukan kesamaan darjat secara gender (gender equality) dengan pasangannya.

Manakala, Rogers (1996) dalam kajiannya terhadap isteri-isteri yang bekerja telah melihat perkawinan berkualitas mereka dengan menggunakan dua item dari demensi kualitas perkawinan yaitu dimensi kebahagiaan dalam perkawinan (marital happiness) dan dimensi konflik dalam perkawinan (marital conflict). Kedua dimensi tersebut digunakan kepada para isteri yang bekerja dan memiliki anak-anak. Mereka ini dikategorikan sebagai keluarga yang isterinya bekerja dan perkawinannya dilalui tanpa pernah bercerai, dan kategori keluarga yang isterinya bekerja tetapi telah menikah lagi setelah bercerai. Ia menggunakan dua jenis keluarga ini untuk melihat hubungan di antara isteri yang bekerja, kualitas perkawinan dan ukuran keluarga.

Pada keluarga pertama, beliau mendapati bahwa hubungan korelasi di antara isteri yang bekerja dengan kedua-dua dimensi kualitas perkawinan tersebut adalah sangat lemah, tidak signifikan dan konsisten dengan perspektif pertentangan peranan. Bagi para isteri yang bekerja paruh waktu, umumnya hanya mengalami sedikit kebahagiaan dalam perkawinan dan lebih banyak mengalami konflik dalam perkawinan. Biasanya, disebabkan pengaruh tuntutan keluarga dan anak-anak yang semakin bertambah. Hasil kajian ini dilihat sejalan dengan hasil kajian terdahulu (Hill,1988; Voydanoff, 1988) yang menyebutkan bahwa pada keluarga yang mempunyai pendapatan ganda di mana isterinya bekerja akan berhadapan dengan berbagai pertentangan peran (role strain).

(10)

masa biasanya mengalami kebahagiaan perkawinan yang rendah dan mengalami konflik dalam perkawinan yang tinggi. Sebaliknya, dalam keluarga yang lebih besar dengan jumlah anak tiga hingga empat orang, isteri-isteri yang bekerja sepenuh masa ternyata mengalami kebahagiaan perkawinan yang lebih tinggi dan konflik dalam perkawinan yang lebih sedikit. Ini dapat difahami, apabila (1) anak mempunyai nilai sebagai sumber ekonomi, dapat membantu kerja, meringankan beban ekonomi keluarga dan menambah kualitas perkawinan dalam keluarga. dan (2) Isteri-isteri bekerja yang membawa anak dalam perkawinannya kembali, telah dapat menunjukkan bahwa ia telah ikut memberi sumbangan yang positif dalam perkawinannya. Dengan demikian, ia dapat memberi rasa tanggungjawab dan bersama-sama untuk membina keluarga.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Amato, Paul R., and Booth Alan. Changes in Gender Role Attitude and Perceived Marital Quality. American Sosiological Review, Vol 60, 1995: 58-66.

Amato, Paul R., David Johnson, Alan Booth, and Stacy J Rogers. Continuity and Change in Marital Quality between 1980 and 2000. Journal of Marriage and the Family, (65) 2003: 1-22.

Booth, Alan, David R. Johnson, Ann Branaman and Alan Sica. Belief and Behavior: Does Religion Matter in Today`s Marriage?. Journal of Marriage and the Family, 57 (1995): 661-671.

Burr, Wesley R. (ed.). Contemporary Theories About The Family, Research Based Theories. New York: The Free Press, 1979.

Conger, Rand D., Glen H. Elder, Frederick O. Lorenz, Katherine J. Conger, Ronald L. Simons, Les B. Whitbeck, Shirley Huck and Janet. N Melby. Linking Economic Hardship to Marital Quality and Instability. Journal of Marriage and the Family, (52)1990: 643-656.

Dush Claire M Kamp, Catherine L Cohan and Paul R Amato. The Relationship Between Cohabitation and Marital Quality and Stability: Change Across Cohorts?. Journal of Marriage and the Family, (65) 2003: 539-549.

Glen, Norval D and Michael Supancic. The Social and Demographic Correlates of Divorce and Separation in The United States: An Updated and Reconsideration. Journal of Marriage and the Family, (46) 1984: 563-575.

Helms Heather M, Ann C. Crouter and Susan M. Mchale. Marital Quality and Spouse’ Marriage Work With Close Friends and Each Other. Journal of Marriage and the Family, (65) 2003: 963-977.

Hoffman, S. and Holmes, J. Husband, Wives and Divorce, dalam G.J. Duncan & J.N Morgan (eds.), Five Thousand American Families-Patterns of Economic Progress, Vol. 4. Ann Arbor: Institute for Social Research, University Michigan, 1976.

Hughes Diane, Ellen Galinsky, and Anne Morris. The Effect of Job Characteristics on Marital Quality: Specifying Linking Mechanisms. Journal of Marriage and the Family, 54 (1992): 31-42.

Johnson, David R., and Booth Alan. Marital Quality: A Product of the Dyadic Environment or Individual Factors?. Social Forces, Vol 76:3, March 1998: 883-904.

Johnson, David R.,Teodora O. Amoloza, Alan Booth. Stability and Development Change in Marital Quality: A Three Wave Panel Analysis. Journal of Marriage and The Family, 54 (1992): 582-594.

Johnson, David R., Lynn K. White, John N. Edwards, and Alan Booth. Dimensions of Marital Quality, Towards Methodological and Conceptual Refinement. Journal of Family Issues, Vol 7:1, March 1986: 31-49.

(12)

Karney, Benyamin R and Bradbury Thomas,N. The Longitudinal Course of Marital Quality and Stability: A Review of Theory, Method and Research. Psychologcal Bulletin, Vol 118 (1), 1995:3-34.

Kiecolt K. Jill. Satisfaction With Work and Family Life: No Evidence of a Cultural Reversal. Journal of Marriage and the Family, (65) 2003: 23-35.

Lavee Yoav and Ruth Katz. Division of labor, Perceived Fairness, and Marital Quality: The Effect of Gender Ideology. Journal of Marriage and the Family, Vol 64, (February 2002): 27-39.

Lewis, R.A and G.B. Spanier. Theorizing About The Quality and Stability of Marriage, dalam W.R. Burr et.al. (eds) Contemporary Theories about the family, Vol. 1. New York: The Free Press, 1979.

Lewis, R.A and G.B. Spanier. Marital quality, Marital Stability and Social Change dalam Nye F. Ivan (ed.) Family Relationship, reward and Costs. London: Sage Publ., 1982

Locke, Harvey and Karl Wallace. Short Marital Adjustment and Prediction Tests: Their Reliability and Validity. Marriage and Family Living 21 (August, 1959):251-255.

Lorenz, Frederick O, Rand D. Conger, Ronald L. Simons, Les Whitbeck and Glen H. Elder Jr. Economic Pressure and Marital Quality: An Illustration of the Method Variance Problem in the Causal Modeling of Family Processe. Journal of Marriage and the Family, 53 (1991): 375 - 388.

Rogers Stacy J., Mothers` Work Hours and Marital Quality: Variations by Family Structure and Family Size. Journal of Marriage and the Family 58 (1996): 606-617.

Rogers Stacy J., and Paul R. Amato. Is Marital Quality Declining? the Evidance from Two Generation. Social Forces, Vol 75 (3), March 1997: 1089-1100.

Settles Barbara. The Illusion of Stability in Family Life: The Reality of Change and Mobility. Marriage & Family Review, 19 (1993): 5-29.

Sussman, Marvin B. and Suzanne K. Steinmetz, Handbook of Marriage and the Family, New York: Plenum Press, 1988.

Spanier, Graham.Measuring. Dyadic Adjustment: New Scales for Assesing the Quality of Marriage and Similar Dyads. Journal of Marriage and the Family, 38 (February, 1976):15-27.

Tarver, J.D. Age At Marriage and Duration of Marriage of Divorced Couples. Sociology and Social Research, 36(1951): 102-106.

Vannoy Dana, and William W. Philliber. Wife`s Employment and Quality of Marriage. Journal of Marriage and the Family, 54 (1992): 387-398.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, diketahui bahwa alasan kasasi Penuntut Umum terhadap putusan bebas karena pengabaian keterangan saksi dan visum

Merujuk hasil analisis di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa akibat adanya peningkatan proyeksi penggunaaan lahan yang mengacu RTRW Kabupaten Meranti tahun

Kismani (56), petani di Desa Banjaran Godang, Kecamatan Kotarih, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, mengaku terpukul dengan krisis ekonomi global yang berdampak

Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan

[r]

(4) Karena jumlah pilihan skor skala yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah empat, maka interval interpretasi kategori kelayakan bahan ajar dapat dilihat

Android mempunyai keunggulan yang tidak dimiliki oleh platform lain yaitu platform yang lengkap mulai dari sistem operasi, tool developing , aplikasi, market

Hasil penelitian kuantitatif menunjukkan bahwa perhitungan unit cost pelayanan laboratorium dengan metode ABC pada pemeriksaan hematologi rutin dan waktu pembekuan &