• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Pekerjaan dengan Kejadian Tuberkuloso Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Pekerjaan dengan Kejadian Tuberkuloso Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN PEKERJAAN

DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI DESA

BANDAR KHALIPAH KECAMATAN PERCUT

SEI TUAN TAHUN 2015

SKRIPSI

OLEH:

ANNISA F SIREGAR NIM.111000277

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN PEKERJAAN

DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI DESA

BANDAR KHALIPAH KECAMATAN PERCUT

SEI TUAN TAHUN 2015

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

ANNISA F SIREGAR NIM.111000277

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “HUBUNGAN

KONDISI FISIK RUMAH DAN PEKERJAAN DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI DESA BANDAR KHALIPAH KECAMATAN

PERCUT SEI TUAN TAHUN 2015” ini beserta seluruh isinya adalah benar hasil

karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau mengutip dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini

Medan, Oktober 2015 Yang membuat pernyataan

(5)

ABSTRAK

Tuberkulosis masih merupakan permasalahan kesehatan global utama, yang menyebabkan kesakitan pada jutaan orang setiap tahunnya. Salah satu faktor yang juga berpengaruh pada TB Paru adalah pekerjaan. Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko yang harus dihadapi setiap individu. Faktor yang berperan penting dalam penyebaran TB lainnya adalah rumah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kondisi fisik rumah dan pekerjaan dengan kejadian TB Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan.

Desain penelitian ini adalah Case Control dengan total sampel 60 responden, terdiri dari 30 sampel kasus, yaitu penderita TB Paru yang tercatat didata rekam medis Puskesmas Bandar Khalipah, dan 30 sampel kontrol yaitu penduduk yang bermukim disekitar rumah penderita TB Paru dengan pencocokan dengan kasus dalam hal umur dan jenis kelamin.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi fisik rumah penduduk yang menderita tuberkulosis paru dengan yang bukan penderita tuberkulosis paru. Data menunjukkan bahwa OR dari kepadatan hunian 4,57, ventilasi 2,51, jenis lantai ,70, pencahayaan 3,28, dan kelembaban 4,17. Hal ini menunjukkan ada hubungan kondisi fisik rumah (kepadatan hunian, kelembaban, ventilasi, dan pencahayaan) dengan kejadian TB Paru di Desa Bandar Khalipah.

Oleh karena itu, masyarakat perlu mengupayakan kesehatan lingkungan tempat tinggal dan bagi Puskesmas Bandar Khalipah agar dapat melakukan penyuluhan tentang syarat-syarat rumah sehat.

(6)

ABSTRACT

Tuberculosis remains a major global health problem, which causes pain in millions of people every year. One factor that also affects the pulmonary TB is a job. Type of job determine the risk factors that must be faced by every individual. Another important factor for pulmonary TB transmission is house. This study aims to determine the relationship of the physical condition of the house and work with the incidence of pulmonary TB in Bandar Khalipah, Percut Sei Tuan.

This research’s design was Case Control with a total sample of 60

respondents, consisting of 30 sample cases, who were the patients with pulmonary tuberculosis that were recorded in recorded medical records in Puskesmas Bandar Khalipah, and 30 control samples that residents living around the house with pulmonary tuberculosis by matching with a case in point age and gender.

Accourding to the result of this research, there was a significant differenec between the citizen’s house who suffer from pulmonary tuberculosis with the citizens who didn’t suffer from it. The data shows, that Odds Ratio Of over crowded 4,57, ventilation is 2,51, type of floor is ,70, lighting is 3,28, and humidity is 4,17 it is estimated that the physical condicition of citizen’s house (over crowing, ventilation, lighting and humidity) indicate that there is relation between the physical condition of the house with the prevalence of pulmonary tuberculosis in Bandar Khalipah, Percut Sei Tuan.

Therefore, citizens should seek shelter and environmental health for healthful housing. Bandar Khalipah community health centre in order to conduct outreach about the terms of a healthful housing.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan judul “Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Pekerjaan dengan

Kejadian TB Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun

2015”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Banyak pengalaman yang penulis peroleh dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS. Selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

2. Ir. Evi Naria, MKes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(8)

4. dr. Devi Nuraini Santi, MKes selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan saran, bimbingan, dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH selaku Dosen Penguji I yang telah

memberikan saran serta masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.

6. Ir. Indra Cahaya S, M.Si selaku Dosen Penguji II yang telah banyak

memberikan bimbingan, serta masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Dr. dr. Taufik Ashar, MKM selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memperhatikan penulis selama mengikuti pendidikan di FKM Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh Dosen dan Staf di FKM USU yang telah banyak membantu dan memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan. 9. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang yang telah

memberikan izin penelitian dalam penulisan skripsi ini

10. Kepala Puskesmas Bandar Khalipah beserta seluruh staf yang telah

memberikan informasi yang dibutuhkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

(9)

12. Teristimewa untuk orang tua tercinta Ayahanda Ir. H. Hasudungan Siregar dan Ibunda Hj. Lamsari Rambe yang selalu membangkitkan semangat dan inspirasi dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas

doa, kasih sayang, serta dukungan moril maupun materil yang telah ayah

dan ibu berikan setiap saat.

13. Sahabat-Sahabatku : Friska, Meutia, Wini, Ivan, Putri, Desy, Daniel, Mutiara terima kasih selalu meluangkan waktu, tenaga dan pikiran, serta motivasi dalam pengerjaan skripsi ini.

14. Teman-teman di peminatan Kesehatan Lingkungan dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2015 Penulis

(10)

DAFTAR ISI

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis ... 6

2.1.2 Penyebab (Agent) ... 6

2.1.6.2 Pemeriksaan Jasmani ... 12

2.1.6.3 Pemeriksaan Radiologik... 13

2.1.6.4 Pemeriksaan Laboratorium ... 14

2.2 Upaya Pencegahan TB ... 15

2.2.1 Program Penanggulangan Tuberkulosis ... 15

2.2.2 Berskala Nasional dan Terintegrasi ... 16

(11)

3.3.1 Populasi ... 29

3.3.2 Sampel ... 29

3.4 Teknik Pengambilan Sampel... 30

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 30

3.5.1 Data Primer ... 30

3.5.2 Data Sekunder ... 30

3.6 Definisi Operasional... 30

3.7 Aspek Pengukuran ... 31

3.8 Analisis Data ... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 35

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 35

4.2 Analisis Univariat... 36

4.2.1 Kondisi Fisik Rumah... 36

4.3.1 Hubungan Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian TB Paru ... 41

4.3.2 Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian TB Paru ... 42

BAB V PEMBAHASAN ... 43

5.3 Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Kejadian TB Paru ... 50

5.4 Hubungan Pekerjaan dan Kejadian TB Paru ... 52

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

6.1 Kesimpulan ... 54

6.2 Saran ... 54

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelembaban Yang Ada Pada Rumah Responden di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015 ... 36 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Ventilasi Yang

Ada Pada Rumah Responden di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015 ... 37 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Lantai

Yang Ada Pada Rumah Responden di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015 ... 38 Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pencahayaan

Yang Ada Pada Rumah Responden di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015 ... 38 Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepadatan

Hunian Yang Ada Pada Rumah Responden di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015 ... 39 Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan Yang

Ada Pada Rumah Responden di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015 ... 40 Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kondisi Fisik

Rumah di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015 ... 41 Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian... 58

Lampiran 2. Master Data... 59

Lampiran 3. Output Penelitian... 62

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian... 71

Lampiran 5. Surat Izin Penelitian... 74

(14)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Annisa Febriana Siregar

Tempat Lahir : Tenggarong

Tanggal Lahir : 19 Februari 1994

Suku Bangsa : Batak

Agama : Islam

Nama Ayah : Ir. H. Hasudungan Siregar, MM

Suku Bangsa Ayah : Batak

Nama Ibu : Hj. Lamsari Rambe

Suku Bangsa Ibu : Batak

Pendidikan Formal

1. SD/ Tamatan tahun : SDN 001 Tenggarong/2005 2. SLTP/ Tamatan tahun : SMP N 1 Tenggarong/2008

(15)

ABSTRAK

Tuberkulosis masih merupakan permasalahan kesehatan global utama, yang menyebabkan kesakitan pada jutaan orang setiap tahunnya. Salah satu faktor yang juga berpengaruh pada TB Paru adalah pekerjaan. Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko yang harus dihadapi setiap individu. Faktor yang berperan penting dalam penyebaran TB lainnya adalah rumah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kondisi fisik rumah dan pekerjaan dengan kejadian TB Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan.

Desain penelitian ini adalah Case Control dengan total sampel 60 responden, terdiri dari 30 sampel kasus, yaitu penderita TB Paru yang tercatat didata rekam medis Puskesmas Bandar Khalipah, dan 30 sampel kontrol yaitu penduduk yang bermukim disekitar rumah penderita TB Paru dengan pencocokan dengan kasus dalam hal umur dan jenis kelamin.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi fisik rumah penduduk yang menderita tuberkulosis paru dengan yang bukan penderita tuberkulosis paru. Data menunjukkan bahwa OR dari kepadatan hunian 4,57, ventilasi 2,51, jenis lantai ,70, pencahayaan 3,28, dan kelembaban 4,17. Hal ini menunjukkan ada hubungan kondisi fisik rumah (kepadatan hunian, kelembaban, ventilasi, dan pencahayaan) dengan kejadian TB Paru di Desa Bandar Khalipah.

Oleh karena itu, masyarakat perlu mengupayakan kesehatan lingkungan tempat tinggal dan bagi Puskesmas Bandar Khalipah agar dapat melakukan penyuluhan tentang syarat-syarat rumah sehat.

(16)

ABSTRACT

Tuberculosis remains a major global health problem, which causes pain in millions of people every year. One factor that also affects the pulmonary TB is a job. Type of job determine the risk factors that must be faced by every individual. Another important factor for pulmonary TB transmission is house. This study aims to determine the relationship of the physical condition of the house and work with the incidence of pulmonary TB in Bandar Khalipah, Percut Sei Tuan.

This research’s design was Case Control with a total sample of 60

respondents, consisting of 30 sample cases, who were the patients with pulmonary tuberculosis that were recorded in recorded medical records in Puskesmas Bandar Khalipah, and 30 control samples that residents living around the house with pulmonary tuberculosis by matching with a case in point age and gender.

Accourding to the result of this research, there was a significant differenec between the citizen’s house who suffer from pulmonary tuberculosis with the citizens who didn’t suffer from it. The data shows, that Odds Ratio Of over crowded 4,57, ventilation is 2,51, type of floor is ,70, lighting is 3,28, and humidity is 4,17 it is estimated that the physical condicition of citizen’s house (over crowing, ventilation, lighting and humidity) indicate that there is relation between the physical condition of the house with the prevalence of pulmonary tuberculosis in Bandar Khalipah, Percut Sei Tuan.

Therefore, citizens should seek shelter and environmental health for healthful housing. Bandar Khalipah community health centre in order to conduct outreach about the terms of a healthful housing.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) masih merupakan permasalahan kesehatan global utama, yang menyebabkan kesakitan pada jutaan orang setiap tahunnya. TB menempati posisi kedua sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit infeksi di dunia, setelah HIV. Pada tahun 2013, diperkirakan mencapai 9 juta orang menderita TB dan 1,5 juta orang meninggal akibat penyakit TB, 360.000 di antaranya adalah penderita HIV (WHO, 2014).

Menurut WHO tahun 2014 dari 9 juta orang yang menderita penyakit TB tahun 2013 lebih dari setengahnya (56%) berada di Asia Tenggara. Di Afrika, terdapat seperempat dari seluruh penderita TB, sementara di India dan Cina terdapat 24% dan 11% penderita TB. Di Indonesia TB Paru merupakan pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia.

(18)

Salah satu faktor yang juga berpengaruh pada TB Paru adalah pekerjaan. Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit pernafasan dan umumnya TB Paru (Corwin,2009).

Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2012, diketahui penemuan kasus TB Paru sebanyak 22.360 jiwa dan dari 33 Kabupaten atau Kota salah satu yang tertinggi adalah Kabupaten Deli Serdang yaitu 2.616 kasus dan jumlah kasus yang terendah adalah Kota Gunung Sitoli yaitu 38 kasus. Angka tersebut menunjukkan kasus TB Paru di Provinsi Sumatera Utara masih tinggi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit TB Paru tidak hanya faktor medis saja tetapi dipengaruhi juga faktor non medis seperti urbanisasi, kepadatan penduduk, dan ekonomi. Insiden TB Paru tidak hanya dijumpai di daerah pedesaan tetapi juga dijumpai pada daerah perkotaan (Karyadi, 2001). Salah satu faktor yang berperan penting dalam penyebaran TB yaitu lingkungan rumah tinggal. Bakteri TB dapat hidup selama 1-2 jam hingga berhari-hari dan dapat berminggu-minggu.

(19)

menyebabkan bakteri muncul dengan intensitas penerangan kurang dari 60 lux, tidak adanya ventilasi rumah untuk pergantian sirkulasi udara di dalam rumah dengan minimal 10% luas lantai, lantai rumah yang masih tidak kedap air atau masih berupa tanah dan lembab, dinding rumah masih menggunakan papan dan bambu yang tidak kedap air dan kebiasaan membuka jendela yang jarang dilakukan oleh warga pada pagi dan siang hari (Kepmenkes, 1999).

Berdasarkan jumlah penderita TB Paru di Indonesia tahun 2010, Sumatera Utara menempati urutan ke-7. Jumlah penderita TB Paru klinis di Sumatera Utara pada tahun 2010 sebanyak 104.992 orang setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 13.744 orang serta yang sembuh sebanyak 9.390 orang atau sekitar 68,32% (Dinkes Prov Sumatera Utara, 2011). Jumlah kasus TB paru meningkat pada tahun 2012, secara klinis sebanyak 123.790 orang setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 16.392 orang serta yang sembuh sebanyak 12.154 orang atau sekitar 74,15%.

(20)

1.2 Rumusan Masalah

Tingginya kasus TB Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan dibandingkan dengan Desa lain dan kondisi fisik rumah penduduk yang masih bisa dikatakan buruk. Hal inilah yang menjadi kontribusi bagi peneliti untuk melakukan penelitian di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan maka rumusan masalah dari penelitian ini belum diketahuinya Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Pekerjaan dengan Kejadian Penyakit TB Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kondisi fisik rumah dan pekerjaan dengan kejadian penyakit TB Paru di Desa Bandar Khalipah, Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui kondisi fisik rumah meliputi kelembaban, ventilasi, lantai, pencahayaan, serta kepadatan hunian dalam rumah.

2. Mengetahui status pekerjaan penderita TB Paru.

3. Mengetahui hubungan kondisi fisik rumah dan pekerjaan dengan kejadian TB Paru.

1.4 Hipotesis Penelitian

(21)

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah :

1. Sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan dalam upaya peningkatan penanganan terhadap penyakit TB Paru, khususnya mengenai hubungan kondisi fisik rumah dan pekerjaan dengan kejadian TB Paru di Desa Bandar Khalipah Kelurahan Percut Sei Tuan Tahun 2015.

2. Sebagai informasi tambahan bagi masyarakat (penderita) agar dapat berperan aktif dalam mengantisipasi atau menanggulangi penyakit TB Paru.

3. Sebagai pengalaman bagi penulis dalam melaksanakan penelitian serta menambah pengetahuan mengenai penyakit TB Paru.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Paru

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis yang dulunya disingkat menjadi TBC karena berasal dari kata tuberculosis, namun saat ini lazim disingkat dengan TB saja. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya seperti kulit, ginjal, usus, tulang, selaput otak, dan lain-lain. Semua jenis tuberkulosis ini sama-sama disebabkan oleh Mycrobacterium Tuberculosis dan obatnya pada dasarnya sama. Namun tuberculosis paling sering ditemui terjadi di paru. Hal ini terjadi karena penularan penyakit ini terutama terjadi melalui udara (Aditama, 1994).

2.1.2 Penyebab (Agent)

Tuberkulosis paru disebabkan oleh basil Mycrobacterium tuberculosis. Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuannya ini dilaporkan pada masyarakat dunia pada tanggal 24 Maret 1882. Penemuan ini merupakan peristiwa besar dalam perkembangan pengobatan Tuberkulosis,dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya di peringati sebagai hari Tuberkulosis.

(23)

biak melakukan pembelahan diri, dari satu basil membelah menjadi dua dibutuhkan waktu 14-20 jam lamanya (Tabrani, 1996).

2.1.3 Gejala-gejala TB

Gejala klinis penderita TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan menurun, malaise, keringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes, 2007).

Gejala-gejala tersebut di atas dijumpai pula pada penyakit paru selain tuberkulosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut di atas, harus dianggap sebagai seorang suspek tuberkulosis atau tersangka penderita TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2002).

2.1.4 Patogenesis

(24)

fagositosisnya. Disamping itu juga diproduksi TNF (tumor necrotizing factor) oleh limfosit T dan makrofag dimana TNF berperan dalam aktifasi makrofag dan inflamasi lokal.

Basil tuberkulosis yang masuk ke alveoli akan diikuti oleh vasodilatasi dan masuknya leukosit polimorponuklear dan makrofag yang berfungsi untuk memakan dan membunuh basil tersebut. Setelah beberapa hari maka leukosit berkurang dan makrofag jadi dominan. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut yang disebut dengan focus primer atau Ghon focus yang merupakan infeksi primer. Infeksi primer ini dapat sembuh dengan atau tanpa bekas atau dapat berlanjut terus dan bakteri terus di fagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil dapat menyebar melalui kelenjar getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Gabungan terserangnya kelenjar getah bening dengan fokus primer disebut kompleks ghon. Infeksi primer kadang-kadang berlanjut terus dan perubahan patologisnya bersamaan seperti TB post primer.

TB post primer umumnya terlihat pada paru bagian atas terutama pada segmen posterior lobus atas atau pada bagian apeks lobus bawah. Terjadinya TB post primer dapat terjadi melalui salah satu dari 3 mekanisme ini yaitu:

1. Perkembangan langsung dari TB primer 2. Reaktivasi dari TB primer (endogenous) 3. Reinfeksi dari luar (exogenous reinfection).

(25)

membentuk kavitas. Perdarahan dapat terjadi jika proses kaseosa berlanjut ke pembuluh darah pada dinding kavitas. Penyebaran kaseosa dan bahan-bahan cair kedalam percabangan bronkus akan menyebarkan infeksi ke daerah paru yang lainnya. Rupturnya fokus kaseosa kedalam pembuluh darah akan mengakibatkan terjadinya TB milier.

2.1.5 Sumber dan Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif, yang dapat menularkan kepada orang yang berada di sekelilingnya, terutama kontak erat. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet) pada saat penderita itu batuk atau bersin. Kuman yang disebarkan lewat droplet bisa bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang lain dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Kuman TB yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran lymfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.

Sekali batuk penderita dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Faktor lainnya yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007).

(26)

hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Jika hasil pemeriksaan dahak negatif, maka penderita tersebut tidak menular.

Menurut WHO, riwayat terjadinya TB terbagi menjadi dua bagian, yaitu: (Depkes, 2000)

a. Infeksi Primer

Pada saat orang pertama kali terpapar dengan kuman TB maka itu dinamakan infeksi primer. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilierbronkus, dan terus berjalan sehingga alveolus menetap disana.

Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang menyebabkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu.

Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Jika daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi untuk penyakit ini sekitar 6 bulan.

(27)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun, misalnya akibat infeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberculosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kapasitas dan efusi pleura.

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler, sehingga bila terjad infeksi opurtunistik, seperti tuberculosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula. 2.1.6 Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan klinik, radiologik dan pemeriksaan laboratorium (Aditama, 2002). 2.1.6.1 Gejala klinik

TB disebut juga the great imitator. Oleh karena gejalanya banyak mirip dengan penyakit lainnya. Gejala klinik TB Paru dapat dibagi menjadi 2 golongan. Yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.

a. Gejala respiratorik

a) Batuk : merupakan gejala yang paling dini dan paling sering

dikeluhkan. Batuk timbul oleh karena bronkus sudah terlibat.

Batuk-batuk yang berlangsung ≥ 3 minggu harus dipikirkan adanya

(28)

b) Batuk darah : darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis, bercak-bercak atau bahkan dalam jumlah banyak. Batuk darah dapat juga terjadi pada bronkiektasis dan tumor paru.

c) Sesak napas: dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat

kerusakan paru yang cukup luas.

d) Nyeri dada : timbul apabila sistem persarafan yang terdapat di pleura sudah terlibat.

b. Gejala sistemik a) Demam

b) Gejala sistemik lain : malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

2.1.6.2 Pemeriksaan Jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai sangat tergantung luas dan kelainan struktural paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

(29)

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atau indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan.

Pada pemeriksaan foto toraks tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

1. Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan berawan atau nodular

3. Bayangan bercak milier 4. Efusi pleura unilateral

Berdasarkan luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut:

a. Lesi minimal (minimal lesion)

Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas. b. Lesi sedang (moderately advanced lesion):

(30)

lebih tebal maka proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat / tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas maka luas (diameter) semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm.

c. Lesi luas (far advanced):

Kelainan lebih luas dari lesi sedang. 2.1.6.4 Pemeriksaan Laboratorium 1. Pemeriksaan darah rutin:

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru. Laju endapan darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endapan darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositosis juga kurang spesifik. 2. Pemeriksaan bakteriologik:

Untuk pemeriksaan bakteriologik ini spesimen dapat diambil dari sputum, bilasan lambung, jaringan baik lymph node atau jaringan reseksi operasi, cairan pleura, cucian lambung, cairan serebrospinalis, pus / aspirasi abses, urine, apusan laring.

a. Pemeriksaan mikroskopik biasa

Pada pemeriksaan ini dapat dilihat adanya basil tahan asam. Dibutuhkan paling sedikit 5000 batang kuman per cc sputum untuk mendapatkan kepositifan. Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan Ziehl Nielsen dan pewarnaan Kinyoun-Gabbett. Cara pengambilan sputum tiga kali (3 X) dengan cara;

(31)

3) Spot (pada saat mengantarkan sputum pagi pada hari kedua) b. Pemeriksaan mikroskopik fluorescens:

c. Dengan mikroskop fluorescens ini gambaran basil tahan asam yang terlihat lebih besar dan lebih jelas karena daya pandang diperluas dan adanya fluorescens dari zat warna auramin-rhodamin.

3. Kultur/biakan kuman

Pada pemeriksaan ini paling sedikit 10 kuman tuberkulosis yang hidup. Jenis-jenis pemeriksaan kultur sputum ini antara lain:

a. Metode konvensional seperti Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh,

Middlebrook 7H-10 dan 7H11.33

b. Metode Radiometrik seperti BACTEC. Dengan teknik ini waktu yang dibutuhkan untuk isolasi dan identifikasi mikrobakterium tuberkulosis menjadi tiga minggu saja. Untuk test sensitifitas ditambah 5-7 hari lagi. bagi individu dan keluarganya.

2.2 Upaya Pencegahan TB

2.2.1 Program Penanggulangan Tuberkulosis

Dalam menangani masalah tuberkulosis di suatu Negara seperti Indonesia diperlukan program penanggulangan yang terencana baik, dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, dapat dievaluasi dan dapat memberikan hasil yang optimal dalam menurunkan angka kesakitan serta kematian akibat penyakit ini, belum semua negara di dunia memiliki program penanggulangan tuberkulosis yang berskala nasional Tuberkulosis Control Programme (NTP).

(32)

Badan Kesehatan Nasional dunia (WHO) telah menggariskan beberapa hal yang patut dilakukan oleh suatu program nasional penanggulanggan tuberkulosis. Program ini seyogyanya benar-benar berskala nasional mengingat tuberkulosis biasanya tersebar secara luas di seluruh daerah di suatu negara, dan untuk mendapatkan dampak yang bermakna, maka program tersebut harus dikerjakan dalam cakupan yang luas. Selain harus berskala nasional, WHO juga menganjurkan agar program penanggulangan tuberkulosis ini bersifat permanen, menetap, terus-menerus dilakukan dan jangan terputus di tengah jalan. Dalam proses pelaksanaan program maka kasus tuberkulosis baru masih akan tetap muncul, dan karena itu perlu tersedianya pelayanan kesehatan. Guna mendapatkan hasil yang optimal, diharapkan agar program penanggulangan tuberkulosis ini berintegrasi dengan program pelayanan kesehatan yang ada di negara itu. Khususnya dalam pelayanan kesehatan primer. Jadi untuk mendapatkan pelayanan bagi penyakit tuberkulosis. Seseorang cukup datang ke Puskesmas setempat.

2.2.3 Program 1. Imunisasi BCG

(33)

lain, yang tergabung dalam suatu program yang disebut Progran pengembangan Imunisasi/PPI (expanded Programme of immunization/EPI)

2. Case Finding (Penemuan Kasus)

Bagian terpenting lainya adalah penemuan penderita. Dengan berbagai upaya perlu dilakukan agar kita dapat menemukan penderita sedini mungkin. Untuk dilakukan diagnosis secara benar, dan dilakukan penyuluhan kesehatan yang luas dan melibatkan berbagai lapisan masyarakat, agar semua perlu tahu perannya dalam membantu upaya penemuan penderita. Setelah ditemukan penderita kemudian dilanjutkan dengan pengobatan (Aditama, 2000).

2.3 Rumah Sehat

Dalam undang-undang No 1 tahun 2011 tentang perumahan dan permukiman disebutkan rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana membina keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya serta merupakan aset bagi pemiliknya.

Rumah berfungsi untuk melepaskan rasa lelah, tempat bergaul dan membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung, dan menyimpan barang berharga, dan rumah merupakan status lambang sosial. Rumah yang layak huni harus memenuhi standar kesehatan agar penghuni rumah tersebut dapat terjamin kesehatannya (Azwar, 2007).

1. Kriteria Rumah Sehat

Menurut Depkes RI 2002 rumah harus memenuhi empat kriteria agar bisa dikatakan sehat yaitu :

(34)

2. Harus dapat memenuhi kebutuhan psikologis 3. Harus dapat menghindarkan terjadinya kecelakaan

4. Harus dapat menghindarkan terjadinya penularan penyakit

Hal ini sejalan dengan kriteria rumah sehat menurut American Public Health Asociation (APHA), yaitu:

1. Memenuhi kebutuhan dasar fisik

Sebuah rumah harus dapat memenuhi kebutuhan dasar fisik, seperti:

a. Rumah tersebut harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dipelihara atau dipertahankan temperatur lingkungan yang penting untuk mencegah bertambahnya panas atau kehilangan panas secara berlebihan. Sebaiknya temperatur udara dalam ruangan harus lebih rendah paling sedikit 4°C dari temperatur udara luar untuk daerah tropis. Umumnya temperatur kamar 22°C - 30°C sudah cukup segar. b. Rumah tersebut harus terjamin pencahayaannya yang dibedakan atas

cahaya matahari (penerangan alamiah) serta penerangan dari nyala api lainnya (penerangan buatan). Semua penerangan ini harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu gelap atau tidak menimbulkan rasa silau.

b. Rumah tersebut harus mempunyai ventilasi yang sempurna sehingga

(35)

sedemikian rupa agar udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit.

c. Rumah tersebut harus dapat melindungi penghuni dari gangguan bising yang berlebihan karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik langsung maupun dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan yang dapat muncul antara lain gangguan fisik seperti kerusakan alat pendengaran dan gangguan mental seperti mudah marah dan apatis. d. Rumah tersebut harus memiliki luas yang cukup untuk aktivitas dan

untuk anak anak dapat bermain. Hal ini penting agar anak mempunyai kesempatan bergerak, bermain dengan leluasa di rumah agar pertumbuhan badannya akan lebih baik, juga agar anak tidak bermain di rumah tetangganya, di jalan atau tempat lain yang membahayakan. 2. Memenuhi kebutuhan dasar psikologis

Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat terpenuhi kebutuhan dasar psikologis penghuninya, seperti:

(36)

b. Ruang duduk dapat dipakai sekaligus sebagai ruang makan keluarga, dimana anak-anak sambil makan dapat berdialog langsung dengan orang tuanya.

b. Dalam memilih letak tempat tinggal, sebaiknya di sekitar tetangga yang

memiliki tingkat ekonomi yang relatif sama, sebab bila bertetangga dengan orang yang lebih kaya atau lebih miskin akan menimbulkan tekanan batin.

c. Dalam meletakkan kursi dan meja di ruangan jangan sampai menghalangi lalu lintas dalam ruangan

d. W.C. (Water Closet) dan kamar mandi harus ada dalam suatu rumah dan terpelihara kebersihannya. Biasanya orang tidak senang atau gelisah bila terasa ingin buang air besar tapi tidak mempunyai W.C. sendiri karena harus antri di W.C. orang lain atau harus buang air besar di tempat terbuka seperti sungai atau kebun.

e. Untuk memperindah pemandangan, perlu ditanami tanaman hias, tanaman bunga yang kesemuanya diatur, ditata, dan dipelihara secara rapi dan bersih, sehingga menyenangkan bila dipandang.

3. Melindungi dari penyakit

(37)

oleh air dari tempat lain. Rumah juga harus terbebas dari kehidupan serangga dan tikus, memiliki tempat pembuangan sampah, pembuangan air limbah serta pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan.

4. Melindungi dari kemungkinan kecelakaan

Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya atau kecelakaan. Termasuk dalam persyaratan ini antara lain bangunan yang kokoh, tangga yang tidak terlalu curam dan licin, terhindar dari bahaya kebakaran, alat-alat listrik yang terlindung, tidak menyebabkan keracunan gas bagi penghuni, terlindung dari kecelakaan lalu lintas, dan lain sebagainya (Azwar, 1990).

2. Komponen Rumah 1. Bahan bangunan

a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain : debu total kurang dari 150

μg/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m 3 per 24 jam, plumbum (Pb)

kurang dari 300 mg/kg bahan

b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan

berkembangnya mikroorganisme patogen. 2. Komponen dan penataan ruangan

a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.

b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan.

(38)

c. Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir. d. Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. e. Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.

3. Pencahayaan

Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

4. Kualitas udara

a. Suhu udara nyaman antara 18–30 0C b. Kelembaban udara 40–70 %

b. Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam c. Pertukaran udara 5 kaki3/menit/penghuni d. Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam e. Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3.

5. Ventilasi

Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai. 6. Vektor penyakit

Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah. 7. Penyediaan air

(39)

b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.

8. Sarana penyimpanan makanan

Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman. 9. Pembuangan Limbah

a. Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air,

tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah.

b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau,

tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah. 10. Kepadatan hunian

Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur. Penyelenggara pembangunan perumahan (pengembang) yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman dapat dikenai sanksi pidana dan/atau sanksi administrasi sesuai dengan UU No. 4 /1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dan UU No. 23 /1992 tentang Kesehatan, serta peraturan pelaksanaannya.

3. Indikator Penilaian Rumah Sehat

(40)

1. Kelompok komponen rumah, meliputi langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga dan ruang tamu, ventilasi, sarana pembuangan asap dapur dan pencahayaan.

2. Kelompok sarana sanitasi, meliputi sarana air bersih, sarana pembuangan

kotoran, saluran pembuangan air limbah, sarana tempat pembuangan sampah.

3. Kelompok perilaku penghuni, meliputi membuka jendela kamar tidur,

membuka jendela ruang keluarga, membersihkan rumah dan halaman, membuang tinja bayi dan balita ke jamban, membuang sampah pada tempat sampah.

Parameter yang dipergunakan untuk menentukan rumah sehat adalah sebagaimana yang tercantum dalam Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.

Berikut ini adalah komponen-komponen rumah yang ikut berpengaruh dalam penyebaran penyakit TB :

a. Pencahayaan

(41)

penderita TB terhadap anggota keluarga ataupun masyarakat melalui udara dalam bentuk droplet penderita, selain itu kuman tersebut dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab, tetapi akan mati bila terkena matahari langsung. Kebutuhan cahaya alami yaitu sinar matahari sangat ditentukan oleh letak dan lebar jendela. Pencahayaan alami selain berfungsi sebagai penerangan juga dapat mengurangi kelembaban, dan dapat membunuh kuman penyakit akibat pengaruh sianr ultraviolet. Semua cahaya pada dasarnya memetikan, tergantung jenis dan lama cahaya tersebut. Sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri TB Paru dalam 5 menit (Crofton, 2002).

b. Ventilasi

Ventilasi memungkinkan udara dapat berganti secara lancar. Luas lubang ventilasi tetap yang diperlukan minimal 10% luas lantai. Udara yang masuk sebaiknya udara yang bersih dan bukan udara yang mengandung debu/berbau. Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi antara lain (Notoadmojo, 2007): 1. Menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan

oksigen bagi penghuni tetap terjaga.

2. Membebaskan udara dari bakteri terutama bakteri patogen. 3. Menjaga rumah dalam kelembaban yang optimal.

(42)

menyebabkan kepadatan bangunan dan sulit membuat ventilasi dan bahkan ada rumah yang tidak mempunyai jendela, tidak ada lubang angin dan tidak pernah ada sinar matahari masuk, keadaan udara didalam rumah terasa pengap.

Perjalanan kuman TB Paru setelah dibatukkan akan terhirup oleh orang disekitarnya sampai ke paru-paru, sehingga dengan adanya ventilasi yang baik akan menjamin pertukaran udara, sehingga konsentrasi droplet dapat dikurangi. Konsentrasi droplet pervolume udara dan lamanya waktu menghirup udara tersebut memungkinkan seseorang akan terinfeksi kuman TB Paru (Depkes, 2002).

c. Kepadatan hunian dalam rumah

Cepat lambatnya penyakit menular salah satunya ditentukan oleh faktor kepadatan yang ditentukan oleh jumlah dan distribusi penduduk. Dalam hal ini kepadatan hunian yang apabila tidak dapat suplai rumah sehat yang memadai dan terjangkau, dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit daerah kumuh di perkotaan, yang berarti pula daerah reservoir penyakit, seperti penyakit tuberkulosis (Soemirat, 2000).

d. Kelembaban

(43)

merupakan media yang baik untuk bakteri patogen, termasuk kuman TB Paru (Depkes, 1999).

e. Suhu

Salah satu faktor yang menentukan kualitas udara dalam rumah adalah suhu. Dikatakan nyaman apabila udara berkisar antara 18-20°C, dan suhu tersebut dipengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara dan kelembaban udara. Kuman Mycobacterium tuberculosis hidup dan tumbuh baik pada kisaran suhu 35-37°C. Ukuran dikatakan suhu standar dan tidak standar adalah (Depkes, 1999): a. Suhu standar bila suhu berkisar antara 18-20°C

b. Suhu tidak standar, bila suhu lebih dari 30°C 2.4 Kerangka Konsep

Adapun yang menjadi kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut:

Kondisi Fisik Rumah: - Kelembaban

- Ventilasi - Lantai - Pencahayaan - Kepadatan Hunian

-Pekerjaan

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat survai analitik yaitu untuk mengetahui hubungan kondisi fisik rumah dan pekerjaan dengan kejadian TB Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015 dengan rancangan penelitian case control, yaitu suatu penelitian yang menyangkut bagaimana faktor risiko di pelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektif, efek penyakit atau status kesehatan diidentifikasi pada saat sekarang sedangkan faktor risiko diidentifikasi adanya atau terjadinya pada waktu yang lalu.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan, dengan pertimbangan bahwa angka kesakitan TB Paru positif terjadi peningkatan jumlah kasus setiap tahunnya.

3.2.2 Waktu Penelitian

(45)

3.3 Populasi Dan Sampel 3.3.1 Populasi

a. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah semua penduduk yang menderita penyakit TB Paru berdasarkan data rekam medis Puskesmas Bandar Khalipah periode Januari-Maret 2015, besar sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 30 orang.

b. Populasi kontrol dalam penelitian ini adalah semua yang tidak

menderita TB Paru dan tidak terdaftar sebagai pasien TB Paru berdasarkan data rekam medis Puskesmas Bandar Khalipah, besar sampel dalam penelitian ini yaitu 30 orang, kemudian dilakukan matching (jenis kelamin dan umur).

3.3.2 Sampel

a. Sampel kasus dalam penelitian ini adalah semua yang menderita penyakit TB Paru berdasarkan rekam medis Puskesmas Bandar Khalipah periode Januari-Maret 2015, besar sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 30 orang.

b. Sampel kontrol adalah semua yang tidak menderita TB Paru dan tidak

(46)

3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Untuk memperoleh besar sampel yang diinginkan dilakukan dengan cara penelusuran kasus yang ada sebelum penelitian sampai pada saat penelitian berlangsung. Responden terdiri dari kasus dan kontrol. Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling yaitu teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi. Perhitungan besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 untuk kasus dan 30 untuk kontrol. 3.5 Metode Pengumpulan Data

3.5.1 Data Primer

Data yang akan di kumpulkan diperoleh dari hasil penelitian yaitu berupa data karakteristik rumah yang diperoleh melalui lembar observasi, kuesioner maupun pengukuran langsung dan data karakteristik responden diperoleh dengan menggunakan kuesioner.

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder yang akan di gunakan adalah data rekam medis yang diperoleh dari Puskesmas Bandar Khalipah mengenai data penyakit TB Paru. 3.6 Definisi Operasional

1. Kejadian TB Paru adalah penderita TB Paru yang didiagnosa secara klinis dan laboratorium menyatakan menderita TB Paru berdasarkan data Puskesmas Bandar Khalipah dalam 3 bulan terakhir.

(47)

3. Kelembaban adalah keadaan lembab dalam ruangan yang berkisar 40 % - 70 % di ukur dengan alat Hygrometer.

4. Ventilasi adalah luas penghawaan atau ventilasi yang permanen minimal 10% dari luas lantai.

5. Lantai adalah konstruksi lantai rumah yang terbuat dari bahan kedap air (disemen, dipasang tegel, teraso dll) serta mudah dibersihkan.

6. Pencahayaan adalah keadaan penerangan dalam ruangan baik

bersumber alami maupun buatan yaitu terang dan tidak silau sehingga dapat digunakan dengan membaca dengan normal (Depkes RI, 2002). 7. Kepadatan hunian adalah luas ruang tidur minimal 8 meter persegi, dan

tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang (Permenkes No. 829/ Menkes/ SK/II/1999).

3.7 Aspek Pengukuran

Adapun variabel yang akan dilakukan pengukurannya adalah sebagai berikut :

1. Pekerjaan

Pengukuran dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan kuesioner tentang riwayat pekerjaan dan lembar observasi.

2. Kondisi Fisik Rumah

(48)

1. Kelembaban adalah keadaan lembab dalam ruangan yang berkisar 40 % - 70 % di ukur dengan alat Hygrometer. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal dibagi dalam 2 kategori yaitu:

a. Tidak memenuhi syarat apabila > 70% b. Memenuhi syarat apabila 40%-70% 2. Ventilasi

Adapun pengukuran ventilasi dengan menggunakan meteran. Skala Pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal dibagi dalam 2 kategori yaitu :

a. Tidak memenuhi syarat apabila tidak ada lubang ventilasi atau ada lubang ventilasi dengan luas lubang ventilasi < 10 % dari luas lantai.

b. Memenuhi syarat bila ada lubang ventilasi dengan luas lubang

ventilasi ≥ 10 % dari luas lantai.

3. Lantai

Cara pengukuran dari hasil observasi, dinilai berdasarkan konstruksi lantai terbuat dari bahan yang kedap air (disemen, dipasang tegel, teraso,dll) serta mudah dibersihkan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal dibagi dalam 2 kategori yaitu :

(49)

b. Baik apabila lantai terbuat dari konstruksi yang kedap air (disemen, dipasang tegel, teraso, dll) serta mudah untuk dibersihkan.

4. Pencahayaan

Adapun pengukuran pencahayaan adalah dengan melakukan observasi di dalam rumah. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal dibagi dalam 2 kategori yaitu:

a. Tidak memenuhi syarat apabila tidak masuk cahaya, tidak terang, silau dan tidak bisa digunakan untuk membaca dengan normal b. Memenuhi syarat apabila masuk cahaya, tidak silau, dan bisa

digunakan untuk membaca dengan normal. 5. Kepadatan hunian

Cara pengukuran dengan menggunakan meteran (Observasi) dan dibandingkan dengan Kepmenkes No.829/1999. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal dibagi dalam 2 kategori yaitu: a. Tidak memenuhi syarat apabila ± 8 meter persegi > 2 orang b. Memenuhi syarat apabila ± 8 meter = 2 orang

3. TB Paru

Diukur dengan mengambil data dari Puskesmas Bandar Khalipah. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal yang dibagi dalam 2 kategori yaitu :

1. Menderita TB Paru (kasus)

(50)

3.8 Analisis Data

(51)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Bandar Khalipah merupakan desa yang terletak di Kecamatan Percut Sei Tuan, dengan batas wilayah sebagai berikut:

 Utara : Desa Laut Dendang, Bandar Setia, Bandar Klippa  Timur : Desa Bandar Klippa

 Selatan : Kodya Medan, Tembung, Bandar Klippa

 Barat : Desa Medan Estate

Desa Bandar Khalipah memiliki luas wilayah desa 882 Ha terdiri dari 9 dusun. Adapun kondisi geografis berada pada ketinggian 0-25 meter dari permukaan laut. Dari Laporan Tahunan Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2011 berpenduduk 38.381 Jiwa dimana laki-laki 18.316 Jiwa dan Perempuan 19.065 Jiwa.

(52)

4.2 Analisis Univariat 4.2.1 Kondisi Fisik Rumah

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi kondisi fisik rumah yang meliputi kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, kelembaban udara dan kondisi lantai.

4.2.1.1 Kelembaban

Adapun gambaran kelembaban di rumah responden kasus dan kontrol pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1 dibawah ini.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelembaban Yang Ada Pada Rumah Responden di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

No Kelembaban Kasus Kontrol Total

n % n % n %

1 Tidak memenuhi syarat 27 45 14 23,3 41 68,3 2 Memenuhi syarat 3 5 16 26,7 19 31,7

Jumlah 30 50 30 30 60 100

(53)

4.2.1.2 Ventilasi

Adapun gambaran ventilasi di rumah responden kasus dan kontrol pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini.

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Ventilasi Yang Ada Pada Rumah Responden di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

No Ventilasi Kasus Kontrol Total

n % n % n %

1 Tidak memenuhi syarat 23 38,3 11 18,3 34 56,7 2 Memenuhi syarat 7 11,7 19 31,7 26 43,3

Jumlah 30 50 30 50 60 100

Berdasarkan Tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa jumlah ventilasi yang ada pada rumah responden kasus terbanyak yaitu tidak memenuhi syarat (tidak ada dan jika ada luas lubang ventilasi < 10% luas lantai) dengan jumlah 23 rumah (38,3%) dan yang terkecil yaitu memenuhi syarat ( ada lubang ventilasi dan luas lubang ventilasi > 10% luas lantai) dengan jumlah 7 rumah (11,7%). Sedangkan ventilasi yang ada di rumah responden kontrol yang terbanyak adalah memenuhi syarat dengan jumlah 19 rumah (31,7%) dan yang terkecil yaitu tidak memenuhi syarat dengan jumlah 11 rumah (18,3%).

4.2.1.3 Lantai

(54)

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Lantai Yang Ada Pada Rumah Responden di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

No Jenis Lantai Kasus Kontrol Total

Berdasarkan Tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa jumlah kondisi lantai baik yang ada pada rumah responden kasus terbanyak yaitu 20 rumah (33,3%) sedangkan jumlah kondisi lantai tidak baik pada responden kasus 10 rumah (16,7%). Jumlah kondisi lantai baik dan tidak baik yang ada pada rumah responden kontrol yaitu 30 rumah (50%).

4.2.1.4 Pencahayaan

Adapun gambaran kondisi pencahayaan di rumah responden kasus dan kontrol pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pencahayaan Yang Ada Pada Rumah Responden di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

No Pencahayaan Kasus Kontrol Total

(55)

memenuhi syarat (masuk cahaya, tidak silau, dan bisa digunakan untuk membaca dengan normal) dengan jumlah 7 rumah (11,7 %). Sedangkan pencahayaan yang ada di rumah responden kontrol yang terbanyak adalah memenuhi syarat (masuk cahaya, tidak silau, dan bisa digunakan untuk membaca dengan normal) dengan jumlah 23 rumah (38,3 %) dan yang terkecil yaitu tidak memenuhi syarat yaitu dengan jumlah 7 rumah (11,7%).

4.2.1.5 Kepadatan Hunian

Adapun gambaran kepadatan hunian di rumah responden kasus dan kontrol pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.5 dibawah ini.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian Yang Ada Pada Rumah Responden di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

No Kepadatan Hunian Kasus Kontrol Total

N % n % n %

1 Tidak memenuhi syarat 24 40 4 6,7 28 46,7 2 Memenuhi syarat 6 10 26 43,3 32 53,3

Jumlah 30 50 30 50 60 100

Berdasarkan Tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa kepadatan hunian yang terbesar yaitu dirumah responden kasus adalah tidak memenuhi syarat (± 8 meter persegi > 2 orang) yaitu 24 rumah (40%). Sedangkan kepadatan hunian yang terkecil dirumah responden kasus adalah memenuhi syarat yaitu 6 rumah (10%).

(56)

4.2.2 Pekerjaan

Adapun gambaran jenis pekerjaan responden kasus dan kontrol pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.6 dibawah ini.

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

No Kategori Pekerjaan

Kasus Kontrol Total

n % n % n %

1 Tidak bekerja 18 30 17 28,3 35 58,3

2 Bekerja 12 20 13 21,7 25 41,7

Jumlah 30 50 30 50 60 100

(57)

4.3 Analisis Bivariat

4.3.1. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian TB Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

Adapun hasil analisis bivariat hubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian TB Paru adalah sebagai berikut

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kondisi Fisik Rumah di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan

(58)

kondisi fisik rumah dengan kejadian TB Paru. Kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat beresiko 4,57 kali dibanding dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat dan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat beresiko 3,28 kali dibanding dengan pencahayaan yang memenuhi syarat. Ventilasi yang tidak memenuhi syarat beresiko 2,51 kali dibanding dengan ventilasi yang memenuhi syarat dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat beresiko 4,17 kali dibanding dengan yang memenuhi syarat.

4.3.2. Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian TB Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

Adapun hasil analisis bivariat hubungan jenis pekerjaan dengan kejadian tuberkulosis paru adalah sebagai berikut

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

No Kategori Pekerjaan

Kasus Kontrol

X2 OR

n % n %

1 Tidak Bekerja 18 30 17 28,3

.793 .934

2 Bekerja 12 20 13 21,7

(59)

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Fisik Rumah

5.1.1 Kelembaban

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada kelompok kasus memiliki jumlah kelembaban yang tidak memenuhi syarat dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan nilai OR sebesar 4,17 atau dengan pengertian diperkirakan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat pada rumah responden kasus mempunyai risiko terkena TB Paru 4,17 kali lebih banyak dibandingkan dengan rumah responden kontrol.

Hasil pengamatan menunjukkan rumah responden kontrol lebih mengupayakan kesehatan rumah dibandingkan dengan rumah pada responden kasus, misalnya jendela pada rumah responden kasus jarang dibuka sehingga tidak ada pertukaran udara dan kelembaban menjadi tinggi yang akan menyebabkan berkembangnya mikroorganisme.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Edi Hartono (2004), bahwa ada hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan kejadian TB Paru hal tersebut menunjukkan adanya faktor-faktor yang menyebabkan tingginya kelembaban di rumah responden yang terkena TB Paru, misalnya jenis lantai, pencahayaan, ventilasi.

(60)

terhadap kejadian TB. Kelembaban yang tinggi di dalam rumah akan mempermudah berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering seingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri termasuk bakteri TB.

5.1.2 Ventilasi

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada kelompok kasus memiliki jumlah ventilasi yang tidak memenuhi syarat dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan nilai OR sebesar 2,51 atau dengan pengertian diperkirakan ventilasi yang tidak memenuhi syarat pada rumah responden kasus mempunyai risiko terkena TB Paru 2,51 kali lebih banyak dibandingkan dengan rumah responden kontrol.

Ventilasi rumah berfungsi untuk menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, ventilasi yang baik adalah dengan luas minimal 10% dari luas lantai.

(61)

menyangkut keamanan rumah. Selain itu lubang angin yang ada pada rumah responden kebanyakan ditutup dengan menggunakan plastik ataupun kayu sehingga tidak berfungsi sebagai ventilasi.

Penyakit TB Paru ini erat kaitannya dengan ventilasi karena ventilasi rumah yang baik yaitu minimal 10% dari luas lantai memungkinkan adanya pergantian udara agar tetap terjaga sirkulasinya, sehingga dapat mengurangi kemungkinan penularan penyakit pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman yang ada di dalam rumah. Rumah dengan luas ventilasi yang tidak baik akan menyebabkan kuman selalu dalam konsentrasi tinggi sehingga kondisi ini akan memperbesar kemungkinan penularan terhadap orang lain (Supriyono, 2002).

Menurut penelitian Adnani dan Mahastuti (2006), bahwa ventilasi merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TBC Paru, resiko untuk menderita TBC Paru 5 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan.

Ventilasi yang tidak baik dapat menyebabkan udara tidak nyaman (kepengapan, bronchitis, asma kambuh, masuk angin) dan udara kotor (penularan penyakit saluran pernafasan), dan ventilasi yang baik harus memenuhi persyaratan agar udara yang masuk tidak terlalu deras atau terlalu sedikit, luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai. Untuk luas lubang ventilasi tetap minimum 10% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi yang tidak tetap (dapat dibuka dan ditutup) 10% dari luas lantai (Depkes RI, 1999).

(62)

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan signifikan pada kondisi lantai karena rata-rata rumah responden di lokasi penelitian baik untuk kasus dan kontrol memiliki jenis lantai yang kedap air. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tobing (2011) tentang Pengaruh Prilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Sanitasi terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru, yang menyatakan tidak ada hubungan antara kondisi jenis lantai dengan penularan TB Paru..

Menurut KepMenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999, jenis lantai yang memenuhi syarat kesehatan adalah yang kedap air dan mudah dibersihkan, seperti jenis lantai yang terbuat dari plester, ubin, semen, porselen atau keramik, sedangkan jenis lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah tidak kedap air seperti jenis lantai tanah, papan, dan lontar. Jenis lantai papan atau panggung dapat menyebabkan kenaikan kelembaban rumah karena papan bukan bahan kedap air dan pengaruh kelembaban tanah. Untuk mencegah terjadinya kelembaban pada rumah dengan jenis lantai papan, perlu dilapisi dengan tikar karet yang berfungsi sebagai alas kedap air sehingga mampu melindungi dari rembesan air dan kelembaban.

(63)

bakteri penyebab TB dapat bertahan hidup di tempat yang lembab (Widoyono,2011).

5.1.4 Pencahayaan

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada kelompok kasus memiliki jumlah ventilasi yang tidak memenuhi syarat dibandingkan kelompok kontrol, diperkirakan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat berisiko terkena TB Paru 3,28 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah yang memiliki pencahayaan yang memenuhi syarat.

Berdasarkan hasil pengamatan pada rumah responden, sistem pencahayaaan dirumah reponden kontrol mempunyai jendela untuk memasukkan cahaya matahari kedalam rumah, sistem sirkulasi udara atau ventilasi pada responden kontrol juga baik yaitu menggunakan jendela pada sisi depan rumah sebagai jalan keluar masuknya aliran udara.

Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai daya untuk membunuh bakteri (Azwar, 2007). Hal ini dibuktikan oleh Robert Koch (1843-1910), dari hasil penelitiannya Robert Koch menyimpulkan sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari .

(64)

Rumah yang memenuhi syarat kesehatan memerlukan cahaya yang cukup khususnya cahaya alami berupa cahaya matahari (UV). Pencahayaan alami ruangan di rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca.

Kondisi pencahayaan yang kurang disebabkan karena kurangnya ventilasi yang ada pada rumah responden seperti jendela, pintu dan lubang angin sehingga sinar matahari tidak dapat langsung masuk ke dalam rumah. Beberapa rumah yang memiliki jendela tetapi tidak pernah di buka sehubungan dengan keamanan rumah tersebut. Upaya yang dapat dilakukan adalah membuka pintu dan jendela setiap pagi bagi rumah yang ada jendelanya sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah dan jika mungkin disarankan untuk membuat ventilasi (seperti jendela, pintu ataupun lubang angin) dirumah dengan minimal ukuran 10% dari luas lantai.

5.1.5 Kepadatan Hunian

Gambar

Tabel 4.1  Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelembaban Yang
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Ventilasi Yang Ada
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Lantai Yang
Tabel 4.5  Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian
+6

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun matan dari beberapa hadis yang dikemukakan redaksinya berbeda-beda, namun antara yang satu dengan yang lain memiliki kesesuaian. Pada dasarnya hadis- hadis itu

Fakultas : Fakultas Arsitektur dan Desain Unika Soegijapranata Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Proyek Akhir Arsitektur tahap Landasan Teori dan Program dengan judul

Pada buku ajar yang digunakan tidak terjadi miskonsepsi, pada materi katabolisme karbohidrat, tetapi bahan ajar yang digunakan masih terdapat pengetahuan yang kurang

Diakhir bahasan domain diperluas menjadi di ℝ , yang diiringi dengan kajian tentang sifat-sifat yang dipenuhi oleh fungsi midkonveks di ℝ.. Kata Kunci : Fungsi Konveks,

Dalam tahapan prosesi adat hippun tersebut, seperti hippun penyelesaian perselisihan warga, lazim juga disertai dengan perjanjian formal adat lokal. Perjanjian ini memiliki daya

Misalnya strategi dalam permainan basball, permainan sepak bola saat melakukan serangan, serta memancing ternyata juga merupakan salah satu kegiatan yang yang

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Singgih Widyawati (2007), ada hubungan yang positif bermakna antara kedua varibel, artinya semakin tinggi

3 tahun 2001 tentang Dinas Pemerintah Kota Medan yang mempunyai tugas membantu walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan kota/kewenangan kota medan, baik di