(STUDI DI KECAMATAN TARUTUNG,
KABUPATEN TAPANULI UTARA)
TESIS
Oleh
PITA CHRISTIN SUZANNE ARITONANG
067011065/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(STUDI DI KECAMATAN TARUTUNG,
KABUPATEN TAPANULI UTARA)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
PITA CHRISTIN SUZANNE ARITONANG
067011065/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PANITA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum
Anggota : 1. Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA, PhD
2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
3. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA
Undang-Undang yang khusus mengatur tentang masalah pengangkatan anak. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ada mengatur tentang masalah pengangkatan anak. Dalam Pasal 39 Undang-Undang tersebut menyebutkan : “Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Secara umum disadari, bahwa yang terpenting dalam soal pengangkatan anak ini adalah demi kepentingan yang terbaik bagi si anak. Pengangkatan anak selalu mengutamakan kepentingan anak daripada kepentingan orang tua. Pengangkatan anak melarang pemanfaatan anak untuk kepentingan orang lain. Pengangkatan anak meliputi usaha mendapatkan kasih sayang, pengertian dari orang tua angkatnya, serta menikmati hak-haknya tanpa mempersoalkan ras, warna, seks, kebangsaan atau sosial.
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa dari berbagai bentuk pengangkatan anak yang dikenal di Indonesia mempunyai akibat hukum yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Untuk masyarakat pribumi perbedaan ini jelas terlihat antar daerah yang lingkungan hukumnya berbeda, sehingga akibat hukumnya dari pengangkatan anak itu berbeda pula. Dalam masyarakat Batak Toba arti seorang anak itu sangat penting. Hal ini dikarenakan masyarakat Batak Toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal, dimana anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan ayahnya. Oleh karena itu, apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai keturunan laki-laki setelah sekian tahun menikah, maka keluarga tersebut akan mengangkat seorang anak laki-laki.
In Act No. 23 of 2002 concerning to Child Protection, there is a provision about the child adoption. In Article 39 of Act said : “The adoption of child is conducted for the best interest of the child and based on the local custom and valid regulation”. Generally, the important thing in child adoption is the best interest of the child. The child adoption provide the priority to the interest of the child and not for the interest of the parents. Child adoption prohibit utilization of child for another man. The child adoption is effort to get love, attention of the adopted parents and to has rights without discrimination on ethnic, color, sex and nationality.
In fact, that of various child adoption method applied in Indonesia have the different law consequences in each region. For the native people, this difference is shown in the region with the different law that have a different of law consequency.
In Batak Toba people, a child has an important role. Because the Batak Toba society apply the partilinear family system where the son is inheritance of the male line. Therefore, if there is not a son in a family, the family must adopt a son.
Based on the results of study, Batak Toba society in subdistrict of Tarutung will adopt the child of they have not a child either son or daughter. The law consequency of the child adoption is the adopted parents and has not a right from his own father. In addition, the child will be heir of the adopted child.
Practically, in Batak Toba society in subdistrict of Tarutung, there are more family who adopt the child without ask the decision of the court, but only based on the local custom. Although in Article 39 of Act No. 23 of 2002 said that the adoption of child is based on the local custom, but it is suggested to ask the decision of the court for the law for the adopted child and parents.
karunia-Nya penulis dapat menyusun tesis ini dengan judul “KEDUDUKAN ANAK
ANGKAT DALAM HUKUM ADAT BATAK TOBA SETELAH
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang
harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dimana penulisan ini tidak terlepas
dari bimbingan, arahan, dan bantuan dari semua pihak, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing yang terhormat Bapak Prof. Dr.
Runtung Sitepu, SH, M.Hum, Bapak Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA, PhD, dan
Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS, CN, yang berkat bimbingan,
petunjuk dan arahan yang diberikan kepada penulis sehingga diperoleh hasil yang
maksimal.
Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada dosen penguji di luar
komisi pembimbing Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA dan Bapak Notaris
Syafnil Gani, SH, M.Hum yang telah banyak memberikan masukan, petunjuk dan
arahan yang membangun terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap
2.Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B. M.Sc, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dan para Asisten Direktur
beserta seluruh staf, atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan;
3.Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara Medan, yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam
penulisan tesis ini;
4.Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
khususnya di lingkungan Program Magister Kenotariatan, yang telah
membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada saya sehingga
dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik, atas jasa dan budi Bapak
dan Ibu Dosen, saya ucapkan terima kasih banyak;
5.Para Pegawai/Staf Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
khususnya di lingkungan Program Magister Kenotariatan, yang selalu
membantu penulis dalam kelancaran manajemen administrasi yang
dibutuhkan;
6.Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana
7.Orang tua saya, Alm. Bapak Drs. S. Aritonang dan Ibu L. Sitompul, SH
yang telah memberikan dukungan, semangat serta doa restu selama
menjalani pendidikan hingga selesainya tesis ini.
8.Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga
kepada Suami saya, S.J. Hutagalung, SP dan kedua putri saya, Carissa
Stefanny R. Hutagalung dan Geraldine Angelie T.D. Hutagalung yang telah
mendukung, memberikan semangat dan kesabaran hingga saya dapat
menyelesaikan pendidikan saya di Magister Kenotariatan ini.
9.Seluruh keluarga besar saya juga keluarga besar dari suami saya atas
dukungan dan semangat yang telah diberikan hingga selesainya tesis ini.
Demikianlah tesis ini saya perbuat, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi
khalayak ramai.
Medan, September 2008
Tempat/Tanggal Lahir : Medan/28 Nopember 1979
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Status Perkawinan : Menikah
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Abdullah Lubis No. 61/75 Medan
Ayah : Alm. Letkol. Pol. Purn. Drs. Santun Aritonang
Ibu : Lumongga Sitompul, SH
Suami : Salmon Jefri Hutagalung, SP
Anak : 1. Carissa Stefany Roseline Hutagalung
2. Geraldine Angelie Tari Damauly Hutagalung
PENDIDIKAN
1. Tahun 1991 : Tamat SD Methodish 1 Medan
2. Tahun 1994 : Tamat SMP Methodish 1 Medan
3. Tahun 1997 : Tamat SMU St. Thomas 1 Medan
4. Tahun 2002 : Tamat Strata-1 Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan
5. Tahun 2008 : Tamat Strata-2 Magister Kenotariatan, Sekolah
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR... iv
RIWAYAT HIDUP... vii
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR TABEL... xi
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah... 6
C. Tujuan Penelitian... 7
D. Manfaat Penelitian... 7
E. Keaslian Penelitian... 8
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 9
1. Kerangka Teori... 9
2. Kerangka Konsepsi... 14
G. Metodologi Penelitian ... 21
1. Sifat Penelitian... 21
2. Jenis Penelitian... 21
3. Lokasi Penelitian... 21
BAB II MOTIVASI ORANG BATAK TOBA DI KECAMATAN
TARUTUNG DALAM MELAKUKAN PENGANGKATAN
ANAK... 25
A. Gambaran Umum Pengangkatan Anak... 25
B. Deskripsi Kecamatan Tarutung... 27
C. Motivasi Orang Batak Toba di Kecamatan Tarutung Dalam Melakukan Pengangkatan Anak... 30
1) Kriteria Objek Pengangkatan Anak... 40
2) Kriteria Subjek Pengangkatan Anak... 43
3) Kriteria Asal Anak Angkat... 46
BAB III SYARAT DAN PROSES PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN TARUTUNG 49 A. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak... 49
A. Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak
Toba di Tarutung... 66
B. Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba di Tarutung Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 92
A. Kesimpulan... 92
B. Saran... 95
Tarutung... 28
2.a : Motivasi Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Tarutung... 35
2.b : Motivasi Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung
Tahun 2004–2007... 38
3.a : Kriteria Objek Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Tarutung... 41
3.b : Kriteria Objek Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan
Penetapan Pengadilan Tarutung Tahun 204-2007... 41
4.a : Kriteria Subjek Pengangkatan Anak Pada Masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Tarutung... 44
4.b : Kriteria Subjek Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung
Tahun 2004 – 2007... 45
5.a : Kriteria Asal Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba
di Kecamatan Tarutung... 46
5.b : Kriteria Asal Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan Penetapan
Pengadilan Negeri Tarutung Tahun 2004-2007... 47
6.a : Tata Cara Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung... 57
6.b : Tata Cara Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan Penetapan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Suatu perkawinan tidaklah bahagia tanpa kehadiran seorang anak.
Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi
kadang-kadang naluri ini terbentur pada Takdir Ilahi, dimana kehendak mempunyai
anak tidak tercapai.1
Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang dialaminya
tersebut, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan tersebut.
Usaha terakhir yang biasanya dilakukan untuk memenuhi kepuasan tersebut adalah
dengan mengangkat anak atau adopsi. 2
Pengangkatan anak atau adopsi bukanlah merupakan suatu hal yang baru. Di
Indonesia sendiri, masalah pengangkatan anak ada diatur dalam Pasal 39 – 41
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 12
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan dalam
1
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tiinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 1.
2
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak.
Tujuan dari lembaga pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan
keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak ada anak. Hal ini merupakan
motivasi yang dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar dan alternatif yang positif
dan manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam pelukan keluarga,
setelah bertahun-tahun belum dikaruniai seorang anak.3
Akan tetapi pada kenyataannya sekarang ini, perkembangan masyarakat
menunjukan bahwa tujuan lembaga pengangkatan anak tidak lagi semata-mata atas
motivasi untuk meneruskan keturunan saja, tetapi lebih beragam dari itu. Ada
berbagai motivasi yang mendorong seseorang untuk mengangkat anak, bahkan tidak
jarang pula karena faktor politik, ekonomi, sosial dan sebagainya.4
Secara umum disadari, bahwa yang terpenting dalam soal pengangkatan
anak ini adalah demi kepentingan yang terbaik bagi si anak.5 Pengangkatan anak
selalu mengutamakan kepentingan anak daripada kepentingan orang tua.
Pengangkatan anak melarang pemanfaatan anak untuk kepentingan orang lain.
Pengangkatan anak meliputi usaha mendapatkan kasih sayang, pengertian dari orang
tua angkatnya, serta menikmati hak-haknya tanpa mempersoalkan ras, warna, seks,
kebangsaan atau sosial.
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa dari berbagai bentuk
pengangkatan anak yang dikenal di Indonesia mempunyai akibat hukum yang
berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Untuk masyarakat
pribumi perbedaan ini jelas terlihat antar daerah yang lingkungan hukumnya berbeda,
sehingga akibat hukumnya dari pengangkatan anak itu berbeda pula.
Sering terjadi dalam masyarakat, bahwa seorang anak bukan keturunannya
dipelihara oleh suatu keluarga disebabkan akan terlantarnya anak tersebut bila
dibiarkan dalam asuhan orangtua kandungnya, maka dalam hal ini belum bisa
dikatakan sebagai pengangkatan anak. Karena pengangkatan anak adalah merupakan
suatu peristiwa penting yang harus dilakukan secara khusus dan menurut adat
kebiasaan masing-masing daerah.6
Untuk memenuhi kebutuhan hukum mengenai pengangkatan anak dapat
berpedoman kepada :7
1. Staatsblaad 1917 Nomor 129 mengenai Adopsi, berlaku bagi golongan
Tionghoa.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 (merupakan
penyempurnaan dari dan sekaligus menyatakan tidak berlaku Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979) jo Surat Edaran Mahkamah Agung
6
B.Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat
Hukumnya Dikemudian Hari, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 71.
7
Hotmariani Simbolon, Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya Terhadap Harta Benda
Perkawinan Orang Tua Angkat (Kajian Pada Masyarakat Batak Toba di Medan), Tesis Program
Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan anak yang berlaku bagi warga
negara Indonesia.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan
Anak.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak.
6. Hukum Adat (hukum tidak tertulis).
7. Jurisprudensi.
Menurut Pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, selanjutnya kita singkat dengan Undang-Undang Perlindungan
Anak, menyebutkan bahwa “Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Indonesia dikenal akan lingkungan adat yang beraneka ragam. Oleh karena
keanekaragaman motif, tata cara dan akibat hukum dalam pengangkatan anak di
masing-masing daerah, maka yang menjadi perhatian peneliti dalam hal ini adalah
khusus terhadap masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung.
Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekerabatan patrilineal, dimana
anak laki-laki merupakan penerus keturunan ataupun marganya dalam silsilah
keluarga. Apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, maka
disebut dengan “anak na niain”, dengan syarat anak laki-laki yang diangkat anak
tersebut haruslah berasal dari lingkungan keluarga atau kerabat dekat keluarga yang
mengangkat anak tersebut.
Pengangkatannya harus dilaksanakan secara terang, yaitu dilakukan
dihadapan “dalihan natolu” dan pemuka-pemuka adat yang bertempat tinggal di
desa sekeliling tempat tinggal orang yang mengangkat anak tersebut. Apabila
syarat-syarat pengangkatan anak sebagaimana diuraikan diatas telah terpenuhi maka anak
yang diangkat tersebut menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya dan tidak lagi
mewaris dari orang tua kandungnya.8
Adapun alasan memilih lokasi penelitian di Kecamatan Tarutung,
Kabupaten Tapanuli Utara adalah karena sebagian besar masyarakat yang tinggal di
Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara itu adalah suku Batak, sehingga
sangat cocok untuk dilakukan penelitian untuk mengetahui kebiasaan masyarakat
Batak Toba yang ada di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara dalam
melakukan pengangkatan anak, apakah mereka berpedoman kepada Pasal 39
Undang-Undang Perlindungan Anak atau tidak, karena banyak masyarakat Batak
Toba yang tidak lagi berpedoman sepenuhnya kepada hukum adatnya. Ada sebagian
masyarakat Batak Toba yang di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara
yang mengangkat anak, akan tetapi anak yang diangkat bukan lagi anak laki-laki,
melainkan anak perempuan. Selain itu juga ada masyarakat Batak Toba di Kecamatan
8
Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara yang mengangkat anak bukan berasal dari
kerabat sendiri melainkan dari luar kerabat.
Konsekwensi dari pengangkatan anak yang demikian ini tentu mempunyai
akibat hukum yang berbeda dari yang disyaratkan menurut hukum adat Batak Toba,
akan tetapi sejauh mana perubahan dimaksud perlu diadakan penelitian guna
memperoleh fakta-faktanya dari tengah-tengah masyarakat dimaksud untuk
selanjutnya dianalisis secara teoritis maupun menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku sepanjang berkaitan dengan lembaga pengangkatan anak.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka yang menjadi pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah motivasi masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung melakukan
pengangkatan anak?
2. Bagaimanakah syarat-syarat dan proses pengangkatan anak pada masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Tarutung?
3. Bagaimanakah kedudukan anak angkat dalam hukum adat Batak Toba di
Kecamatan Tarutung setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui motivasi masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung
dalam melakukan pengangkatan anak.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat dan proses pengangkatan anak pada masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Tarutung.
3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan anak angkat dalam hukum adat Batak
Toba di Kecamatan Tarutung setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu
hukum baik berupa teori maupun gagasan, khususnya yang berkaitan dengan
pengangkatan anak dalam masyarakat hukum adat Batak Toba.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat hukum
adat batak toba tentang bagaimana cara melakukan pengangkatan anak sesuai
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan
Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa tesis dengan judul
“KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT BATAK TOBA
SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (STUDI DI KECAMATAN
TARUTUNG, KABUPATEN TAPANULI UTARA)” merupakan penelitian
lanjutan, karena ada penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu :
Hotmariani br. Simbolon, mahasiswi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara tahun 2001 dengan judul “Pengangkatan Anak dan
Akibat Hukumnya Terhadap Harta Benda Perkawinan Orang Tua Angkat (Kajian
Pada Masyarakat Batak Toba di Medan), dengan perumusan masalah antara lain :
a. Bagaimana kedudukan hukum anak angkat di lingkungan keluarga orang tua
yang mengangkat.
b. Bagaimana kedudukan anak angkat atas harta benda perkawinan orang tua yang
mengangkat.
c. Bagaimana sikap pengadilan (Mahkamah Agung) terhadap kedudukan anak
angkat.
Akan tetapi perumusan masalah dan lokasi penelitian yang dilakukan
sebelumnya berbeda dengan lokasi penelitian yang akan peneliti lakukan. Oleh sebab
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Menurut Maria Sumardjono, teori adalah “Seperangkat proposisi yang berisi
konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar
variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang
digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana
hubungan antar variabel tersebut.9
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan
penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan-penemuan dan
menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori
merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang
dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.10
Teori yang dipakai dalam tesis ini adalah teori keadilan, yaitu teori yang
menganalisis dan menjelaskan tentang hak mengasuh, merawat, memelihara dan
mewujudkan perlindungan terhadap anak. Dapat dipastikan adanya ketidakadilan
apabila anak yang telah hilang orangtuanya tidak mendapat perhatian apapun dari
orang lain. Atau juga tidak adil apabila orang tua yang tidak memperoleh anak tidak
mendapat tempat untuk mencurahkan kasih sayangnya. Oleh karenanya akan
terpenuhi rasa keadilan apabila ada orang lain yang bertindak sebagai orang tuanya,
9
Maria Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989, hlm.12.
10
memberi perlindungan, kasih sayangnya, dan hak-hak lain, baik moril maupun
materil. 11
Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Hakikat
pembangunan nasional adalah membangun manusia seutuhnya. Melindungi anak
adalah melindungi manusia, yang adalah membangun manusia seutuhnya.
Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan
nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai
permasalahan sosial, yang dapat mengganggu ketertiban, keamanan dan
pembangunan nasional. Maka ini berarti bahwa perlindungan anak yang salah satu
upayanya melalui pengangkatan anak harus diusahakan apabila kita ingin
mensukseskan pembangunan nasional kita.12
Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan
“Orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh , memelihara,
mendidik dan melindungi anak”. Demikian juga dalam Pasal 9 Undang-Undang
Kesejahteraan Anak disebutkan “Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung
jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani , jasmani maupun
sosial”. Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa tanggungjawab orang tua atas
kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak
sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang
cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada
11
A. Hamid Sarong, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, Ringkasan Hasil Penelitian, USU, Medan, 2007, hlm. 9.
12
Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan serta berkemampuan untuk meneruskan
cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila.
Selain itu, juga digunakan teori pengayoman, dimana fungsi hukum adalah
pengayoman. 13 Hukum itu melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif,
yaitu memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan
keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal
yang manusiawi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan pengangkatan anak.
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan yang manusiawi, yaitu untuk melindungi
kepentingan si anak, agar kehidupannya lebih terjamin.
Melindungi secara pasif, yaitu memberikan perlindungan dalam berbagai
kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan, sehingga
manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tenteram. Dengan terjaminnya
kedudukan si anak angkat tersebut sebagai anak oleh keluarga angkatnya, maka
kedudukan anak tersebut dilindungi oleh hukum.
Demikian juga teori keseimbangan. Dalam kehidupan ini ada pasangan
suami-isteri yang mempunyai anak dan ada juga yang tidak mempunyai keturunan.
Orang yang tidak mempunyai keturunan akan memperoleh kesimbangan dari
pasangan yang ada keturunan.14
Dalam kenyataannya sekarang ini dimasyarakat, sering kita mendengar
banyaknya anak yang hilang atau diculik. Begitu pula dengan perdagangan anak,
13
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Pembangunan, Jakarta, 1993, hlm. 245.
dimana seorang anak dapat berpindah tangan dari orangtuanya di daerah miskin
kepada seorang perantara dengan imbalan jasa yang tak berarti, untuk selanjutnya
dijual kepada yang menginginkan di pasaran dalam dan luar negeri. Oleh karena itu
dalam hal pengangkatan anak itu diatur bahwa baik terhadap anak yang diangkat dan
orang tua yang hendak mengangkat anak harus jelas asal-usulnya dan dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, dengan tujuan untuk melindungi kepentingan baik si calon anak angkat
maupun calon orang tua angkat.
Peperangan juga mengakibatkan banyaknya anak-anak yang kehilangan
orang tuanya dan kelahiran anak diluar perkawinan meningkat, sehingga
menimbulkan masalah bagaimana caranya melindungi anak-anak tersebut. Salah satu
cara untuk melindungi dan menjaga ketertiban dan ketenteraman dalam masyarakat
adalah dengan melakukan pengangkatan anak. Hal ini relevan dengan Declaration of
the Right Child yang diterima dalam sidang Majelis Umum PBB tanggal 20
November 1959 yang menyatakan tentang Hak-Hak Universal dari Anak.
Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22
Undang-Undang Perlindungan Anak, dimana di dalamnya diatur bahwa negara dan
pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan dan
prasarana dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Dalam Pasal 23 ayat (1),
negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian
dalam Pasal 24 disebutkan negara dan pemerintah menjamin anak untuk
tingkat kecerdasan anak. Dalam Pasal 25 disebutkan bahwa kewajiban dan tanggung
jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui peran
masyarakat dalam menyelenggarakan perlindungan anak.
Di kalangan masyarakat adat, motif pengangkatan anak itu beraneka ragam,
yang dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dari masyarakat yang bersangkutan.
Di daerah yang mengikuti garis keturunan patrilineal, seperti masyarakat
Batak Toba, pada prinsipnya pengangkatan anak hanya pada anak laki-laki dengan
motif untuk melanjutkan keturunannya. Di daerah yang mengikuti garis keturunan
matrilineal, seperti di Minangkabau, pada prinsipnya tidak mengenal lembaga
pengangkatan anak. Di daerah yang mengikuti garis keturunan parental, seperti di
Jawa dan Sulawesi, pada prinsipnya pengangkatan anak itu dilakukan dengan alasan :
1. untuk memperkuat pertalian kekeluargaan dengan orang tua anak yang
diangkat.
2. untuk menolong anak yang diangkat atas dasar belas kasihan.
3. atas dasar kepercayaan agar dengan mengangkat anak, kedua orang tua angkat
akan dikaruniai anak sendiri.
4. untuk membantu pekerjaan orang tua angkat.
Menurut hukum adat, tata cara pengangkatan anak dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu :15
a. Tunai/kontan, artinya bahwa anak itu dilepaskan dari lingkungannya semula dan
dimasukkan kedalam kerabat yang mengadopsinya dengan suatu pembayaran
benda-benda magis, uang, pakaian.
b. Terang, artinya bahwa adopsi dilaksanakan dengan upacara-upacara dengan
bantuan para Kepala Persekutuan; ia harus terang diangkat kedalam tata hukum
masyarakat.
Oleh karena beragamnya tata cara pelaksanaan adopsi yang dikenal di
Indonesia, sehingga akibat hukum yang ditimbulkan juga beranekaragam antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Akibat hukum yang terpenting dari adopsi adalah :
1. masalah yang termasuk kekuasaan orang tua
2. hak waris
3. hak alimentasi (pemeliharaan)
4. soal nama.16
2. Kerangka Konsepsi
Dalam bahasa Latin, kata conceptio (didalam bahasa Belanda : begrip) atau
pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan
”definisi” yang didalam bahasa Latin adalah definitio. Defenisi tersebut berarti
perumusan (didalam bahasa Belanda : “omschrijving”) yang pada hakikatnya
16 Prof. Mr. Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Ketujuh Jilid
merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang
dikenal didalam epistemologi atau teori ilmu pengetahuan.17
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari
hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa
dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa,
sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskrimnasi
serta hak sipil dan kebebasan.18
Menurut Pasal 1 huruf i Undang-Undang Perlindungan Anak, anak angkat
adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua,
wali yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, selanjutnya disebut dengan Peraturan Pemerintah
Pengangkatan Anak, memberikan defenisi anak angkat adalah anak yang haknya
17
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 6.
18
dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang
lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan
atau penetapan pengadilan.
Menurut B. Bastian Tafal, anak angkat adalah anak yang diambil dan
dijadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang
laki-laki, mungkin pula seorang anak perempuan.19
Hilman Hadi Kusuma, mengemukakan anak angkat adalah anak orang lain
yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat
setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan
atas harta kekayaan rumah tangga.20
Mahmud Syaltut membedakan dua macam arti anak angkat, yaitu : pertama,
penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang
lain kedalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan,
pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan
diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri; kedua yakni yang dipahamkan dari
perkataan ‘tabanni’ (mengangkat anak secara mutlak). Menurut syariat adat dan
kebiasaan yang berlaku pada manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang
diketahuinya sebagai orang lain kedalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab
19
B.Bastian Tafal, loc.cit. hlm. 45.
20
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara
kepada dirinya, sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum
sebagai anak.21
Dalam masyarakat Batak Toba, anak angkat disebut juga dengan “Anak na
niain”. Anak na niain berasal dari kata ”ain” yang artinya “angkat”, yang menurut
kamus Batak Toba-Indonesia karangan J. Warneck, anak na niain berarti anak
angkat, sedangkan mangain artinya mengangkat seseorang menjadi anak sendiri.22
Menurut Pasal 1 angka (4) Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Pengangkatan
Anak, orang tua angkat adalah orang yang diberikan kekuasaan untuk merawat,
mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
adat kebiasaan.
Pengangkatan anak merupakan istilah yang digunakan di dalam hukum adat,
sedangkan di dalam hukum barat disebut Adopsi. Adopsi berasal dari kata adoptie
(Belanda) atau adoption (Inggris). Menurut Kamus Inggris-Indonesia karangan John
M Echols dan Hassan Shadily, Adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi,
dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut dengan adoption of a child.23
Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan Adopsi adalah suatu cara untuk
mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan
21
Dikutip dalam bukunya Muderis Zaini, ibid, hlm.5.
22
J.Warneck, Kamus Batak Toba-Indonesia, judul aslinya Toba Batak Nederlands
Woordenbook, diterjemahkan oleh P. Leo Joosten, OFM Cap, Bina Media, hlm. 5.
23
perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau
untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak.24
Pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak menyebutkan Pengangkatan anak adalah suatu
perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang
tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua
angkat.
R. Soepomo memberi rumusan terhadap adopsi, bahwa adopsi adalah
mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri.25
J.A. Nota, seorang sarjana hukum Belanda memberi rumusan pengertian
adopsi adalah suatu lembaga hukum (een rechtsinstelling), melalui mana seseorang
berpindah kedalam ikatan keluarga yang lain (baru) dan sedemikian rupa, sehingga
menimbulkan secara keseluruhan atau sebahagian hubungan-hubungan hukum yang
sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya. 26
B. Ter Haar Bzn berpendapat bahwa adopsi adalah perbuatan memasukkan
dalam keluarganya seorang anak yang tidak menjadi anggota keluarganya begitu rupa
24
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm. 8.
25
R. Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, terjemahan Ny. Nani Soewondo, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1967, hlm. 27.
26
sehingga menimbulkan hubungan kekeluargaan yang sama seperti hubungan
kemasyarakatan yang tertentu biologis, hal mana biasa terjadi di Indonesia.27
Surojo Wignjodipuro, memberikan pengertian adopsi (mengangkat anak)
adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri
sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang
dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara
orang tua dengan anak kandungnya sendiri.28
H.M. Hasballah Thaib, mengatakan adopsi adalah suatu usaha atau
perbuatan pengambilan anak dari orang yang mempunyai hubungan biologis
langsung untuk diangkat dan diakui menjadi anak orang lain. Dalam hal mana anak
adopsi itu diberikan fasilitas tertentu, seperti anak kandung sendiri, disamping anak
yang diadopsi dapat menimbulkan persaudaraan dan kekerabatan kepada lainnya.29
Nani Soewondo berpendapat adopsi itu dilakukan bila orang tidak
mempunyai anak sendiri, seringkali diangkat seorang anak dengan maksud
melanjutkan keturunan keluarga. Dengan berbagai upacara dan pemberian, seringkali
dengan diketahui oleh kepala-kepala adat, anak yang bersangkutan dilepaskan dari
keluarganya sendiri dan dimasukkan dalam keluarga orang tua yang
mengangkatnya.30
27
Dikutip dalam bukunya B. Bastian Tafal, SH, ibid, hlm. 47.
28
Dikutip dalam bukunya Muderis Zaini, SH, ibid, hlm. 5.
29
Hasballah Thaib, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqih Islam, Penerbit Fakultas Tarbiyah Universitas Dharmawangsa, Medan, 1995, hlm. 106.
30
Mr. Nani Soewondo Sorasno, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan
Menurut Iman Jauhari, adopsi adalah suatu perbuatan mengambil anak
orang lain kedalam keluarganya sendiri, sehingga dengan demikian antara orang yang
mengambil anak yang diangkat timbul suatu hubungan hukum.31
Dalam masyarakat Batak Toba, adopsi itu ada dua jenis, yaitu pertama,
adopsi secara umum, yaitu adopsi yang sifatnya formal dan bukan merupakan
peristiwa hukum, oleh karena itu perbuatan tersebut tidak mempunyai akibat hukum;
kedua, adopsi secara khusus, yaitu adopsi yang merupakan peristiwa hukum serta
mempunyai akibat hukum, misalnya anak na niain.32
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat ditarik unsur-unsur
pengangkatan anak adalah sebagai berikut :
1. Adanya perbuatan mengambil/mengangkat anak orang lain yang berasal dari
luar kerabat atau dari dalam kerabat orang yang mengangkat menjadi anaknya
sendiri.
2. Perbuatan mengangkat anak tersebut menimbulkan suatu hubungan hukum
antara anak yang diangkat dengan orang tua yang mengangkat anak tersebut.
3. Anak yang diangkat itu biasanya adalah anak laki-laki, tapi tidak tertutup
kemungkinan anak yang diangkat itu adalah anak perempuan.
4. Pengangkatan anak itu dilangsungkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan adat-kebiasaan masing-masing daerah.
31
Iman Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Penerbit Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hlm. 7.
32
G. Metodologi Penelitian
1. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang
bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang
diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat mengenai pengangkatan anak yang
dilakukan oleh masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung setelah keluarnya
Undang-Undang Perlindungan Anak.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian
hukum empiri33s, yakni dengan menelusuri bagaimana kedudukan anak angkat dalam
masyarakat Batak Toba setelah berlakunya Undang-Undang Perlindungan Anak
(Studi di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara)
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli
Utara, dimana masyarakat didaerah tersebut kebanyakan suku Batak Toba dan
masyarakat tersebut masih menjunjung tinggi adat istiadat setempat, sehingga sangat
cocok untuk dijadikan lokasi penelitian.
33
Berdasarkan data statistik Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara
tahun 2007 jumlah penduduk di Kecamatan Tarutung berjumlah 38.404 jiwa, dimana
90 % diantaranya adalah suku Batak Toba.
4. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah orang-orang Batak Toba yang pernah
melakukan pengangkatan anak yang berada di Kecamatan Tarutung, Kabupaten
Tapanuli Utara.
Oleh karena pengangkatan anak mempunyai karakteristik tersendiri, maka
teknik pengambilan sampel yang paling mendekati adalah dengan teknik purposive
sampling.34 Jumlah sampel yang diambil sebanyak 15 responden dan untuk
melengkapi data primer, diambil juga data sekunder berupa 2 Penetapan Pengadilan
tentang Pengangkatan Anak dan data tambahan dari beberapa informan, antara lain :
a. Notaris sebanyak 1 orang.
b. Pemuka Adat yang berdomisili di Kecamatan Tarutung sebanyak 3 orang.
c. Ketua Pengadilan Tarutung.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan cara,yaitu :
a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan
melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
b. Penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer dari
responden dan informan. dengan melakukan wawancara.35
6. Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya
serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini
diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara
sebagai berikut :
a. Studi dokumen dengan menggunakan check list, yaitu meneliti dan mempelajari
serta menganalisa bahan kepustakaan.
b. Wawancara (interview) langsung dengan para responden dengan menggunakan
daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara.
7. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya
kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.36 Setelah data primer dan data
35
Hermawan Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 1997, hlm. 71.
36
sekunder diperoleh, selanjutnya akan dianalisis melalui tiga tahapan, yaitu tahap
persiapan, tahap tabulasi dan tahap penarikan kesimpulan.
Pada tahap persiapan, data primer dan data sekunder yang telah diperoleh
diedit. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah data-data yang diperoleh sudah
mencukupi dan juga untuk menghindari kemungkinan terjadi data yang kurang
lengkap.
Selanjutnya, data primer dan data sekunder yang terkumpul dianalisis secara
kualitatif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode induktif.
Setelah melakukan analisis, maka kesimpulan yang didapat sebagai jawaban
BAB II
MOTIVASI ORANG BATAK TOBA
DI KECAMATAN TARUTUNG DALAM MELAKUKAN PENGANGKATAN ANAK
A. Gambaran Umum Pengangkatan Anak
Ada beberapa istilah yang dikenal dalam pengangkatan anak di Indonesia,
misalnya adopsi (berasal dari bahasa Belanda yaitu adoptie), mupu anak (di Cirebon),
ngukut anak (di Sunda Jawa Barat), nyentanayang (di Bali), mangain anak (di Batak
Toba), mulang jurai (di Rejang), ngukup anak (di suku Dayak Manyan), anak pulung
(di Singaraja), napuluku atau wengga (di Kabupaten Paniai Jayapura). Istilah yang
dipakai dalam perundang-undangan Republik Indonesia yang bermakna perbuatan
hukum mengangkat anak adalah “pengangkatan anak”. Istilah untuk anak yang
diangkat disebut “anak angkat”, sedangkan istilah untuk orang tua yang mengangkat
anak disebut dengan “orang tua angkat”.
Pengangkatan anak terdiri atas :37
1) Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia, meliputi :
a. Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan
b. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2) Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing
(Inter Country Adoption), meliputi :
37
a. Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing;
dan
b. Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia.
Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat adalah
pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih
melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengangkatan anak
berdasarkan adat kebiasaan setempat ini dapat dimohonkan penetapan pengadilan.
Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan mencakup
pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga
pengasuhan anak. Pengangkatan anak secara langsung adalah pengangkatan anak
yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada
langsung dalam pengawasan orang tua kandung. Yang dimaksud dengan
pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak adalah pengangkatan anak
yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada
dalam lembaga pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Menteri.38
Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU RI
Nomor 12 Tahun 2006) memberikan kemungkinan untuk terjadinya pengangkatan
anak antar negara Indonesia dengan negara lain. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal
21 UU RI Nomor 12 Tahun 2006 yang menyebutkan “Anak warga negara asing yang
belum berusia lima tahun yang diangkat secara sah menurut penetapan pengadilan
38
sebagai anak Warga Negara Indonesia memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia”. Meskipun persyaratan untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia
dengan jalan pewarganegaraan cukup rumit dan memakan banyak waktu, tetapi pada
kenyataannya tampak makin banyak permohonan pengangkatan anak warga-warga
negara Cina oleh warga negara Indonesia yang jelas lebih terdorong keinginan untuk
mendapat kewarganegaraan Republik Indonesia, daripada kepentingan anak yang
akan diangkat tersebut.
European Convention On The Adoption Of Children, antara lain
menetapkan bahwa pengangkatan anak antar bangsa (inter state/country adoption)
dianggap sah atau sah sifatnya apabila dinyatakan oleh Pengadilan. Dengan perkataan
lain penetapan atau putusan pengadilan merupakan syarat esensial bagi sahnya
pengangkatan anak.39
Demikian juga halnya terhadap pengangkatan anak antar Warga Negara
Indonesia. Walaupun pengangkatan anak tersebut telah sah dilakukan berdasarkan
adat kebiasaan setempat, akan tetapi untuk lebih memberikan kepastian hukum akan
lebih baik bila dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan setempat.
B. Deskripsi Kecamatan Tarutung
Kecamatan Tarutung adalah salah satu dari 15 kecamatan yang ada di
Kabupaten Tapanuli Utara. Luas wilayah Kecamatan Tarutung sekitar 107,68 Km2
39
dengan jumlah penduduk sebanyak 38.404 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sekitar
18.580 jiwa dan yang perempuan 19.824 jiwa.
Tabel 1. Nama-Nama Desa Yang Terdapat di Kecamatan Tarutung
No Nama Desa Jumlah Penduduk
1 Siandor-andor 562
2 Hutape Banuarea 986
3 Parbubu Pea 516
4 Parbubu II 715
5 Parbubu Dolok 1.109
6 Hutatoruan VIII 391
7 Parbubu I 1.030
8 Hutatoruan I 1.731
9 Sosunggulon 925
10 Parbaju Toruan 1.219
11 Hapoltahan 911
12 Hutatoruan IV 854
13 Aek Siam Simun 1.519
14 Hutataoruan V 758
15 Hutatoruan VI 620
Tabel 1. Lanjutan
17 Hutatoruan IX 1.193
18 Hutatoruan X 4.652
19 Hutatoruan VII 4.878
20 Partali Toruan 2.353
21 Parbaju Tonga 1.002
22 Simamora 1.981
23 Hutagalung Siwalu Ompu 1.167
24 Siraja Oloan 1.183
25 Hutauruk 484
26 Parbaju Julu 966
27 Partali Julu 977
28 Sitampurung 798
29 Jambur Nauli 993
30 Sihujur 429
31 Hutatoruan III *) -
Jumlah 38.404
Sumber BPS : Tarutung Dalam Angka Tahun 2007 *) Data masih bergabung dengan desa induknya
Mayoritas penduduk Kecamatan Tarutung beragama Kristen Protestan yaitu
penduduk yang beragama Katolik sebesar 4,49%. Banyaknya rumah tangga pada
tahun 2007 sebesar 7.861 dengan kepadatan penduduk 356,65 Jiwa/Km2.
Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Tarutung adalah bertani,
beternak, menenun ulos, berdagang, pegawai negeri, dan ada juga yang wiraswasta.
Kecamatan Tarutung merupakan salah satu objek wisata rohani, yaitu terdapatnya
Salib Kasih.
Sasaran sampel yang diperoleh bukan dari masing-masing desa, akan tetapi
hanya dari beberapa desa dimana ada terdapat pengangkatan anak. Para responden
adalah para orang tua angkat yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan
Undang-Undang untuk melakukan pengangkatan anak. Para responden tidak bersedia untuk
memberikan identitas maupun alamat mereka yang sebenarnya.
C. Motivasi Orang Batak Toba di Kecamatan Tarutung Dalam Melakukan
Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak bukanlah suatu hal yang baru yang kita temui dalam
masyarakat. Hal ini sudah berlangsung sejak lama. Motivasi pengangkatan anak juga
beranekaragam. Motivasi pengangkatan anak bila ditinjau dari segi hukum adat ada
14 macam, antara lain :40
1. Karena tidak mempunyai anak.
2. Karena belas kasihan kepada anak tersebut, disebabkan orang tua si anak tidak
mampu memberikan nafkah kepadanya.
40
3. Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai
orang tua (yatim piatu).
4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuan
atau sebaliknya.
5. Sebagai pemancing bagi yang tidak punya anak untuk bisa mempunyai anak
kandung.
6. Untuk menambah jumlah keluarga.
7. Dengan maksud agar si anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik.
8. Karena faktor kepercayaan, yaitu untuk mengambil berkat atau tuah baik bagi
orang tua yang mengangkat dan untuk anak yang diangkat agar kehidupannya
bertambah baik.
9. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris (regenerasi) bagi
yang tidak mempunyai anak kandung.
10. Adanya hubungan kekeluargaan, lagi pula tidak mempunyai anak, maka diminta
oleh orang tua kandung si anak kepada suatu keluarga tersebut supaya dijadikan
anak angkat.
11. Diharapkan anak angkat dapat menolong di hari tua dan menyambung
keturunan bagi yang tidak mempunyai anak.
12. Karena kasihan atas nasib anak yang seperti tidak terurus.
13. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Misalnya hal ini terjadi karena
berbagai macam latar belakang yang dapat menyebabkan kerenggangan
diperlukan pengangkatan anak semacam ini dalam rangka mempererat kembali
hubungan kekeluargaan.
14. Karena anak kandung sering penyakitan atau selalu meninggal, maka untuk
menyelamatkan si anak diberikanlah anak tersebut kepada keluarga atau orang
lain yang belum atau tidak mempunyai anak dengan harapan anak yang
bersangkutan akan selalu sehat dan panjang usia.
Tujuan hidup masyarakat Batak Toba adalah tercapainya hamoraon
(kekayaan), hagabeon (keturunan yang banyak) dan hasangapon (kemuliaan). Para
orang tua dalam kehidupannya menginginkan agar mempunyai keturunan yang
banyak, yaitu maranak sampulu pitu, marboru sampulu onom (mempunyai anak
laki-laki sebanyak 17 orang dan anak perempuan sebanyak 16 orang).
Dari ungkapan di atas kelihatan bahwa anak laki-laki mempunyai
keistimewaan dalam pandangan orang tua, karena dalam perbandingan jumlah anak
kelihatan bahwa jumlah anak laki-laki lebih banyak dari jumlah anak perempuan.
Bagi seorang ayah, anak laki-laki adalah penerus garis keturunannya, sehingga anak
laki-laki sering disebut ayahnya sebagai sinuan tunas (tunas yang baru). Apabila
seorang ayah tidak memiliki anak laki-laki, maka si ayah disebut punu, kelak bila ia
silsilahnya akan terputus dan seluruh harta bendanya akan diambil alih oleh
saudara-saudaranya (ditean).41
Oleh sebab itu orang Batak sangat mendambakan agar anaknya yang
pertama adalah laki-laki. Dalam keadaan demikian sang isteri tidak merasa khawatir
lagi akan diceraikan karena telah ada ihot (pengikat) dirinya dengan marga suaminya.
Seorang ayah dalam kenyataannya lebih kasih kepada anak laki-lakinya.
Dalam ungkapan sering disebut dompak marmeme anak, unduk marmeme boru,
maksudnya adalah wajah si ayah berhadapan dengan anak laki-lakinya bila marmeme
(yaitu suatu cara yang khas dalam memberi makan seorang bayi, dimana orang tua
mengunyah nasi dalam mulutnya sehingga lumat dan kemudian dimasukkan ke mulut
si bayi, hal mana sekarang telah jarang dilakukan), sedangkan terhadap boru (anak
perempuan) bersikap menunduk. Ungkapan ini menggambarkan perlakuan yang lebih
istimewa terhadap anak laki-laki.42
Seorang Pemuka Adat di Kecamatan Tarutung menuturkan apabila dalam
suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki, dahulu akan mengalami hal-hal berikut
ini :43
a. Putus marga.
b. Apabila dia meninggal, dia tidak sarimatua, yaitu suatu tingkatan kesejahteraan
menurut adat Batak Toba yang berpengaruh pada upacara kematian seseorang.
41
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan
Keluarga Dan Masyarakat Setempat Daerah Sumatera Utara, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1984/1985, hlm. 32.
42
Ibid.
43
c. Dang boi pajongjong adat di harajaon, yang artinya bahwa dia tidak boleh
mengadakan pesta besar seperti pesta tambak (ulaon turun).
d. Songon tandiang na hapuloan (merasa terasing).
e. Mengkel di sihapataran, tangis di sihabunian (tertawa di tempat ramai, tetapi
menangis di tempat yang tersembunyi).
Bagi masyarakat Batak Toba, anak adalah kebanggaan yang tiada taranya,
sehingga sering disebut anakkonhi do hamoraon di au, yang artinya anakku adalah
kekayaan bagiku. Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, orang tua rela untuk
melakukan apa saja asalkan anaknya dapat hidup lebih baik dari kehidupan orang
tuanya yang sekarang. Seorang anak harus lebih berhasil atau lebih tinggi
kedudukannya dari orang tuanya. Oleh karena itu si anak tersebut disekolahkan
setinggi mungkin (ingkon do singkola satimbo-timbona) agar kelak anak tersebut
mendapat penghidupan yang lebih baik yang dapat menaikkan derajat orang tuanya.
Oleh karena demikian pentingnya arti seorang anak bagi kehidupan
masyarakat Batak Toba, sehingga apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai
anak setelah menikah sekian tahun akan melakukan pengangkatan anak.
Para responden yang di wawancarai adalah pasangan suami-isteri yang
pernah melakukan pengangkatan anak, bahkan juga ada single parent yang
melakukan pengangkatan anak. Para responden tersebut memiliki syarat-syarat
(kriteria) yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan untuk melakukan
pengangkatan anak. Para responden tersebut tidak bersedia untuk memberikan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data-data dari
hasil wawancara dengan para responden (yaitu 15 orang pasangan suami-isteri yang
melakukan pengangkatan anak), para informan (yaitu 1 orang notaris, 3 orang
pemuka adat dan ketua pengadilan negeri Tarutung), ditambah 2 Penetapan
Pengadilan tentang permohonan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Tarutung,
maka dibawah ini akan diuraikan Motivasi dilakukannya pengangkatan anak oleh
masyarakat batak toba di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara sebagai
berikut :
Tabel 2.a. Motivasi Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung
2 Rasa belas kasihan, mengurus hari
tua dan untuk melanjutkan
keturunan
3 2 5 33,3
3 Rasa belas kasihan dan ikatan
kekeluargaan 1 2 3 20
4 Untuk kepentingan adat - 1 1 6,7
Jumlah 10 5 15 100
Dari Tabel 2.a di atas dapat kita lihat latar belakang pengangkatan anak oleh
masyarakat Batak Toba di Tarutung dari 15 responden adalah untuk melanjutkan
keturunan (40%), rasa belas kasihan, mengurus hari tua dan melanjutkan keturunan
(33,3%), rasa belas kasihan dan ikatan kekeluargaan (20%), untuk kepentingan adat
(6,7%). Dari tabel tersebut dapat dilihat kecenderungan latar belakang pengangkatan
anak oleh masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung adalah untuk melanjutkan
keturunan.
Kecenderungan ini dapat dikatakan timbul karena pentingnya arti seorang
anak laki-laki bagi masyarakat Batak Toba di Tarutung untuk meneruskan garis
keturunan. Apabila dalam suatu keluarga tidak ada mempunyai seorang anak
laki-laki, maka garis keturunan atau penerus nama keluarga tersebut tidak akan ada lagi
atau akan berhenti sampai disitu. Oleh karena itu sangatlah penting arti seorang anak
laki-laki bagi masyarakat batak toba.
Selain itu masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal,
dimana yang melanjutkan garis keturunan adalah anak laki-laki, sehingga apabila
dalam suatu keluarga tidak ada anak laki-laki, maka akan mengangkat seorang anak
laki-laki sebagai penerus keturunan.44
Latar belakang pengangkatan anak dilakukan karena terdorong rasa belas
kasihan dan ingin meningkatkan kesejahteraan anak tersebut, biasanya latar belakang
anak yang diangkat berasal dari luar kerabat yang orang tuanya tidak mampu (karena
44
banyak anaknya) atau karena anak tersebut lahir dari orang tua yang tidak terikat
perkawinan sah, sehingga ibu kandungnya tidak mau merawat anak tersebut dan ingin
menutupi aibnya dengan memberikan anaknya tersebut kepada orang lain.
Ada juga latar belakang pengangkatan anak karena rasa belas kasihan dan
ikatan kekeluargaan. Hal ini biasanya karena rasa kasihan melihat anak tersebut tidak
terurus oleh orang tua kandungnya, oleh karena anaknya banyak dan kesulitan
ekonomi. Untuk dapat memberikan penghidupan yang lebih baik bagi si anak dan
untuk mempererat ikatan kekeluargaan, maka anak tersebut diangkat sebagai anak.
Perincian latar belakang pengangkatan anak dari para responden akan
diuraikan sebagai berikut :
1) Ada 6 orang responden yang melakukan pengangkatan anak dengan latar
belakang, yaitu : untuk melanjutkan keturunan.
2) Ada 5 orang responden yang melakukan pengangkatan anak dengan latar
belakang, yaitu : rasa belas kasihan, mengurus hari tua dan untuk melanjutkan
keturunan.
3) Ada 3 orang responden yang melakukan pengangkatan anak dengan latar
belakang, yaitu : rasa belas kasihan dan ikatan kekeluargaan.
4) Ada 1 orang responden yang melakukan pengangkatan anak dengan latar
belakang, yaitu : untuk kepentingan adat. Untuk kepentingan adat maksudnya
adalah bahwa apabila anak yang diangkat tersebut hendak menikah, maka
anak dari orang tua angkatnya. Sehingga demi kepentingan adat tersebut, anak
tersebut diangkat sebagai anak.
Selanjutnya berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung dapat
dilihat motivasi pengangkatan anak oleh masyarakat Batak Toba di Kecamatan
Tarutung melalui tabel di bawah ini :
Tabel 2.b. Motivasi Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung
2 Rasa belas kasihan, mengurus hari
tua dan untuk melanjutkan
keturunan
1 - 1 50
Jumlah 2 - 2 100
Sumber : Dokumentasi Pengadilan Negeri Tarutung tahun 2004 – 2007 yang diolah.
Dari Tabel 2.b, motivasi pengangkatan anak oleh masyarakat Batak Toba di
Kecamatan Tarutung berdasarkan penetapan pengadilan adalah untuk melanjutkan
keturunan (50%) dan karena rasa belas kasihan, mengurus hari tua dan untuk
melanjutkan keturunan (50%).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, bahwa masyarakat Batak Toba di
melakukannya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku, dan sangat sedikit yang
pergi ke pengadilan untuk melakukan pengangkatan anak. Hal ini disebabkan oleh
karena kurangnya pengetahuan masyarakat Batak Toba di Tarutung akan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana dalam melakukan
pengangkatan anak dapat juga dilakukan melalui penetapan pengadilan ataupun
melalui notaris.
Menurut masyarakat Batak Toba yang ada di Kecamatan Tarutung, bahwa
dalam melakukan pengangkatan anak cukup dilakukan melalui adat Batak Toba yang
berlaku dan tidak perlu di minta penetapannya ke pengadilan.45
Dari 2 penetapan pengadilan mengenai pengangkatan anak di Pengadilan
Negeri Tarutung, ditemui motivasi pengangkatan anak adalah :
1) Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung Nomor :
09/Pdt.P/2004/PN-Trt, dimana sepasang suami-isteri, yaitu J.M. Nainggolan dan
Ny. N.J. br. Marbun mengangkat seorang anak laki-laki yang berasal dari luar
kerabat (yaitu anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah) dengan latar
belakang tidak mempunyai keturunan setelah 10 tahun menikah.
2) Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung Nomor :
11/Pdt.P/2005/PN-Trt., dimana sepasang suami-isteri, yaitu S.P. Hutagalung
dan Ny. T. br. Tobing mengangkat seorang anak laki-laki yang berasal dari luar
kerabat (yaitu anak yang tidak diketahui asal usulnya) dengan latar belakang :
45
rasa belas kasihan terhadap si anak, agar ada yang mengurus mereka kelak bila
sudah tua dan juga karena mereka tidak mempunyai keturunan.
Dari kedua penetapan pengadilan di atas nampak bahwa anak yang diangkat
adalah anak yang berasal dari luar kerabat (ada yang berasal dari luar perkawinan
yang sah dan yang satu lagi tidak diketahui asal usulnya). Hal ini pada prinsipnya
bertentangan dengan adat masyarakat Batak Toba, dimana menurut adat masyarakat
Batak Toba anak yang diangkat haruslah berasal dari keluarga/kerabat sendiri. Oleh
karena adanya hal inilah makanya pasangan tersebut datang ke pengadilan untuk
meminta perlindungan dan kepastian hukum.46
1) Kriteria Objek Pengangkatan Anak
Kriteria objek pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat Batak
Toba di Kecamatan Tarutung dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3.a. Kriteria Objek Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung
n=15
No Kriteria Objek Pengangkatan Anak Jumlah %
1 Anak Laki-laki 10 66,67
2 Anak Perempuan 5 33,33
Jumlah 15 100
Sumber : Data primer yang diolah tahun 2008.
46
Dari Tabel 3.a. di atas dapat dilihat bahwa objek pengangkatan anak pada
masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung, dari 15 orang responden yang
mengangkat anak laki-laki sebanyak 10 orang (66,67%) dan yang mengangkat anak
perempuan sebanyak 5 orang (33,33%).
Selanjutnya berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung dapat
dilihat motivasi pengangkatan anak oleh masyarakat Batak Toba di Kecamatan
Tarutung melalui tabel di bawah ini :
Tabel 3.b. Kriteria Objek Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan Penetapan Pengadilan Tarutung Tahun 2004-2007
No Kriteria Objek Pengangkatan Anak Jumlah %
1 Anak Laki-laki 2 100
2 Anak Perempuan - 0
Jumlah 2 100
Sumber : Dokumentasi Pengadilan Negeri Tarutung tahun 2004-2007 yang diolah.
Dari Tabel 3.b. di atas dapat dilihat bahwa objek pengangkatan anak pada
masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung berdasarkan penetapan Pengadilan
Negeri Tarutung tahun 2004 – 2007, dari 2 penetapan yang mengangkat anak
laki-laki sebanyak 2 orang (100%) dan tidak ada yang mengangkat anak perempuan (0%).
Dari kedua tabel di atas, jelas nampak perbedaan yang jelas antara kedua
objek pengangkatan anak tersebut, dimana ada kecenderungan untuk mengangkat
Hal ini dikaitkan dengan latar belakang terjadinya pengangkatan anak oleh
masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung yaitu untuk meneruskan keturunan.
Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung menganut sistem
kekeluargaan patrilineal, dimana anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Apabila
dalam keluarga tersebut tidak ada keturunan atau anak laki-laki, maka keluarga
tersebut akan memilih untuk mengangkat anak laki-laki dari pada anak perempuan,
karena anak laki-laki lah yang dapat menyandang nama keluarga dan melanjutkan
keturunan.
Selain itu juga dalam masyarakat Batak Toba, seorang ayah selalu sayang
kepada anak-anaknya, teristimewa kepada anak laki-laki. Hal ini disebabkan anak
laki-laki adalah tampuk ni pusu-pusu, ihot ni ate-ate (anak laki-laki merupakan
jantungnya dan pengikat hatinya). Makna yang lebih dalam dari ungkapan ini adalah
anak laki-laki merupakan sandaran hidup orang tuanya, terutama kelak bila mereka
tua.
Menurut kebiasaan masyarakat Batak Toba, antara ayah dengan anak
perempuan dibatasi oleh hubungan segan (na marsubang), yang dalam istilah
antropologi sering disebut avoidance relationship.47 Oleh sebab itu antara ayah
dengan anak perempuan tidak boleh bermain-main atau berseloroh yang
berlebih-lebihan sebagaimana layaknya antara ayah terhadap anak laki-lakinya; tetapi antara
mereka harus menjaga sopan santun baik dalam berbicara maupun bertingkah laku.
47
Akan tetapi walaupun begitu, dalam kehidupan masyarakat Batak Toba
terdapat ungkapan anak hamatean, boru hangoluan, yang artinya anak laki-laki
sering menyebabkan kematian orang tuanya karena selalu menghabisi harta kekayaan
orang tuanya. Sebaliknya anak perempuan adalah kehidupan bagi orang tuanya
karena anak perempuan lebih bertanggung jawab dan perhatian kepada orang
tuanya.48
Sesuai dengan perkembangan jaman yang sekarang ini, sudah seharusnya
perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan tidak lagi menjadi masalah.
Akan tetapi oleh karena masyarakat Batak Toba yang berada di Kecamatan Tarutung
masih menjunjung adat dan kebiasaan setempat, oleh karena itu terdapat
kecendrungan apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai keturunan, terutama
anak laki maka lebih banyak para orang tua angkat mengangkat anak angkat
laki-laki dari pada mengangkat anak angkat perempuan.
2) Kriteria Subjek Pengangkatan Anak
Kriteria subjek pengangkatan anak pada masyarakat Batak Toba di
Kecamatan Tarutung dapat dilihat dari tabel berikut ini :
48