• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara)"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI DI KECAMATAN TARUTUNG,

KABUPATEN TAPANULI UTARA)

TESIS

Oleh

PITA CHRISTIN SUZANNE ARITONANG

067011065/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

(STUDI DI KECAMATAN TARUTUNG,

KABUPATEN TAPANULI UTARA)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

PITA CHRISTIN SUZANNE ARITONANG

067011065/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PANITA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum

Anggota : 1. Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA, PhD

2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

3. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA

(4)

Undang-Undang yang khusus mengatur tentang masalah pengangkatan anak. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ada mengatur tentang masalah pengangkatan anak. Dalam Pasal 39 Undang-Undang tersebut menyebutkan : “Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Secara umum disadari, bahwa yang terpenting dalam soal pengangkatan anak ini adalah demi kepentingan yang terbaik bagi si anak. Pengangkatan anak selalu mengutamakan kepentingan anak daripada kepentingan orang tua. Pengangkatan anak melarang pemanfaatan anak untuk kepentingan orang lain. Pengangkatan anak meliputi usaha mendapatkan kasih sayang, pengertian dari orang tua angkatnya, serta menikmati hak-haknya tanpa mempersoalkan ras, warna, seks, kebangsaan atau sosial.

Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa dari berbagai bentuk pengangkatan anak yang dikenal di Indonesia mempunyai akibat hukum yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Untuk masyarakat pribumi perbedaan ini jelas terlihat antar daerah yang lingkungan hukumnya berbeda, sehingga akibat hukumnya dari pengangkatan anak itu berbeda pula. Dalam masyarakat Batak Toba arti seorang anak itu sangat penting. Hal ini dikarenakan masyarakat Batak Toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal, dimana anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan ayahnya. Oleh karena itu, apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai keturunan laki-laki setelah sekian tahun menikah, maka keluarga tersebut akan mengangkat seorang anak laki-laki.

(5)
(6)

In Act No. 23 of 2002 concerning to Child Protection, there is a provision about the child adoption. In Article 39 of Act said : “The adoption of child is conducted for the best interest of the child and based on the local custom and valid regulation”. Generally, the important thing in child adoption is the best interest of the child. The child adoption provide the priority to the interest of the child and not for the interest of the parents. Child adoption prohibit utilization of child for another man. The child adoption is effort to get love, attention of the adopted parents and to has rights without discrimination on ethnic, color, sex and nationality.

In fact, that of various child adoption method applied in Indonesia have the different law consequences in each region. For the native people, this difference is shown in the region with the different law that have a different of law consequency.

In Batak Toba people, a child has an important role. Because the Batak Toba society apply the partilinear family system where the son is inheritance of the male line. Therefore, if there is not a son in a family, the family must adopt a son.

Based on the results of study, Batak Toba society in subdistrict of Tarutung will adopt the child of they have not a child either son or daughter. The law consequency of the child adoption is the adopted parents and has not a right from his own father. In addition, the child will be heir of the adopted child.

Practically, in Batak Toba society in subdistrict of Tarutung, there are more family who adopt the child without ask the decision of the court, but only based on the local custom. Although in Article 39 of Act No. 23 of 2002 said that the adoption of child is based on the local custom, but it is suggested to ask the decision of the court for the law for the adopted child and parents.

(7)

karunia-Nya penulis dapat menyusun tesis ini dengan judul “KEDUDUKAN ANAK

ANGKAT DALAM HUKUM ADAT BATAK TOBA SETELAH

BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang

harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dimana penulisan ini tidak terlepas

dari bimbingan, arahan, dan bantuan dari semua pihak, sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis sampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing yang terhormat Bapak Prof. Dr.

Runtung Sitepu, SH, M.Hum, Bapak Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA, PhD, dan

Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS, CN, yang berkat bimbingan,

petunjuk dan arahan yang diberikan kepada penulis sehingga diperoleh hasil yang

maksimal.

Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada dosen penguji di luar

komisi pembimbing Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA dan Bapak Notaris

Syafnil Gani, SH, M.Hum yang telah banyak memberikan masukan, petunjuk dan

arahan yang membangun terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap

(8)

2.Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B. M.Sc, selaku Direktur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dan para Asisten Direktur

beserta seluruh staf, atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan;

3.Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara Medan, yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam

penulisan tesis ini;

4.Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

khususnya di lingkungan Program Magister Kenotariatan, yang telah

membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada saya sehingga

dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik, atas jasa dan budi Bapak

dan Ibu Dosen, saya ucapkan terima kasih banyak;

5.Para Pegawai/Staf Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

khususnya di lingkungan Program Magister Kenotariatan, yang selalu

membantu penulis dalam kelancaran manajemen administrasi yang

dibutuhkan;

6.Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana

(9)

7.Orang tua saya, Alm. Bapak Drs. S. Aritonang dan Ibu L. Sitompul, SH

yang telah memberikan dukungan, semangat serta doa restu selama

menjalani pendidikan hingga selesainya tesis ini.

8.Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga

kepada Suami saya, S.J. Hutagalung, SP dan kedua putri saya, Carissa

Stefanny R. Hutagalung dan Geraldine Angelie T.D. Hutagalung yang telah

mendukung, memberikan semangat dan kesabaran hingga saya dapat

menyelesaikan pendidikan saya di Magister Kenotariatan ini.

9.Seluruh keluarga besar saya juga keluarga besar dari suami saya atas

dukungan dan semangat yang telah diberikan hingga selesainya tesis ini.

Demikianlah tesis ini saya perbuat, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi

khalayak ramai.

Medan, September 2008

(10)

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/28 Nopember 1979

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen

Status Perkawinan : Menikah

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jl. Abdullah Lubis No. 61/75 Medan

Ayah : Alm. Letkol. Pol. Purn. Drs. Santun Aritonang

Ibu : Lumongga Sitompul, SH

Suami : Salmon Jefri Hutagalung, SP

Anak : 1. Carissa Stefany Roseline Hutagalung

2. Geraldine Angelie Tari Damauly Hutagalung

PENDIDIKAN

1. Tahun 1991 : Tamat SD Methodish 1 Medan

2. Tahun 1994 : Tamat SMP Methodish 1 Medan

3. Tahun 1997 : Tamat SMU St. Thomas 1 Medan

4. Tahun 2002 : Tamat Strata-1 Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Medan

5. Tahun 2008 : Tamat Strata-2 Magister Kenotariatan, Sekolah

(11)

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... iv

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

E. Keaslian Penelitian... 8

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 9

1. Kerangka Teori... 9

2. Kerangka Konsepsi... 14

G. Metodologi Penelitian ... 21

1. Sifat Penelitian... 21

2. Jenis Penelitian... 21

3. Lokasi Penelitian... 21

(12)

BAB II MOTIVASI ORANG BATAK TOBA DI KECAMATAN

TARUTUNG DALAM MELAKUKAN PENGANGKATAN

ANAK... 25

A. Gambaran Umum Pengangkatan Anak... 25

B. Deskripsi Kecamatan Tarutung... 27

C. Motivasi Orang Batak Toba di Kecamatan Tarutung Dalam Melakukan Pengangkatan Anak... 30

1) Kriteria Objek Pengangkatan Anak... 40

2) Kriteria Subjek Pengangkatan Anak... 43

3) Kriteria Asal Anak Angkat... 46

BAB III SYARAT DAN PROSES PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN TARUTUNG 49 A. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak... 49

(13)

A. Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak

Toba di Tarutung... 66

B. Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba di Tarutung Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 92

A. Kesimpulan... 92

B. Saran... 95

(14)

Tarutung... 28

2.a : Motivasi Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Tarutung... 35

2.b : Motivasi Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung

Tahun 2004–2007... 38

3.a : Kriteria Objek Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Tarutung... 41

3.b : Kriteria Objek Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan

Penetapan Pengadilan Tarutung Tahun 204-2007... 41

4.a : Kriteria Subjek Pengangkatan Anak Pada Masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Tarutung... 44

4.b : Kriteria Subjek Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung

Tahun 2004 – 2007... 45

5.a : Kriteria Asal Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba

di Kecamatan Tarutung... 46

5.b : Kriteria Asal Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan Penetapan

Pengadilan Negeri Tarutung Tahun 2004-2007... 47

6.a : Tata Cara Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung... 57

6.b : Tata Cara Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan Penetapan

(15)
(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

disebutkan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Suatu perkawinan tidaklah bahagia tanpa kehadiran seorang anak.

Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi

kadang-kadang naluri ini terbentur pada Takdir Ilahi, dimana kehendak mempunyai

anak tidak tercapai.1

Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang dialaminya

tersebut, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan tersebut.

Usaha terakhir yang biasanya dilakukan untuk memenuhi kepuasan tersebut adalah

dengan mengangkat anak atau adopsi. 2

Pengangkatan anak atau adopsi bukanlah merupakan suatu hal yang baru. Di

Indonesia sendiri, masalah pengangkatan anak ada diatur dalam Pasal 39 – 41

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 12

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan dalam

1

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tiinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 1.

2

(17)

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan

Anak.

Tujuan dari lembaga pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan

keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak ada anak. Hal ini merupakan

motivasi yang dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar dan alternatif yang positif

dan manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam pelukan keluarga,

setelah bertahun-tahun belum dikaruniai seorang anak.3

Akan tetapi pada kenyataannya sekarang ini, perkembangan masyarakat

menunjukan bahwa tujuan lembaga pengangkatan anak tidak lagi semata-mata atas

motivasi untuk meneruskan keturunan saja, tetapi lebih beragam dari itu. Ada

berbagai motivasi yang mendorong seseorang untuk mengangkat anak, bahkan tidak

jarang pula karena faktor politik, ekonomi, sosial dan sebagainya.4

Secara umum disadari, bahwa yang terpenting dalam soal pengangkatan

anak ini adalah demi kepentingan yang terbaik bagi si anak.5 Pengangkatan anak

selalu mengutamakan kepentingan anak daripada kepentingan orang tua.

Pengangkatan anak melarang pemanfaatan anak untuk kepentingan orang lain.

Pengangkatan anak meliputi usaha mendapatkan kasih sayang, pengertian dari orang

tua angkatnya, serta menikmati hak-haknya tanpa mempersoalkan ras, warna, seks,

kebangsaan atau sosial.

(18)

Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa dari berbagai bentuk

pengangkatan anak yang dikenal di Indonesia mempunyai akibat hukum yang

berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Untuk masyarakat

pribumi perbedaan ini jelas terlihat antar daerah yang lingkungan hukumnya berbeda,

sehingga akibat hukumnya dari pengangkatan anak itu berbeda pula.

Sering terjadi dalam masyarakat, bahwa seorang anak bukan keturunannya

dipelihara oleh suatu keluarga disebabkan akan terlantarnya anak tersebut bila

dibiarkan dalam asuhan orangtua kandungnya, maka dalam hal ini belum bisa

dikatakan sebagai pengangkatan anak. Karena pengangkatan anak adalah merupakan

suatu peristiwa penting yang harus dilakukan secara khusus dan menurut adat

kebiasaan masing-masing daerah.6

Untuk memenuhi kebutuhan hukum mengenai pengangkatan anak dapat

berpedoman kepada :7

1. Staatsblaad 1917 Nomor 129 mengenai Adopsi, berlaku bagi golongan

Tionghoa.

2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 (merupakan

penyempurnaan dari dan sekaligus menyatakan tidak berlaku Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979) jo Surat Edaran Mahkamah Agung

6

B.Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat

Hukumnya Dikemudian Hari, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 71.

7

Hotmariani Simbolon, Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya Terhadap Harta Benda

Perkawinan Orang Tua Angkat (Kajian Pada Masyarakat Batak Toba di Medan), Tesis Program

(19)

Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan anak yang berlaku bagi warga

negara Indonesia.

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan

Anak.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak.

6. Hukum Adat (hukum tidak tertulis).

7. Jurisprudensi.

Menurut Pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, selanjutnya kita singkat dengan Undang-Undang Perlindungan

Anak, menyebutkan bahwa “Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk

kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan

setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Indonesia dikenal akan lingkungan adat yang beraneka ragam. Oleh karena

keanekaragaman motif, tata cara dan akibat hukum dalam pengangkatan anak di

masing-masing daerah, maka yang menjadi perhatian peneliti dalam hal ini adalah

khusus terhadap masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung.

Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekerabatan patrilineal, dimana

anak laki-laki merupakan penerus keturunan ataupun marganya dalam silsilah

keluarga. Apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, maka

(20)

disebut dengan “anak na niain”, dengan syarat anak laki-laki yang diangkat anak

tersebut haruslah berasal dari lingkungan keluarga atau kerabat dekat keluarga yang

mengangkat anak tersebut.

Pengangkatannya harus dilaksanakan secara terang, yaitu dilakukan

dihadapan “dalihan natolu” dan pemuka-pemuka adat yang bertempat tinggal di

desa sekeliling tempat tinggal orang yang mengangkat anak tersebut. Apabila

syarat-syarat pengangkatan anak sebagaimana diuraikan diatas telah terpenuhi maka anak

yang diangkat tersebut menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya dan tidak lagi

mewaris dari orang tua kandungnya.8

Adapun alasan memilih lokasi penelitian di Kecamatan Tarutung,

Kabupaten Tapanuli Utara adalah karena sebagian besar masyarakat yang tinggal di

Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara itu adalah suku Batak, sehingga

sangat cocok untuk dilakukan penelitian untuk mengetahui kebiasaan masyarakat

Batak Toba yang ada di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara dalam

melakukan pengangkatan anak, apakah mereka berpedoman kepada Pasal 39

Undang-Undang Perlindungan Anak atau tidak, karena banyak masyarakat Batak

Toba yang tidak lagi berpedoman sepenuhnya kepada hukum adatnya. Ada sebagian

masyarakat Batak Toba yang di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara

yang mengangkat anak, akan tetapi anak yang diangkat bukan lagi anak laki-laki,

melainkan anak perempuan. Selain itu juga ada masyarakat Batak Toba di Kecamatan

8

(21)

Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara yang mengangkat anak bukan berasal dari

kerabat sendiri melainkan dari luar kerabat.

Konsekwensi dari pengangkatan anak yang demikian ini tentu mempunyai

akibat hukum yang berbeda dari yang disyaratkan menurut hukum adat Batak Toba,

akan tetapi sejauh mana perubahan dimaksud perlu diadakan penelitian guna

memperoleh fakta-faktanya dari tengah-tengah masyarakat dimaksud untuk

selanjutnya dianalisis secara teoritis maupun menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku sepanjang berkaitan dengan lembaga pengangkatan anak.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka yang menjadi pokok

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah motivasi masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung melakukan

pengangkatan anak?

2. Bagaimanakah syarat-syarat dan proses pengangkatan anak pada masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Tarutung?

3. Bagaimanakah kedudukan anak angkat dalam hukum adat Batak Toba di

Kecamatan Tarutung setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

(22)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui motivasi masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung

dalam melakukan pengangkatan anak.

2. Untuk mengetahui syarat-syarat dan proses pengangkatan anak pada masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Tarutung.

3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan anak angkat dalam hukum adat Batak

Toba di Kecamatan Tarutung setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu

hukum baik berupa teori maupun gagasan, khususnya yang berkaitan dengan

pengangkatan anak dalam masyarakat hukum adat Batak Toba.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat hukum

adat batak toba tentang bagaimana cara melakukan pengangkatan anak sesuai

(23)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan

Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa tesis dengan judul

“KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT BATAK TOBA

SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002

TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (STUDI DI KECAMATAN

TARUTUNG, KABUPATEN TAPANULI UTARA)” merupakan penelitian

lanjutan, karena ada penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu :

Hotmariani br. Simbolon, mahasiswi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara tahun 2001 dengan judul “Pengangkatan Anak dan

Akibat Hukumnya Terhadap Harta Benda Perkawinan Orang Tua Angkat (Kajian

Pada Masyarakat Batak Toba di Medan), dengan perumusan masalah antara lain :

a. Bagaimana kedudukan hukum anak angkat di lingkungan keluarga orang tua

yang mengangkat.

b. Bagaimana kedudukan anak angkat atas harta benda perkawinan orang tua yang

mengangkat.

c. Bagaimana sikap pengadilan (Mahkamah Agung) terhadap kedudukan anak

angkat.

Akan tetapi perumusan masalah dan lokasi penelitian yang dilakukan

sebelumnya berbeda dengan lokasi penelitian yang akan peneliti lakukan. Oleh sebab

(24)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Menurut Maria Sumardjono, teori adalah “Seperangkat proposisi yang berisi

konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar

variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang

digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana

hubungan antar variabel tersebut.9

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan

penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan-penemuan dan

menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori

merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang

dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.10

Teori yang dipakai dalam tesis ini adalah teori keadilan, yaitu teori yang

menganalisis dan menjelaskan tentang hak mengasuh, merawat, memelihara dan

mewujudkan perlindungan terhadap anak. Dapat dipastikan adanya ketidakadilan

apabila anak yang telah hilang orangtuanya tidak mendapat perhatian apapun dari

orang lain. Atau juga tidak adil apabila orang tua yang tidak memperoleh anak tidak

mendapat tempat untuk mencurahkan kasih sayangnya. Oleh karenanya akan

terpenuhi rasa keadilan apabila ada orang lain yang bertindak sebagai orang tuanya,

9

Maria Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989, hlm.12.

10

(25)

memberi perlindungan, kasih sayangnya, dan hak-hak lain, baik moril maupun

materil. 11

Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Hakikat

pembangunan nasional adalah membangun manusia seutuhnya. Melindungi anak

adalah melindungi manusia, yang adalah membangun manusia seutuhnya.

Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan

nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai

permasalahan sosial, yang dapat mengganggu ketertiban, keamanan dan

pembangunan nasional. Maka ini berarti bahwa perlindungan anak yang salah satu

upayanya melalui pengangkatan anak harus diusahakan apabila kita ingin

mensukseskan pembangunan nasional kita.12

Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan

“Orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh , memelihara,

mendidik dan melindungi anak”. Demikian juga dalam Pasal 9 Undang-Undang

Kesejahteraan Anak disebutkan “Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung

jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani , jasmani maupun

sosial”. Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa tanggungjawab orang tua atas

kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak

sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang

cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada

11

A. Hamid Sarong, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, Ringkasan Hasil Penelitian, USU, Medan, 2007, hlm. 9.

12

(26)

Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan serta berkemampuan untuk meneruskan

cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila.

Selain itu, juga digunakan teori pengayoman, dimana fungsi hukum adalah

pengayoman. 13 Hukum itu melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif,

yaitu memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan

keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal

yang manusiawi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan pengangkatan anak.

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan yang manusiawi, yaitu untuk melindungi

kepentingan si anak, agar kehidupannya lebih terjamin.

Melindungi secara pasif, yaitu memberikan perlindungan dalam berbagai

kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan, sehingga

manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tenteram. Dengan terjaminnya

kedudukan si anak angkat tersebut sebagai anak oleh keluarga angkatnya, maka

kedudukan anak tersebut dilindungi oleh hukum.

Demikian juga teori keseimbangan. Dalam kehidupan ini ada pasangan

suami-isteri yang mempunyai anak dan ada juga yang tidak mempunyai keturunan.

Orang yang tidak mempunyai keturunan akan memperoleh kesimbangan dari

pasangan yang ada keturunan.14

Dalam kenyataannya sekarang ini dimasyarakat, sering kita mendengar

banyaknya anak yang hilang atau diculik. Begitu pula dengan perdagangan anak,

13

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Pembangunan, Jakarta, 1993, hlm. 245.

(27)

dimana seorang anak dapat berpindah tangan dari orangtuanya di daerah miskin

kepada seorang perantara dengan imbalan jasa yang tak berarti, untuk selanjutnya

dijual kepada yang menginginkan di pasaran dalam dan luar negeri. Oleh karena itu

dalam hal pengangkatan anak itu diatur bahwa baik terhadap anak yang diangkat dan

orang tua yang hendak mengangkat anak harus jelas asal-usulnya dan dilakukan

berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, dengan tujuan untuk melindungi kepentingan baik si calon anak angkat

maupun calon orang tua angkat.

Peperangan juga mengakibatkan banyaknya anak-anak yang kehilangan

orang tuanya dan kelahiran anak diluar perkawinan meningkat, sehingga

menimbulkan masalah bagaimana caranya melindungi anak-anak tersebut. Salah satu

cara untuk melindungi dan menjaga ketertiban dan ketenteraman dalam masyarakat

adalah dengan melakukan pengangkatan anak. Hal ini relevan dengan Declaration of

the Right Child yang diterima dalam sidang Majelis Umum PBB tanggal 20

November 1959 yang menyatakan tentang Hak-Hak Universal dari Anak.

Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22

Undang-Undang Perlindungan Anak, dimana di dalamnya diatur bahwa negara dan

pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan dan

prasarana dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Dalam Pasal 23 ayat (1),

negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian

dalam Pasal 24 disebutkan negara dan pemerintah menjamin anak untuk

(28)

tingkat kecerdasan anak. Dalam Pasal 25 disebutkan bahwa kewajiban dan tanggung

jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui peran

masyarakat dalam menyelenggarakan perlindungan anak.

Di kalangan masyarakat adat, motif pengangkatan anak itu beraneka ragam,

yang dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dari masyarakat yang bersangkutan.

Di daerah yang mengikuti garis keturunan patrilineal, seperti masyarakat

Batak Toba, pada prinsipnya pengangkatan anak hanya pada anak laki-laki dengan

motif untuk melanjutkan keturunannya. Di daerah yang mengikuti garis keturunan

matrilineal, seperti di Minangkabau, pada prinsipnya tidak mengenal lembaga

pengangkatan anak. Di daerah yang mengikuti garis keturunan parental, seperti di

Jawa dan Sulawesi, pada prinsipnya pengangkatan anak itu dilakukan dengan alasan :

1. untuk memperkuat pertalian kekeluargaan dengan orang tua anak yang

diangkat.

2. untuk menolong anak yang diangkat atas dasar belas kasihan.

3. atas dasar kepercayaan agar dengan mengangkat anak, kedua orang tua angkat

akan dikaruniai anak sendiri.

4. untuk membantu pekerjaan orang tua angkat.

Menurut hukum adat, tata cara pengangkatan anak dapat dilakukan dengan

dua cara, yaitu :15

(29)

a. Tunai/kontan, artinya bahwa anak itu dilepaskan dari lingkungannya semula dan

dimasukkan kedalam kerabat yang mengadopsinya dengan suatu pembayaran

benda-benda magis, uang, pakaian.

b. Terang, artinya bahwa adopsi dilaksanakan dengan upacara-upacara dengan

bantuan para Kepala Persekutuan; ia harus terang diangkat kedalam tata hukum

masyarakat.

Oleh karena beragamnya tata cara pelaksanaan adopsi yang dikenal di

Indonesia, sehingga akibat hukum yang ditimbulkan juga beranekaragam antara

daerah yang satu dengan daerah yang lain.

Akibat hukum yang terpenting dari adopsi adalah :

1. masalah yang termasuk kekuasaan orang tua

2. hak waris

3. hak alimentasi (pemeliharaan)

4. soal nama.16

2. Kerangka Konsepsi

Dalam bahasa Latin, kata conceptio (didalam bahasa Belanda : begrip) atau

pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan

”definisi” yang didalam bahasa Latin adalah definitio. Defenisi tersebut berarti

perumusan (didalam bahasa Belanda : “omschrijving”) yang pada hakikatnya

16 Prof. Mr. Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Ketujuh Jilid

(30)

merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang

dikenal didalam epistemologi atau teori ilmu pengetahuan.17

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak

sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari

hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa

dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa,

sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,

berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskrimnasi

serta hak sipil dan kebebasan.18

Menurut Pasal 1 huruf i Undang-Undang Perlindungan Anak, anak angkat

adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua,

wali yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan

membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya

berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak, selanjutnya disebut dengan Peraturan Pemerintah

Pengangkatan Anak, memberikan defenisi anak angkat adalah anak yang haknya

17

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 6.

18

(31)

dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang

lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak

tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan

atau penetapan pengadilan.

Menurut B. Bastian Tafal, anak angkat adalah anak yang diambil dan

dijadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang

laki-laki, mungkin pula seorang anak perempuan.19

Hilman Hadi Kusuma, mengemukakan anak angkat adalah anak orang lain

yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat

setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan

atas harta kekayaan rumah tangga.20

Mahmud Syaltut membedakan dua macam arti anak angkat, yaitu : pertama,

penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang

lain kedalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan,

pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan

diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri; kedua yakni yang dipahamkan dari

perkataan ‘tabanni’ (mengangkat anak secara mutlak). Menurut syariat adat dan

kebiasaan yang berlaku pada manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang

diketahuinya sebagai orang lain kedalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab

19

B.Bastian Tafal, loc.cit. hlm. 45.

20

Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara

(32)

kepada dirinya, sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum

sebagai anak.21

Dalam masyarakat Batak Toba, anak angkat disebut juga dengan “Anak na

niain”. Anak na niain berasal dari kata ”ain” yang artinya “angkat”, yang menurut

kamus Batak Toba-Indonesia karangan J. Warneck, anak na niain berarti anak

angkat, sedangkan mangain artinya mengangkat seseorang menjadi anak sendiri.22

Menurut Pasal 1 angka (4) Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Pengangkatan

Anak, orang tua angkat adalah orang yang diberikan kekuasaan untuk merawat,

mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan

adat kebiasaan.

Pengangkatan anak merupakan istilah yang digunakan di dalam hukum adat,

sedangkan di dalam hukum barat disebut Adopsi. Adopsi berasal dari kata adoptie

(Belanda) atau adoption (Inggris). Menurut Kamus Inggris-Indonesia karangan John

M Echols dan Hassan Shadily, Adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi,

dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut dengan adoption of a child.23

Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan Adopsi adalah suatu cara untuk

mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan

21

Dikutip dalam bukunya Muderis Zaini, ibid, hlm.5.

22

J.Warneck, Kamus Batak Toba-Indonesia, judul aslinya Toba Batak Nederlands

Woordenbook, diterjemahkan oleh P. Leo Joosten, OFM Cap, Bina Media, hlm. 5.

23

(33)

perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau

untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak.24

Pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak menyebutkan Pengangkatan anak adalah suatu

perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang

tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,

pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua

angkat.

R. Soepomo memberi rumusan terhadap adopsi, bahwa adopsi adalah

mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri.25

J.A. Nota, seorang sarjana hukum Belanda memberi rumusan pengertian

adopsi adalah suatu lembaga hukum (een rechtsinstelling), melalui mana seseorang

berpindah kedalam ikatan keluarga yang lain (baru) dan sedemikian rupa, sehingga

menimbulkan secara keseluruhan atau sebahagian hubungan-hubungan hukum yang

sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya. 26

B. Ter Haar Bzn berpendapat bahwa adopsi adalah perbuatan memasukkan

dalam keluarganya seorang anak yang tidak menjadi anggota keluarganya begitu rupa

24

WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm. 8.

25

R. Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, terjemahan Ny. Nani Soewondo, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1967, hlm. 27.

26

(34)

sehingga menimbulkan hubungan kekeluargaan yang sama seperti hubungan

kemasyarakatan yang tertentu biologis, hal mana biasa terjadi di Indonesia.27

Surojo Wignjodipuro, memberikan pengertian adopsi (mengangkat anak)

adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri

sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang

dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara

orang tua dengan anak kandungnya sendiri.28

H.M. Hasballah Thaib, mengatakan adopsi adalah suatu usaha atau

perbuatan pengambilan anak dari orang yang mempunyai hubungan biologis

langsung untuk diangkat dan diakui menjadi anak orang lain. Dalam hal mana anak

adopsi itu diberikan fasilitas tertentu, seperti anak kandung sendiri, disamping anak

yang diadopsi dapat menimbulkan persaudaraan dan kekerabatan kepada lainnya.29

Nani Soewondo berpendapat adopsi itu dilakukan bila orang tidak

mempunyai anak sendiri, seringkali diangkat seorang anak dengan maksud

melanjutkan keturunan keluarga. Dengan berbagai upacara dan pemberian, seringkali

dengan diketahui oleh kepala-kepala adat, anak yang bersangkutan dilepaskan dari

keluarganya sendiri dan dimasukkan dalam keluarga orang tua yang

mengangkatnya.30

27

Dikutip dalam bukunya B. Bastian Tafal, SH, ibid, hlm. 47.

28

Dikutip dalam bukunya Muderis Zaini, SH, ibid, hlm. 5.

29

Hasballah Thaib, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqih Islam, Penerbit Fakultas Tarbiyah Universitas Dharmawangsa, Medan, 1995, hlm. 106.

30

Mr. Nani Soewondo Sorasno, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan

(35)

Menurut Iman Jauhari, adopsi adalah suatu perbuatan mengambil anak

orang lain kedalam keluarganya sendiri, sehingga dengan demikian antara orang yang

mengambil anak yang diangkat timbul suatu hubungan hukum.31

Dalam masyarakat Batak Toba, adopsi itu ada dua jenis, yaitu pertama,

adopsi secara umum, yaitu adopsi yang sifatnya formal dan bukan merupakan

peristiwa hukum, oleh karena itu perbuatan tersebut tidak mempunyai akibat hukum;

kedua, adopsi secara khusus, yaitu adopsi yang merupakan peristiwa hukum serta

mempunyai akibat hukum, misalnya anak na niain.32

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat ditarik unsur-unsur

pengangkatan anak adalah sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan mengambil/mengangkat anak orang lain yang berasal dari

luar kerabat atau dari dalam kerabat orang yang mengangkat menjadi anaknya

sendiri.

2. Perbuatan mengangkat anak tersebut menimbulkan suatu hubungan hukum

antara anak yang diangkat dengan orang tua yang mengangkat anak tersebut.

3. Anak yang diangkat itu biasanya adalah anak laki-laki, tapi tidak tertutup

kemungkinan anak yang diangkat itu adalah anak perempuan.

4. Pengangkatan anak itu dilangsungkan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan adat-kebiasaan masing-masing daerah.

31

Iman Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Penerbit Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hlm. 7.

32

(36)

G. Metodologi Penelitian

1. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang

bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang

diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat mengenai pengangkatan anak yang

dilakukan oleh masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung setelah keluarnya

Undang-Undang Perlindungan Anak.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian

hukum empiri33s, yakni dengan menelusuri bagaimana kedudukan anak angkat dalam

masyarakat Batak Toba setelah berlakunya Undang-Undang Perlindungan Anak

(Studi di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara)

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli

Utara, dimana masyarakat didaerah tersebut kebanyakan suku Batak Toba dan

masyarakat tersebut masih menjunjung tinggi adat istiadat setempat, sehingga sangat

cocok untuk dijadikan lokasi penelitian.

33

(37)

Berdasarkan data statistik Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara

tahun 2007 jumlah penduduk di Kecamatan Tarutung berjumlah 38.404 jiwa, dimana

90 % diantaranya adalah suku Batak Toba.

4. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah orang-orang Batak Toba yang pernah

melakukan pengangkatan anak yang berada di Kecamatan Tarutung, Kabupaten

Tapanuli Utara.

Oleh karena pengangkatan anak mempunyai karakteristik tersendiri, maka

teknik pengambilan sampel yang paling mendekati adalah dengan teknik purposive

sampling.34 Jumlah sampel yang diambil sebanyak 15 responden dan untuk

melengkapi data primer, diambil juga data sekunder berupa 2 Penetapan Pengadilan

tentang Pengangkatan Anak dan data tambahan dari beberapa informan, antara lain :

a. Notaris sebanyak 1 orang.

b. Pemuka Adat yang berdomisili di Kecamatan Tarutung sebanyak 3 orang.

c. Ketua Pengadilan Tarutung.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan cara,yaitu :

(38)

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan

melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

b. Penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer dari

responden dan informan. dengan melakukan wawancara.35

6. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya

serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini

diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara

sebagai berikut :

a. Studi dokumen dengan menggunakan check list, yaitu meneliti dan mempelajari

serta menganalisa bahan kepustakaan.

b. Wawancara (interview) langsung dengan para responden dengan menggunakan

daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara.

7. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya

kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.36 Setelah data primer dan data

35

Hermawan Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 1997, hlm. 71.

36

(39)

sekunder diperoleh, selanjutnya akan dianalisis melalui tiga tahapan, yaitu tahap

persiapan, tahap tabulasi dan tahap penarikan kesimpulan.

Pada tahap persiapan, data primer dan data sekunder yang telah diperoleh

diedit. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah data-data yang diperoleh sudah

mencukupi dan juga untuk menghindari kemungkinan terjadi data yang kurang

lengkap.

Selanjutnya, data primer dan data sekunder yang terkumpul dianalisis secara

kualitatif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode induktif.

Setelah melakukan analisis, maka kesimpulan yang didapat sebagai jawaban

(40)

BAB II

MOTIVASI ORANG BATAK TOBA

DI KECAMATAN TARUTUNG DALAM MELAKUKAN PENGANGKATAN ANAK

A. Gambaran Umum Pengangkatan Anak

Ada beberapa istilah yang dikenal dalam pengangkatan anak di Indonesia,

misalnya adopsi (berasal dari bahasa Belanda yaitu adoptie), mupu anak (di Cirebon),

ngukut anak (di Sunda Jawa Barat), nyentanayang (di Bali), mangain anak (di Batak

Toba), mulang jurai (di Rejang), ngukup anak (di suku Dayak Manyan), anak pulung

(di Singaraja), napuluku atau wengga (di Kabupaten Paniai Jayapura). Istilah yang

dipakai dalam perundang-undangan Republik Indonesia yang bermakna perbuatan

hukum mengangkat anak adalah “pengangkatan anak”. Istilah untuk anak yang

diangkat disebut “anak angkat”, sedangkan istilah untuk orang tua yang mengangkat

anak disebut dengan “orang tua angkat”.

Pengangkatan anak terdiri atas :37

1) Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia, meliputi :

a. Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan

b. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2) Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing

(Inter Country Adoption), meliputi :

37

(41)

a. Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing;

dan

b. Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia.

Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat adalah

pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih

melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengangkatan anak

berdasarkan adat kebiasaan setempat ini dapat dimohonkan penetapan pengadilan.

Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan mencakup

pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga

pengasuhan anak. Pengangkatan anak secara langsung adalah pengangkatan anak

yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada

langsung dalam pengawasan orang tua kandung. Yang dimaksud dengan

pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak adalah pengangkatan anak

yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada

dalam lembaga pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Menteri.38

Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU RI

Nomor 12 Tahun 2006) memberikan kemungkinan untuk terjadinya pengangkatan

anak antar negara Indonesia dengan negara lain. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal

21 UU RI Nomor 12 Tahun 2006 yang menyebutkan “Anak warga negara asing yang

belum berusia lima tahun yang diangkat secara sah menurut penetapan pengadilan

38

(42)

sebagai anak Warga Negara Indonesia memperoleh Kewarganegaraan Republik

Indonesia”. Meskipun persyaratan untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia

dengan jalan pewarganegaraan cukup rumit dan memakan banyak waktu, tetapi pada

kenyataannya tampak makin banyak permohonan pengangkatan anak warga-warga

negara Cina oleh warga negara Indonesia yang jelas lebih terdorong keinginan untuk

mendapat kewarganegaraan Republik Indonesia, daripada kepentingan anak yang

akan diangkat tersebut.

European Convention On The Adoption Of Children, antara lain

menetapkan bahwa pengangkatan anak antar bangsa (inter state/country adoption)

dianggap sah atau sah sifatnya apabila dinyatakan oleh Pengadilan. Dengan perkataan

lain penetapan atau putusan pengadilan merupakan syarat esensial bagi sahnya

pengangkatan anak.39

Demikian juga halnya terhadap pengangkatan anak antar Warga Negara

Indonesia. Walaupun pengangkatan anak tersebut telah sah dilakukan berdasarkan

adat kebiasaan setempat, akan tetapi untuk lebih memberikan kepastian hukum akan

lebih baik bila dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan setempat.

B. Deskripsi Kecamatan Tarutung

Kecamatan Tarutung adalah salah satu dari 15 kecamatan yang ada di

Kabupaten Tapanuli Utara. Luas wilayah Kecamatan Tarutung sekitar 107,68 Km2

39

(43)

dengan jumlah penduduk sebanyak 38.404 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sekitar

18.580 jiwa dan yang perempuan 19.824 jiwa.

Tabel 1. Nama-Nama Desa Yang Terdapat di Kecamatan Tarutung

No Nama Desa Jumlah Penduduk

1 Siandor-andor 562

2 Hutape Banuarea 986

3 Parbubu Pea 516

4 Parbubu II 715

5 Parbubu Dolok 1.109

6 Hutatoruan VIII 391

7 Parbubu I 1.030

8 Hutatoruan I 1.731

9 Sosunggulon 925

10 Parbaju Toruan 1.219

11 Hapoltahan 911

12 Hutatoruan IV 854

13 Aek Siam Simun 1.519

14 Hutataoruan V 758

15 Hutatoruan VI 620

(44)

Tabel 1. Lanjutan

17 Hutatoruan IX 1.193

18 Hutatoruan X 4.652

19 Hutatoruan VII 4.878

20 Partali Toruan 2.353

21 Parbaju Tonga 1.002

22 Simamora 1.981

23 Hutagalung Siwalu Ompu 1.167

24 Siraja Oloan 1.183

25 Hutauruk 484

26 Parbaju Julu 966

27 Partali Julu 977

28 Sitampurung 798

29 Jambur Nauli 993

30 Sihujur 429

31 Hutatoruan III *) -

Jumlah 38.404

Sumber BPS : Tarutung Dalam Angka Tahun 2007 *) Data masih bergabung dengan desa induknya

Mayoritas penduduk Kecamatan Tarutung beragama Kristen Protestan yaitu

(45)

penduduk yang beragama Katolik sebesar 4,49%. Banyaknya rumah tangga pada

tahun 2007 sebesar 7.861 dengan kepadatan penduduk 356,65 Jiwa/Km2.

Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Tarutung adalah bertani,

beternak, menenun ulos, berdagang, pegawai negeri, dan ada juga yang wiraswasta.

Kecamatan Tarutung merupakan salah satu objek wisata rohani, yaitu terdapatnya

Salib Kasih.

Sasaran sampel yang diperoleh bukan dari masing-masing desa, akan tetapi

hanya dari beberapa desa dimana ada terdapat pengangkatan anak. Para responden

adalah para orang tua angkat yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan

Undang-Undang untuk melakukan pengangkatan anak. Para responden tidak bersedia untuk

memberikan identitas maupun alamat mereka yang sebenarnya.

C. Motivasi Orang Batak Toba di Kecamatan Tarutung Dalam Melakukan

Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak bukanlah suatu hal yang baru yang kita temui dalam

masyarakat. Hal ini sudah berlangsung sejak lama. Motivasi pengangkatan anak juga

beranekaragam. Motivasi pengangkatan anak bila ditinjau dari segi hukum adat ada

14 macam, antara lain :40

1. Karena tidak mempunyai anak.

2. Karena belas kasihan kepada anak tersebut, disebabkan orang tua si anak tidak

mampu memberikan nafkah kepadanya.

40

(46)

3. Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai

orang tua (yatim piatu).

4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuan

atau sebaliknya.

5. Sebagai pemancing bagi yang tidak punya anak untuk bisa mempunyai anak

kandung.

6. Untuk menambah jumlah keluarga.

7. Dengan maksud agar si anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik.

8. Karena faktor kepercayaan, yaitu untuk mengambil berkat atau tuah baik bagi

orang tua yang mengangkat dan untuk anak yang diangkat agar kehidupannya

bertambah baik.

9. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris (regenerasi) bagi

yang tidak mempunyai anak kandung.

10. Adanya hubungan kekeluargaan, lagi pula tidak mempunyai anak, maka diminta

oleh orang tua kandung si anak kepada suatu keluarga tersebut supaya dijadikan

anak angkat.

11. Diharapkan anak angkat dapat menolong di hari tua dan menyambung

keturunan bagi yang tidak mempunyai anak.

12. Karena kasihan atas nasib anak yang seperti tidak terurus.

13. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Misalnya hal ini terjadi karena

berbagai macam latar belakang yang dapat menyebabkan kerenggangan

(47)

diperlukan pengangkatan anak semacam ini dalam rangka mempererat kembali

hubungan kekeluargaan.

14. Karena anak kandung sering penyakitan atau selalu meninggal, maka untuk

menyelamatkan si anak diberikanlah anak tersebut kepada keluarga atau orang

lain yang belum atau tidak mempunyai anak dengan harapan anak yang

bersangkutan akan selalu sehat dan panjang usia.

Tujuan hidup masyarakat Batak Toba adalah tercapainya hamoraon

(kekayaan), hagabeon (keturunan yang banyak) dan hasangapon (kemuliaan). Para

orang tua dalam kehidupannya menginginkan agar mempunyai keturunan yang

banyak, yaitu maranak sampulu pitu, marboru sampulu onom (mempunyai anak

laki-laki sebanyak 17 orang dan anak perempuan sebanyak 16 orang).

Dari ungkapan di atas kelihatan bahwa anak laki-laki mempunyai

keistimewaan dalam pandangan orang tua, karena dalam perbandingan jumlah anak

kelihatan bahwa jumlah anak laki-laki lebih banyak dari jumlah anak perempuan.

Bagi seorang ayah, anak laki-laki adalah penerus garis keturunannya, sehingga anak

laki-laki sering disebut ayahnya sebagai sinuan tunas (tunas yang baru). Apabila

seorang ayah tidak memiliki anak laki-laki, maka si ayah disebut punu, kelak bila ia

(48)

silsilahnya akan terputus dan seluruh harta bendanya akan diambil alih oleh

saudara-saudaranya (ditean).41

Oleh sebab itu orang Batak sangat mendambakan agar anaknya yang

pertama adalah laki-laki. Dalam keadaan demikian sang isteri tidak merasa khawatir

lagi akan diceraikan karena telah ada ihot (pengikat) dirinya dengan marga suaminya.

Seorang ayah dalam kenyataannya lebih kasih kepada anak laki-lakinya.

Dalam ungkapan sering disebut dompak marmeme anak, unduk marmeme boru,

maksudnya adalah wajah si ayah berhadapan dengan anak laki-lakinya bila marmeme

(yaitu suatu cara yang khas dalam memberi makan seorang bayi, dimana orang tua

mengunyah nasi dalam mulutnya sehingga lumat dan kemudian dimasukkan ke mulut

si bayi, hal mana sekarang telah jarang dilakukan), sedangkan terhadap boru (anak

perempuan) bersikap menunduk. Ungkapan ini menggambarkan perlakuan yang lebih

istimewa terhadap anak laki-laki.42

Seorang Pemuka Adat di Kecamatan Tarutung menuturkan apabila dalam

suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki, dahulu akan mengalami hal-hal berikut

ini :43

a. Putus marga.

b. Apabila dia meninggal, dia tidak sarimatua, yaitu suatu tingkatan kesejahteraan

menurut adat Batak Toba yang berpengaruh pada upacara kematian seseorang.

41

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan

Keluarga Dan Masyarakat Setempat Daerah Sumatera Utara, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi

Kebudayaan Daerah, 1984/1985, hlm. 32.

42

Ibid.

43

(49)

c. Dang boi pajongjong adat di harajaon, yang artinya bahwa dia tidak boleh

mengadakan pesta besar seperti pesta tambak (ulaon turun).

d. Songon tandiang na hapuloan (merasa terasing).

e. Mengkel di sihapataran, tangis di sihabunian (tertawa di tempat ramai, tetapi

menangis di tempat yang tersembunyi).

Bagi masyarakat Batak Toba, anak adalah kebanggaan yang tiada taranya,

sehingga sering disebut anakkonhi do hamoraon di au, yang artinya anakku adalah

kekayaan bagiku. Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, orang tua rela untuk

melakukan apa saja asalkan anaknya dapat hidup lebih baik dari kehidupan orang

tuanya yang sekarang. Seorang anak harus lebih berhasil atau lebih tinggi

kedudukannya dari orang tuanya. Oleh karena itu si anak tersebut disekolahkan

setinggi mungkin (ingkon do singkola satimbo-timbona) agar kelak anak tersebut

mendapat penghidupan yang lebih baik yang dapat menaikkan derajat orang tuanya.

Oleh karena demikian pentingnya arti seorang anak bagi kehidupan

masyarakat Batak Toba, sehingga apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai

anak setelah menikah sekian tahun akan melakukan pengangkatan anak.

Para responden yang di wawancarai adalah pasangan suami-isteri yang

pernah melakukan pengangkatan anak, bahkan juga ada single parent yang

melakukan pengangkatan anak. Para responden tersebut memiliki syarat-syarat

(kriteria) yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan untuk melakukan

pengangkatan anak. Para responden tersebut tidak bersedia untuk memberikan

(50)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data-data dari

hasil wawancara dengan para responden (yaitu 15 orang pasangan suami-isteri yang

melakukan pengangkatan anak), para informan (yaitu 1 orang notaris, 3 orang

pemuka adat dan ketua pengadilan negeri Tarutung), ditambah 2 Penetapan

Pengadilan tentang permohonan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Tarutung,

maka dibawah ini akan diuraikan Motivasi dilakukannya pengangkatan anak oleh

masyarakat batak toba di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara sebagai

berikut :

Tabel 2.a. Motivasi Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung

2 Rasa belas kasihan, mengurus hari

tua dan untuk melanjutkan

keturunan

3 2 5 33,3

3 Rasa belas kasihan dan ikatan

kekeluargaan 1 2 3 20

4 Untuk kepentingan adat - 1 1 6,7

Jumlah 10 5 15 100

(51)

Dari Tabel 2.a di atas dapat kita lihat latar belakang pengangkatan anak oleh

masyarakat Batak Toba di Tarutung dari 15 responden adalah untuk melanjutkan

keturunan (40%), rasa belas kasihan, mengurus hari tua dan melanjutkan keturunan

(33,3%), rasa belas kasihan dan ikatan kekeluargaan (20%), untuk kepentingan adat

(6,7%). Dari tabel tersebut dapat dilihat kecenderungan latar belakang pengangkatan

anak oleh masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung adalah untuk melanjutkan

keturunan.

Kecenderungan ini dapat dikatakan timbul karena pentingnya arti seorang

anak laki-laki bagi masyarakat Batak Toba di Tarutung untuk meneruskan garis

keturunan. Apabila dalam suatu keluarga tidak ada mempunyai seorang anak

laki-laki, maka garis keturunan atau penerus nama keluarga tersebut tidak akan ada lagi

atau akan berhenti sampai disitu. Oleh karena itu sangatlah penting arti seorang anak

laki-laki bagi masyarakat batak toba.

Selain itu masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal,

dimana yang melanjutkan garis keturunan adalah anak laki-laki, sehingga apabila

dalam suatu keluarga tidak ada anak laki-laki, maka akan mengangkat seorang anak

laki-laki sebagai penerus keturunan.44

Latar belakang pengangkatan anak dilakukan karena terdorong rasa belas

kasihan dan ingin meningkatkan kesejahteraan anak tersebut, biasanya latar belakang

anak yang diangkat berasal dari luar kerabat yang orang tuanya tidak mampu (karena

44

(52)

banyak anaknya) atau karena anak tersebut lahir dari orang tua yang tidak terikat

perkawinan sah, sehingga ibu kandungnya tidak mau merawat anak tersebut dan ingin

menutupi aibnya dengan memberikan anaknya tersebut kepada orang lain.

Ada juga latar belakang pengangkatan anak karena rasa belas kasihan dan

ikatan kekeluargaan. Hal ini biasanya karena rasa kasihan melihat anak tersebut tidak

terurus oleh orang tua kandungnya, oleh karena anaknya banyak dan kesulitan

ekonomi. Untuk dapat memberikan penghidupan yang lebih baik bagi si anak dan

untuk mempererat ikatan kekeluargaan, maka anak tersebut diangkat sebagai anak.

Perincian latar belakang pengangkatan anak dari para responden akan

diuraikan sebagai berikut :

1) Ada 6 orang responden yang melakukan pengangkatan anak dengan latar

belakang, yaitu : untuk melanjutkan keturunan.

2) Ada 5 orang responden yang melakukan pengangkatan anak dengan latar

belakang, yaitu : rasa belas kasihan, mengurus hari tua dan untuk melanjutkan

keturunan.

3) Ada 3 orang responden yang melakukan pengangkatan anak dengan latar

belakang, yaitu : rasa belas kasihan dan ikatan kekeluargaan.

4) Ada 1 orang responden yang melakukan pengangkatan anak dengan latar

belakang, yaitu : untuk kepentingan adat. Untuk kepentingan adat maksudnya

adalah bahwa apabila anak yang diangkat tersebut hendak menikah, maka

(53)

anak dari orang tua angkatnya. Sehingga demi kepentingan adat tersebut, anak

tersebut diangkat sebagai anak.

Selanjutnya berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung dapat

dilihat motivasi pengangkatan anak oleh masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Tarutung melalui tabel di bawah ini :

Tabel 2.b. Motivasi Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung

2 Rasa belas kasihan, mengurus hari

tua dan untuk melanjutkan

keturunan

1 - 1 50

Jumlah 2 - 2 100

Sumber : Dokumentasi Pengadilan Negeri Tarutung tahun 2004 – 2007 yang diolah.

Dari Tabel 2.b, motivasi pengangkatan anak oleh masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Tarutung berdasarkan penetapan pengadilan adalah untuk melanjutkan

keturunan (50%) dan karena rasa belas kasihan, mengurus hari tua dan untuk

melanjutkan keturunan (50%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, bahwa masyarakat Batak Toba di

(54)

melakukannya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku, dan sangat sedikit yang

pergi ke pengadilan untuk melakukan pengangkatan anak. Hal ini disebabkan oleh

karena kurangnya pengetahuan masyarakat Batak Toba di Tarutung akan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana dalam melakukan

pengangkatan anak dapat juga dilakukan melalui penetapan pengadilan ataupun

melalui notaris.

Menurut masyarakat Batak Toba yang ada di Kecamatan Tarutung, bahwa

dalam melakukan pengangkatan anak cukup dilakukan melalui adat Batak Toba yang

berlaku dan tidak perlu di minta penetapannya ke pengadilan.45

Dari 2 penetapan pengadilan mengenai pengangkatan anak di Pengadilan

Negeri Tarutung, ditemui motivasi pengangkatan anak adalah :

1) Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung Nomor :

09/Pdt.P/2004/PN-Trt, dimana sepasang suami-isteri, yaitu J.M. Nainggolan dan

Ny. N.J. br. Marbun mengangkat seorang anak laki-laki yang berasal dari luar

kerabat (yaitu anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah) dengan latar

belakang tidak mempunyai keturunan setelah 10 tahun menikah.

2) Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung Nomor :

11/Pdt.P/2005/PN-Trt., dimana sepasang suami-isteri, yaitu S.P. Hutagalung

dan Ny. T. br. Tobing mengangkat seorang anak laki-laki yang berasal dari luar

kerabat (yaitu anak yang tidak diketahui asal usulnya) dengan latar belakang :

45

(55)

rasa belas kasihan terhadap si anak, agar ada yang mengurus mereka kelak bila

sudah tua dan juga karena mereka tidak mempunyai keturunan.

Dari kedua penetapan pengadilan di atas nampak bahwa anak yang diangkat

adalah anak yang berasal dari luar kerabat (ada yang berasal dari luar perkawinan

yang sah dan yang satu lagi tidak diketahui asal usulnya). Hal ini pada prinsipnya

bertentangan dengan adat masyarakat Batak Toba, dimana menurut adat masyarakat

Batak Toba anak yang diangkat haruslah berasal dari keluarga/kerabat sendiri. Oleh

karena adanya hal inilah makanya pasangan tersebut datang ke pengadilan untuk

meminta perlindungan dan kepastian hukum.46

1) Kriteria Objek Pengangkatan Anak

Kriteria objek pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat Batak

Toba di Kecamatan Tarutung dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.a. Kriteria Objek Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung

n=15

No Kriteria Objek Pengangkatan Anak Jumlah %

1 Anak Laki-laki 10 66,67

2 Anak Perempuan 5 33,33

Jumlah 15 100

Sumber : Data primer yang diolah tahun 2008.

46

(56)

Dari Tabel 3.a. di atas dapat dilihat bahwa objek pengangkatan anak pada

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung, dari 15 orang responden yang

mengangkat anak laki-laki sebanyak 10 orang (66,67%) dan yang mengangkat anak

perempuan sebanyak 5 orang (33,33%).

Selanjutnya berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung dapat

dilihat motivasi pengangkatan anak oleh masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Tarutung melalui tabel di bawah ini :

Tabel 3.b. Kriteria Objek Pengangkatan Anak Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Berdasarkan Penetapan Pengadilan Tarutung Tahun 2004-2007

No Kriteria Objek Pengangkatan Anak Jumlah %

1 Anak Laki-laki 2 100

2 Anak Perempuan - 0

Jumlah 2 100

Sumber : Dokumentasi Pengadilan Negeri Tarutung tahun 2004-2007 yang diolah.

Dari Tabel 3.b. di atas dapat dilihat bahwa objek pengangkatan anak pada

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung berdasarkan penetapan Pengadilan

Negeri Tarutung tahun 2004 – 2007, dari 2 penetapan yang mengangkat anak

laki-laki sebanyak 2 orang (100%) dan tidak ada yang mengangkat anak perempuan (0%).

Dari kedua tabel di atas, jelas nampak perbedaan yang jelas antara kedua

objek pengangkatan anak tersebut, dimana ada kecenderungan untuk mengangkat

(57)

Hal ini dikaitkan dengan latar belakang terjadinya pengangkatan anak oleh

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung yaitu untuk meneruskan keturunan.

Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung menganut sistem

kekeluargaan patrilineal, dimana anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Apabila

dalam keluarga tersebut tidak ada keturunan atau anak laki-laki, maka keluarga

tersebut akan memilih untuk mengangkat anak laki-laki dari pada anak perempuan,

karena anak laki-laki lah yang dapat menyandang nama keluarga dan melanjutkan

keturunan.

Selain itu juga dalam masyarakat Batak Toba, seorang ayah selalu sayang

kepada anak-anaknya, teristimewa kepada anak laki-laki. Hal ini disebabkan anak

laki-laki adalah tampuk ni pusu-pusu, ihot ni ate-ate (anak laki-laki merupakan

jantungnya dan pengikat hatinya). Makna yang lebih dalam dari ungkapan ini adalah

anak laki-laki merupakan sandaran hidup orang tuanya, terutama kelak bila mereka

tua.

Menurut kebiasaan masyarakat Batak Toba, antara ayah dengan anak

perempuan dibatasi oleh hubungan segan (na marsubang), yang dalam istilah

antropologi sering disebut avoidance relationship.47 Oleh sebab itu antara ayah

dengan anak perempuan tidak boleh bermain-main atau berseloroh yang

berlebih-lebihan sebagaimana layaknya antara ayah terhadap anak laki-lakinya; tetapi antara

mereka harus menjaga sopan santun baik dalam berbicara maupun bertingkah laku.

47

(58)

Akan tetapi walaupun begitu, dalam kehidupan masyarakat Batak Toba

terdapat ungkapan anak hamatean, boru hangoluan, yang artinya anak laki-laki

sering menyebabkan kematian orang tuanya karena selalu menghabisi harta kekayaan

orang tuanya. Sebaliknya anak perempuan adalah kehidupan bagi orang tuanya

karena anak perempuan lebih bertanggung jawab dan perhatian kepada orang

tuanya.48

Sesuai dengan perkembangan jaman yang sekarang ini, sudah seharusnya

perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan tidak lagi menjadi masalah.

Akan tetapi oleh karena masyarakat Batak Toba yang berada di Kecamatan Tarutung

masih menjunjung adat dan kebiasaan setempat, oleh karena itu terdapat

kecendrungan apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai keturunan, terutama

anak laki maka lebih banyak para orang tua angkat mengangkat anak angkat

laki-laki dari pada mengangkat anak angkat perempuan.

2) Kriteria Subjek Pengangkatan Anak

Kriteria subjek pengangkatan anak pada masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Tarutung dapat dilihat dari tabel berikut ini :

48

Gambar

Gambaran Umum Pengangkatan Anak.......................................
Tabel 1. Nama-Nama Desa Yang Terdapat di Kecamatan Tarutung
Tabel 1. Lanjutan
Tabel 2.a.  Motivasi Pengangkatan Anak  Oleh Masyarakat Batak Toba di Kecamatan        Tarutung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 209 bahwa yang berhak mendapatkan wasiat wajibah adalah orang tua angkat atau anak angkat yang tidak

Annual Working Plan and Company's Budgeting is a management contract between directors and the commissioners as the supervisory body, in order to protect interests

4.0 KEMAHIRAN YANG DIUKUR DALAM UJIAN APTITUD AM TAHUN 3. Kemahiran yang diukur dalam Ujian Aptitud Am Tahun

Responden dalam penelitian tentang Hubungan Persepsi Pengguna Layanan Tentang Mutu Pelayanan Unit Rawat Inap VIP (Gryatama) Dengan Minat Pemanfaatan Ulang di BRSU

(Bermain Peran) pada materi Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Pada Mata Pelajaran Matematika Kelas III SDI Pancasila Ponokawan Krian Sidoarjo. Metode penelitian yang

tidak dapat memberikan, dan kalau ditunggu untuk waktu yang cukup lama para pesiarah dan masyarakat di tempat itu tidak juga menyadari bahwa permohonan-permohonan seperti itu

Namun melalui analisis seleksi ini, dapat dilihat jelas bahwa dari banyaknya pihak yang terlibat dalam berita tersebut, narasumber dari kalangan budaya seperti dalang lah yang

Operasi crossover yang dilakukan pada kromosom dengan tujuan untuk memperoleh kromosom-kromosom baru sebagai kandidat solusi pada generasi mendatang dengan fitness