• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/PDT.G/2010/PA Sidoarjo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/PDT.G/2010/PA Sidoarjo)"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

ASTARI PRIARDHYNI

107011072/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ASTARI PRIARDHYNI

107011072/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nama Mahasiswa : ASTARI PRIARDHYNI

Nomor Pokok : 107011072

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Abdullah Syah, M.A.)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D) ( Dr. Idha Aprilyana S., S.H., M.Hum.)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Abdullah Syah, M.A.

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D

2. Dr. Idha Aprilyana S., S.H., M.Hum

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN

(5)

Nama : ASTARI PRIARDHYNI

Nim : 107011072

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis :TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEWARISAN ANAK

LI’ANDALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NOMOR 1595/PDT.G/2010/PA SIDOARJO)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

oleh orangtuanya, terutama dalam hal ini adalah ayahnya, melalui sumpahli’anyang dijatuhkan kepada istrinya, dan menganggap anak tersebut sebagai anak hasil zina antara istrinya dengan lelaki lain di luar perkawinan yang sah (anak luar nikah). Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo telah memutus perkara tentang perceraian sekaligus pengingkaran anak yang dilahirkan oleh istrinya dalam suatu ikatan perkawinan yang sah yang berarti akan merusak hubungan nasab

antara anak dengan ayahnya berdampak pula terhadap hak warisnya. Sementara itu, mengenai kedudukannasabdan waris anakli’an(sebagai anak luar nikah) baru-baru ini mengalami polemik dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang berseberangan dengan ketentuan hukum Islam, disusul pula lahirnya produk hukum Islam berupa Fatwa MUI nomor 11 Tahun 2012. Sehingga dalam penelitian ini membahas mengenai mengapali’an dapat mencegah hak waris anak dari ayah biologisnya, bagaimana hubungan kenasaban dan kewarisan bagi anak

li’andalam perspektif hukum Islam pada Putusan Pengadilan Agama perkara Nomor 1595/PDT. G/2010/PA Sidoarjo yang dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya, dan mengapa dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo dapat dilakukan sumpah li’an terhadap anak luar kawin yang lahir dalam perkawinan yang sah.

(7)

perkara tersebut untuk menyangkal dan mengingkari anak yang dikandung Termohon sebagai darah daging Pemohon, bukan untuk membuktikan adanya perzinahan yang dilakukan oleh Termohon (istri) dalam perkawinan sah mereka.

(8)

oath upon their wives, accusing them of committing adultery and claim that the children are not his (illegitimate). The Religious Court’s verdict No. 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo on Divorce denies a child born by the wife in the legitimate marriage which means that the nasab relationship between the child and his father is marred, and it gives the impact on his right on inheritance. Meanwhile, the position of nasab and li’an oath of the child’s inheritance (as an illegitimate child) has previously become the polemic by the ruling of the Constitutional Court No. 46/PUU-VIII/2010 which is contrary to the Islamic Law product and the advice of MUI No. 11/2012. Therefore, the research analyzes why li’an can deny the child’s right of inheritance from his biological father, how is the correlation between nasab and inheritance for a li’an child in the perspective of the Islamic law on the ruling of the Religious Court No. 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo related to the ruling of the Constitutional Court No. 11/2012 on Illegitimate Child and the Treatment on Him, and why in the ruling of the Religious Court No. 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo a li’an oath can be performed on an illegitimate child in a legal marriage.

The research was judicial normative which was performed by using legal provisions and Court’s verdicts. The data were gathered by performing library research which comprised primary, secondary, and tertiary legal materials.

Based on the study, it could be concluded that the reason why li’an can deny the child’s right for inheritance from his biological father is that the child who is denied can only be related to his mother, cannot be related to his father and his father’s relatives, and does not the right to inherit from his biological father. The lineage and inheritance of a li’an child in the perspective of the Islamic Law related to the ruling of the Constitutional Court No. 46/PUU-VIII/2010 and the advice of MUI No. 11/2012 on Illegitimate Child and the Treatment on Him, a li’an child who is determined to be an illegitimate child cannot be related to his father and to his father’s relatives so that there is no loophole for him to obtain inheritance from his father who has denied him. The child is brought back his relation to his mother. If later on it is proved that he is his father’s biological child through DNA test, the father will be punished by ta’zir punishment in the form of responsibility and protection to the child who has been denied through li’an. It can be performed by saying a li’an oath on the illegitimate child, based on the meaning of li’an which can be used to deny that the child is not his. In this case, the Court permits the Petitioner (husband) to say a li’an oath before the Court to deny the child as his biological child, not to prove that the Petitionee (wife) has committed adultery.

(9)

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas karunia kesehatan,

kekuatan dan kemudahan yang diberikan hingga dapat menyelesaikan penulisan tesis

ini dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an Dalam

Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor

1595/PDT.G/2010/PA Sidoarjo)”. Juga tidak lupa Shalawat beriring salam penulis

hadiahkan kepada Rasulullah SAW yang selalu menjadi suri dan tauladan dan yang

syafa’atnya selalu diharapkan seluruh umatnya.

Penulisan tesis ini dilakukan sebagai suatu persyaratan yang harus dipenuhi

untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis telah melalui berbagai tahap dan proses

dalam menyelesaikan tesis ini., dan dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah

memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan moril berupa masukan dan saran,

sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Untuk itu,

ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada Bapak

Prof. Dr. Abdullah Syah, MA, Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D,

dan IbuDr. Idha Aprilyana S, SH, M.Hum., selaku Komisi Pembimbing yang telah

dengan tulus ikhlas dan sabar meluangkan waktu dan memberikan bimbingan demi

tercapainya hasil terbaik dalam penulisan tesis ini. Kemudian juga kepada Bapak

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CNdan IbuDr. T. Keizerina Devi A, SH,

CN, M.Hum, selaku Dosen Penguji yang telah berkenan memberi masukan dan

arahan sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Kedua orangtua terbaik, Ayahanda Ir. H. Supriyadi dan Ibunda Hj. Astuti

Sucianingsih, terimakasih atas doa serta dukungan moril dan materil yang tidak

terhingga dan tidak mungkin dapat terbalas yang selalu diberikan kepada penulis

(10)

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister

Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, SH,

M.Hum, atas kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

3. Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Medan,Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., dan Sekretaris

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Medan Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum atas segala dedikasi dan

pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu

pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan;

4. Adik-adik terbaik, Astrini Primanita S.Psi, Astirta Priyoga dan Nanda

Chairunnisa, terimakasih atas doa dan bantuan yang diberikan, khususnya

dalam mengurangi kepenatan dan kelelahan yang terkadang penulis rasakan

dalam proses penyelesaian tesis ini.

5. Keluarga besar Magister Kenotariatan Angkatan 2010 Grup A, khususnya

Tivani Ruslan Hasibuan, Sri Isnaida, Yasir Arfan, T. Dhiaul Akbar, Nana,

Rahmi, Kak Maya, Kak Mimi, Kak Fitri sahabat-sahabat seperjuangan

Khairunnisa Ginting, Khairuna Malik Hasibuan, terimakasih atas bantuan,

kebersamaan dan kekeluargaannya selama ini, semoga walaupun dengan

selesainya studi ini persahabatan kita tetap dapat terjalin dengan baik.

6. Sahabat-sahabat terbaik, khususnya Ulfa Shalha Daulay S.Pd, dr. Rika

Febriana Pinem, dr. Theresia Bangun, Septilina Melati Sirait, terimakasih

(11)

Sumatera Utara Medan yang telah banyak membantu dalam proses administrasi

selama penulis menjadi mahasiswa di Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis berharap semoga semua doa, bantuan, dan kebaikan yang telah

diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar

selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, dan rezeki yang melimpah kepada kita

semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,

namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan

manfaat kepada semua pihak.

Medan, Agustus 2012

Penulis

(12)

Nama Lengkap : Astari Priardhyni

Tempat/Tanggal Lahir : Binjai, 17 April 1988

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. T.A Hamzah Komp. Taman Binjai Indah

Blok G Nomor 4 – Binjai

II. KELUARGA

Nama Ayah : Ir. H. Supriyadi

Nama Ibu : Hj. Astuti Sucianingsih

Nama Adik : 1. Astrini Primanita

2. Astirta Priyoga

III. PENDIDIKAN

SD : Tahun 1994 s/d 2000

SD Negeri 498/VI Perk. Sei Pelakar, Sarolangun

Jambi

SMP : Tahun 2000 s/d 2003

SMP Perguruan Ahmad Yani Binjai

SMA : Tahun 2003 s/d 2006

SMA Negeri 1 Binjai

Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 2006 s/d 2010

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

Perguruan Tinggi/S2 : Tahun 2010 s/d 2012

Fakultas Hukum Program Studi Magister Kenotariatan

(13)

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian... 13

F. Kerangka dan Teori Konsepsi... 14

1. Kerangka Teori... 14

2. Konsepsi ... 24

G. Metode Penelitian... 29

1. Sifat dan Jenis Penelitian... 29

2. Sumber Data ... 31

3. Teknik Pengumpulan Data ... 32

4. Analisis Data ... 33

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LI’AN... 35

A. Pengertian Li’an ... 35

1. Menurut Al-Qur’an dan Hadist ... 37

2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam... 44

B. Bentuk-Bentuk Li’an... 46

(14)

A. Hubungan Kenasaban AnakLi’an ... 59

1. Nasab Dalam Hukum Islam ... 61

2. Nasab AnakLi’an... 68

B. Hak Waris AnakLi’an ... 73

C. Perkembangan Hukum di Indonesia Tentang Hubungan Nasab dan Kewarisan AnakLi’anBerdasarkan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya ... 78

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NOMOR 1595/PDT. G/2010/PA SIDOARJO ... 94

A. Pengingkaran Anak MelaluiLi’anMenurut Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/PDT. G/2010/PA Sidoarjo.... 94

B. Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/ PDT. G/2010/PA Sidoarjo ... 103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 114

A. Kesimpulan ... 114

B. Saran... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 119

(15)

oleh orangtuanya, terutama dalam hal ini adalah ayahnya, melalui sumpahli’anyang dijatuhkan kepada istrinya, dan menganggap anak tersebut sebagai anak hasil zina antara istrinya dengan lelaki lain di luar perkawinan yang sah (anak luar nikah). Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo telah memutus perkara tentang perceraian sekaligus pengingkaran anak yang dilahirkan oleh istrinya dalam suatu ikatan perkawinan yang sah yang berarti akan merusak hubungan nasab

antara anak dengan ayahnya berdampak pula terhadap hak warisnya. Sementara itu, mengenai kedudukannasabdan waris anakli’an(sebagai anak luar nikah) baru-baru ini mengalami polemik dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang berseberangan dengan ketentuan hukum Islam, disusul pula lahirnya produk hukum Islam berupa Fatwa MUI nomor 11 Tahun 2012. Sehingga dalam penelitian ini membahas mengenai mengapali’an dapat mencegah hak waris anak dari ayah biologisnya, bagaimana hubungan kenasaban dan kewarisan bagi anak

li’andalam perspektif hukum Islam pada Putusan Pengadilan Agama perkara Nomor 1595/PDT. G/2010/PA Sidoarjo yang dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya, dan mengapa dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo dapat dilakukan sumpah li’an terhadap anak luar kawin yang lahir dalam perkawinan yang sah.

(16)

perkara tersebut untuk menyangkal dan mengingkari anak yang dikandung Termohon sebagai darah daging Pemohon, bukan untuk membuktikan adanya perzinahan yang dilakukan oleh Termohon (istri) dalam perkawinan sah mereka.

(17)

oath upon their wives, accusing them of committing adultery and claim that the children are not his (illegitimate). The Religious Court’s verdict No. 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo on Divorce denies a child born by the wife in the legitimate marriage which means that the nasab relationship between the child and his father is marred, and it gives the impact on his right on inheritance. Meanwhile, the position of nasab and li’an oath of the child’s inheritance (as an illegitimate child) has previously become the polemic by the ruling of the Constitutional Court No. 46/PUU-VIII/2010 which is contrary to the Islamic Law product and the advice of MUI No. 11/2012. Therefore, the research analyzes why li’an can deny the child’s right of inheritance from his biological father, how is the correlation between nasab and inheritance for a li’an child in the perspective of the Islamic law on the ruling of the Religious Court No. 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo related to the ruling of the Constitutional Court No. 11/2012 on Illegitimate Child and the Treatment on Him, and why in the ruling of the Religious Court No. 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo a li’an oath can be performed on an illegitimate child in a legal marriage.

The research was judicial normative which was performed by using legal provisions and Court’s verdicts. The data were gathered by performing library research which comprised primary, secondary, and tertiary legal materials.

Based on the study, it could be concluded that the reason why li’an can deny the child’s right for inheritance from his biological father is that the child who is denied can only be related to his mother, cannot be related to his father and his father’s relatives, and does not the right to inherit from his biological father. The lineage and inheritance of a li’an child in the perspective of the Islamic Law related to the ruling of the Constitutional Court No. 46/PUU-VIII/2010 and the advice of MUI No. 11/2012 on Illegitimate Child and the Treatment on Him, a li’an child who is determined to be an illegitimate child cannot be related to his father and to his father’s relatives so that there is no loophole for him to obtain inheritance from his father who has denied him. The child is brought back his relation to his mother. If later on it is proved that he is his father’s biological child through DNA test, the father will be punished by ta’zir punishment in the form of responsibility and protection to the child who has been denied through li’an. It can be performed by saying a li’an oath on the illegitimate child, based on the meaning of li’an which can be used to deny that the child is not his. In this case, the Court permits the Petitioner (husband) to say a li’an oath before the Court to deny the child as his biological child, not to prove that the Petitionee (wife) has committed adultery.

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti.

Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak

merupakan harapan untuk menjadi sandaran dikala usia lanjut. Ia dianggap sebagai

modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status sosial

orang tua.

Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih

hidup anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah

lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan

dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah,

anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya.1

Anak adalah amanah sekaligus karunia Allah SWT, yang senantiasa harus kita

jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia

yang harus dijunjung tinggi. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab

untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang

dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan

anak, negara dan pemerintah bertanggungjawab menyediakan fasilitas sarana dan

1Makalah Hukum Waris Islam,Masalah Kewarisan Anak Dalam Kandungan, Anak Zina dan

(19)

prasarana bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya

secara optimal dan terarah.2

Anak juga merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai

elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga, dan

bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam

kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi

anak.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, anak adalah amanah Allah SWT

dan tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati

oleh orang tua. Sebagai amanah, anak harus dijaga sebaik mungkin oleh yang

memegangnya, yaitu orang tua. Anak adalah manusia yang memiliki nilai

kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan oleh alasan apapun.

Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah

SWT mensyari’atkan adanya perkawinan. Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan

antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab,

menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan keluarga yang sakinah.3

Sebagaimana firman Allah SWT, dalam Al-Qur’an surah Al-Rum ayat 21:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasannya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang sedemikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

2M. Hasballah Thaib dan Iman Jauhari,Kapita Selekta Hukum Islam,Pustaka Bangsa Press,

Medan, 2004, hlm. 5

(20)

Nikah atau perkawinan adalah akad (ijab dan qobul) yang menghalalkan

pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim, yang

kemudian menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.4

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi untuk seumur hidup karena

perkawinan mengandung nilai luhur. Dengan adanya ikatan lahir bathin antara pria

dan wanita yang dibangun diatas nilai-nilai sakral karena berdasarkan kepada

Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila, maksudnya

adalah bahwa perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan

bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan

fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.5

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang

menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang

melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai

kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak, maka timbul

hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat

penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum Islam. Sebagai amanah

Allah SWT, maka orang tuanya mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh,

mendidik, dan memenuhi keperluannya sampai dewasa. Berdasarkan Pasal 45 dan

46 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, hubungan hukum antara orang

4 http://sman1jember.sch.id/materipai/XII.1.5%20MUNAKAHAH.pdf, diakses pada tanggal

20 Februari 2012

(21)

tua dengan anak menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya, antara lain dalam

Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa orang tua wajib

memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin

atau dapat berdiri sendiri. Bahkan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan

antara kedua orang tua putus.6Sebaliknya, anak juga mempunyai kewajiban terhadap

orang tuanya, yang diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974, yakni anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka

yang baik, dan jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya,

orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuan.

Hal ini membuktikan adanya hubungan hukum dengan timbulnya hak dan kewajiban

antara orang tua dan anak dari suatu perkawinan.

Anak juga merupakan salah satu ahli waris yang berhak menerima warisan.

Baik anak laki-laki maupun anak perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya,

bahkan ia adalah ahli waris yang paling dekat dengan pewaris. Hubungan kewarisan

antara orangtua dengan anaknya ini didasarkan pada adanya hubungan darah atau

yang disebut juga sebagai hubungan nasab, karena telah terjadi hubungan biologis

antara suami istri dalam ikatan perkawinan tersebut dan kemudian lahirlah anak.

Namun, yang menjadi masalah disini adalah anak yang lahir diingkari oleh ayahnya

dalam satu sumpahli’an.

Sumpah li’an adalah sumpah suami kepada istrinya yang dia tuduh berbuat

zina. Suami harus mendatangkan empat saksi untuk membuktikan tuduhannya.

(22)

Apabila terbukti, maka terjadi perceraian untuk selamanya dan anak bukan anak

suami.7 Sedang, menurut istilah syar’i, li’an adalah sumpah dengan redaksi tertentu

yang diucapkan suami bahwa istrinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir

dari istrinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian si istri pun bersumpah bahwa

tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.8

Li’an suami-istri disyariatkan dalam Islam, apabila suami menuduh istrinya

berzina, atau suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya. Allah SWT

berfirman dalam Al-Qur’ansurat An-Nuur ayat 6-9:9

"Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar."

Sebab turunnya ayat ini dikaitkan dengan kekhususan hukumli’anyang terjadi

antara suami istri adalah firman Allah yang menyebutkan tentang sanksi orang yang

menuduh wanita mukminah, yaitu dalam Al-Qur’ansurat An-Nuur ayat 4:10

"Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik."

7Hilman Hadikusuma,Op.Cit,hlm. 65-66

8Makalah Hukum Waris Islam,Op.Cit.,hlm. 10

9Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum

(23)

Berdasarkan uraian diatas, maka anak yang dilahirkan dari seorang istri yang

sah, dimana suami tersebut tidak mengakuinya sebagai anaknya, karena suami

tersebut telah menuduh sang istri telah berzina dengan lelaki lain dinamakan dengan

anak li’an. Sang suami telah bersumpah bahwa istrinya telah berzina dengan lelaki

lain di depan hakim, begitu pula istrinya telah bersumpah dengan tujuan membela

diri, bahwa tuduhan suaminya adalah dusta. Maka jika sang istri mengandung, anak

tersebut disebut sebagai anakli’an.11

Anak li’an ini mempunyai status hukum yang sama dengan anak zina, yaitu

sama-sama menjadi anak luar kawin. Namun perbedaan antara keduanya adalah

bahwa anak zina telah jelas statusnya sejak awal, seperti lahir dari perempuan yang

tidak bersuami sedangkan anak li’an lahir dari perempuan yang bersuami, namun

anak tersebut tidak diakui oleh suaminya.12

Putusan Pengadilan AgamaNomor 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo telah

memutus perkara tentang perceraian sekaligus pengingkaran anak yang dilahirkan

oleh istrinya dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.

Dalam duduk perkara putusan tersebut menjelaskan bahwa antara Pemohon

dengan Termohon sebelumnya telah dilangsungkan perkawinan yang sah sesuai

dengan agama dan kepercayaannya serta telah pula dicatatkan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Tetapi sebelum melangsungkan perkawinan sah

tersebut Pemohon dengan Termohon telah lebih dahulu melakukan hubungan badan

11http://opi.11omb.com/faraidweb/12hakwarisanakhasilzinadanlian.htm, diakses pada tanggal

21 Februari 2012.

(24)

yang menurut pengakuan Pemohon dilakukan dengan caracoitus interuptusyaitu saat

Pemohon merasa air maninya akan keluar Pemohon mengeluarkan alat kelaminnya

dari kelamin Termohon dan Pemohon mengeluarkan air maninya di luar kelamin

Termohon. Dengan cara ini Pemohon yakin bahwa hubungan badan yang dilakukan

tersebut tidak akan menyebabkan kehamilan. Kemudian selang beberapa lama,

Termohon mengatakan kepada Pemohon bahwa dirinya telah hamil dan meminta

kepada Pemohon untuk segera menikahi Termohon. Dengan keadaan terpaksa,

Pemohon pun menikahi Termohon. Namun Pemohon yakin bahwa anak yang

dikandung Termohon bukanlah darah dagingnya. Kemudian setelah anak tersebut

lahir, Pemohon mengingkari atau menyangkal anak yang telah dilahirkan oleh

Termohon bukanlah darah daging Pemohon, sehingga Pemohon merasa memiliki

cukup alasan untuk mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim untuk

meneguhkan pengingkaran atau penyangkalannya terhadap anak tersebut dengan

mengucapkan sumpah li’an. Demikian pula Termohon telah mengangkat sumpah

nukul (sumpah balik) untuk menegaskan bahwa Termohon tidak pernah melakukan

zina, sebagai balasan atas sumpah li’an yang diucapkan Pemohon yang mengingkari

anak tersebut dengan menuduh Termohon melakukan perbuatan zina. Sehingga

dengan adanya putusan tersebut putuslah perkawinan antara si Pemohon dengan

Termohon sekaligus hubungan antara anak tersebut dengan ayahnya (Pemohon).

Tentu dalam perkara di atas yang menjadi korban adalah anak tersebut.

Akibatnya akan ada hak-haknya sebagai anak yang tidak dapat ia peroleh. Yang

(25)

ayahnya tersebut tentulah menjadi tidak sama dengan anak-anak lainnya yang lahir

dari perkawinan yang aman dan tentram. Anak tersebut juga tidak berhak

mendapatkan nafkah dari ayahnya. Kedudukan hukum anak tersebut juga

dipertanyakan.

Di dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 mengenai

kedudukan anak diatur dalam Bab IX Pasal 42 sampai Pasal 43. Masalah kedudukan

anak ini, terutama dalam hubungannya dengan pihak ayahnya, sedangkan dalam

hubungannya dengan pihak ibunya dapat dikatakan tidak terlalu susah untuk

mengetahui siapa ibu dari anak yang dilahirkan tersebut. Sedangkan untuk

mengetahui siapa ayah dari seorang anak, masih dapat menimbulkan kesulitan. Bagi

seseorang, anak dianggap selalu mempunyai hubungan hukum dengan ibunya.

Dengan pihak ayah, anak tidaklah demikian.13

Tetapi kemudian angin segar datang terhadap kedudukan anak yang

digolongkan ke dalam anak luar kawin, salah satunya adalah anak li’an, dengan

ditetapkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor

46/PUU-VIII/2010 dalam hal pengujian materi, khususnya dalam hal ini materi Pasal 43

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Norma yang muncul dari

perubahan Pasal 43 (1) Undang-Undang Perkawinan yang semula berbunyi: “Anak

yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

13Murdiningsih Hayuperwitasari,Tesis Peranan Notaris Dalam Proses Pengakuan Anak luar

(26)

ibunya dan keluarga ibunya“, kini harus dibaca menjadi:Anak yang dilahirkan di

luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai

hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.Dengan

adanya Putusan Mahkamah Kontitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010

tersebut, akibat yang timbul salah satunya adalah mengenai waris, yang mana salah

satu sebab terjadinya kewarisan dalam hukum Islam adalah melalui hubungan

kenasaban.

Namun Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor

46/PUU-VIII/2010 tersebut kemudian memunculkan berbagai komentar dan kontroversi.

Menurut Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin, putusan ini mengesankan adanya pertalian

nasab antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya, sehingga berdampak

konsekuensi yang luas termasuk dapat ditafsirkan mengesahkan hubungan nasab,

waris, wali, dan nafkah antara anak luar kawin dengan laki-laki yang menyebabkan

kelahirannya. Akibatnya dari putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

tersebut dapat ditafsirkan pula bahwa kedudukan anak luar kawin dijadikan sama

dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, terutama hak

waris, dan ini tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.14 Kemudian MUI memandang

perlu mengeluarkan Fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil

14Idrus Syah, MUI: Putusan MK Soal Status Anak di Luar Nikah Melampaui

(27)

Zina dan Perlakuan Terhadapnya berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an, Hadist dan

pendapat-pendapat para Jumhur Ulama, dan menetapkan bahwa anak luar kawin

hanya mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafkah dengan ibu dan

keluarga ibunya, tidak dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Untuk tetap

melindungi anak yang lahir dari hasil hubungan luar kawin tersebut MUI menetapkan

pula bahwa Pemerintah berwenang untuk menjatuhkan hukuman bagi laki-laki yang

menyebabkan lahirnya anak luar kawin tersebut dengan mewajibkannya untuk

mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan memberikan harta setelah ia

meninggal dengan wasiat wajibah. Jadi bukan dengan jalan mengesahkan hubungan

nasab, wali nikah, waris, dan nafkah antara anak luar kawin dengan laki-laki yang

menyebabkan kelahirannya seperti yang tercantum dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut di atas.

Gambaran di atas tentunya melahirkan pertanyaan mengenai kedudukan

hukum dan hak-hak anakli’an tersebut. Terutama mengenai hak kewarisan antara si

anak dengan ayah yang telah mengingkarinya, oleh karena hubungan nasab yang

seharusnya menjadi benang merah antara ayah dengan anaknya dalam hal kewarisan

menjadi rusak dengan adanya li’an yang dilakukan seorang suami kepada istrinya,

yang kemudian disusul pula dengan keluarnya Putusan Mahkamah Kontitusi

Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun

2012 dalam kaitannya dengan perkara li’andi atas dengan tetap berdasarkan pada

(28)

Untuk itu, berdasarkan uraian latar belakang di atas tersebut maka akan

dilakukan penelaahan lebih lanjut mengenai kewarisan anak li’an. Penelaahan ini

nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis

Terhadap Kewarisan Anak Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan

Pengadilan AgamaNomor 1595/Pdt.G/2010/PA. Sidoarjo)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :

1. Mengapali’andapat mencegah hak waris anak dari ayah biologisnya ?

2. Bagaimana hubungan kenasaban dan kewarisan bagi anakli’andalam perspektif

hukum Islam pada Putusan Pengadilan Agamaperkara Nomor 1595/PDT.

G/2010/PA Sidoarjo yang dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa MajelisUlama

Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Anak Hasil Zina dan Perlakuan

Terhadapnya ?

3. Mengapa dalam Putusan Pengadilan AgamaNomor 1595/Pdt.G/2010/PA

Sidoarjo dapat dilakukan sumpah li’an terhadap anak luar kawin yang lahir

dalam perkawinan yang sah?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat

(29)

1. Untuk mengetahui alasan li’an dapat mencegah hak waris anak dari ayah

biologisnya.

2. Untuk mengetahui hubungan kenasaban dan kewarisan bagi anak li’an dalam

perspektif hukum Islam pada Putusan Pengadilan AgamaNomor

1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo yang dikaitkan dengan Putusan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis

Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Anak Hasil Zina dan Perlakuan

Terhadapnya.

3. Untuk mengetahui sebab dapat dilakukannya sumpah li’an terhadap anak luar

kawin yang lahir dalam perkawinan yang sah dalam Putusan Pengadilan Agama

Nomor 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini dapat

dilihat secara teoritis dan secara praktis yang didasarkan pada tujuan penelitian15,

yaitu :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan serta mendorong para pembacanya untuk dapat

lebih mengerti dan memahami tentang pengetahuan mengenai hukum kewarisan

terhadap anak khususnya dalam hal ini anakli’andalam perspektif hukum Islam.

15 Calire Seltz et.,al : 1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian

(30)

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi

aparat hukum dan masyarakat terkait dalam menghadapi perkara atau masalah

yang berhubungan dengan kewarisan anak li’an. Selain itu, juga dapat memberi

masukan bagi profesi Notaris, akademisi, pengacara dan mahasiswa.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik hasil-hasil

penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan di lingkungan Universitas

Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap

Kewarisan Anak Li’an dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan

Agama Nomor 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo)” belum pernah ditemukan judul atau

penelitian tentang judul di atas sebelumnya.

Dari hasil penelusuran keaslian penelitian, ada beberapa penelitian yang

menyangkut tentang Kedudukan Anak luar kawin yang pernah dilakukan oleh

Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang dilakukan dengan pendekatan masalah yang berbeda, yaitu :

1. Judul Tesis “Perbandingan Status Hak Waris Anak luar kawin Antara

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Hukum Perdata (BW)” yang ditulis

oleh Fitri Zakiyah, NIM 087011044, Mahasiswa Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara, perumusan masalahnya adalah :

a. Bagaimana status hak waris anak luar kawin menurut Kompilasi Hukum

(31)

b. Bagaimana status hak waris anak luar kawin menurut Hukum Perdata

(BW) ?

c. Bagaimana perbandingan status hak waris anak luar kawin antara

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Hukum Perdata (BW) ?

2. Judul Tesis “Analisis Yuridis Kedudukan Anak luar kawin Berdasarkan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”

yang ditulis oleh Ayu Yulia Sari, NIM 097011052, perumusan masalahnya

adalah :

a. Bagaimana kriteria anak luar kawin dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?

b. Bagaimana kedudukan anak luar kawin berdasarkan Kompilasi Hukum

Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?

c. Bagaimana akibat hukum anak luar kawin berdasarkan Kompilasi Hukum

Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?

Oleh karena itu judul tesis ini dapat dijamin keasliannya sepanjang mengenai

judul dan permasalahan seperti yang diuraikan di atas. Hal ini juga menambah

keyakinan bahwa penelitian ini akan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam perkembangannya, ilmu hukum tidak terlepas dari ketergantungan

pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungannya pada metodologi, karena

(32)

Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau

proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.16

Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan,

yang pada gilirannya berasal dari kata theadalam bahasa Yunani yang secara hakiki

menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata

modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur,

beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang

tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), dan juga simbolis.17

Menurut W.I. Neuman, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton

F. Susanto, menyebutkan bahwa :

“teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.18

Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel

bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut

variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi variabel tak bebas atau

merupakan salah satu penyebab.

Menurut M. Solly Lubis, bahwa :

16J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam,

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm. 203

17H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung,

2004, hlm. 21

(33)

“teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau begaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.”19

Malcom Walters, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton F.

Susanto, menyebutkan bahwa teori hendaknya meliputi semua pernyataan yang

disusun dengan sengaja yang memenuhi semua kriteria :20

a. Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktek-praktek sosial yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas sosiologis dan sosial. b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan

melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheren dan kuat.

c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik kesimpulan dari satu dan lainnya.

d. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya.

e. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat digunakan dan menerangkan semua atas contoh fenomena apapun yang mereka coba terangkan.

f. Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah laku mereka sendiri.

g. Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu harus konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan dan ahli-ahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lainnya.

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

membangun atau memperkuat kebenaran dan permasalahan yang dianalisis.

19M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 27

(34)

Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran

atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum

waris (faraidh), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin

disetujui atau tidak disetujui yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini.

Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah suatu

keharusan. Hal ini dikarenakan kerangka teori itu digunakan sebagai landasan berfikir

untuk menganalisis permasalahan yang dibahas.

Adapun teori yang dapat dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini

adalah teori Maqashid al-Syariah. Dari segi bahasa Maqashid al-Syariah berarti

maksud atau tujuan disyari’atkan hukum Islam. Oleh karena itu, yang menjadi

bahasan utama didalamnya adalah mengenai masalah hikmatdan illat ditetapkannya

suatu hukum. Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti

lebih dahulu hakekat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus yang akan

ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum

yang akan dijadikan dalilnya. Artinya dalam menetapkan nash dalam suatu kasus

yang baru, kandungan nash harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan

disyari’atkan hukum tersebut.21

21 Fitri Zakiyah,Tesis Perbandingan Status Hak Waris Anak luar kawin Antara Kompilasi

(35)

Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan

penelitian para ahli ushul fiqih, unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan,

yaitu :22

a. Memelihara agama b. Memelihara jiwa c. Memelihara akal d. Memelihara harta e. Memelihara keturunan f. Memelihara kehormatan23

Teori berikutnya yang menjadi teori pendukung dari teori Maqashid

al-Syari’ah adalah teori Mashlahah Mursalah, yang dalam Bahasa Indonesia kata

mashlahah dikenal dengan maslahat. Mashlahah ini secara bahasa atau secara

etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan.24

Sedangkan menurut istilah atau epistemology, mashlahah diartikan oleh para ulama

Islam dengan rumusan hampir bersamaan, diantaranya Al-Khawarizmi yang

menyebutkan mashlahah adalah al-marodu bil-maslahatil-mukhaafazatu ‘ala

maqsudi-syar’i bidaf’i-l mufaasidi ‘ani-l- kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum

Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia

(makhluk). Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah

untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan atau kehormatan, dan harta.25

22Ibid.

23M. Hasballah Thaib,Falsafah Hukum Islam,Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa,

Medan, 1993, hlm. 6

24Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke II,

Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 634.

25Mahmuzar, Maslahah-Mursalah; Suatu Metode Istinbath Hukum,

(36)

Tidak jauh berbeda dengan Al-Khawarizmi di atas, Al-Ghazali merumuskan

maslahahsebagai suatu tindakan memelihara tujuan syara’ atau tujuan hukum Islam,

sedangkan tujuan hukum Islam menurut Al-Ghazali adalah memelihara enam hal di

atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari enam hal di

atas disebut maslahah, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah, dan

menolakmafsadahdisebutmaslahah.26

Dapat dilihat, bahwa memelihara kehormatan dan keturunan merupakan salah

satu tujuan hukum Islam. Islam sangat melindungi kehormatan seorang muslim dan

tidak membenarkan menuduh orang lain melakukan kejahatan tanpa adanya suatu

bukti yang benar, tuduhan tanpa alasan berarti penghinaan. Tuduhan yang paling

berat adalah menuduh orang berzina, baik yang tertuduh laki-laki ataupun

perempuan.27 Larangan menuduh orang berzina telah jelas diatur dalam Al-Qur’an

surah An-Nur (24) ayat 5 yang menyebutkan :

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik28 (berbuat zina) dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Seperti halnya terhadap kasus li’an di atas, menuduh orang lain berzina,

terlebih terhadap istri sendiri, akan berdampak besar, salah satunya terhadap

keturunan yang lahir dalam perkawinan tersebut.

26Ibid.

27M. Hasballah Thaib,Falsafah Hukum Islam, Op.Cit.,hlm. 9

28Yang dimaksud wanita-wanita yang baik-baik disini adalah wanita-wanita yang suci,akhil

(37)

Islam menganjurkan memelihara keturunan, bahkan salah satu dari hikmah

perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Ditinjau dari tingkat

kebutuhannya, memelihara keturunan dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :29

a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.

b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq kepadanya.

c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’atkankhitbah

atau walimat dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan.

Kaitan kedua teori di atas terhadap kasus li’ansekaligus pengingkaran anak

yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya adalah bahwasanya

bagaimanapun anak adalah darah daging orang yang membenihkannya, anak

li’antidak dapat disalahkan, tetapi yang salah adalah ibu/bapaknya berdasarkan benar

atau tidaknya tuduhan zina (li’an) yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya

tersebut. Sehingga dengan demikian anak tersebut juga dapat diberikan kelonggaran

untuk memperoleh hak-hak yang sama seperti anak-anak lain dalam perkawinan yang

harmonis atau sekurang-kurangnya dapat diakui juga sebagai anak. Demikian juga

dalam hal warisan hendaknya diberikan juga kepadanya bagian warisan dari pihak

ayahnya yang mengingkarinya walaupun tidak sebesar bagian anak yang sah.

Anak merupakan anugerah yang sangat besar dari Allah SWT, oleh karena itu

hendaknya juga dilahirkan dalam ikatan suci perkawinan. Namun, dalam

(38)

kenyataannya ada anak-anak yang diingkari oleh orangtuanya, terutama dalam hal ini

adalah ayahnya, melalui sumpah li’an yang dijatuhkan kepada istrinya.

Bagaimanapun juga anak adalah seorang manusia yang mempunyai harkat dan

martabat yang harus dihormati dan memerlukan perlindungan, terutama dari kedua

orang tuanya.

Salah satu contohnya adalah perlindungan terhadap asal usul anak. Seperti

yang telah diuraikan di atas, sebelum terlahirkannya anak dalam keluarga maka harus

dilakukan perkawinan, perkawinan itu sendiri menurut Undang-Undang Perkawinan

No 1 tahun 1974 adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk tangga) yang kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ikatan lahir bathin yang disebut dengan perkawinan ini

sudah tentu menimbulkan akibat hukum, baik bagi suami istri yang melakukan

perkawinan itu sendiri maupun bagi anak-anak yang akan dilahirkan dalam

perkawinan tersebut. Salah satunya adalah hubungan kewarisan.

Menurut ketentuan hukum kewarisan untuk memperoleh warisan harus

didasarkan atas hubungan antara ahli waris dengan si pewaris. Adapun faktor yang

menjadi sebab terjadinya kewarisan dalam Al-Qur’an, faktornya ada tiga, yakni

hubungan perkawinan, hubungannasab,dan hubunganwala’.30

1. Hubungan Perkawinan

30Ali Parman,Kewarisan Dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir

(39)

Hubungan perkawinan adalah suami istri saling mewarisi karena mereka

telah melakukan akad perkawinan secara sah. Dengan demikian, suami dapat menjadi

ahli waris dari istrinya, demikian pula sebaliknya istri dapat menjadi ahli waris dari

suaminya.

Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa

perkawinan yang sah adalah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan

kepercayaannya itu dan perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.

Menurut agama islam, perkawinan baru dapat dikatakan sah apabila akad nikah

dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan adalah

hadirnya calon suami dan istri dalam akad nikah, ijab-qabul, dan adanya saksi.

Sedangkan syarat yang harus dipenuhi dalam setiap unsur akad perkawinan dibagi

tiga bagian. Pertama, syarat peristiwa hukumnya, yakni hadirnya pihak-pihak yang

terlibat langsung dalam pelaksanaan akad, baik dari pihak calon suami, calon istri,

atau yang mewakili. Kedua, syarat sahnya, yakni hadirnya dua saksi di tempat calon

istri diakadkan. Ketiga, syarat kemutlakan, yang harus ada untuk tidak terjadi fasakh

atau dibatalkan akad itu, yakni calon suami dan istri sudah dewasa, suami tidak cacat

jasmani, wali cakap, ada mahar dan calon suami tidak dipaksa.31

Sebaliknya, akad perkawinan yang tidak sah dalam segala bentuknya tidak

akan menyebabkan adanya peristiwa hubungan kewarisan. Meskipun begitu, akan

tetapi masih perlu dicatat bahwa pewarisan karena hubungan perkawinan akan

berlaku, sepanjang suami atau istri yang wafat masih dalam batas-batas kewajaran,

(40)

yakni ia masih dalamtalaq raj’idan ahli waris antara keduanya masih ada. Dalam hal

ini, Muhammad Abduh menafsirkan Al-Qur’ansurat An Nisa’ ayat 33 bahwa

istri-istri adalah ahli waris bagi suaminya, bukan perjanjian menjadi sebab perkawinan.32

2. HubunganNasab

Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa sebab pertama terjadinya kewarisan

adalah adanya hubungan perkawinan. Apabila perkawinan telah berlangsung, maka

resmilah ada suami dan istri. Dari pasangan ini, lahir pula keturunan yakni anak.

Apabila anak kawin dan mempunyai juga anak, maka anaknya itu disebut cucu.

Begitulah seterusnya ke bawah.

Selanjutnya dari pasangan suami istri itu masing-masing mempunyai orang

tua, dan orang tua itu, masing-masing juga mempunyai orang tua yang disebut kakek

dan nenek. Demikian pula suami dan istri itu mempunyai saudara-saudara dan

saudara-saudara tersebut masing-masing juga mempunyai keluarga sendiri. Lahirlah

istilah sepupu, dan sebagainya.

Sahnya hubungan nasab, bukan saja karena telah terjadi akad perkawinan.

Tetapi harus pula terjadi hubungan biologis antara suami istri. Meskipun begitu yang

berlaku secara umum adalah bahwa hubungannasabtetap sah tanpa terjadi hubungan

biologis antara suami istri itu.33

Berdasarkan Al-Qur’an surat An Nisa’ ayat 11, ayat 12 dan ayat 176 bahwa

yang berhak mendapat harta warisan karena hubungan nasab adalah 12 jenis ahli

32Ibid.,hlm. 65

(41)

waris yakni anak laki-laki, anak perempuan, suami, istri, ayah, ibu, saudara laki-laki

sekandung, saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki seayah, saudara

perempuan seayah, saudara laki-laki seibu, dan saudara perempuan seibu.

3. HubunganWala’

Yang dimaksud dengan hubungan wala’ adalah seseorang menjadi ahli waris

karena ia telah memerdekakan budaknya. Jadi apabila seseorang telah dimerdekakan

oleh tuannya, maka ketika ia wafat, ahli warisnya adalah bekas tuannya itu.

Perbedaan yang menonjol antara hubungannasabdan hubunganwala’adalah

terletak pada ahli waris. Pada hubungan nasab, ahli waris adalah dari dalam

lingkungan keluarga dekat. Sedangkan hubungan wala’, ahli waris adalah dari luar,

yakni bekas tuannya.

Dasar yang dipegangi sehingga hubungan wala’ dapat menjadi ukuran

terjadinya kewarisan adalah Al-Qur’ansurat An Nisa’ ayat 33.

2. Konsepsi

Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Peranan

konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara

abstraksidan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi

yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.34

34

(42)

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang

akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.35

Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti. Suatu

konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu

abstraksi dari gejala tersebut. Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan

pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini perlu

dirumuskan serangkaian definisi operasional atas beberapa variabel yang digunakan,

sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas

sejumlah istilah dan masalah yang dibahas. Di samping itu, dengan adanya penegasan

kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan pandangan dalam menganalisis

masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek yuridis, maupun dipandang dari

aspek sosiologis.36

Definisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas

masalah yang dibahas, karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu masalah,

tidak boleh memiliki makna ganda, perbedaan pengertian atau penafsiran mendua

(dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini

dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

a. Waris

35Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 7

(43)

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya

seseorang diatur oleh hukum waris, dan hukum waris yang akan dipergunakan

sebagai dasar untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah hukum

kewarisan Islam.

Peraturan atau sistem waris yang diajarkan Islam merupakan sistem yang adil

dan selaras dengan fitrah serta realitas kehidupan rumah tangga dan kemanusiaan

pada setiap kondisi. Sistem waris yang ditetapkan dalam Islam, atas dasar

kemanusiaan berupaya mengayomi asal pembentukan keluarga dari jiwa yang satu.

Keistimewaan hukum Islam dalam masalah waris seluruhnya tampak jelas di hadapan

mata laksana benda yang terlihat di siang hari. Islam menyampaikan hak-hak waris

kepada orang-orang yang memang berhak menerimanya (mustahiqqin).37

Dalam hukum Islam, istilah ilmu waris dikenal dengan ilmu faraidh. Adapun

yang dimaksud dengan faraidh adalah masalah-masalah pembagian harta warisan.

Katafaraidhadalah bentuk jamak darial-faridhahyang bermaknaal-mafrudhahatau

sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.38

b. Li’an

Berasal dari kata la’an (mengutuk). Li’an adalah tuduhan suami terhadap

istrinya bahwa ia telah berzina, misalnya dengan berkata : “Aku melihatnya sedang

berzina!”, atau suami menolak janin yang dikandung istrinya sebagai anaknya.39

37Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir,Op.Cit.,hlm. 7

38Ibid., hlm. 11

39Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim) Mu’amalah, Alih

(44)

c. Anak

Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan. Di

dalam Al-Qur’an anak sering disebutkan dengan kata walad-al walad yang berarti

anak yang dilahirkan orang tuanya, laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil,

tunggal maupun banyak. Kata al walad dipakai untuk menggambarkan adanya

hubungan keturunan.40

d. Anak Sah

Anak yang sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan adalah :41

1) Anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah.

2) Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah.

Anak yang sah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah :42

1) Anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah. 2) Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah.

3) Anak yang dilahirkan dari hasik pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri yang bersangkutan.

e. Anak Tidak Sah

Anak tidak sah adalah anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang belum

sah baik secara agama maupun secara hukum.43

40Rudiansyah Pulungan, Paper Hak dan Kedudukan Anak Akibat Putusnya Perkawinan

Orang Tua, Sekolah Pascasarjana Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, dc315.4shared.com/doc/bat7FjWp/preview.html, diakses pada tanggal 19 Maret 2012.

41Iman Jauhari,Kapita Selekta Hukum Islam, Jilid II,Pustaka Bangsa Press, Medan, 2007,

hlm. 11.

42Ibid.,hlm. 11-12

43Rinta Yani,Anak luar kawin,kompasiana.com/post/sosok/2012/01/28/anak-tidak-sah/, 2012,

(45)

f. Anak Luar Kawin

Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan, sedangkan

perempuan itu tidak berada dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dengan pria

yang menyetubuhinya.44

g. AnakLi’an

Anak li’an adalah anak yang dilahirkan dari seorang istri yang sah, dimana

suami tersebut tidak mengakuinya sebagai anaknya, karena suami tersebut telah

menuduh sang istri telah berzina dengan lelaki lain. Sang suami telah bersumpah

bahwa istrinya telah berzina dengan lelaki lain di depan hakim, begitu pula istrinya

telah bersumpah dengan tujuan membela diri, bahwa tuduhan suaminya adalah dusta.

Maka jika sang istri mengandung, anak tersebut disebut sebagai anakli’an.45

h. Nasab

Nasab adalah legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian

darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau

senggamasyubhat(zina).Nasabmerupakan sebuah pengakuansyara’bagi hubungan

seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut

menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak

44Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006,

hlm. 80.

(46)

itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab. Seperti

hukum waris, pernikahan, perwalian dan lain sebagainya.46

i. Hukum Islam

Pengertian hukum Islam adalah hukum yang bersumber pada nilai-nilai

keislaman yang berasal dari dalil-dalil agama Islam yakni Al-Qur’an, Hadist, Ijma’

Ulama dan Qiyas. Bentuk hukumnya dapat berupa kesepakatan, larangan, anjuran,

ketetapan, dan sebagainya.47

G. Metode Penelitian

Penelitian adalah pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan penekanan

bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.48

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak

harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan

pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Kecuali itu,

maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk

kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang

timbul di dalam gejala yang bersangkutan.49

1. Sifat dan Jenis Penelitian

46Muhammad Ali Ash-Shabuni,Pembagian Waris Menurut Islam,Penerjemah : AM.

Basalamah, Gema Insani Press, Bandung, t.th., hlm. 39

47Teguh Santoso, Hukum Islam:Pengertian dan Sumbernya, www.teguhsantoso.com, 2011,

diakses pada tanggal 19 Maret 2012.

48Mohd. Nazir,Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 10

(47)

Sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis. Bersifat deskriptif

analitis maksudnya penelitian ini termasuk penelitian yang menggambarkan,

menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk

melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya sekaligus menganalisis tentang

kewarisan anakli’anberdasarkan pandangan hukum waris islam.

Jenis penelitian yang digunakan disesuaikan dengan permasalahan yang

diangkat di dalamnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu

penelitian dilakukan dengan cara menganalisis hukum yang tertulis dari bahan

pustaka atau data skunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan hukum

skunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.50

Penelitian ini adalah untuk menganalisis kaedah hukum tentang kewarisan

anak li’an ditinjau dari sudut pandang hukum waris Islam yang menggambarkan,

menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang berkaitan dengan kewarisan anakli’an, berdasarkan

Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Kompilasi Hukum Islam yang pemberlakuannya didasarkan

dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999, Undang-Undang Perkawinan Nomor

1 Tahun 1974, serta peraturan-peraturan perundangan lainnya yang terkait, sehingga

diharapkan dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan mengenai

(48)

kewarisan anak li’an tersebut. Penelitian normatif ini mengutamakan penelitian

kepustakaan (library research).51

Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan menggunakan metode

pendekatan peraturan perundang-undangan yang mengacu kepada peraturan

perundang-undangan khususnya Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, kemudian menganalisis hukum baik yang tertulis

di dalam buku, Al-Qur’an, Hadist, dan Ijma’, melakukan pengkajian melalui

peraturan perundang-undangan, Al-Qur’an, Hadist, dan Ijma’ yang berhubungan

dengan pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaannya di Indonesia maupun

hukum yang diputuskan melalui proses pengadilan, khususnya dalam penelitian ini

Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/Pdt. G/2010/PA Sidoarjo. Dalam hal ini

penelitian dilakukan untuk menemukan hukum in-konkrito dan juga penelitian

terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.52

2. Sumber Data

Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang digunakan

sebagai data primer adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap

bahan kepustakaan antara lain meliputi bahan hukum primer, bahan hukum skunder,

dan bahan hukum tertier.

a. Bahan Hukum Primer

51Abdul Kadir Muhammad,Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2004, hlm. 82

(49)

Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar,

dan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer bersifat autoriatif, artinya

mempunyai otoritas, mempunyai kekuatan yang mengikat bagi pihak-pihak yang

berkepentingan, berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, 53

yaitu Al-Qur’an Hadist’, Ijma’, Kompilasi Hukum Islam yang pemberlakuannya

didasarkan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan peraturan-peraturan perundangan lainnya,

serta Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/Pdt. G/2010/PA Sidoarjo.

b. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer yang berupa buku-bukufiqh, serta hasil penelitian dan

atau karya ilmiah dari kalangan hukum tentang kewarisan terhadap anak li’an yang

relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan juga

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder yang berupa

kamus hukum, kamusfiqh, ensiklopedia, majalah, surat kabar, internet, jurnal-jurnal,

yang akan dianalisis dengan tujuan untuk lebih memahami dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,

dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, maka teknik

Referensi

Dokumen terkait

 &endapatkan keputusan dari Kepala Puskesmas <anti serta :inas Kesehatan untuk dapat melaksanakan mengadakan pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan #$!

.ransfusi darah teah berangsung setiap hari& dan teah ban$ak men$eamatkan n$a+a orang di seuruh dunia" Mendonorkan darah baik untuk kesehatan si pendonor&

Kriteria unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan kegiatan yang harus dikerjakan untuk memperagakan hasil kerja/karya pada setiap elemen

[r]

Uji organoleptik dilakukan untuk menilai perbedaan terhadap tekstur nasi beras merah. Dua belas panelis yang sebelumnya dilatih dalam prinsip- prinsip dan konsep analisis

pada silabus, modul, lembar kerja siswa (LKS), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), modul, dan soal evaluasi disisipkan aspek NEP ( New Ecological Paradigm

Suhu permukaan laut perairan pantai Bhinor kompleks PLTU Paiton akibat air bahang berdasarkan kajian citra Satelit Landsat 7ETM+ memiliki kenaikan hingga 6°C

Kalori yang telah dikeluarkan oleh tubuh untuk melakukan aktivitas sehari-hari digantikan oleh tubuh dengan cara makan secara teratur. Pada wanita menopause dianjurkan lebih