• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LI’AN

B. Hak Waris Anak Li’an

Berdasarkan kesepakatan para ulama bahwa anak li’anhanya mempunyai hubungannasabdengan ibu dan keluarga ibunya saja. Hal ini didasari oleh tindakan Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat dari Ibn ‘Umar ra. bahwa seorang laki-laki telah meli’an istrinya pada masa Rasulullah SAW dan menafikan anak istrinya tersebut, maka Rasulullah SAW menceraikan antara keduanya dan mempertemukan

nasabnya anak kepada ibunya152, dan jika diformulasikan ke dalam hukum positif di Indonesia maka hal tersebut haruslah dikuatkan dengan adanya putusan pengadilan.153 Setelah dinasabkan kepada ibu dan keluarganya ibunya, kemudian Rasulullah SAW menjadikan hak waris anak li’an (mula’anah) kepada ibunya dan ahli waris ibu sesudahnya.154

Tidak berbeda jauh dengan riwayat di dalam Hukum Islam di atas, dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai produk hukum sumber ketentuan hukum Islam yang berlaku di Indonesia yang menjadi acuan normatif dalam tesis ini, mengenai waris anak li’an juga didasarkan pada nasab anak tersebut yang dihubungkan kepada ibu dan keluarga ibunya.155

Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir karena li’an(anak li’an). Secara umum pendapat para ulama fiqh dapat dikelompokkan menjadi tiga.

152 Riwayat Al-Bukhari dan Abu Dawud dalam Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris,Op. Cit.,hlm 131

153 Lihat Pasal 44 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam.

154Riwayat Abu Dawud dalam Ahmad Rofiq,Fiqh Mawaris,Loc. Cit. 155Lihat Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam.

a. Pendapat Pertama

Hadist Rasulullah SAW :

“Dari Ibnu Umar : Bahwasanya seorang laki-laki menuduh istrinya berzina, dan ia tidak mengakui anaknya, maka Rasulullah SAW pisahkan antara keduanya dan hubungkan anak itu dengan ibunya.”

Sesuai hadist ini, anak tersebut bukanlah anak bapak, dan oleh karena itu, bapaknya dan siapapun dari pihak bapaknya tidak pula ahli warisnya.156

Abu Hanifah, Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa anak tersebut dapat mewarisi dari ibu dan kerabat ibunya, dan ibu serta kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah waris-mewarisi yang sudah diketahui. Ini merupakan pendapat Zaid bin Tsabit dalam satu riwayat dari Ali r.a.157

Ibu dapat mewarisi bagian tetap (fardh), saudara ibu juga mewarisi bagian tetap (fardh), dan sisanya dikembalikan kepada mereka (ar-radd158). Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi dari orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah senasab berdasarkan al-ukhuwwah atau al- umumah.159

Ulama fiqh yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan hadist yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’du sebagai dalil, “... Sunnah menetapkan bahwa

156Mukhlis Lubis,Ilmu Pembagian Waris,Pesantren Al-Manar, Medan, 2011, hlm. 142. 157Komite Fakultas Syariah,Op. Cit.,hlm 406

158

Yaitu suatu keadaan dalam pembagian waris, jumlah ahli waris lebih kecil dari harta waris, sehingga harta waris dapat bersisa. Dilakukan pengurangan padaashal masalahdan penambahan pada kadar atau nilai bagianashabul furudh.Mukhlis Lubis,Op. Cit.,hlm. 112.

anak li’an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya pun dapat mewarisi darinya, dengan bagian yang telah ditetapkan Allah.”160

Jumhur ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka bahwa waris mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari sepertiga (1/3), demikian juga dengan saudara seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari seperenam (1/6).161

b. Pendapat Kedua

Dikemukakan Mazhab Hambali, termasuk Ibnu Taimiyah, bahwa anak li’an

apabila diakui oleh ayahnya, meskipun dengan jelas diakuinya pula berasal dari hubungan zina, tetapi ibunya tidak dalam ikatan perkawinan dengan suami lain atau tidak dalam iddah dari suami lain, adalah anak sah bagi ayahnya, dan terjadi hubungan waris mewarisi antara keduanya. Tetapi apabila ibunya dalam ikatan perkawinan dengan suami lain atau sedang menjalani iddah dari suami lain maka anak yang dilahirkan adalah anak sah dari suami atau bekas suami.162

Selain itu Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan li’an dapat diwarisi dengan cara ‘ashabah, yakni mereka yang menjadi

‘ashabahibunya atau mereka yang mewarisi dari ibunya. Sebagian orang berkata jika ingin mengetahui‘ashabah anak li’an, lihatlah ‘ashabah ibunya kalau ibunya wafat, itulah yang menjadi‘ashabah anakli’an. Hadist yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat demikian adalah sabda Rasulullah SAW ketika menjawab

160Nail al-Authar, Juz VI, hlm 184 dalam Komite Fakultas Syariah,Ibid. 161Komite Fakultas Syariah,Ibid.

pertanyaan mengenai hal ini, “‘ashabahnya adalah ‘ashabah ibunya.”163 Dalam mazhab ini menerima secara mutlak mereka yang menjadi ‘ashabah ibunya sebagai

‘ashabah anak li’an. Kalau sang ibu hidup, dia dapat mengambil bagian tetapnya (fardh) dan sisanya diambil oleh‘ashabahnya.

Ahmad bin Hambal dalam riwayat lain berpendapat pula bahwa ‘ashabah

anakli’an adalah ibunya karena ibu bagi mereka sama seperti kedua orangtua yakni bapak dan ibu. Jika tidak ada ibu, ‘ashabahnya adalah mereka yang menjadi

‘ashabah ibu. Pendapat ini juga disampaikan oleh beberapa tabi’in, diantaranya Hasan dan Ibnu Sirin.164

Kalau ibu mewarisi dari budak yang dimerdekakannya dengan cara ‘ashabah, ibu pun mewarisi dari anak li’annya dengan cara ‘ashabah juga, karena ibu sama derajatnya dengan bapak dan ibu si anak li’an. Sebagai bukti, Ibnu Abbas pernah berkata,”Ibu anakli’anadalah bapak dan ibunya”.165

Pada mazhab yang kedua ini menerima mereka yang menjadi‘ashabahibunya sebagai‘ashabah anakli’andengan syarat ibunya tidak ada atau meninggal. Jika ibu ada, ibulah yang menjadi ‘ashabahnya. Dalil yang dipergunakan oleh para ulama yang berpendapat seperti ini adalah sabda Rasulullah SAW, “Perempuan menguasai tiga warisan, warisan budak yang dimerdekakannya, barang yang ditemukannya, dan

163Komite Fakultas Syariah,Op. Cit.,hlm 407 164Ibid.,hlm. 408

warisan anak li’annya” (hadist riwayat Abu Daud, Turmudzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).166

c. Pendapat Ketiga

Ulama mazhab Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa anak li’an tidak waris mewarisi dengan ibunya. Hal ini karena menurut pemahaman ulama Syi’ah bahwa anak li’an yang merupakan anak yang dinafikan karena tuduhan zina(sehingga dianggap sebagai anak zina) tidak mempunyai hubungan nasab dengan ibu atau bapak zinanya, karena itu pula anak zina tidak bisa mewarisi keduanya.167

Kompilasi Hukum Islam sebagai suatu produk hukum di Indonesia yang menjadi salah satu sumber ketentuan hukum Islam yang berlaku di Indonesia telah secara tegas mengatur mengenai hak waris bagi anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam yang secara langsung menyebutkan mengenai hubungan waris bagi anak yang dilahirkan diluar perkawinan.

Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan :

“Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.”

Dalam Islam, apabila seseorang telah terang ada hubungan darahnya dengan ibu bapaknya, maka dia mewarisi ibu bapaknya dan ibu bapaknya mewarisinya selama tak ada suatu penghalang pusaka dan selama syarat-syarat pusaka telah cukup

166Ibid.

sempurna, dan tak dapat seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan ayah saja tanpa dipandang ibu.168Yang dapat dipandang ada, ialah hubungan darah dengan ibu saja tidak dengan bapak. Seperti pada anak zina dan anak li’an, syara’

telah menetapkan bahwa kedua-dua anak ini dinasabkan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan darahnya dengan si ayah. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kekerabatan antara anak itu dengan ayahnya.

Dalam ‘urf modern dinamakan wa’ad ghairu syar’i (anak yang tidak diakui agama). Sebagaimana ayahnya dinamakan ayahghairu syar’i. Oleh karena anak zina dan anakli’an, baik lelaki ataupun perempuan, tidak diakui hubungan darah dengan ayahnya, maka dia tidak mewarisi ayahnya dan tidak pula seseorang kerabat ayah, sebagaimana ayahnya tidak mewarisinya. Lantaran tak ada sebab saling mempusakai antarakeduanya, yaitu hubungan darah. Oleh karena anak li’an (yang dianggap sebagai anak hasil zina) itu diakui hubungandarahnya dengan ibunya, maka dia mewarisi ibunya, sebagaimana di mewarisi kerabat-kerabat ibunya, demikian pula sebaliknya.169