BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LI’AN
C. Perkembangan Hukum di Indonesia Tentang Hubungan Nasab
Kewarisan AnakLi’anBerdasarkan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
dan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.
Setiap anak lahir dalam keadaaan suci dan tidak berdosa. Seorang anak tentu tidak bisa memilih apakah dirinya dilahirkan oleh pasangan serasi dengan status sosial tinggi melalui proses pernikahan, hasil hubungan gelap, atau dari rahim 168T.M Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqh Mawaris, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997, hlm. 288. 169Ibid.,hlm. 289.
seorang perempuan korban perkosaan, atau bahkan diingkari oleh orangtuanya sendiri (ayah) dan dianggap sebagai anak hasil zina seperti pada kasus anak li’an, yang kemudian status dan kedudukannya disamakan seperti anak zina pada umumnya yaitu sebagai anak luar kawin yang tidak dapat dihubungkan nasab dan hak-haknya sebagai anak kepada ayah dan keluarga ayahnya.
Anakli’ansebenarnya lahir dalam suatu perkawinan yang sah, dan pernikahan yang sah tersebut menyebabkan lahirnya hubungan nasab (keturunan) antara anak dengan ayahnya. Hanya saja nasib anak li’an ini tidak seberuntung anak-anak lain yang berasal dari pernikahan yang sah dalam keluarga yang harmonis. Ia diingkari oleh ayahnya sendiri sebagai anaknya, karena dianggap sebagai anak hasil hubungan zina antara ibunya dengan lelaki lain. Meskipun sebenarnya hal tersebut belum tentu benar, bisa saja lelaki yang melakukan pernikahan sah dengan ibunya tersebut adalah benar ayah biologisnya, tetapi karena telah jatuh sumpah li’an yang menyebabkan pasangan suami istri terebut telah bermula’anah melalui putusan pengadilan, anak menjadi terputus nasab dari ayah dan keluarga ayahnya dan dianggap sebagai anak luar kawin.
Selama ini anak yang digolongkan ke dalam anak luar kawinmemiliki status hukum cukup merugikan, mereka tidak memiliki hak apapun atas ayah mereka. Anak luar kawinhanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah dan keluarga ayahnya, kecuali ayahnya tetap mau bertanggung jawab dan tetap mendasarkan hak dan kewajibannya menurut hukum Islam.
Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya170, artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, baik yang berkenaan dengan nafkah, pendidikan maupun warisan.
Dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 43 ayat (2) dikatakan bahwa kedudukan anak luar kawin selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Akan tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud tersebut belum juga diterbitkan.Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur mengenai status anak luar kawintersebut.
Anak luar kawintidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sehingga ia tidak akan mempunyai hubungan baik secara hukum maupun kekerabatan dengan ayahnya. Sehingga secara yuridis formal ayah tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, walaupun secara biologis anak itu adalah anaknya sendiri.Jadi hubungan kekerabatan hanya berlangsung secara manusiawi bukan secara hukum.
Dengan adanya ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya maupun juga antara keluarga ibu dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan tersebut, maka secara hukum anak tersebut berada dalam asuhan dan pengawasan ibunya sehingga timbul kewajiban dari ibunya untuk memelihara dan
170 Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebelum dilakukan perubahan.
mendidik, serta berhak untuk memperoleh warisan yang timbul baik antara ibu dan anak maupun dengan keluarga ibu dan anak.
Pengaturan mengenai kedudukan anak luar kawin yang diatur dalam ketentuan Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 selama ini dianggap tidak cukup memadai dalam memberikan perlindungan hukum dan cenderung diskriminatif, status anak di luar nikah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya tanpa adanya tanggung jawab dari ayah biologisnya.
Tetapi kemudian Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Februari 2010 membawa angin segar terhadap kedudukan anak luar kawin, termasuk bagi anak li’an yang bisa saja diingkari oleh ayahnya yang sebenarnya merupakan ayah biologisnya sendiri.
Di dalam Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyebutkan bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum frasa ‘yang dilahirkan di luar perkawinan’. Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual diluar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya, adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan
terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggungjawabnya sebagai seorang ayah dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut sebagai ayahnya. Terlebih ketika berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.171
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki- laki adalah hubungan hukum yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan ayah.172
Berdasarkan uraian diatas, hubungan anak dengan sorang laki-laki sebagai ayah tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai ayah. Anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum, jika tidak demikian, makayang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapat perlakuan tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya.173
171Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 172Ibid.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyatakan, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan, anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya bertentangan dengan UUD 1945 dan hak asasi manusia (HAM), dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 Pasal 43 ayat 1 Undang- Undang Perkawinan ini kemudian dibaca menjadi,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berkenaan dengan uji materi undang- undang, oleh karena itu berlaku sebagai undang-undang sehingga bersifat genaral, tidak individual dan tidak kasuistis (Pasal 56 ayat (3) juncto Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi). Putusan ini dipergunakan oleh para hakim untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bertalian dengan asal-usul anak dengan segala akibat hukumnya.174
174 A. Mukti Arto, Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU- VIII/2010 Tanggal 27 Februari 2012 Tentang Pengubahan Pasal 43 UUP Tentang Hubungan Perdata Anak Dengan Ayah Biologisnya,Bahan Diskusi Hukum Hakim PTA Ambon dan PA Ambon Bersama
Apabila dianalisis, maka logika hukumnya putusan ini menimbulkan konsekuensiadanya hubungan hukum anak luar kawin dengan ayah biologisnya, yang berarti adanya hak dan kewajiban antara anak luar kawin dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi seperti tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acikahanid) dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak diluar kawin tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya tersebut.
Tes DNA sudah sering digunakan sebagai alat bukti untuk mengetahui hubungan darah seseorang. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyambut baik Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang berimplikasi ayah biologis harus bertanggung jawab atas anak di luar nikah.
Terkait perkara li’an, DNA bisa dijadikan sebagai salah satu bukti terutama dalam hal melacak asal-usul keturunan seseorang (al ashl nasb), karena dalam DNA terkandung informasi keturunan (genetik) makhluk hidup yang akan mengatur program keturunan selanjutnya. DNA dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk membuktikan kebenaran dan keberadaan anak yang dianggap sebagai anak hasil zina dengan mencari keterangan berupa petunjuk suatu keadaan (qarinah) melalui proses pemeriksaan secara medis.
Ambon,,http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/10201-diskusi-hukum-putusan-mahkamah- konstitusi-tentang-pengubahan-pasal-43-uup-tentang-hubungan-perdata-anak-dengan-ayah- biologisnya-oleh-a-mukti-arto-143.html. , diakses pada tanggal 7 Agustus 2012.
Dalam pertemuan Komite Fiqh Islam yang ke XVI yang digelar di Mekah pada tahun 2002 dan dihadiri oleh ulama dan pakar di bidang kedokteran, menghasilkan beberapa rekomendasi terkait penggunaan tes DNA untuk memastikan
nasab, antara lain yaitu DNA digunakan dengan penuh kehati-hatian dan prosedur yang ketat serta kaidah penetapan nasab yang telah ditetapkan oleh syariat harus lebih dikedepankan.175 Hal ini dikarenakan DNA sebagai salah satu bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat dinamis, dalam arti bisa berubah setiap waktunya, sementara ketentuan berdasarkan syariat hukum Islam yang merupakan ketentuan Allah SWT bersifat tetap, dan hukum yang ditetapkan Allah SWT tidak mungkin dibatalkan oleh sesuatu yang belum pasti dan berubah sifatnya.176
Namun demikian hasil tes DNA pada perkara li’anyang diperoleh kemudian, tidak dapat membatalkan sumpah li’an yang telah dilakukan di hadapan pengadilan, sesuai dengan ketentuan hukum Islam berdasarkan Hadist Riwayat Daruquthni yang menyatakan :
“Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda :”Suami istri yang telah bermula’anah bila telah berpisah, maka mereka tidak dapat kembali selama- lamanya.”177
175Alfitri Johar, Eksistensi DNA Sebagai Alat Bukti di Persidangan Penetapan Asal Usul Keturunan, www.alfitri-johar.blogspot.com, dipublikasikan pada hari Kamis tanggal 7 Juni 2012, diakses pada tanggal 26 Juni 2012.
176Hasil wawancara dengan Dr. H. Ardiansyah, L.C, M.A, Sekretaris Bidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, pada tanggal 27 Juni 2012.
Hasil tes DNA tersebut juga tidak serta merta dapat menisbahkan anak dengan ayah dan keluarga ayahnya meskipun ternyata benar anak yang dili’annya tersebut adalah akan kandungnya, karena berdasarkan ketentuan hukum Islam anakli’andinisbahkan kepada ibu dan keluarga ibunya, sehingga hal ini tidak mungkin dibatalkan oleh tes DNA yang merupakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat dinamis/berubah178, kecuali si suami mencabut tuduhannya, maka anaknya sah nasab
dengannya dan sekalian akibatli’anterhapus dari anaknya.
Tes DNA dalam hal ini dilakukan sebagai bentuk sikap kehati-hatian, terutama bagi suami, karena mungkin saja si suami menyangkal anak yang dikandung oleh istrinya untuk lepas dari tanggung jawab atau sebagai alasan untuk bisa menceraikan istrinya. Sehingga tes DNA bisa digunakan sebagai dasar untuk dapat menetapkan bentuk pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh ayah biologis terhadap anak kandungnya.
Sangat logis memang jika maksud penambahan Pasal 43 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi sebatas berkaitan dengan hak pemeliharaan dan kepastian dalam mendapatkan biaya pendidikan bagi anak luar kawin itu sampai anak tersebut dapat berdiri sendiri (setidaknya telah berusia 18 tahun) atau telah melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan juncto Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tetapi penambahan Pasal 43 ayat
178 Hasil wawancara dengan Dr. H. Ardiansyah, L.C, M.A, Sekretaris Bidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, pada tanggal 27 Juni 2012.
(1) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya nomor 46/PUU- VIII/2010 tidaklah sebatas dengan hak perlindungan tetapi dapat memiliki makna yang sangat luas sebagaimana halnya makna yang melekat pada anak sah.Jika hak keperdataan sempurna diberikan kepada anak di luar perkawinan, maka barang tentu akan menimbulkan kerancuan dalam beberapa aspek hukum, terutama dalam ketentuan hukum Islam seperti asal-usul anak yang berdampak pada nasab, waris, wali nikah dan nafkahnya.179Menurut Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin, putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesiaini mengesankan adanya pertalian nasab
antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya, sehingga berdampak konsekuensi yang luas termasuk dapat ditafsirkan mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak luar kawin dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannyakarenahal demikian tidak dibenarkan oleh ajaran islam.180
Dalam hal ini, Dr. H.M. Akil Mochtar, yang merupakan salah satu dari Hakim Konstitusi, menyatakan bahwa Putusan MK tersebut hendaknya tidak dibaca sebagai pembenaran terhadap hubungan di luar nikah (zina).181Sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi yang telah dikemukakan sebelumnya, pertimbangannya sangat logis dan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan
179Rio Satria, Kritik Analisis Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Uji Materil
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/10391-kritik-analisis-tentang-putusan-mahkamah- konstitusi-mengenai-uji-materil-undang-undang-nomor-1-tahun-1974-tentang-perkawinan-oleh-rio- satria-shi-html. diakses pada tanggal 7 Agustus 2012.
180Idrus Syah,Loc. Cit.
181Irma Devita, Pengertian Anak Luar Kawin Dalam Putusan MK, tanggal 5 April 2012, http://irmadevita.com/2012/pengertian-anak-luar-kawin-dalam-putusan-mk, diakses pada tanggal 7 Agustus 2012.
bagi anak di luar perkawinan, agar dia mendapat jaminan kehidupan dan tidak lagi mendapat stigma negatif dalam pergaulan sehari-hari lantaran dosa kedua orangtuanya. Bagaimanapun keadaannya seorang anak yang lahir harus mendapat perlindungan dan pertanggungjawaban dari kedua orangtuanya, termasuk laki-laki yang menyebabkan kelahiran anak tersebut sebagai ayah biologisnya.
Di dalam agama Islam, salah satu tujuan disyariatkannya perkawinan adalah untuk menjaga kesucian hubungan darah (nasab), karena dari hubungan nasablah akan timbul hak untuk mewarisi disebabkan dengan adanya perkawinan dan hubungan darah yang timbul akibat perkawinan yang sah.
Menanggapi Putusan MK terhadap pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, Dr. H.M Akil Mochtar berpendapat pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang anak luar kawin. Undang-Undang Perkawinan tidak menyangkal ketentuan-ketentuan hukum agama,sehingga bagi yang beragama Islam implementasinya tidak boleh ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syar’i. Apabila Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan dihubungkan dengan Pasal 42 undang- undang tersebut, maka dapat ditarik pengertian bahwa anak luar kawin memang bukan merupakan anak yang sah. Adapun yang berkaitan dengan kewarisan misalnya, maka hak keperdataannya tidak bisa diwujudkan dalam bentuk konsep waris Islam tapi dalam bentuk lain misalnya dengan konsepwasiat wajibah.Demikian pula yang berkaitan dengan nafkah/biaya penghidupan anak luar kawin, tidak diwujudkan dalam nafkah anak sebagaimana konsep hukum Islam yang berlaku bagi anak sah, melainkan dalam bentuk kewajiban lain berupa penghukuman terhadap ayah
biologisnya untuk membayar sejumlah uang/harta guna keperluan biaya hidup anak yang bersangkutan sampai dewasa. Sebab ketentuan tentang nafkah anak dan waris itu berkaitan dengannasab,padahal anak luar kawin tidak bisa dinasabkan pada ayah biologisnya. Hal ini yang sebenarnya memicu timbulnya protes terhadap Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 sebab putusan tersebut mengesankan adanya pertalian
nasab antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Jika saja dalam putusan tersebut ada penegasan bahwa nasab anak dikembalikan pada hukum agamanya, maka tidak akan menimbulkan kontroversi.182
Berkaitan dengan kontroversi keluarnya Putusan MK tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kemudian mengeluarkan suatu produk hukum yaitu Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya. Bahwa terkait masalah anak luar kawin, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan pertimbangan memberikan perlindungan kepada anak dan memberikan hukuman atas laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk bertanggung jawab, menetapkan putusan Mahkamah Konstitusi Republik IndonesiaNomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki- laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.Terhadap putusan tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak hasil zina, terutama
182
terkait dengan hubungan nasab, waris, dan wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya menurut hukum Islam. Oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya guna dijadikan pedoman.
Hukum Islam menyatakan bahwa, status anak luar kawin yang dalam kasus ini disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an, mempunyai akibat hukum sebagai berikut:183
1. tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungannasabdengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
2. tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan.
3. bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya
Perbedaan perlindungan hukum antara anak dari hasil hubungan zina dengan anak dalam ikatan perkawinan, telah diterangkan dalam beberapa hadits shahih yang menentukan bahwa anak hasil hubungan zina tidak memiliki hubungan keperdataan
dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
"Anak adalah bagi yang empunya hamparan (suami), dan bagi pezina batu (tidak berhak mendapat anak yang dilahirkan dari hubungan di luar nikah melainkan diserahkan kepada ibunya).”184
183Amir Syarifuddin,Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia ,Op. Cit., hlm. 195
Dalam kasus li’an dimana suami menuduh istri berzina, anak tidak ikut bapaknya dari seginasab, tetapi ibunya. Sebagaimana hadits Abu Daud: "dan Rasul menetapkan agar anaknya tidak dinasabkan kepada seorang ayah pun." Dalam hadits Imam Ahmad, ditetapkan agar anak ikut si wanita atau ibunya.
Oleh karena itu, berdasarkan pada ajaran Hukum Islam, maka Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya memutuskan suatu ketentuan hukum :185
1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungannasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.
4. Pezina dikenakan hukumanhadd186oleh pihak yang berwenang,untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir187 lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk :
a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;
b. memberikan harta setelah ia meninggal melaluiwasiat wajibah.
6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Jadi, berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas akibat hukum dari anak yang dilahirkan akibat perbuatan zina (anak luar kawin) dalam syariat Islam diatur bahwa 185 Ketentuan Hukum Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.
186‘Haddadalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash’, dalam Ketentuan Umum Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.
187‘Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukuman)’, dalam Ketentuan Umum Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya
si anak tidak mempunyai hubungan keturunan (nasab), waris, dan hak untuk menjadi wali nikah (bagi anak perempuan) dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Akan tetapi, lelaki yang menjadi ayah biologisnya dapat dikenakan hukuman (ta’zir) untuk memberikan nafkah atau kebutuhan hidup si anak dan memberikan hartanya