• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu Karya Mutiara Paramitha dan Afief Riyadi (Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu Karya Mutiara Paramitha dan Afief Riyadi (Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu)"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

(Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter “Presiden Republik Abu – Abu”)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Sidang Skripsi Strata Satu

pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik

Oleh:

ARIS RAHMANSYAH NIM. 41809078

PRODI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G

▸ Baca selengkapnya: sinopsis film langit tak selamanya abu-abu

(2)

141

Dibuat khusus oleh mahasiswa yang akan ujian sidang:

1. Nama : Aris Rahmansyah

2. Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 12 Agustus 1991

3. Nomor Induk Mahasiswa : 41809078

4. Program Studi : Ilmu Komunikasi

5. Jenis Kelamin : Laki-laki

6. Kewarganegaraan : Indonesia

7. Agama : Islam

8. Alamat : Komp. Giri Mekar Permai elok A no 12,

Ujungberung, Bandung.

9. Berat Badan : 67 Kg

10. Tinggi Badan : 173 Cm

11. Orang Tua :

1. Nama Ayah : Memed Resmana

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Komp. Giri Mekar Permai elok A no 12,

(3)

142

Ujungberung, Bandung.

12. Nomer Telepon : 083816384388

13. Email : ariis_rahmansyah@yahoo.com

Pendidikan Formal

NO Tahun Uraian Keterangan

1. 2009 – Sekarang Prodi Ilmu Komunikasi

Konsentrasi Jurnalistik Fisip Unikom

-

2. 2006 – 2009 SMAN 1 Bandung

Lulus/Berijasah

3. 2004 – 2006 SMPN 50 Bandung

Lulus/Berijasah

4. 1999 – 2004 SDN Babakan Sinyat IV Bandung

Lulus/Berijasah

5. 1998-1999 TK Al - Islam Bandung

Lulus/Berijasah

Pendidikan Informal

NO Tahun Uraian Keterangan

1. 2008 – 2009 Bimbingan Belajar Neutron

Bandung -

Pelatihan/Seminar/Workshop

NO Uraian Keterangan

1. Pelatihan Tabel Manner Di Hotel Banana Inn

Bersertifikat

2 Seminar Communiaction Di Miracle Unikom

Bersertifikat -

3. Study Tour Media Massa 2011 ke Trans TV, TVRI, dan LSF

(4)

143

Bandung, ...2014

(5)

x

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.2.1 Pertanyaan Makro ... 9

1.2.2 Pertanyaan Mikro ... 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1 Maksud Penelitian ... 9

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 10

(6)

xi

2.1.3 Tinjauan Tentang Komunikasi Massa ... 18

2.1.3.1 Defenisi Kumunikasi Massa ... 18

2.1.3.2 Karakteristik Komunikasi Massa ... 19

2.1.3.3 Fungsi Komunikasi Massa ... 21

2.1.3.4 Hambatan Dalam Komunikasi Massa ... 23

2.1.3.5 Bentuk – bentuk Komunikasi Massa... 31

2.1.4 Tinjauan Tentang Film ... 31

2.1.5 Tinjauan Tentang Representasi ... 36

2.1.6 Tinjauan Tentang Kritik Sosial ... 38

2.1.6.1 Kritik Sosial ... 38

2.1.6.2 Pengertian Kritik Sosial... 39

2.1.6.3 Fungsi Kritik Sosial ... 41

2.1.7 Tinjauan Tentang Semiotika ... 42

2.2 Kerangka Pemikiran ... 47

2.2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 47

2.2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual ... 48

BAB III : OBJEK DAN METODE PENELITIAN ... 51

3.1 Objek Penelitian ... 51

3.1.1 Sinopsis Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu ... 51

3.1.2 Tim Produksi dan Kru ... 52

3.1.3 Sequence Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu .... 53

3.2 Metode Penelitian ... 58

3.2.1 Desain Penelitian ... 59

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 62

3.2.3 Teknik Penentuan Informan ... 63

(7)

xii

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 74

4.1 Data Informan ... 76

4.2 Hasil Penelitian ... 77

4.2.1 Sequence Prolog ... 78

4.2.2 Sequence Ideological Content ... 88

4.2.3 Sequence Epilog ... 95

4.2.4 Level Ideologi ... 101

4.3 Pembahasan ... 104

4.3.1 Level Realitas ... 108

4.3.2 Level Representasi ... 110

4.3.3 Level Ideologi ... 112

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 114

5.1 Kesimpulan ... 114

5.2 Saran ... 121

5.2.1 Saran Bagi Universitas ... 121

5.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 121

5.2.3 Saran Bagi Publik ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 124

(8)

123

Ardianto Elvinaro, Erdinaya K, Lukiati, dan Karlinah Siti.2007. Komunikasi

Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja

Grafindo.

Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi. Bandung

: PT. Citra Aditya Bakti.

Effendy, Onong Uchjana. 1990. Ilmu Komunikasi Teori dan Prkatek.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Effendy, Heru. 2006. Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser.

Yogyakarta: Pustaka Konfiden

Fiske, John.2010. Cultural and Communiaction Studies. Yogyakarta : Jala

sutra

Fiske, John.1987. Television Culture.E-book :British Library Cataloguing in

Publication Data

Lexy J. Moleong, 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

Littlejihon, Stephen W, Foss Karen A . 2009. Teori Komunikasi Theories of

(9)

124 Yogyakarta: Galangpress

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komuniasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung:

CV.Alfabeta

Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-DasarApresiasi Film. Jakarta: PT.

Grasindo

Susanto, Astrid, S. 1985. Makna dan Fungsi Kritik Sosial dalam masyarakat

dan Negara, Prisma dalam Demokrasi Persdan Politik. Jakarta:

LP3S

Wibowo, Indiwan, Seto Wahju. 2011. Semiotika Komunikasi. Jakarta:

MitraWacana Media

B. INTERNET

1.

http://amriawan.blogspot.com/2011/11/presiden-republik-abu-abu-film-terbaik.html (21 Febuari 2014/00:07)

2.

(10)

125

C. KARYA ILMIAH

Berry Arneldi. 2013. REPRESENTASI WAKTU DALAM FILM IN TIME

(ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE TENTANG REPRESENTASI

WAKTU DALAM FILM “IN TIME”) Bandung: Universitas Komputer

Indonesia

Bayu Rizki Maulana. REPRESENTASI KESETARAAN RAS DALAM FILM

LINCOLN (ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE TENTANG

REPRESENTASI KESETARAAN RAS DALAM FILM “LINCOLN”)

Bandung: Universitas Komputer Indonesia

Yasa Yaser Dwi. 2012. REPRESENTASI KEBEBASAN PERS

MAHASISWA DALAM FILM LENTERA MERAH (ANALISIS

SEMIOTIK ROLAND BARTHES DALAM FILM FILM LENTERA

MERAH MENGENAI KEBEBASAN PERS MAHASISWA). Bandung:

(11)

vi Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan

berkahNya serta dukungan berbagai pihak, peneliti akhirnya dapat menyelesaikan

penelitian ini dengan tepat waktu. Penelitian ini berjudul “Representasi Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu Karya Mutiara Paramitha Andhika dan Afief Riyadi”. Dalam proses penulisan karya ilmiah penelitian ini, peneliti mengalami berbagai kesulitan namun dengan kerja keras,

doa, bimbingan dari pembimbing serta semangat dan dorongan dari berbagai

pihak akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini bisa dipertanggung

jawabkan dengan baik.

Untuk kedua orang tua Ayah dan Mamah terima kasih atas kasih sayang, perhatian, doa, motivasi dan kepercayaannya kepada penulis selama ini, Terima

kasih telah menjadi orang tua terhebat di dunia yang selalu memberikan rasa

“surga” dalam kehidupan penulis.

Dalam proses penulisan proposal penelitian ini, banyak sekali pihak yang

telah berperan dan membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh

karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih khususnya

(12)

vii

2. Yth. Bapak Drs. Manap Solihat, M.Si., Selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Komputer Indonesia, dan Selaku dosen pembimbing peneliti yang

selama penyusunan penelitian ini telah memberikan berbagai masukan

dan arahan dalam seluruh proses pembuatan penelitian ini. Terima kasih

atas kesabaran, keikhlasan, totalitas, serta motivasi yang selalu diberikan

selama membimbing peneliti.

3. Ibu Melly Maulin P.S. Sos, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi yang memberikan dukungan-dukungan dalam setiap

perkuliahan untuk menjadikan peneliti sukses dalam menjalankan

perkuliahan.

4. Ibu Rismawaty, S.Sos., M.Si. Selaku Dosen wali. Terimakasih karena telah memberikan pencerahan dan penyelesaian masalah bagi peneliti,

dan terus memotivasi, membantu, membimbing dan memberikan

masukan positif kepada peneliti selama melakukan perkuliahan.

5. Yth. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Ilmu Komunikasi UNIKOM, yang telah membimbing dan mengarahkan serta memberikan ilmu dan

pengetahuannya kepada peneliti selama menjalani perkuliahan.

(13)

viii

IK-Jurnal 1 „10, khususnya Fery Setiawan, Rendra Septiana, Ruly Topan, Revino Tryantito, Regina Vida dan Ogi Noor Hadiansyah, Regiansyah, Arif Firmansyah, Ryandy Purnawan, Aldie Yasa Yahya, Evrianti Lira Insani, Frelly Milano, Tiar Renas Y, Ragil Wisnu Saputra, Oki Ridwan, Romy Rizki dan Anak – anak Dulips

Terima kasih untuk kebersamaan, keceriaan, kekeluargaan dan

persahabatannya.

9. Para Sahabat, khususnya Rizky Andhika, Rizky Kurniawan, Heru Rosmanto, Winy Cintya, Sena Lingga, Febriansyah, Jeihan Nabila,

Anisha Primalti, Dhea Rizkiana, Ahmad Royani, Toni Supriatna, Andella, Yuyu Yulia dan yang lainnya yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih selalu menerima peneliti

untuk sharing, saling bertukar pikiran, keceriaan, kekeluargaan dan

memberikan doa, dukungan, bantuan dengan caranya masing-masing.

10.Nurul Fitri, terima kasih telah menjadi inspirasi dan motivasi bagi peneliti.

(14)

ix

mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan proposal

penelitian ini.

Oleh karena itu peneliti berharap dan berterima kasih atas segala saran dan

kritik dari pembaca. Serta menerima saran dan kritik tersebut dengan hati terbuka.

Akhir kata, peneliti berharap semoga karya ilmiah penelitian ini menjadi aplikasi

ke ilmuan khususnya jurnalistik.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandung, Agustus 2014

(15)

12

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Tinjauan penelitian terdahulu merupakan salah satu referensi yang

diambil oleh peneliti. Melihat hasil karya ilmiah para peneliti terdahulu,

yang mana ada dasarnya peneliti mengutip beberapa pendapat yang

dibutuhkan oleh penelitin sebagai pendukung penelitian. Tentunya dengan

melihat hasil karya ilmiah yang memiliki pembahasan serta tinjauan yang

sama.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian analisis tekstual dengan

pendekatan studi semiotika. Untuk pengembangan pengetahuan, peneliti

akan terlebih dahulu menelaah penelitian mengenai semiotika. Hal ini

perlu dilakukan karena suatu teori atau model pengetahuan biasanya akan

diilhami oleh teori dan model yang sebelumnya. Selain itu, telaah pada

penelitian terdahulu berguna untuk memberikan gambaran awal mengenai

kajian terkait dengan masalah dalam penelitian ini.

Setelah peneliti melakukan tinjauan pustaka pada hasil penelitian

terdahulu, ditemukan beberapa penelitian tentang semiotika. Berikut ini

(16)
[image:16.595.100.549.159.743.2]

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

N0. Judul Penelitian

Nama Peneliti Metode yang Digunakan Hasil Penelitian Perbedaan dengan Penelitian Skripsi Ini

1. Representasi

Kesetaraan

Ras Dalam

Film “Lincoln

Skripsi Bayu

Rizki Maulana,

Fakultas

Ilmu Sosial dan

Politik Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2013 Kualitatif dengan Desain Penelitian Semiotika representasi kesetaraan ras dalam film Lincoln, terdapat tiga level yang sesuai dengan kode kode televisi John Fiske. Pada level realitas, level representasi & level ideologi. peneliti juga menghubungkan pesan film

Lincoln ini

(17)

digambarkan sebagai tokoh hagemonik yang berhasil membuat perubahan.

2 Representasi

Waktu

Dalam Film “In Time”

Skripsi Berry

Arneldi,

Fakultas

Ilmu Sosial dan

Politik Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2013 Kualitatif dengan Desain Penelitian Semiotika pada level realitas ada keterkaitan antara manusia dan waktu ketika menyadari seberapa banyak waktu yang dimiliki dan memaknai waktu tersebut dengan mengisi tiap-tiap detiknya. Level representasi,

waktu di kuasai

(18)

subordinasinya. Pada level ideologi, terlihat jelas bahwa pembagian dari waktu oleh kapitalis tidak merata sehingga membentuk kelas-kelas sosial.

3 Representasi

Kebebasan Pers Mahasiswa Dalam Film Lentera Merah

Skripsi Yaser

Dwi Yasa,

Fakultas

Ilmu Sosial dan

Politik Universitas Komputer Indonesia,2012 Kualitatif dengan Desain Penelitian semiotika

Bahwa pers

pada

[image:18.595.98.549.110.680.2]

saat itu yang di

gambarkan di

film lentera

merah sangat di

pengaruhi oleh hegemoni kekuasaan. Penelitian Yaser Dwi Yasa menggunak an objek dan desain penelitian yang berbeda. Yaser menggunak an teori Barthes sebagai pisau analisa.

(19)

2.1.2 Tinjauan Tentang Komunikasi

“Manusia merupakan makhluk sosial, diamana segala sesuatu yang dilakukan tidak bisa di lakukan sendiri, harus ada orang lain yang

membantu, untuk itu manusia sangat di haruskan untuk berkomunikasi

atau pertukaran pesan satu sama lain antar individu. Secara Estimologi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communication berasal dari

kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti

sama. Sama disini maksudnya adalah satu makna. Jadi, jika dua orang

terlibat dalam komunikasi maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung

selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dikomunikasikan, yakni

baik si penerima maupun si pengirim sepaham dari suatu pesan tertentu”.

(Effendy, 2003:9).

Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada definisi yang

benar atau yang salah. Seperti juga model atau teori, definisi harus dilihat

dari kemamfaatan untuk menjelaskan fenomena yang didefinisikan dan

mengevaluasinya. Beberapa definisi mungkin terlalu sempit, misalnya

“Komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media elektronik”, atau

terlalu luas, misalnya “Komunikasi adalah interaksi antara dua pihak atau

lebih sehingga peserta komunikasi memahami pesan yang

(20)

“Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya. Dalam “bahasa” komunikasi pernyataan dinamakan pesan (message), orang menyampaikan pesan disebut komunikator (communicator). Untuk lebih tegasnya, komunikasi berarti proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan”. (Effendy, 2003:28)

Menurut professor Wilbur Schramm dalam Cangara (2004:1)

mengatakan tanpa komunikasi, tidak mungkin terbentuk suatu masyarakat.

Sebaliknya tanpa masyarakat, manusia tidak mungkin dapat

mengembangkan komunikasi. Berkomunikasi dengan baik akan member

pengaruh langsung terhadap struktur keseimbangan seseorang dalam

masyarakat, apakah ia seorang dokter, dosen, manajer dan sebagainya.1

Dari berbagai pendapat para ahli tersebut menggambarkan bahwa

komponen-komponen pendukung komunikasi termasuk efek yang

ditimbulkan, antara lain adalah:

1. Komunikator (communicator, source, sender)

2. Pesan (message)

3. Media (channel)

4. Komunikan (communican, receiver)

5. Efek (effect)

Dari beberapa pengertian di atas, peneliti mengambil kesimpulan

bahwa komunikasi merupakan proses pertukaran makna/pesan baik verbal

1

(21)

maupun nonverbal dari seseorang kepada orang lain melalui media dengan

tujuan untuk mempengaruhi orang lain.

2.1.3 Tinjauan Tentang Komunikasi Massa

Komunikasi massa berasal dari istilah bahasa Inggris, mass communication, sebagai ringkasan dari mass media communication.

Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi

yang mass mediated. Istilah mass communication atau communications

diartikan sebagai salurannya, yaitu media massa (mass media) sebagai

ringkasan dari media of mass communication. Massa mengandung

pengertian orang banyak, mereka tidak harus berada di lokasi tertentu yang

sama, mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi, yang dalam

waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan

komunikasi yang sama. Massa diartikan sebagai sesuatu yang meliputi

semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau

orang-orang pada ujung lain dari saluran.

2.1.3.1 Definisi Komunikasi Massa

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi

melalui media massa modern, yang meliputi surat kabar yang

mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang

ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukan di

gedung-gedung bioskop (Effendy, 2003:79). Definisi yang paling sederhana

(22)

massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada

sejumlah besar orang (Mass communication is messages

communicated through a mass medium to a large number of people).

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi itu

harus menggunakan media massa. Jadi, sekalipun komunikasi itu

disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar di

lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang,

jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi

massa. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah: radio

siaran dan televisi-keduanya dikenal sebagai media elektronik; surat

kabar dan majalah-keduanya disebut media cetak; serta media film.

Film sebagai media komunikasi massa adalah bioskop (Rakhmat,

2003:188 dalam Elvinaro, dkk, 2007:3)

2.1.3.2 Karakteristik komunikasi massa

Karakteristik komunikasi massa menurut Ardianto Elvinaro,

dkk. Dalam bukunya “Komunikasi Massa Suatu Pengantar”. Sebagai

berikut:

1. Komunikator terlambangkan, Ciri komunikasi masa yang pertama adalah komunikatornya. Komunikasi massa itu melibatkan

lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang

(23)

2. Pesan bersifat umum, Komuniksai massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan

ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. (Elvinaro,dkk, 2007:7)

3. Pesan bersifat umum, Komuniksai massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan

ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. (Elvinaro,dkk, 2007:7)

4. Media massa menimbulkan keserempakan, Effendy mengartikan keserempakan media massa itu sebagai keserempakan

konteks dengan sejumlah besar penduduk dalam jumlah yang jauh

dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada

dalam keadaan terpisah. (Elvinaro,dkk, 2007:9)

5. Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan, Salah satu prinsip komunikasi adalah bahwa komunikasi mempunyai

dimensi isi dan dimensi hubungan. Dimensi isi menunjukan muatan

atau isi komunikasi, yaitu apa yang dikatakan, sedangkan dimensi

hubungan menunjukkan bagaimana cara mengatakanya, yang juga

mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu.

(Elvinaro,dkk,2007:9)

6. Komunikasi massa bersifat satu arah, Karena komunikasinya melalui media massa, maka komunikator dan komunikannya tidak

dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan

pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara

(24)

7. Stimulasi Alat Indera Terbatas, Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa. Pada radio

siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar.

(Elvinaro,dkk, 2007:11)

8. Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan tidak langsung (Indirect). Komponen umpan balik atau yang lebih populer dengan sebutan feedback merupakan faktor penting dalam proses komunikasi

massa. Efektivitas komunikasi Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan

tidak langsung (Indirect), Komponen umpan balik atau yang lebih

populer dengan sebutan feedback merupakan faktor penting dalam

proses komunikasi massa. Efektivitas komunikasi sering dapat dilihat

dari feedback yang disampaikan oleh komunikan.

(Elvinaro,dkk,2007:11)

2.1.3.3 Fungsi Komunikasi Massa

Fungsi komunikasi massa menurut Dominick dalam Ardianto,

Elvinaro. dkk. 2007: 14 terdiri dari:

1. Surveillance (pengawasaan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: fungsi pengawasan peringatan

terjadi ketika media massa menginformasikan tentang suatu ancaman;

fungsi pengawasan instrumental adalah penyampaian atau penyebaran

informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak

(25)

2. Interpretation (penafsiran) Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap

kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan

memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan.

Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca, pemirsa atau

pendengar untuk memperluas wawasan. (Elvinaro, dkk, 2007:14)

3. Linkage (pertalian) Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk linkage (pertalian)

berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.

(Elvinaro. dkk. 2007: 17)

4. Transmission of Values (penyebaran nilai-nilai) Fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini disebut juga socialization

(sosialisasi). Sosialisasi mengacu kepada cara, di mana individu

mengadopsi perilaku dan nilali kelompok . media massa yang

mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar dan dibaca.

Media massa memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka

bertindak dan apa yang mereka harapkan. Dengan kata lain, Media

mewakili kita dengan model peran yang kita amati dan harapan untuk

menirunya. (Elvinaro. dkk. 2007: 17)

5. Entertainment (hiburan) Radio siaran, siarannya banyak memuat acara hiburan, Melalui berbagai macam acara di radio siaran pun

masyarakat dapat menikmati hiburan. meskipun memang ada radio

(26)

massa sebagai fungsi menghibur tiada lain tujuannya adalah untuk

mengurangi ketegangan pikiran khalayak, karena dengan membaca

berita-berita ringan atau melihat tayangan hiburan di televisi dapat

membuat pikiran khalayak segar kembali. (Elvinaro. dkk. 2007: 18)

2.1.3.4 Hambatan dalam Komunikasi Massa

Setiap kegiatan komunikasi, apakah komunikasi antarpersona,

komunikasi kelompok, komunikasi media dan komunikasi massa

sudah dapat dipastikan akan menghadapi berbagai hambatan.

Hambatan dalam kegiatan komunikasi apapun tentu akan

mempengaruhi efektivitas proses komunikasi tersebut. Pada

komunikasi massa, jenis hambatannya relatif lebih kompleks sejalan

dengan kompleksitas komponen komunikasi massa.

Setiap komunikator selalu menginginkan komunikasi yang

dilakukannya dapat mencapai tujuan. Oleh karenanya seorang

komunikator perlu memahami setiap jenis hambatan komunikasi, agar

ia dapat mengantisipasi hambatan tersebut.

A. Hambatan Psikologis

1. Perbedaan Kepentingan (Interest)

Kepentingan akan membuat seseorang selektif dalam

menanggapi atau menghayati pesan. Sebagaimana telah diketahui

bahwa komunikan dalam komunikasi massa sangat heterogen (usia,

(27)

setiap individu komunikan memiliki kepentingan yang berbeda. Atas

dasar kepentingan yang berbeda, maka setiap individu komunikan

akan melakukan seleksi terhadap pesan yang diinginkannya

(manfaat/kegunaan).

2. Prasangka (Prejudice)

Prasangka berkaitan dengan persepsi orang tentang seseorang

atau sekelompok orang lain, dan sikap serta perilakunya terhadap

mereka. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi

dan menafsirkan pesan. Persepsi ditentukan oleh faktor personal

(fungsional): kebutuhan, pengalaman masa lalu, peran dan status.

Persepsi ditentukan oleh faktor situasional (struktural): Jika kita ingin

memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat menilai fakta-fakta yang

terpisah; kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan.

Apabila suatu proses komunikasi sudah diawali oleh kecurigaan

(prasangka) maka tidak akan efektif.

3. Stereotip (stereotype)

Prasangka sosial bergandengan dengan stereotip yang

merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan

watak pribadi orang atau golongan lain yang bercorak negatif.

Stereotip misalnya tercermin pada: orang Batak itu berwatak keras,

orang Sunda manja, dll. Apabila dalam proses komunikasi massa ada

(28)

maka dapat dipastikan pesan apapun tidak akan bisa diterima oleh

komunikan.

4. Motivasi (Motivation)

Semua tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif

tertentu. Motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua

penggerak, alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia

yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu.

Gerungan menjelaskan,dalam mempelajari tingkah laku manusia

pada umumnya, kita harus mengetahui apa yang dilakukannya,

bagaimana ia melakukannya dan mengapa ia melakukan itu, dengan

kata lain kita sebaik-baiknya mengetahui know what, know how, dan

know why.dalam masalah ini, persoalan know why adalah berkenaan

dengan pemahaman motif-motif manusia dalam perbuatanya, karena

motif memberi tujuan dan arah pada tingkah laku manusia.

Seperti kita ketahui, keinginan dan kebutuhan masing-masing

individu berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ketempat,

sehingga motif juga berbeda-beda. Motif seseorang bisa bersifat

tunggal, bisa juga bergabung. Misalnya, motif seseorang menonoton

acara “seputar indonesia” yang disiarkan RCTI adalah untuk

memperoleh informasi (motif tunggal), akan tetapi bagi seseorang

lainya adalah untuk memperoleh informasi, sekaligus juga pengisi

(29)

B. Hambatan Sosiokultural 1. Aneka Etnik

Belasan ribu pulau yang membenteng dari sabang sampai

merauke merupakan kekayaan alam Indonesia yang tidak ternilai

harganya. Tiap-tiap pulau di huni oleh etnik yang berbeda.

Pulau-pulau besar, seperti Pulau-pulau jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan,

Papua terbagi menjadi beberapa bagian, dimana tiap bagian memiliki

budaya yang berbeda.

2. Perbedaan Norma Sosial

Perbedaan budaya sekaligus juga menimbulkan perbedaan norma

sosial yang berlaku pada masing-masing etnik. Norma sosial dapat

didefinisikan sebagai suatu cara, kebiasaan, tat krama dan adat istiadat

yang disampaikan secara turun temurun, yang dapat memberikan

petunjuk bagi seseorang untuk bersikap dan bertingkah laku dalam

masyarakat (disarikan dari Soekanto, 1982: 194).

3. Kurang Mampu Berbahasa Indonesia

Keragaman etnik telah menyebabkan keragaman bahasa yang

digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Dapat dikatakan, jumlah

bahasa yang ada di Indonesia adalah sebanyak etnik yang ada. Seperti

kita ketahui bersama bahwa masyarakat Batak memiliki berbagai

macam bahasa batak. Masyarakat di Papua, Kalimantan juga demikian

keadaannya. Jadi sekalipun bahasa Indonesia merupakan bahasa

(30)

pemuda, kita tidak dapat menutup mata akan kenyataan yang ada,

yakni masih masih adanya masyarakat Indonesia, terutama di daerah

terpencil yang belum bisa berbahasa Indonesia. Hal ini dapat

menyulitkan penyebarluaskan kebijakan dan program-program

pemerintah.

4. Faktor Semantik

Semantik adalah pengetahuan tentang pengertin atau makna kata

yang sebenarnya. Jadi hambatan semantik adalah hambatan mengenai

bahasa, baik bahasa yang digunakan oleh komunikator,

maupun bahasa yang digunakan oleh komunikan. Hambatan semantis

dalam suatu proses komunikasi dapat terjadi dalam beberapa bentuk.

Pertama, komunikator salah mengucapkan kata-kata atau istilah

sebagai akibat bebrbicara terlalu cepat. Pada saat ia berbicara, pikiran

dan perasaan belum terformulasika, namun kata-kata terlanjur

terucapkan. Maksudnya akan mengatakan “ demokrasi” jadi

“demonstrasi”; partisipasi menjadi “ partisisapi”; ketuhanan”jadi

“kehutanan”, dan masih banyak lagi kata-kata yang sering salah

diucapkan karena tergesa-gesa.

Kedua, adanya perbedaan makna makna dan penegrtian untuk

kata atau istilah yang sama sebagai akibat aspek psikologi. Misalnya

kata “Gedang”akan berarti”pepaya” bagi orang sunda, namun berarti

“ pisang” menurut orang jawa. Sedangkan kata “pepaya” untuk orang

(31)

Ketiga, adalah adanya pengertian yang konotatf. Sebagaiman kita

ketahui semantik pengetahuan mengenai pengertian kata-kata yang

sebenarnya. Kata-kata yang sebenarnya itu disebut pengertain

denotatif, yaitu kata-kata yang lazim diterima oleh orang-orang

dengan bahasa dan kebudayaan yang sama (Efendy, pada komala,

dalam karlina, dkk, 1999).

5. Pendidikan Belum Merata

Penduduk Indonesia pada saat ini sudah mencapai 200 juta jiwa

dan tersebar diseluruh pulau dan Nusantara. Ditinjau dari sudut

pendidikan, maka tingkat pendidikan rakyat indonesia belum merata.

Di perkotaan, relatif banayak penduduk yang dapat menyelesaikan

pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi, tetapi di desa-desa

terpencil, jangankan menyelesaikan perguruan tinggi kesempatan

untuk menyelesaikan pendidikan dasar pun relatif kecil. Ini adalah

kenyataan yang tidak bisa dihindari, namun amat disadari oleh

pemerintah, sehingga untuk menanggulanginya pemerintah telah

mencanangkan program pendidikan sembilan tahun.

6. Hambatan Mekanis

Hambatan komunikasi massa lainnya adalah hambatan teknis

sebagai konsekuensi penggunaan media massa yang dapat disebut

sebagai hambatan mekanis. Hambatan mekanis pada media televisi

terjadi pada saat stasiun atau pemancar penerima mendapat gangguan

(32)

diteima pada pesawat televisi tidak jelas, buram, banayak garis atau

tidak ada gambar sama sekali.

C. Hambatan Interaksi Verbal 1. Polarisasi

Polarisasi kencenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk

lawan kata dan menguraikannya dalam bentuk ekstrem, seperti baik

atau buruk, positif atau negatif, sehat atau sakit, pandai atau bodoh,

dan lainlain. Kita mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat

titik-titik ekstrem dan mengelompokkan manusia, objek, dan kejadian

dalam bentuk lawan kata yang ekstrem.

Diantara dua kutub atau dua sisi yang berlawanan itu, sebagaian

besar manusia atau keadaan berada di tengah-tengah. Di antara yang

sanagt miskin dan yang sangat kaya, kenyataannya lebih banyak yang

sedang-sedang saja. Di antara yang sangat baik dan sangat buruk,

lebih banyak yang cukup baik.

2. Orientasi Intensional

Oreintasi intensional mengacu pada kecenderungan kita untuk

melihat manusia, objek dan kejadian sesuai dengan ciri yang melekat

pada mereka. Orientasi intensional terjadi bila kita bertindak

seakan-akan label adalah lebih penting daripada orangnya sendiri.

Dalam proses komunikasi massa, orentasi internasioal biasanya

(33)

Misalnya, seorang presenter yang berbicara dilayar televisi, dan

kebetulan wajah presenter tersebut tidak manarik ( kuarang

cantik/ganteng ), maka komunikan akan intensional menilainya

sebagai tidak menarik sebelum kita mendengar apa yang

dikatakannya. Cara mengatasi oreintasi intensional adalah dengan

ekstensionalisas, yaitu dengan memberikan perhatian utama kita pada

manusia, benada atau kajadian-kejadian di dunia ini sesuai dengan apa

yang kita lihat.

3. Evaluasi Statis

Pada suatu hari kita melihat seorang komunikator X berbicara

melalui pesawat televisi. Menurut presepsi kita, cara berkomunikasi

dan materi komunikasi yang dikemukakan komunikator tersebut tidak

baik, sehingga kita membuat abstraksi tentang komunikator itupun

tidak baik. Evaluasi kita tentang komunikator X bersifat statis tetap

seperti itu dan tidak beruba. Akibatnya, mungkin selamanya kita tidak

mau menonton atau mendengar komunikator X berbicara. Tetapi

seharusnya kita menyadari bahwa komunikastor X dari waktu ke

waktu dapat berubah, sehingga beberapa tahun kemudian ia dapat

menyampaikan pesan secara baik dan menarik.

4. Indiskriminasi

Indiskriminasi terjadi bila (komunikan) memusatkan perhatian

pada kelompok orang, benda atau kejadian dan tidak mampu melihat

(34)

individual. Indiskriminasi juga merupakan inti dari stereotip. Stereotip

adalah gambaran mental yang menetap tentang kelompok tertentu

yang kita anggap berlaku untuk setiap orang (anggota) dalam

kelompok tersebut tanpa memperhatikan adanya kekhasan orang

bersangkutan. Terlepas dari apakah stereotip itu positif atau negatif,

masalah yang ditimbulkan tetap sama. Sikap ini membut kita

mengambil jalan pintas yang seringkali tidak tepat.

2.1.3.5 Bentuk-bentuk Komunikasi Massa

Media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori,

yakni media massa cetak dan media elektronik. Adapun

bentuk-bentuk media massa sebagai berikut:

A.Surat Kabar

B. Majalah

C. Radio Siaran

D.Televisi

E. Film

F. Komputer dan Internet

2.1.4 Tinjauan Tentang Film

Film merupakan salah satu bentuk dari media massa, dimana

fungsi dari Film itu sendiri adalah Pemberi informasi, Pendidikan, dan

Hiburan untuk halayak, karena sifat film yang audio visual menjadi sarana

(35)

“Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramah – ceramah penerangan atau pendidikan kini banyak digunakan film sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan, bahkan filmnya sendiri banyak yang berfungsi sebagai medium penerangan dan pendidikan secara penuh, artinya bukan sebagai alat pembantu dan juga tidak perlu dibantu dengan penjelasan, melainkan medium penerangan dan pendidikan yang komplit”. (Effendy, 2003:209)

Tujuan Khalayak menonton film adalah ingin memperoleh hiburan.

Akan tetapi dalam film dapat terkandung nilai – nilai informatif maupun

edukatif, bahkan persuasif (Ardianto, dkk, 2007:145).

1. Sejarah Film

Film pertama kali ditemukan pada akhir abad ke-19, film

mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi yang

mendukung.Mula-mula hanya dikenal film hitam-putih dan tanpa suara.

Pada akhirtahun 1920-an mulai dikenal film bersuara, dan menyusul film

warna padatahun 1930-an. Peralatan produksi film juga mengalami

perkembangandari waktu ke waktu, sehingga sampai sekarang tetap mampu

mejadikanfilm sebagai tontonan yang menarik khalayak luas (Sumarno,

1996:9).

2. Pengertian Film

Film dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar

lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang

(36)

adalah sebuah rangkaian gambar statis yang di representasikan dihadapan

mata secara berturut-turut dalam kecepatan yang tinggi. Sementara bila

mengutip pernyataan sineas new wave asal Perancis, Jean Luc Godard:

“film adalah ibarat papan tulis, sebuah film revolusioner dapat

menunjukkan bagaimana perjuangan senjata dapat dilakukan.” Film sebagai

salah satu media komunikasi massa, memiliki pengertian yaitu merupakan

bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam

menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah

banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan

menimbulkan efek tertentu (Tan dan Wright, dalam Ardianto & Erdinaya,

2005:3)

3. Jenis – Jenis Film

A. Film Cerita (Story Film)

Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita, yaitu

yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang

filmnya yang tenar. Film jenis ini didistribusikan sebagai barang dagangan

dan diperuntukkan semua publik dimana saja (Effendy, 2003:211). Cerita

yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan

kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan

ceritanya maupun dari segi gambar yang artistik (Ardianto dan Erdinaya,

2007:139). Dalam Mari Membuat Film: Panduan Menjadi Produser

(37)

(Short Films) yang durasi filmnya biasanya di bawah 60 menit, dan Film

Cerita Panjang (Feature-Length Films) yang durasinya lebih dari 60 menit,

lazimnya berdurasi 90-100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya

termasuk kedalam kelompok ini.

B. Film Dokumenter (Documentary Film)

Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan.

Kunci utama dari dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter

berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata.

Film dokumenter ini tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian,

namun merekam peristiwa yang sungguh-sunguh terjadi. tidak seperti film

fiksi, film dokumenter tidak memiliki plot (rangkaian peristiwa dalam film

yang disajikan pada penonton secara visual dan audio), namun memiliki

struktur yang umumnya didasarkan oleh tema atau argument dari sineasnya.

Film dokumenter juga tidak memiliki tokoh peran baik dan peran jahat,

konflik, serta penyelesaiannya seperti halnya film fiksi (Fajar

Nugroho,2007).

John Grierson mendefinisikan film dokumenter sebagai “karya

ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality).” Titik berat

film dokumenter adalah fakta atau peristiwa yang terjadi (Effendy,

(38)

C. Film Berita (News Reel)

Film berita atau news reel adalah film mengenai fakta, peristiwa

yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan

kepada publik harus mengandung nilai berita (news value) (Effendy,

2003:212).

D. Film Kartun (Cartoon Film)

Film kartun pada awalnya memang dibuat untuk konsumsi

anak-anak, namun dalam perkembangannya kini film yang menyulap gambar

lukisan menjadi hidup itu telah diminati semua kalangan termasuk orang

tua. Menurut Effendy (2003:216) titik berat pembuatan film kartun adalah

seni lukis, dan setiap lukisan memerlukan ketelitian. Satu per satu dilukis

dengan saksama untuk kemudian dipotret satu per satu pula. Apabila

rangkaian lukisan itu setiap detiknya diputar dalam proyektor film, maka

lukisan-lukisan itu menjadi hidup.

E. Film-film Jenis Lain

 Profil Perusahaan (Corporate Profile)

Film ini diproduksi untuk kepentingan institusi tertentu

berkaitandengankegiatan yang mereka lakukan. Film ini sendiri

berfungsi sebagai alat bantu presentasi.

(39)

Film ini diproduksi untuk kepentingan penyebaraninformasi, baik

tentang produk (iklan produk) maupun layanan masyarakat (iklan

layanan masyarakat atau public service announcement/PSA)

 Program Televisi (TV Program)

Program ini diproduksi untuk konsumsi pemirsa televisi.Secara

umum, program televisi dibagi menjadi dua jenis yakni cerita dan

non cerita

 Video Klip (Music Video)

Dipopulerkan pertama kali melalui saluran televisi MTV pada

tahun 1981, sejatinya video klip adalah sarana bagi para produser

musik untukmemasarkan produknya lewat medium televisi.

(Effendy, 2006:13-14).

2.1.5 Tinjauan Tentang Representasi

Representasi adalah bagian dari pengembangan dari ilmu

pengetahuan sosial. dalam perkembangannya ada dua teori dalam teori

pengetahuan sosial yaitu apa yang disebut kongnisi sosial, representasi

adalah suatu konfigurasi atau bentuk atau susunan yang dapat

menggambarkan, mewakili atau melambangkan sesuatu dalam suatu cara.

Tujuan dalam menerrapkan ilmu pengetahuan untuk memahami

bagaimana interpersonal, understanding, moral judgement

Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama,

(40)

masing-masing (peta konseptual), representasi mental merupakan sesuatu

yang abstrak. Kedua, “bahasa”, berperan penting dalam proses konstruksi

makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan

dalam “bahasa” yang lazim, supaya dapat menghubungkan konsep dan

ide-ide tentang sesuatu dengan tanda simbol tertentu. Media sebagai suatu

teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya.

Representasi dalam media menunjuk pada bagaimana seseorang atau suatu

kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu di tampilkan dalam

pemberitaan. (Wibowo, 2011:113).

Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Marcel Danesi

dalam bukunya yang berjudul Understanding Media Semiotics

mengungkapkan bahwa representasi adalah proses merekam ide,

pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik disebut representasi. Ini

dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk

menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu, yang dirasa, dimengerti,

diimajinasikan atau diarasakan dalam bentuk fisik. Dapat dikaraktersitikan

sebagai proses konstruksi bentuk X untuk menimbulkan perhatian kepada

sesuatu yang ada secara material atau konseptual, yaitu Y, atau dalam

(41)

2.1.6 Tinjauan Tentang Kritik Sosial 2.1.6.1 Kritik Sosial

Semua kemajuan lahir dari kritik, karena tanpa kritik,

bangsa manusia tidak akan mungkin bisa mencapai hasil yang kini

dicapainya itu (Kwant dalam Sobur:2001-193). Banyak orang

berbicara mengenai kritik, baik dalam arti positif maupun negatig.

“kalau saya dikritik tanpa alasan, saya juga akan marah. jika ada

kritik memberikan alternatig, akan saya terima”. Ujar Andi Hakim

Nasution (Sobur:2001:193)

Kritik adalah sesuatu yang tabu dalam kebudayaan

tradisionil. Kritik adalah zat hidup kebudayaan modern. Kritik

adalah sesuatu bentuk kebebasan yang mesti “disesuaikan dengan

situasi dan kondisi” pada masa kebudayaan transisi ini. Sementara

itu, Muladi menilai, “Dinegara berkembang, kritik sering dilihat

sebagai sesuatu yang tidak loyal (disloyality). Padahal, masyarakat

yang maju, kritik justru merupakan sesuatu yang penting, sebagai

masukan agar sistem politik menjadi lebih baik.”

(Sobur:2001:194).

Orang memuji kritik sebagai nilai dasar bangsa manusia,

sebagai dasar untuk pandangan yang penuh harapan bagi masa

depan. Namun orang juga menentang kritik sebagai perusakan yang

tidak sopan, sebagai penyergapan terhadap nilai-nilai suci. Apakah

(42)

menyadari tentang hakikat kritik, sifat kritik dan

persyaratan-persyaratan kritik. Juga mengenai pentingnya kritik dalam tata

kehidupan bangsa manusia, dan dalam susunan hidup-hidup

permasyarakatan kita dewasa ini, masih kurang diinsafi. Juga masih

kurang begitu peduli pada apa dan sejauh manakah sesuatu yang

dilontarkan sebagai kritik itu berhak untuk dinamakan kritik.

2.1.6.2 Pengertian Kritik Sosial

Dalam kamus besar Indonesia edisi kedua, kritik diartikan

sebagai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian

pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya pendapat dan

sebagainya, menurut Kwant bentuk kritik dapat dibedakan dalam

dua macam yaitu; kritik positif dan kritik negatif. Kritik negatif

artinya sikap kritis yang kesimpulannya tidak menyetujui, biasanya

kritik negatif lebih banyak dibanding kritik positif, sementara kritik

positif artinya suatu penilaian terhadap suatu yang mempunyai

kesimpulan menyetujui.

Kritik berasal dari bahasa yunani yaitu krinein yang berarti

memisahkan, memerinci. Dalam kenyataan tersebut, manusia

membuat pemisahan dan perincian antara nilai dan bukan nilai, arti

dan bukan arti, baik dan jelek. Jadi kritik suatu penilaian terhadap

(43)

Kritiek. R.C. Kwant (1975:12) menuliskan bahwa kritik

menentukan nilai suatu kenyataan yang dihadapinya.

Dalam melontarkan kritik, tidak cukup hanya mengetahui

kenyataan yang ada, namun orang yang melancarkan kritik harus

berusaha menentukan apakah yang dihadapinya itu benar-benar

seperti yang seharusnya. Oleh karenanya,orang tersebut harus

mengetahui sebelumnya bagaimana seharusnya (Kwant, 1975:90).

Kepekaan sosial atau social sensitivity, merupakan inti

suatu kritik sosial. Menurut Astrid S. Susanto (1977:5), kritik sosial

biasanya dihubungkan dengan perlunya situasi ideal dan perilaku

ideal (ideal conduct). Suatu kritikan selalu menginginkan

perubahan, hingga kritik selalu berorientasi ke masa depan. Oleh

karena itu suatu kritik perlu dilandasi data dan pengetahuan yang

tepat, yaitu agar prediksi tentang masalah dalam bermasyarakat jadi

tepat, setepat mungkin.

Kritik sosial yang murni kurang didasarkan pada

peneropongan kepentingan diri saja, melainkan justru menitik

beratkan dan mengajak khalayak untuk memperhatikan

kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Suatu media kritik sosial karenanya

didasarkan pada rasa tanggung jawab atau pengontrol bahwa

manusia sama-sama bertanggung jawab atas perkembangan

lingkungan sosialnya. Menurut Ismail dalam Prisma dalam Humor

(44)

“Hadirnya Humor dalam kritik itu sah adanya. Saya tidak melihat bahwa kepekaan kita terhadap kritik itu akan berkurang atau hilang dengan adanya unsur humor. Artinya orang tidak lagi menerima kritik sebagai kritik, tetapi menampikannya sebagai humor. Kritik yang disampaikan melalui humor mempunyai akar kulturil dalam masyarakat kita. Hanya barangkali, kritik dengan humor dibandingkan dengan kritik tanpa humor tidak langsung begitu menyinggung langsung perasaan yang dikritik. Dengan humor ataupun tanpa humor orang akan mengetahui jika dia dikritik.”(Ismail 1977:38)

Kritik sosial antara lain sebagai kontrol terhadap jalannya

sebuah sistem sosial atau merupakan proses bermasyarakat, dalam

kontek inilah kritik sosial merupakan salah satu faktor penting

dalam memelihara sistem sosial.

2.1.6.3 Fungsi Kritik Sosial

Adanya kritik dalam suatu masyarakat, mencerminkan

perubahan yang sedang dialami oleh masyarakat itu (Susanto,

1985:106). Jika suatu kritik sosial ingin memenuhi fungsinya

dengan efektif, harus memenuhi beberapa langkah dan syarat.

Kritik sosial sebagai pendapat pribadi, tidak terorganisir, akan

hilang lenyap dalam saingan pendapat.

Ternyata kritik sosial juga perlu melembagakan diri

menemukan saluran-saluran yang dapat lebih menjelaskan,

memfokuskan, memerinci dan merumuskan dalam langkah-langkah

(45)

Kritik sosial perlu juga melepaskan diri dari dari ikatan-ikatan

komunal maupun kepentingan pribadi.

Data dan lingkungan lebih luas diperlukan oleh suatu kritik

untuk dapat berperan dan berpengaruh. Mengingat bahwa suatu

kritik sosial bukan lagi merupakan suatu “milik pribadi”, sekali ia

disebarkan di masyarakat, maka mau tidak mau efektipitas kritik

sosial akan sangat melekat.2

2.1.7 Tinjauan Tentang Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang akan kita pakai dalam upaya

berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan

bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi,

pada dasarnya hendak mempelajarai bagaimana kemanusiaan (humanity)

memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat

dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).

Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,

dalam hal mana objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga

mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179;

Kurniawan,2001:53) dalam (Sobur,2009:15).

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna

(meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda

2

(46)

(Littlejohn, 1996:64 dalam Sobur, 2009:16). Konsep dasar ini mengikat

bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol,

bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk non-verbal, teori-teori yang

menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan

bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk

kepada semiotika.

“Pada dasarnya, Analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu ditanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal – hal yang tersembunyi di balik sebuah teks. Maka orang sering mengatakan semiotika adalah upaya menemukan makna “berita di balik berita” (Wibowo, 2011:06)

Dengan semiotika, kita lantas berurusan dengan tanda. Semiotika,

seperti kata Lechte (2001:191 dalam Sobur, 2009:16), adalah teori tentang

tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin

yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana

signs „tanda-tanda‟ dan berdasarkan pada sign system (code) „sistem

tanda‟ (Segar, 2000:4 dalam Sobur, 2009:16)

Tanda tidak mengandung makna atau konsep tertentu, namun tanda

memberi kita petunjuk-petunjuk yang semata-mata menghasilkan makna

melalui interpretasi. Tanda menjadi bermakna manakala diuraikan isi

kodenya (decoded) menurut konvensi dan aturan budaya yang dianut

(47)

Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi

(Littlejohn, 1996:64 dalam Sobur, 2009:15). Manusia dengan perantaraan

tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal

bisa dikomunikasikan di dunia ini. Kajian semiotika sampai sekarang telah

membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan

semiotika signifikasi (lihat antara lain Eco, 1979:8-9; Hoed, 2001:140

dalam Sobur, 2009:15). Pertama, menekankan pada teori tentang produksi

tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor

dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan,

saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan) (Jakobson, 1963;

Hoed, 2001:140 dalam Sobur, 2009:15). Kedua, memberikan tekanan pada

teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.

Semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari

sistem tanda, ilmu tentang tanda, bagaimana makna dibangun dalam teks

media, atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam

masyarakat yang mengkonsumsi makna (Fiske, 2004: 282).

Dalam teori semiotika, pokok studinya adalah tanda atau

bagaimana cara tanda-tanda itu bekerja juga dapat disebut semiologi.

Tanda-tanda itu hanya mengemban arti pada dirinya sendiri, dengan kata

lain jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, dan

kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda – tanda itu hanya

mengemban arti (significant) dalam kaitan dengan pembacanya, pembaca

(48)

sebagai konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Segala sesuatu

memiliki system tanda, dapat dianggap teks.

Contohnya di dalam film, majalah, televisi, iklan, brosur, koran,

novel bahkan di surat cinta sekalipun. Tiga bidang studi utama dalam

semiotika menurut John Fiske adalah:

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagi tanda

yang berbeda, cara-cara tanda yang berbeda itu dalam

menyampaikan makna, dan cara-cara tanda itu terkait dengan

manusia yang menggunakannya. Tanda adalah kontruksi

manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang

menggunakannya.

2. Sistem atau kode yang mengorganisasikan tanda. Studi ini

mencangkup cara berbagai kode yang dikembangkan guna

memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau

mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk

mentransmisikannya.

3. Kebudayaan dan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada

gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan

tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. (Fiske,

(49)

2.2 Kerangka Pemikiran

2.2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Dalam menganalisa Representasi pesan kritik sosial dalam film

dokumenter Presiden Republik Abu-abu. Peneliti menggunakan teori The

Codes of Television atau Kode-kode televisi oleh John Fiske. Di dalam teori

kode-kode televisi ini biasanya digunakan untuk meneliti acara-acara di

dalam televisi atau iklan di televisi, namun kode televisi John Fiske ini masih

sangat relevan digunakan bagi penelitian semiotika film dokumenter, di

dalam beberapa kode televisi ini akan lebih mempermudah peneliti dalam

meneliti representasi pesan kritik sosial dalam film Presiden Republik

Abu-abu yang telah di bagi kedalam beberapa sequence.

Film merupakan merupakan bidang kajian yang sangat relevan

bagi analisis srtuktural atau semiotika. Film umumnya dibangun oleh banyak

tanda-tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang

diharapkan. Yang penting dalam film adalah gambar dan suara (kata yang

diucapkan, ditambah dengan suara – suara lain yang serentak mengiringi

gambar-gambar) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting dalam

film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis yakni tanda-tanda yang

menggambarkan sesuatu.

Dalam menganalisis teks berbentuk gambar bergerak atau moving

picture yang sering digunakan adalah teori tentang The Codes of Television

(50)

peristiwa yang digambarkan dalam sebuah gambar bergerak memiliki

kode-kode sosial sebagai berikut :

1. Level Realitas yang meliputi appearance (penampilan), dress (kostum),

make up (riasan), environment (lingkungan), behavior (prilaku), speech

(cara berbicara), gesture (gerakan) dan exspression (ekspresi).

2. Level Representasi yang meliputi camera (kamera), lighting

(pencahayaan), music (musik) dan sound (suara). Serta kode representasi

konvensional yang terdiri dari narative (naratif), conflict (konflik),

caracter (karakter), action (aksi), dialogue (percakapan), seting (layar),

dan casting (pemilihan pemain).

3. Level Ideologi yang meliputi narrative (naratif), conflict (konflik),

character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (layar) dan

casting (pemeran) (Fiske, 1987: 4)

Semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari

sistem tanda, ilmu tentang tanda, bagaimana makna dibangun dalam teks

media, atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam

masyarakat yang mengkonsumsi makna (Fiske, 2004: 282).

Dalam teori semiotika, pokok studinya adalah tanda atau

bagaimana cara tanda-tanda itu bekerja juga dapat disebut semiologi.

Tanda-tanda itu hanya mengemban arti pada dirinya sendiri, dengan kata lain jika

diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, dan kalimat tidak

memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda – tanda itu hanya mengemban arti

(51)

menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signified) sebagai

konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Segala sesuatu memiliki

system tanda, dapat dianggap teks. Contohnya di dalam film, majalah,

televisi, iklan, brosur, koran, atau novel.

2.2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual

Semiotika adalah studi mengenai tanda dan cara tanda-tanda

tersebut bekerja, kedua kata tersebut memiliki definisi yang sama, walaupun

penggunaan salah satunya biasanya menunjukan mengenai pemikiran

penggunanya.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana pesan

kritik sosial dalam film Presiden Republik Abu-abu ini. Maka dari itu,

peneliti menggunakan model John Fiske sebagai teori pendukung dalam

menganalisis representasi pesan kritik sosial dalam film Presiden Republik

Abu-abu.

Terdapat sequence yang memunculkan pesan kritik sosial dalam

film Presiden Republik Abu-abu ini dengan konsepsi pemikiran John Fiske.

The Codes Of Television yang dikaji oleh John Fiske antara lain membahas

pertandaan dan makna dari sistem tanda, ilmu tentang tanda, dan bagaimana

makna dibangun dalam teks media, atau studi tentang bagaimana tanda dari

jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna dalam

suatu objek yang peneliti akan teliti. Dari peta John Fiske di atas diadaptasi

(52)

dan ini dipahami oleh seseorang, dan ini memiliki efek di benak penggunanya

(interpretant).

Fiske berpendapat bahwa realitas adalah produk pokok yang dibuat oleh

manusia. Dari ungkapan tersebut diketahui bahwa Fiske berpandangan apa

yang ditampilkan di layar kaca, seperti film, adalah merupakan realitas sosial.

Semiotika merupakan bagian dari cultural studies dimana salah

satu substansinya adalah ideologi. Teori ideologi merupakan teori yang

berkaitan dengan penelitian semiotika dalam film dukumenter Presiden

Republik Abu-abu ini. Teori – teori ideologi menekankan bahwa semua

komunikasi dan makna memiliki dimensi sosial politik, dan bahwa kedua hal

tersebut tidak dapat dipahami di luar konteks sosial. Ideologi selalu bekerja

menguntungkan pemegang kuasa, bagi kelas – kelas yang memiliki kuasa

mendominasi produksi dan distribusi tidak hanya barang, tetapi pemikiran

dan makna.

“Bukan kesadaran yang menentukan keadaan manusia, akan tetapi

keadaan (sosial) yang menentukan kesadaran manusia.” (Marx dalam Storey,

2001). Pernyataan tersebut menggambarkan bagaimana ideologi beroperasi;

terciptanya distorsi realita atau kesadaran palsu. Ideologi berhubungan

dengan tema-tema besar seperti pandangan dunia (worldview) dan sistem

kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat. Meskipun demikian

keberlangsungan masyarakat (social order) tidaklah bebas nilai, melainkan

dikompetisikan dan dinegosiasikan antara idelogi dominan dengan ideologi

(53)
[image:53.595.94.525.160.490.2]

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran Penulisan

Sumber: Peneliti (2014) Representasi Pesan Kritik Sosial

Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu

Kode – Kode Televisi John Fiske

Level Realitas

Analisis

(54)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah melakukan analisis data yang didapat dalam penelitian, kemudian

diuraikan pada Bab IV berupa hasil penelitian dan pembahasan, maka pada Bab

ini peneliti dapat memberikan kesimpulan dan saran, kesimpulan dan saran perlu

diberikan agar menjadi masukan perbaikan dalam ilmu pengetahuan, secara

spesifik keilmuan bidang ilmu komunikasi, agar terciptanya perbaikan dan

perubahan menuju kearah yang lebih baik.

5.1 Kesimpulan

Setelah peneliti menganalisis tiga kategori sequence yaitu sequence prolog,

ideological content dan epilog dengan jumlah sequence sebanyak enam sequence

dalam film dokumenter Presiden Republik Abu-abu, peneliti menemukan untuk

mrnggambarkan kritik sosial dalam film dillakukan dengan memadukan

kode-kode dalam level relaitas, level representasi lalu dengan penggambungan

keduanya maka menghasilkan level ideologi yangmuncul.

Dari tiga kategori sequence yang diteliti, maka penggambaran perbudakan

pada level realitas, level representasi dan level ideologi tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Pada Level Realitas, Dalam film dokumenter Presiden Republik Abu –

abu, Ricardo Hutahean menjadi inti alur jalannya cerita. Ricardo Hutahean

(55)

permasalahankependudukan di Kampung Beting sehingga warga

Kampung Beting sulit untuk mendapatkan akses kesehatan, pendidikan

dan surat – surat berharga salah satunya Kartu Tanda Penduduk

(KTP).Sehingga warga membentuk sebuah Forum Bersama Penggugat

Kampung Beting(FOMAGAT) forum ini bertujuan untuk menyampaikan

ketidak puasannya terhadap pemerintah tentang permasalahan ke

pendudukan di kawasan Kampung Beting.

2. Pada Level Representasi, akibat di anggap sebagai warga ilegal sosok

Ricardo Hutahean muncul yang merupakan penggiat masalah sosial di

kawasan abu – abu Kampung Beting merupakan sosok yang berjuang

untuk mengubah pola pikir masyarakat di daerah yg terkenal keras ini. Pria

berusia 37 tahun ini kemudian berupaya memberikan kemudahan akses

pendidikan melalui program informal seperti bimbingan belajar,

pendidikan anak usia dini, dan kursus gratis.

3. Pada Level Ideologi, Selain menganalisis melalui The Codes of Television

John Fiske, peneliti juga menghubungkan pesan film dokumenter Presiden

Republik Abu – abu ini dengan Teori Ideologi Hegemoni Antoni Gramsci

yang menekankan bahwa karena kondisi – kondisi sosial material mereka

yang berlawanan dengan cara berpikir dominan, sehingga memunculkan

perlawanan terhadap ideologi dominan.

4. Representasi Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter Presiden Republik

Abu – abu,Ricardo Hutahen menjadi sebagai tokoh masyarakat yang

(56)

Film merupakan salah satu saluran media massa yang fungsinya adalah

sebagai pengirim pesan kepada penontonnya, pada zaman seperti sekarang ini

film merupakan salah satu alat penyampain pesan yang cukup efektif, dimana dari

segi penyampaiannya di ceritakan kedalam sebuah cerita fiktif atau nyata, namun

di balik semua cerita tersebut terdapat pesan – pesan khusus yang melekat pada

film tersebut, dan biasanya bila melalui ceita film sering terjadi ikatan yang

membawa emosi penonton untuk masuk kedalam cerita film tersebut. Seperti

contoh pada film dokumenter Presiden Republik Abu – abu ini penulis

menemukan pesan – pesan kritik sosial entah itu yang implisit ataupun yang

eksplisit, namun disini penulis dapat menangkap secara jelas makna – makna

kritik sosial dalam film dokumenter Presiden Republik Abu – abu.

Film dokumenter Presiden Republik Abu – abu secara keselutuhan

berusaha menyampaikan makna perjuangan warga Kampung Beting di tengah

keterbatasan untuk mendapatkan hak – hak sebagai warga negara.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Bagi Universitas

1. Analisis semiotik merupakan sebuah analisis yang tepat untuk

meneliti sebuah komunikasi yang banyak dibangun oleh tanda – tanda,

dalam hal ini misalnya komunikasi massa yang berbentuk film. Oleh

karena itu, penelitian mengenai kedalaman makna serta tanda

sepatutnya perlu dikembangkan kepada mahasiswa, sehingga

(57)

media komunikasi massa (film). Sehingga mahasiswa pada akhirnya

mampu memberikan kontribusi yang baik bagi perkembangan

perfilman di Indonesia.

2. Peneliti berharap pada program studi agar dapat diadakan suatu forum

unt

Gambar

Penelitian TerdahuluTabel 2.1
gambarkan di
Gambar 2.1

Referensi

Dokumen terkait