Menikah
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
Danny Pramita Arthasari
106070002223
FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 6 Desember 2010 Sidang Munaqasyah
Dekan/ Pembantu Dekan/
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 522 NIP.19561223 198303 2 001
Anggota :
Neneng Tati Sumiati, M.Si,Psi Dra. Netty Hartati, M.Si
NIP. 19730328 200003 2003 NIP. 19531002 198303 2001
S. Evangeline I. Suaidy, M.Si,Psi NIP. 150411217
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
Danny Pramita Arthasari NIM: 106070002223
Di bawah bimbingan:
Pembimbing I
Dra. Netty Hartati, M.Si 19531002 1983 2001
Pembimbing II
S. Evangeline I. Suaidy, M.Si. Psi 150411217
FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
(C) Danny Pramita Arthasari. (D) 58 Halaman + Lampiran.
(E) Hubungan antara Trait Kepribadian Big Five Factors dengan Forgiveness
pada Orang yang Menikah.
(F) Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Untuk melihat hubungan antara trait kepribadian neuroticsm dengan
forgiveness pada orang yang menikah.
2. Untuk melihat hubungan antara trait kepribadian extraversion dengan
forgiveness pada orang yang menikah.
3. Untuk melihat hubungan antara trait kepribadian agreeableness dengan
forgiveness pada orang yang menikah.
4. Untuk melihat hubungan antara trait kepribadian openess dengan
forgiveness pada orang yang menikah.
5. Untuk melihat hubungan antara trait kepribadian conscientiousness
dengan forgiveness pada orang yang menikah.
Memaafkan seseorang yang paling kita sayangi terutama pasangan kita yaitu suami-istri kita merupakan hal yang tidak mudah. Apalagi kita sebagai manusia memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Penelitian pada kali ini membagi kepribadian seseorang dalam lima faktor, yaitu neuroticsm, extraversion, agreeableness, openess, dan conscietiousness yang memerlukan pasrtisipan pasangan menikah yang memiliki umur pernikahan 1 - 5 tahun dimana pada masa itu merupakan masa penyesuaian dalam pernikahan. Dengan mengangkat variabel dan faktor-faktor diatas maka dapat terlihat bahwa seseorang pun akan berbeda dalam hal memaafkan. Pertentangan hasil penelitian terdahulu atas beberapa faktor juga menjadi alasan peneliti mengangkat faktor tersebut dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara trait kepribadian big five factors dengan
forgiveness pada pasangan menikah.
Penelitian kuantitatif dengan studi korelasional ini melibatkan 100 orang responden. Tekhnik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan
purposive sampling. Alat ukur dalam penelitian big five personality ini menggunakan IPIP – NEO yang dibuat oleh Lewis Goldberg yang terdiri dari 100 item pernyataan. Dan alat ukur dalam penelitian forgiveness ini menggunakan TRIM yang dibuat oleh McCullough yang terdiri dari 12 item pernyataan.
Pada penelitian ini peneliti membagi alat ukur kepribadian kedalam lima dimensi. Sehinga terdapat nilai alpha cronbach pula dalam setiap dimensinya. Pada traitneuroticsm memiliki nilai alpha cronbach sebesar 0,862, pada trait extraversion memiliki nilai alpha cronbach sebesar 0,810, kemudian pada
trait agreeableness memiliki nilai alpha cronbach sebesar 0,736, lalu pada
trait openess memiliki nilai alpha cronbach sebesar 0,811, dan pada trait
vi
big five dengan forgiveness. Pada Indeks signifikansi pada trait neuroticsm
sebesar 0,099 > 0,05 maka disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara trait neuroticsm dengan forgiveness pada pasangan menikah. Kemudian indeks signifikansi pada trait extraversion sebesar 0,005 < 0,05 maka disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara trait extraversion dengan forgiveness pada pasangan menikah. Lalu indeks signifikansi pada trait agreeableness sebesar 0,016 < 0,05 maka disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara trait agreeableness dengan
forgiveness pada pasangan menikah. Lalu indeks signifikansi pada trait openess sebesar 0,024 < 0,05 maka disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara trait openess dengan forgiveness pada pasangan menikah. Dan indeks signifikansi pada trait conscientiousness sebesar 0,066 > 0,05 maka disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara trait conscientiousness dengan forgiveness pada pasangan menikah.
Penelitian ini berbeda hasilnya dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penulis menyarankan untuk penelitian selanjutnya untuk melakukan penelitian dalam cakupan populasi yang lebih luas lagi. Selain meyertakan aspek lain yang berkaitan dengan kedua variabel yang mungkin dapat menjelaskan hasil penelitian yang tidak signifikan. (G) Daftar bacaan : 23 bacaan; 19 buku + 4 internet
Halaman Judul
Lembar Pengesahan Pembimbing ... ii
Lembar Pengesahan Panitia Ujian ... iii
Lembar Orisinalitas ... iv
Abstrak ... v
Kata Pengantar ... vii
Daftar Isi ... ix
Daftar Tabel ... xii
Daftar Bagan ... xiii
Daftar Lampiran ... xiii
BAB 1 Pendahuluan... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9
1.2.1 Pembatasan Masalah ... 9
1.2.2 Perumusan Masalah ... 9
I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 10
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 10
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 10
1.4 Sistematika Penulisan ... 10
BAB 2 Kajian Pustaka ... 13
2.1 Forgiveness... 13
2.1.1 Definisi Forgiveness ... 13
2.1.2 Dua Aspek yang Mendasari Forgiveness... 14
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seseorang untuk Memaafkan... 21
2.2.3 Ciri-Ciri Trait Kepribadian Big Five Factors ... 26
2.3 Kerangka Berfikir... 32
2.4 Hipotesis Penelitian ... 37
BAB 3 Metode penelitian ... 38
3.1 Pendekatan Penelitian ... 38
3.2 Populasi dan Sampel ... 38
3.2.1 Populasi ... 38
3.2.2 Sampel dan Tekhnik Pengambilan Sampel... 38
3.3 Variabel Penelitian ... 39
3.3.1 Definisi Konseptual Variabel... 39
3.3.2 Definisi Operasional Variabel... 39
3.4 Pengumpulan Data ... 40
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data ... 40
3.4.2 Instrumen Penelitian ... 41
3.4.2.1 Skala Kepribadian Big Five (IPIP-NEO)... 3.4.2.2 Skala Forgiveness (TRIM)... 3.5 Uji Instrumen ………... 43
3.5.1 Uji Validitas Skala ………... 43
3.5.2 Uji Reliabilitas Skala………... 44
3.6 Prosedur Penelitian ... 44
3.7 Teknik Analisis Data ... 45
BAB 4 Hasil Penelitian ...……….………... 46
4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ………... 46
4.1.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 46
4.3 Hasil Uji Hipotesis ... 52
BAB 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran ... 56
5.1 Kesimpulan ………... 56
5.2 Diskusi ………... 57
5.3 Saran Penelitian Lanjutan………... 60
Daftar Pustaka ... 62 Lampiran
Tabel 2.2 Ilustrasi Kerangka Berfikir dalam Bagan... Tabel 3.1 Skor untuk Pernyataan Positif dan Negatif... Tabel 3.2 Blue Print Trait Kepribadian Big Five... Tabel 3.3 Blue Print Forgiveness... Tabel 4.1 Jumlah Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... Tabel 4.2 Penyebaran Skor Forgiveness pada Laki-Laki... Tabel 4.3 Penyebaran Skor Forgiveness pada Perempuan... Tabel 4.4 Penyebaran Skor Trait Big Five Factors pada Laki-Laki... Tabel 4.5 Penyebaran Skor Trait Big Five Factors pada Perempuan... Tabel 4.6 Uji Korelasi Trait Big Five Factors dengan Forgiveness...
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Instrumen Penelitian Try Out. Lampiran 2 : Instrumen Penelitian Fieldtest.
Lampiran 3 : Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Try Out Skala Trait Big Five Factors
Lampiran 4 : Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Fieldtest Skala Forgiveness.
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang
berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Menurut UU RI No. 1 tahun 1974 (dalam Dewi, 2006) pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini disebabkan karena hubungan yang baik dan harmonis suami dan istri tidaklah terjadi begitu saja, tetapi memerlukan usaha yang besar untuk mencapai keserasian dalam kedua belah pihak.
Hubungan yang baik dan harmonis dalam sebuah pernikahan akan
diperlukan penyesuaian secara terus-menerus. Setiap pernikahan, selain cinta juga
diperlukan saling pengertian yang mendalam, seperti yang dikatakan Elizabeth
Hurlock (2002) bahwa penyesuaian pernikahan merupakan salah satu masalah yang paling sulit yang harus dialami setiap pasangan. Pada masa inilah proses penyesuaian yang memerlukan pengertian yang mendalam terjadi antar individu dalam pernikahan. Hal ini akan semakin sulit seiring dengan banyaknya dinamika yang harus dihadapi oleh masing-masing individu tersebut dalam menjalani sebuah proses kehidupan rumah tangga.
Selama tahun-tahun pertama dan kedua pernikahan pasangan suami-istri biasanya harus melakukan penyesuaian satu sama lainnya terhadap anggota keluarga masing-masing, dan teman-temannya (Hurlock, 2002). Hal ini juga
diperkuat dengan hasil survey yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 26-28 april 2010 dengan membagikan kuesioner ke 100 pasangan yang menikah bahwa 49 % pasangan menikah memiliki penyesuaian yang lama terhadap pasangannya. Hal ini juga diperkuat dengan teori bahwa pada proses penyesuian ini dapat timbul ketegangan emosional diantara pasangan pernikahan. Harapan yang berlebihan tentang tujuan dan hasil pernikahan sering membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab pernikahan. Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap orang-orang sekitar
peneliti sebelumnya ditemukan alasan mengapa pada periode awal perkawinan
merupakan masa penyesuaian, kemudian hasil wawancara juga ditemukan bahwa
perempuan lebih sulit untuk memaafkan daripada laki-laki. Awal pernikahan
merupakan masa-masa yang penuh dengan kejutan, yang di dalamnya terdapat
banyak krisis atau masalah-masalah yang dihadapi, perubahan-perubahan sikap
atau perilaku masing-masing pasangan pun mulai tampak. Ada juga yang
mengatakan bahwa masa-masa awal perkawinan pengalaman bersama belum
banyak. Ini diperkuat dengan hasil survey yang dilakukan peneliti bahwa dari 100
orang menyatakan 41% penyesuaian yang sulit terjadi terjadi pada 1 tahun
pernikahan. Hal ini jika diperkuat dengan adanya teori bahwa pada tahun-tahun pertama perkawinan merupakan masa rawan, bahkan dapat disebut sebagai era
kritis karena pengalaman bersama belum banyak (dalam Hurlock, 2002). Menurut
Clinebell & Clinebell, 2005 dalam Anjani, 2006), periode awal perkawinan
merupakan masa penyesuaiandiri, dan krisis muncul saat pertama kali memasuki
Di dalam mengalami penyesuaian para pasangan menganggap bahwa pada
masa ini banyak muncul hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan seperti pada
saat masa pacaran. Umumnya para pasangan berharap, dengan berjalannya waktu
akan membuat pasangan saling mengerti dan memahami satu sama lain dan lebih
mengetahui apa yang diharapkan dari perkawinan yang dijalani. Namun
kenyataanya tidaklah demikian, sehingga konflik itu akan muncul pada periode
awal pernikahan.
Terjadinya konflik pada awal sebuah pernikahan tersebut sering terjadi
akibat belum adanya penyesuaian yang terjadi pada pasangan suami-istri. Konflik
tersebut akan terjadi jika antara harapan dan kenyataan yang dialami pasangan
tidak berimbang. Hal ini juga diperkuat dengan hasil survey yang telah dilakukan
oleh peneliti bahwa sebanyak 37 % konflik yang terjadi dalam sebuah pernikahan
adalah bahwa adanya harapan dalam sebuah keluarga mengenai terpenuhinya
kebutuhan ekonomi mereka tetapi kenyataannya mereka mengalami kesulitan
dalam masalah ekonomi. Konflik yang terjadi pada pasangan menikah tidak hanya
mengenai masalah ekonomi saja, tetapi juga masalah anak-anak mereka dan
masalah pekerjaan pasangannya. Dengan adanya konflik-konflik yang sering terjadi pada pasangan menikah tersebut, pastinya pasangan tersebut akan diajarkan untuk bisa memaafkan pasangannya dalam setiap konflik yang terjadi jika kehidupan keluarganya akan tetap utuh.
konsep yang berbeda tentang forgiveness. Namun forgiveness merupakan sesuatu yang sulit dilakukan karena harus melibatkan dua faktor, yakni harus menghilangkan motivasi membalas dendam dan menghilangkan motivasi untuk menjauhi orang yang menyakiti (McCullough, 1999 dalam Rusdi, 2009), karena tidak cukup dikatakan forgiveness apabila hanya menghilangkan perasaan negatif saja (menghilangkan perasaan untuk balas dendam atau menghindari pelaku), namun juga harus mengembalikan perasaan positif (mengingat masa-masa indah yang pernah dilakukan terhadap pelaku kejahatan).
Kebanyakan hasil dari pikiran mereka adalah mencoba untuk mengungkapkan forgiveness dapat menjadi suatu pertolongan yang sangat berguna dalam membantu mereka yang telah terluka fisik dan psikis, menyembuhkan sebuah luka hati akibat dari sakit hati yang telah dilakukan oleh pasangannya, dan meringankan rasa sakit yang telah mereka terima sebagai akibat dari perilaku orang lain yang telah berbuat salah kepada mereka.
penyataan tanggung jawab tidak bersyarat atas kesalahan dan sebuah komitmen untuk memperbaikinya.
McCullough dkk. (1997) juga mengemukakan bahwa memaafkan dapat dijadikan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Hal ini juga diperkuat dengan survey yang dilakukan oleh peneliti bahwa sebanyak 76 % mereka yang memberikan maaf akan merasa lebih tenang hal ini bukan hanya kepada pasangannya tetapi juga untuk orang lain. (Worthington dan Wade,1999 dalam Rusdi, 2009) menyetujui pendapat yang mengatakan bahwa secara kesehatan memaafkan memberikan keuntungan psikologis, dan memaafkan merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan seseorang dari kemarahannya dan rasa bersalah. Selain itu, memaafkan dapat mengurangi marah, depresi, cemas dan membantu dalam penyesuaian perkawinan (Hope,1987). Memaafkan dalam hubungan interpersonal yang erat juga berpengaruh terhadap kebahagian dan kepuasan hubungan (Karremans dkk, 2003 ; Fincham, dan Beach, 2002 dalam Rusdi, 2009).
Penelitian membuktikan bahwa kecenderungan seseorang untuk memaafkan memiliki korelasi baik secara positif ataupun negatif terhadap sekumpulan luas variabel seperti personality traits. Sehubungan dengan korelasi terhadap personality traits, maka (Mc.Cullough 1998 dalam Maltby, dkk, 2008). meneliti kaitannya dengan trait kepribadian di dalam Big Five Factors yang terdiri dari 5 buah dimensi, antara lain Neuroticism, Opennes to Experience, Agreeableness, Extraversion, dan Conscientiousness.
Domain Neuroticism dapat didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman.
Secara emosional mereka labil, seperti juga teman-temannya yang lain, mereka
juga mengubah perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan. Seseorang yang
memiliki tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat neuroticism
yang tinggi. Mereka juga memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan
berkomitmen, mereka juga memiliki tingkat self- esteem yang rendah. Individu yang memiliki nilai atau skor yang tinggi di neuroticism adalah kepribadian yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan
emotionally reactive.
Domain Opennes to Experience dapat didefinisikan mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi, menjadi sangat fokus
dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas.
Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness yang rendah memiliki nilai kebersihan, kepatuhan, dan keamanan bersama, kemudian skor openess yang rendah juga menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit,
konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan.
Domain Extraversion dapat didefinisikan untuk memprediksi banyak tingkah laku sosial. Menurut penelitian, seseorang yang memiliki faktor
extraversion yang tinggi, akan mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang dibandingkan dengan seseorang dengan tingkat
extraversion yang rendah. Dalam berinteraksi, mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol dan keintiman. Peer-group mereka juga dianggap sebagai orang-orang yang ramah, fun-loving, affectionate, dan talkative.
Domain Agreeableness dapat didefinisikan untuk mengindikasi seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik
dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Berdasarkan value survey, seseorang yang memiliki skor agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki value suka membantu, forgiving, dan penyayang.
Domain Conscientiousness untuk mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti
peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Di sisi
negatifnya trait kepribadian ini menjadi sangat perfeksionis, kompulsif,
Hasil penelitian membuktikan bahwa kecenderungan seseorang untuk memaafkan memiliki korelasi yang cukup erat dengan dua buah dimensi Big Five, yaitu Neuroticism dan Agreeableness, dimana orang-orang Agreeableness (ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik) memiliki
tingkat emosi yang lebih stabil, lebih cenderung mudah memaafkan perbuatan menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap mereka. Dan bagi orang-orang yang memiliki kepribadian Neuroticism (mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan emotionally reactive), lebih cenderung sulit memaafkan perbuatan menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap mereka. (Mc.Cullough, dkk). Memaafkan tidak dapat menghilangkan perasaan sakit, namun setelah memaafkan rasa sakit itu dapat ditahan. Setelah memaafkan, individu menyadari bahwa kemarahan dan kebencian dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk (Enright, 2001 dalam McCullough, 2001).
Pada sisi lain, ada mitos yang mengatakan bahwa dengan memberi maaf maka beban psikologis yang ada akan hilang. Pada kenyataannya banyak orang yang memberi maaf kepada orang lain kemudian kecewa dengan tindakan tersebut. Hal ini terjadi karena permintaan maaf sering tidak ditindaklanjuti dengan perilaku yang konsisiten dengan permintaan maaf tersebut.
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari kesimpang siuran persepsi dan lebih terarahnya pembahasan, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :
a) Kepribadian Big Five adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima traits kepribadian tersebut adalah
extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuoriticism, openness to
experiences.
b) Berdasarkan The Big Five Factors dengan forgiveness, hal ini menarik untuk diteliti mengingat Forgiveness dalam penelitian ini adalah sejauh mana individu mengurangi motivasi balas dendam (reduction in revenge motivation) dan mengurangi motivasi menghindari pelaku (reduction of avoidance). (McCullough, 1998).
c) Sampel dalam penelitian ini adalah orang-orang menikah yang berada di
Tangerang Selatan.
1.2.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut:
a) “Apakah ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian neuroticsm
b) “Apakah ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian extraversion
dengan forgiveness pada orang yang menikah?”
c) “Apakah ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian agreeableness
dengan forgiveness pada orang yang menikah?”
d) “Apakah ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian openess
dengan forgiveness pada orang yang menikah?”
e) “Apakah ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian
conscientiousness dengan forgiveness pada orang yang menikah?” 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :
a) Untuk melihat hubungan antara trait kepribadian neuroticsm dengan
forgiveness pada orang yang menikah.
b) Untuk melihat hubungan antara trait kepribadian extraversion dengan
forgiveness pada orang yang menikah.
c) Untuk melihat hubungan antara trait kepribadian agreeableness dengan
forgiveness pada orang yang menikah.
d) Untuk melihat hubungan antara trait kepribadian openess dengan forgiveness
pada orang yang menikah.
e) Untuk melihat hubungan antara trait kepribadian conscientiousness dengan
1.3.2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari dilakukannya penelitian ini antara lain sebagai berikut : a) Teoritis
Memberikan sumbangan yang bermanfaat di dalam dunia psikologi untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan forgiveness, trait
kepribadian dan relasi berpasangan. b) Praktis
Mendorong minat teman-teman lainnya yang berkecimpung di bidang psikologi untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan forgiveness, dan membantu seseorang dalam konseling pernikahan, psikiater pernikahan, dan menemukan problem solving pada orang-orang yang menikah, mengingat hal tersebut masih sangat baru sehingga masih banyak hal yang dapat digali mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi forgiveness.
1.4. Sistematika Penulisan
Laporan penelitian (skripsi) ini terdiri dari lima bab. Perincian setiap bab adalah sebagai berikut :
BAB 1 Pendahuluan
BAB 2 Kajian Pustaka
Pada bab ini penulis menguraikan sejumlah konsep yang berkaitan dengan teori tentang trait kepribadian Big Five Factors, danteori tentang forgiveness.
BAB 3 Metodologi Penelitian
Pada bab ini berisi penguraian mengenai, variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, tekhnik pengambilan dan sampel, desain penelitian, instrumen penelitian, tekhnik pengambilan data dan tekhnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.
BAB 4 Presentasi dan Analisa Data
Pada bab ini berisi menguraikan mengenai pengolahan semua data yang terkumpul dari penelitian ini. Data yang terkumpul meliputi gambaran umum subjek penelitian dan hubungan trait kepribadian big five factors dengan
forgiveness pada pasangan menikah yang dijadikan subjek penelitian dalam penelitian ini.
BAB 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Pada bab ini menguraikan mengenai kesimpulan yang berisi jawaban pada terhadap permasalahan penelitian. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisis dan interpretasi data yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Kemudian mengenai diskusi akan dibahas hasil penelitian. Selain itu juga akan diberikan pembahasan mengapa suatu hipotesis penelitian ditolak atau diterima, serta keterbatasan keterbatasan penelitian. Dan yang terakhir pada bagian saran berisi saran - saran teoritis untuk keperluan penelitian selanjutnya.
2.1.1. Definisi Forgiveness
Forgiveness merupakan sikap seseorang yang telah disakiti untuk tidak melakukan perbuatan balas dendam terhadap orang yang menyakiti, tidak adanya
keinginan untuk menjauhi pelaku. Sebaliknya ada keinginan adanya keinginan
untuk berdamai dan berbuat baik terhadap orang yang menyakiti, walaupun orang
yang telah menyakiti telah berbuat yang menyakitkan terhadap kita. (McCullough,
1997, dalam McCullough, Fincham, Tsang, 2003).
Forgiveness merupakan kesediaan untuk menanggalkan kekeliruan masa lalu yang menyakitkan, tidak lagi mencari-cari nilai dalam amarah dan kebencian,
dan menepis keinginan untuk menyakiti orang lain atau diri sendiri. Pendapat
senada dikemukakan oleh McCullough dkk. (1997) yang mengemukakan bahwa
forgiveness merupakan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian
terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi
hubungan dengan pihak yang menyakiti.
Adapun McCullough (1998) mendefiniskan forgiveness adalah:
“The reduction in avoidance motivation and revenge motivation”
Yaitu pengurangan motivasi menjauhi dan balas dendam terhadap orang yang
menyakiti
Enright (dalam McCullough dkk., 2003) mendefinisikan forgiveness
sebagai berikut:
“The overcoming of negative affect and judgment toward the offender, not by denying ourselves the right to such affect and judgment, but by endeavoring to view the offender eith compassion, benevolence, and love”
Yaitu sebagai sikap untuk mengatasi hal- hal yang negatif dan penghakiman
terhadap orang yang telah menyakiti dengan tidak menyangkal rasa sakit itu
sendiri tetapi dengan rasa kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.
Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemaafan
adalah upaya membuang semua keinginan pembalasan dendam dan sakit hati
yang bersifat pribadi terhadap pihak yang bersalah atau orang yang menyakiti dan
mempunyai keinginan untuk membina hubungan kembali.
2.1.2. Dua Aspek yang Mendasari Forgiveness
Terdapat dua aspek yang selalu hadir dalam setiap definisi forgiveness, yaitu berkurangnya keinginan untuk menghindari orang yang telah menyakiti kita dan
berkurangnya keinginan untuk membalas dendam. Menurut Mccullough et al,
(1998) terdapat dua aspek sistem motivasional yang menentukan respons
seseorang ketika mengalami transgresi interpersonal, yaitu perasaan disakiti
(feeling of hurts) dan amarah. Perasaan disakiti merupakan persepsi dan transgresi yang memotivasi seseorang untuk menghindari orang yang melakukan transgresi
tersebut, baik secara fisik maupun psikologis sedangkan amarah merupakan emosi
yang menyebabkan seseorang ingin membalas dendam.
Ketika seseorang menyatakan bahwa ia tidak dapat memaafkan orang lain
atas suatu peristiwa atau tindakan yang menyakitkan, persepsinya terhadap
peristiwa atau tindakan tersebut akan menstimulasi kedua aspek tadi ke arah
destruksi hubungan yang dijalani bersama pasangannya tersebut, yaitu dengan
adanya motivasi yang tinggi untuk menghindar dan motivasi yang tinggi untuk
membalas dendam atau melihat orang yang menyakitinya tadi memperoleh petaka
(McCullough et al, 1998). Sebaliknya ketika ia menunjukan indikasi bahwa ia
telah memaafkan orang lain, persepsi akan orang tersebut beserta tindakan atau
peristiwa yang menyakitkan yang telah dilakukan oleh pasangannya tersebut tidak
lagi menciptakan motivasi untuk menghindar maupun membalas dendam,
sehingga orang yang memaafkan tadi akan mengalami tranformasi motivasional
yang bersifat konstruktif.
a. Penghindaran (Avoidance)
(Worthington,1998) menganalogikan transgresi dengan pengkondisian
klasik (classical conditioning) terhadap seorang tikus dalam penelitian eksperimental. Dalam eksperimen, tikus tersebut membuat sebuah nada
(stimulus terkondisi). Tikus tadi akan mengasosiakan nada dengan sengatan
listrik. Asosiasi tersebut dapat terjadi dalam beberapa kali percobaan jika
sengatan listrik relatif lembut.
Setelah tikus terkondisi, akan terjadi proses sebagai berikut ketika ia
mendengar nada yang diasosiasikan dengan sengatan listrik. Pertama, ia akan
menciutkan tubuhnya dan mengejang. Kemudian, tubuhnya akan
mengekskresi corticosteroid releasing factor dan memberi tanda hipotalamus
agar menstimulasi pitutary untuk melepaskan hormon stress, seperti
glikokortikoid, kortisol, dan lain-lain, dan nenutupi bagian-bagian otak
tertentu dengan berbagai neurotransmitter. Selanjutnya, tikus akan mencoba
untuk kabur jika memungkinkan. Jika tidak dimungkinkan untuk kabur, ia
akan mencoba untuk melakukan perlawanan yang defensif. Apabila
perlawanan tersebut tidak membuahkan hasil, ia akan menunjukan tingkah
laku yang submisif. Reaksi-reaksi semacam ini tidak hanya ditunjukan oleh
tikus, melainkan juga oleh primata, baik yang ditangkarkan maupun yang
hidup di alam liar : mengejang, mengaktifkan sistem stress, menghindar,
bertempur, dan pada akhirnya mungkin menyerah.
Sekarang kita bandingkan dengan individu yang mengalami transgresi
dan belum dapat memaafkan. Pertama, ia mengalami luka, baik yang
disebabkan oleh kritik, kebohongan, ketidaksetiaan, dan sebagainya. Luka ini
sebagai stimulus yang tak terkondisi, sedangkan individu yang melukainya
atau transgresor (dalam penelitian ini berarti pasangan) berperan sebagai
stimulus tak terkondisi. Setelah ia mengalami transgresi, ia tetap bertemu
dengan trangresor. Pertemuan dengan transgresor akan membuatnya cemas,
serupa dengan reaksi tikus yang menciutkan tubuh dan mengejang. Setelah itu
ia akan berusaha untuk menghindari transgresor. Jika penghindaran
transgresor tidak mungkin untuk dilakukan barulah kemarahan, pembalasan,
dan konfrontasi dilancarkan. Apabila kemarahan, pembalasan dan konfrontasi
tersebut merupakan hal yang dianggapnya tidak rasional, destruktif, atau tidak
berguna, individu tadi akan menunjukan tingkah laku yang serupa dengan
tingkah laku submisif yang ditunjukan tikus, yaitu depresi, yang menunjukan
bahwa ia berada dalam posisi yang lemah dan membutuhkan pertolongan.
Secara singkat, ketika seseorang mengalami transgresi, ia akan merasa
cemas untuk bertemu dengan transgresor. Jika ia dapat menghindari
pertemuan tersebut, ia akan melakukan penghindaran. Jika ia harus terpaksa
melakukan kontak dengan transgresor ia akan melakukan pembalasan.
b. Pembalasan (Revenge)
Ketika penghindaran sudah tidak lagi efektif, seseorang dapat menyimpan
dendam yang ada, kemudian membalaskannya. Terdapat beberapa alasan yang
mendasari keputusan seseorang untuk membalas dendam, yaitu diperolehnya
keuntungan praktis maupun materi, mencegah terjadinya persitiwa yang
menyakitkan, menghayati konsekuensi dari luka yang berlangsung dalam
jangka waktu yang lama, mempertahankan harga diri, dan mempertahankan
prinsip moral (Baumeister et al, 1998 dalam Kartika, 2004).
Alasan utama yang menyebabkan seseorang untuk memutuskan balas
dendam kepada orang yang telah menyakitinya adalah dapat diperolehnya
keuntungan praktis maupun material dari orang tersebut. Ketika seseorang
menyakiti orang lain, ia seakan-akan berhutang terhadap orang yang
disakitinya itu. Memaafkan berarti meniadakan hutang tersebut, dan dapat
dilakukan jika pihak yang menyakiti telah menampilkan tingkah laku yang
menguntungkan pihak yang telah disakitinya. Penghilangan hutang juga dapat
dilakukan dengan melakuakn balas dendam. Pembalasan dendam dapat
mendatangkan kepuasan atas dicapainya “keadilan” dan keimbangan.
Disimpannya dendam merupakan “alat” untuk mencegah berulangnya
luka. Peristiwa menyakitkan yang pernah terjadi akan lebih mudah terulang.
Kemungkinan untuk kembali terluka dimasa depan akan diperimbangkan
seseoramg, apapun yang dirasakannya ketika ia dilukai, sehingga ia pun akan
bertanya-tanya, “apakah orang yang menyakiti saya ini akan mengulangi
perbuatannya?” Memaafkan akan meningkatkan peluang berulangnya
peristiwa yang menyakitkan. Dengan memutuskan untuk tidak memaafkan,
seseorang dapat berharap untuk mempengaruhi pihak yang menyakitinya agar
tidak mengulangi lagi perbuatan yang telah melukainya. Tidak memaafkan
juga dapat membuat pihak yang telah menyakiti seseorang terus teringat akan
perbuatannya. Memaafkan tidak memungkinkan seseorang unuk membuat
pihak yang telah menyakitinya terus teringat akan perbuatannya, sebab ketika
pemaafan telah terjadi, peristiwa yang menyakitkan tersebut tidak
diungkit-ungkit kembali, dan tidak ada pula rasa bersalah yang dapat diinduksikan
kepada pihak yang telah menyakiti, sehingga dengan memaafkan kontrol
terhadap tingkah lakunya di masa yang akan datang tidak dapat dilakukan.
Dendam juga akan disimpan jika konsekuensi dari luka yang ditorehkan
oleh pihak yang menyakiti ternyata berlangsung untuk jangka waktu yang
panjang. Pemaafan akan sulit timbul jika konsekuensi dari peristiwa
menyakitkan yang dialami berlangsung hingga masa depan. Contohnya, ketika
seorang suami harus kehilangan istri dan anak-anaknya karena mereka
dibunuh, akan sangat sulit baginya untuk memaafkan pembunuhnya, sebab
pembunuhan tersebut telah memusnahkan hubungan antara ia dan keluarganya
untuk selamanya.
Alasan lain disimpannya dendam adalah untuk menjaga harga diri pihak
yang disakiti (Baumister et al, 1998). Banyak peristiwa menyakitkan hyang
dapat mengancam harga diri, sehingga pihak yang menjadi korban dalam
peristiwa tersebut menganggap bahwa memaafkan dapat menyebabkan
mereka kehilangan harga diri. Ketidakinginan akan kehilangan harga diri
tersebut membuat mereka merasa ingin atau butuh mempertahankan citra
bahwa mereka memiliki kekuatan.
Alasan terakhir yang mendasari pilihan seseorang untuk menyimpan
dendam terhadap orang yang telah menyakitinya adalah dijunjungnya standar
moral yang dimiliki. Setiap standar moral akan tidak mengizinkan
dilakukannya tindakan-tindakan tertentu, walaupun tindakan apa yang tidak
diizinkan untuk dilakukan itu dapat berbeda-beda dari satu individu ke
individu yang lain. Misalnya seseorang dapat mengutuk kekerasan fisik yang
dilakukan pasangan terhadap dirinya, sedangkan yang dikutuk oleh orang lain
adalah perselingkuhan. Memaafkan dapat menimbulkan kesan bahwa
seseorang telah mengkhianati standar moralnya sendiri. Selain itu, pemaafan
yang berulang dapat menimbulkan ekspektasi dari pihak yang menyakiti
bahwa tindakan yang dilakukannya akan selalu di maafkan, sehingga prinsip
yang mendasari standar moral, yang mengutuk perbuatan yang menyakitkan
itu akan kehilangan kekuatan moralnya. Misalnya,jika seseorang selalu
memaafkan perselingkuhan yang dilakukan berulang kali oleh pasangannya,
prinsip kesetiaan yang mengutuk perselingkuhan akan kehilangan
kekuatannya. Ketika kekuatan moral dari suatu prinsip ini terancam, sikap dari
pihak yang menyakiti akan menciptakan perubahan yang substansial.
Seseorang akan sulit memaafkan sebab ia ingin mempertahankan
penghormatan terhadap prinsip yang dijunjungnya. Jika pihak yang
meyakitinya menunjukan penghargaan atas prinsip tersebut dengan mengakui
kesalahan yang diperbuat, beban moral dari pihak yang disakiti akan
berkurang, dan pemaafan pun lebih mudah diberikan. Sebaliknya jika pihak
yang menyakiti menolak untuk mengetahui kesalahan, pihak yang disakiti
akan merasa bahwa ia adalah satu-satunya yang menjunjung prinsip tersebut,
sehingga memberi maaf akan dirasakan sebagai pegkhianatan atas prinsip
yang dijunjungnya.
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seseorang untuk Memaafkan
McCullough, Sandage, Brown, Rachal, Worthington & Hight (1998)
menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi seseorang untuk
memaafkan. Keempat faktor tersebut adalah :
a. Variabel sosial-kognitif
Keinginan seseorang untuk memaafkan tidak muncul begitu saja, tetapi
dipengaruhi oleh banyak hal. Menurut Girard & Mullet, Winner (dalam
McCullough, et al, 1998) perilaku memaafkan dipengaruhi oleh penilaian
korban terhadap pelaku, penilaian korban terhadap kejadian, keparahan
kejadian, dan keinginan untuk menjauhi pelaku (Boon & Sulsky, 1997, dalam
McCullough et al, 1998). Hal lainnya yang mempengaruhi perilaku
memaafkan adalah rumination about the transgression, yaitu kecenderungan untuk terus menerus mengingat kejadian yang dapat menimbulkan kemarahan,
sehingga menghalangi dirinya untuk terciptanya perilaku memaafkan.
Semakin sering korban mengingat kejadian-kejadian yang membuat dirinya
marah, maka akan semakin kuat dorongan untuk membalas dendam dan
menghindari keinginan untuk memaafkan (McCullough et al, 1998).
b. Karakteristik Serangan
Faktor ini berkaitan dengan persepsi dari kadar penderitaan yang dialami
oleh orang yang disakiti serta konsekuensi yang menyertainya. Seseorang
akan lebih sulit untuk memaafkan kejadian-kejadian yang dianggap penting
dan bermakna dalam hidupnya. Misalnya, seseorang akan sulit untuk
memaafkan perilaku perselingkuhan yang dilakukan suaminya dibandingkan
memaafkan perilaku orang lain yang tiba-tiba menyelinap antrian, Girard &
Mullet, Ohbuci, Kameda (dalam McCullough et al, 1998) menyebutkan bahwa
semakin penting dan bermakna suatu kejadian, maka akan semakin sulit bagi
seseorang untuk memaafkan.
c. Kualitas Hubungan Interpersonal (pandangan tentang perkawinan)
Selain hal-hal yang telah jelas dijelaskan sebelumnya, faktor lainnya yang
juga mempengaruhi perilaku memaafkan adalah kedekatan atau hubungan
antara orang yang disakiti dengan pelaku. Penelitian membuktikan bahwa
pasangan akan cenderung memaafkan pasangannya apabila terciptanya
kepuasan dalam perkawinan, kedekatan antara satu sama lainnya dan adanya
komitmen yang kuat (Roloff & Janiszewski, 1989 dalam McCullough at al,
1998).
Menurut Rusbult et al & Van Lange et al (dalam McCullough et al, 1998),
terdapat empat hal yang mempengaruhi diberikannya pemaafan. Pertama,
pasangan akan memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh pasangannya
dikarenakan adanya keinginan untuk tetap menjaga dan memelihara hubungan
perkawinan. Kedua, pasangan yang memiliki komitmen yang kuat dalam
perkawinan akan memiliki orientasi jangka panjang yang jelas yang ingin
dicapai, sehingga kesalahan pasangan akan dinilai sebagai suatu yang harus
dimaafkan untuk dapat mempertahankan hubungan dan komitmen tersebut.
Ketiga, pada pasangan yang memilki komitmen yang kuat dalam perkawinan,
kesalahan pasangan justru menyebabkan hubungan satu sama lainnya semakin
erat dan kokoh. Keempat, adanya kepentingan bersama antara pasangan,
sehingga kesalahan pasangan akan dapat dimaafkan oleh pasangannya.
Selain itu McCullough et al (1998) menambahkan adanya tiga bentuk
hubungan yang berkaitan dengan diberikannya pemaafan. Pertama, selama
menjalani masa perkawinan, adanya pengalaman atau sejarah yang dilalui
bersama, dimana pasangan satu sama lainnya saling berbagi perasaan dan
pikiran, sehingga ketika salah satu pasangan melakukan kesalahan, maka
pasangannya akan dapat memaafkan dengan berempati terhadap kesalahan
yang dilakukan oleh pasangannya. Kedua, adalah kemampuan pasangan untuk
memaknai bahwa peristiwa menyakitkan terjadi untuk kebaikan dirinya.
Ketiga, pasangan yang melakukan kesalahan akan meminta maaf dengan
memperlihatkan rasa penyesalan yang mendalam (secara verbal dan
nonverbal), sehingga pasangannya akan berusaha untuk memaafkan.
d. Faktor Kepribadian
Menurut Mauger, Saxon, Hamill, & Panell, 1996 (dalam McCullough et
al, 1998) menjelaskan bahwa perilaku memaafkan termasuk faktor
Agreeableness dalam The Big Five. Selain itu McCullough et al (1998) menambahkan bahwa empati merupakan salah satu faktor yang memfasilitasi
terjadinya perilaku memaafkan pada orang yang telah disakiti.
Perilaku memaafkan sangat berhubungan dengan kemampuan empati
seseorang (McCullough, 2001), orang-orang yang telah memaafkan pelaku
telah terlebih dahulu mengembangkan kemampuan berempati terhadap
perbuatan pelaku. Dengan berempati terhadap pelaku, maka orang yang telah
disakiti akan memiliki keinginan untuk memperbaiki kembali hubungan
dengan pelaku.
2.2. Kepribadian Big Five Factors
2.2.1. Definisi Kepribadian
Kepribadian adalah bagian dari jiwa yang membangun keberadaan manusia
menjadi satu kesatuan, tidak terpecah belah dalam fungsi-fungsi. Memahami
kepribadian berarti memahami aku, diri, self atau memahami seutuhnya. Hal
terpenting yang harus diketahui berkaitan dengan pemahaman kepribadian adalah
bahwa pemahaman itu sangat dipengaruhi paradigma yang dipakai sebagai acuan
untuk mengembangkan teori itu sendiri.
Personality adalah tingkah laku yang ditampakkan ke lingkungan sosial (kesan mengenai diri yang diinginkan agar dapat ditangkap oleh lingkungan sosial
(Alwisol, 2007). Sedangkan menurut Pervin dan John (2005) kepribadian
mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan
perilaku yang konsisten. Definisi tersebut memiliki arti yang cukup luas yang
membolehkan kita untuk fokus pada banyak aspek yang berbeda pada setiap
orang. Pada waktu yang bersamaan, hal tersebut menganjurkan kita untuk
konsisten pada pola tingkah laku dan kualitas dalam diri orang tersebut yang
diukur secara teratur.
Allport juga mengatakan bahwa kepribadian terletak dibelakang
perbuatan-perbuatan khusus dan di dalam individu (Suryabrata, 2007). Dari apa
yang telah dikemukakan oleh Allport, maka dapat dikatakan bahwa kepribadian
adalah sesuatu yang unik dan khas jadi setiap orang pasti memiliki kepribadian
yang berbeda, tidak ada seorangpun yang memiliki kepribadian yang sama walau
anak kembar sekalipun.
Kemudian masing-masing pakar kepribadian membuat definisi
sendiri-sendiri sesuai dengan paradigma yang mereka yakini dan fokus analisis dari teori
yang mereka kembangkan (Alwisol, 2007). Berikut beberapa contoh definisi
tersebut :
a. Kepribadian adalah organisasi dinamik dalam sistem psikofisiologik
seseorang yang menentukan model penyesuaiannya yang unik dengan
lingkungannya unik dengan lingkungannya (Allport).
b. Kepribadian adalah pola trait-trait yang ada pada diri seseorang (Guilford).
c. Kepribadian adalah seluruh karakteristik seseorang atau sifat umum banyak
orang yang mengakibatkan pola yang menetap dalam merespon suatu situasi
(Pervin).
d. Kepribadian adalah suatu lembaga yang mengatur organ tubuh, yang sejak
lahir sampai mati tidak pernah berhenti terlibat dalam pengubahan kegiatan
fungsional (Murray).
Masing-masing definisi mencoba menonjolkan aspek yang berbeda-beda,
dan disusun untuk menjawab tantangan permasalahan yang berbeda-beda.
Menggabungkan semua teori diatas menjadi satu, yang berarti menggabungkan
semua teori psikologi kepribadian yang sangat melelahkan, disamping itu tidak
ada gunanya karena teori itu justru akan kehilangan aplikasi pragmatisnya
(Alwisol,2007).
Dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah ciri atau karakter yang ada
pada individu secara konsisten baik itu tampak ataupun tidak tampak yang
membedakan antara satu orang dengan orang lainnya.
2.2.2. Definisi Kepribadian The Big Five Factors
Kepribadian Big Five adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor.
Lima trait kepribadian tersebut adalah extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuoriticism, openness to experiences.
Kepribadian Big Five merupakan pendekatan dalam psikologi kepribadian yang mengelompokan trait kepribadian dengan analisis faktor. Dimulai pada
tahun 1960 dan semakin meningkat pada tahun 1980, 1990, dan 2000. Tokoh
pelopornya adalah Allport dan Cattell (Howard S Friedman & Miriam W
Schustack, 2008).
2.2.3 Ciri-ciri Trait Kepribadian Big Five Factors
Kepribadian Big Five adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah
domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor.
Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuoriticism, openness to experiences. Trait-trait dalam domain-domain dari kepribadian Big Five (Costa & McCrae,1997) adalah sebagai berikut :
1. Extraversion (E)
Faktor pertama adalah extraversion, atau bisa juga disebut faktor dominan-patuh (dominance-submissiveness). Faktor ini merupakan dimensi yang penting dalam kepribadian, dimana extraversion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial. Menurut penelitian, seseorang yang memiliki
faktor extraversion yang tinggi, akan mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang dibandingkan dengan seseorang
dengan tingkat extraversion yang rendah. Dalam berinteraksi, mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol dan keintiman. Peer-group mereka juga dianggap sebagai orang-orang yang ramah, fun-loving, affectionate, dan
talkative.
Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik
dengan banyak hal, ambisius, workaholic juga ramah terhadap orang lain.
Extraversion memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan dalam lingkungannya
Extraversion dapat memprediksi perkembangan dari hubungan sosial. Seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang tinggi dapat lebih cepat berteman daripada seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang rendah.
Extraversion mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup, tantangan dan mudah bosan. Sedangkan orang-orang dengan tingkat
ekstraversion rendah cenderung bersikap tenang, menarik diri dari lingkungannya, pemalu, tidak percaya diri, submisif dan pendiam.
2. Agreeableness (A)
Agreebleness dapat disebut juga social adaptibility atau likability yang mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu
mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti
orang lain. Berdasarkan value survey, seseorang yang memiliki skor
agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki
value suka membantu, forgiving, dan penyayang.
Namun, ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan interpersonal
orang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi, dimana ketika berhadapan dengan konflik, self-esteem mereka akan cenderung menurun. Selain itu, menghindar dari usaha langsung dalam menyatakan kekuatan
sebagai usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain merupakan salah
satu ciri dari seseorang yang memiliki tingkat aggreeableness yang tinggi. Pria yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi dengan penggunaan
power yang rendah, akan lebih menunjukan kekuatan jika dibandingkan dengan wanita. Sedangkan orang-orang dengan tingkat agreeableness yang rendah cenderung untuk lebih agresif dan kurang kooperatif.
3. Neuroticism (N)
Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara
emosional mereka labil, seperti juga teman-temannya yang lain, mereka juga
mengubah perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan. Seseorang yang
memiliki tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat
neuroticism yang tinggi. Selain memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan berkomitmen, mereka juga memiliki tingkat self- esteem yang rendah. Individu yang memiliki nilai atau skor yang tinggi di neuroticism adalah kepribadian yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan
memiliki kecenderungan emotionally reactive. 4. Openness (O)
Faktor openness terhadap pengalaman merupakan faktor yang paling sulit untuk dideskripsikan, karena faktor ini tidak sejalan dengan bahasa yang
digunakan tidak seperti halnya faktor-faktor yang lain. Openness mengacu
pada bagaimana seseorang bersedia melakukan penyesuaian pada suatu ide
atau situasi yang baru.
Openness mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi, menjadi sangat fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai
perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Seseorang dengan tingkat openness
yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki nilai imajinasi,
broad mindedness, dan a world of beauty. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness yang rendah memiliki nilai kebersihan, kepatuhan, dan keamanan bersama, kemudian skor openess yang rendah juga menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit, konservatif
dan tidak menyukai adanya perubahan.
Openness dapat membangun pertumbuhan pribadi. Pencapaian kreatifitas lebih banyak pada orang yang memiliki tingkat openness yang tinggi dan tingkat agreeableness yang rendah. Seseorang yang kreatif, memiliki rasa ingin tahu, atau terbuka terhadap pengalaman lebih mudah untuk mendapatkan
solusi untuk suatu masalah.
5. Conscientiousness (C)
Conscientiousness dapat disebut juga dependability, impulse control, dan
will to achieve, yang menggambarkan perbedaan keteraturan dan self discipline seseorang. Seseorang yang conscientiousness memiliki nilai kebersihan dan ambisi. Orang-orang tersebut biasanya digambarkan oleh
teman-teman mereka sebagai seseorang yang well-organize, tepat waktu, dan ambisius.
Conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan
norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Di sisi negatifnya
trait kepribadian ini menjadi sangat perfeksionis, kompulsif, workaholic, membosankan. Tingkat conscientiousness yang rendah menunjukan sikap ceroboh, tidak terarah serta mudah teralih perhatiannya.
Tabel 2.1
Trait Big Five dalam Pervin (2005)
Karakteristik skor tinggi
Skala trait Karakteristik skor
2.3. Kerangka Berfikir
Hubungan yang baik dan harmonis dalam sebuah pernikahan akan
diperlukan penyesuaian secara terus-menerus. Setiap pernikahan, selain cinta juga
diperlukan saling pengertian yang mendalam, seperti yang dikatakan dalam
Elizabeth Hurlock (2002) bahwa penyesuaian pernikahan merupakan salah satu
masalah yang paling sulit yang harus dialami setiap pasangan. Pada masa inilah
proses penyesuaian yang memerlukan pengertian yang mendalam terjadi antar
individu dalam pernikahan. Hal ini akan semakin sulit seiring dengan banyaknya
dinamika yang harus dihadapi oleh masing-masing individu tersebut dalam
menjalani sebuah proses kehidupan rumah tangga.
Di dalam mengalami penyesuaian orang-orang menganggap bahwa pada
masa ini banyak muncul hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan seperti pada
saat masa pacaran. Umumnya individu ini berharap, dengan berjalannya waktu
akan membuat pasangannya saling mengerti dan memahami satu sama lain dan
lebih mengetahui apa yang diharapkan dari perkawinan yang dijalani.
Penelitian membuktikan bahwa kecenderungan seseorang untuk memaafkan
memiliki korelasi baik secara positif maupun negatif terhadap sekumpulan luas
variabel seperti personality traits. Sehubungan dengan korelasi terhadap personality traits, maka Mc.Cullough meneliti kaitannya dengan trait kepribadian
di dalam Big Five Factors yang terdiri dari 5 buah dimensi, antara lain
Neuroticism, Oppeness to Experience, Agreeableness, Extraversion, dan
Conscientiousness.
Domain Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara
emosional mereka labil, seperti juga teman-temannya yang lain, mereka juga
mengubah perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan. Seseorang yang memiliki
tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi. Selain memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan berkomitmen,
mereka juga memiliki tingkat self- esteem yang rendah. Individu yang memiliki nilai atau skor yang tinggi di neuroticism adalah kepribadian yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan
emotionally reactive.
Domain Opennes to Experience mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi, menjadi sangat fokus dan mampu untuk
waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Seseorang dengan
tingkat openness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki nilai imajinasi, broad mindedness, dan a world of beauty. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness yang rendah memiliki nilai kebersihan, kepatuhan, dan keamanan bersama, kemudian skor openess yang rendah juga menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit, konservatif dan tidak menyukai
adanya perubahan.
Domain Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik,
tertarik dengan banyak hal, ambisius, workaholic juga ramah terhadap orang lain.
Extraversion memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan dalam lingkungannya Extraversion
dapat memprediksi perkembangan dari hubungan sosial.
Domain Agreeableness dapat disebut juga social adaptibility atau likability
yang mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu
mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti
orang lain. Berdasarkan value survey, seseorang yang memiliki skor
agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki value
suka membantu, forgiving, dan penyayang.
Domain Conscientiousness dapat disebut juga dependability, impulse control, dan will to achieve, yang menggambarkan perbedaan keteraturan dan self discipline seseorang. Seseorang yang conscientiousness memiliki nilai kebersihan dan ambisi. Orang-orang tersebut biasanya digambarkan oleh teman-teman
mereka sebagai seseorang yang well-organize, tepat waktu, dan ambisius.
Hasil penelitian membuktikan bahwa kecenderungan seseorang untuk
memaaafkan memiliki korelasi yang cukup erat dengan dua buah dimensi Big Five, yaitu Neuroticism dan Agreeableness, dimana orang-orang yang lebih
Agreeableness (berhati lembut, suka menolong, simpatik terhadap orang lain) dan memiliki tingkat emosi yang lebih stabil, lebih cenderung ingin memaafkan
perbuatan menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap mereka
(Mc.Cullough, 2001).
Setiap orang memiliki setiap unsur yang ada di dalam tipe kepribadian lima
faktor ini namun berbeda dalam hal maupun kadarnya. Orang yang tidak
mengasah dan menumbuhkembangkan tipe kepribadian lima faktor tersebut akan
cenderung merasa sulit untuk memulai segala sesuatu. Hal inilah yang membuat
tipe kepribadian lima faktor menjadi salah satu motivator penting yang berperan
dalam diri manusia untuk berbuat atau melakukan perubahan ke arah yang lebih
baik, khususnya dalam kesiapan memaafkan.
Forgiveness harus dipahami sebagai suatu hal yang terjadi di dalam korban, dan diantara dua orang (korban dan pelaku). Adapun forgiveness menurut McCullough (1998) menyebutkan dua dimensi, yakni reduction in revenge dan
reduction inaviodance. Dimensi revenge yakni ketika individu memliki motivasi yang lemah untuk membalas dendam. Adapun avoidance adalah ketika individu memilki motivasi yang lemah untuk menjauhi pelaku. Dengan adanya
konflik-konflik yang sering terjadi pada pasangan menikah tersebut, pastinya pasangan
tersebut akan diajarkan untuk bisa memaafkan pasangannya dalam setiap konflik
yang terjadi jika kehidupan keluarganya akan tetap utuh.
Berdasarkan hal tersebut maka peneliti berasumsi bahwa ada korelasi yang
signifikan antara trait kepribadian lima faktor dengan forgiveness
Tabel 2.2
Ilustrasi Kerangka Berpikir dalam Bagan
Kepribadian big five
35 • Extraversion : antusiasme yang tinggi, senang bergaul, energik, ambisius, ramah.
• Agreeableness : ramah, selalu mengalah kepada orang lain, menghindari konflik. • Neuroticsm : mudah cemas, suka marah, depresi, dan kecenderungan emosional. • Openness : mudah toleransi, focus, pemikir, waspada pada berbagai perasaan. • Conscientiousness : well-organize, tepat waktu, ambisius, menunda kepuasan.
Reduction in Revenge Reduction in Avoidance
• Berkurangnya keinginan untuk berbalas dendam terhadap orang yang meny.kiti kita.
• Berkurangnya keinginan untuk menghindari orang yang telah menyakiti kita.
36 2.4. Hipotesis
Ha1 : Ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian neuroticsm
dengan forgiveness pada orang yang menikah.
Ha2 : Ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian extraversion
dengan forgiveness pada orang yang menikah.
Ha3 : Ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian agreeableness
dengan forgiveness pada orang yang menikah.
Ha4 : Ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian openess dengan
forgiveness pada orang yang menikah.
Ha5 : Ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian conscientiousness
dengan forgiveness pada orang yang menikah.
Ho1 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian neuroticsm
dengan forgiveness pada orang yang menikah
Ho2 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian extraversion
dengan forgiveness pada orang yang menikah
Ho3 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian
agreeableness dengan forgiveness pada orang yang menikah
Ho4 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian openess
dengan forgiveness pada orang yang menikah
Ho5 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara trait kepribadian
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dimana penelitian ini mengkuantifikasikan skor Trait Kepribadian The Big Five Factors dengan skor
Forgiveness dari subjek orang yang menikah. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengukuran korelasional, karena tujuan penelitian ini adalah ingin mencari hubungan antara Trait Kepribadian Big Five Factors dengan
Forgiveness pada orang yang menikah. 3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah orang menikah dalam penelitian ini. Karena sulit menentukan jumlah yang pasti, maka peneliti mengasumsikan sebanyak 100 orang yang menikah.
3.2.2 Sampel dan Tekhnik Pengambilan Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil dari cara-cara tertentu dan memiliki karakteristik sesuai subjek penelitian. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 100 sampel. Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan secara
purposive sampling. Tekhnik ini tergolong dalam non probability sampling yang berarti tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi subjek penelitian. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka karakteristik subjek penelitian ini adalah :
a. Orang-orang yang menikah.
b. Usia responden 20 - 30 tahun.
c. Usia pernikahan 1 – 5 tahun.
3.3 Variabel Penelitian
3.3.1 Definisi Konseptual Variabel
a. Dependent Variabel : Forgiveness.
Definisi konseptual : Forgiveness adalah suatu tindakan yang penuh dengan kesadaran untuk menghilangkan rasa sakit hati atau rasa dendam terhadap seseorang yang melakukan perbuatan menyakitkan, dengan mencoba untuk menumbuhkan perasaan-perasaan positif terhadap pelaku dan memperbaiki sebuah hubungan yang telah dilukai sebelumnya.
b. Independent Variabel : Kepribadian big five
Definisi konseptual : Kepribadian Big Five adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui
trait yang tersusun dalam lima domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor.
3.3.2 Definisi Operasional Variabel
a. Dependent Variabel : Forgiveness
tingkat menghindari pelaku (avoidance) dan rendahnya tingkat membalas
(revenge).
b. Independent Variabel : Kepribadian Big Five
Definisi operasional : Pengukuran dari skala kepribadian Big five
ini dilakukan dengan cara mengisi alat tes IPIP-NEO. Dalam skala ini terdapat lima subskala yang masing-masing mengukur extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuoriticism, openness to experiences. Individu akan digolongkan ke dalam trait dominan berdasarkan skor trait yang paling menonjol pada dirinya dibandingkan skor pada trait lainnya.
3.4 Pengumpulan Data
3.4.1 Tekhnik Pengumpulan Data
Kedua skala ini disusun menggunakan model Likert dengan 4 katagori jawaban, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pemusatan (central tendency) / menghindari jumlah respon yang bersifat netral. Model ini terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif (unfavourable). Subjek diminta untuk memilih salah satu dari 4 katagori jawaban yang masing-masing jawaban menunjukan kesesuaian pernyataan yang diberikan dengan keadaan yang dirasakan responden sendiri yaitu, “Sangat Setuju” (SS), “Setuju” (S), “Tidak Setuju” (TS), “Sangat Tidak Setuju” (STS). Penskoran tertinggi diberikan pilihan sangat setuju dan terendah pada pernyataan sangat tidak setuju untuk pernyataan
favourable. Selanjutnya pernyataan tertinggi untuk pernyataan unfavorable
Tabel 3.1
Skor untuk Pernyataan Positif dan Negatif
Kategori Favorable Unfavorable
Dalam penelitian ini akan digunakan dua alat ukur untuk mengukur variabel yang diteliti. Kedua skala ini untuk mengukur trait kepribadian dan forgiveness.
3.4.2.1 Skala Kepribadian Big Five (IPIP-NEO)
Untuk mengukur traitbig five individu alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah International Personality Item Pool NEO (IPIP-NEO) yang dibuat oleh Lewis Goldberg. Skala IPIP-NEO berjumlah 100 item, setiap trait berjumlah 20 item. Adapun blue print dari skala big five untuk uji coba sebagai berikut :
Tabel 3.2
Blue Print Trait Kepribadian Big Five
Butir soal
No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
3.
Skala tersebut terdiri dari dua sub skala, yaitu avoidance dan revenge, tujuh item sub skala avoidance mengukur tingkat penghindaran dan pengurangan kontak dengan orang yang menyakiti. Lima item sub skala revenge mengukur tingkat keinginan untuk membalas kepada orang yang menyakiti. (dalam McCullough, 1998)
Tabel 3.3
Blue Print Forgiveness
Indikator Nomor Item Jumlah
3.5 Uji Instrumen 3.5.1 Uji Validitas Skala
Validitas merupakan representasi dari keakuratan informasi. Dalam penelitian ini tekhnik uji validitas yang digunakan adalah Pearson Product Moment, lalu data yang diperoleh akan diolah menggunakan SPSS 16.0.
3.5.2 Uji Reliabilitas Skala
Uji realibilitas dilaksanakan untuk mengukur kestabilan dan konsistensi (keajegan) dari jawaban responden terhadap suatu alat ukur psikologis yang disusun dalam bentuk kuesioner. Suatu penelitian yang reliabel yaitu hasil yang diperoleh akan tetap sama apabila diukur pada waktu yang berbeda. Reliabilitas suatu konstruk variabel dikatakan reliabel bila memiliki nilai Cronbach alpha > 0,60.
3.6 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1. Sebelum turun ke lapangan, peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti kemudian mengadakan studi pustaka untuk melihat masalah tersebut dari sudut pandang teoritis. Setelah mendapatkan teori-teori secara lengkap kemudian menyiapkan, membuat dan menyusun alat ukur yang akan di gunakan dalam penelitian ini yaitu adaptasi alat ukur IPIP (International Personality Item Pool) dari Goldberg (1999) dan alat ukur Forgiveness yang bernama TRIM (Transgression-Related Interpersonal Motivation).
yang diinginkan peneliti kemudian melakukan pengolahan data dan membuang item-item yang tidak valid dalam alat ukur tersebut.
3. Menentukan sampel penelitian yaitu orang yang menikah yang diambil melalui teknik purposive sampling, kemudian melakukan proses permintaan izin penelitian kepada pihak yang terkait. Setelah mendapatkan izin peneliti melakukan pengambilan data dengan memberikan alat ukur yang telah disiapkan kepada sampel penelitian.
4. Melakukan pengolahan dan pengujian terhadap data yang sudah di dapatkan.
3.7 Tekhnik Analisis Data
Uji hipotesis digunakan untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan utama penelitian, apakah terdapat hubungan possitif yang signifikan antara trait