• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan kematangan emosi dengan penerimaan diri remaja yang tinggal di panti asuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan kematangan emosi dengan penerimaan diri remaja yang tinggal di panti asuhan"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

ASUHAN

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

• ••&

L

II I. ____

iterin·,·. ·. , .. - -... MNNセ@

---:I/

dari : .. _ ..• .. .... LセL

NLLLNLN@

,,.,._.

0

.J

I gl. :

g,&; ..

セ@

... ; ...

Q0 ... ..

Oleh : ' h lnrluk : ... ::: ..

t'.:l-..

\NNセNlGNQ@ .. .\... k1.i;;ifikasi : ...•...•••...

LIA RACHMAWATI

NIM: 105070002337

FAKUL TAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

DIRI REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN

Skripsi

... セ@

..

----

-·-··"-'""'""""""''''\

PERPUSTAKAAN UTi\MI.\ I UIM SYAH!O JAl\i\RTI\

_j

Diajukan kepada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidaya u ah Jakarta untuk memenuhi persyaratan

Pembimbing I

memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

LIA RACHMAWATI

NIM.105070002337

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing II

M. Avicenna, M.H.Sc

NIP: 19770906 20012 1004

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

3yatullah Jakarta pada tanggal 7 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai 1h satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Dekan/

ua Merangkap Anggota,

ja Umar, Ph.D . 130 885 522

Penguji I

-2(?_...o"---, Rahmat Mulyono-2(?_...o"---, M.Si '150 293 240

Pembimbing I

. Zahrotu Ni ah M.Si

: 19620724 1 8903 2001

Jakarta, 7 Desember 2009

Sidang Munaqasyah,

Anggota

Pembantu Dekan/

Sekretaris Merangkap Anggota,

ッイ。NセNmNウ[@

NIP.19561223 1983 032001

Pembimbing II

M. Avicenna, M.H.Sc

(4)

Syuk,uri .Jlpa rr-ane 1.(ita

9difikj

e:l

(5)

(B) Desember 2009 (C) Lia Rachmawati

(D) Hubungan Kematangan Emosi dengan Penerimaan Diri Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan

(E) Halaman : 78 hal + lampiran

(F) Penerimaan diri diperlukan oleh setiap remaja yang tinggal dipanti asuhan agar mereka dapat mengenali diri mereka serta menerima keberadaannya dipanti asuhan. Penerimaan diri ini berasal dari dalam diri seseorang yang didasari dari proses dimana seseorang pada akhirnya mampu menerima segala kelebihan serta kekurangan yang mereka miliki.

Penerimaan diri remaja panti asuhan dapat muncul ketika tingkat emosi remaja tersebut telah stabil dan melalui perbaikan diri di masa lalu. Tingkat emosi tersebut merupakan proses dimana seseorang mampu mengontrol emosinya dan tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain sehingga individu tersebut bisa mencapai

tingkat kematangan, hal ini dikenal dengan istilah kematangan emosi .. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan penerimaan diri remaja yang tinggal dipanti asuhan serta mengetahui seberapa besar sumbangan yang diberikan pada kematangan emosi terhadap penerimaan diri. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitaif dan dilakukan dipanti asuhan Yayasan Masjid At-Taubah dengan subjek penelitian sebanyak populasi yang berada dipanti tersebut, yaitu 49 orang remaja dengan rentang usia 17 tahun sampai 18 tahun.

(6)

yang mempengaruhi penerimaan diri, seperti dukungan sosial, pola asuh, harga diri, dan alain-lain.

Dari hasil penelitian ini disarankan agar peneliti selanjutnya

melakukan wawancara dan observasi agar mendapatkan hasil yang lebih lengkap, pemilihan subjek dilakukan tidak hanya pada remaja panti asuhan, namun pada remaja pada umumnya yang memiliki orang tua serta berusaha menambahkan variabel yang mungkin menjadi faktor penentu penerimaan diri, seperti harga diri, pola asuh, dukungan sosial, dan lain-lain.

(7)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wata'ala atas rahmat dan hidayah-Nya atas semua yang diberikan kepada umatnya. Shalawat dan salam saya haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam beserta sahabat dan keluarganya. Dengan

Rasa syukur yang tiada henti atas terwujudnya skripsi yang berjudul "Hubungan Kematangan Emosi dengan Penerimaan Diri Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan". Skripsi ini diajukan guna melengkapi syarat dalam mencapai gelar Sarjana Psikologi Jenjang pendidikan Strata Satu Program Studi Psikologi pada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang bersedia membimbing, membantu, dan mendoakan kelancaran skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Jahja UmarPh.D

2. lbu Zahrotun Nihayah, M.Si sebagai dosen pembimbing I dan Bapak M. Avicenna M.H.Sc sebagai dosen pembimbing II yang dengan sabar dan berbesar hati dalam membimbing saya menuju terwujudnya

skripsi ini

(8)

dukungannya.

5. Kakak dan adikku tersayang "Lusiyana Zuriyawati dan Fajri Abdillah" serta kakak iparku "Yudi Ferdianto", atas pengertian dan

dukungannya.

6. Seluruh sahabat terbaik yang tidak tergantikan, lndri Dilapanga, Nuri Hafni, Diah Ayu, Dwinita, Dedi Ansyah, Nessa, Ima, Dijah, Nurul Kamilia, Hesty, Ari Pratiwi, Hani, Rahma,.Novitasari,K'Niken, Arum, lntan, Risti, Purwa Dewi, De'Ria,atas doa, dukungan dan

perhatiannya.

7. Kepada pihak-pihak Panti Asuhan At-Taubah beserta subjek penelitian yang ikut terlibat dalam penelitian ini.

8. Juga kepada seluruh angkatan 2005 dan semua pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu yang turut membantu dalam penulisan skripsi ini.

Dengan ini saya selaku peneliti mempersembahkan sebuah karya tulis yang lnsya Allah bermanfaat yang berjudul . "Hubungan Kematangan Emosi dengan Penerimaan Diri Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan".

Penulis menyadari keterbatasan dari skripsi ini, maka saya mohon kesediaan para pembaca untuk memaklumi segala kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini.

Jakarta, Desember 2009

(9)

KATA PENGANTAR ... iii

DAFT AR ISi ... v

DAFTAR TABEL. ... ix

DAFT AR GAMBAR ... x

DAFT AR LAMPIRAN ... xi

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 ldentifikasi Masalah ... 7

1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

1.3.1 Pembatasan Masalah ... 7

1.3.2 Perumusan Masalah ... 8

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 8

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Sistematika Penulisan ... 9

(10)

2.1.2 Tahap-tahap Penerimaan Diri ... 13

2.1.3Kondisi-kondisi yang menentukan penerimaan diri ... 18

2.1.4 Aspek-sapek penerimaan diri. ... 23

2.1.5 Dampak penerimaan diri bagi individu ... 24

2.2 Kematangan Emosi ... 26

2.2.1 Definisi kematangan emosi. ... 26

2.2.2 Karakteristik kematangan emosi ... 28

2.2.3 Ciri-ciri orang yang matang emosinya ... 30

2.3 Remaja ... 30

2.3.1 Definisi remaja ... 30

2.3.2 Fase-fase masa remaja ... 31

2.3.3 Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja ... 37

2.3.4 Remaja panti asuhan ... 38

2.3.4.1 Karakteristik remaja panti asuhan ... 39

Kerangka Berpikir ... 39

Bab 3 Metode Penelitian 3.1 Jen is penelitian ... 42

3.3.1 Pendekatan Dan Metode Penelitian ... 42

3.3.2 Definisi Variabel Dan Operasional ... 43

3.2 Pengambilan Sampel. ... 44

(11)

3.3.1 Metode dan instrumen penelitian ... 46

3.3.2 Teknik Uji lntrumen Penelitian ... 50

3.4 Teknik Analisis Data ... 54

3.5 Prosedur Penelitian ... 55

Bab 4 Hasil Penelitian 4.1 Gambaran Umum subjek penelitian ... 57

4.2 Presentasi data ... 60

4.2.1 Deskripsi Statistik ... 60

4.3 Uji Persyaratan ... 62

4.3.1 Uji Normalitas ... 63

4.3.2 Uji Linearitas ... 63

4.4 Uji Hipotesis ... 64

4.4.1 Hasil Uji Hipotesis Statitisk Pertama ... 64

4.4.2 Hasil Uji Hipotesis Statitisk kedua ... 66

4.5 Penelitian tambahan ... 68

(12)

5.3 Saran ... 74

5.3.1 Saran teoritis ... 74

5.3.2 Saran praktis ... 75

(13)
[image:13.521.32.422.142.531.2]

Tabel 3.1 Format Skoring Skala Likert

Tabel 3.2 Blue print skala kematangan Emosi

Tabel 3.3 Blue print skala Penerimaan Diri

Tabel 3.4 Blue Print Field Study Kematangan Emosi

Tabel 3.5 Blue Print Field Study Penerimaan Diri

Tabel 4.1 Gambaran subjek berdasarkan jenis kelamin

Tbel 4.2 Gambaran subjek berdasarkan Usia

Tabel 4.3 Gambaran subjek berdasarkan kelas

Tabel 4.4 Gambaran subejk berdasarkan lama berada diasrama

Tabel 4.5 Gambaran subjek berdasarkan status saat ini

Tabel 4.6 Deskripsi statistik

Tabel 4.7 Uji normalitas skala Kematangan emosi

Tabel 4.8 Uji normalitas skala penerimaan diri

Tabel 4.9 Model Summary and Parameter Estimates

Tabel 4.10 Korelasi antar variabel

Tabel 4.11 Korelasi antara aspek-aspek kematangan emosi dengan

Variabel penerimaan diri

Tabel 4.12 ANOVA

Tabel 4.13 Model Summary

(14)
[image:14.519.79.420.151.503.2]

Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir

(15)

Lampiran 1

Lampiran 2

Lampiran 3

Lampiran 4:

Lampiran 5

Lampiran 6

Surat permohonan izin penelitian

Surat keterangan benar mengadakan penelitian

Kuesioner field study pertama dan kedua

Skor field study kematangan emosi dan penerimaan diri

Hasil uji reliabilitas dan uji validitas

(16)

1.1

Latar Belakang

PENDAHULUAN

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan seorang anak. Orang tua mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan pendidikan, kebutuhan menumbuhkan rasa aman, kasih sayang, yang semua itu merupakan faktor kebutuhan psikologis anak. Penelantaran yang

dilakukan oleh orang tua akan menganggu proses tumbuh kembang anak, karena anak yang tidak berkembang secara optimal dan kurang mendapat dukungan dari keluarga dan lingkungan akan tumbuh menjadi remaja yang tidak tangguh.

Hurlock (1999) juga mengatakan masa remaja merupakan masa transisi, yaitu peralihan dari usia anak-anak menuju usia dewasa, pola emosi masa remaja adalah sama dengan masa kanak-kanak. Perbedaannya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, dan khususnya pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka.

(17)

menghadapi kondisi baru, sebab selama masa kanak-kanak mereka kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan tersebut.

Moedjiono (2007) mengungkapkan remaja berada dalam pencarian kepastian hidup, misalnya mengenai masa depan, identitas diri, apa yang akan

dikerjakan dalam hidup. Jika pengalaman yang ada tidak sesuai dengan harapan, anak akan merasa tidak ada kepastian diri, tidak memiliki masa depan sehingga remaja merasa tidak berarti. Kasus bunuh diri di kalangan remaja meningkat, setidaknya itu yang terekam oleh media massa. Menurut Dwidjo Saputro, dokter spesialis kesehatan jiwa dari Klinik Perkembangan Anak dan Kesulitan Belajar, umumnya anak atau remaja bunuh diri karena ada stresor psikososial. ltu bisa berupa tekanan dari keluarga, lingkungan, atau kondisi sosial ekonomi yang rendah.

(18)

Radio Nederland Wereldomroep (2009), mengungkapkan Organisasi amal Save the Children baru saja menerbitkan laporan yang

menunjukkan bahwa di beberapa negara, 90% di Ghana, 95% di Indonesia dan 98% di Eropa Timur dan Tengah setidaknya empat dari setiap lima anak yatim punya satu dan kadang dua orangtua yang tidak mampu merawat mereka.

Saat ini, pedoman pembinaan kesejahteraan sosial anak dini (1999) mengungkapkan bahwa sasaran pelayanan panti asuhan tidak hanya

diperuntukkan bagi anak yatim, piatu atau yatim piatu, tetapi juga untuk anak yang salah satu atau kedua orang tuanya sakit kronis, terpidana, korban bencana dan lain-lain.

(19)

hidupnya di hari-hari yang akan datang, kurang pakaian, kurang gizi dan vitamin, kurang bermain, dan tiada kepastian tentang hari esok.

Tidak adanya orang tua disekeliling mereka, akan membuat emosi mereka terganggu, karena di dalam panti asuhan hanya terdapat pengasuh yang tidak bisa memberikan perhatian penuh seperti orang tua pada umumnya. Terutama pada remaja awal, ini adalah masa yang tidak realistik serta mereka mengalami ketidakstabilan emosi. Hall dalam Al-Mighwar (2006) menjelaskan pada remaja awal, mereka memandang diri sendiri dan orang lain berdasarkan keinginannya, bukan berdasarkan keyataan yang

sebenarnya. Tidak heran bila sikap dan sifat remaja yang sangat antusias bekerja tiba-tiba menjadi lesu, dari sangat gembira menjadi sangat sedih, dari merasa percaya diri menjadi sangat ragu.

Namun, seiring bertambahnya usia, remaja akan mengalami kestabilan emosi di usia 17 tahun, sebagaimana yang diungkapkan Al-Mighwar (2006), dalam aspek fisik dan psikis, laki-laki muda dan wanita muda menunjukkan

kestabilan emosi.

(20)

sering mengkhawatirkan pengasuh panti, seperti bertengkar dengan teman sekamar sampai terjadi pemukulan. Berbeda halnya dengan remaja yang berusia 18 tahun, ketika saya mewawancarai pengasuhnya mengenai emosi remaja tersebut, pengasuhnya pun menjawab bahwa remaja pada usia itu lebih banyak diam ketika bertengkar dengan teman sekolahnya atau teman sekamarnya. Mereka lebih sering mengungkapkan pada buku harian atau bercerita pada guru.

Hurlock (1999) juga mengungkapkan remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak segera melampiaskan emosi dihadapan orang lain melainkan menunggu pada saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih tepat, dan dengan cara-cara yang dapat diterima.

Katkovsky, W & Garlow (1976), kematangan emosi merupakan suatu proses dimana kepribadian secara terus menerus barusaha mencapai keadaan tingkat emosi yang sehat baik secara intra maupun interpersonal.

Dalam jurnal Endah Puspita Sari (2002) yang berjudul "Penerimaan Diri Pada Lanjut Usia ditinjau dari Kematangan Emosi " menunjukkan bahwa

(21)

dirinya, dan sebaliknya semakin rendah kematangan emosi individu lanjut usia maka semakin rendah pula penerimaan dirinya. Dalam penelitian ini subjek memiliki penerimaan terhadap kondisi ketuaannya dengan baik karena memiliki kematangan emosi yang baik.

Menurut Pannes (dalam Hurlock 1973) penerimaan diri adalah suatu

keadaan dimana individu memiliki keyakinan akan karakteristik dirinya, serta mampu dan mau untuk hidup dengan keadaan tersebut. Jadi, individu

dengan penerimaan diri memiliki penilaian yang realistis tentang potensi yang dimilikinya, yang dikombinasikan dengan penghargaan atas dirinya secara keseluruhan. Artinya, individu ini memiliki kepastian akan

kelebihan-kelebihannya, dan tidak mencela kekurangan-kekurangan dirinya.

Penerimaan diri juga terjadi melalui proses hingga akhimya seseorang dapat menerima dirinya secara utuh. Sedih, kecewa, marah, depresi, akan

membawa seseorang pada penerimaan diri dan penyesuaian diri, sebagaimana yang diungkapkan Kubler-Ross (dalam Gargiulo, 1985).

(22)

Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Penerimaan Diri Remaja yang tinggal di Panti Asuhan.

1.2 ldentifikasi Masalah

a. Bagaimana tingkat kematangan emosi remaja yang tinggal dipanti asuhan?

b. Bagaimana tingkat penerimaan diri remaja yang tinggal dipanti asuhan?

c. Apakah ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan penerimaan diri remaja yang tinggal di panti asuhan?

1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.3.1 Pembatasan Masalah

1. Remaja yang dimaksud menurut Al-Mighwar (2006) ialah remaja akhir yang berusia 17-18 tahun yang tinggal dipanti asuhan.

2. Kematangan emosi Katkovsky, W & Garlow (1976) adalah proses dimana kepribadian secara terus menerus berusaha mencapai keadaan emosi yang sehat baik secara intra maupun interpersonal. 3. Penerimaan diri menurut Pannes (dalam Hurlock, 1973) ialah suatu

(23)

sehingga ia mampu menerima kelebihan serta kekurangan yang dimilikinya.

1.3.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah "Apakah ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan penerimaan diri remaja yang tinggal di panti asuhan?"

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kematangan emosi dan penerimaan diri pada remaja yang tinggal dipanti asuhan, serta memperoleh gambaran mengenai korelasi antara kematangan emosi dengan penerimaan diri pada remaja yang tinggal dipanti asuhan.

1.4.2 Manfaat Penelitian

1. Dalam melengkapi kajian ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan.

2 Dari sisi teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman tentang kematangan emosi dan penerimaan diri

[image:23.521.41.434.148.487.2]
(24)

3 Sebagai bekal ilmu pengetahuan dan dapat menggugah pemahaman bagi pengasuh panti asuhan untuk melatih dan berperan aktif dalam merawat anak asuhnya agar memiliki emosi yang matang sehingga penerimaan diri mereka juga semakin baik.

1.4 Sistematika Penulisan

Peneliti menggunakan teknik penulisan American Psychological Association (APA) Style. Dan secara garis besar sistematika penulisan penelitian ini adalah:

1. Bab 1 pendahuluan, yang meliputi: latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab 2 kajian pustaka, yang meliputi: kematangan emosi, penerimaan diri, dan remaja. Pada penerimaan diri akan dipaparkan ; definisi penerimaan diri, tahap-tahap penerimaan diri, kondisi-kondisi yang menentukan penerimaan diri, aspek-aspek penerimaan diri, dan dampak penerimaan diri bagi individu. Pada kematangan emosi akan dipaparkan ; definisi kematangan emosi, karakteristik kematangan emosi dan ciri-ciri orang yang matang emosinya. Pada remaja akan dipaparkan ; definisi

(25)

3. Bab 3 metodologi penelitian, yang meliputi: jenis penelitian (pendekatan dan metode penelitian), definisi variabel dan operasional variabel,

pengambilan sampel (populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel), pengumpulan data (metode dan instrumen penelitian dan teknik uji

instrumen penelitian), dan teknik analisa data serta prosedur penelitian 4. Bab 4 presentasi dan analisa data

(26)

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini, akan diuraikan kajian tentang kematangan emosi, penerimaan diri, dan remaja. Pada penerimaan diri akan dipaparkan ; definisi penerimaan diri, tahap-tahap penerimaan diri, kondisi-kondisi yang menentukan

penerimaan diri, aspek-aspek penerimaan diri, dan dampak penerimaan diri bagi individu. Pada kematangan emosi akan dipaparkan ; definisi

kematangan emosi, karakteristik kematangan emosi dan ciri-ciri orang yang matang emosinya. Pada remaja akan dipaparkan ; definisi remaja,fase-fase masa remaja, perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja, remaja panti asuhan dan karakteristik remaja panti asuhan.

2.1 Penerimaan diri

2.1.1 Definisi Penerimaan Diri

Menurut Pannes (dalam Hurlock 1973) penerimaan diri adalah suatu

keadaan dimana individu memiliki keyakinan akan karakteristik dirinya, serta mampu dan mau untuk hidup dengan keadaan tersebut. Jadi, individu

dengan penerimaan diri memiliki penilaian yang realistis tentang potensi yang dimilikinya, yang dikombinasikan dengan penghargaan atas dirinya secara

(27)

keseluruhan. Artinya, individu ini memiliki kepastian akan

kelebihan-kelebihannya, dan tidak mencela kekurangan-kekurangan dirinya. lndividu yang memiliki penerimaan diri mengetahui potensi yang dimilikinya dan dapat menerima kelemahannya.

Hjelle dan Ziegler (1981) menyatakan bahwa individu dengan penerimaan diri memiliki toleransi terhadap frustrasi atau kejadian-kejadian yang

menjengkelkan, dan toleransi terhadap kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus menjadi sedih atau marah. lndividu ini dapat menerima dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Jadi, individu yang mampu menerima dirinya adalah individu yang dapat menerima kekurangan dirinya sebagaimana dirinya mampu menerima kelebihannya.

Jersild (1965) mendefinisikan penerimaan diri sebagai penilaian yang realistis terhadap potensi yang dimilikinya, memahami karakteristik dirinya dan

(28)

1. Primary phase

a.

Shock

Periode ini ditandai dengan tingkah laku seperti menangis berlebihan dan rasa ketidakberdayaan.

b. Denial

Penolakan merupakan sikap yang bertahan dapat timbul disebabkan ketakutan seperti ketidakmampuan potensi anak dimasa depan. Terkejut, tidak percaya, merasa terpukul dan menyangkal pernyataan bahwa kehilangan itu benar-benar terjadi. Secara sadar maupun tidak sadar

seseorang yang berada pada tahap ini menolak semua fakta, informasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang dialaminya. lndividu merasa hidupnya menjadi tidak berarti lagi. Pada saat itu dia dalam keadaan terguncang dan pengingkaran, merasa ingin mati saja. Pada tahap ini

seseorang tidak mampu berpikir apa yang seharusnya dia lakukan untuk keluar dari masalahnya. Dia tidak siap untuk menerima kondisinya. Oleh karenanya tahap pengingkaran merupakan suatu tahap yang sangat tidak nyaman dan situasi yang sangat menyakitkan.

c. Grief and Depression

Sedih merupakan reaksi yang penting dan berguna dan tidak harus

(29)

berada di dalam. Moses (dalam Gargiulo, 1985) percaya kebanyakan orang memiliki perasaan kemahakuasaan didalam dirinya. Semua kejadian yang tidak menyenangkan tidak akan dialaminya. Masyarakat berpendapat bahwa depresi merupakan perasaan yang tidak pantas dan tidak dapat ditoleransi. Padahal ini merupakan proses yang normal, alami dan penting. Keadaan depresi ini dapat diubah menjadi reaksi yang pantas dan masuk aka!. Karena keadaan ini dapat memungkinkan anak untuk menerima segala sesuatu yang tidak dapat diubah.

Penarikan diri dari sosial juga termasuk dalam tahap ini. lni menunjukkan tahap penyembuhan. lndividu sering menunjukkan sikap menarik diri, tidak mau berbicara, takut, perasaan tidak menentu dan putus asa. Seseorang yang berada pada tahap ini setidaknya sudah mulai menerima apa yang terjadi padanya adalah kenyataan yang memang harus dia hadapi

2. Secondary phase

a. Ambivalence

Pada masa ini anak merasakan perasaan yang bertentangan antara menerima dan menolak kondisi yang terjadi. Perasaan negatif ini biasanya muncul dengan perasaan bersalah.

b. Guilt

Perasaan bersalah mungkin menjadi reaksi yang paling sulit untuk

(30)

bersalahnya itu saja, tetapi apa yang menyebabkan rasa bersalah itulah yang menyebabkan rasa sakit.

Rasa bersalah itu identik dengan kata-kata "seandainya" yang berada dalam pikirannya. Selama tahap ini, reaksi yang umum adalah keinginan untuk membayar kesalahannya. Rasa bersalah adalah suatu hal yang normal dan penting, tetapi tidak harus dirasakan secara irasional dan berlebihan.

c.

Anger

Marah merupakan sebuah penghadang untuk menuju penerimaan. Marah dapat disebabkan dua tipe. Tipe pertama secara umum dapat diterima, sering mengekspresikan keadilan dan bertanya "kenapa saya?". Tipe kedua adalah merubah marah kepada diri sendiri menjadi kepada orang lain, jauh dari orang lain dengan alasan harus ada yang disalahkan atas terjadinya ini semua.

Wentworth (dalam Gargiulo, 1985) mengobservasi bahwa kemarahan tidak menyelesaikan apa-apa. Jika perasaan ini meningkat, maka mereka

membutuhkan lingkungan yang mendukung dan menyadarkan bahwa

(31)

d. Shame and Embarrasment

Perasaan ini timbul saat anak menghadapi lingkungan sosial yang menolak,

mengasihani atau mengejek. Cunningham & Davis (dalam Bromley, dkk,

1998) menyatakan bahwa pada tahap ini seseorang mulai menerima dan

mengenali bahwa kehidupannya memerlukan perubahan dan adaptasi.

3. Tertiary phase

a.

Bergaining

Tahap ini merupakan tahap yang bersifat sangat personal dan jarang

diketahui oleh orang lain. Bergaining (tawar-menawar) adalah suatu strategi

dimana anak membuat perjanjian dengan Tuhan, ilmu pengetahuan atau

pihak manapun yang mampu membuatnya kembali normal. Pada tahap ini

seseorang berpikir seandainya dia dapat menghindari kehilangan itu. Reaksi

yang sering muncul adalah dengan mengungkapkan perasaan bersalah atau

ketakutan pada dosa yang pernah dilakukan, baik itu nyata ataupun hanya

imajinasinya saja. Seringkali seseorang yang berada tahap ini berusaha

tawar menawar dengan Tuhan agar merubah apa yang telah terjadi supaya

tidak menimpanya. Sering juga dinyatakan dengan kata-kata "seandainya

saya hati-hati", "kenapa harus terjadi pada keluarga saya". Sesungguhnya

bargaining yang dilakukan seseorang tidak memberikan solusi apapun bagi

permasalahan yang dia hadapi.

(32)

Adaptasi merupakan proses yang membutuhkan waktu dan berkurangnya rasa cemas serta reaksi emosional lainnya. Tahap ini merupakan kondisi dimana anak mulai merasa nyaman dengan situasi yang ada.

c. Acceptance and adjusment

Penerimaan merupakan suatu proses yang aktif dimana anak secara sadar berusaha untuk mengenali, memahami, dan memecahkan masalah. Tetapi perasaan-perasaan negatif yang sebelumnya tidak akan hilang sepenuhnya. Dalam penerimaan diikuti dengan penyesuaian yang merupakan sebagai sebuah tingkah laku. Tingkah laku yang mengarah ke sisi positif dan

bergerak maju. Penyesuaian memerlukan suatu perubahan dan pengaturan ulang tujuan dan ambisi. Hal ini merupakan sesuatu yang sulit dan sangat berhubungan dengan

kepribadian seseorang. Wentworth (dalam gargiulo, 1985) berpendapat penyesuaian akan terjadi setelah penerimaan, saat mereka memahami keadaan mereka maka saat itulah anak berpikir membutuhkan penyesuaian.

2.1.3 Kondisi-kondisi yang menentukan penerimaan diri

(33)

a.

Self understanding (pemahaman diri)

Pemahaman akan diri sendiri adalah persepsi tentang diri sendiri yang dapat timbul jika seseorang mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya serta mau mencoba kemampuannya tersebut. lndividu dapat memahami dirinya sendiri tidak hanya bergantung pada kemampuan intelektual dirinya saja, melainkan juga pada setiap kesempatannya untuk mengenali diri sendiri. Pemahaman diri dan penerimaan diri berjalan secara berdampingan. lndividu yang memahami dirnya dengan baik, maka akan menerima dirinya sendiri dan tidak ada keinginan untuk berpura-pura menjadi orang lain, begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti semakin orang dapat memahami dirinya sendiri, maka semakin ia dapat menerima dirinya.

b. Realistic expectations (harapan yang rea/istis)

Ketika harapan seseorang akan sesuatu hal adalah realistis, maka kesempatan untuk mencapainya akan terwujud apabila sesuai dengan harapannya. Hal ini dapat memberikan kepuasan pada diri sendiri yang sangat berkaitan dengan penerimaan diri. Harapan yang realistis bisa timbul bila individu menentukan sendiri harapannya yang disesuaikan dengan

pemahaman mengenai kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya. Jadi, ketika individu mamiliki harapan,

(34)

c.

Absence of environmental obstacles (tidak adanya hambatan lingkungan) Ketidakmampuan individu mencapai tujuannya dapat ditimbulkan dari

lingkungan. Jika lingkungan sekitarnya menghalangi individu untuk menunjukkan potensinya atau untuk mengekspresikan dirinya, maka penerimaan dirinya tentu akan sulit tercapai. Sebaliknya, apabila didalam lingkungan individu mendapatkan dukungan dari orang tua, guru, dan teman-teman, maka individu dapat mencapai tujuannya, merasa puas atas apa yang telah diraihnya, dan harapannya pun menjadi realistis.

d. Favorable social attitudes (tingkah laku sosial yang sesuai)

Ketika individu menunjukkan tingkah laku yang dapat diterima oleh

masyarakat, Hal tersebut akan membantu untuk dapat menerima diri. Yang dimaksud favorable social attitudes disini adalah tidak adanya prasangka terhadap diri atau anggota keluarganya, lndividu mengakui akan kemampuan sosial yang dimiliki orang lain, tidak memandang buruk terhadap orang lain, serta adanya kesediaan individu untuk menerima kebiasaan atau norma lingkungan yang ada.

e. Absence of severe emotional stress (tidak adanya stress emosional yang

berat)

Stress menandai kondisi tidak seimbang dalam diri individu yang

(35)

terhadap penerimaan dirinya. Selain itu, tidak adanya gangguan stress emosional yang berat memungkinkan seseorang untuk melakukan yang terbaik dan tidak hanya mementingkan kepentingan dirinya saja, tatapi juga orang lain.

f. Preponderance of successes (kenangan akan keberhasilan)

Kegagalan yang dialami oleh individu akan menimbulkan penolakan dalam dirinya, sedangkan keberhasilan dapat berpengaruh pada penerimaan dirinya. Ketika seseorang menerima kegagalan, maka ketika ia mengingat keberhasilan dapat membantu memunculkan penerimaan diri. Sebaliknya, kegagalan yang dialami dapat mengakibatkan penolakan dalam dirinya. g. Identification with well-adjusted people (identifikasi dengan orang yang

memi/iki penyesuaian diri yang baik)

Seseorang yang mengidentifikasikan dirinya dengan baik akan mampu beradaptasi dengan baik, Hal ini dapat membantu dirinya untuk

mengembangkan sikap-sikap yang positif dalam hidupnya dan bersikap baik, sehingga dapat menilai diri dan menerima dirinya dengan baik

h. Self perspective (perspektif diri)

(36)

pengalaman dan belajar. Dalam hal ini, usia dan tingkat pendidikaN

memegang peranan penting bagi seseorang untuk dapat mengembangkan perspektif dirinya.

i. Good childhood training (po/a asuh masa kecil yang baik)

Meskipun ada bermacam-macam cara penyesuaian diri yang dilakukan seseorang untuk membuat perubahan dalam hidupnya, namun yang

menentukan penyesuaian diri seseorang dalam hidupnya adalah pola asuh di masa kecil. Anak yang diasuh dengan pola asuh demokratis didalamnya akan ada peraturan yang dapat mengajarkan kepada anak bagaimana ia menerima dirinya sebagai individu, dan cenderung berkembang untuk menghargai dirinya sendiri. Pola asuh yang diterapkan ini akan membentuk konsep diri anak, sehingga pengaruhnya terhadap penerimaan diri tetap ada meskipun usia individu terus bertambah.

j. Stable self-concept (konsep diri yang stabil)

Konsep diri yang stabil adalah satu cara bagaimana seseorang mampu melihat dirinya sendiri dengan cara yang sama dari waktu ke waktu. Hanya pada konsep diri yang sesuai seseorang mampu menerima dirinya sendiri. Karena apabila individu memiliki konsep diri yang tidak sesuai dengan

(37)

menunjukkan siapa dirinya kepada orang lain karena ia sendiri merasa bertentangan terhadap dirinya sendiri.

2.1.4 Aspek-aspek Penerimaan Diri

Sheerer (dalam Cronbach,1963) menjelaskan lebih lanjut mengenai karakteristik individu yang dapat menerima dirinya, yaitu:

a. lndividu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi persoalan.

b. lndividu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang lain.

c. lndividu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan ditolak orang lain.

d. lndividu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri. e. lndividu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.

f. lndividu dapat menerima pujian atau celaan secara objektif. Sifat ini tampak dari perilaku individu yang mau menerima pujian, saran dan kritikan dari orang lain untuk pengembangan kepribadiannya lebih lanjut. g. lndividu tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun

(38)

yang tertuju padanya untuk dijadikan sebagai perbaikan alas segala kekurangan dalam diri.

Penerimaan diri yang disertai dengan rasa aman dalam diri dapat

mendukung seseorang untuk mengembangkan dirinya dan memungkinkan seseorang untuk menilai dan mengevaluasi dirinya secara realistis, sehingga dapat menggunakan potensinya secara efektif. Yang terpenting adalah, seseorang yang mampu menerima dirinya tidak akan mau untuk menjadi orang lain. la akan merasa puas dengan dirinya sendiri, dan tidak berpikir untuk berpura-pura menjadi orang lain.

b. Dampak penerimaan diri dalam penyesuaian sosial

(39)

2.2 Kematangan Emosi

2.2.1 Definisi Kematangan Emosi

Katkovsky, W & Garlow (1976), mengatakan istilah kematangan menunujukkan adanya proses menjadi. lndividu yang dianggap telah memenuhi persyaratan untuk disebut matang juga masih akan terus berkembang, sehingga pada tiap-tiap individu mungkin memiliki taraf kematangan yang berbeda pada waktu yang lalu maupun masa yang akan datang. Kematangan emosi merupakan suatu proses dimana kepribadian secara terus menerus barusaha mencapai keadaan tingkat emosi yang sehat baik secara intra maupun interpersonal.

Menu rut Chaplin (2006), emotional maturity (kedewasaan emosional) adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari

perkembangan emosional, dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak, namun mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya ditengah-tengah situasi sosial.

(40)

tidak mudah berubah-ubah dari satu suasana hati ke dalam suasana hati yang lain.

Menurit Hurlock (1999), anak laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak

"meledakkan" emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih diterima. Petunjuk kematangan emosi yang lain bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi tanpa pikir sebelumnya seperti anak-anak yang tidak matang.

Al-Mighwar (2006) mengatakan bahwa kematangan emosi bisa dicapai bila remaja memperoleh gambaran tentang berbagai kondisi yang dapat

menimbulkan reaksi emosional. Caranya, antara lain dengan membicarakan masalah pribadinya denganorang lain. Sebab, keterbukaan dan perasaan serta masalah pribadi dipengaruhi oleh rasa aman dalam interaksi sosial dan tingkat penerimaan orang lain terhadapnya.

(41)

2.2.2 Karakteristik kematangan emosi

Menurut Smitson ( dalam Katkovsky & Garlow, 1976), ada beberapa

karakteristik yang dapat digunakan untuk melihat suatu tingkat kematangan emosi diantaranya :

a. Ke arah kemandirian (toward independence)

Yang dimaksud dengan kea rah kemandirian disini adalah dapat menemukan apa yang dikehendaki serta bertanggung jawab akan keputusannya itu.

b. Kemampuan untuk menerima realitas (ability to accept reality)

Maksudnya adalah kemampuan untuk menerima kenyataan bahwa ia memiliki kesempatan, kemampuan serta tingkat intelegensi yang berbeda dengan orang lain. Dengan menyadari hal tersebut ia dapat menentukan pola tingkah laku yang tepat.

c. Kemampuan beradaptasi (adaptability)

Kemampuan untuk mudah menerima orang lain atau situasi tertentu dengan cara-cara yang berbeda. Salah satu hal yang paling

(42)

d. Kesiapan merespon (readines to respond)

Kesiapan merespon ini harus melibatkan kesadaran kita bahwa setiap individu adalah unit dan bahwa setiap orang memiliki hak-haknya sendiri. Dengan demikian diharapkan kita mampu merespon dengan tepat pada keunikan masing-masing individu.

e. Kemampuan untuk seimbang (capacity to balance)

lndividu dengan kematangan emosi yang tinggi menyadari bahwa sebagai makhluk sosial ia memiliki ketergantungan pada orang lain, namun ia tidak harus takut bahwa ketergantungan itu akan

menyebabkan ia diperalat oleh orang lain.

f. Kemampuan berempati (empathic understanding)

Maksudnya adalah kemampuan untuk menempatkan diri dalam kedudukan orang lain, sehingga dapat memahami perasaan dan pikirannya.

g. Kemampuan menguasai amarah (challenging anger)

(43)

2.2.3 Ciri-ciri orang yang matang emosinya

Menurut Hollingwort seperti yang dikutip oleh Jersild (1978), ciri-ciri orang yang matang emosinya ialah :

a. Mampu memberikan reaksi emosional secara bertahap

b. lndividu yang matang emosinya dapat mengendalikan emosi bila menghadapi

situasi tertentu, dan menunggu waktu yang tepat untuk memberi respon yang

tepat sesuai dengan situasi yang dihadapi.

c. Tidak menunjukkan kekecewaan yang berlebihan. lni terlihat pada caranya memberikan atau mengatasi rasa kasihan pada diri sendiri.

2.3 Remaja

2.3.1 Definisi Remaja

Dalam Hurlock (1999), istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti "tumbuh" atau "tumbuh menjadi dewasa". Awai masa remaja biasanya

(44)

remaja yang lebih tua.biasanya disebut "pemuda" atau "pemudi'', atau malahan disebut "kawula muda" yang menunjukkan bahwa masyarakat belum melihat adanya perilaku yang matang selama awal masa remaja.

Sarwono (2003) menjelaskan masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Masa ini seringkali menghadapkan individu yang bersangkutan pada situasi yang membingungkan, di satu pihak ia masih kanak-kanak, tetapi di lain pihak ia sudah harus bertingkah laku seperti orang dewasa.

Al-Mighwar (2006) berpendapat bahwa istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang bararti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi. Dalam bahasa lnggris, murahaqoh adalah adolescence yang berarti at-tadarruj (berangsur-angsur). Jadi, artinya adalah berangsur-angsur menuju kematangan secara fisik, akal, kejiwaan dan sosial serta emosional. Hal ini mengisyaratkan pada hakikat umumnya, yaitu pertumbuhan tidak berpindah dari satu fase ke fase lainnya secara tiba-tiba, tetapi pertumbuhan itu berlangsung setahap demi setahap.

2.3.2 Fase-Fase Masa Remaja

(45)

a. Remaja awal (13 - 17 tahun)

Ciri khas remaja awal yang tidak dimiliki masa-masa yang lain, diantaranya: 1 . Tidak stabilnya emosi

Menurut Hall dalam Al-Mighwar (2006), perasaan masa ini sangatlah peka, yaitu perasaan dan emosinya laksana hembusan badai dan topan dalam kehidupan. Karena itu, tidak heran bila sikap dan sifat remaja yang sangat antusias bekerja tiba-tiba menjadi lesu, dari sangat gembira menjadi sangat sedih, dari merasa percaya diri menjadi sangat ragu, termasuk dalam

menentukan cita-cita. Dia belum bisa merencanakan dan menentukan pendidikan dan lapangan kerja lebih lanjut, terlebih lagi dalam persahabatan dan cinta ; plin-plan dalam bersahabat dan memilih pasangan

2. Lebih menonjolnya sikap dan moral

Matangnya organ-organ seks mendorong masa remaja untuk mendekati lawan seksnya, sehingga terkadang berperilaku berlebihan yang dinilai tidak sopan oleh sebagian masyarakat, muncul keberaniannya untuk melakukan hal-hal yang hampir membahayakan, sehingga masalah dengan orang tua atau dewasa lainnya sering terjadi.

3. Mulai sempurnanya kemampuan mental dan kecerdasan

(46)

hal-hal yang tidak masuk akal. Bila dipaksa untuk menerima pendapat tanpa alasan rasional, mereka sering menentangnya, baik terhadap orangtua, guru atau orang dewasa lainnya.

4. Membingungkannya status

Hal yang tidak hanya sulit ditentukan, tetapi juga membingungkan ialah status remaja awal, sehingga orang dewasa sering memperlakukannya secara berganti-ganti, karena masih ragu memberi tanggung jawab dengan alasan mereka masih kanak-kanak.

5. Banyaknya masalah yang dihadapi

Banyak faktor yang menjadi masalah bagi remaja. Selain adanya ciri-ciri remaja tersebut diatas, sifat emosional remaja awal juga menjadikannya menghadapi banyak masalah. Karena emosionalistasnya lebih mendominasi kemampuan, dia kurang mampu untuk menyepakati pendapat orang lain yang kontradiktif dengan pendapatnya, sehingga seringkali muncul masalah baru, yaitu konflik sosial. Penyebab lain adalah semakin minimnya peran orang tua atau orang dewasa lain dalam membantu pemecahan masalahnya, meskipun hal itu terjadi karena ulahnya sendiri, yaitu menolak bantuan itu. Hal ini terjadi karena mereka menganggap bahwa orang dewasa terlalu tua untuk mengerti dan memahami perasaan, emsoi, sikap, kemampuan pikir dan status, sedangkan dirinya lebih mampu untuk melakukan semua itu.

(47)

Kebimbangan masa remaja dalam menghadapi dan memecahkan atau menghindari suatu masalah menjadi indikasi kritisnya masa ini. Bila remaja tidak mampu menghadapi dan menyelesaikan masalahnya, dia akan menjadi orang dewasa yang bergantung pada orang lain. Sebaliknya, apabila dia mampu menghadapi dan menyelesaikan masalahnya, hal itu akan menjadi bekal untuk menghadapi berbagai masalah selanjutnya hingga dewasa.

b. Remaja akhir (17-21 tahun) Ciri khas remaja akhir antara lain : 1. Mulai stabil

Dalam aspek fisik dan psikis, laki-laki muda dan wanita muda menunjukkan peningkatan kestabilan emosi. Kesempurnaan pertumbuhan bentuk jasmani membedakannya dengan perubahan masa remaja awal. Pada masa ini terjdi keseimbangan tubuh dan anggotanya. Begitu pula kestabilan minat-minatnya ; menentukan sekolah, jabatan, pakaian, pergaulan dengan sesama ataupun lain jenis. Kestabilannya juga terjadi dalam sikap dan pandangan, artinya mereka relatif tetap atau mantap dan tidak mudah berubah pendirian hanya karena dibujuk atau dihasut. Gejala ini mengandung sisi positif. Dibanding masa-masa sebelumnya remaja akhir lebih dapat menyesuaikan diri dalam banyak aspek kehidupan.

(48)

puas, menjauhkan dirinya dari rasa kecewa, dan menghantarkannnya pada puncak kebahagiaan.

c. Lebih matang menghadapi masalah

Masalah yang dihadapi pada masa remaja akhir relatif sama dengan masalah yang dihadapi remaja awal. Cara menghadapi masalah itulah yang

membedakannya. Bila remaja awal menghadapinya dengan sikap bingung dan tingkah laku yang tidak sefektif, remaja akhir menghadapinya dengan lebih matang. Kematangan itu ditunjukkan dengan usaha pemecahan masalah-masalah yang dihadapi; baik dengan cara sendiri amupun dengan diskusi dengan teman-teman sebaya. Langkah-langkah pemecahan masalah itu mengarahkan remaja akhir pada tingkah laku yang dapat lebih

menyesuaikan diri dalam situasi perasaan sendri dan lingkungan disekitarnya.

d. Lebih tenang perasaannya

(49)

2.3.3 Perubahan-perubahan yang terjadi pada Masa Remaja

Hurlock (1999), mengatakan perubahan-perubahan fisik yang dialami remaja ialah:

1. Tinggi badan

Rata-rata anak perempuan mencapai tinggi dewasanya pad a usia 17 /18 tahun dan bagi anak laki-laki satu tahun lebih dari usia tersebut.

2. Bera! badan

Perubahan berat tubuh seiring dengan waktu sama dengan perubahan tinggi badan, hanya saja sekarang lebih menyebar ke seluruh tubuh.

3. Proporsi tubuh

Berbagai bagian tubuh secara bertahap mencapai proporsinya. Misal: badan lebih lebar dan lebih kuat.

4. Organ seksual

Pada laki-laki dan perempuan organ seksual mencapai ukuran dewasa pada periode remaja akhir, namun fungsinya belum matang sampai dengan

beberapa

tahun kemudian

5. Karakteristik sex sekunder

Karakteristik sek sekunder utama mengalami perkembangan pada level dewasa

(50)

2.3.4 Remaja Panti Asuhan

Bustam (dalam Farid, 1993) mengatakan panti asuhan sebagai lembaga yang berusaha meningkatkan kesejahteraan anak yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat (UU RI no 4/1979 pasal 11) terus berusaha semaksimal mungkin menciptakan suasana kehidupan seperti suasana kehidupan dalam suatu keluarga, sehingga anak-anak yang diasuhnya terpenuhi kebutuhannya secara wajar akan kesejahteraan sosial yang memungkinkan bagi si anak untuk dapat rumbuh dan berkembang sewajarnya secara jasmaniah, rohaniah, dan sosialnya.

Menurut pedoman pembinaan kesejahteraan sosial anak dini (1999), yang termasuk sasaran pelayanan panti asuhan adalah :

a. Anak yatim, anak piatu dan anak yatim piatu

b. Anak terlantar yang keluarganya mengalami perpecahan

c. Anak yang salah satu atau kedua orang tuanya sakit kronis, terpidana, korban bencana dan lain-lain.

Anak-anak yang diasuh dipanti asuhan dikarenakan oleh suatu keadaan yang tidak menyenangkan yaitu salah satu atau kedua orang tuanya telah

(51)

orang tua pengganti dalam fungsinya untuk mencukupi seluruh kebutuhan fisik, psikis, dan sosial seluruh anak asuhnya.

2.3.4.1 Karakteristik Remaja Panti asuhan

Bustam (dalam Farid,1993) mengatakan bahwa karakteristik anak panti asuhan, antara lain :

a. Kurang perhatian, kurang kasih sayang dan bimbingan dari orang tua b. Lingkungan hidup keluarganya bersifat kurang membantu bagi

pertumbuhannya

c. Kurang pendidikan dan pengetahuan

d. Tidak memiliki bekal keterampilan untuk hidupnya di hari-hari yang akan datang

e. Kurang pakaian

f. Kurang gizi dan vitamin g. Kurang bermain

h. Tiada kepastian tentang hari esok

Kerangka berpikir

(52)

belajar sendiri bagaimana mereka hidup mandiri tanpa bimbingan orang tua. Banyak dari mereka, yang awalnya tidak bisa menerima keberadaannya di panti asuhan. Mereka akan shock, sedih, marah, kecewa, karena orang tua mereka menempatkan mereka di panti asuhan. Namun, melalui pendidikan yang didapat, pengalaman-pengalaman yang mereka alami selama di panti, serta bertambahnya usia, sebenarnya mereka dapat belajar dan akhirnya mampu mengendalikan emosi mereka sehingga bisa menerima dirinya. Hal ini disebabkan karena mereka berada pada kondisi yang sama, sama-sama tidak didampingi orang tua, melakukan kegiatan secara bersaman-sama dan hanya mendapat pengasuhan yang terbatas. Sebagaimana yang

diungkapkan Al-Mighwar (2006),kematangan remaja akhir ditunjukkan dengan usaha pemecahan masalah-masalah yang dihadapi; baik dengan cara sendiri amupun dengan diskusi dengan teman-teman sebaya. Langkah-langkah pemecahan masalah itu mengarahkan remaja akhir pada tingkah laku yang dapat lebih menyesuaikan diri dalam situasi perasaan sendri dan lingkungan disekitarnya. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Hurlock (1974) yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah orang yang dapat mengenali segala

(53)

Remaja Panti

asuhan dengan

karakteristik : Kurang kasih

sayang, perhatian,

gizi, pakaian, pendidikan,

pengetahuan

Hipotesis

Matangnya emosi dengan karakteristik :

Mandiri, mampu

menerima realitas,

1nampu beradaptasi,

rnerespon dengan

baik,memiliki empati,

mampu menguasai amarah

Mampu menerin1a dirinya,

dengan karekteristik : Mampu menghadapi persoalan, menganggap dirinya berharga, mampu menyesuaikan diri, bertanggung jawab,

menerima kelebihan serta

kekurangan yang dimiliki

Dari uraian diatas dapat diajukan hipotesa sebagai berikut :

Ha

= tidak ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan penerimaan diri pada remaja yang tinggal di panti asuhan.
(54)

3.1.2. Definisi Variabel dan Operasional

3.1.2.1 Definisi Variabel

Variabel adalah suatu sifat yang memiliki berbagai macam nilai (Kerlinger,

2006). Variabel dalam penelitian terdiri dari dua macam variabel yaitu satu

variabel bebas dan satu variabel terikat dengan definisi sebagai berikut :

a. Variabel bebas (independent variable) adalah kematangan emosi, yaitu

sejauh mana individu dapat mengekspresikan emosinya secara tepat,

yaitu dengan memunculkan mekanisme psikologi yang sesuai dan

bermanfaat, untuk mengahdapi berbagai keadaan dalam kehidupan

sehari-hari ; dimana kemampuan tersebut didasarkan pada

pengalaman-pengalamannya dimasa lalu dan keinginan individu untuk terus belajar

dari kehidupannya.

b. Variabel terikat (dependent variable) adalah Penerimaan diri, yaitu sejauh

mana individu mampu menerima kelebihan dan kekurangan dirinya, dan

mau hidup dengan keadaan tersebut, serta tahu cara meningkatkan dan

memperbaiki kelebihannya serta mengecilkan kekurangannya untuk

digunakan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

3.1.2.2 Devinisi Operasional

a. Operasionalisasi pada variabel kematangan emosi adalah pengukuran

kematangan emosi berdasarkan hasil skor alat ukur pada aspek ke arah

(55)

kesiapan merespon, kemampuan untuk seimbang, kemampuan berempati, dan kemampuan menguasai amarah.

b. Operasionalisasi pada variabel penerimaan diri adalah pengukuran penerimaan diri berdasarkan hasil skor alat ukur pada aspek memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani kehidupan,

menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan individu lain, individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan ditolak orang lain, individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri,individu berani memikul

tanggung jawab terhadap perilakunya,m enerima pujian atau celaan atas dirinya secara objektif,individu tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya

3.2. Pengambilan Sampel

3.2.1 Populasi Dan Sampel

Sugiono (2008) mengatakan populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh penulis untuk dipelajari dan kemudian ditarik

(56)

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/siswi Yayasan Masjid A-Taubah,

Bekasi yang berjumlah 49 orang. Menurut Bailey dalam Iqbal (2002),

menyatakan bahwa untuk penelitian yang menggunakan analisis data

statistik, ukuran sampel yang paling minimum adalah 30. Dalam uji coba

penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 30 subjek. Sedangkan pada field

study penelitian ini, jumlah subjek yang ditentukan oleh peneliti adalah

sebanyak populasi yang terdapat pada Yayasan Mesjid At-Taubah,

siswa/siswi yang berusia 17-18 tahun sebanyak 49 orang.

3.2.2.Teknik pengambilan sampel

Penelitian ini menggunakan teknik sampel purposive sampling,cirinya yaitu

penilaian dan upaya cermat untuk memperoleh sampel represntatif dengan

cara meliputi wilayah-wilayah atau kelompok-kelompok yang diduga sebagai

anggota sampelnya (Kerlinger, 2006). Untuk penggolongan sampel,

karakteristik yang ditentukan adalah:

1. Remaja putra atau putri yang berusia 17-18 tahun. Adapun alasan

pengambilan usia 17-18 sebagai subjek penelitian karena masalah

kematangan emosi dan penerimaan diri

2. Remaja putra atau putri yang masih atau tidak memiliki kedua orang tua.

(57)

3.3.Pengumpulan Data

3.3.1. Metode dan instrument penelitian

Skala yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada skala model Liker!.

Azwar (2007), menyatakan bahwa skala model Liker! adalah metode

penskalaan pernyataan individu yang menggunakan distribusi respon

sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Dalam penelitian ini skala yang

digunakan dalam pengumpulan data adalah: skala penerimaan diri dan skala

kematangan emosi. Skala dalam penelitian ini terdapat 5 kategori jawaban

dan masing-masing kategori ini memiliki nilai tertentu. Penilaiannya dapat

terlihat pada tabel di bawah ini:

Pilihan

Tabel 3.1

Bobot nilai

Pernyataan

Favorabel Unfavorabel

STS (Sangat Tidak setuju)

1

5

TS (Tidak setuju)

2

4

N (Netral)

3

3

S (Setuju)

4

2

[image:57.521.41.450.137.596.2]
(58)

kepercayaan terhadap 7 2 teman

Kemampuan a. Mampu menempatkan 37,48 51,63 4 berempati diri dan memahami

oerasaan teman asrama

Kemampuan a. Mampu mengendalikan 9, 11 21,29

4

menguasai emosi ketika berhadapan a ma rah dengan teman seasrama

Jumlah 34 34

68

2. Skala Penerimaan Diri

[image:58.521.37.456.34.627.2]

Skala ini disusun mengacu pada komponen kematangan emosi yang dibuat berdasarkan teori Sheerer dalam Cronbach (1963), yaitu:

Tabel 3.2

Blue Print Penerimaan Diri

Aspek lndikator Fav Unfav Jml

Memiliki keyakinan a. Percaya diri 1,16,34 11,21,2 8

akan kemampuan pad a 41 8

dirinya dalam kemampuan 2

menjalani kehidupan yang dimiliki b. Mampu

menyelesaikan masalah yang dihadapi baik dalam diri maupun lingkungan sekitar

Menganggap dirinya a. Seseorang yang 3,29 33,35 4

berharga sebagai menghargai seorang manusia dirinya dan yang sederajat bermanfaat bagi dengan individu lain teman

asramanya

(59)

menganggap dirinya berbeda dengan 2 aneh atau abnormal teman lainnya dan tidak ada

harapan ditolak oranq lain

lndividu tidak malu a. Mau 13,15 5,22 4

atau hanya beradaptasi

memperhatikan dengan

orang-dirinya sendiri orang di asrama 27,31, 6,18,23 6

dan 43

lingkungannya b. Mengutamakan

kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan pribadi

lndividu berani a. Berani 7,44 36,39 4 memikul tanggung menerima

jawab terhadap resiko atas apa

perilakunya yang telah

diperbuat

Menerima pujian a. Bersedia 8,19,24 25,37,3 8

atau celaan atas memberikan ,32 8,45 2

dirinya secara dan menerima

objektif kritik dan saran

dari oranq lain

lndividu tidak a. Menerima 20,26,4 9,10,14 6 menyalahkan diri kelebihan dan 6

atas keterbatasan kekurangan yang yang dimilikinya dimiliki

ataupun mengingkari kelebihannya

(60)

3.3.2. Teknik uji instrument penelitian

Sebelum penelitian dilaksanakan, penulis melakukan uji coba (try out) alat tes. Adapun uji coba (try out) ini dilakukan dengan teknik purposive sampling sampling, yaitu suatu bentuk pengambilan sampel yang dilakukan

berdasarkan beberapa pertimbangan. Dikatakan juga sebagai teknik pengambilan sampel bertujuan, yang memiliki syarat berdasarkan karakteristik tertentu.

Uji coba instrumen dilakukan dengan maksud untuk :

1.Sejauh mana pemahaman sampel terhadap pernyataan atau item-item yang diberikan.

2.Mengetahui validitas instrumen, dimana skor tiap item dikorelasikan dengan skor total. Dan item yang valid akan digunakan pada penelitian sebenarnya. 3.Mengetahui tingkat reliabilitas instrumen.

Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti melakukan uji instrumen yang diberikan kepada remaja siswa/siswi panti asuhan Yayasan Masjid At-taubah yang berjumlah 30 orang yang memenuhi kriteria sampel.

a. Skala Kematangan Emosi

Pada uji instrumen yang pertama dengan menggunakan 68 item terdapat 41 item yang valid, diantaranya pada nomor:

(61)

pada skala kematangan emosi ialah sebesar a = 0,870. Lebih jelasnya item

yang valid dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.3

Bl ue rm P. t K ema anQan mos1 t E

Aspek lndikator Fav Unfav Jml

Ke arah a. Bersikap dewasa dalam 1*,2* 30* 3

kemandirian bergaul

b. Mampu menentukan ide- 23*,55*, 14* 4

ide positif dan 64*

bertanggung jawab alas ide tersebut

Kemampuan a. Menerima kekurangan 32*,39* 24* 3

untuk dan kelebihan yang ada

menerima dalam diri 16*,25*, 4*,57* 5

realitas b. Mampu bersaing secara 40* positif dengan teman

asrama

Kemampuan a. Mampu menyesuaikan 66*,67* 42* 3

beradaptasi diri dengan teman asrama dan lingkungan

baru dalam asrama 59* 43* 2

b. Mampu menerima orang teman asrama

Kesiapan c. Memiliki sikap cepat 26*,34*, 50*,60*, 6

merespon tanggap terhadap teman 44* 68*

d. Peka terhadap kondisi yang

teman alami 7*,45* 18*,46* 4

Kemampuan c. Menyadari akan kebutuhan 19*,49* 35* 3

untuk bergantung dengan dengan

seimbang tern an

d. Memberikan kepercayaan 28*,47* 62* 3

terhadap teman

Kemampuan a. Mampu menempatkan 48* 63* 2

berempati diri dan memahami

perasaan teman asrama

Kemampuan a. Mampu mengendalikan 9*, 11 * 21* 3

menguasai emosi ketika berhadapan

amarah denaan teman seasrama

Ju ml ah 25 16 41

[image:61.521.35.457.105.599.2]
(62)

b. Skala Penerimaan Diri

Setelah dilakukan uji coba instrumen dengan menggunakan 46 item,terdapat 28 item yang valid. Hasil reliabilitas pada uji instrumen yang pertama ialah a

=

0,830. item yang valid diantaranya nomor: [image:62.519.36.454.162.630.2]

1,2,4,5,6,7,8, 12, 13, 14, 15, 17, 19,20,22,24,28,29,30,31,32,33,37,39,41,42,43,4 4. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.4

Blue Print Penerimaan Diri

Aspek lndikator Fav Unfav Jml

Memiliki keyakinan a. Percaya diri 1* 28*

2

akan kemampuan pad a 41* 2* 2

dirinya dalam kemampuan

menjalani kehidupan yang dimiliki b. Mampu

menyelesaikan masalah yang dihadapi baik dalam diri maupun lingkungan sekitar

Menganggap dirinya a. Seseorang yang 29* 33*

2

berharga sebagai menghargai seorang manusia dirinya dan yang sederajat bermanfaat bagi denqan individu lain teman asrama

lndividu tidak a. Tidak merasa 12*, 17*, 4*,30* 5

menganggap dirinya berbeda dengan 42* aneh atau abnormal teman lainnya

dan tidak ada harapan ditolak oranq lain

lndividu tidak malu a. Mau beradaptasi 13*, 15* 5*,22* 4

atau hanya dengan

(63)

dirinya sendiri dan 31*,43* 6* 3 lingkungannya

b. Mengutamakan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan oribadi

Jndividu berani a.Berani menerima 7*,44* 39* 3

memikul tanggung resiko atas apa jawab terhadap yang telah

perilakunya diperbuat

Menerima pujian a. Bersedia 8*, 19*,2 37* 5

atau celaan atas memberikan dan 4*,32* dirinya secara menerima kritik

objektif dan saran dari

oranq lain

lndividu tidak a. Menerima 20* 14* 2

menyalahkan diri kelebihan dan atas keterbatasan kekurangan yang yang dimilikinya dimiliki

ataupun mengingkari kelebihannya

Jumlah 17 11 28

Pengujian validitas

1. Uji validitas skala

(64)

GBᄋー[[pusセ@

セMuMQQGLZ@

SYAHIO

jaセャ|rta@

' tersebut gugur atau dimodifikasi dan apabila skor yang didapat tingg1 ffia'Ka skor tersebut valid dan dijadikan sebagai item dalam skala penulisan.

Pengujian Reliabilitas

2. Uji reliabilitas skala

Reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka diuji-ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekivalen yang berbeda atau dalam kondisi pengujian yang berbeda (Anastasi,

2007).

Dalam aplikasinya reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxy·) yang angkanya berada dalam rentang dari

0

sampai dengan

1,00.

sebuah instrumen dikatan reliabel apabila memiliki koefisien reliabilitas di atas

0,630

(Anastasi,

2007).

Untuk menghitung korelasi antar variabel

digunakan rumus koefisien korelasi pearson product moment dan perhitungannya dibantu dengan program SPSS

17.0

3.4 Teknik analisa data

(65)

Untuk menghitung korelasi antar variabel digunakan rumus koefisien korelasi pearson product moment dan perhitungannya dibantu dengan program SPSS 17.0.

3.5

Prosedur penelitian

Berkaitan dengan jalannya penelitian ini, peneliti merencanakan langkah langkah prosedur penelitian yang menunjang kelancaran dan keberhasilan penelitian ini, yaitu:

1 . Persiapan

1 ). Dimulai dengan perumusan masalah 2). Menentukan variabel yang akan diteliti

3). Melakukan studi pustaka untuk mendapatkan gambaran dan landasan teori yang tepat yang berkaitan dengan variabel penelitian.

4 ). Menentukan, menyusun dan mempersiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu skala kematangan emosi dan skala peneimaan diri remaja panti asuhan.

(66)

1 ). Melakukan skoring setiap hasil skala yang telah diisi oleh masing

masing responden penelitian

2). Menghitung dan membuat tabulasi data yang diperoleh kemudian

dibuat tabel data.

3). Melakukan analisis data dengan menggunakan metode statistik untuk

menguji hipotesis penelitian dan korelasi antar variabel penelitian.

5. Tahap Pembahasan

1 ). Menginterpretasi dan membahas has ii analisis statistik berdasarkan

teori.

2). Membuat kesimpulan hasil penelitian dengan memperhitungkan data

(67)

4.1

Gambaran Umum Subjek Penelitian [image:67.519.34.471.157.468.2]

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang tinggal di Panti Asuhan berjumlah 49 orang, dengan kriteria (1) Perempuan dan laki-laki, (2) Usia antara 17-21 tahun, (3) Kelas, (4) Lama berada di asrama, (5) Status saat ini. Berikut ini adalah uraian gambaran umum dari subjek penelitian :

Tabel 4.1

Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah Persentase

Jenis Kelamin Laki-laki 27 55,10 %

Perempuan 22 44,9 %

(68)
[image:68.518.28.467.94.474.2]

Tabel 4.4

Gambaran Subjek Berdasarkan Lama Berada di Asrama

Jumlah Presentase

1 24 48,97%

Lama Berada 2 7 14,29 %

di Asrama

3

7 14,29 %

4

6

12,24 %

5

5

10,21 %

Jumlah 49 100%

(69)
[image:69.518.27.464.94.482.2]

Tabel 4.5

Gambaran Subjek Berdasarkan Status

Jumlah Presentase

Memiliki orang tua 8 16,33%

Status saat ini Yatim 14 28,57 %

Pia tu 17 34,69 %

Yatim-piatu 10 20,41 %

Jumlah 49 100%

Berdasarkan status mereka saat ini, yang masih memiliki orang tua terdapat 8 orang dengan presentase sebesar 16,33%, subjek yang termasuk anak yatim ada 14 orang dengan presentase sebesar 28,57%, yang termasuk anak piatu terdapat 17 orang dengan presentase sebesar 34,69%, dan yang termasuk yatim piatu ada 10 orang dengan presentase 20,41 %.

4.2.

Presentasi Data

4.2.1. Deskripsi Statistik

Di bawah ini akan dipaparkan deskripsi umum dari hasil skor perhitungan statistik dari skala yang dibagikan kepada subjek penelitian. Untuk

(70)

dengan kategori rendah, sedang dan tinggi. Untuk mengkategorisasikan

peneliti terlebih dahulu menghitung mean media dan standar deviasi dari data

yang didapat dengan mnggunakan SPSS 15.0, dengan hasil sebagai berikut:

N

Mean

Median

Tabel 4.6

Deskripsi Statistik

Kematangan

emosi

Valid 49

Missing 0

160.39

158.00

Std. Deviation 12.921

Minimum 140

Maximum 185

Penerim

aan diri

49

0

105.02

106.00

8.625

87

125

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah sampel dalam

penelitian ini adalah 49 subjek, variabel kematangan emosi dapat dilihat

bahwa rata-rata (mean) sebesar 160.39, nilai minimum sebesar 140, nilai

maksimum sebesar 185, dengan nilai standar deviation sebesar 158.00.

Pada variabel penerimaan diri dapat dilihat bahwa rata-rata (mean) sebesar

105.02, nilai minimum sebesar 87, nilai maksimum sebesar 125, dengan nilai

[image:70.518.41.425.145.473.2]
(71)

4.3

Uji Persyaratan

4.3.1

Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data yang didapat tersebar secara normal atau tidak. Dalam hal ini yang diperhatikan adalah tingkat kesesuaian antara distribusi nilai sampel. Berikut adalah hipotesanya : Ho : Populasi yang berdistribusi normal

Ha : Populasi yang berdistibusi tidak normal

Pengambilan keputusan berdasarkan nilai probabilitas dan a= 0,05 Jika probabilitas > 0,05, maka ho diterima

Jika probabilitas < 0,05, maka ho ditolak

[image:71.518.33.436.158.536.2]

a. Uji Normalitas Skala Kematangan Emosi

Tabel 4.7

Kematangan Emosi

Shapiro-Wilk Statistic df Kematangan

.957 49

emosi

Sig.

.073

(72)

sebesar 0,05. Nilai signifikansi yang didapat yaitu 0,073 lebih besar dari 0,05. Karena nilai signifikansi yang dihasilkan lebih besar dari 0,05, maka dapat disimpukan bahwa data terdistribusi normal.

b. Uji Normalitas Skala Penerimaan Diri

[image:72.524.45.443.144.486.2]

Penerimaan diri

Tabel 4.8

Penerimaan Diri

Shapiro-Wilk Statistic df

.982

49

Sig.

.667

Dari hasil uji normalitas menggunakan rumus Saphiro-Wilk pada SPSS 15.0 didapat nilai signifikansi sebesar 0,667 dan taraf signifikansi alpha 5% atau sebesar 0,05. Nilai signifikansi yang didapat yaitu 0,667 lebih besar dari 0,05. karena nilai signifikansi yang dihasilkan lebih besar dari 0,05, maka dapat disimpukan bahwa data terdistribusi normal.

4.3.2

Uji Linearitas
(73)
[image:73.521.33.465.139.504.2]

model summary dan parameter estimates untuk melihat linearitas kematangan emosi dan penerimaan diri

Tabel 4.9

Model Summary and Parameter Estimates

Parameter

Model Summary Estimates

Equatio R Constan

n Square F df1 df2 Sig. t b1

Linear .597 69.569 1 47 .000 22.309

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000, dengan taraf signifikansi sebesar 0,05. nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 dan menandakan bahwa hubungan antara variable kematangan emosi dengan penerimaan diri bersifat linear dan dapat dianalisis menggunakan teknik regresi linear.

4.4. Uji Hipotesis

4.4.1. Pengujian Hipotesis Statistik Pertama

.516

(74)
[image:74.518.42.442.99.489.2]

Ke ma tan gan emosi Penerima an diri Tabel 4.10

Korelasi Antar Variabel

Kematangan emosi

Pearson 1

Correlation Sig. (2-tailed)

N 49

Pearson .773 ..

Correlation

Sig. (2-tailed) .000

N 49

Penerimaan diri .773 .. .000 49 1 49

Berdasarkan hasil di atas menunjukan bahwa korelasi antara variabel 1 yaitu kematangan emosi dan variabel 2 yaitu penerimaan diri mempunyai korelasi sebesar 0, 773. sedangkan r tabel pad a taraf signifikansi 5% dan 1 % untuk sampel sebesar 49 orang adalah sebesar 0,281 dan 0,364. Adapun

hipoptesis yang d

Gambar

Tabel 3.1 Format Skoring Skala Likert
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir
gambaran mengenai korelasi antara kematangan emosi dengan penerimaan
Tabel 3.1 Bobot nilai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seperti halnya bagi seorang individu yang sedang mengalami suatu perpisahan atau kematian orang tersayang, mereka akan mempunyai kesadaran baru untuk menerima dan memahami

Masih adanya aspek-aspek dari kesejahteraan psikologis yang belum terpenuhi dan tercermin dalam perilakunya menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis remaja di

kekurangan maupun kelebihannya, sehingga istri dapat bertindak sesuai dengan kondisi dirinya, (2) meningkatkan pemahaman diri, sebab pemahaman terhadap diri

individu dapat menjalin hubungan yang positif pula dengan orang lain. Mampu memaafkan diri sendiri, orang lain serta keadaan dapat mengubah berbagai kondisi psikologis yang

Seperti halnya bagi seorang individu yang sedang mengalami suatu perpisahan atau kematian orang tersayang, mereka akan mempunyai kesadaran baru untuk menerima dan memahami

Hasil penelitian yang diperoleh adalah remaja putri pada Panti Asuhan Puteri Aisyiyah memiliki gambaran penerimaan diri yang baik, dan dapat menerima dirinya dengan

Penelitian Assahhra (2012) menunjukkan bahwa faktor lain yang mempengaruhi konsep diri positif selain adanya penerimaan dan kehangatan dari lingkungan, yaitu

Anak yang mempunyai penyesuaian sosial yang tinggi akan merasa nyaman dengan dirinya sendiri, cenderung mengetahui potensi yang ada pada dirinya, dapat bersosialisasi, dan