• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seroprevalensi dan Faktor Risiko Penularan Mycoplasma gallisepticum pada Peternakan Ayam Petelur Komersial di Kabupaten Blitar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Seroprevalensi dan Faktor Risiko Penularan Mycoplasma gallisepticum pada Peternakan Ayam Petelur Komersial di Kabupaten Blitar"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENULARAN

Mycoplasma gallisepticum

PADA PETERNAKAN AYAM

PETELUR KOMERSIAL DI KABUPATEN BLITAR

DIYANTORO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Seroprevalensi dan Faktor Risiko Penularan Mycoplasma gallisepticum pada Peternakan Ayam Petelur Komersial di Kabupaten Blitar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

(4)

RINGKASAN

DIYANTORO. Seroprevalensi dan Faktor Risiko Penularan Mycoplasma gallisepticum pada Peternakan Ayam Petelur Komersial di Kabupaten Blitar. Dibimbing oleh I WAYAN TEGUH WIBAWAN dan EKO SUGENG PRIBADI

Mycoplasma gallisepticum (MG) dapat menyebabkan terjadinya penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD) pada ayam yang merupakan penyakit endemik pada ternak ayam dan sangat merugikan industri perunggasan tidak saja di Indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia. Penyakit CRD masuk dalam kategori notifiable diseases yang berarti jika terjadi kasus CRD di lapangan harus segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera ditanggulangi. Belum banyak peternak yang menyadari bahwa CRD mengakibatkan dampak kerugian ekonomi dari hulu hingga hilir. Kerugian ekonomi yang terjadi akibat CRD bukan disebabkan oleh kematian yang tinggi, tetapi disebabkan oleh oleh menurunnya produksi telur, fertilitas dan daya tetas dalam kisaran 8% sampai 30%, kematian embrio sebesar 5% sampai 20%, kematian anak ayam sebesar 5% sampai 10%, kenaikan berat badan terhambat, serta konversi pakan naik.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui besar seroprevalensi MG pada peternakan ayam petelur komersial di Kabupaten Blitar; (2) memberikan gambaran peta sebaran kasus CRD peternakan ayam petelur komersial; dan (3) mengidentifikasi faktor risiko apa saja yang terlibat dalam penularan kasus CRD di beberapa peternakan di wilayah Kabupaten Blitar.

Disain penelitian ini adalah kajian lapang lintas seksional, yaitu pengambilan data hanya dilakukan pada satu kali waktu saja. Data yang diambil berupa data contoh serum darah ayam petelur komersial dan data kuisioner dari peternak dan pakar perunggasan. Contoh serum darah ayam petelur komersial di uji di laboratorium dengan teknik uji Rapid Serum Agglutination (RSA). Data hasil laboratorium diolah untuk mengetahui besarnya angka prevalensi mentah dan nilai rasio risiko terstandar (standardized risk ratio, SRR). Data dari hasil kuisioner yang disebarkan kepada peternak diolah menggunakan uji korelasi Cramer’s V dan regresi logistik dalam program komputer SPSS versi 17, sedangkan data yang disebarkan kepada pakar perunggasan yang ada di Wilayah Kabupaten Blitar diolah menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan bantuan program komputer Expert Choice.

(5)

Berdasarkan uji korelasi Cramer’s V menunjukkan bahwa peubah yang memiliki hubungan sangat nyata (p < 0,01) terhadap hasil pengujian contoh serum darah ayam petelur komersial di laboratorium adalah penyimpanan pakan (r = 0,252; p = 0,000), jumlah ayam yang dipelihara per kandang (r = 0,232; p = 0,001), pemberian vitamin (r = 0,194; p = 0,007), teknik pemberian pakan (r = 0,197; p = 0,001) dan intensitas penyemprotan kandang (r = 0,198; p = 0,006). Sedangkan hasil uji analisis regresi logistik pada faktor risiko menunjukkan bahwa faktor risiko yang berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya kejadian kejadian MG di peternakan ayam petelur komersial adalah jumlah ayam yang dipelihara dalam satu kandang sebanyak 1501 – 3000 ekor (p = 0,004; OR = 3,4), jumlah ayam yang dipelihara dalam satu kandang lebih besar dari 3000 ekor (p = 0,001; OR = 6,1), pemberian pakan yang diberikan satu kali dalam sehari (p = 0,002; OR = 0,3), penyemprotan kandang satu kali dalam dua minggu (p = 0,009; OR = 1,2), dan penyemprotan kandang yang hanya dilakukan satu bulan sekali atau hanya jika terjadi kasus penyakit (p = 0,006; OR = 3,9).

Berdasarkan analisis AHP pada faktor-faktor risiko penularan MG di peternakan ayam petelur komersial menunjukkan bahwa faktor risiko jumlah ayam yang dipelihara per kandang lebih dari 3000 ekor mempunyai bobot yang paling besar (0,203) dibandingkan faktor-faktor risiko yang lain, diikuti oleh faktor pemberian vitamin satu sampai dua kali dalam sebulan (0,127) dan yang hanya dilakukan apabila terjadi kasus penyakit (0,119).

(6)

SUMMARY

DIYANTORO. Seroprevalence and Risk Factors of Mycoplasma gallisepticum Infection in Commercial Layer Farms in Blitar Regency.

Supervised by I WAYAN TEGUH WIBAWAN dan EKO SUGENG PRIBADI Mycoplasma gallisepticum (MG) may cause chronic respiratory disease (CRD) in chickens, an endemic disease in poultry flock and economically significant disease of poultry industry not only in Indonesia but also in many countries around the world. CRD are included in the category of notifiable disease, which means in CRD case occur in the field should be immediately reported to government to be handled. Only few farmers are aware that CRD caused economic losses from upstream to downstream. Economic losses is not caused by high mortality, but is caused by reduced egg production, reduced fertility and hatchability in the range of 8% to 30%, increased embrio mortality up to 20%, increased chicks mortality up to 10%, inhibited weight gain, and increased feed convertion.

This study aims to (1) determine a seroprevalence of MG in commercial layer farm in Blitar Regency; (2) create an overview map of the distribution of CRD cases in commercial layer farm; (3) identify any risk factors involved in the CRD infection in some commercial layer farms in Blitar Regency.

The study was using cross-sectional field study design, in which data was only taken at one time. The data of blood serum sample of commercial layer and the data of questionnaire from farmers and poultry experts was collected. Blood serum sample from commercial layer chickens tested in laboratory using rapid serum agglutination (RSA) test. Data of laboratory results was processed to determine the crude seroprevalence rate and standardized risk ratio value. Data from the questionnaires distributed to farmers were processed using Cramer’s V correlation test and logistic regression in SPSS version 17, while the data from poultry expert questionnaires were processed using Analytical Hierarchy Process (AHP) in Expert Choice computer program.

The results showed that 26 samples of 264 samples tested were found positive for MG, while 238 were found negative, indicating a share of 9.85% among of respiratory disease. Positive sample for MG was found in 10 sub-districts and negative sample was found in 12 sub-sub-districts. Bakung sub-district has the highest risk of MG infection (SRR = 5.0), followed by Udan Awu sub-district (SRR = 4.0). Gandusari and Sutojayan sub-sub-districts have the same SRR value (SRR = 3.0), the other five sub-districts (Srengat, Wlingi, Selopuro, Wonotirto, and Wates districts) only has SRR value 2,0. Binangun sub-district has SSR value 1,0 while the other sub-sub-district has the lowest risk of MG infection (SRR = 0.0)

(7)

(p = 0.001; OR = 6.1), bird feeding once a day (p = 0.002; OR = 0.3), house disinfection once every two weeks (p = 0.009; OR = 1.2) and once a month or only in case (p = 0.006; OR = 3.9).

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENULARAN

Mycoplasma gallisepticum PADA PETERNAKAN AYAM PETELUR

KOMERSIAL DI KABUPATEN BLITAR

DIYANTORO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Mikrobiologi Medik

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Seroprevalensi dan Faktor Risiko Penularan Mycoplasma gallisepticum pada Peternakan Ayam Petelur Komersial di Kabupaten Blitar

Nama : Diyantoro NIM : B253130051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Ketua

Dr. Drh. Eko Sugeng Pribadi, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Mikrobiologi Medik

Prof. Dr. Drh. H. Fachriyan H. Pasaribu

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr.

Tanggal Ujian: 17 Juni 2015

(12)

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya maka studi dan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Drh. Eko Sugeng Pribadi, MS selaku komisi pembimbing yang telah sabar dan setia meluangkan banyak waktu untuk memberikan arahan dan saran dalam proses pembimbingan dan penyelesaian tesis. Terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu selaku ketua program studi Mikrobiologi Medik serta seluruh dosen program studi Mikrobiologi Medik beserta tenaga kependidikan yang turut membantu dan mendukung secara penuh dan konsisten sehingga studi dan penelitian penulis dapat selesai dengan baik.

Terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah mempercayakan dan memberikan Beasiswa Program Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) dan kesempatan bagi penulis untuk dapat menjalani proses pendidikan magister di Sekolah Pascasarjana IPB.

Terima kasih kepada Dinas Peternakan Kabupaten Blitar, dan Pusat Veteriner Farma, Surabaya, yang telah memfasilitasi dan mendukung secara penuh terhadap kegiatan penelitian yang saya lakukan.

Terima kasih kepada Bapak dan Ibu yang dengan ikhlas memberikan dorongan, semangat dan, doa dalam proses pendidikan magister yang penulis tempuh. Terima kasih juga diucapkan untuk seluruh keluarga besar yang turut memotivasi dan menginspirasi penulis selama menjalani perkuliahan.

Terima kasih kepada teman-teman kelas MKM Reguler tahun 2013 yang selalu kompak, semangat, dan sukacita dalam menempuh pendidikan magister bersama-sama. Terima kasih juga diucapkan kepada teman-teman MKM tahun 2012 yang telah memberikan warna dan keceriaan saat proses pendidikan di Program Studi Mikrobiologi Medik, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Semoga bantuan, dukungan, dorongan, dan perhatian dari semua pihak yang telah diberikan dengan tulus kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga diharapkan adanya saran dan kritik yang dapat membangun di masa mendatang. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juni 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Hipotesis penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi 3

Mekanisme Infeksi 3

Gejala Klinis dan Patologik 4

Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian 4

Kabupaten Blitar 5

3 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian 5

Alat dan Bahan Penelitian 5

Rancangan Penelitian 5

Metode Pengumpulan Data 6

Pengumpulan Contoh Serum Darah 7

Teknik Uji RSA (Rapid Serum Agglutination) 7

Analisa Data 8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Prevalensi Antibodi Spesifik MG 13

Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Pengelolaan Pemeliharaan 13 Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Pengelolaan Kesehatan 15 Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Pengelolaan Pakan 17 Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Biosekuriti Peternakan 18 Pemetaan Besar Risiko Penularan Mycoplasma gallisepticum pada

Peternakan Ayam Petelur Komersial di Kabupaten Blitar 19 Hasil Uji Korelasi dan Regresi Logistik pada Kuisioner Peternak 22

Hasil Analisis Faktor Risiko dengan AHP 26

5 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 30

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 30

(14)

DAFTAR TABEL

1 Pembagian kelas tiap kecamatan berdasarkan nilai SRR yang diperoleh 9 2 Bobot penilaian perbandingan berpasangan dalam AHP (Saaty 2001) 10

3 Interpretasi indeks konsistensi 12

4 Prevalensi antibodi spesifik MG tiap kecamatan 14 5 Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam pengelolaan pemeliharaan 15 6 Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam pengelolaan kesehatan 16 7 Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam pengelolaan pakan 17 8 Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam biosekuriti peternakan 18 9 Persentase jumlah ayam petelur komersial di Kabupaten Blitar 20 10 Hasil penghitungan nilai SRR untuk tiap kecamatan 21 11 Interpretasi nilai Koefisien Korelasi (nilai r) 22

12 Data hasil uji korelasi Cramer’s V 22

13 Data hasil uji regresi logistik pada faktor risiko penularan MG

pada peternakan ayam petelur komersial 24

DAFTAR GAMBAR

1 Peta wilayah Kabupaten Blitar 6

2 Skema penyusunan hirarki 11

3 Diagram alir penelitian 12

4 Peta chloropleth berdasarkan persentase jumlah ayam petelur komersial

di 22 kecamatan di Kabupaten Blitar 19

5 Peta chloropleth yang menunjukkan nilai SRR dari prevalensi Mycoplasma gallisepticum pada peternakan ayam petelur

di Kabupaten Blitar 21

6 Grafik bobot risiko penularan MG pada peternakan ayam petelur

komersial 26

7 Grafik bobot faktor risiko penularan MG pada peternakan ayam

petelur komersial 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data prevalensi Mycoplasma gallisepticum di wilayah

Kabupaten Blitar dan nilai SRR tiap kecamatan 33 2 Kuisioner peternak mengenai kondisi peternakan

yang dikelolanya 34

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan populasi ayam dari tahun ke tahun di Indonesia semakin meningkat walaupun banyak kendala yang sering dihadapi. Perkembangan juga terlihat dari mutu ayam, tingkat produktifitas, hingga pengelolaan pemeliharaan. Dalam upaya meningkatkan produktifitas ternak ayam, faktor pengelolaan peternakan harus diterapkan secara optimal, diantaranya pengelolaan kandang, pengelolaan pakan, dan pengelolaan kesehatan.

Beberapa mikroorganisme patogen dapat menjadi kendala dalam upaya meningkatkan populasi ayam dan beberapa diantaranya dapat menyerang saluran pernafasan. Salah satu diantaranya adalah Mycoplasma gallisepticum (MG), yang merupakan agen penyakit yang sangat penting bagi pembangunan peternakan di Indonesia. Infeksi yang disebabkan oleh MG dikenal sebagai Chronic Respiratory Disease (CRD) pada ayam dan sinusitis menular pada kalkun (Ley 2008).

Penyakit CRD merupakan penyakit endemik pada ternak ayam yang sangat merugikan industri perunggasan tidak saja di Indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia (BPPH 2007; Ley 2008). Menurut OIE (2008), CRD masuk dalam kategori notifiable diseases yang berarti jika terjadi kasus CRD di lapangan harus segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera ditanggulangi. Belum banyak peternak yang menyadari bahwa CRD mengkibatkan dampak kerugian ekonomi dari hulu hingga hilir (Buim et al. 2009). Penyakit ini juga menyebabkan kondisi imunosupresif pada tubuh ayam yang mengakibatkan terjadinya kegagalan vaksinasi (Szathmary dan Stipkovits 2006). Selain itu, ayam yang terinfeksi menjadi pembawa patogen yang mengakibatkan wilayah tempat peternakan terinfeksi menjadi daerah endemik. Kerugian ekonomi yang terjadi akibat CRD bukan disebabkan oleh kematian yang tinggi, tetapi disebabkan oleh oleh menurunnya produksi telur, fertilitas dan daya tetas dalam kisaran 8% sampai 30%, kematian embrio sebesar 5% sampai 20%, kematian anak ayam sebesar 5% sampai 10%, kenaikan berat badan terhambat, serta konversi pakan naik (Yilmaz et al. 2011; Soeripto 2001). Mortalitas penyakit rendah kecuali terjadi infeksi sekunder oleh patogen lainnya, tetapi morbiditas dapat mencapai 100% (Yilmaz et al. 2011).

Pengobatan CRD biasanya dilakukan menggunakan antibiotika. Namun, pengobatan ini dinilai tidak efektif karena predileksi dari bakteri M. gallisepticum di kantung udara (saccus pneumaticus) yang memiliki sedikit vaskularisasi sehingga antibiotika yang diberikan tidak dapat menjangkau patogen (Buim 2007). Pengobatan yang terus menerus dengan obat yang sama tidak disarankan, karena dapat menyebabkan resistensi serta meninggalkan residu yang berbahaya bagi masyarakat yang makan daging ayam (CSE 2014).

(16)

secara vertikal dapat terjadi melalui indung telur atau oviduct (Mettifogo dan Ferreira 2007). Kejadian penyebaran vertikal biasanya tinggi pada fase akut tetapi rendah pada fase kronik (Levisohn dan Kleven 2000; Soeripto 2000).

Beberapa faktor yang dapat mengakibatkan peningkatan risiko penularan penyakit di kelompok peternakan ayam antara lain peningkatan kontak dengan manusia, keberagaman umur dalam satu kelompok, perpindahan mesin-mesin peternakan antar kelompok, keberadaan burung liar, minimnya ventilasi untuk mengurangi jumlah amoniak dan debu, tidak adanya pembuangan kotoran secara rutin, kurang teraturnya pembersihan kandang dan pembuangan bangkai, dan tidak adanya proses pembuangan alas kandang sebelum memasukkan ayam baru (Sims 2009).

Perumusan Masalah

Kejadian CRD tidak hanya pada ayam pembibit saja, tetapi juga terjadi pada ayam komersial di seluruh Indonesia (Romindo 2007; BPPH 2007). Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh CRD mencapai nilai yang cukup besar, baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat (Soeripto 2002; Vance et al. 2008). Populasi ternak ayam petelur komersial yang terbesar adalah di Kabupaten Blitar. Pengawasan dan pencatatan kejadian penyakit CRD di lapangan di Indonesia belum dilakukan dengan baik. Penyakit CRD merupakan penyakit yang berkaitan erat dengan pengelolaan pemeliharaan sehingga pengelolaan yang baik dapat menekan kasus di lapangan. Oleh karena itu, rumusan masalah dari penelitian ini adalah

1. berapa seroprevalensi MG pada peternakan ayam petelur komersial di Kabupaten Blitar?

2. bagaimana gambaran persebaran kasus CRD peternakan ayam petelur komersial?

3. faktor risiko apa saja yang terlibat dalam penularan kasus CRD di beberapa peternakan di wilayah Kabupaten Blitar?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah

1. untuk menentukan besar seroprevalensi MG pada peternakan ayam petelur komersial

2. mengetahui pola persebaran kasus CRD

3. menentukan faktor-faktor risiko yang terlibat dalam penularan kasus CRD di beberapa peternakan di wilayah Kabupaten Blitar

Manfaat Penelitian

(17)

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah peternakan yang mengendalikan faktor-faktor risiko menurunkan angka seroprevalensi infeksi MG.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi

Penyebab utama kasus CRD adalah Mycoplasma gallisepticum (MG). Patogen MG merupakan organisme prokariotik terkecil yang masuk dalam kelas Molicutes dan memiliki dinding sel lunak (Ley 2008). Sel MG tersusun atas tiga lapis membran plasma yang elastis. Oleh karena itu, MG tahan terhadap penisilin dan turunannya yang menjadikan dinding sel sebagai sasaran kerjanya (Buim 2007). Ukuran sel MG beragam antara 0,2 - 0,8 μm dan berbentuk pleomorfik yang beragam mulai dari sperikal atau seperti “buah pir” sampai filamen bercabang atau helikal (Ley 2008). Sel MG dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram atau Giemsa. Koloni yang tumbuh pada media agar pleuropneumonia-like organisms (PPLO) seperti “telur mata sapi” dengan ukuran sel berkisar dari 0,1 sampai 1,0 cm dengan bentuk bulat, permukaan halus dan di tengahnya terdapat bagian yang padat dan menonjol yang disebut bleb (Tajima et al. 1982). Sel MG sangat rentan terhadap suhu udara luar, dan dapat bertahan hidup di luar tubuh ayam selama satu hari pada suhu 37 oC atau sampai tiga hari pada suhu 20 oC (Ley 2008).

Mekanisme Infeksi

(18)

Gejala Klinis dan Patologik

Gejala ayam yang menderita CRD beragam yang umumnya memperlihatkan kesulitan bernafas tergantung dari derajat keparahan infeksi. Gejala klinis diawali dengan keluarnya cairan eksudat bening (catarrhal) dari rongga hidung, bersin, batuk, ngorok dan radang konjungtiva (conjunctivitis). Ayam jantan biasanya memperlihatkan gejala klinis yang lebih jelas (Ley 2008). Jika infeksi berlanjut dan disertai infeksi sekunder maka eksudat hidung yang keluar menjadi agak kental. Gejala pernafasan ini kemudian diikuti dengan turunnya nafsu makan, berat badan dan produksi telur, dan naiknya konversi pakan. Gejala pernafasan tidak khas dan bisa dikelirukan dengan penyakit pernafasan lainnya, seperti infectious coryza (snot), newcastle disease (ND) atau infectious bronchitis (IB). Gejala klinis akan terlihat lebih parah bila sudah melibatkan infeksi lainnya (infeksi sekunder), seperti infeksi Escherichia coli atau virus (Ley 2008).

Perubahan patologik yang paling spesifik untuk CRD adalah adanya peradangan pada trakhea dan kantong membran udara, khususnya pada rongga perut, yang disebut dengan airsacculitis. Oleh karena itu, penyakit ini sering disebut juga dengan airsac disease (Shane 2005). Faktor predisposisi yang dapat memperparah terjadinya infeksi adalah umur, jenis kelamin, cekaman, bau amoniak, lingkungan yang berdebu serta perubahan suhu yang mendadak (Levisohn dan Kleven 2000).

Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian

(19)

Kabupaten Blitar

Kabupaten Blitar merupakan Kabupaten yang terletak di Pulau Jawa bagian Timur. Keberadaan Sungai Brantas membagi wilayah Kabupaten Blitar menjadi dua wilayah, yaitu wilayah Kabupaten Blitar Bagian Utara dan Wilayah Kabupaten Blitar Bagian Selatan (Gambar 1). Wilayah Kabupaten Blitar Bagian Utara memiliki struktur tanah yang lebih subur dibandingkan dengan wilayah Kabupaten Blitar Bagian Selatan. Hamparan wilayah Kabupaten Blitar merupakan daerah dengan ketinggian rata-rata ±100 meter di atas permukaan air laut. Kabupaten Blitar berada di sebelah selatan garis khatulistiwa dan sama dengan wilayah lain di Indonesia yang mempunyai dua jenis musim pada setiap tahunnya, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Kabupaten Blitar terdiri dari 22 kecamatan. Jumlah populasi unggas yang paling banyak di dominasi oleh ayam ras petelur sebanyak 15.336.300 ekor. Berikut jumlah populasi ayam ras petelur berdasarkan tiap kecamatan yang ada : Bakung (103.400 ekor), Wonotirto (88.670 ekor), Panggungrejo (135.500 ekor), Wates (106.100 ekor), Binangun (44.100 ekor), Sutojayan (45.000 ekor), Kademangan (97.800 ekor), Kanigoro (105.800 ekor), Talun (106.500 ekor), Selopuro (85.400 ekor), Kesamben (1.456.200 ekor), Selorejo (1.242.700 ekor), Doko (563.200 ekor), Wlingi (2.308.800 ekor), Gandusari (1.303.100 ekor), Garum (1.082.000 ekor), Nglegok (2.322.000 ekor), Sanankulon (588.200 ekor), Ponggok (686.700 ekor), Srengat (2.059.200 ekor), Wonodadi (483.100 ekor), Udanawu (323.700 ekor) (BPS 2013).

3 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, dari bulan Desember 2014 hingga Februari 2015. Pengambilan contoh serum darah ayam petelur komersial dilakukan di Kabupaten Blitar dan pemeriksaan contoh dilakukan di Laboratorium Peningkatan Mutu dan Pengembangan Produksi (PMPP), Pusat Veteriner Farma, Surabaya.

Alat dan Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serum darah ayam petelur komersial sebanyak 264 contoh dari ayam yang berbeda yang diambil secara acak, dan antigen MG (Pusvetma). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah siring 3 ml, tabung serum, lemari pendingin, lempeng kaca, alat pengaduk, pipet mikro, dan kuisioner.

Rancangan Penelitian

(20)

ayam petelur komersial. Rancangan penelitian ini terdiri dari metode pengumpulan data, pengumpulan contoh serum darah, uji Rapid Serum Agglutination (RSA) dan analisis data. Besaran contoh dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus :

n = 4PQ L2 dengan

n = Besaran contoh P = Prevalensi dugaan Q = (1 – p)

L2 = Tingkat kesalahan maksimum yang dapat diterima (Martin et al. 1987). Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai prevalensi dugaan 20% pada tingkat kepercayaan sebesar 95% dan tingkat kesalahan sebesar 5% sehingga diperoleh contoh sebesar 256 ekor ayam. Pengambilan contoh dilakukan menggunakan metode cluster sampling dengan cara tiap kecamatan mendapatkan jumlah contoh yang sama, sehingga jumlah contoh yang diambil sebanyak 264. Dari setiap kecamatan diambil satu peternakan yang dipilih berdasarkan adanya ayam yang menderita gangguan pernafasan. Setiap peternakan terpilih diambil masing-masing sebanyak 12 contoh.

Gambar 1 Peta wilayah Kabupaten Blitar Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode pengamatan, baik secara langsung terhadap obyek penelitian dengan tujuan untuk memahami kondisi masing-masing peternakan yang sebenarnya, maupun melalui

Keterangan :

1. Udan Awu 13. Selopuro 2. Wonodadi 14. Kesamben 3. Ponggok 15. Selorejo 4. Srengat 16. Kademangan 5. Sanankulon 17. Bakung 6. Kanigoro 18. Sutojayan 7. Nglegok 19. Wonotirto 8. Garum 20. Panggungrejo 9. Gandusari 21. Binangun 10.Wlingi 22. Wates 11.Talun

(21)

kegiatan wawancara yang dituangkan dalam pemberian kuisioner yang berupa kuisioner semantik differensial untuk masing-masing peternak pada peternakan yang telah dipilih sebagai contoh, serta data diperoleh dari hasil analisis contoh serum di laboratorium. Penyebaran kuisioner juga dilakukan kepada beberapa pakar di bidang perunggasan yang ada di wilayah Kabupaten Blitar. Sedangkan informasi yang diamati dan tertuang dalam kuisioner meliputi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penularan MG seperti

1. Manajemen pemeliharaan yang, jumlah ayam per kandang, umur ayam yang sedang dipelihara, dan tipe kandang.

2. Manajemen kesehatan yang meliputi pemberian vaksin, antibiotika, dan vitamin.

3. Manajemen pakan yang meliputi penyimpanan pakan dan teknik pemberian pakan.

4. Biosekuriti peternakan yang meliputi desinfeksi pengunjung atau pegawai, intensitas truk pakan kedalam peternakan, cara penyemprotan kandang, penanganan ayam mati.

Pengumpulan Contoh Serum Darah

Contoh dikumpulkan dari ayam petelur komersial dari beberapa peternakan. Darah diambil dari pembuluh darah balik sayap dengan menggunakan siring 3 ml dan diletakkan pada suhu ruang selama 1 – 2 jam hingga serum terpisah. Serum dari masing-masing contoh dimasukkan ke dalam tabung serum dan disimpan pada suhu 4 oC sampai dilakukan pengujian terhadap MG menggunakan uji RSA.

Teknik Uji RSA (Rapid Serum Agglutination)

Teknik uji RSA dilakukan menurut panduan dari Farmakope Obat Hewan Indonesia (FOHI 2013). Teknik uji RSA dilakukan dengan cara mencampur serum yang akan diuji dengan antigen MG. Sebanyak 60 µl antigen dan 30 µl serum ayam diletakkan pada lempeng kaca dengan posisi bersampingan menggunakan pipet mikro. Kemudian antigen dan serum dicampur menggunakan alat pengaduk sehingga serum dan antigen tercampur secara merata. Pembacaan reaksi aglutinasi dilakukan dua menit setelah pencampuran. Kriteria pembacaan reaksi adalah sebagai berikut :

1. (-) = tidak terjadi reaksi aglutinasi (penggumpalan), 2. (+) = terjadi reaksi penggumpalan halus,

3. (++) = reaksi penggumpalan terlihat agak kasar, 4. (+++) = reaksi penggumpalan terlihat kasar dan jelas,

5. (++++) = reaksi penggumpalan terlihat sangat kasar, sangat jelas dan menyeluruh.

(22)

Analisa Data

Data yang diperoleh merupakan data hasil uji laboratorium dan data hasil penyebaran kuisioner. Data hasil laboratorium diolah untuk mengetahui besarnya angka prevalensi mentah dan nilai SRR masing-masing wilayah. Rumus menentukan angka prevalensi mentah.

AP= Jumlah contoh positif Jumlah contoh yang diambil

Nilai SRR tiap kecamatan dihitung dengan cara membagi jumlah contoh positif perkiraan dengan nilai harapannya. Jumlah contoh positif perkiraan tiap kecamatan dapat dihitung dengan rumus berikut :

yi= ni x AP

dengan

yi = Jumlah contoh positif perkiraan di kecamatan i

ni = Jumlah populasi ayam di kecamatan i

AP = Angka prevalensi mentah

Untuk mengetahui nilai harapannya dihitung dengan rumus :

=

ˆ

i i i i

n

y

n

μ

dengan

i = Nilai harapan rataan dari kecamatan i

ni = Jumlah populasi dari kecamatan i

yi = Jumlah total contoh positif perkiraan di Kabupaten Blitar

ni = Jumlah total populasi ayam petelur di Kabupaten Blitar

Sehingga dapat diperoleh rumus untuk mengetahui nilai SRR dari masing-masing kecamatan sebagai berikut

i i i

y

ˆ

SRR

dengan

SRRi = Nilai SRR dari kecamatan i

yi = Jumlah contoh positif perkiraan di kecamatan i

i

(23)

Semua kecamatan dibagi menjadi lima kelas berdasarkan nilai SRR seperti yang terpapar dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Pembagian kelas tiap kecamatan berdasarkan nilai SRR yang diperoleh

Kelas Nilai SRR Risiko

Kelas 1 1,0 Sangat Rendah

Kelas 2 2,0 Rendah

Kelas 3 3,0 Sedang

Kelas 4 4,0 Tinggi

Kelas 5 5,0 Sangat Tinggi

Untuk membuat gambaran peta chloropleth dari nilai SRR tiap kecamatan di Kabupaten Blitar, maka data hasil uji laboratorium akan dianalisis menggunakan Quantum GIS versi 1.8.0. Data dari hasil kuisioner yang disebarkan kepada peternak diolah menggunakan uji korelasi Cramer’s V dan regresi logistik dalam program komputer SPSS versi 17. Sedangkan data yang disebarkan kepada pakar perunggasan yang ada di Wilayah Kabupaten Blitar diolah menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan bantuan program komputer Expert Choice. Secara garis besar prosedur AHP menurut Saaty (2001) adalah sebagai berikut

1. Dekomposisi masalah atau menyusun hirarki

Dekomposisi masalah atau menyusun hirarki adalah langkah untuk menetapkan suatu tujuan yang selanjutnya diuraikan secara sistematik ke dalam struktur yang menyusun rangkaian sistem hingga tujuan dapat dicapai secara rasional. Dengan kata lain, satu tujuan yang utuh dipecah ke dalam unsur-unsur penyusunnya. Hirarki I adalah tujuan yang akan dicapai. Hirarki II adalah kriteria apa saja yang harus dipenuhi oleh semua alternatif agar layak untuk menjadi pilihan yang paling ideal. Hirarki III adalah alternatif atau pilihan penyelesaian masalah. Penetapan hirarki adalah sesuatu yang sangat relatif dan sangat bergantung dari persoalan yang dihadapi. Hirarki pada penelitian ini terpapar pada Gambar 2.

2. Penilaian untuk membandingkan elemen-elemen

(24)

Tabel 2 Bobot penilaian perbandingan berpasangan dalam AHP (Saaty 2001) Intensitas

pentingnya Definisi

1 Kedua elemen/alternatif sama pentingnya (equal)

3 Elemen A sedikit lebih esensial dari elemen B (moderate) 5 Elemen A lebih esensial dari elemen B (strong)

7 Elemen A jelas lebih esensial dari elemen B (very strong) 9 Elemen A mutlak lebih esensial dari elemen B (very strong) 2,4,6,8 Nilai-nilai antara diantara dua perimbangan yang berdekatan Dalam penilaian perbandingan berpasangan ini berlaku hukum aksioma resiprokal, artinya apabila suatu elemen A dinilai lebih esensial (5) dibandingkan dengan elemen B, maka elemen B lebih esensial 1/5 dibandingkan dengan elemen A. Apabila elemen A sama pentingnya denggan elemen B maka masing-masing bernilai 1.

3. Penyusunan matriks dan uji konsistensi

Penyusunan matriks berpasangan digunakan untuk melakukan normalisasi bobot tingkat kepentingan pada tiap-tiap elemen pada hirarkinya masing-masing. Uji konsistensi dilakukan pada masing-masing kuisioner. Kuisioner yang tidak memenuhi syarat dapat dianulir untuk perbaikan. Prinsip dasar pada uji konsistensi adalah apabila A lebih penting dari B, kemudian B lebih penting dari C, maka tidak mungkin C lebih penting dari A. Tolak ukur yang digunakan adalah indeks konsistensi (CI, consistency index) seperti yang terpapar dalam Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Interpretasi indeks konsistensi Indeks

konsistensi Interpretasi

0 Penilaian sangat konsisten

≤ 0,1 Penilaian cukup konsisten

> 0,1 Penyusunan matriks perlu diperbaiki

≥ 0,9 Penilaian sangat acak dan tidak dapat dipercaya

4. Penetapan prioritas pada masing-masing hirarki dan sintesis dari prioritas Penetapan prioritas pada tiap-tiap hirarki dilakukan melalui proses iterasi atau perkalian matriks.

5. Pengambilan keputusan.

(25)

Gambar 2 Skema penyusunan hirarki. Faktor risiko penularan MG

pada peternakan

Manajemen pemeliharaan

Manajemen kesehatan

Manajemen pakan

Biosekuriti peternakan Hirarki I

Hirarki II

Jumlah ayam per kandang

Umur ayam sedang dipelihara

Tipe kandang

 Vaksinasi  Pemberian

antibiotika  Pemberian

vitamin

Penyimpanan pakan

Teknik pemberian pakan

 Desinfeksi pengunjung  Intensitas truk

pakan

 Cara semprot kandang

(26)

Gambar 3 Diagram alir penelitian. Peternakan

Penyebaran kuisioner

Uji RSA Pengambilan

darah ayam

Preparasi serum

Data hasil

pengujian serum Analisa data

Analisa data melalui : Angka prevalensi mentah Nilai SRR

Kuisioner untuk peternak

Analisa data dengan metode AHP

Faktor risiko

Expert Choice

Mapping

Kuisioner untuk pakar

(27)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prevalensi Antibodi Spesifik MG

Pengujian serologis Mycoplasma gallisepticum di Kabupaten Blitar menggunakan 264 contoh serum darah ayam petelur komersial. Contoh diambil dari 22 kecamatan, dan tiap kecamatan diambil satu peternakan berdasarkan adanya ayam yang menderita gangguan pernafasan. Setiap peternakan terpilih diambil masing-masing sebanyak 12 contoh. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa dari 264 contoh yang diperiksa ditemukan 26 contoh (9,85%) menunjukkan hasil positif terhadap MG, sedangkan 238 contoh (90,15%) menunjukkan hasil negatif. Hasil positif MG ditemukan di 10 kecamatan dan hasil negatif MG ditemukan di 12 kecamatan. Jika dilakukan perbandingan terhadap seropositif MG antar kecamatan, maka didapatkan bahwa Kecamatan Bakung memiliki persentase seropositif paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya, yaitu sebesar 41,67%.

Belum terdapat ketentuan ambang batas minimum keberadaan antibodi MG pada peternakan ayam petelur baik di dunia maupun di Indonesia. Akan tetapi, menurut McMartin et al. (1987) bahwa penularan MG pada flok dapat dijelaskan dalam empat fase yaitu (1) fase laten (12 – 21 hari) sebelum antibodi pertama kali terdeteksi pada ayam terinfeksi; (2) rentang waktu (1 – 21 hari) dimana infeksi secara bertahap muncul pada 5 – 10 % dari populasi; (3) rentang waktu (7 – 32 hari) dimana 90 – 95% dari sisa populasi ditemukan antibodi terhadap MG; (4) fase terminal (3-19 hari) dimana sisa populasi menjadi positif (McMartin et al. 1987). Hasil positif keseluruhan sebesar 9,85% yang didapatkan cukup potensial untuk meningkatkan angka prevalensi MG pada peternakan.

Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Pengelolaan Pemeliharaan

Kriteria dalam pengelolaan pemeliharaan yang diteliti dalam penelitian ini meliputi umur ayam pada saat pembelian, jumah ayam yang dipelihara per kandang, umur ayam yang sedang dipelihara, tipe kandang, keberadaan lalat pada pakan dan kandang, dan keberadaan tikus pada kandang. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah ayam yang dipelihara per kandang lebih besar dari 3000 ekor memberikan kontribusi paling besar terhadap besarnya kejadian penularan MG di peternakan. Berdasarkan umur ayam pada saat pembelian menunjukkan bahwa peternakan yang membeli ayam fase pullet atau ayam dara memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternakan yang membeli DOC (Day Old Chick). Hal itu mungkin diakibatkan karena ayam yang dibeli ketika sudah fase pullet telah terinfeksi pada peternakan sebelumnya akan tetapi sejarah penyakit tidak tercatat. Peternakan yang memelihara ayam sejak mulai DOC memudahkan peternakan dalam menerapkan pengelolaan pemeliharaan yang baik sehingga risiko penularan dapat diperkecil.

(28)

dihubungkan dengan buruknya pengelolaan pemeliharaan selain penularan MG secara horizontal dari dari ayam satu ke ayam lainnya. Kepadatan populasi ini menyebabkan lingkungan udara menjadi rentan terhadap penyebaran infeksi di daerah tersebut. Demikian pula pada hasil analisis peubah jumlah ayam yang sedang dipelihara yang menunjukkan bahwa semakin tua umur ayam yang sedang dipelihara semakin besar angka prevalensi MG. Berbeda dengan yang dilaporkan oleh Sikder et al. (2005), infeksi MG tertinggi ditemukan pada ayam petelur umur 18 minggu (71,42%) dan terendah pada umur 63 minggu (55,17%). Demikian pula Hossain et al. (2010) yang mencatat bahwa prevalensi MG lebih tinggi pada ayam yang lebih muda dibandingkan dengan ayam yang lebih tua. Hal ini dapat dihubungkan dengan besarnya frekuensi paparan MG pada ayam, frekuensi paparan pada ayam yang lebih tua mungkin lebih tinggi daripada ayam yang lebih muda sehingga kadar antibodi yang ada dalam tubuh lebih banyak sehingga hasil uji aglutinasi dapat terbaca positif. Infeksi MG pada ayam bersifat kronis. Peubah desinfeksi kandang menunjukkan bahwa semakin sering melakukan desinfeksi kandang dapat mengurangi penularan MG di peternakan. Penelitian yang dilakukan Adell et al. (2014) menemukan bahwa penyemprotan menggunakan desinfektan spektrum luas lewat kurang efektif menurunkan kandungan MG di udara.

Tabel 4 Prevalensi antibodi spesifik MG tiap kecamatan.

(29)

Prevalensi ayam yang dipelihara pada kandang baterai lebih besar diakibatkan oleh sarana penularan penyakit seperti tempat minum berupa paralon terbuka yang biasa digunakan untuk ayam petelur di kandang baterai. Jika ada salah satu ayam yang terserang CRD, maka saat minum eksudat dari hidung ayam tersebut akan mencemari air minum. Akibatnya pada saat ayam melakukan aktivitas air minum, bakteri MG dapat menginfeksi. Adanya lalat pada pakan dan kandang, dan adanya tikus pada kandang dapat meningkatkan prevalensi MG pada peternakan ayam petelur komersial, dengan besar prevalensi 13,46% dan 16,67% berturut-turut.

Tabel 5 Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam pengelolaan pemeliharaan

Peubah Hasil uji laboratorium Jumlah contoh Jumlah ayam yang dipelihara

per kandang Umur ayam yang sedang dipelihara

1 – 10 minggu Keberadaan lalat pada pakan dan

kandang Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Pengelolaan Kesehatan

(30)

dan vaksin live MG strain F keduanya mampu memberikan perlindungan terhadap MG pada ayam petelur dan menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada lesi kantong udara, lesi pada trakhea, dan regresi ovarium dibandingkan dengan kontrol yang tidak divaksin (p ≤ 0,05).

Tabel 6 Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam pengelolaan kesehatan

Peubah Hasil uji laboratorium Jumlah contoh

Pemberian antibiotik dan pemberian vitamin dengan tingkat intensitas yang lebih tinggi mampu mengurangi besar kejadian MG di peternakan. Mycoplasma gallisepticum diketahui rentan terhadap beberapa golongan antibiotika diantaranya makrolid, tetrasiklin, dan florokuinolon, tetapi resisten terhadap penisilin dan antibiotik ainnya yang bekerja dengan cara menghambat biosintesis dinding sel. Pengobatan antibiotik telah banyak digunakan untuk penanganan penyakit pernafasan, untuk mencegah penurunan produksi telur dan untuk mengurangi penularan melalui telur. Pengobatan dengan antibiotik yang sesuai dapat mengurangi tingkat keparahan gejala klinis dan lesi, serta dapat mengurangi populasi MG pada saluran pernafasan secara signifikan (Levisohn dan Kleven 2000). Namun, pengobatan yang terus menerus dengan antibiotik yang sama tidak disarankan karena dapat menyebabkan resistensi serta meninggalkan residu yang berbahaya bagi konsumen produk ayam (CSE 2014).

(31)

limfoid dan aktivitas kerja organ limfoid, serta vitamin E yang berfungsi melawan radikal bebas dan molekul oksidatif yang masuk dalam tubuh. Vitamin C berfungsi mengurangi stres, mempercepat penyembuhan penyakit, dan berperan penting dalam pembentukan sel-sel darah putih. Vitamin A yang lebih terlibat langsung dalam fungsi antibodi. Jika berbagai nutrisi tersebut tidak terpenuhi kebutuhannya, maka antibodi dalam tubuh akan semakin berkurang dan respon terhadap serangan penyakit akan menurun. Hampir semua jenis pakan mengandung setidaknya satu atau semua jenis makronutrisi, tetapi tidak semua pakan mengandung mikronutrisi. Oleh karena itu, kedua golongan nutrisi harus dipadukan agar diperoleh nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternakan yang memberikan vitamin lebih sering dapat mengurangi angka prevalensi MG. Memberikan vitamin yang lebih sering dapat membantu mencukupi kekurangan mikronutrisi dalam pakan serta dapat dijadikan alternatif untuk mencegah terjadinya imunosupresif yang diakibatkan oleh infeksi MG.

Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Pengelolaan Pakan

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa dengan meletakkan pakan di dekat atau didalam kandang dapat meningkatkan angka prevalensi MG pada peternakan. Hal ini dapat dikarenakan oleh jarak kontak langsung pakan dengan ayam yang dipelihara. Ayam yang terinfeksi dapat mensekresikan aerosol yang mengandung bakteri MG dari saluran pernafasannya. Percikan aerosol yang dikeluarkan dapat mencemari pakan yang disimpan di dekat atau di dalam kandang. Pemberian pakan yang hanya satu kali dalam sehari dapat meningkatkan angka prevalensi MG. Cara pemberian tersebut memungkinkan terjadi pencemaran yang lebih tinggi karena pakan tidak habis dalam satu kali pemberian dan terjadi kontak dengan udara yang lebih lama. Penularan MG secara tidak langsung dapat melalui percikan aerosol yang dapat terbawa oleh udara sekitar kandang dan mencemari pakan.

Tabel 7 Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam pengelolaan pakan

(32)

Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Biosekuriti Peternakan

Kriteria dalam pengelolaan pemeliharaan yang diteliti dalam penelitian ini meliputi desinfeksi pengunjung atau karyawan, intensitas truk pakan, intensitas penyemprotan kandang, cara penyemprotan kandang, dan penanganan ayam mati. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya program desinfeksi pengunjung atau karyawan, truk pakan yang bisa masuk kedalam area peternakan, penyemprotan kandang yang hanya dilakukan satu kali sebulan atau hanya jika ada kasus penyakit, penyemprotan hanya pada bagian kandang tanpa mengenai ayam, dan penanganan ayam mati dengan cara dibakar dapat meningkatkan angka prevalensi MG pada peternakan, berturut-turut 11,76%, 16,67%, 19,44%, 12,50%, dan 11,67%.

Tabel 8 Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam biosekuriti peternakan

(33)

yang dibakar dapat menjadi penyebar penyakit karena udara yang dihasilkan dari pembakaran ayam mati. Intensitas pembakaran yang sering dan jarak tempat pembakaran yang dekat dengan kandang dapat menjadi pemicu penularan karena asap yang berlebihan dapat mengakibatkan iritasi pada selaput lendir dan merusak silia saluran pernapasan ayam sehingga agen penyakit mudah masuk dan menyerang ayam.

Pemetaan Besar Risiko Penularan Mycoplasma gallisepticum pada Peternakan Ayam Petelur Komersial di Kabupaten Blitar

Keberadaan Sungai Brantas membagi wilayah Kabupaten Blitar menjadi dua wilayah yaitu wilayah Kabupaten Blitar Bagian Utara dan Wilayah Kabupaten Blitar Bagian Selatan. Bagian Utara merupakan dataran rendah dan dataran tinggi dengan ketinggian antara 105 – 349 meter dari permukaan air laut, dan keberadaanya dekat dengan Gunung Kelud yang merupakan gunung berapi yang masih aktif membuat struktur tanahnya lebih subur dan banyak dilalui sungai, meliputi Kecamatan : Kanigoro, Talun, Selopuro, Selorejo, Kesamben, Doko, Wlingi, Gandusari, Garum, Nglegok, Sanankulon, Ponggok, Srengat, Wonodadi dan Udanawu. Bagian Selatan merupakan dataran rendah dan dataran tinggi dengan ketinggian antara 150 – 420 meter dari permukaan air laut. Sebagian wilayahnya merupakan daerah pesisir, dan pegunungan berbatu membuat struktur tanah yang kurang subur bila dibandingkan dengan Bagian Utara wilayah Kabupaten Blitar, meliputi Kecamatan : Bakung, Wonotirto, Panggungrejo, Wates, Binangun, Sutojayan dan Kademangan (BPS 2013).

Gambar 4 Peta chloropleth berdasarkan persentase jumlah ayam petelur komersial di 22 kecamatan di Kabupaten Blitar

U

Jumlah ayam petelur komersial (%)

(34)

Gambar 4 menggambarkan sebuah peta yang menunjukkan persentase jumlah ayam petelur komersial di 22 kecamatan di Kabupaten Blitar. Populasi ayam petelur komersial banyak didominasi di wilayah Kabupaten Blitar bagian utara, sedangkan bagian selatan populasi ayam petelur hanya < 2 % untuk masing-masing kecamatan. Kecamatan Nglegok memiliki proporsi terbesar dari total populasi ayam yang ada di Kabupaten Blitar sebesar 15,1%, diikuti Kecamatan Wlingi (15,0%), dan Kecamatan Srengat (13,4%). Populasi ayam petelur dengan proporsi terkecil terdapat di Kecamatan Sutojayan dan Kecamatan Binangun dengan proporsi masing-masing 0,3%.

Tabel 9 Persentase jumlah ayam petelur komersial di Kabupaten Blitar

(BPS, 2013)

Peta chloropleth yang dihasilkan dari nilai SRR untuk penularan MG pada ayam petelur komersial di tiap kecamatan di Kabupaten Blitar ditunjukkan pada gambar 5. Kecamatan Bakung memiliki risiko penularan MG paling tinggi (SRR = 5,0), diikuti oleh Kecamatan Udan Awu dengan nilai SRR 4,0. Kecamatan Gandusari dan Kecamatan Sutojayan masing-masing memiliki nilai risiko yang sama (SRR = 3,0), sedangkan kecamatan yang memiliki nilai SRR sama dengan 2,0 terdiri dari lima kecamatan diantaranya Kecamatan Srengat, Kecamatan Wlingi, Kecamatan Selopuro, Kecamatan Wonotirto, dan Kecamatan Wates.

Kecamatan

Jumlah ayam petelur (BPS 2013)

(ekor)

Persentase populasi ayam petelur per kecamatan

(%)

Udan Awu 323.700 2,1

Wonodadi 483.100 3,1

Ponggok 686.700 4,5

Srengat 2.059.200 13,4

Sanankulon 588.200 3,8

Kanigoro 105.800 0,7

Nglegok 2.322.000 15,1

Garum 1.082.000 7,1

Gandusasi 1.303.100 8,5

Wlingi 2.308.800 15,0

Talun 106.500 0,7

Doko 563.200 3,7

Selopuro 85.400 0,6

Kesamben 1.456.200 9,5

Selorejo 1.242.700 8,1

Kademangan 97.800 0,6

Bakung 103.400 0,7

Sutojayan 45.000 0,3

Wonotirto 88.670 0,6

Panggungrejo 135.500 0,9

Binangun 44.100 0,3

Wates 106.100 0,7

(35)

Kecamatan Binangun memiliki nilai SRR 1,0 sedangkan Kecamatan lainnya memiliki risiko penularan MG yang paling rendah (SRR = 0,0).

Gambar 5 Peta chloropleth yang menunjukkan nilai SRR dari prevalensi Mycoplasma gallisepticum pada peternakan ayam petelur di Kabupaten Blitar.

Tabel 10 Hasil penghitungan nilai SRR untuk tiap kecamatan

Kecamatan Bobot

Udan Awu 4,0 Tinggi

Wonodadi 0,0 Sangat Rendah

Ponggok 0,0 Sangat Rendah

Srengat 2,0 Rendah

Sanankulon 0,0 Sangat Rendah

Kanigoro 0,0 Sangat Rendah

Nglegok 0,0 Sangat Rendah

Garum 0,0 Sangat Rendah

Gandusasi 3,0 Sedang

Wlingi 2,0 Rendah

Talun 0,0 Sangat Rendah

Doko 0,0 Sangat Rendah

Selopuro 2,0 Rendah

Kesamben 0,0 Sangat Rendah

Selorejo 0,0 Sangat Rendah

Kademangan 0,0 Sangat Rendah

Bakung 5,0 Sangat Tinggi

Sutojayan 3,0 Sedang

Wonotirto 2,0 Rendah

Panggungrejo 0,0 Sangat Rendah

Binangun 1,0 Sangat Rendah

Wates 2,0 Rendah

(36)

Hasil Uji Korelasidan Regresi Logistik pada Kuisioner Peternak

Uji korelasi Cramer’s V digunakan untuk melihat hubungan antara dua peubah ketika kedua peubah tersebut berskala nominal. Hasil menunjukkan bahwa peubah yang memiliki hubungan signifikan pada taraf 99% terhadap hasil pengujian contoh serum darah ayam petelur komersial di laboratorium adalah jumlah ayam yang dipelihara per kandang, pemberian vitamin, penyimpanan pakan, teknik pemberian pakan dan intensitas penyemprotan kandang. Berdasarkan nilai r yang didapat oleh masing-masing peubah menunjukkan bahwa peubah-peubah yang dianalisis memiliki tingkat hubungan yang sangat rendah (r = 0,00 – 0,19) dan rendah (0,20 – 0,39 terhadap hasil pengujian contoh di laboratorium. Peubah yang memiliki nilai r paling tinggi dengan tingkat hubungan yang rendah adalah penyimpanan pakan (r = 0,252), di ikuti oleh jumlah ayam yang dipelihara per kandang (r = 0,223) dan intensitas penyemprotan kandang (r = 0,198). Data hasil uji korelasi Cramer’s V dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 11 Interpretasi nilai Koefisien Korelasi (nilai r)

Interval koefisien Tingkat hubungan

0,00 – 0,19 Sangat Rendah

0,20 – 0,39 Rendah

0,40 – 0,59 Sedang

0,60 – 0,79 Kuat

0,80 – 1,00 Sangat Kuat

Tabel 12 Data hasil uji korelasi Cramer’s V

Peubah r value Sig

Umur ayam saat beli 0,147 0,017*

Jumlah ayam yang dipelihara per kandang 0,223 0,001**

Umur ayam yang sedang dipelihara 0,132 0,202

Tipe kandang 0,117 0,058

Vaksinasi*** - -

Pemberian antibiotika 0,172 0,020*

Pemberian vitamin 0,194 0,007**

Penyimpanan pakan 0,252 0,000**

Teknik pemberian pakan 0,197 0,001**

Keberadaan lalat pada pakan dan atau kandang 0,146 0,018*

Desinfeksi pengunjung atau karyawan 0,119 0,054

Intensitas truk pakan 0,140 0,023*

Intensitas penyemprotan kandang 0,198 0,006**

Cara penyemprotan kandang 0,042 0,496

Penanganan ayam mati 0,066 0,565

Keberadaan tikus di kandang 0,156 0,011*

(37)

Perhitungan asosiasi dan kekuatan asosiasi antara prevalensi MG dengan faktor risiko disajikan pada Tabel 13. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa peubah yang mempunyai asosiasi sangat nyata (p < 0,01) terhadap prevalensi MG pada peternakan ayam petelur komersial adalah jumlah ayam yang dipelihara per kandang 500 – 1500 ekor dan > 3000 ekor, pemberian pakan hanya satu kali dalam sehari, dan penyemprotan kandang yang dilakukan dua minggu sekali dan satu bulan sekali atau hanya jika terjadi kasus.

Umur ayam fase pullet saat pembelian memiliki asosiasi yang nyata dengan terjadinya penularan MG (p = 0,021) dengan OR (Odds Ratio) = 2,6. Artinya, peternakan yang membeli ayam pada fase pullet dalam memulai usaha peternakannya akan berpeluang terjadi penularan MG 2,6 kali lebih besar dibandingkan dengan peternak yang memulai usahanya dengan membeli ayam ketika baru berumur satu hari (Day Old Chick). Jumlah ayam yang dipelihara per kandang 1501 – 3000 ekor dan > 3000 ekor mempunyai asosiasi yang sangat nyata (p < 0,01) terhadap prevalensi MG dengan nilai OR masing-masing 3,4 dan 6,1. Peternakan yang memelihara ayam per kandang dengan jumlah 1501 – 3000 ekor berpeluang tertular MG 3,4 kali lebih besar dibandingkan peternakan yang jumlah ayam per kandangnya hanya 500 – 1500 ekor, demikian pula dengan jumlah ayam yang dipelihara per kandang semakin besar (> 3000 ekor) memiliki peluang 6,1 kali lebih besar dengan jumlah ayam yang lebih sedikit (500 – 1500 ekor). Pada peubah umur ayam yang sedang dipelihara, hanya peubah umur ayam > 30 minggu yang memiliki asosiasi nyata terhadap penularan MG (p = 0,043), akan tetapi nilai OR untuk masing-masing faktor risiko dalam peubah umur ayam yang sedang dipelihara menunjukkan bahwa semakin tinggi umur ayam semakin besar peluang ditemukannya serum positif terhadap MG. Peubah tidak memiliki asosiasi yang nyata terhadap penularan MG di peternakan ayam petelur komersial (p = 0,07).

Peternakaan ayam petelur komersial yang menerapkan pemberian antibiotik yang hanya jika terjadi kasus penyakit memiliki asosiasi yang nyata terhadap penularan MG dan memiliki peluangan kejadian 2,4 kali lebih besar dibandingkan dengan peternakan yang memberikan antibiotika 1 – 2 kali sebulan dan 3 – 4 kali sebulan yang tidak mempunyai asosiasi nyata terhadap penularan MG di peternakan ayam petelur komersial. Pemberian vitamin juga sangat penting terhadap kejadian MG di peternakan. Peternakan yang memberikan vitamin dengan intensitas yang lebih tinggi yakni 3 – 4 kali sebulan tidak memiliki asosiasi yang nyata terhadap penularan MG, sedangkan peternakan yang memberikan vitamin dengan intensitas lebih rendah (1 – 2 kali sebulan) atau hanya jika terjadi kasus penyakit memiliki asosiasi yang nyata terhadap penularan MG.

(38)

Faktor risiko pada peubah desinfeksi pengunjung atau karyawan, cara penyemprotan kandang, dan penanganan ayam mati tidak mempunyai asosiasi nyata terhadap penularan MG pada peternakan ayam petelur komersial. Truk pakan yang dapat masuk kedalam area peternakan memiliki asosiasi yang nyata (p < 0,05) terhadap penularan MG dan memiliki kemungkinan peternakan tertular MG 2,5 kali lebih besar dibandingkan peternak yang tidak memperbolehkan truk pakan masuk ke dalam area peternakan. Intensitas penyemprotan kandang menjadi peubah yang paling penting dalam penerapan biosekuriti peternakan, karena terdapat dua faktor risiko yang sangat nyata (p < 0,01) diantaranya penyemprotan kandang yang dilakukan satu kali dalam dua minggu (p = 0,009) dan penyemprotan yang hanya dilakukan satu kali sebulan atau hanya jika terjadi kasus penyakit. Semakin sering penyemprotan kandang dapat menurunkan peluang kejadian penularan MG di peternakan. Penyemprotan kandang yang dilakukan sebanyak satu kali dalam seminggu memiliki peluang kejadian 1,2 kali lebih kecil dari penyemprotan sebanyak satu kali dalam dua minggu dan 3,9 kali lebih kecil dibandingkan dengan yang hanya dilakukan satu kali sebulan atau hanya jika terjadi kasus penyakit. Peternakan juga harus memperhatikan kebersihan kandang, karena keberadaan lalat pada pakan dan kandang dan keberadaan tikus di kandang menunjukkan hasil asosiasi yang nyata terhadap penularan MG. Adanya lalat pada pakan dan kandang berpotensi menyebabkan penularan MG pada ayam petelur komersial 3,2 kali lebih besar, sedangkan keberadaan tikus di kandang berpotensi 2,8 kali lebih besar.

Tabel 13 Data hasil uji regresi logistik pada faktor risiko penularan MG pada

Jumlah ayam yang dipelihara per kandang Umur ayam yang sedang dipelihara

1. 1 – 10 minggu

3. hanya jika terjadi kasus penyakit

(39)

Pemberian vitamin 1. 1 – 2 kali sebulan 2. 3 – 4 kali sebulan

3. hanya jika terjadi kasus penyakit

4,50 3. Gudang pakan diluar peternakan

5,99

1. Hanya diperbolehkan di luar peternakan

2. Bisa masuk kedalam area peternakan

4,92 0,027* 2,5

Intensitas desinfeksi kandang 1. 1 kali dalam 1 minggu 2. 1 kali dalam 2 minggu

3. 1 kali dalam sebulan/ jika terjadi kasus

(40)

Hasil Analisis Faktor Risiko dengan AHP

IC (Index Consistency) = 0,10

Gambar 6 Grafik bobot risiko penularan MG pada peternakan ayam petelur komersial

Risiko penularan MG pada peternakan ayam petelur komersial meliputi risiko pengelolaan pemeliharaan (0,425), pengelolaan kesehatan (0,312), pengelolaan pakan (0,088), dan biosekuriti peternakan (0,175) (Gambar 6). Risiko pengelolaan pemeliharaan merupakan risiko yang paling berpotensi dalam penularan MG di peternakan ayam petelur komersial. Pengelolaan pemeliharaan yang tidak tepat dan perubahan suhu lingkungan memiliki peran yang sangat tinggi terhadap timbulnya penyakit terutama pada ayam dengan tingkat kepekaan yang tinggi terhadap perubahan yang terjadi disekitarnya, seperti halnya pada ayam petelur. Sistem pemeliharaan dengan suhu lingkungan yang terlalu panas dan terlalu dingin, kelembaban yang tinggi, ventilasi kurang, kepadatan ternak tingi, cara pemeliharaan dengan umur yang seragam dan kebersihan kandang bisa menjadi pemicu munculnya kasus penyakit CRD pada peternakan. Kepadatan populasi ayam dan umur ayang beragam dalam satu flok sering menjadi kendala dalam pengendalian kesehatan. Pemeliharaan ayam yang umurnya beragam lebih sulit dikendalikan dibandingkan dengan ayam yang umurnya seragam. Kepadatan populasi ayam yang tinggi dalam satu kandang dapat menyebabkan ayam tidak dapat memanfaatkan oksigen yang ada dengan maksimal. Kepadatan populasi juga dapat menjadi kendala dalam pengendalian kesehatan dan dapat menyebabkan lingkungan udara disekitar menjadi rentan terhadap penyebaran infeksi pada wilayah tersebut.

0,425 0,312

0,088 0,175

Pengelolaan Pemeliharaan Pengelolaan Kesehatan Pengelolaan Pakan Biosekuriti Peternakan

Risiko

(41)

Pengelolaan kesehatan yang dapat diterapkan oleh peternak meliputi program vaksinasi, pemberian antibiotika, dan pemberian vitamin. Antibiotika telah banyak digunakan untuk mengobati penyakit pernafasan yang diakibatkan oleh MG, mengurangi kerugian produksi telur, dan menurunkan tingkat penularan. Antibiotika juga dapat mengurangi derajat keparahan dari gejala klinis dan lesi, serta secara signifikan mengurangi jumlah MG pada saluran pernafasan. Upaya untuk mengobati CRD dengan berbagai antibiotika sejak tahun 1960an menunjukkan hasil yang bervariasi. Namun, pengobatan dengan antibiotika tidak boleh diandalkan untuk menghilangkan infeksi yang diakibatkan oleh MG pada flok yang terinfeksi dan bukan merupakan solusi jangka panjang untuk mengatasi permasalahan CRD di peternakan. Selain itu, pengobatan dengan antibiotika tidak dapat menghilangkan antigen di dalam area peternakan. Dalam hal ini vaksinasi bisa menjadi pilihan untuk pengendalian MG di peternakan.

Vaksinasi merupakan program yang tepat untuk pencegahan. Generasi awal program vaksinasi dimulai dengan pengembangan vaksin bakterin MG atau MG killed vaccine. Vaksin ini dilaporkan mampu mencegah airsacculitis dan penurunan produksi telur sekalipun hasilnya masih bervariasi. Kelebihan vaksin bakterin adalah tidak menyebarkan infeksi, tetapi efikasinya rendah dan tidak bertahan lama sehingga diperlukan vaksin ulang atau booster. Untuk meningkatkan potensi vaksin bakterin diperlukan adjuvant. Vaksin MG bakterin asal galur R yang diimpor dari Amerika sudah beredar di Indonesia (Soeripto, 2000). Menurut Jacob et al. (2015) bahwa vaksinasi ayam fase pullet dengan vaksin MG ts11 dan dikombinasikan dengan vaksinasi MG strain F sebelum fase laying dapat memberikan perlindungan terus-menerus terhadap infeksi MG strain lapang, dan dapat digunakan tanpa mengurangi performa ayam petelur komersial.

Pemberian vitamin pada ayam juga perlu dilakukan karena dapat membantu mencukupi energi yang dibutuhkan tubuh, mempertahankan kesehatan, membantu pertumbuhan, dan membantu setiap organ dalam tubuh berfungsi secara normal.

Hal yang tidak kalah penting dalam menurunkan jumlah kasus CRD dilapangan adalah menerapkan aspek biosekuriti secara menyeluruh di lokasi peternakan. Menurut Wingkel (1997) biosekuriti merupakan suatu sistem untuk mencegah penyakit baik klinis maupun subklinis, yang berarti sistem untuk mengoptimalkan produksi unggas secara keseluruhan, dan merupakan bagian untuk mensejahterakan hewan (animal welfare). Pada awalnya konsep biosekuriti diterapkan untuk menghasilkan unggas yang bebas penyakit tertentu (spesific pathogen free) untuk keperluan penelitian secara eksperimental. Tetapi saat ini telah diterapkan pada berbagai jenis peternakan sebagi upaya praktis untuk mencegah masuknya organisme penyebab penyakit patogen dari luar ke dalam peternakan. Bahkan diterapkan juga di negara-negara berdaulat sebagai upaya untuk melindungi industri peternakannya dari berbagai penyakit berbahaya yang tidak ditemukan di wilayahnya (penyakit eksotik).

(42)

khusus, baju penutup, dan topi khusus yang telah didesinfeksi. Kontrol lalu lintas tidak hanya berlaku untuk orang tetapi juga untuk hewan seperti burung-burung liar, tikus, kumbang pemangsa, serangga dan lainnya dan manfaatnya dalam mengendalikan tikus cukup nyata dibandingkan kerugian yang ditimbulkannya.

Catatan riwayat dalam flok adalah cara yang mudah untuk menjaga kesehatan ayam dalam flok. Pencatatan dengan uji serologi untuk mendeteksi terjadinya infeksi harus dilakukan secara berkala, sehingga jika terdeteksi adanya infeksi MG dapat segera dilakukan pengobatan secara dini. Uji serologi seperti RSA, HI (Haemagutination Inhibition), dan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) sangat baik untuk pemantauan infeksi MG di lapangan.

Tindakan biosekuriti yang umum dilakukan selanjutnya adalah desinfeksi pengujung atau karyawan, peralatan peternakan, kandang ayam dan seluruh area peternakan. Segera setelah dilakukan pengafkiran ayam, alas kandang diangkat keluar kandang dan dilakukan pembersihan dan desinfeksi terhadap seluruh kandang dan lingkungannya. Peralatan seperti penggaruk, sekop, truk pengangkut, wadah-wadah pengangkut kotoran (manure), dan lain-lain semuanya harus dibersihkan dan didesinfeksi setelah dipakai.

Berdasarkan analisis AHP pada faktor-faktor risiko penularan MG di peternakan ayam petelur komersial menunjukkan bahwa faktor risiko jumlah ayam yang dipelihara per kandang > 3000 ekor ekor mempunyai bobot yang paling besar (0,203) dibandingkan faktor-faktor risiko yang lain, diikiti oleh faktor pemberian vitamin satu sampai dua kali dalam sebulan (0,127) dan yang hanya dilakukan apabila terjadi kasus penyakit (Gambar 7). Hasil analisis AHP pada kedua faktor dari peubah pemberian antibiotika tersebut menunjukkan hasil yang tidak berbeda, artinya pemberian antibiotika tidak harus rutin dilakukan dan pemberian dapat dilakukan hanya jika terjadi kasus penyakit dilapangan karena pada dasarnya pemberian antibiotika merupakan tindakan pengobatan bukan pencegahan. Faktor risiko lainnya yang memiliki bobot faktor risiko lebih besar dari 0,05 adalah jumlah ayam yang dipelihara per kandang 1501 - 3000 ekor dan penyemprotan kandang yang hanya dilakukan satu kali dalam sebulan atau hanya jika terjadi kasus MG di peternakan dengan bobot masing-masing 0,059 dan 0,052. Meskipun faktor risiko jumlah ayam yang dipelihara per kandang 1501 – 3000 ekor memiliki bobot lebih besar dari 0,05 akan tetapi jauh lebih kecil daripada faktor risiko jumlah ayam yang dipelihara per kandang > 3000 ekor. Hal ini membuktikan bahwa pemeliharaan ayam dalam kandang semakin padat semakin besar bobot risiko penularan MG di peternakan. Program biosekuriti peternakan juga penting diterapkan,salah satunya yang paling penting adalah intensitas penyemprotan kandang. Gambar 7 menunjukkan bahwa penyemprotan kandang yang semakin jarang dilakukan dapat meningkatkan bobot risiko penularan MG.

(43)

IC = 0,01

Gambar 7 Grafik bobot faktor risiko penularan MG pada peternakan ayam petelur komersial Hanya bagian kandang tanpa mengenai ayam 1 kali dalam sebulan/hanya jika terjadi kasus 1 kali dalam 2 minggu Disimpan digudang pakan didalam …

(44)

5 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji RSA di laboratorium pada contoh serum ayam petelur komersial yang diambil dari beberapa peternakan di Kabupaten Blitar diperoleh besar seroprevalensi positif secara keseluruhan adalah 9,85%, sedangkan Kecamatan Bakung memiliki persentase seroprevalensi positif paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya, yaitu sebesar 41,67%. Berdasarkan nilai SRR dari tiap kecamatan, menunjukkan bahwa kasus CRD pada peternakan ayam petelur komersial di Kabupaten Blitar tersebar di seluruh wilayah bagian dari Kabupaten Blitar. Faktor risiko yang berpengaruh sangat terhadap penularan Mycoplasma gallisepticum di peternakan ayam petelur komersial berdasarkan uji Cramer’s V yang dilanjutkan dengan uji regresi logistik dan diperkuat dengan pendapat dari pakar adalah jumlah ayam yang dipelihara dalam satu kandang 1501 – 3000 ekor (p = 0,004; OR = 3,4; bobot faktor risiko 0,059), jumlah ayam yang dipelihara dalam satu kandang lebih besar dari 3000 ekor (p = 0,001; OR = 6,1; bobot faktor risiko 0,203) dan penyemprotan kandang yang hanya dilakukan satu bulan sekali atau hanya jika terjadi kasus penyakit (p = 0,006; OR = 3,9; bobot faktor risiko 0,052). Semakin banyak jumlah ayam dipelihara dalam satu kandang semakin tinggi risiko penularan MG di peternakan ayam petelur komersial, dan semakin tinggi intensitas penyemprotan kandang semakin rendah risiko penularan MG di peternakan ayam petelur komersial.

Saran

Pemeriksaan MG di kandang dengan uji serologis perlu dilakukan secara rutin sehingga dapat mengetahui secara dini adanya infeksi MG. Uji serologis seperti RSA sangat baik untuk pemantauan infeksi MG. Sebaiknya dilakukan penyuluhan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi Mycoplasma gallisepticum kepada peternak.

Usahakan tidak melakukan pemerataan pakan pada tempat pakan pada saat ada kasus MG. Perlu diperhatikan cara pembakaran ayam yang mati. Pembakaran harus dilakukan di dalam areal peternakan dan berjarak minimal 20 meter dari kandang. Perhatikan saat membawa bangkai ayam ke tempat pembakaran, masukkan bangkai ayam ke dalam plastik, semprot desinfektan dan tutup rapat.

DAFTAR PUSTAKA

Adell E, Calvet S, Perez-Bonilla A, Jimenez-Belenguer A, Garcia J, Herrera J, Cabra-Lopez M. 2014. Air disinfection in laying hen houses : Effect on air borne microorganisms with focus on Mycoplasma gallisepticum [Abstract]. Bio Eng.129 : 315 – 323.

Gambar

Grafik bobot risiko penularan MG pada peternakan ayam petelur
Gambar 2 Skema penyusunan hirarki.
Gambar 3 Diagram alir penelitian.
Tabel 4 Prevalensi antibodi spesifik MG tiap kecamatan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ragam jenis lalat Stomoxys spp di tujuh peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor, untuk mengetahui aktivitas mengisap darah

Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningtyas (2012), dimana di dapat hasil rata-rata tekanan darah sistolik penderita hipertensi adalah

lecanii , penerapan AP trips, penerapan AP penyakit embun tepung serta penggunaan pestisida selektif dapat mengurangi penggunaan pestisida sebesar 84,60%, residu pestisida pada

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa, (1) Ada pengaruh antara kepribadian guru terhadap prestasi siswa mata pelajaran PAI di SMPN 1 Mlarak Ponorogo Tahun Ajaran 2017/2018

Total panas yang hilang (total heat loss) di dalam gudang dihitung dan menghasilkan keluaran berupa spesifikasi dehumidifier yang sesuai dengan kebutuhan di gudang penyimpanan

Selanjutnya penelitian oleh Sari (2018) di TK Sitijuah Gadang Kabupaten Lima Puluh Kota memberikan pendidikan kesehatan menggunakan media permainan ular tangga

Pemanfaatan limbah cair (POME) dari proses produksi biodiesel kelapa sawit merupakan salah satu inovasi teknologi untuk meningkatkan nilai produk dari kelapa sawit

Data tentang metode pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada anak tuna grahita di SMPLB C YPSLB Kerten Surakarta yang terdiri dari dua unsur, yaitu pelaksanaan