• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Ekowisata Mangrove Di Desa Sebong Lagoi, Bintan, Kepulauan Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Ekowisata Mangrove Di Desa Sebong Lagoi, Bintan, Kepulauan Riau"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN EKOWISATA MANGROVE

DI DESA SEBONG LAGOI BINTAN KEPULAUAN RIAU

WANDA KAUTSAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Ekowisata Mangrove di Desa Sebong Lagoi Bintan Kepulauan Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017

(4)

RINGKASAN

WANDA KAUTSAR. Pengelolaan Ekowisata Mangrove di Desa Sebong Lagoi, Bintan, Kepulauan Riau. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan ACHMAD FAHRUDIN.

Letak geografis kawasan Bintan yang strategis berada diantara tiga titik simpul emas (Indonesia-Malaysia dan Singapura) menyebabkan tingginya angka kunjungan wisatawan mancanegara di Bintan. Jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke kabupaten Bintan pada oktober 2014 mencapai 25.882 orang, mengalami kenaikan sebesar 9,39 persen dibanding jumlah wisman pada bulan sebelumnya yang mencapai sebanyak 23.661 orang. Salah satu destinasi wisata yang paling banyak dikunjungi adalah kawasan ekowisata mangrove Lagoi, kawasan ekowisata ini telah dikelola secara mandiri oleh kelompok masyarakat semenjak Juni 2003 dan pengelolaan ini telah memberikan dampak yang baik terhadap masyarakat sekitarnya. Akibat pertambahan wisatawan yang berkunjung, diperlukan suatu perencanaan serta pengelolaan pada ekosistem mangrove, khususnya yang berada di lokasi yang rentan.

Kurangnya informasi mengenai kondisi biofisik kawasan dan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh suatu kawasan menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan untuk menilai suatu sumberdaya alam secara komprehensif, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang kondisi kawasan dan manfaat ekonomi dari kawasan ekowisata mangrove Lagoi. Penelitian telah dilakukan pada bulan Februari 2015, penelitian dilakukan selama satu bulan dari Februari sampe Maret 2015 dari delapan stasiun penelitian. Analisis vegetasi mangrove didapatkan lima jenis mangrove Xylocarpus granatum (Nyirih merah) dan Rhizopora apicullata (Bakau) paling banyak ditemui pada tiap stasiun. Analisis kesesuaian didapatkan tiga stasiun yang sangat sesuai untuk ekowisata ini, dan analisis daya dukung didapatkan nilai daya dukung fisik 133 perahu per hari, daya dukung sebenarnya 75 perahu per hari, dan daya dukung yang diperbolehkan 32 perahu per hari. Responden dalam penelitian ini adalah wisatawan yang berkunjung ke ekowisata mangrove Lagoi, Penentuan responden dilakukan dengan metode aksidental sampling. Perhitungan valuasi ekonomi menggunakan analisis Biaya Perjalanan/ Travel Cost Method (TCM). Dari hasil analisis TCM, diperoleh nilai ekonomi total kawasan sebesar Rp. 250,831,029,485 per tahun.

Pihak pengelola masih dapat mengembangkan kawasan melihat jumlah daya dukung kawasan yang saat ini belum terlewati, kegiatan seperti meningkatkan promosi kawasan dan menambah wahana atraksi menjadi salah satu cara untuk meningkatkan jumlah wisatawan. Namun peningkatan wisatawan tidak boleh melebihi daya dukung kawasan yang diperbolehkan, hal ini untuk menjaga agar ekowisata mangrove Lagoi dapat berkelanjutan dan terus memberikan manfaat bagi mayarakat di sekitarnya.

(5)

SUMMARY

WANDA KAUTSAR. Management of Mangrove Ecotourism in the Sebong Lagoi Village, Bintan, Riau Islands. Supervised by ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan ACHMAD FAHRUDIN.

Bintan geographically located in golden triangle (Indonesia-Malaysia and Singapore) which makes it one of the main tourists attraction in the region. The number of foreign tourists who visit Bintan district in october 2014 reached 25.882 the, an increase of 9.39 percent from the number of foreign tourists a month ago at some extra 23.661 people. One of the tourist destinations most visited by tourists is the Lagoi ecotourism mangrove area. Lagoi ecotourism mangrove area is managed independently by community groups since June 2003 and has give significant good impact for the local communitie. As a result of the increase of tourists visit increment, there is need a planning and management of the mangrove ecosystem, particularly those in susceptible locations.

Lack of information on the economic value of the region is one of the challenges faced by policy makers to assess the natural resources comprehensively and therefore, this study aims to provide information about the condition of the region and the economic benefits of Lagoi ecotourism mangrove area. Research was done for one month starting from February to march 2015 in eight station. Result on the analysis of mangrove tree species shows that there are five species of mangrove tree, which include Xylocarpus granatum (Nyirih red) and Rhizopora apicullata (Bakau) the most common supporters will use. Suitable analysis shows that there are three station which are very suitable for ecotourism. Analisis carying capacity shows that the value for physical capacity 133 boat/day actually capacity 75 boat/day and the support is allowed 32 boat /day. Respondents involved in this study were the tourists who visited Lagoi mangrove ecotourism area. The survey was conducted using accidental sampling method. Calculation on the economic valuation was done using Travel Cost Method (TCM). The result of analyze found that the Total Economic Value of the area was Rp. 250,831,029,485 per year.

(6)

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatau masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan PENGELOLAAN EKOWISATA MANGROVE DI DESA SEBONG LAGOI BINTAN KEPULAUAN RIAU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(8)
(9)
(10)

Judul Tesis : Pengelolaan Ekowisata Mangrove di Desa Sebong Lagoi Bintan Kepulauan Riau

Nama : Wanda Kautsar NRP : C252130081

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc Ketua

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengelolaan Ekowisata Mangrove di Desa Sebong Lagoi, Bintan, Kepulauan Riau”. Penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan tesis ini terutama kepada:

1. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku pembimbing I dan Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan arahannya selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis.

2. Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc selaku dosen penguji tamu serta Bapak Zulhamsyah Imran, SPi, MSi, PhD selaku Sekretaris Program Studi yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penyusunan tesisi ini. 3. Kedua orang tua saya Amril dan Farida Emi serta nenek Emma (amak)

tercinta yang telah membesarkan, memberikan semangat dan do’anya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

4. Adik tercinta Muthia Mawarni dan Liza Lazuarmi yang selalu memberikan semangat dan do’a sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir kuliah. 5. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa

Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri kepada saya.

6. PT Bintan Resort Cakrawala yang telah banyak membantu dalam proses penelitan saya.

7. COREMAP-CTI atas dukungan penulisan tesis ini.

8. Sahabat seperjuangan dalam penelitian ini (M. Tahmid dan Sigit Winarno) yang sama-sama mengambil lokasi penelitian di Teluk Bintan Kab. Bintan. Semua teman-teman SPL IPB 2013 S2 dan S3 yang saling membantu dalam menyelesaikan tugas ahir ini.

9. Serta pihak lain yang turut membantu dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam penulisan tesis ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga tesis ini juga dapat bermanfaat dalam mendukung pengambilan kebijakan, khususnya di Kabupaten Bintan dan dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat.

Bogor, Februari 2017

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Analisis Vegetasi Mangrove 5

Prosedur sampling 5

Analis data 7

Analisis Kesesuaian 7

Analisis Daya Dukung Wisata 8

Penentuan Karakteristik Responden 10

Analisis Biaya Perjalanan 11

Strategi Pengelolaan 11

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Hasil 12

Administrasi Provinsi Kepulauan Riau 12

Administrasi Kabupaten Bintan 12

Kesesuaian ekowisata mangrove Lagoi 23

Panentuan nilai daya dukung kawasan 25

Analisis biaya perjalanan 26

Pembahasan 27

Pengelolaan Ekowisata Mangrove Lagoi 31

(14)

DAFTAR ISI (lanjutan)

6 KESIMPULAN DAN SARAN 34

Kesimpulan 34

Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 35

LAMPIRAN 37

DAFTAR TABEL

1 Jenis, bentuk, sumber dan cara pengambilan data 5

2 Parameter kesesuaian ekowisata mangrove Lagoi 8

3 Atraksi dan daya tarik wisata di ekowisata mangrove Lagoi 15 4 Fasilitas sarana dan prasarana ekowisata mangrove Lagoi 16

5 Jumlah pengunjung ekowisata mangrove Lagoi 17

6 Hasil vegetasi mangrove 21

7 Rekap hasil olahan vegetasi mangrove di ekowisata mangrove Lagoi 23 8 Hasil olahan kesesuaian kawasan untuk ekowisata mangrove Lagoi 25 9 Nilai faktor koreksi untuk ekowisata mangrove Lagoi 25 10 Rata-rata biaya perjalanan ekowisata mangrove Lagoi 26

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 3

2 Lokasi penelitian 4

3 Stasiun penelitian pengamatan ekologi 6

4 Desain jalur transek dan petak contoh untuk vegetasi mangrove 6

5 Luas wilayah kabupaten Bintan 13

6 Pemandangan di ekowisata mangrove Lagoi 15

7 Karakteristik responden 18

8 Daerah asal wisatawan 19

9 Persentase kunjungan 19

10 Kepuasan wisatawan 20

11 Peta kesesuaian 24

12 Grafik jumlah kunjungan dan harga biaya perjalanan 31 13 Pengunjung sedang menyusuri sungai 32

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan daya dukung kawasan 37

2 Kepuasan pengunjung terhadap kecepatan perahu 39

3 Perasaaan pengunjung setelah melakukan wisata 40

4 Analisis kesesuaian mangrove 41

5 Perhitungan analisis biaya perjalanan 42

(15)
(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem unik yang menempati wilayah pesisir merupakan modal untuk kegiatan wisata, salah satunya adalah ekosistem mangrove, modal tersebut harus dimanfaatkan secara bijaksana melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nasional dan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumber daya wilayah pesisir dan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pariwisata bahari.

Menurut Harahap (2011) tiga indikator utama keberhasilan dalam pengelolaan mangrove, yaitu faktor manajemen, pengetahuan dan sikap. Salah

satu contoh pengelolaan mangrove di Indonesia adalah ekowisata mangrove Lagoi yang menjadi bagian dari destinasi wisata di Bintan, Kepulauan Riau. Sebenarnya, jenis mangrove Lagoi dengan mangrove yang ada di daerah lain hampir sama namun dikarenakan letak geografis Lagoi yang stratergis berada diantara tiga titik simpul emas (Indonesia, Malaysia dan Singapura) menyebabkan tingginya angka kunjungan wisatawan ke kawasan Lagoi.

Jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kabupaten Bintan pada oktober 2014 mencapai 25.882 orang, mengalami kenaikan sebesar 9,39% dibanding jumlah wisatawan mancanegara pada bulan sebelumnya yang mencapai sebanyak 23.661 orang, dibandingkan dengan oktober 2013 kunjungan wisatawan mancanegara oktober 2014 mengalami kenaikan sebesar 8,54%. Konstribusi jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bintan terhadap jumlah seluruh wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Provinsi Kepulauan Riau selama oktober 2014 adalah 15,50 %, dimana jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Provinsi Kepulauan Riau tercatat sebanyak 166.931 orang (BPS KEPRI 2014).

Akibat pertambahan wisatawan yang berkunjung ke Lagoi khususnya yang berwisata di ekowisata mangrove, diperlukan suatu perencanaan dan pengelolaan pada ekowisata mangrove tersebut, seperti pengelolaan kawasan yang berada di lokasi yang rentan. Perencanaan objek wisata harus memperhatikan keterbatasan-keterbatasan lingkungannya. Lebih lanjut Jurado et al. (2012) mengatakan bahwa ketika berbicara tentang keberlanjutan ekowisata, batas pertumbuhan dan daya dukung juga harus dipertimbangkan.

(17)

2

Perumusan Masalah

Kawasan mangrove Lagoi termasuk kawasan ekowisata berdasarkan Peraturan Daerah no. 2 tahun 2012 tentang rencana tata ruang dan wilayah Kabupaten Bintan, oleh karena itu kawasan ini mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi tujuan kunjungan ekowisata. Kawasan ekowisata mangrove Lagoi telah dikelola oleh kelompok masyarakat dan telah dijalankan semenjak bulan Juni 2003, pengelolaan ini telah memberikan dampak baik terhadap masyarakat sekitarnya diantaranya dengan memberikan sumbangan bulanan terhadap masyarakat desa sekitar baik dalam bentuk materi maupun pembangunan infrastruktur desa seperti mesjid dan kebersihan desa.

Adapun produk tour andalan dari ekowisata mangrove Lagoi adalah tour sungai, tour ini mampu menarik wisatawan dari berbagai negara diantaranya Singapura dan Malaysia. Pengelolaan yang telah ada sekarang belum mempertimbangkan kesesuaian dan daya dukung kawasan, pengembangan ekowisata mangrove Lagoi untuk meningkatkan keuntungan ekonomi hendaknya tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Ekowisata mangrove merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan berkelanjutan dimana: (1) pengelolaan diarahkan pada pelestarian sumberdaya; (2) pengelolaan kegiatan masyarakat diarahkan pada kesejahteraan masyarakat sendiri; (3) kegiatan konservasi diarahkan pada upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan untuk waktu kini dan masa mendatang.

Jumlah pengunjung mangrove Lagoi terus meningkat sejalan dengan pengembangan wisata baik oleh pemerintah daerah Bintan maupun oleh swasta. Jumlah yang besar dan terus meningkat tersebut menimbulkan gangguan ataupun kerusakan habitat dan nilai estetika kawasan. Pengembangan ekowisata mangrove Lagoi diupayakan agar memperhatikan jumlah kunjungan dan terus menggali potensi apa yang bisa dikembangkan dari alam untuk menunjang kegiatan ekowisata.

Pencapaian keuntungan ekonomi dari pengembangan ekowisata mangrove Lagoi harus diupayakan tidak menyebabkan kerusakan lingkungan, batas sampai dimana kemampuan suatu lingkungan masih mampu menerima kegiatan tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan permanen pada ekosistem dan habitat disebut daya dukung lingkungan. Perhitungan daya dukung lingkungan dapat dilihat dari daya dukung fisik kawasan dan daya dukung ekologis, oleh karena itu perlu diidentifikasi daya dukung dan bagaimana strategi pengelolaannya. Berdasarkan uraian diatas penelitian ini merumuskan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi biofisik kawasan mangrove Lagoi yang diasumsikan menurun?

2. Bagaimana desain ekowisata berdasarkan kesesuaian kawasan?

(18)

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk antara lain:

1. Menganalisis kesesuaian kawasan ekowisata mangrove Lagoi

2. Menghitung dan menganalisis daya dukung kawasan ekowisata mangrove Lagoi

3. Menganalisis nilai ekonomi kawasan ekowisata mangrove Lagoi. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:

1. Bagi pemerintah merupakan masukan untuk landasan pengelolaan dan pengaturan zona wisata di ekowisata mangrove Lagoi.

2. Bagi industri pariwisata merupakan masukan dan informasi kawasan wisata dengan objek dan daya tarik wisata yang dapat dikemas sebagai produk wisata.

4. Bagi masyarakat merupakan wawasan yang baru untuk mengubah paradigma eksploitasi sumber daya alam menjadi pemanfaatan secara ekonomis tanpa mengurangi kelestarian lingkungan hidup sebagai objek penarik wisatawan.

Kerangka Alur Pikir Penelitian

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Analisis Ekonomi Ekosistem Mangrove

Pengelolaan Ekowisata Mangrove Daya Dukung

Kawasan

Analisis Kesesuaian

Kegiatan Ekowisata

Nilai Ekonomi Ekowisata

(19)

4

2

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di kawasan ekowisata mangrove Lagoi kecamatan Teluk Sebong Bintan Kepulauan Riau. Lokasi ini berjarak sekitar 50 kilometer dari kota Tanjung Pinang. Penelitian telah dilakukan pada bulan Februari 2015, penelitian dilakukan selama satu bulan.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian Prosedur Analisis Data Jenis data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokan menjadi 3 kelompok dengan aspek-aspek yang diteliti antara lain:

1. Data ekologi meliputi vegetasi.

2. Data kondisi fisik lapangan meliputi kondisi umum kawasan, atraksi, amenitas, dan aksesibilitas

(20)

Tabel 1 Jenis, bentuk, sumber dan cara pengambilan data

No Jenis data Bentuk data Sumber data Pengambilan data Amenitas Jenis, kondisi dan

persepsi

Pengambilan data vegetasi mangrove dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kombinasi antara metode garis dan metode petak contoh (Kusmana,2015). Penentuan stasiun dilakukan secara purposive sampling (secara sengaja) mewakili kawasan penelitian. Pengamatan mangrove menggunakan jalur transek dari arah laut ke darat, untuk setiap stasiun hanya diambil satu jalur transek dimana pada setiap transek terdapat 3 petak contoh.

(21)

6

Gambar 3 Stasiun penelitan pengamatan ekologi di Ekowisata Mangrove Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 2015

Desain transek serta petak contoh dapat dilihat seperti yang terdapat pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4 Desain jalur transek dan petak contoh untuk vegetasi mangrove Keterangan: = petak contoh untuk pohon (10 m x 10 m)

(22)

Analisis data

Perhitungan komposisi jenis dan struktur vegetasi mangrove dilakukan dengan menganalisis parameter yang mengacu pada Kusmana (2015) yaitu:

a. Kerapatan (K), dihitung dengan rumus:

Kerapatan=Luas Keseluruhan Petak ContohJumlah Total Individu

b. Kerapatan Relatif (KR), dihitung dengan rumus:

Kerapatan Relatif =Kerapatan Seluruh JenisKerapatan Suatu Jenis x %

c. Dominansi (D), dihitung dengan rumus:

Dominasi= Luas Bidang Dasar Suatu Jenis

Luas Keseluruhan Petak Contoh

d. Dominansi Relatif (DR), dihitung dengan rumus:

Dominasi Relatif=Dominasi Seluruh Jenis X 100%Dominasi Suatu Jenis

Analisis Kesesuaian Wisata

Pengembangan ekowisata memerlukan kesesuaian sumberdaya dengan kriteria yang diisyaratkan, kesesuaian ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik kesesuaian sumberdaya wisata, ini dapat dilihat dari aspek keindahan alam, keamanan, keunikan sumberdaya/lingkungan, keanekaragaman biota. Demikian halnya jika kawasan tersebut akan dijadikan sebagai kawasan ekowisata maka perlu dianalisis dengan menggunakan rumus indeks kesesuaian wisata bahari yang mengacu pada Yulianda et al. (2010), sebagai berikut:

��� = [∑ �

���] � %

Keterangan :

IKW : Indeks kesesuaian wisata

Ni : Nilai parameter ke-i (bobot x skor)

Nmax : Nilai maksimum dari suatu kategori wisata

Kesesuaian sumberdaya pesisir dan lautan ditujukan untuk mendapatkan kesesuaian karakteristik sumberdaya wisata. Kesesuaian karakteristik sumberdaya dan lingkungan untuk pengembangan wisata dilihat dari aspek keindahan alam, keamanan dan keterlindungan kawasan, keanekaragaman biota, keunikan sumberdaya/lingkungan dan aksesbilitas.

(23)

8

Tabel 2 Matriks kesesuaian area untuk wisata perahu mangrove Lagoi

No. Paramater Bobot Kategori S2 : Sesuai, dengan nilai IKW : 50 - <75%

Kategori TS : Tidak sesuai, dengan nilai IKW <50%

Kelas kesesuaian diperoleh dari perkalian antara bobot dan skor dari masing-masing parameter. Kesesuaian ekowisata mangrove mempertimbangkan parameter penilaian. Pemberian bobot berdasarkan tingkat kepentingan suatu parameter, sedangkan pemberian skor berdasarkan kualitas setiap parameter kesesuaian.

Analisis Daya Dukung Kawasan Ekowisata

Rahmani et al. (2014) menyatakan bahwa memperkirakan daya dukung untuk pengembangan pariwisata di daerah penelitian, kemampuan ekologi dan kesesuaian lahan dipetakan dengan menggunakan model yang intensif, hasil tahap ini menyediakan data yang dibutuhkan untuk menentukan keterbatasan ekologis daerah. Selanjutnya, dihitung daya dukung wilayah yang cocok untuk pengembangan ekowisata yang bertujuan untuk menentukan jumlah maksimum orang yang diizinkan untuk menggunakan lahan potensial sebagai pilihan rekreasi dalam jangka waktu tertentu. Jumlah ini ditentukan berdasarkan potensi alam, masalah ekologi dan pengelolaan daerah.

(24)

a. Physical Carrying Capacity (PCC)

PCC=A × B × Rf1

Keterangan:

PCC : Daya dukung fisik

A : Luas area yang tersedia untuk pemanfaatan umum

1/B : Area yang dibutuhkan untuk satu perahu bermanufer (m2) Rf : Faktor rotasi

Kriteria dan asumsi dasar yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan PCC adalah:

1. Bahwa perahu pada umumnya membutuhkan ruang horizontal sepanjang 150 m untuk dapat bermanuver dan bergerak bebas.

2. Bahwa luas yang tersedia (A) ditentukan oleh keadaan tertentu di areal. 3. Faktor rotasi (RF) adalah jumlah kunjungan harian yang diperbolehkan

kesuatu lokasi yang diformulasikan dengan rumus:

RF=waktu rata-rata per kunjunganMasa Buka

b. Rill Carrying Capacity (RCC)

RCC=PCC × 100-CF100 × 1 100-CF100 ………..×2 100-CF100 n

RCC dihitung dengan memperhatikan faktor koreksi/Corection Factor (CF) yang berasal dari ciri- ciri khusus lokasi. faktor-faktor koreksi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: curah hujan (CF1), indeks diversitas mangrove (CF2). Asumsi yang digunakan untuk mengukur RCC adalah: faktor koreksi (CF) diperoleh dengan mempertimbangkan variabel biofisik lingkungan, faktor koreksi (CF) berkaitan erat dengan kondisi spesifik dan karakteristik tiap tempat dan kegiatan, nilai CF diformulasikan dengan rumus:

CF = Mn

�× %

Keterangan:

Mn : Kondisi nyata pada variable terhitung Mt : Batas maksimum pada variable tersebut c. Effective Carrying Capacity (ECC)

(25)

10

ECC= MC ×RCC

Keterangan:

ECC : Daya dukung efektif atau yang diijinkan

MC : Kapasitas manajemen yang berdasarkan jumlah staf dan anggaran RCC : Daya dukung sebenarnya

Kriteria dan asumsi dasar yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan ECC adalah:

1. MC didefinisikan sebagai penjumlahan kondisi staf yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya alam jika fungsi dan tujuan pengelolaannya dijalankan.

2. Ketika kapasitas untuk mengelola sumberdaya kawasan meningkat, maka ECC akan meningkat, namun tidak pernah lebih besar dari RCC meskipun dalam kondisi yang mendukung.

3. MC dikemukakan dalam persentase, nilai MC dihitung dengan rumus sebagai berikut:

MC= Kapasitas staf yang diperlukan × 100%Kapasitas staf yang ada

Dari uraian rumus PCC, RCC dan ECC di atas dinyatakan bahwa setiap tingkat urutan merupakan tingkat kapasitas yang telah dikurangi dari tingkat sebelumnya, sehingga PCC selalu lebih besar jumlahnya dari RCC, dan RCC lebih besar atau sama dengan ECC, yang dapat dinotasikan dengan:

PCC > RCC dan RCC ≥ ECC

Persamaan di atas dijadikan standar dalam menentukan kapasitas daya dukung fisik di kawasan. Jika ECC lebih besar dari RCC dan RCC lebih besar dari PCC berarti jumlah pengunjung yang memasuki kawasan wisata telah melewati daya dukung fisik kawasan. Manning (2002) menyatakan bahwa ketika indikator variabel tidak sesuai dengan standar yang dibuat, berarti daya dukung terlampaui sehingga diperlukan langkah-langkah kegiatan pengelolaan kawasan.

Penentuan Karakteristik Responden

(26)

Analisis Biaya Perjalanan

Biaya perjalanan atau biasa disebut Travel Cost Method (TCM) merupakan metode yang digunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi dari suatu lokasi atau objek, tujuan melakukan melakukan TCM adalah untuk menghitung nilai suatu kawasan wisata melalui estimasi rata-rata permintaan terhadap kunjungan wisata di lokasi tersebut. Untuk itu, perlu diestimasi fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata. Christiernsson (2003) dalam Yulianda et al. (2010) menyatakan bahwa drived demand diperoleh dengan melakukan regresi pada variabel yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah kunjungan. Fungsi permintaan atas kunjungan wisata yaitu:

Si : Biaya Perjalanan ke lokasi wisata subtitusi oleh individu ke-i

Selanjutnya dihitung nilai konsumen surplus pengunjung diperoleh dari hasil pembagian jumlah kunjungan dengan nilai parameter dari total biaya perjalanan dengan fungsi sebagai berikut:

CSi = - Vi / β1 Keterangan:

CSi : Consumer surplus individu i -Vi : Jumlah kunjungan per tahun β1 : Biaya perjalanan

Total nilai manfaat kawasan wisata diperoleh dari hasil perkalian consumer surplus dengan jumlah individu rill (rata-rata tahunan) dengan formula:

TB= CSi × TV Keterangan:

TB : Total manfaat ekonomi lokasi wisata CSi : Consumer surplus individu i

TV : Total kunjungan pertahun

Strategi Pengelolaan

(27)

12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Administrasi Provinsi Kepulauan Riau

Berdasarkan Undang-Undang No. 25/2002 Provinsi Kepulauan Riau ditetapkan sebagai provinsi di Indonesia dengan 4 kabupaten dan 2 kota yaitu Kabupaten Karimun, Kabupaten Bintan, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, serta Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang. Sejak tahun 2008, berdasarkan Undang-undang No. 33/2008 terbentuk Kabupaten Kepulauan Anambas sebagai hasil pemecahan wilayah Kabupaten Natuna.

Provinsi Kepulauan Riau terletak antara 00°29’ Lintang Selatan dan 04°40’ Lintang Utara serta antara 103°22’ Bujur Timur sampai dengan 109°4’ Bujur Timur. Tercatat 394 pulau berpenghuni sedangkan 1.401 lainnya belum berpenghuni (KEPRI Dalam Angka 2015). Sebagai salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan beberapa Negara ASEAN, Provinsi Kepulauan Riau memiliki posisi yang sangat strategis. Selain itu Provinsi Kepulauan Riau juga berbatasan langsung dengan beberapa provinsi lainnya di Indonesia. Dengan kondisi demikian diperlukan adanya penanganan khusus untuk menjaga otoritas baik regional maupun nasional, batas-batas wilayah tersebut meliputi:

- Batas Utara : Vietnam dan Kamboja

- Batas Selatan : Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Provinsi Jambi

- Batas Barat : Singapura, Malaysia, dan Provinsi Riau

- Batas Timur : Malaysia dan Provinsi Kalimantan Barat

Sebagai daerah kepulauan wilayah lautan yang dimiliki Provinsi Kepulauan Riau seluas 417.012,97 km2. Sedangkan daratannya adalah seluas 10.595,41 km2, pulau-pulau yang tersebar pada umumnya merupakan sisa-sisa erosi atau peletusan dari daratan pratersier yang membentang dari Semenanjung Malaysia sampai Pulau Bangka dan Belitung. Pada gugusan beberapa pulau kondisi daratannya berbukit-bukit dan landai di pantainya, dengan ketinggian rata-rata 2 sampai 5 meter di atas permukaan laut (KEPRI Dalam Angka 2015).

Kepulauan Riau adalah provinsi maritim yang dikelilingi oleh lautan sekitar 95%. Kondisi ini membuat kegiatan ekonomi masyarakat lebih banyak berhubungan dengan pemanfaatan laut dan potensinya. Potensi yang dimaksud adalah potensi perikanan atau potensi kelautan lainnya misalnya pariwisata atau budidaya. Saat ini masing-masing kabupaten/kota telah memiliki minimal satu wilayah yang menjadi unggulan pariwisata.

Administrasi Kabupaten Bintan

Kabupaten Bintan sebagai salah satu Kabupaten di Provinsi Kepulauan. Secara geografis Kabupaten Bintan terletak antara 0º47’-1 2’ Lintang Utara dan 104º13’-104º38’ Bujur Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Kabupaten Anambas dan Malaysia - Sebelah Selatan : Kabupaten Lingga

- Sebelah Timur : Provinsi Kalimantan Barat

(28)

Secara administratif Kabupaten Bintan terbagi menjadi 10 kecamatan, yaitu: Teluk Bintan, Sri Kuala Lobam, Bintan Utara, Teluk Sebong, Bintan Timur, Bintan Pesisir, Mantang, Gunung Kijang, Toapaya, Tambelan (BPS Bintan 2013). Kabupaten Bintan merupakan wilayah yang terdiri atas gugusan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan luas wilayah Kabupaten Bintan adalah ± 88.038 km2 yang terdiri dari luas daratan 1.946 km2 dan 86.092 km2 luas lautan (Gambar 5).

Kabupaten Bintan memiliki ekosistem hutan tropis dataran rendah, hutan pantai, ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang. Hutan tropis di Kabupaten Bintan yang ditetapkan sebagai hutan lindung seluas 4,703,11 ha dan yang ditetapkan sebagai hutan produksi seluas 9.315,27 ha (Perda Bintan 2012).

Kawasan ekowisata Lagoi

Berdasarkan peraturan daerah kabupaten Bintan No: 2 tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten Bintan tahun 2011-2031 kawasan Lagoi ditetapkan sebagai kawasan wisata bahari dan Kecamatan Teluk Sebong sebagai kawasan ekowisata, kawasan ini diarahkan untuk pengembangan wisata budaya, wisata alam, cagar alam dan wisata bahari. Saat ini kunjungan wisatawan mancanegara yang datang ke Kepulauan Riau sebagian besar masuk melalui kawasan Lagoi, Kawasan ini dengan letaknya yang strategis yaitu berdekatan dengan negara Singapura dan Malaysia merupakan potensi yang sangat dominan bagi pengembangan pariwisata di kawasan ini. Keunggulan lokasi ini dimanfaatkan oleh singapura sebagai bagian global infrastructure, melalui kerjasama Indonesia, Malaysia, Singapore-Growth Triangle (IMS-GT) pada tahun 1990 pemerintah Indonesia telah menandatangani kerjasama pengembangan Pulau Bintan dengan pemerintah Singapura, diantaranya adalah mempersiapkan lahan sebesar 23.000 ha di sepanjang pesisir Bintan Utara untuk dikembangkan oleh berbagai investor sebagai kawasan pariwisata terpadu.

Konsep dasar pengembangan Segitiga Pertumbuhan IMS-GT ini adalah pemanfaatan interaksi ekonomi antara Riau (sekarang Provinsi Kepulauan Riau) Singapura dan Johor (Malaysia) dengan membentuk satu wilayah investasi (One Investment Regional). Kerjasama Indonesia dan Singapura ini dilakukan berdasarkan pertimbangan dasar bahwa Singapura sebagai “Mesin Pertumbuhan” dan salah satu negara industri maju di Asia telah memiliki pengalaman luas dalam multi national corporations sehingga mampu untuk mengarahkan modal swasta Indonesia maupun Singapura, disamping managerial skill dan industry bertekhnologi tinggi. Pada tahun 1990 singapura menerima 5 juta wisatawan dan

2%

(29)

14

15,6 juta wisatawan transit dengan pertumbuhan 5% per tahun. Sejak beroperasinya Bintan Resort dan dermaga laut sejak tahun 1995 wisatawan dari tahun ke tahun terus meningkat.

Kawasan Lagoi yang berada di Kecamatan Teluk Sebong adalah area dimana banyak hotel berbintang yang menyediakan jasa akomodasi. Oleh karena itu jumlah tamu yang banyak menginap di kawasan ini didominasi oleh wisatawan mancanegara. Selama 2015 telah terdapat 9 (Sembilan) hotel berbintang dikawasan ini. Selain hotel berbintang kawasan ini juga memiliki 3 (tiga) lapangan golf yang bertaraf internasional, sehingga kawasan ini tidak pernah sepi pengunjung.

Ekowisata mangrove Lagoi merupakan kawasan di sepanjang Sungai Sebong, kawasan ini melalui dua desa yaitu Desa Sebong Lagoi dan Desa Sebong Pereh dimana para wisatawan dapat menikmati ekosistem mangrove yang masih asli dan jauh dari keramaian penduduk. Wisatawan menggunakan perahu untuk menyusuri sungai, cara ini dianggap sangat efektif untuk mendukung program ekowisata mangrove Lagoi dimana wisatawan lebih mudah dikontrol untuk tidak merusak maupun membuang sampah sembarangan, dan cara seperti ini sangat ramah terhadap lingkungan. Ekowisata ini memanfaatkan lahan sebesar 43 ha, dengan panjang trek sungai sebesar 6,8 km, di kawasan ini para wisatawan dapat melihat berbagai jenis mangrove dan biota-biota yang ada didalamnya seperti: burung, monyet dan reptile (ular, biawak, dan kadal).

Ekowisata mangrove Lagoi secara umum dikelola oleh PT Bintan Resort Cakrawala (BRC) sebagai pengelola kawasan PT BRC juga yang mengelola jetty tempat awal menaiki perahu untuk masuk ke kawasan ekowisata mangrove, sedangkan untuk pengelola ekowisata (biasa disebut operator) yang memiliki perahu untuk mengantar wisatsawan ke area mangrove. Operator terbesar pada saat penelitian yang menjalankan bisnis ekowisata ini yaitu dari PT BRC sendiri dengan nama Wira Artha, Yayasan Ekowisata Tunas Harapan Sebong Lagoi (YETHAS). Belum ada regulasi yang jelas untuk operator yang ada di kawasan ini, jumlah operator setiap tahun terus bertambah melihat besarnya potensi dan perputaran uang di wilayah ini.

Atraksi (sumberdaya wisata)

Wisata erat kaitannya dengan daya tarik, karena daya tarik merupakan suatu faktor yang membuat orang berkeinginan untuk ke suatu wilayah untuk melihat secara langsung. Unsur-unsur yang menjadi daya tarik diantaranya keindahan alam, pilihan kegiatan rekreasi, dan keanekaragaman sumberdaya alam. Keindahan alam ekowisata mangrove Lagoi meliputi pemandangan hutan mangrove yang rimbun menimbulkan kesan menyejukan dan menarik pengunjung untuk menjelajahinya. Suasana di dalam kawasan mangrove cukup menegangkan dibeberapa point pemberhentian antara pohon kiri dan kanan telah menyatu sehingga cahaya matahari hanya masuk dari antara dedaunan ditambah dengan hewan-hewan yang berasosiasi dengan mangrove seperti ular yang bergantung di atas pohon, menambah kesan yang menegangkan. Pengunjung juga dapat melihat beberapa jenis mangrove dan beraneka ragam bentuk akar maupun buah dari mangrove tersebut.

(30)

Tabel 3 Atraksi dan daya tarik wisata di ekowisata mangrove Lagoi No Klasifikasi wisata Atraksi wisata

1 Wisata alam - Berperahu menyusuri sungai

- Pengamatan tumbuhan mangrove (jenis, akar, buah)

- Pengamatan satwa di mangrove

- Batu yang menyerupai buaya

2 Wisata buatan - Pengamatan nelayan yang menangkap ikan dimangrove

- Tungku bekas pembuatan arang

- Pondok tempat peristirahatan nelayan

- Orang laut (musiman)

Wisatawan akan memperoleh pengetahuan tentang tumbuhan mangrove dan berbagai jenis satwa yang berasosiasi dengan mangrove. Kegiatan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove dapat menjadi daya tarik wisatawan seperti menangkap ikan dan kepiting. Kegiatan tersebut merupakan hal yang jarang ataupun tidak pernah dilihat oleh wisatawan.

Gambar 6 Pemandangan di ekowisata mangrove Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 2015

Pemandangan alam di daerah ekowisata mangrove Lagoi merupakan atraksi wisata utama, di sepanjang sungai sebong wisatawan akan melihat berbagai jenis tumbuhan mangrove, biota yang berasosiasi, dan air sungai yang hijau serta berbagai atraksi lainnya, hal ini merupakan edukasi bagi wisatawan yang berkunjung ke kawasan ekowisata mangrove Lagoi.

Amenitas

(31)

16

Tabel 4 Fasilitas, sarana dan prasarana ekowisata mangrove Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 2015

Pengadaan sarana dan prasarana serta jasa pelengkap kegiatan wisata dengan tujuan untuk memuaskan pengunjung adalah hal yang wajib dan diperlukan. Seperti pujasera, selain bisa menjadi tempat peristirahatan sementara bagi wisatawan juga dapat menikmati sajian makanan laut seperti kepiting dan ikan dan cumi-cumi, ketersediaan pasar oleh-oleh juga memudahkan pengunjung untuk membawa oleh selepas melakukan aktivitas wisata. Pada pasar oleh-oleh tersedia souvenir berupa kaos-kaos, topi, tas serta pernak-pernik seperti gantungan kuci dan pena yang bertemakan ekowisata mangrove, dan juga terdapat oleh-oleh lainnya seperti makanan ringan khas dari Bintan.

Aksesibilitas

Lokasi wisata yang memiliki akses yang baik merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam melakukan kegiatan pariwisata. Faktor kemudahan pencapaian suatu kawasan mempengaruhi nilai potensi suatu kawasan, dalam rangka menjamin terjadinya arus lalu lintas wisatawan yang baik diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu kenyamanan, waktu dan biaya.

Penilaian tingkat kemudahan pencapaian suatu kawasan wisata dipengaruhi oleh beberapa komponen, antara lain kondisi jalan menuju kawasan, jenis serta jumlah angkutan dan frekuensi keberangkatan serta kenyamanan pelayanan. Jenis angkutan dengan pelayanan yang baik, tersedia dalam jumlah memadai dengan frekuensi keberangkatan yang tinggi akan mempermudah wisatawan dalam mengunjungi daerah tujuan wisata,

Menuju ke kawasan ekowisata mangrove Lagoi terdapat beberapa cara, antara lain: bagi wisatawan yang berasal dari Jakarta dapat langsung menaiki pesawat dengan tujuan Tanjung Pinang yaitu Bandara Raja Haji Fisabilillah No Informasi Kawasan Fasilitas, sarana dan prasarana

1 Promosi kawasan - Website (media internet)

- Even kebudayaan ke negara target wisatawan

- Artikel blog-blog pribadi

- Buku panduan wisata, brosur

(32)

selanjutnya ditempuh dengan jalur darat kearah bintan bagian utara selama satu jam. Sedangkan untuk jalur laut, dari batam dapat dilalui dengan kapal cepat dari pelabuhan Punggur menuju pelabuhan Tanjung Uban hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit, selanjutnya dilanjutkan ke daerah Lagoi selama 30 menit. Untuk wisatawan asing biasanya melalui pelabuhan Singapura dengan kapal ferry yaitu Pelabuhan Tanah Merah langsung menuju pelabuhan di kawasan Lagoi yaitu Bandar Betan Telani selama kurang lebih 120 menit.

Permintaan terhadap ekowisata

Kegiatan wisata yang berbasis ekologi termasuk adanya interaksi antara wisatawan terhadap satwa liar meningkatkan minat pemerintah dan industry pariwisata. Tipe pengalaman wisata menjadi berbeda termasuk memasuki kawasan hutan mangrove dimana di dalamnya banyak terdapat hal-hal baru yang mungkin belum pernah ditemui wisatawan di tempat lain. Menurut Sims (2011) kawasan lindung/konservasi diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan, kondisi ini dapat dicapai apabila manfaat ekonomi dari pariwisata telah cukup besar mengimbangi biaya pembatasan penggunaan lahan.

Promosi yang sering dilakukan oleh pihak pengelola secara besar-besaran ditambah dengan even-even internasional yang menjadi agenda tahunan pemerintah Kepulauan Riau seperti Tour The Bintan dan Bintan Triathlon berakibat banyaknya wisatawan mancanegara yang berkunjung di kawasan Lagoi ini, namun jika melihat tren wisatawan yang berkunjung ke kawasan ekowisata mangrove Lagoi dari 2010 sampai 2014 terjadi sedikit penurunan, menurut pihak pengelola hal ini disebabkan karna peralihan wisatawan yaitu dari wisatawan Eropa ke wisatawan Asia terkhusus China.

Pada saat ini pihak pengelola sedang meningkatkan promosinya di wilayah Asia seperti China dan Korea. Selain itu menurut salah satu pengelola penurunan ini juga diindikasikan akibat menurunnya jumlah hewan yang terdapat pada ekosistem mangrove, hal ini menurunkan kepuasan wisatawan yang berkunjung ke kawasan ekowisata mangrove Lagoi. Pihak pengelola sudah berusaha mengurangi permasalahan ini, namun banyak nya operator baru yang ikut berperan dalam ekowisata mangrove Lagoi ini menjadi kendala dikarenakan belum adanya aturan yang jelas mengenai berapa batasan perahu yang boleh berada di kawasan ekowisata ini. Adapun jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

(33)

18

Karakteristik pengunjung

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, wawancara dengan pengunjung, dan penyebaran kuisioner bagi pengunjung, diperoleh data berupa karakteristik pengunjung. Karakterisik pengunjung terdiri atas jenis kelamin, kelompok usia, tingkat pendidikan, pendapatan, kebangsaan, persepsi. Pengunjung ekowisata mangrove Lagoi didominasi pengunjung yang berjenis kelamin laki-laki dengan persentase 85%, jumlah pengunjung yang paling banyak berusia 25-50 tahun sebanyak 71%, pendidikan terakhir pengunjung yang terbanyak adalah strata 1 dengan jumlah 56% tingkat SMA sebesar 17%, sedangkan untuk penghasilan perbulan yang terbesar adalah diatas Rp. 14.250.000 sebesar 77% (Gambar 7).

Hal ini menunjukan bahwa secara umum wisatawan yang berkunjung kekawasan ekowisata mangrove ini memiliki pendapatan relatif tinggi, sehingga ada alokasi anggaran untuk berwisata. Selain itu mereka yang rata-rata pendidikannya strata 1 mempunyai pemahaman ekowisata yang baik, sehingga mereka mudah memahami bahwa pengembangan ekowisata mangrove selain sebagai bentuk partisipasi dalam menjaga alam juga menambah pengetahuan mereka tentang pentingnya mangrove dalam ekosistem pesisir, dengan hal ini diharapkan tujuan utama ekowisata yaitu upaya konservasi dapat tercapai.

Gambar 7 Diagram karakteristik responden pengunjung ekowisata mangrove Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 2015

(34)

Asal pengunjung

Kondisi aksesibilitas yang mudah dijangkau dan keindahan serta kenyamanan kawasan dalah beberapa faktor yang menyebabkan tingginya jumlah wisatawan. Pengunjung kawasan ekowisata mangrove lagoi didominasi wisatawan mancanegara seperti berasal dari Asia sendiri maupun Eropa. Jika dilihat secara garis besar pengunjung ekowisata mangrove Lagoi terbanyak adalah berasal dari China yaitu sebesar 52% dan paling sedikit berasal dari Vietnam, hal ini dikarenakan selain promosi juga di China sedang banyak hari libur, seperti imlek atau biasa disebut tahun baru China.

Gambar 8 Daerah asal wisatawan ekowisata mangrove Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 2015

Pola kunjungan

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengunjung sebagian besar pengunjung mengetahui tentang lokasi ekowisata mangrove ini melalui website dan informasi perorangan terutama dari teman, saudara dan media cetak di tempat asal mereka. Wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini adalah wisatawan mancanegara jadi kawasan ini selalu ramai tanpa memperhatikan hari libur di Indonesia. Hal ini dikarenakan karena hari libur di negara asal mereka berbeda dengan di Indonesia sendiri.

Gambar 9 Persentase kunjungan wisatawan per tahun ekowisata mangrove Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 2015

Wisatawan yang datang ke ekowisata mangrove Lagoi yang melakukan kunjungan pertama yang paling besar dengan persentase sebesar 87% sedangkan yang melakukan kunjungan untuk kedua kalinya sebesar 13%, hal ini menandakan bahwa wisatawan yang banyak berkunjung adalah wisatawan yang baru pertama berkunjung ke kawasan ini. Jika dihubungkan dengan kegiatan promosi hal ini menandakan kegiatan promosi yang dilakukan sangat menarik wisatawan untuk berkunjung ke kawasan ekowisata mangrove Lagoi.

(35)

20

Tingkat kepuasan wisatawan

Salah satu indikator keberhasilan pengembangan kawasan wisata adalah tingkat kepuasan wisatawan, semakin tinggi kepuasan berwisata maka peluang wisatawan untuk kembali dan memberikan informasi kepada orang-orang disekitarnya semakin besar. Beberapa kegiatan wisata seperti mengamati satwa liar, fotografi, dan mengamati tumbuhan mangrove merupakan bentuk pengembangan yang diberikan oleh pihak pengelola untuk menambah tingkat kepuasan pengunjung.

Berdasarkan hasil wawancara jika dilihat dari kepuasan pengunjung terhadap ekowisata mangrove sebesar 83 % menyatakan sangat senang. Hal ini berarti kegiatan berwisata yang ditawarkan pihak pengelola mendapatkan respon yang positif dari pengunjung hal ini ditambah dengan penjelasan pemandu ekowisata yang disiapkan oleh operator dapat berbicara dalam bahasa asing seperti Inggris, China, dan lain-lain sehingga dapat memberikan pemahaman tentang mangrove seperti tempat hidup (ekologi), manfaat mangrove sebagai pencegah abrasi juga sebagai tempat daerah berkembang biak, asuhan dan mencari makan bagi ikan, hal tersebut menambah pengetahuan dimana selama ini mereka hanya berfikir bahwa mangrove yang hanya tumbuhan biasa saja yang tidak penting untuk keberlanjutan kehidupan ikan dan organisme lain.

Gambar 10 Kepuasan wisatawan terhadap ekowisata mangrove Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 2015

Setelah melakukan kegiatan ekowisata menelusuri mangrove pengunjung memiliki kepuasan tersendiri baik dari kecepatan perahu dan jarak antar perahu, hal ini nantinya juga untuk menghitung jumlah perahu yang diperbolehkan sehingga tetap menjaga kestabilan lingkungan, karena perahu yang terlalu cepat ketika berpapasan dengan perahu lain akan menimbulkan gelombang yang berakibat abrasi pada pinggir sungai, jarak antar perahu yang terlalu dekat juga menimbulkan kekhawatiran pada wisatawan dan menyebakan ketidaknyamanan. Data vegetasi mangrove

Berdasarkan pengamatan kondisi mangrove pada delapan stasiun penelitian ditemukan lima jenis yaitu Xylocarpus granatum (Nyirih merah), Rhizopora apicullata (Bakau), Lumnitzera litorea (Seresap), Brugueira gymnoriza (Tumu), Rhizopora stylosa (Bakau). Xylocarpus granatum (Nyirih merah) dan Rhizopora apicullata (Bakau) merupakan jenis yang paling banyak ditemui pada setiap stasiun.

17%

83%

Senang

(36)

Tabel 6 Hasil olahan data vegetasi mangrove Stasiun I

No Jenis Mangrove Kerapatan Relatif (KR)

No Jenis Mangrove Kerapatan Relatif (KR)

Frekuensi

Relatif (FR) Dominasi Relatif (DR)

1 Rhizopora

No Jenis Mangrove Kerapatan Relatif (KR)

(KR) Frekuensi Relatif (FR) Dominasi Relatif (DR)

(37)

22

Stasiun V

No Jenis Mangrove Kerapatan Relatif (KR)

Frekuensi

Relatif (FR) Dominasi Relatif (DR)

1 Xylocapus

No Jenis Mangrove Kerapatan Relatif (KR)

Frekuensi

Relatif (FR) Dominasi Relatif (DR)

1 Xylocapus

No Jenis Mangrove Kerapatan Relatif (KR)

Frekuensi

Relatif (FR) Dominasi Relatif (DR)

1 Xylocapus

No Jenis Mangrove Kerapatan Relatif (KR)

Frekuensi

Relatif (FR) Dominasi Relatif (DR)

(38)

Tabel 7 Rekap hasil olahan data vegetasi mangrove di ekowisata mangrove Lagoi, KabupatenBintan, Kepulauan Riau, 2015

Stasiun Titik Koordinat Kerapatan (Batang/Ha) Kriteria tingkatan pohon

(Sumber data: olahan data primer, kriteria kerusakan mangrove (Kepmen LHno 201 2004)

Kesesuian ekowisata mangrove Lagoi

Pengembangan kawasan ekowisata sebaiknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya, Dahuri et al. (1996) menyampaikan bahwa setiap kegiatan pembangunan termasuk pariwisata harusnya ditempatkan pada lokasi secara biofisik sesuai. Persyaratan ini dapat dipenuhi dengan membuat peta kesesuaian lahan. Suatu kawasan dapat dinilai kecocokan maupun kelayakannya untuk berbagai aktivitas yang dilakukan di dalam suatu kawasan tersebut perlu dilakukan analisis kesesuaian, secara visual suatu kawasan bisa saja dikatakan indah ataupun tepat untuk dijadikan kawasan wisata, namun belum tentu sesuai jika dilihat dari aspek ekologi maupun fisik maka untuk mendukung hal tersebut perlu dilakukan penilaian secara ilmiah.

(39)

24

(40)

Hasil perhitungan kesesuaian ekowisata mangrove Lagoi pada tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil olahan kesesuaian kawasan untuk ekowisata mangrove Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 2015

Lokasi pengamatan Nilai indeks (%) Kategori kesesuaian

Stasiun 1 67.27 Sesuai

Stasiun 2 96.36 Sangat sesuai

Stasiun 3 74.55 Sesuai

Stasiun 4 56.36 Sesuai

Stasiun 5 89.09 Sangat sesuai

Stasiun 6 67.27 Sesuai

Stasiun 7 81.82 Sangat sesuai

Stasiun 8 34.55 Tidak sesuai

Berdasarkan analisis kesesuaian, daerah yang sangat sesuai yaitu pada stasiun dua, lima dan tujuh. Kategori sangat sesuai ini menunjukan setiap paremeter di tiga lokasi tersebut sangat mendukung untuk kegiatan ekowisata berperahu mengelilingi mangrove. Total area yang sangat sesuai adalah 66 Ha dengan nilai kesesuaian berkisar antara 81.82 - 96.36 %.

Panentuan nilai daya dukung kawasan

Physical Carrying Capacity (PCC) untuk ekowisata mangrove Lagoi yang menggunakan perahu berdasarkan kriteria yang ditetapkan, yaitu panjang sungaiefektif yang digunakan untuk wisata adalah 6000 m. Untuk variable pengunjung dalam hal ini digantikan oleh perahu yang membutuhkan area sepanjang 150 muntuk dapat bermanuver dan bergerak bebas, hasil perhitungan ini didapatkan berdasarkan survei kepuasan pengunjung. Waktu buka objek wisata selama satu hari adalah 5 jam, dengan rata-rata waktu yangdihabiskan pengunjung adalah 1,5 jam, hasil perhitungan PCC adalah 133 perahu per hari.

Penentuan daya dukung terdapat faktor koreksi yang dijadikan pembatas kunjungan. Faktor ini berkaitan dengan mangrove sebagai atraksi utama dan faktor cuaca pada musim hujan merupakan waktu kunjungan yang tidak nyaman. Selain itu rasio antara pengunjung dan petugas dilapangan turut mempengaruhi jumlah tingkat kunjungan. Berdasarkan penilaian terhadap indeks dari masing-masing faktor koreksi, diperoleh perhitungan seperti pada Tabel 9.

Tabel 9 Nilai faktor koreksi ekosistem untuk ekowisata mangrove Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 2015

Variabel Biotik Diversitas pohon (Indeks Diversitas

Simpson)

0.59 Abiotik Curah hujan (klasifikasi iklim

Schmidt-Fergusson)

(41)

26

Perhitungan nilai RCC berdasarkan faktor koreksi pada lokasi yang telah diidentifikasi didapatkan nilai RCC adalah 75 perahu per hari. Nilai ECC dihitung berdasarkan kapasitas manajemen, dan waktu buka lokasi hasil perhitungan ECC yaitu sekitar 32 perahu per hari. Hasil perhitungan dari pendekatan 2 operator yaitu Bintan Resort Cakrawala (BRC) dan YETHAS di ekowisata mangrove lagoi rata-rata jumlah perahu dari kedua operator ini adalah 23 trip perahu per hari, jumlah pengunjung 105 orang per hari dan jumlah orang dalam satu perahu adalah 5 orang. Nilai daya dukung yang diperbolehkan atau efektif (ECC) di kawasan ekowisata mangrove Lagoi adalah 32 perahu per hari jika setiap perahu diisi 5 orang maka jumlah orang yang diperbolehkan adalah 160 orang per hari.

Analisis biaya perjalanan

Biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh wisatawan bervariasi tergantung dari negara asal wisatawan karena biaya transportasi merupakan salah satu komponen biaya terbesar yang dikeluarkan oleh wisatawan. Komponen biaya perjalanan terdiri dari biaya transportasi ke tempat rekreasi, biaya konsumsi di tempat rekreasi, biaya penginapan, biaya masuk lokasi serta biaya tak terduga yang dikeluarkan oleh pengunjung di tempat rekreasi, biaya perjalanan dari masing-masing negara disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Rata-rata biaya perjalanan ekowisata mangrove Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 2015

Hasil perhitungan analisis biaya perjalanan menggunakan persamaan regresi berganda untuk jumlah kunjungan wisatawan (V) terhadap variabel bebas lain yakni biaya perjalanan (X1), waktu (X2), pendapatan (X3), usia (X4), pendidikan (X5). Hasil penghitungan regresi diperoleh persamaan yaitu:

LnV= 7.56 - 0.660 LnX1 - 0.008 LnX2+0.067 LnX3+ 0.073 LnX4 + 1.189 LnX5 +ei (R2= 62 %, P= 0.0000)

(42)

Pembahasan Vegetasi mangrove ekowisata Lagoi

Mangrove merupakan tumbuhan yang hidup di wilayah intertidal dan terlindung, memiliki tingkat adaptasi yang tingi baik terhadap substrat, salinitas maupun limbah yang masuk kekawasan mangrove, dan penyebarannya sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Berdasarkan data yang diolah secara umum kondisi mangrove di kawasan ekowisata lagoi adalah baik dan sedang, namun dibeberapa stasiun penelitian terdapat juga mangrove yang rusak seperti pada stasiun 4 dan stasiun 8. Pada stasiun 4 diduga kerusakan diakibatkan oleh letak lokasi yang dekat dengan pemukiman warga dan beralih fungsi menjadi tempat penambangan pasir, dan pada stasiun 8 penyebab kerusakan dikarenakan daerah ini terletak di muara dan dekat dengan pemukiman penduduk, perusakan dengan penebangan pohon untuk bahan bangunan rumah, dan menjadi tongkat untuk nelayan sebelum pergi melaut, juga dikarenakan abrasi dimana daerah ini merupakan jalur speedboat dengan kecepatan tinggi bolak-balik sehingga menyebabkan gelombang air yang cukup kuat, hal ini berakibat pada buah mangrove susah untuk menempel kepada substrat untuk regenerasi mangrove.

Nilai kerapatan relatif tertinggi pada lokasi penelitian yaitu pada stasiun 6 dimana jenis mangrove yang memiliki nilai tertinggi adalah Xylocarpus granatum hal ini dikarenakan pasokan air tawar di lokasi ini cenderung permanen dikarenakan cukup banyaknya aliran sungai kecil pada lokasi ini, dan juga jenis mangrove ini tumbuh berkelompok dalam satu area dengan lingkar batang yang agak besar mencapai 61 cm pada lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Noor (2006) dalam buku pengenalan mangrove Indonesia bahwa jenis mangrove Xylocarpus granatum tumbuh di sepanjang pinggiran sungai pasang surut, pinggir daratan dari mangrove, dan lingkungan payau yang tidak terlalu asin, seringkali mengelompok dalam jumlah besar. Menurut Skilleter dan Waren (1999) dalam Schaduw (2011) kerapatan pada suatu ekosistem berpengaruh pada biota yang berasosiasi didalamnya, ekosistem mangrove digunakan sebagai tempat perlindungan bagi biota yang hidup didalamnya.

Nilai frekuensi relatif tertinggi pada lokasi penelitian yaitu pada stasiun 6 yaitu jenis Rhizopora apiculata, hal ini menunjukan bahwa jenis mangrove ini beradaptasi baik terhadap lingkungan dimana dapat dijumpai dari pinggir sungai sampai kearah darat. Simbala (2007) menyatakan jenis yang memiliki nilai frekuensi dan nilai kerapatan tinggi merupakan jenis yang memliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan.

Komposisi jenis mangrove di kawasan ekowisata Lagoi didominasi oleh family Rhizophoraceae, hal ini diduga karena sifat kompetisi yang tinggi mendukung penyebaran dan pertumbuhan dari family ini sehingga proses adaptasi berjalan dengan baik. Hal ini didukung oleh Heriyanto dan Subiandono (2012) yang mengatakan bahwa pada kawasan Taman Nasional Alas Purwo, family Rhizoporaceae dan Bruguiera sangat baik dalam memanfaatkan energi matahari, unsur hara/mineral dan air serta sifat kompetisi sehingga mendominasi jenis lainnya

(43)

28

faktor-faktor lingkungan lebih baik bila dibandingkan dengan jenis lain (Silaen et al. 2013). Selain habitat yang sesuai, salah satu penyebab bahwa jenis Rhizophora sp mempunyai sebaran yang merata karena jenis ini umumnya bersifat vivipar, yaitu kondisi dimana biji mampu berkecambah semasa buah masih melekat pada pohon induknya.

Setyawan et al. (2005) yang mengatakan bahwa spesies mangrove memiliki tingkat adaptabilitas yang tinggi terutama pada jenis tertentu seperti propagul pada jenis Rhizophora sp umumnya telah tumbuh sejak masih menempel pada batang induknya (vivipar) sehingga tingkat keberhasilan pertumbuhan menjadi lebih besar, selain itu pada Rhizoporaceae memiliki bentuk propagul yang jauh lebih besar dengan cadangan makanan yang lebih banyak, sehingga memiliki kesempatan hidup lebih tinggi dan dapat disebarkan oleh arus air laut secara lebih luas.

Kesesuaian ekowisata mangrove Lagoi

Stasiun 8 merupakan lokasi dengan kategori tidak sesuai hal ini dikarenakan parameter dengan bobot yang paling tinggi (kerapatan mangrove) pada stasiun ini tergolong rusak, sehingga menurunkan nilai kesesuaian kawasan ini. Stasiun 8 terletak tepat di muara dan langsung terpapar oleh ombak dan wilayah ini sangat dekat dengan aktivitas penduduk.

Kawasan yang tidak sesuai tidak berarti kawasan tersebut tidak dapat digunakan untuk kegiatan wisata. Seperti yang terjadi pada stasiun 8, parameter utama yang menyebabkan rendahnya nilai indeks kawasan ini adalah kerapatan mangrove, pada lokasi dengan kondisi tersebut kegiatan wisata dapat berbentuk wisata edukasi seperti kegiatan wisata penanaman mangrove atau membuat atraksi yang lain. Dilakukannya kegiatan tersebut selain sebagai alternatif wisata bagi pengelola juga membantu menambah nilai kawasan ini, dengan melakukan penanaman di wilayah yang tidak sesuai akan menaikan jumlah tegakan pohon, sehingga kawasan tersebut bisa naik ke kategori sangat sesuai.

Tujuan dilakukan analisis kesesuaian ini untuk melihat suatu kondisi wilayah sehingga dapat ditentukan nantinya lokasi ini dapat diperuntukan untuk jenis wisata yg cocok dilokasi tersebut hal ini sejalan dengan Yulianda et al. (2010) bahwa kegiatan wisata yang akan dikembangkan hendaknya disesuikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya, setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai obyek wisata yang akan dikembangkan.

Nilai daya dukung kawasan

(44)

dukung fisik merupakan nilai yang cukup penting dalam perencanaan pengembangan obyek wisata. Liu (1994) dalam Pitana & Diarta (2009) menyatakan bahwa pemakaian standar daya dukung fisik bagi destinasi wisata mampu menghindarkan pembangunan kawasan yang terlalu cepat dan tidak terkendali yang justru akan merugikan pengembangan ekowisata tersebut.

Sayan dan Atik (2011) menyatakan bahwa nilai PCC merupakan nilai dasar yang digunakan untuk menghitung daya dukung wisata berikutnya. Nilai PCC digunakan untuk menghitung nilai daya dukung riil (Real Carrying Capacity/RCC) yang dibatasi oleh kondisi biofisik lingkungan area wisata setempat, sehingga nilai akhir dari RCC lebih rendah dari pada nilai daya dukung fisiknya. Aspek biofisik yang dijadikan parameter faktor koreksi ditentukan berdasarkan pengamatan di lapangan dan studi literatur serta wawancara terbatas terhadap pengelola obyek wisata. Macam-macam parameter biofisik digunakan oleh beberapa peneliti dalam menghitung daya dukung riil berdasarkan kondisi setempat. Sayan dan Atik (2011) dalam penelitiannya di kawasan Taman Nasional Termessos Turki mengidentifikasi parameter sinar matahari yang berlebihan, curah hujan, badai, erosi, aksesibilitas, dan gangguan satwaliar sebagai faktor koreksi yang membatasi jumlah kunjungan riil wisatawan ke kawasan tersebut.

Mengacu hasil perhitungan ECC di kawasan ekowisata mangrove Lagoi maka jumlah kunjungan wisatawan masih dapat dioptimalkan sebesar 160 pengunjung/hari. Nilai tersebut berarti bahwa dengan jumlah petugas yang ada saat ini cukup mampu melayani jumlah pengunjung yang datang setiap hari dimana rata-rata jumlah kunjungan saat ini sebanyak 105 pengunjung/hari dan masih dapat dioptimalisasikan untuk peningkatan jumlah pengunjung. Namun optimalisasi jumlah pengunjung baik berdasarkan nilai daya dukung riil maupun daya dukung efektif harus disertai dengan optimalisasi kapasitas petugas pengelola sampai dengan 100%.

Menurut Cifuentes (1992) dalam Zacarias et al. (2011), kapasitas manajemen dapat diindikasikan dari beberapa variabel seperti dasar hukum, kebijakan dan peraturan, peralatan, personil, pembiayaan, infrastruktur dan fasilitas. Sehingga dalam peningkatkan kapasitas petugas pengelola dalam melayani pengunjung perlu ditunjang dengan kapasitas manajemen pengelolaan berdasarkan variabel-variabel tersebut. Hal ini untuk mengantisipasi penurunan kapasitas manajemen terutama pada musim puncak kunjungan wisata (peak-season) dimana jumlah pengunjung melebihi kapasitas daya dukung. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terdapat perbedaan yang cukup mencolok terhadap kualitas pelayanan petugas kepada pengunjung pada musim puncak kunjungan kemungkinan disebabkan belum optimalnya kapasitas manajemen dari aspek-aspek manajemn lainnya yaitu antara lain kondisi sarana prasarana, fasilitas, maupun jumlah personil petugas.

Menurut Khair (2006) beberapa permasalahan dalam menentukan daya dukung antara lain:

- Definisi daya dukung dapat berbeda, karena tidak ada definisi yang universal dan masih berpusat pada tingkat toleransi

- Adanya variasi-variasi yang berbeda dalam standar pengukuran

- Daya dukung merupakan konsep yang mengalir dan dinamis

(45)

30

Daya dukung merupakan suatu kerangka yang rasional dan proses yang terstruktur, sehingga didalam daya dukung haruslah mengakomodir hasil penelitian, kebijakan dan keputusan yang informatif. setelah ditentukan daya dukung haruslah dikelola dengan sebaik-baiknya. hal diatas sejalan dengan Muhammad (2012) yang menyatakan bahwa daya dukung belum bersifat sebenar-benarnya karena adanya variabel; yang tidak tetap atau faktor lain yang sebaiknya dimasukan, daya dukung yang diperoleh masih berdasarkan fisik kawasan oleh karenanya masih perlu ditentukan daya dukung psikologis, ekonomi dan sosial. Diharapkan dengan pembatasan jumlah kunjungan ini dapat tetap terjaga keberlanjutan ekosistem baik mangrove maupun biota yang ada di dalam kawasan tersebut.

Biaya perjalanan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh biaya perjalan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi intensitas kunjungan dimana biaya ini menjadi pertimbangan seseorang dalam melakukan kunjungan, kenaikan biaya kunjungan akan berdampak pada jumlah kunjungan. Namun akibat kegiatan ini juga akan menimbulkan kerusakan sebagaimana yang dikatan Hufschmidt (1987) manfaat yang diperoleh dari barang dan jasa dapat dimasukan dalam analisis biaya-manfaat karena kerusakan yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi adalah biaya dari pada aktivitas itu sendiri.

Hasil analisa menunjukan jumlah kunjungan dapat dijelaskan sebesar 62% oleh variabel biaya perjalanan, waktu, pendapatan, usia, dan pendidikan, sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang belum diteliti. Berdasarkan persamaan tersebut maka dapat dijelaskan hasil regresi dari jumlah kunjungan terhadap variabel bebas lainnya memiliki hubungan nilai negatif dengan biaya perjalanan.

Hal ini dimaksudkan bahwa jumlah kunjungan berbanding terbalik terhadap biaya perjalanan yakni ketika biaya perjalanan kegiatan wisata di ekowisata mangrove Lagoi semakin tinggi maka jumlah kunjungan tersebut akan berkurang. Sementara itu untuk ditinjau dari segi pendidikan diketahui jumlah kunjungan yang tinggi berhubungan nilai positif dengan pendidikan pengunjung yakni pendidikan pengunjung yang tinggi akan meningkatkan jumlah kunjungan. Olehnya dapat dijelaskan bahwa penerimaan data dari hasil persamaan sangat kuat, variabel yang bepengaruh kuat dalam persamaan regresi adalah biaya perjalanan yang menunjukan koefisien bertanda negatif yang menjelaskan bahwa nilai biaya perjalanan yang meningkat akan mengurangi rata-rata jumlah kunjungan.

Nilai ekonomi total (NET) kawasan yang didapat dari hasil perhitungan adalah Rp. 250.831.029.485/tahun angka ini didapat dari hasil perkalian antara jumlah pengunjung dalam setahun yaitu 37.624 orang dikalikan dengan hasil perhitungan surplus konsumen Rp. 6.666.783/individu. Namun jumlah NET ini tidak sepenuhnya masuk kedalam kawasan ekowisata Lagoi dimana pengunjung yang datang banyak berasal dari mancanegara, artinya total biaya perjalanan tidak sepenuhnya dikeluarkan dalam kawasan ini.

(46)

penginapan 32%, biaya makan 9%, dan biaya tiket masuk kawasan ekowisata mangrove Lagoi 3%, nilai transportasi memiliki persentase terbesar dikarenakan wisatawan berasal dari mancanegara. Jadi jika dihitung nilai sebenarnya yang masuk ke kawasan Lagoi yaitu dari penginapan, biaya makan, dan tiket masuk kawasan sebesar 44% atau sekitar Rp.110.365.652.973/tahun

Melihat nilai potensi yang sangat besar yang bisa digarap oleh pengelola diharapkan adanya regulasi yang jelas tentang jumlah operator yang boleh beroperasi dikawasan ini, karena jumlah yang besar ini besar menimpulkan konflik pengelolaan di masyarakat. Supriana (1997) mengatakan tidak hanya dampak positif, kegiatan ekowisata dapat berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, baik terhadap lingkungan obyek ekowisata maupun terhadap lingkungan sosial budaya setempat. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Clark (1996) dalam Aryanto dan Mardjuka (2005) khususnya bagi daerah wisata pesisir berbagai permasalahan yang umumnya ditemukan di wilayah pesisir dan bahari saat ini adalah: Penurunan sumberdaya alamiah, polusi, konflik penggunanaan lahan, pengerusakan kehidupan dan kepemilikan akibat bencana alam.

Pengelolaan Ekowisata Mangrove Lagoi

Pengelolaan ekowisata mangrove lagoi dilihat dengan menggabungkan jumlah pengunjung yang diperbolehkan dan hasil olahan data dari analisis biaya perjalanan (Gambar 12) sehinggga didapatkan kurva sebagai berikut:

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Tabel 1 Jenis, bentuk, sumber dan cara pengambilan data
Gambar 3 Stasiun penelitan pengamatan ekologi di Ekowisata Mangrove Lagoi,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tribunnews.com terbukti tidak menggunakan pola ini dalam judul berita prostitusi online Vanessa Angel Tabel 7 Hasil Olah Data Distribusi Frekuensi untuk

Kriteria yang menjadi acuan dalam penentuan sukses atau tidak dalam setiap tindakan yang dilakukan dalam satu siklus pada penelitian ini ada dua indikator, yaitu

a) Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks dalam hal yang diteliti akan atau terjadi. b) Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap

Za procjenu parametara maksimalne vjerodostojnosti modela moglo se koristiti nekoliko algoritama (v. Poglavlje 3) od kojih je u ovom radu koriˇsteno Viterbijevo treniranje

Pengembangan media interaktif berbasis adobe flash pada tema 8 subtema 3 “Aku Bangga Dengan Daerah Tempat Tinggalku” pada siswa kelas IV SD/MI ini telah divalidasi oleh ahli

Gambar 10 dan Gambar 11 menunjukkan hasil pengujian yang telah dilakukan untuk mengetahui pembacaan nilai Sensor Ultrasonik pada Serial Monitor Arduino dan

Harga saham juga dapat diartikan sebagai harga yang dibentuk dari interaksi para penjual dan pembeli saham yang dilatar belakangi oleh harapan mereka terhadap profit perusahaan,

Sebaliknya sapuan eksploratori dengan alat kuret akan membantu operator untuk merasakan bagian dasar dari kalkulus atau permukaan gigi yang tidak rata yang telah