• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Risiko Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil di Palabuhanratu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Risiko Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil di Palabuhanratu"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP

SKALA KECIL DI PALABUHANRATU

DEWI EKASARI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

▸ Baca selengkapnya: judul skripsi perikanan tangkap

(2)

ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP

SKALA KECIL DI PALABUHANRATU

DEWI EKASARI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Analisis Risiko Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil di Palabuhanratu” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2008

(4)

ABSTRAK

DEWI EKASARI. Analisis Risiko Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil di Palabuhanratu (Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO sebagai ketua komisi pembimbing dan VICTOR P.H NIKIJULUW sebagai anggota)

Jumlah usaha perikanan tangkap skala kecil di Indonesia sangat besar namun tingkat kesejahteraan nelayan umumnya dibawah garis kemiskinan. Hambatan aksesibilitas permodalan merupakan salah satu penyebab kondisi tersebut. Pihak perbankan mengkategorikan, kegiatan perikanan tangkap sebagai kegiatan yang penuh risiko dan ketidakpastian. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian dengan tujuan menggambarkan profil risiko usaha perikanan tangkap skala kecil secara komprehensif di Palabuhanratu, termasuk solusi pemecahan yang ditawarkan. Tujuan tersebut dicapai melalui beberapa tahap kegiatan yaitu (1) mengidentifikasi dan memetakan risiko usaha perikanan tangkap, (2) menghitung besaran risiko serta dampaknya bagi produksi, harga dan pendapatan nelayan, (3) mengukur sikap nelayan terhadap risiko dan (4) merancang solusi kemudahan bagi nelayan untuk mendapatkan modal usaha Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2006 sampai Maret 2007 di Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan metode deskriptif, simpangan baku, koefisien variasi, PRT dan SWOT. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa risiko pada usaha perikanan tangkap skala kecil umumnya terdiri atas (1) kerusakan atau hilangnya sarana penangkapan, (2) operasi penangkapan yang tidak optimal dan (3) ancaman keselamatan nelayan. Besaran dan dampak risiko umumnya lebih dirasakan nelayan pada musim barat dibandingkan musim timur. Nelayan di Palabuhanratu cenderung bersikap tidak mengambil risiko (risk averter). Untuk mengatasi permasalahan aksesibilitas permodalan 3 solusi yang diprioritaskan yaitu: (1) penerapan aturan peminjaman yang fleksibel namun tetap bersifat hati-hati, (2) pembuatan payung hukum mengenai penguatan permodalan, (3) penetapan skema pembiayaan yang sesuai dengan karateristik perikanan tangkap.

(5)

ABSTRACT

DEWI EKASARI. Risk Analysis of Small Scale Capture Fisheries in Palabuhanratu (Under the direction of MULYONO S. BASKORO and VICTOR P.H NIKIJULUW)

The number of Indonesia’s small scale fishing is huge and growing up, however commonly fisherman’s welfare still below the poverty line. Capital resistance access is one of restrictively factor to the condition. Besides banking system put fisheries capturer activity as a high risk and indeterminancy. Based on the situation we intend to do research for describing the risk of comprehensive small scale fisheries capturer in Palabuhanratu, include in offering a solution. The aim can be approach by several activity, (1) identify and address the risk of fisheries capturer activity, (2) calculate the risk and impact of production, price and income, (3) calculate the fisherman’s attitude about the risk, (4) design an easy solution for the fisherman to get the business capital. The research was held in October 2006 until March 2007 in Palabuhanratu District, Regency of Sukabumi, the data collected and analyzed using descriptive method, deviation standard, variation coefficient, PRT and SWOT. Based on the result we know

that risk in small scale fisheries capturer activity generally consist of (1) loose or damage in piscatorial facilities, (2) ineffective of capturing operation

and, (3) threat of fisherman safety. Palabuhanratu fisherman tend the act by not to take the risk (risk averter). There are 3 priority solutions for the problem regarding capital accessibility. There are (1) implementing flexible loan regulation which is still in prudential, (2) create a law of capital strengthening, (3) enacting financing scheme suitable with fisheries capturer characteristics

(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

(7)

ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP

SKALA KECIL DI PALABUHANRATU

DEWI EKASARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Palabuhanratu Nama Mahasiswa : Dewi Ekasari Nomor Pokok : C551030244 Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Victor P.H Nikijuluw, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui,

Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Januari 1968 sebagai putri keempat dari enam bersaudara pasangan Bapak Agustino dan Ibu Tuti Srikanti. Pendidikan penulis dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah atas

ditempuh di Jakarta.

Selepas dari SMAN 3 Jakarta , penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas Jakarta dan selesai pada tahun 1992. Pada tahun 1996 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan di Departemen Koperasi. Seiring dengan berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan maka sejak tahun 2001, penulis memilih untuk pindah ke Departemen Kelautan dan Perikanan .

Untuk memperkaya dan memperdalam pengetahuan tentang bidang perikanan dan kelautan maka pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sub Program Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis dinyatakan lulus dalam sidang ujian tesis yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana IPB pada tanggal 1 Maret 2008 dengan judul tesis “Analisis Risiko Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil di Palabuhanratu”.

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat petunjuk dan berkah dari-Nya tesis ini penulis selesaikan. Judul tesis ini adalah “Analisis Risiko Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil di Palabuhanratu”. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Palabuhanratu dari bulan Oktober 2006 sampai Maret 2007.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Victor. P.H Nikijuluw, M.Sc sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan arahan kepada penulis dalam rangka penulisan tesis. Ungkapan terima kasih tak lupa pula kami penulis haturkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan konstruktif untuk penyempurnaan tesis ini. serta pihak PPN Palabuhanratu atas bantuan selama pelaksanaan penelitian.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2008

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

DAFTAR ISTILAH... xiv

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Hipotesis... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

1.6 Kerangka Pemikiran... 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Pembagian Risiko... 11

2.2 Risiko Usaha Perikanan Tangkap ... 13

2.3 Pengukuran Risiko ... 14

2.4 Definisi dan Klasifikasi Usaha Perikanan Tangkap... 15

2.5 Kebijakan Kredit Sektor Perikanan dan Kelautan ... 17

2.6 Manajemen Risiko dalam Perencanaan Pemberian Kredit ... Perbankan... 20

2.7 Kondisi Umum Palabuhanratu ... 22

2.7.1 Letak geografis, kondisi topografis serta oceanografis... 22

2.7.2 Keadaan umum perikanan laut... 23

1) Volume dan nilai produksi perikanan laut... 24

2) Unit penangkapan ikan ... 25

3) Daerah penangkapan ikan, musim dan iklim... 28

4) Sarana dan prasarana ... 31

2.8 Penelitian-Penelitian yang Relevan... 33

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 38

3.2 Peralatan Pendukung... 39

3.3 Mekanisme Pengumpulan Data ... 39

3.4 Analisis Data ... 41

3.4.1 Identifikasi risiko ... 41

3.4.2 Pengukuran besaran dan dampak risiko... 41

3.4.3 Pengukuran sikap nelayan... 43

(12)

Skala Kecil ... 52

4.2.1 Besaran risiko... 52

4.2.2 Dampak risiko ... 59

4.3 Sikap Nelayan Terhadap Risiko... 61

4.4 Arah Kebijakan Aksesibilitas Permodalan Bagi Nelayan Skala Kecil.... ... 62

5 PEMBAHASAN 5.1 Jenis Risiko, Faktor Penyebab dan Solusi Penanganan Risiko Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil ... 65

5.1.1 Kondisi tidak terkontrol ... 66

5.1.2 Kondisi terkontrol ... 67

5.2 Besaran Risiko Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil ... 70

5.3 Dampak Risiko... 72

5.4 Sikap Nelayan ... 72

5.5 Alternatif Solusi Kebijakan untuk Kemudahan Aksesibilitas Permodalan Bagi Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil... 74

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 84

6.2 Saran... 85

DAFTAR PUSTAKA... 86

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perbandingan nelayan industri dan tradisional dari sisi technicio-socio-

economic... 16

2 Data pinjaman sektor perikanan 2004-2005 (Rp.juta) ... 19

3 Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan laut di ... Palabuhanratu tahun 2002 – 2006 ... 24

4 Perkembangan jumlah alat tangkap di PPN Palabuhanratu tahun ... 2002 – 2006... 25

5 Perkembangan jumlah perahu atau kapal di Pelabuhan Perikanan... Nusantara Palabuhanratu Periode 2002 – 2006 ... 27

6 Perkembangan jumlah nelayan (jiwa) di Pelabuhan Perikanan ... Nusantara Palabuhanratu periode 2002 – 2006... 28

7 Daerah penangkapan ikan (DPI) beberapa alat tangkap ikan di ... Palabuhanratu... 29

8 Penelitian yang pernah dilakukan di wilayah Palabuhanratu... 34

9 Data primer yang telah dikumpulkan... 40

10 Data sekunder yang telah dikumpulkan ... 40

11 Kombinasi strategi dalam matriks SWOT ... 44

12 Identifikasi risiko usaha penangkapan dengan pancing ... 48

13 Identifikasi risiko usaha penangkapan dengan payang ... 49

14 Identifikasi risiko usaha penangkapan dengan bagan ... 50

15 Identifikasi risiko usaha penangkapan dengan rampus... 51

16 Besaran risiko usaha penangkapan dengan pancing, payang, bagan ... dan rampus ... 53

17 Hasil pemetaan risiko usaha perikanan tangkap skala kecil di Palabuhanratu... 54

18 Status risiko usaha penangkapan dengan pancing, payang, bagan dan... rampus... ... 59

19 Matriks analisis faktor strategi internal (IFAS) kebijakan aksesibilitas .... permodalan bagi nelayan skala kecil di Palabuhanratu... 62

20 Matriks analisis faktor strategi eksternal (EFAS) kebijakan aksesibilitas . permodalan bagi nelayan skala kecil di Palabuhanratu... 63

21 Matriks SWOTkebijakan aksesibilitas permodalan bagi nelayan skala ... kecil di Palabuhanratu ... 64

(14)

Halaman

1 Kerangka perumusan masalah... 7

2 Kerangka pemikiran penelitian ... 10

3 Metode yang digunakan dalam pengukuran risiko ... 15

4 Jenis ikan yang ditangkap nelayan di Palabuhanratu pada tahun 2006 ... 26

5 Darmaga untuk tambat labuh di PPN Palabuhanratu... 32

6 Fasilitas fungsional yang terdapat di PPN Palabuhanratu... 33

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Jumlah tangkapan pancing nelayan di Palabuhanratu... 91

2 Harga ikan tangkapan pancing nelayan di Palabuhanratu... 92

3 Pendapatan nelayan pancing per trip di Palabuhanratu... 93

4 Komponen biaya operasional pancing di Palabuhanratu ... 94

5 Komponen pendapatan nelayan pancing di Palabuhanratu... 98

6 Status risiko hasil tangkapan pancing di Palabuhanratu ... 100

7 Status risiko harga ikan tangkapan pancing di Palabuhanratu ... 101

8 Status risiko pendapatan pancing di Palabuhanratu ... 102

9 Peluang risiko total nelayan pancing di Palabuhanratu... 103

10 Jumlah tangkapan payang nelayan di Palabuhanratu... 104

11 Harga ikan tangkapan payang nelayan di Palabuhanratu... 111

12 Pendapatan nelayan payang per trip di Palabuhanratu... 118

13 Komponen biaya operasional payang di Palabuhanratu ... 119

14 Komponen pendapatan nelayan payang di Palabuhanratu... 123

15 Status risiko hasil tangkapan payang di Palabuhanratu ... 125

16 Status risiko harga ikan tangkapan payang di Palabuhanratu ... 129

17 Status risiko pendapatan payang di Palabuhanratu ... 133

18 Peluang risiko total nelayan payang di Palabuhanratu... 134

19 Jumlah tangkapan bagan nelayan di Palabuhanratu... 135

20 Harga ikan tangkapan bagan nelayan di Palabuhanratu... 139

21 Pendapatan nelayan bagan per trip di Palabuhanratu... 143

22 Komponen biaya operasional bagan di Palabuhanratu ... 144

23 Komponen pendapatan nelayan bagan di Palabuhanratu... 146

24 Status risiko hasil tangkapan bagan di Palabuhanratu ... 148

25 Status risiko harga ikan tangkapan bagan di Palabuhanratu ... 151

26 Status risiko pendapatan bagan di Palabuhanratu ... 154

27 Peluang risiko total nelayan bagan di Palabuhanratu... 155

28 Jumlah tangkapan rampus nelayan di Palabuhanratu... 156

(16)

32 Komponen pendapatan nelayan rampus di Palabuhanratu... 164

33 Status risiko hasil tangkapan rampus di Palabuhanratu ... 166

34 Status risiko harga ikan tangkapan rampus di Palabuhanratu... 167

35 Status risiko pendapatan rampus di Palabuhanratu... 168

36 Peluang risiko total nelayan rampus di Palabuhanratu ... 169

(17)

DAFTAR ISTILAH

UKM : Usaha Kecil dan Menengah PDB : Pendapatan Domestik Bruto Fishing Ground : Daerah penangkapan ikan Liwung : Musim peralihan

In Board Engine : Mesin dalam

Stakeholder : Pemangku kepentingan

KKM : Kredit Mina Mandiri

KKP : Kredit Ketahanan Pangan BOUP : Barang, Uang, Orang, Prosedur

Eksposur : Sesuatu yang berhubungan dengan peluang Counterparty : Pihak lawan

Treasury : Perbendaharaan

Banking Book : Buku perbankan Trading Book : Buku perdagangan Recovery Rate : Tingkat pengembalian

Obligasi : Surat utang berjangka dengan suku bunga tetentu Volatilitas : Kecenderungan mudah berubah

Repayment Capacity : Kemampuan membayar KIK : Kredit Investasi Kecil

KMKP : Kredit Modal Kerja Permanen

Fund : Dana

Loan : Pinjaman lunak

Grant : Hibah

ADB : Asian Development Bank

Default : Kegagalan mengembalikan pinjaman Risk averter : Sikap yang tidak berani mengambil risiko Indifferent to Risk : Sikap yang tidak terpengaruh risiko Risk Taker : Sikap berani mengambil risiko PRT : Peluang Risiko Total

ISDB : Islamic Development Bank Multiplier Effect : Efek pengganda

Monson : Muson

Upwelling : Fenomena kenaikan massa air Accident : Kecelakaan

BMG : Badan Metreologi dan Geofisika

Postulat : Hukum

Disparitas : Perbedaan

Prudent : Kehati-hatian

Pilot Project : Proyek percontohan

(18)

1.1 Latar Belakang

Krisis ekonomi secara nyata telah menyebabkan jatuhnya ekonomi nasional khususnya usaha-usaha skala besar. Dampak nyata dari kondisi tersebut adalah terjadinya peningkatan jumlah pengangguran secara signifikan. Pada akhir tahun 2003, tercatat sebanyak 11,4 juta pengganggur (11,63% dari jumlah angkatan kerja), dengan pertumbuhan sektor industri hanya mencapai 3,41% (BPS, 2003).

Sektor usaha kecil dan menengah (UKM) pada kenyataannya mampu menunjukkan kinerja yang lebih tangguh dalam menghadapi masa krisis. Kontribusi sektor ini pada ekonomi nasional pun cukup siginifikan, mencakup 53,3% dari pendapatan domestik bruto nasional (PDB) pada tahun 2006. Jumlah UKM yang tercatat pada tahun 2006 mencapai 48,9 juta unit usaha. Jumlah tersebut meningkat 3,9% dibandingkan tahun 2005. Keseluruhan UKM tersebut mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 85,4 juta atau 96,18% dari seluruh tenaga kerja Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 2,6% (BPS, 2007).

Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil dikemukakan bahwa definisi usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan. Kriteria usaha kecil adalah (1) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan; (2) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000; (3) milik warga negara Indonesia; (4) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung ataupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar dan (5) berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi.

(19)

2

Data yang diperoleh dari indikator makro UKM tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah usaha kecil di Indonesia mencapai 99,98% dari keseluruhan unit usaha ekonomi yang ada (BPS, 2007).

Salah satu sektor usaha yang didominasi skala usaha kecil adalah usaha perikanan tangkap. Ada berbagai cara membedakan skala usaha perikanan tangkap. Menurut Smith (1983), dasar perbedaan tersebut mencakup perikanan skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai dan perikanan artisanal atau komersil. Penggolongan tersebut masih menjadi perdebatan hingga saat ini mengingat luasnya dimensi yang dilingkupi. Pengelompokan skala usaha sering pula didasarkan pada ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap dan jarak daerah penangkapan (fishing ground) dari pantai. Penggolongan skala usaha perikanan tangkap di Indonesia umumnya dilakukan berdasarkan ukuran kapal dan jenis atau tipe mesin.

Berdasarkan data statistik perikanan dan kelautan, jumlah usaha perikanan tangkap skala kecil yang dicirikan dengan penggunaan sarana penangkapan perahu tanpa motor, perahu motor tempel serta kapal motor berukuran < 10 GT tahun 2004 berjumlah 535.232 unit atau 97,65% dari keseluruhan unit kapal yang ada. (DKP, 2005). Persentase tersebut meningkat dibandingkan jumlah usaha perikanan tangkap skala kecil pada tahun 2003 yang mencapai 96,92%.

Usaha perikanan tangkap skala kecil memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan usaha di sektor lain. Kegiatan perikanan tangkap penuh dengan tantangan serta dihadapkan pada risiko dan ketidakpastian. Alasan inilah yang menjadi hambatan terbesar nelayan untuk mengakses sumber-sumber permodalan dalam rangka peningkatan skala usaha. Terkait dengan hambatan tersebut, dipandang perlu dilakukan suatu kajian tentang risiko-risiko usaha perikanan tangkap skala kecil. Luasnya ruang lingkup kajian risiko usaha perikanan tangkap menyebabkan perlunya pembatasan kajian risiko pada beberapa jenis alat tangkap di suatu daerah. Proses ini diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi pengkajian risiko usaha perikanan tangkap secara menyeluruh.

(20)

Palabuhanratu berada pada posisi 6o 54’ 12”-7o 5’ 57,48” LS dan 106o 20’ 57,48”-106O 36’ 0,36” BT. Luas wilayah Palabuhanratu sekitar 27.210,130 Ha. Banyaknya sungai yang bermuara di Teluk Palabuhanratu menyebabkan topografi perairan sampai jarak 300 m dari garis pantai menjadi dangkal.

Meskipun merupakan sentra perikanan tangkap, pengaruh musim tetap mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan di wilayah Palabuhanratu. Ada dua musim utama yang umumnya dikenal di Palabuhanratu, yaitu musim barat yang terjadi selama bulan Desember sampai Maret dan musim timur yang terjadi selama bulan Juni hingga Agustus. Diantara kedua musim tersebut dikenal adanya musim peralihan yang oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah musim liwung (Yundari, 2005).

Kegiatan penangkapan ikan di Palabuhanratu dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Selama periode 1996 sampai 2006, empat jenis alat tangkap yang dominan digunakan nelayan di wilayah ini adalah (1) pancing ulur, (2) bagan, (3) payang, dan (4) rampus. Persentase penggunaan pancing ulur dan rampus pada tahun 2006 masing-masing 25% dan 5%. Jumlah alat tangkap yang dioperasikan selama periode tersebut berfluktuasi setiap tahunnya dengan kenaikan rata-rata 0,10% per tahun. Jumlah alat tangkap yang memiliki tingkat operasional paling tinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebanyak 923 unit, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun 1998 dengan jumlah penggunaan 497 unit (PPN Palabuhanratu, 2007).

Armada penangkapan yang dioperasikan di Palabuhanratu ada dua jenis yaitu kapal motor dan perahu motor tempel. Kapal motor umumnya berukuran <10 GT->30 GT dan digerakkan oleh mesin dalam (in board engine) sedangkan perahu motor tempel digerakkan oleh mesin tempel dan umumnya berukuran <10 GT. Kapal motor banyak digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap gillnet

dan rawai. Adapun perahu motor tempel banyak digunakan untuk operasi alat tangkap pancing, payang dan jaring (PPN Palabuhanratu, 2007).

(21)

4

banyak. Selama periode 1996-2006 armada penangkapan didominasi kapal/perahu bertenaga penggerak motor tempel dengan ukuran kapal <10 GT serta kapal motor berukuran <10 GT. Persentase armada penangkapan skala kecil bahkan mencapai 83,21% dari jumlah armada penangkapan sebanyak 798 unit (PPN Palabuhanratu, 2007).

Mengacu pada gambaran awal kondisi perikanan tangkap yang dimiliki, maka Palabuhanratu dinilai memenuhi syarat sebagai daerah penelitian. Fokus analisis dititik beratkan pada alat tangkap pancing ulur, bagan, payang dan rampus yang merupakan alat tangkap dominan yang digunakan nelayan serta status usaha perikanan tangkapnya didominasi usaha perikanan tangkap skala kecil.

1.2 Perumusan Masalah

Aktor penting dalam pengembangan usaha perikanan tangkap adalah nelayan. Saat ini kondisi nelayan Indonesia dapat dikatakan memprihatinkan dan masih tergolong masyarakat miskin serta secara ekonomi dianggap sebagai kelompok dengan opportunity cost yang rendah. Nikijuluw (2001) mengatakan bahwa kategori kemiskinan nelayan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: 1) kemiskinan struktural, 2) kemiskinan super-struktural, dan 3) kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor di luar individu nelayan yaitu sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif dan disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Kemiskinan super struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak kepada pembangunan nelayan. Adapun kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan variabel-variabel yang melekat, inhern dan menjadi gaya hidup tertentu.

(22)

kebijakan pembinaan dan pelatihan kepada nelayan. Khusus untuk solusi mengatasi kemiskinan super struktural pemerintah telah meluncurkan berbagai program pemberian kredit bagi nelayan dengan berbagai skema seperti kredit mina mandiri (KMM) dari Bank Mandiri dan kredit ketahanan pangan (KKP) yang disalurkan oleh BNI, Bank Bukopin, Bank Danamon dan seluruh Bank Pembangunan Daerah di Indonesia. Total pembiayaan kedua program tersebut tidak sedikit jumlahnya karena dapat mencapai sekitar Rp. 3.000.000.000.000 (DKP, 2005). Ditetapkannya program pemberian kredit bagi nelayan dilaksanakan karena pemerintah menyadari bahwa salah satu problem kemiskinan nelayan disebabkan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan.

Program pembiayaan usaha perikanan dan kelautan sudah ada namun realisasi penggunaan dana belum optimal yaitu sekitar 66% plafon kredit yang dialokasikan (DKP, 2005). Bahkan jika ditelusuri secara mendalam maka dari 66% realisasi kredit, yang digunakan untuk kegiatan perikanan (perikanan dan budidaya) hanya 40,50 % sedangkan sisanya disalurkan untuk kegiatan industri perikanan, pergudangan, perdagangan dan konstruksi pelabuhan. Secara makro, kondisi yang dihadapi sektor perikanan lebih tragis lagi. Berdasarkan data Bank Indonesia, sampai triwulan II tahun 2007 ekspansi kredit perbankan untuk UKM baru mencapai 34,2 trilyun atau setara dengan 39% dari rencana penyaluran kredit tahun 2007 yang besarnya 87,6 trilyun. Ironisnya sektor pertanian termasuk perikanan hanya mampu menyerap 1,1 trilyun kredit perbankan atau 3,20% jumlah ekspansi kredit triwulan II tahun 2007 (Bank Indonesia, 2007).

(23)

6

Sebagai katalisator dan dinamisator pembangunan, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk meminimalisir keempat faktor yang telah disebutkan diatas. Permasalahan persyaratan formal coba diatasi dengan ditetapkannya program pendampingan teknis bagi usaha perikanan tangkap skala kecil baik dalam bentuk KUB maupun individu. Kebijakan lain yang terkait dengan permasalahan persyaratan formal adalah adanya program sertifikasi kapal nelayan. Permasalahan belum tertatanya struktur pasar diminimalisir oleh pemerintah melalui program bantuan pemasaran produk perikanan, pendirian lembaga-lembaga pemasaran. Adapun permasalahan belum adanya perusahaan penjamin diatasi pemerintah melalui pengalokasian dana jaminan pada perbankan. Upaya mengatasi Permasalahan faktor alam relatif sulit untuk diatasi dengan kebijakan pemerintah. Selama ini kebijakan yang diambil pemerintah terkait dengan faktor alam adalah pemberian bantuan biaya hidup pada saat paceklik dan pendistribusian tabungan nelayan di koperasi.

Langkah-langkah tersebut diatas sudah cukup baik namun tentu saja belum menjawab keinginan dari pihak perbankan. Menurut hemat penulis, akar permasalahan rendahnya aksesibilitas permodalan nelayan adalah anggapan perbankan tentang risiko usaha perikanan tangkap yang sangat tinggi. Oleh karena itu pihak perbankan harus diberikan gambaran yang riil tentang risiko usaha perikanan tangkap terutama yang terkait dengan cash flow usaha dan kecenderungan sikap nelayan untuk menghadapi risiko tersebut. Kedua aspek tersebut merupakan kriteria penilaian perbankan terhadap kelayakan permodalan. Menurut Ritonga (2004), beberapa risiko yang melekat pada usaha perikanan tangkap antara lain: 1) production risk, yaitu meliputi risiko atas hasil tangkapan nelayan yang diharapkan, seperti gangguan alam (cuaca, arus), stok ikan yang makin tipis; 2) natural risk, yaitu risiko akibat kondisi alam, biasanya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya risiko produksi, seperti terjadinya angin badai atau topan; 3) price risk, yaitu harga hasil tangkapan ikan tidak sesuai dengan yang diharapkan, misalnya karena ada permainan tengkulak; 4)

(24)

Subsektor Perikanan Tangkap

Kebijakan Pengembangan Subsektor Perikanan Tangkap

Kredit untuk Nelayan

Alokasi Realisasi

Kesenjangan

Kurangnya Pemahaman Risiko Usaha Perikanan Tangkap

Gambar 1 Kerangka perumusan masalah.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menggambarkan profil risiko usaha perikanan tangkap skala kecil secara komprehensif di Palabuhanratu, termasuk solusi pemecahan yang ditawarkan. Tujuan tersebut dapat dicapai melaui beberapa tahapan kegiatan yaitu:

(1) Mengidentifikasi dan memetakan risiko usaha perikanan tangkap

(2)Menghitung besaran risiko serta dampaknya bagi produksi, harga dan pendapatan nelayan

(3)Mengukur sikap nelayan terhadap risiko

(25)

8

1.4 Hipotesis

Hipotesis umum yang menyusun penelitian ini adalah anggapan perbankan yang mengkategorikan usaha perikanan tangkap sebagai usaha yang penuh risiko tidak sepenuhnya benar karena kegiatan perikanan tangkap bersifat unik dan spesifik tergantung kondisi sumberdaya ikan yang dieksploitasi. Adapun hipotesis khusus dalam penelitian ini adalah:

1) Ada perbedaan jenis risiko usaha perikanan yang melekat pada alat tangkap pancing, payang, bagan dan rampus;

2) Ada perbedaan besaran dan dampak risiko diantara alat tangkap pancing, payang, bagan dan rampus; serta

3) Ada perbedaan sikap nelayan terhadap risiko diantara alat tangkap pancing, payang, bagan dan rampus.

1.5 Manfaat Penelitian

Keluaran yang dihasilkan dari penelitian ini berupa gambaran rinci tentang risiko usaha perikanan tangkap skala kecil serta solusi kemudahan aksesibilitas terhadap sumber permodalan bagi nelayan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi, pihak perbankan, pihak investor serta Departemen Kelautan dan Perikanan dalam rangka mengembangkan usaha perikanan tangkap skala kecil. Dipandang dari perspektif ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi katalisator bagi penelitian-penelitian sejenis sehingga niat untuk menggambarkan risiko usaha perikanan tangkap skala kecil diseluruh Indonesia dapat terpenuhi.

1.6 Kerangka Pemikiran

(26)

Poin penting yang perlu diketahui dalam proses pengkajian adalah jenis-jenis risiko yang melekat pada masing-masing usaha perikanan tangkap, besaran risiko serta sikap nelayan dalam menghadapi risiko yang ada. Ketiga poin tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam pencarian solusi untuk mengatasi kesulitan nelayan mendapatkan modal usaha.

Menurut Kountur (2006), untuk mengetahui jenis-jenis risiko yang melekat pada suatu usaha dapat dilakukan tahapan sebagai berikut (1) penentuan pendekatan yang akan digunakan, (2) penentuan sasaran yang ingin dicapai, (3) penentuan produk yang dihasilkan, (4) penentuan kegiatan yang fatal, (5) penentuan BOUP (barang, orang, uang dan prosedur) yang fatal, (6) penentuan kejadian beresiko dan (7) penentuan penyebab risiko. Risiko pada umumnya disebabkan oleh faktor operasional (manusia, teknologi, alam dan aturan) serta faktor keuangan seperti perubahan harga, perubahan mata uang dan perubahan tingkat bunga.

(27)

10

Gambar 2

Kerangk

a pem

ik

iran peneliti

(28)

2.1 Definisi dan Pembagian Risiko

Terminologi risiko dalam kamus besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai suatu kondisi yang mengandung ketidak pastian (Diknas, 2003). Pada definisi tersebut tersirat dua kata yang serupa namun memiliki makna yang berbeda yaitu risiko dan ketidakpastian.

Roumasset (1979) membedakan kondisi risiko dengan ketidakpastian berdasarkan ada tidaknya probabilitas yang dapat dijadikan pegangan atas kemungkinan terjadinya suatu kejadian. Menurut Roumasset (1979), risiko didefinisikan sebagai situasi dimana kemungkinan hasil dari suatu peristiwa yang sifatnya acak (random) dapat ditentukan dan besarnya probabilitas dari setiap peristiwa tersebut telah diketahui, sedangkan ketidakpastian adalah situasi dimana hasil dari suatu kegiatan dapat diketahui namun tingkat probabilitasnya tidak dapat diestimasi.

Menurut Kountur (2006), risiko adalah kemungkinan kejadian yang merugikan. Berdasarkan pemahaman tersebut, ada tiga unsur yang terkait dalam sebuah risiko, yaitu: (1) kejadian, (2) kemungkinan dan (3) akibat. Jika diuraikan lebih jauh maka masih ada tiga unsur lagi yang dapat menjadi penentu besaran suatu risiko, pertama:eksposur, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan peluang keterlibatan pada suatu atau beberapa kejadian. Pada konteks ini maka semakin terekspos sesuatu maka risikonya akan semakin besar. Kedua: waktu, semakin lama sesuatu terekspos maka risikonya akan semakin besar dan ketiga: rentan, semakin mudah rusak/usang sesuatu maka semakin risikonya akan semakin besar.

(29)

12

Ditinjau dari penyebabnya maka risiko juga dibedakan menjadi risiko keuangan dan risiko operasional. Risiko keuangan adalah jenis risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor keuangan seperti perubahan harga, perubahan mata uang dan perubahan tingkat bunga. Adapun risiko operasional adalah jenis risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor operasional seperti manusia, teknologi, alam dan aturan.

Risiko yang telah disebutkan oleh Kountur (2006) merupakan jenis-jenis risiko yang sifatnya umum. Secara spesifik Tjoekam (1993) mengemukakan beberapa risiko yang melekat pada suatu usaha, yaitu: (1) risiko alamiah: yaitu risiko yang timbul oleh keadaan alam seperti gempa bumi, perubahan iklim atau musim, gelombang besar dan lain-lain yang akan mempengaruhi jalannya usaha. (2) risiko manusia, yaitu risiko yang timbul karena perbuatan manusia, seperti persaingan usaha, temuan teknologi baru, politik, inflasi, dampak lingkungan, spekulasi, ekonomi dan moneter, keamanan, sosial budaya dan sebagainya yang dapat mempengaruhi jalannya usaha yang dibiayai; dan (3) risiko ketidakpastian, yaitu risiko yang ditimbulkan oleh ketidakpastian yang pada gilirannya menimbulkan spekulasi.

Istilah risiko juga telah jamak disebutkan dalam kegiatan perbankan. Teori portofolio mendefinisikan risiko sebagai deviasi standar tingkat keuntungan. Hal ini disebabkan karena deviasi menunjukkan seberapa jauh kemungkinan nilai yang diperoleh menyimpang dari yang diharapkan (expected value). Semakin besar penyimpangan maka kemungkinan risiko yang dihadapi semakin tinggi.

Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI tahun 2003, terdapat delapan jenis risiko yang harus dikelola secara baik oleh bank, yaitu risiko kredit, pasar, likuiditas, operasional, hukum, strategis, reputasi dan risiko kepatuhan.

Risiko kredit adalah resiko yang terjadi karena kegagalan pihak lawan (counterparty) untuk memenuhi kewajibannya. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti perkreditan, aktivitas treasury, dan investasi, pembiayaan perdagangan yang tercatat dalam banking book maupun

(30)

yang terkena risiko, tingkat pengembalian atau recovery rate, investasi dalam obligasi dan pinjaman yang terkena risiko kredit (Bank Indonesia, 2003).

Risiko pasar adalah risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki bank, yang sifatnya merugikan (adverse movement). Faktor-faktor yang termasuk variabel pasar diantaranya suku bunga, harga dan nilai tukar. Secara dimensional risiko pasar dapat diuraikan dalam bentuk risiko tingkat suku bunga (interest rate risk) dan risiko nilai tukar valuta asing (foreign excange rate). Risiko suku bunga adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat pergerakan suku bunga di pasar yang berlawanan dengan posisi atau transaksi bank yang mengandung risiko suku bunga (Bank Indonesia, 2003).

Menurut Bank Indonesia (2003), risiko nilai tukar adalah risiko kerugian akibat pergerakan yang berlawanan dari nilai tukar pada saat bank memiliki posisi terbuka. Risiko harga adalah risiko dimana bank harus membayar lebih untuk membeli suatu instrumen keuangan dan harga instrumen tersebut telah menurun. Definisi lain dari risiko harga adalah nilai aset keuangan yang dibeli dan dipegang pada harga yang lebih tinggi namun dijual dengan harga yang lebih rendah sehingga menimbulkan kerugian. Dari perspektif nasabah bank yang produksi dari komoditinya mendapat pembiayaan kredit dari bank, maka fluktuasi dan volatilitas harga komoditi di pasar dapat menimbulkan terjadinya risiko gagal bayar atau default akibar menurunnya repayment capacity nasabah.

2.2 Risiko Usaha Perikanan Tangkap

Terdapat keterkaitan yang erat antara risiko dengan karakterisitik usaha. Karakterisitik khusus yang terdapat pada kegiatan perikanan tangkap diantaranya: 1) sumberdaya ikan yang selalu bermigrasi pada ruang yang tidak terbatas; 2)

(31)

14

pemukiman dan industri limbahnya secara langsung maupun tidak langsung, mencemari perairan pantai; 6) sering terjadi konflik kepentingan antara nelayan skala kecil dengan industri perikanan skala besar; 7) dynamic resource, yaitu stok ikan bisa berubah; 8) vulnarable resource, yaitu rentan terhadap perubahan ekosistem pesisir dan lautan; 9) usaha perikanan masih didominasi perikanan rakyat kecil yang masih tradisional; 10) kemampuan usaha permodalan lemah (Ritonga, 2004).

Selanjutnya Ritonga (2004) mengemukakan bahwa berdasarkan karakteristik khusus perikanan tangkap tersebut, maka beberapa risiko yang melekat pada usaha perikanan tangkap antara lain: (1) production risk, yaitu meliputi risiko atas hasil tangkapan nelayan yang diharapkan, seperti gangguan alam (cuaca, arus), stok ikan yang makin tipis; (2) natural risk, yaitu risiko akibat kondisi alam, biasanya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya risiko produksi, seperti terjadinya angin badai atau topan; (3) price risk, yaitu harga hasil tangkapan ikan tidak sesuai dengan yang diharapkan, misalnya karena ada permainan tengkulak; (4) technology risk, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi oleh pesatnya kemajuan teknologi, yang dapat menimbulkan ketidakpastian; (5) other risk, yaitu macam risiko lainnya .

2.3 Pengukuran Risiko

(32)

Kejadian

Kemungkinan Akibat

Peristiwa Penyimpangan

- Poisson - Binomial - Weight average approximation

z-score

- VAR

- Individual/group approximation

Sumber: Kountur (2006)

Gambar 3 Metode yang digunakan dalam pengukuran risiko.

2.4 Definisi dan Klasifikasi Usaha Perikanan Tangkap

Usaha perikanan tangkap didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang bertujuan memperoleh ikan di perairan dalam keadaan tidak di budidayakan dengan maupun tanpa alat tangkap, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk menampung, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah, dan mengawetkan (Alhidayat, 2002).

Menurut Charles (2001) skala usaha perikanan tangkap dapat ditinjau dari berbagai aspek diantaranya ukuran kapal yang dioperasikan, lokasi fishing ground

dan tujuan produksinya. Pengelompokan tersebut dilakukan melalui perbandingan perikanan skala kecil (small scale fisheries) dengan perikanan skala besar (large scale fisheries). Selanjutnya Smith (1983) mengemukakan bahwa skala usaha perikanan dapat dilihat dengan cara membandingkan perikanan berdasarkan situasi technico-socio-economic nelayan. Berdasarkan situasi tersebut kegiatan perikanan dapat digolongkan kedalam skala industri dan skala tradisional.

(33)

16

Tabel 1 Perbandingan nelayan industri dan tradisional dari sisi technicio-socio- economic 2 Kepemilikan Dikonsentrasikan

pada beberapa

Biasanya penuh waktu Seringkali merupakan pekerjaan sampingan

Kebanyakan paruh waktu

4 Kapal Bertenaga dengan

peralatan yang memadai

Kecil; dengan motor dalam atau motor tempel kecil di luar

Tidak ada taua berbentuk kano

5 Perlengkapan Buatan mesin atau pemasangan lainnya 6 Sifat pekerjaan Dengan bantuan

mesin

Bantuan mesin minim Dioperasikan dengan tangan

7 Investasi Tingi dengan proporsi yang besar diluar

Besar Menengah atau rendah Rendah hingga sangat

rendah

9 Produktivitas (per orang nelayan)

Tinggi Menengah atau rendah Rendah hingga sangat

rendah

10 Pengaturan hasil tangkapan

Dijual ke pasar yang terorganisir

Kecil atau tidak ada sama sekali;

Seringkali kaya Menengah kebawah Minimal

13 Kondisi sosial Terpadu Kadang terpisah Masyarakat yang

terisolasi

(34)

2.5 Kebijakan Kredit Sektor Perikanan dan Kelautan

Kredit merupakan salah satu kebijakan publik berupa subsidi yang dalam definisi WTO merupakan kontribusi finansial pemerintah dalam bentuk fund transfer (loan, grant dan sebagainya) maupun pelayanan umum (pembangunan infrastruktur). Pada sektor perikanan khususnya subsektor perikanan tangkap, kredit dibutuhkan untuk investasi sarana penangkapan ikan, biaya operasional penangkapan ikan, kegiatan pasca panen, fasilitas pemasaran dan jasa serta pembangunan infrastrktur (Fauzi, 2005).

Perkreditan kegiatan perikanan dimulai sejak dilakukannya konversi perahu layar ke perahu motor tempel atau kapal motor pada awal dekade 80-an. Ketidakberdayaan nelayan untuk memodernisasi armada penangkapannya menjadi dasar dilakukannya program perkreditan tersebut (Bailey, 1988).

Salah satu bentuk program bantuan kredit yang terkait dengan bidang perikanan adalah KIK/KMKP (kredit investasi kecil/kredit modal kerja permanen) yang merupakan kredit jangka menengah dan panjang. Kredit ini diperuntukkan untuk rehabilitasi, modernisasi dan perluasan proyek (Facthuddin, 2006). Selanjutnya Fatchuddin (2006) menambahkan bahwa perbankan sebagai industri yang high risk dan high regulated senantiasa dihadapkan pada risiko yang berkaitan erat dengan fungsi dan tanggungjawab dalam mengelola dana masyarakat maupun sebagai lembaga intermediasi yang juga harus mampu memberikan kredit kepada sektor usaha yang membutuhkan.

Sesuai penjelasan pasal 8 UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan jo pasal 8 UU No.10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan ditegaskan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko sehingga dalam pelaksanaanya harus memperhatikan prinsip kehati-hatian (Prudencial Banking Practices) dan asas pemberian kredit yang sehat (Sound Banking Credit).

(35)

18

menjadi sangat penting disadari karena ongkos pemeliharaan lingkungan jauh lebih murah dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk risiko hukum, risiko reputasi dan risiko lainnya.

Fauzi (2005) menguraikan bahwa selain skim kredit KIK/KMKP, pemerintah melalui Departemen Koperasi dan lembaga keuanga terkait kemudian mengeluarkan berbagai skim kredit. Departemen Koperasi telah meluncurkan sekitar 17 skim kredit, walaupun banyak diantaranya tidak menyentuh langsung kegiatan perikanan tangkap. Jumlah kredit yang diberikan dalam skim ini dibawah Rp.50 juta.

Pemerintah menetapkan program pengentasan kemiskinan sebagai fokus kebijakan untuk mencapai pembangunan ekonomi. Bentuk implementasi dari kebijakan tersebut adalah pemberian kredit taskin kepada kelompok miskin termasuk nelayan yang dianggap sebagai kelompok yang termiskin. Sampai akhir tahun 2000 sudah tersalurkan sebanyak Rp 22 milyar yang tersebar di 22 propinsi, namun belum diketahui secara pasti proporsi kredit yang disalurkan pada nelayan (Fatchuddin, 2006).

Selain bersumber dari dana dalam negeri, pemerintah Indonesia melalui bantuan dari lembaga donor seperti ADB meluncurkan program RIGP (Rural Income Generating Project) yang diperuntukkan untuk memberdayakan masyarakat pedesaan khususnya yang menyangkut aspek finansial. Besarnya kredit yang telah disebarkan untuk perikanan hingga saat ini belum terinci dengan jelas, misalnya Departemen Keuangan melalui BRI telah menyalurkan kredit peningkatan pendapatan petani dan nelayan kecil (P4K). Pada tahun 1991 dan 1992 penyaluran kredit P4K yang terealisasi untuk masyarakat sosial ekonominya berada dibawah garis kemiskinan adalah Rp.1.047.000, dengan plafon sebesar Rp. 265.244.000 (BRI, 1991).

(36)

dibandingkan dengan sektor lainnya, penyaluran kredit pada sektor perikanan masih relatif kecil (Praptosuhardjo, 1996).

Selanjutnya Praptosuhardjo (1996) menjelaskan bahwa selama periode tersebut kredit yang disalurkan pada sektor perikanan diarahkan untuk pembiayaan usaha perikanan laut termasuk udang (50% dari total kredit perikanan).

Berdasarkan data pinjaman keuangan sektor perikanan dari BRI terlihat bahwa proporsi pinjaman yang macet relatif kecil namun secara nominal jumlah kredit yang macet masih diatas Rp.500 juta. Hal ini menunjukkan bahwa sifat kegiatan penangkapan yang cenderung berburu dapat menjadi salah satu faktor penyebab tingginya kemacetan kredit di sektor perikanan.

Tabel 2 Data pinjaman sektor perikanan 2004-2005 (Rp.juta)

Bidang usaha Kolektibilitas 2004 2005

Lancar 12.962 15.394

DPK 1.095 1.234

Kurang lancar 672 50

Diragukan 66 11

Macet 1.041 739

Perikanan laut

Total 15.583 17.427

Perikanan laut lainnya Lancar 8.986 37.753

DPK 770 761

Kurang lancar 262 0

Diragukan 0 11

Macet 619 710

Total 10.637 39.236

Sumber: Bank Rakyat Indonesia (2005), dikutip dalam Fatchuddin (2006)

(37)

20

pengembangan kredit mikro ini mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan perbankan syariah dimana penyaluran dana dapat berupa unit simpan pinjam, Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) maupun Baitul Qirad (DKP, 2006).

Selain melalui program PEMP, DKP juga telah bekerjasama dengan Bank Mandiri untuk menyalurkan program kredit perikanan yang disebut kredit mina mandiri. Hingga triwulan I dan II tahun 2005 kredit mina mandiri ini telah mencapai Rp. 5,6 trilyun. Namun demikian hanya sekitar 20% dari total kredit yang disalurkan untuk kegiatan perikanan tangkap sisanya untuk pergudangan, konstruksi pelabuhan, perdagangan dan kegiatan lainnya (Kompas, 2005).

2.6 Manajemen Risiko dalam Perencanaan Pemberian Kredit Perbankan

Implementasi manajemen risiko bagi bank bertujuan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan setiap risiko yang dapat muncul dari semua aktivitas dan transaksi operasional bank. Penerapan manajemen risiko yang baik mengindikasikan bahwa bank dalam kegiatan operasionalnya telah memenuhi ketentuan internal maupun ketentuan Bank Indonesia (Bank Indonesia, 2003).

Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Risiko bagi Bank Umum dikemukakan bahwa ruang lingkup manajemen risiko dalam kegiatan perbankan sangat komprehensif meliputi pengawasan aktif komisaris dan direksi terhadap operasionalisasi bank, kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan batas, kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko dan pengendalian internnya. Operasionalisasi lingkup tersebut diwujudkan dalam bentuk proses sebagai berikut:

(38)

(2)Penilaian dan analisis keseluruhan risiko bank harus selalu dilakukan setiap periode tertentu sesuai dengan jenis risiko, kebutuhan dan pengembangan bank

(3)Pengambilan keputusan yang berhubungan dengan produk dan aktivitas kegiatan usaha yang baru serta perubahan dari keseluruhan profil risiko bank

Dengan demikian dalam konsep perencanaan pemberian kredit sudah memasukkan unsur manajemen risiko baik risiko suku bunga, risiko harga dan risiko kredit.

Menurut Caouette et al., (1998) risiko kredit dapat diklasifikasi menjadi 2 hal yaitu:

1) Expected Loss (EL), adalah kerugian kredit yang telah diantisipasi dan merupakan biaya yang harus ditanggung oleh bank akibat melakukan aktivitas bisnis perkreditan.

2) Unexpected Loss (UL) merupakan volatilitas dari kerugian kredit dimana UL inilah yang merupakan risiko kredit yang hatus ditanggung oleh bank karena melakukan aktivitas bisnis perkreditan.

Menurut Bank for International Settlements (BIS) tahun 2005, expected loss

dapat dibagi menjadi empat faktor yaitu:

(1)Probability of Default (PD) ialah probabilitas dari borrower counterparty

terjadi default.

(2)Exposure at Default (EAD) adalah estimasi dari jumlah outstanding kredit ketika terjadi default.

(3)Loss Given Default (LGD) adalah estimasi dari jumlah kerugian dalam prosentase dari EAD, yang didasarkan pada jaminan dan lending seniority. (4)Maturity merupakan faktor kunci yang mempengaruhi risiko kredit dari

(39)

22

2.7 Kondisi Umum Palabuhanratu

2.7.1 Letak geografis, kondisi topografis serta kondisi oceanografis

Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu wilayah pesisir di Provinsi Jawa Barat yang memiliki 9 kecamatan pesisir. Istilah kecamatan pesisir didefinisikan sebagai wilayah kecamatan yang sebahagian atau seluruh wilayahnya berbatasan langsung dengan lautan. Kesembilan kecamatan pesisir yang berada dalam lingkup administrasi Kabupaten Sukabumi adalah 1) Kecamatan Simpenan, 2) Palabuhanratu, 3) Cikakak, 4) Cisolok, 5) Ciemas, 6) Ciracap, 7) Surade, 8) Cibitung dan 9) Tegalbuleud.

Salah satu kecamatan yang memiliki sumber daya perikanan yang cukup potensial adalah Kecamatan Palabuhanratu. Kecamatan Palabuhanratu merupakan ibukota Kabupaten Sukabumi, dengan luas wilayah kurang lebih 27.210,13 Ha atau sekitar 6,59 % dari total luas wilayah Kabupaten Sukabumi. Kecamatan ini kemudian terbagi menjadi 13 desa dan satu kelurahan, yaitu Kelurahan Palabuhanratu, Desa Citepus, Tonjong, Citarik, Pasirsuren, Cidadap, Loji, Cibuntu, Mekarasih, Kertajaya, Cihaur, Biruwangi dan Desa Cibodas. Secara administratif batas wilayah Kecamatan Palabuhanratu adalah sebagai berikut: (1) Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia;

(2) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Warung Kiara dan Lengkong; (3) Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Cisolok; dan

(4) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Ciemas dan Ciracap.

(40)

Secara topografis wilayah Palabuhanratu mempunyai tekstur daerah yang kasar. Hal tersebut ditandai dengan kondisi daerah yang sebagian besar berbukit dengan kemiringan 40 %, berupa lereng pegunungan, dataran rendah yang sempit dan banyak didapat daerah aliran sungai. Kondisi topografis seperti demikian merupakan ciri khas dari daerah pesisir pantai selatan Pulau Jawa. Ditinjau dari topografi dasar laut, kedalaman 200 m dari teluk tersebut dapat dijumpai hingga jarak 300 m dari garis pantai. Bagian tengah Teluk Palabuhanratu merupakan lereng kontinental (continental shelf) dengan kedalaman mencapai 600 m.

Menurut Pariono (1988), sifat arus di Teluk Palabuhanratu berlawanan arah dengan arus laut di Samudera Hindia. Antara bulan Februari sampai Juni, arus permukaan di selatan jawa bergerak ke arah timur sepanjang pantai Jawa, sedangkan arus di Samudera Hindia menuju ke arah barat. Kecepatan arus pada bulan Februari sekitar 75 cm/detik. Kecepatan ini berkurang menjadi 50 cm/detik selama bulan April sampai Juni. Pergerakan arus pantai di selatan Jawa selama Agustus cenderung mengarah ke barat dengan kecepatan 75 cm/detik. Kecepatan dan arah arus tersebut ternyata bersamaan dengan kecepatan dan arah arus di Samudera Hindia. Sampai bulan Oktober, arah arus masih menuju ke barat dengan kecepatan 50 cm/detik.

Pasang surut di perairan Palabuhanratu bersifat campuran dominasi pasang surut ganda. Arus menyusur pantai pantai (longshore current) yang diakibatkan gelombang berkisar antara 0,5 sampai 1 m/detik. Arah arus berubah sesuai dengan perubahan arah gelombang datang. Gelombang yang datang dari arah barat mengakibatkan arah arus yang meyusur pantai bergerak ke utara dan arah gelombang dari barat daya menyebabkan arah arus pantai bergerak ke selatan.

2.7.2 Keadaan Umum Perikanan Laut

(41)

24

mencapai 36%, sehingga peluang pengembangan perikanan tangkap di perairan ini masih besar apalagi untuk daerah lepas pantai dan ZEEI (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, 2005).

1) Volume dan nilai produksi perikanan laut

Terminologi produksi perikanan laut adalah semua hasil penangkapan ikan atau binatang air lainnya yang ditangkap dari sumber perikanan alami (laut) yang diusahakan oleh perusahaan perikanan. Selama lima tahun terakhir (2002-2006), volume produksi perikanan di Palabuhanratu cenderung berfluktuasi. Volume produksi tertinggi dicapai pada tahun 2005 sebesar 6.600.530 kg. Nilai tersebut meningkat 42,04 % dibandingkan volume produksi tahun 2004. Adapun volume produksi terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar 2.890.118 kg (Tabel 3).

Meskipun volume produksi cenderung berfluktuasi namun nilai produksi perikanan menunjukkan tren peningkatan. Nilai produksi perikanan laut di Palabuhanratu yang tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar Rp 32.550.912.620 meningkat 1,27 % dibandingkan nilai produksi tahun 2005. Peningkatan nilai produksi paling drastis terjadi pada tahun 2005, dimana persentase peningkatan nilai produksi mencapai 105,18% dibandingkan tahun 2004. Kondisi ini diduga disebabkan karena kenaikan harga BBM yang sempat terjadi beberapa kali dalam selang waktu yang tidak lama sehingga harga-harga berbagai barang meningkat drastis, begitu pula dengan harga ikan. Nilai produksi terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar Rp 9.885.365.315. Perkembangan volume dan nilai produksi selengkapnya tertera pada Tabel 3

Tabel 3 Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan laut di Palabuhanratu tahun 2002– 2006

Tahun Volume Ikan ( Kg) Perkembangan ( %) Nilai Produksi (Rp) Perkembangan (%)

2002 2.890.118 - 9.885.365.315 -

2003 4.105.260 42,04 15.273.292.568 54,50

2004 3.367.517 -17,97 15.670.740.946 2,60

2005 6.600.530 96,00 32.153.934.823 105,18

2006 5.461.561 -17,25 32.550.912.620 1,23

(42)

2) Unit penangkapan ikan

Unit penangkapan ikan merupakan suatu kesatuan teknis yang saling terkait dan menunjang dalam operasi penangkapan yang terdiri dari alat tangkap, kapal dan nelayan. Kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu ditunjang oleh berbagai jenis unit penangkapan ikan dengan jumlah relatif besar. Unit penangkapan ikan tersebut meliputi jaring insang (gillnet), jaring lingkar (purse seine), payang, pancing, jaring angkat (liftnet), dan jaring kantong (bagnet).

Ditinjau dari segi metode pengoperasian alat tangkap, maka teknologi dan peralatan yang digunakan nelayan di Palabuhanratu masih tergolong tradisional. Jangkauan operasi unit penangkapan pun masih terbatas di daerah pantai sehingga nelayan sangat tergantung pada sumberdaya di daerah pantai. Berdasarkan catatan kantor PPN Palabuhanratu, keberadaan alat tangkap di wilayah Palabuhanratu cenderung meningkat selama periode 2002-2006, meskipun pada tahun 2003 sempat mengalami penurunan. Penggunaan alat tangkap terbesar tercapai pada tahun 2006 yaitu 943 unit. Empat jenis alat tangkap yang dominan digunakan nelayan di wilayah ini pada tahun 2006 adalah: (1) bagan (27,88%), (2) pancing ulur (27,04%), (3) payang (17,60%) dan gillnet (9,96%). Uraian tentang perkembangan alat tangkap selama periode 2002-2006 disajikan dalamTabel 4. Tabel 4 Perkembangan jumlah alat tangkap di PPN Palabuhanratu

tahun 2002 – 2006

Tahun Jenis Alat

Tangkap 2002 2003 2004 2005 2006

Payang 64 85 89 101 166

Pancing Ulur 204 168 203 162 255

Bagan 102 107 96 288 263

Gillnet 135 151 147 40 94

Purse Seine 1 3 8 7 2

Rawai 12 6 25 10 7

Tuna Long line - 17 36 71 34

Rampus - 11 48 26 46

Trammel net 39 - 27 23 31

Jaring Klitik - - 22 14 -

Pancing Layur - - 17 74 25

Pancing tonda 20

Jumlah 557 548 718 816 943

(43)

26

Beragamnya jenis alat tangkap yang digunakan nelayan berdampak pada jenis ikan hasil tangkapan yang diperoleh. Pada tahun 2006, jenis ikan hasil tangkapan yang dominan diperoleh nelayan diantaranya cakalang (Katsuwonus pelamis), yellow fin tuna, tuna big eye, eteman, tongkol lisong, tongkol abu-abu, tembang (Sardinella fimbrata), rebon (Mysis sp), layur (Trichiurus sp), dan peperek (PPN Palabuhanratu, 2007). Prosentase hasil tangkapan ikan dominan meliputi 84,93% dari total tangkapan tahun 2006 yang jumlahnya 5.461.561 ton (Gambar 4).

Keterangan:

CKL : cakalang TL : tongkol lisong PPR : peperek TBE : tuna big eye RBN : rebon ETM : eteman TYF : tuna yellow fin

TMB : tembang TAA : tongkol abu-abu LYR : layur

Sumber : PPN Palabuhanratu (2007)

Gambar 4 Jenis ikan yang ditangkap nelayan di Palabuhanratu pada tahun 2006.

Kapal merupakan faktor penting diantara komponen unit penangkapan ikan lainnya dan merupakan modal terbesar yang ditawarkan pada usaha penangkapan ikan. Kapal penangkap ikan berguna sebagai wahana transportasi yang membawa seluruh unit penangkapan ikan menuju fishing ground atau daerah penangkapan ikan, serta membawa pulang kembali ke fishing base atau pangkalan beserta hasil tangkapan yang diperoleh.

(44)

perahu yang relatif terjangkau. Kapal motor menggunakan mesin yang diletakkan di bagian dalam badan kapal (inboard engine). Umumnya kapal motor digunakan untuk usaha perikanan yang mempunyai skala cukup besar. Perkembangan jumlah kapal/perahu di Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perkembangan jumlah perahu atau kapal di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu periode 2002 – 2006

Jenis Perahu atau Kapal Perikanan Kapal Motor (GT) Tahun Perahu

Motor Tempel

< 10 11 - 20 21 – 30 > 30

Jumlah (Unit)

2002 317 106 3 13 13 452 2003 253 106 3 8 11 381 2004 266 111 4 10 13 404 2005 428 124 9 28 68 657 2006 511 153 4 53 77 798

Sumber : PPN Palabuhanratu (2007)

Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa jumlah unit kapal di Palabuhanratu banyak mengalami fluktuasi. Jumlah unit tertinggi terdapat pada tahun 2006 dengan komposisi PMT sebanyak 511 unit (64%) dan kapal motor sebanyak 287 unit (36%), sedangkan jumlah unit terendah terdapat pada tahun 2003 dengan komposisi PMT sebanyak 253 unit (66,40%) dan kapal motor sebanyak 128 unit (33,60%).

(45)

28

nelayan yang hanya pada waktu-waktu tertentu saja melakukan pekerjaan menangkap ikan.

Selain dikotomi seperti di atas, nelayan Palabuhanratu juga dapat dibedakan atas nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang memilki armada penangkapan ikan atau disebut juga juragan. Adapun nelayan buruh adalah orang yang bekerja kru atau anak buah kapal (ABK) diatas kapal. Juragan ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

(1) Juragan laut adalah pemilik armada/perahu penangkapan yang ikut dalam operasi penangkapan.

(2) Juragan perahu adalah pemilik armada atau perahu penangkapan tetapi tidak ikut dalam operasi penangkapan ikan.

Jumlah nelayan di Palabuhanratu selama periode 2002-2006 cenderung meningkat setiap tahunnya. Jumlah terbesar nelayan yang beraktivitas di Palabuhanratu terjadi pada tahun 2006 sebesar 4.371 jiwa, jumlah ini meningkat sebesar 25% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 3.498 jiwa. Data lengkap mengenai perkembangan jumlah nelayan yang beraktivitas di Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Perkembangan jumlah nelayan (jiwa) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu periode 2002 – 2006

Tahun Nelayan (Jiwa) Perkembangan (%)

2002 2.519 -

2003 3.340 33,0 %

2004 3.439 3,0 %

2005 3.498 2,0 %

2006 4.371 25,0 %

Sumber : PPN Palabuharatu (2007)

3) Daerah penangkapan ikan, musim dan iklim

(46)

Penentuan daerah penangkapan ikan (fishing ground) biasanya dilakukan berdasarkan pengalaman nelayan yang melakukan trip sebelumnya dimana banyak diperoleh hasil tangkapan, dan juga disesuaikan dengan ukuran kapal dan jenis alat tangkap yang digunakan. Hampir semua kapal dengan ukuran <10 GT dan perahu motor tempel melakukan aktivitas penangkapan di sekitar Teluk Palabuhanratu. Informasi detail tentang lokasi penangkapan ikan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Daerah penangkapan ikan (DPI) beberapa alat tangkap ikan di Palabuhanratu

No Jenis/ukuran kapal Jenis alat tangkap Daerah Penagkapan Ikan

Payang Teluk Palabuhanratu

Pancing Teluk Palabuhanratu

Rampus Teluk Palabuhanratu

Jaring klitik Teluk Palabuhanratu 1 Perahu motor tempel

Trammel net Teluk Palabuhanratu

Purse seine Teluk Palabuhanratu

Bagan Teluk Palabuhanratu,

Ujung Genteng

Gillnet Ujung Genteng, Cidaun, Ujung Kulon (perairan selatan Jawa)

2 Kapal Motor (<10 GT)

Pancing Teluk Palabuhanratu,

Ujung Genteng

Gillnet Sumatera, Jawa Tengah 3 Kapal Motor

(11-21 GT) Rawai tuna Sumatera

Gillnet Sumatera, Jawa Tengah 4 Kapal Motor

(21-30 GT) Rawai tuna Sumatera

Gillnet Sumatera, Jawa Tengah Rawai tuna Sumatera, Jawa Tengah 5 Kapal Motor

(>30 GT)

Tuna longline Samudera Hidia

Sumber : PPN Palabuhanratu (2005)

(47)

30

Berdasarkan data klimatologi stasiun Maranginan Palabuhanratu, musim hujan di Palabuhanratu berlangsung dari bulan November sampai April. Sekitar 71% curah hujan tahunan dalam periode tersebut mencapai 1.662 mm dan rata-rata curah hujan bulanan mencapai 192 mm. Curah hujan tahunannya termasuk besar yaitu sebesar 2.565 mm dan rata-rata bulanan berkisar 84-376 mm. Hampir setiap bulan di Palabuhanratu terjadi hujan.

Temperatur rata-rata bulanan berkisar antara 25,8°C sampai 28,8°C. Kawasan Palabuhanratu mempunyai iklim Monsoon dan pola angin di sekitar Palabuhanratu dipengaruhi oleh musim tersebut, yaitu musim barat selama bulan November-Maret dan musim timur pada bulan Mei-September. Kecepatan angin berkisar antara 4,4-23,5 km/jam. Kecepatan angin cukup kencang (>20 km/jam) bertiup pada bulan-bulan Agustus-Desember. Secara keseluruhan angin dominan bertiup dari tenggara (22,6 %) dan barat (13,6 %). Bila dipilah menurut bulannya, angin dominan bertiup dari arah barat dan barat laut (Januari), dari barat laut (Februari), barat laut (Maret), dari tenggara (April-Oktober), dari tenggara dan barat (November), dan barat laut (Desember).

Kegiatan penangkapan ikan di Teluk Palabuhanratu sangat dipengaruhi oleh kondisi musim. Selain musim timur dan musim barat di kawasan tersebut dikenal musim peralihan, yaitu peralihan dari musim barat ke musim timur dan dari musim timur ke musim barat. Penduduk setempat menyebut keadaan demikian dengan sebutan musim liwung.

Kondisi Teluk Palabuhanratu pada musim barat ditandai dengan intensitas hujan yang sangat tinggi dengan angin yang sangat kencang disertai dengan ombak yang besar, hal ini menyebabkan pada musim ini biasanya sebagian besar nelayan tidak berangkat melaut dengan alasan kemanan, kalaupun terdapat kapal yang beroperasi jumlahnya tidak banyak dan daerah penangkapan yang dituju pun terbatas di fishing ground yang tidak terlalu jauh. Kondisi tersebut wajar dilakukan oleh nelayan setempat khususnya nelayan tradisional, karena unit penangkapan ikan yang mereka miliki cenderung berukuran sedang sampai kecil.

(48)

ombak yang relatif kecil sehingga memungkinkan nelayan untuk melaut dan biasanya pada musim timur ini merupakan musim puncak ikan. Kelimpahan ikan pada bulan-bulan tersebut diduga akibat adanya upwelling yang terjadi pada perairan di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya yang menyebabkan kesuburan perairan oleh plankton yang pada posisinya di ekosistem adalah sebagai produsen, karena pada musim timur gerakan arus air laut datang dari arah timur menuju ke barat sehingga mengakibatkan pada musim timur arus air bergerak menjauh dari pulau dan terjadi kekosongan massa air di daerah tersebut, kemudian air dari bawah naik ke atas sehingga terjadi upwelling (PPN Palabuhanratu, 1999).

4) Sarana dan prasarana

Dukungan terhadap kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu diwujudkan dalam bentuk penyediaan prasarana berupa pelabuhan perikanan bertipe B yang lazim dikenal dengan istilah pelabuhan perikanan nusantara (PPN). Prasarana ini diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi melalui Dinas Kelautan dan Perikanan beserta Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

PPN Palabuhanratu didirikan pada tahun 1992 di Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. PPN Palabuhanratu merupakan salah satu unit pelaksana teknis (UPT) Departemen Kelautan dan Perikanan, yang diresmikan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 Februari 1993. Selama proses pembangunan PPN Palabuhanratu, diperoleh bantuan dari Asian Development Bank (ADB) dan Islamic Development Bank (ISDB).

(49)

32

perikanan sesuai fungsi dan peranannya ( PPN Palabuhanratu, 2005). Sarana dan prasarana yang ada di PPN Palabuhanratu terbagi dalam fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang.

(1) Fasilitas pokok

Fasilitas pokok merupakan fasilitas fisik yang utama di pelabuhan perikanan. Fasilitas pokok yang ada di PPN Palabuhanratu adalah 2 buah dermaga; 2 kolam pelabuhan dengan kedalaman masing-masing (-3) m – (-4) m dan (-6) m- (-8) m. Kolam pertama dengan kedalaman (-3) m – (-4) m disediakan untuk jenis kapal yang berukuran kurang dari 30 Gross Tonase (GT), seperti kapal congkreng, payang, dan diesel, sedangkan kolam kedua dengan ukuran kedalaman (-6) m – (-8) m diperuntukkan untuk kapal motor yang berukuran lebih dari 30 GT seperti longline dan gillnet ; dan dua bagian bangunan break water.

Gambar 5 Darmaga untuk tambat labuh di PPN Palabuhanratu

(2) Fasilitas fungsional

(50)

Gambar 6 Fasilitas fungsional yang terdapat di PPN Palabuhanratu.

(3) Fasilitas penunjang

Fasilitas penunjang merupakan fasilitas yang mendukung kegiatan operasional pelabuhan perikanan. Fasilitas penunjang yang tersedia di PPN Palabuhanratu antara lain pasar ikan seluas 352 m2, 7 buah rumah operator, dan guest house seluas 150 m2.

2.8 Penelitian-Penelitian yang Relevan

(51)

3

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengumpulandata penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2006 sampai Maret 2007 di Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi (Gambar 7). Penetapan Kecamatan Palabuhanratu sebagai area penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa wilayah ini merupakan salah satu basis kegiatan penangkapan ikan di wilayah selatan Jawa serta usaha perikanan tangkap yang ada didominasi skala usaha kecil.

(52)

3.2 Peralatan Pendukung

Peralatan pendukung sangat berperan dalam memperlancar kegiatan penelitian. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan peralatan berupa alat tulis dan untuk dokumentasi penelitian, kuisioner sebagai pedoman pedoman pengumpulan data, serta seperangkat komputer untuk rekapitulasi dan analisis data.

3.3 Mekanisme Pengumpulan Data

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survei. Penggunaan metode survei dalam penelitian ini dianggap akurat karena kajian tentang risiko usaha perikanan tangkap skala kecil membutuhkan tinjauan langsung kondisi aktual kegiatan perikanan.

Ada 2 (dua) jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui mekanisme pengamatan langsung dan wawancara dengan para pelaku (stakeholder) usaha perikanan yang dianggap memiliki kompetensi dan pemahaman terhadap penelitian. Wawancara dilakukan terhadap 80 orang nelayan dengan rincian 25 nelayan pancing, 25 nelayan payang, 15 nelayan bagan dan 15 nelayan rampus. Penentuan jumlah sampel didasarkan pada pertimbangan keterwakilan data. Jika mengacu pada data unit penangkapan di Palabuhanratu pada tahun 2006 maka jumlah sampel yang diambil terhadap populasi pada pancing, payang, bagan dan rampus masing-masing adalah 9,8%, 15,06%, 5,7% dan 32,61%. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik

convenience sampling, dimana contoh diambil atau terpilih karena ada ditempat dan waktu yang bersamaan ketika penulis melakukan pengumpulan data serta bersedia untuk diwawancarai dan mengisi kuesioner. Selain dengan nelayan, wawancara juga dilakukan terhadap 1 orang dari pihak koperasi, 2 orang yang mewakili unsur pemerintahan dan seorang dari pihak perbankan. Uraian data primer yang telah dikumpulkan disajikan pada Tabel 9.

Gambar

Gambar 1  Kerangka perumusan masalah.
Gambar  2  Kerangka pemikiran penelitian.
Gambar 3  Metode yang digunakan dalam pengukuran risiko.
Tabel 1  Perbandingan nelayan industri dan tradisional dari sisi technicio-socio-               economic
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari sisi keunikan, Nursi tidak lepas dari dasar tauhid yang tercermin dalam manifestasi-manifetasi Nama-Nama Indah Sang Pencipta (al-asma al-husna). Pandangan ini

Hasilpenelitian : menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh pemberian aroma terapi minyak sereh yang signifikan terhadap peningkatan asupan makan balita dalam

Faktor- faktor yang mempengaruhi keharmonisan commuter family pada keluarga I dan II adalah kedekatan pada keluarga yaitu pasangan selalu bertanya kepada orang tua (keluarga

Berdasarkan Hasil penelitian tentang modifikasi pembelajaran permainan bolavoli untuk meningkatkan minat siswa terhadap pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan

Nilai kecerahan dan oksigen terlarut yang rendah berbanding terbalik dengan konsentrasi karbon organik total dan fosfat terlarut pada suatu perairan yang berasal

(1) Pihak Kedua setuju untuk membayar kepada Pihak Pertama semua biaya dan iuran sesuai dengan perjanjian ini termasuk biaya atau tagihan tambahan atas semua produk atau jasa- jasa

Penelitian perancangan unit pengolahan leather nanas skala industri kecil dalam aspek teknis dan finansial di Kabupaten Kediri melalui beberapa tahapan, antara lain

Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan burnout pada relawan PMI DKI Jakarta yang berusia dewasa madya jika dikaitkan dengan faktor lingkungan kerja, lingkungan kerja