• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adsorpsi Unsur Pengotor Larutan Natrium Silikat Menggunakan Zeolit Alam Karangnunggal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Adsorpsi Unsur Pengotor Larutan Natrium Silikat Menggunakan Zeolit Alam Karangnunggal"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

ADSORPSI UNSUR PENGOTOR LARUTAN NATRIUM

SILIKAT MENGGUNAKAN ZEOLIT ALAM

KARANGNUNGGAL

AFIT HENDRAWAN

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ADSORPSI UNSUR PENGOTOR LARUTAN NATRIUM

SILIKAT MENGGUNAKAN ZEOLIT ALAM

KARANGNUNGGAL

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

AFIT HENDRAWAN

105096003152

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

ADSORPSI UNSUR PENGOTOR LARUTAN NATRIUM

SILIKAT MENGGUNAKAN ZEOLIT ALAM

KARANGNUNGGAL

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

AFIT HENDRAWAN

105096003152

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Florentinus Firdiyono Dr. Thamzil Las NIP.19560214 198202 1 001 NIP.19490516 197703 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kimia

(4)

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi yang berjudul “Adsorpsi Unsur Pengotor Larutan Natrium Silikat

Menggunakan Zeolit Alam Karangnunggal” yang ditulis oleh Afit Hendrawan NIM 105096003152 telah diuji dan dinyatakan LULUS

dalam Sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin tanggal 20 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.

Menyetujui,

Penguji I Penguji II

DR. Mirzan T Razzak, M.Eng., APU Yusraini DI Siregar, M.Si NIP.330 001 086 NIP.19770512 200112 2 002

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Florentinus Firdiyono Dr. Thamzil Las NIP.19560214 198202 1 001 NIP.19490516 197703 1 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Kimia

(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Desember 2010

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmaanirrohiim,

Assalaamu’alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah menciptakan seluruh alam. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan kepada para pengikutnya.

Skripsi dengan judul “Adsorpsi Unsur Pengotor Larutan Natrium Silikat Menggunakan Zeolit Alam Karangnunggal” disusun berdasarkan hasil

penelitian di Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI, Cisauk, Tanggerang, Banten. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk meraih gelar Strata 1 (S1) Kimia di Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa pihak-pihak yang terus memberikan bimbingan dan semangatnya, sehingga penulis ucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada :

1. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis sebagai Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

3. Dr. Florentinus Firdiyono sebagai pembimbing pertama, yang telah membimbing dan banyak memberikan masukan, semangat dan penjelasan tentang semua yang berhubungan dengan skripsi ini.

4. Dr. Thamzil Las sebagai pembimbing kedua dan pembimbing akademik, yang telah membimbing dan memberikan penjelasan tentang semua materi yang berhubungan dengan skripsi ini.

5. DR. Mirzan T Razzak, M.Eng., APU dan Yusraini DI Siregar, M.Si sebagai penguji pertama dan kedua yang telah memberikan kririk dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

6. Pa’e (Bpk Supriyanto) dan Bu’e (Ibu Endang Sulasih) yang telah memberikan dukungan moril, materil, doa serta semua dukungan yang tak terbatas. I Love U Mom and Dad.

7. Seluruh dosen kimia FST UIN, terutama Nurhasni, M.Si terima kasih atas semua ilmu yang telah diberikan. Insya Allah penulis akan mengamalkannya sehingga dapat bermanfaat di dunia dan di akhirat.

8. Eko Sulistiyono, S.T sebagai pembimbing lapangan, yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberikan penjelasan tentang skripsi ini. 9. Murni Handayani, S.Si sebagai koordinator penelitian, yang telah banyak

meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.

10. Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI yang telah memberikan sarana dan prasarana berupa laboratorium dan alat-alatnya untuk penelitian ini.

(8)

12. My oldest sister (Mbak Liya Suryani, SE) dan Bang Iyung yang telah meluangkan rumah dan perangkat elektroniknya untuk penyelesaian skripsi ini.

13. My sister’s (Mbak Mirawati, SPd; Retno Wulandari, CSE; Ayu Julaiha) dan My Nephew’s (Zaidan, Syifa, Azmi) atas semangat dan senyumannya. 14. Lek Bambang dan Mufida yang telah ikhlas menerima keberadaan penulis

di rumahnya.

15. Qosyim dan Pipit, teman seperjuanganku yang telah menjadi teman suka dan duka selama penulis membuat skripsi ini.

16. Bu Rinta, Age dan Balqis, terima kasih atas semangat yang kalian berikan. 17. Adum, Teh Dede, Umi Icha, Hasbi, Ndo’ Susti, Mpok Ummu, Fajri, Ocim,

April, Nunu dan seluruh teman-teman Al – Chemist 2005 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga kenangan itu masih ada sampai kita tua. 18. Al – Chemist 2002 – 2008 yang telah memberikan semangat, dukungan

serta senyuman selama penulis menyusun skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi mahasiswa kimia pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Amiiin.

Wassalaamu’alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh

Jakarta, Desember 2010

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Adsorpsi ... 5

2.1.1. Isoterm Adsorpsi ... 8

2.2. Pasir Kuarsa ... 10

2.3. Logam Pengotor ... 12

2.3.1. Besi (Fe) ... 13

2.3.2. Magnesium (Mg) ... 14

(10)

2.4. Zeolit ... 16

2.4.1. Teori Zeolit ... 16

2.4.2. Struktur Zeolit ... 16

2.4.3. Sifat – sifat Zeolit ... 18

2.4.4. Jenis – jenis Zeolit ... 20

2.4.5. Mordenit ... 21

2.4.6. Aktivasi Zeolit ... 22

2.4.7. Zeolit Alam Karangnunggal ... 23

2.5. Scanning Electron Microscopy (SEM) ... 25

2.6. Spektroskopi Serapan Atom (Atomic Absorption Spectroscopy) ... 27

2.6.1. Prinsip Spektroskopi Serapan Atom ... 28

2.6.2. Instrumentasi Spektroskopi Serapan Atom ... 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 32

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

3.2. Bahan dan Alat ... 32

3.2.1. Bahan ... 32

3.2.2. Alat ... 32

3.3. Prosedur Kerja ... 33

3.3.1. Pemangangan Pasir Kuarsa ... 33

3.3.2. Preparasi Larutan Natrium Silikat 10% ... 33

3.3.3. Preparasi Zeolit ... 34

3.3.4. Aktivasi Zeolit ... 34

3.3.5. Analisa SEM ... 34

(11)

3.3.6.1. Analisa Fe3+ ... 35

3.3.6.1.1. Variasi Waktu Kontak ... 35

3.3.6.1.2. Variasi Massa Zeolit ... 35

3.3.6.1.3. Variasi pH ... 36

3.3.6.1.4. Variasi Temperatur ... 36

3.3.6.1.5 Isoterm Adsorpsi ... 36

3.3.6.2. Analisa Mg2+ dan Ca2+ ... 37

3.3.6.2.1. Variasi pH ... 37

3.3.6.2.2. Variasi Massa Zeolit ... 37

3.3.6.2.3. Variasi Waktu Kontak ... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1. Karakterisasi dan Identifikasi Pasir Kuarsa ... 38

4.2. Preparasi Larutan Natrium Silikat ... 39

4.3. Aktivasi Zeolit ... 41

4.4. Penentuan Kondisi Optimum ... 44

4.4.1. Analisa Ion Logam Fe3+ ... 44

4.4.1.1. Hubungan Waktu Kontak dengan Penyerapan Fe3+ ... 44

4.4.1.2. Hubungan Massa Zeolit dengan Penyerapan Fe3+ ... 45

4.4.1.3. Hubungan pH dengan Penyerapan Fe3+ ... 46

4.4.1.4. Hubungan Temperatur dengan Penyerapan Fe3+ ... 48

4.4.1.5 Isoterm Adsorpsi Fe3+ ... 49

4.4.2. Analisa Mg2+ dan Ca2+ ... 50

4.4.2.1. Hubungan pH dengan Penyerapan Mg2+ dan Ca2+ ... 50

(12)

4.4.2.3. Hubungan Waktu Kontak dengan Penyerapan

Mg2+ dan Ca2+ ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

5.1. Kesimpulan ... 54

5.2. Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbedaan Isoterm Adsorpsi Langmuir dan Freundlich ... 9

Tabel 2. Hasil Analisa XRF Komposisi Kimia Pasir Kuarsa Indonesia ... 10

Tabel 3. Parameter Fisika Pasir Kuarsa Indonesia ... 11

Tabel 4. Jenis Mineral Zeolit Alam dan Sifat Fisiknya ... 21

Tabel 5. Hasil Analisa XRF Zeolit Alam Karangnunggal ... 24

Tabel 6. Hasil Analisa XRF Pasir Kuarsa Samboja…...….. 39

Tabel 7. Hasil Analisa EDX Zeolit Alam Karangnunggal ... 43

Tabel 8. Hasil Analisa Penyerapan Mg2+ dan Ca2+ terhadap Pengaruh pH Larutan Natrium Silikat (massa zeolit 2,5 gr, temperatur 30°C, waktu kontak 60 menit, volume 50 ml, konsentrasi 0,1%) ... 50

Tabel 9. Hasil Analisa Penyerapan Mg2+ dan Ca2+ terhadap Pengaruh Massa Zeolit (pH = 10, temperatur 30°C, waktu kontak 60 menit, volume 50 ml, konsentrasi 0,1%) ... 51

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Kerangka Penyusun Zeolit ... 16

Gambar 2. Struktur Stereotip Mordenit …... 22

Gambar 3. Skema Dasar Scanning Electron Microscopy (SEM) ... 26

Gambar 4. Sistem Instrumentasi AAS ... 29

Gambar 5. Morfologi Pasir Kuarsa Samboja ... 38

Gambar 6. Struktur Ikatan Natrium Silikat ... 40

Gambar 7. Morfologi Zeolit Alam Karangnunggal ... 42

Gambar 8. Persentase ion logam Fe3+ yang diserap dari larutan natrium silikat dengan waktu kontak yang berbeda (massa zeolit 1 gr, pH = 3, temperatur 30°C, volume 50 ml, konsentrasi 0,03%) ... 44

Gambar 9. Persentase ion logam Fe3+ yang diserap dari larutan natrium silikat dengan massa zeolit yang berbeda (pH = 3, temperatur 30°C, waktu kontak 60 menit, volume 50 ml, konsentrasi 0,03%) ... 45

Gambar 10. Persentase ion logam Fe3+ yang diserap dari larutan natrium silikat dengan pH larutan yang berbeda (massa zeolit 3 gr, temperatur 30°C, waktu kontak 60 menit, volume 50 ml, konsentrasi 0,03%) ... 46

Gambar 11. Persentase ion logam Fe3+ yang diserap dari larutan natrium silikat dengan temperatur larutan yang berbeda (massa zeolit 3 gr, pH = 3, waktu kontak 60 menit, volume 50 ml, konsentrasi 0,03%) ... 48

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kurva Kalibrasi AAS ... 60

Lampiran 2. Perhitungan Efisiensi Penyerapan ... 63

Lampiran 3. Data Efisiensi Peyerapan Fe3+,Mg2+ dan Ca2+ oleh Zeolit ... 64

Lampiran 4. Data Isoterm Adsorpsi Fe3+ …....………..……. 68

Lampiran 5. Hasil Analisa XRF Pasir Kuarsa Samboja ... 70

Lampiran 6. Hasil Analisa SEM Pasir Kuarsa Samboja ... 71

Lampiran 7. Hasil Analisa SEM Zeolit Alam Karangnunggal Sebelum Diaktivasi ... 72

Lampiran 8. Hasil Analisa SEM Zeolit Alam Karangnunggal Setelah Diaktivasi ... 73

(16)

ABSTRAK

Afit Hendrawan. ADSORPSI UNSUR PENGOTOR LARUTAN NATRIUM SILIKAT MENGGUNAKAN ZEOLIT ALAM KARANGNUNGGAL. Dibawah Bimbingan Dr. Florentinus Firdiyono dan Dr. Thamzil Las.

Penelitian tentang kemampuan penyerapan zeolit alam Karangnunggal sebagai sorben dalam larutan natrium silikat telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi penyerapan zeolit terhadap unsur pengotor larutan natrium silikat serta mengetahui hubungan penyerapan zeolit dengan beberapa parameter adsorpsi. Untuk itu proses adsorpsi dilakukan dengan beberapa parameter, diantaranya waktu kontak, massa sorben, pH, temperatur. Hasil analisa menggunakan Spektroskopi Serapan Atom (SSA) menunjukkan bahwa zeolit alam Karangnunggal yang diaktivasi dengan H2SO4 dapat digunakan untuk menyerap Fe3+ dalam larutan natrium silikat. Kondisi optimum penyerapan Fe3+ dalam larutan natrium silikat dicapai dengan parameter waktu kontak selama 60 menit, massa zeolit yang digunakan sebanyak 3 gram, pH 3, dan pada temperatur ruang. Tetapi zeolit tersebut tidak efektif untuk menyerap Mg2+ dan Ca2+ dalam larutan natrium silikat.

(17)

ABSTRACT

Afit Hendrawan. ADSORPTION OF IMPURITIES ELEMENTS IN SODIUM SILICATE SOLUTION BY USING KARANGNUNGGAL NATURAL ZEOLITE. Under guidance of Dr. Florentinus Firdiyono and Dr. Thamzil Las.

Research studies on the adsorption capacity of Karangnunggal natural zeolite as a sorbent in solution of sodium silicate has been done. This study aims to determine the efficiency of adsorption of the zeolite to a solution of sodium silicate impurity elements and know the relationship between the adsorption of the zeolite with the adsorption parameters. For the adsorption process carried out by several parameters, such as contact time, sorbent mass, pH, temperature. Results of analysis using Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) showed that Karangnunggal natural zeolite activated with H2SO4 can be used to adsorb Fe3+ in sodium silicate solution. The optimum condition of the adsorption of Fe3+ in sodium silicate solution is achieved with contact time parameters for 60 minutes, the mass of zeolite is used as much as 3 grams, pH 3, and at room temperature. However, these zeolites is not effective to adsorb Mg2+ and Ca2+ in a solution of sodium silicate.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi sumber daya energi terbarukan yang melimpah antara lain energi surya, hal ini dikarenakan letak Indonesia yang berada di daerah tropis yang menerima sinar matahari sepanjang tahun. Energi ini dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif. Akan tetapi pengembangan energi alternatif ini terbentur dengan mahalnya peralatan panel surya impor. Peralatan panel surya tidak dapat diproduksi di dalam negeri karena ketersediaan silikon murni untuk bahan pembuatan panel surya belum mampu dibuat di Indonesia.

(19)

Pemurnian silika biasanya dilakukan dengan penambahan asam klorida (HCl). Pemurnian ini hanya menghasilkan silika dengan kadar 99,99% (Aulich, et al, 1984) dan (Sulistiyono, et al, 2000). Hal ini dikarenakan HCl hanya mengikat unsur pengotor yang ada di permukaan silika. Untuk mendapatkan silika dengan kadar 99,999% maka dilakukan penyerapan unsur pengotor dengan zeolit. Zeolit adalah mineral dengan struktur kristal alumino silikat yang berbentuk framework

(struktur tiga dimensi), dan mempunyai rongga serta saluran yang diisi oleh kation logam alkali dan atau alkali tanah serta molekul air. Ion logam dan molekul air dapat digantikan oleh ion atau molekul lain secara reversibel tanpa merusak struktur zeolit, sehingga zeolit dapat digunakan untuk menyerap ion logam. Sampai saat ini telah ditemukan lebih dari 50 jenis zeolit alam (Suhala, 1997). Namun yang mempunyai nilai komersil diantaranya adalah jenis klinoptilolit, mordenit, filipsit, kabazit, erionit, ferrierit dan faujasit (Dyer, A.1988).

Jenis mineral zeolit yang sering ditemukan di Indonesia adalah klinoptilolit dan mordenit (Las, T. 2006). Zeolit merupakan salah satu mineral yang banyak terdapat di Kabupaten Tasikmalaya dengan penyebaran deposit di daerah Karangnunggal, Cipatujah dan Cikalong dengan deposit kurang lebih 39.435.125 ton. Zeolit alam Karangnunggal sudah dikarakterisasi dan merupakan jenis mordenit (Sulistiyono, et al, 2009). Zeolit ini dapat digunakan untuk menyerap kromium (Cr) (Handayani, et al, 2009) dan nikel (Ni) (Yuhelda, 2004) dalam air limbah.

(20)

pengotor dan dapat dijadikan bahan baku silikon murni untuk pembuatan panel surya. Untuk itu pada penelitian ini akan dilakukan proses peleburan pasir kuarsa dengan senyawa alkali natrium karbonat (Na2CO3). Pada proses ini diasumsikan terjadinya pemecahan ikatan di dalam pasir kuarsa tersebut. Hasil dari proses peleburan ini adalah natrium silikat (Na2SiO3) yang kemudian dilarutkan dan dilanjutkan dengan proses pemisahan unsur pengotor yang mungkin masih terkandung dalam larutan natrium silikat. Eliminasi unsur pengotor yang terdapat dalam larutan natrium silikat dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan zeolit alam Karangnunggal. Eliminasi tersebut berlangsung melalui proses adsorpsi. Dengan proses ini diharapkan kadar unsur pengotor yang terdapat dalam larutan natrium silikat seperti besi (Fe), magnesium (Mg), dan kalsium (Ca) dapat dikurangi karena terserap oleh zeolit alam Karangnunggal.

1.2.Rumusan Masalah

a. Bagaimana proses penghilangan unsur pengotor dalam larutan natrium silikat?

b. Bagaimana proses aktivasi zeolit alam Karangnunggal harus dilakukan agar mampu menyerap unsur pengotor dalam larutan natrium silikat?

1.3.Hipotesis

a. Zeolit alam Karangnunggal dapat menyerap unsur pengotor yang ada dalam larutan natrium silikat.

(21)

1.4.Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui kondisi optimum penyerapan zeolit alam Karangnunggal terhadap unsur pengotor dalam larutan natrium silikat. b. Untuk mengetahui hubungan kemampuan penyerapan unsur pengotor

oleh zeolit alam Karangnunggal dengan variasi waktu kontak, massa, pH dan temperatur.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Memberikan informasi tentang pemanfaatan zeolit alam Karangnunggal sebagai penyerap unsur pengotor dalam larutan natrium silikat.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Adsorpsi

Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu

terhadap zat tertentu yang terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya

tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap ke dalam

(Atkins, 1982). Apabila gaya tarik penyerap dengan zat terlarut lebih besar

daripada gaya tarik pelarut dengan zat terlarut, maka zat terlarut itu dapat diserap.

Adsorpsi adalah suatu proses dimana molekul-molekul dari senyawa yang

diserap oleh permukaan zat padat atau zat cair yang lain. Zat yang mengadsorpsi

disebut sorben sedangkan zat yang diadsorpsi disebut sorbat. Proses adsorpsi

terjadi pada batas permukaan dua fase, sebagai contohnya fase cair dengan fase

padat (adsorpsi zat warna dalam air dengan karbon sebagai sorben), fase cair

dengan fase gas (adsorpsi pada campuran gas klor dan air), fase cair dengan fase

cair (adsorpsi deterjen pada permukaan emulsi) dan lain-lain.

Metode adsorpsi telah dikembangkan untuk menangani masalah limbah di

perairan. Metode ini adalah salah satu metode yang potensial, karena prosesnya

yang sederhana, dapat bekerja pada konsentrasi rendah, dapat didaur-ulang, dan

biaya yang dibutuhkan relatif murah.

Proses adsorpsi dapat terjadi karena adanya gaya tarik atom atau molekul

pada permukaan padatan yang tidak seimbang. Karena adanya gaya ini, padatan

cenderung menarik molekul-molekul lain yang bersentuhan dengan permukaan

(23)

konsentrasi molekul pada permukaan menjadi lebih besar daripada dalam fasa gas

atau zat terlarut dalam larutan. Adsorpsi dapat terjadi pada antarfasa padat-cair,

padat-gas atau gas-cair. Pada adsorpsi, interaksi antara sorben dengan sorbat

hanya terjadi pada permukaan sorben. Adsorpsi adalah gejala pada permukaan,

sehingga makin besar luas permukaan, maka makin banyak zat yang teradsorpsi.

Walaupun demikian, adsorpsi masih bergantung pada sifat zat pengadsorpsi

(Fatmawati, 2006).

Berdasarkan besarnya interaksi antara sorben dan sorbat, adsorpsi

dibedakan menjadi dua macam yaitu adsorpsi kimia dan adsorpsi fisika. Pada

adsorpsi kimia, molekul-molekul yang teradsorpsi pada permukaan sorben

bereaksi secara kimia. Hal ini disebabkan pada adsorpsi kimia terjadi pemutusan

dan pembentukan ikatan. Ikatan antara sorben dengan sorbat dapat cukup kuat

sehingga spesies aslinya tidak dapat ditemukan kembali. Adsorpsi ini bersifat

irreversibel dan diperlukan energi yang besar untuk melepaskan sorbat kembali

(dalam proses adsorpsi). Pada umumnya, dalam adsorpsi kimia jumlah (kapasitas)

adsorpsi bertambah besar dengan naiknya temperatur. Zat yang teradsorpsi

membentuk satu lapisan monomolekuler dan relatif lambat, kesetimbangan

tercapai karena dalam adsorpsi kimia melibatkan energi aktivasi.

Jenis adsorpsi lainnya adalah adsorpsi fisika, dimana molekul-molekul

sorbat teradsorpsi pada permukaan sorben dengan ikatan yang lemah. Adsorpsi

terjadi karena adanya gaya Van der Waals antara sorbat dan sorben. Adsorpsi ini

bersifat reversibel, sehingga molekul-molekul yang teradsorpsi mudah dilepaskan

kembali dengan cara menurunkan tekanan gas atau konsentrasi zat terlarut.

(24)

yang teradsorpsi akan semakin kecil dengan naiknya suhu. Banyaknya zat yang

teradsorpsi dapat beberapa lapisan monomolekuler, demikian juga kondisi

kesetimbangan tercapai segera setelah sorben bersentuhan dengan sorbat. Hal ini

dikarenakan dalam adsorpsi fisika tidak melibatkan energi aktivasi.

Metode sorpsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu statis (batch) dan

dinamis (kolom). Cara statis dilakukan dengan memasukkan larutan yang

mengandung komponen yang diinginkan ke dalam wadah yang berisi sorben,

selanjutnya diaduk dalam waktu tertentu, kemudian dipisahkan dengan cara

penyaringan atau dekantasi. Komponen yang telah terikat pada sorben dilepaskan

kembali dengan melarutkan sorben dalam pelarut tertentu dan volumenya lebih

kecil dari volume larutan mula-mula. Cara dinamis (kolom) dilakukan dengan

melewatkan larutan yang mengandung komponen tertentu ke dalam kolom yang

telah diisi sorben, selanjutnya komponen yang telah diserap dilepaskan kembali

dengan mengalirkan pelarut (eluen) yang sesuai dan volumenya lebih kecil.

Karena selektivitasnya yang tinggi, proses adsorpsi sangat sesuai untuk

memisahkan bahan dengan konsentrasi yang kecil dari campuran yang

mengandung bahan lain yang berkonsentrasi tinggi. Bentuk lain dari adsorpsi

adalah pertukaran ion (ion exchange).

Kecepatan adsorpsi tidak hanya bergantung pada perbedaan konsentrasi

dan luas permukaan sorben, melainkan juga pada temperatur, pH larutan, tekanan

(untuk gas), ukuran partikel dan polaritas sorben tetapi juga bergantung pada

ukuran molekul bahan yang akan diadsorpsi dan viskositas campuran yang akan

(25)

2.1.1. Isoterm Adsorpsi

Isoterm adsorpsi merupakan fungsi konsentrasi zat terlarut yang terserap

oleh sorben terhadap konsentrasi larutan. Isoterm adsorpsi adalah hal yang

mendasar dalam menentukan kapasitas adsorpsi suatu sorbat pada permukaan

sorben (Sriyanti, 2005). Isoterm adsorpsi yang banyak digunakan adalah isoterm

adsorpsi Langmuir dan Freundlich. Langmuir dan Freundlich memberikan

gambaran tentang adsorpsi zat terlarut dari larutan oleh zat padat.

a) Isoterm Adsorpsi Langmuir

Langmuir mendefinisikan bahwa kapasitas adsorpsi maksimum terjadi

akibat adanya lapisan tunggal (monolayer) sorbat di permukaan sorben. Sorbat

yang diserap tidak akan melebihi jumlah situs aktif sorben. Persamaan isoterm

adsorpsi Langmuir dapat ditulis sebagai berikut (Azizah, Nur, et al, 2008):

x = 1 + 1 . C ……….………(1) m qm b b

Keterangan:

x/m = Jumlah sorbat yang diserap per unit berat sorben (mg/g)

C = Konsentrasi sorbat dalam larutan pada saat kesetimbangan (mol/L)

b = Konstanta

qm = Maksimum sorbat yang dapat diserap (mg/g)

Dengan eksperiman di laboratorium, kapasitas adsorpsi maksimum (qm) dan

konstanta Langmuir dapat diperoleh. Kapasitas adsorpsi dapat diperoleh dari

(26)

b) Isoterm Adsorpsi Freundlich

Freundlich mengasumsikan bahwa terdapat lebih dari satu lapisan

permukaan (multilayer), adsorpsi yang terjadi adalah adsorpsi fisika (Azizah, Nur,

et al, 2008). Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich dapat ditulis :

... (2)

Keterangan :

x/m = jumlah sorbat yang diserap per unit berat sorben (mg/g)

C = konsentrasi sorbat dalam larutan pada saat kesetimbangan (mol/L)

K, n = konstanta empiris

Konstanta Freundlich diperoleh dengan eksperimen di laboratorium. Untuk

memudahkan perhitungan, maka persamaan 3 dirubah menjadi bentuk linier,

sehingga persamaannya menjadi:

...(3)

Konstanta Freundlich dapat diperoleh dari harga intersep dan slope linier kurva

log (x/m) vs log C.

Tabel 1. Perbedaan Isoterm Adsorpsi Langmuir dan Freundlich

Sifat Langmuir Freundlich

Jenis Ikatan Ikatan Kimia Ikatan Fisika

Energi Aktivasi Rendah – Sedang Tidak Ada

Reversibilitas Lambat Cepat

Pelapisan Lapisan Tunggal

(Monolayer)

Lapisa Majemuk

(Multilayer)

(27)

2.2. Pasir Kuarsa

Pasir kuarsa yang juga dikenal dengan nama pasir putih merupakan hasil

pelapukan batuan yang mengandung mineral utama, seperti kuarsa (SiO2) dan

felspar (MZ4O8). M adalah kation K+, Na+ atau Ca+. Z adalah kation-kation Al3+

dan Si4+. Hasil pelapukan kemudian tercuci dan terbawa oleh air atau angin yang

diendapkan di tepi-tepi sungai, danau, atau laut. Pasir kuarsa mengandung

senyawa pengotor yang terbawa selama proses pengendapan. Pada umumnya,

senyawa pengotor tersebut terdiri atas oksida besi, oksida kalsium, oksida alkali,

oksida magnesium, lempung, dan zat organik hasil pelapukan sisa-sisa hewan

serta tumbuhan.

Pasir kuarsa yang terdapat di alam ditemukan dengan kemurnian yang

bervariasi, tergantung pada proses terbentuknya dan juga material lain yang ikut

selama proses pengendapan. Material pengotor tersebut bersifat sebagai pemberi

warna pada pasir kuarsa. Secara umum, pasir kuarsa Indonesia mempunyai

komposisi kimia seperti yang dapat dilihat pada tabel 2. Sedangkan komposisi

fisika pasir kuarsa dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 2. Hasil Analisa XRF Komposisi Kimia Pasir Kuarsa Indonesia

Senyawa Jumlah (%)

SiO2 55,30 – 99,87

Fe2O3 0,01 – 9,14

Al2O3 0,01 – 18,00

TiO2 0,01 – 0,49

CaO 0,01 – 3,24

MgO 0,01 – 0,26

K2O 0,01 – 17,00

(28)

Tabel 3. Parameter Fisika Pasir Kuarsa Indonesia

Parameter Keterangan

Warna Putih bening atau warna lain tergantung

senyawa pengotornya. Misalnya, warna

kuning berarti mengandung oksida besi.

Kekerasan 7 (skala Mohs)

Berat Jenis 2,65 g/cm3

Titik Lebur 1715°C

Bentuk Kristal Hexagonal

Panas Spesifik 0,185

Konduktivitas Panas 12 – 100°C

Sumber : Suhala, et al, 1997

Pasir kuarsa banyak digunakan dalam kegiatan industri. Penggunaan pasir

kuarsa sudah berkembang baik langsung sebagai bahan baku utama maupun

bahan tambahan. Sebagai bahan baku utama, misalnya digunakan dalam industri

pembuatan chip, gelas kaca, semen, tegel, mosaik keramik, dan ampelas.

Sedangkan sebagai bahan tambahan, misalnya dalam industri pengecoran logam,

bata tahan api (refraktori), dan lain sebagainya.

Sekarang penggunaan pasir kuarsa sudah dikembangkan untuk pembuatan

panel surya. Faktor utama yang diperhatikan adalah pasir kuarsa yang dipakai

harus mencapai kemurnian dengan pembatasan pada oksida pengotornya. Kristal

silika merupakan bahan baku utama untuk pembuatan panel surya monokristal.

Kristal silika ditemukan di alam terutama sebagai pasir kuarsa. Proses ekstraksi

pasir kuarsa bervariasi berdasarkan lokasinya, tetapi biasanya dikombinasikan

mulai dari pengolah tanah, penghancuran, penggilingan, pencucian, dan

(29)

dan kotoran untuk mendapatkan ukuran butiran yang diinginkan. Produk akhirnya

disebut sebagai pasir silika atau kristal silika.

Pemanfaatan pasir kuarsa dari Indonesia sebagai bahan baku untuk panel

surya harus dimulai dari penguasaan teknologi pemurnian silika dari pasir kuarsa.

Syarat minimal penguasaan teknologi pemurnian silika dari pasir kuarsa untuk

panel surya jika hasil pemurnian SiO2 mencapai 99,999%. Karena pentingnya

penguasaan teknologi pemurnian silika dari pasir kuarsa Indonesia maka perlu

adanya penelitian pemurnian silika dari pasir kuarsa dengan terobosan proses.

Diharapkan dengan terobosan proses ini akan meningkatkan pertumbuhan industri

pembuatan modul panel surya dari pasir kuarsa Indonesia. Keuntungan dengan

penguasaan teknologi tersebut bagi Indonesia adalah swasembada energi

sekaligus meningkatkan nilai tambah pasir kuarsa Indonesia.

Potensi sumber daya pasir kuarsa di Indonesia cukup besar dengan

cadangan diperkirakan tidak kurang dari 4,48 milyar ton. Cadangan pasir kuarsa

tersebar di 16 provinsi, yang terbesar diantaranya terdapat di Sumatera Barat,

Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan

Selatan, dan Pulau Bangka dan Belitung (Suhala, et al, 1997).

2.3. Logam Pengotor

Keberadaan logam-logam dalam perairan dapat berasal dari

sumber-sumber alamiah dan dari aktivitas manusia. Sumber-sumber-sumber logam alamiah dapat

berupa pengikisan dari batu mineral yang banyak di sekitar perairan. Di samping

itu, partikel-partikel logam yang ada di udara, dikarenakan oleh hujan, juga dapat

(30)

aktivitas manusia dapat berupa buangan sisa dari industri ataupun buangan

rumah tangga.

Bentuk persenyawaan dari ion-ion logam dalam air laut umumnya berbeda

dengan bentuk persenyawaan yang terjadi di air tawar. Perbedaan itu dikarenakan

tingkat kompleksitas dari perairannya. Lautan merupakan perairan yang

kompleksitasnya sangat tinggi. Logam-logam di dalam perairan juga dipengaruhi

oleh interaksi yang terjadi antara air dengan sedimen (endapan).

2.3.1. Besi (Fe)

Besi (Fe) merupakan logam transisi dan memiliki nomor atom 26,

bilangan oksidasi Fe adalah +3 dan +2. Fe memiliki berat atom 55.845 g/mol, titik

leleh 1.538°C, dan titik didih 2.861°C. Fe menempati urutan sepuluh besar

sebagai unsur yang terbanyak di bumi. Fe menempati berbagai lapisan bumi.

Konsentrasi tertinggi terdapat pada lapisan dalam dari inti bumi dan sejumlah

kecil terdapat di lapisan terluar kerak bumi.

Logam Fe ditemukan dalam inti bumi berupa hematit (Fe2O3). Fe hampir

tidak dapat ditemukan sebagai unsur bebas. Fe diperoleh dalam bentuk tidak

murni sehingga harus melalui reaksi reduksi untuk mendapatkan Fe murni. Fe

ditemukan terutama sebagai mineral hematit (Fe2O3), magnetit (Fe3O4), pirit

(FeS2) dan siderit (FeCO3). Mineral lain yang merupakan sumber Fe adalah

limonit (FeO(OH).nH2O).

Mineral yang sering berada dalam perairan dengan jumlah besar adalah

kandungan Fe. Kandungan Fe dalam kerak bumi diperkirakan sebesar 5,63 x 104

(31)

dalam air tanah bisa berbentuk Fe (II) dan Fe (III) terlarut. Logam Fe sebagian

besar digunakan dalam pembuatan baja dan menghasilkan hampir 95% baja di

dunia dengan berbagai kombinasi kekuatan baja (Oxtoby, et al, 2003).

2.3.2 Magnesium (Mg)

Magnesium (Mg) adalah logam yang berwarna putih keabu-abuan dan

mempunyai permukaan pelindung lapisan tipis oksida. Mg melebur pada

temperatur 650°C. Mg adalah unsur keenam yang melimpah di kerak bumi. Mg

terutama dapat diperoleh dari batuan magnesit (MgCO3) dan dolomit

(CaMg(CaCO3)2). Sumber lain Mg adalah air laut yang mengandung sekitar 1,3

gram Mg per kilogram air laut. Mg membentuk ion positif paling melimpah

kedua di dalam laut (Chang, Raymond, 2005).

Mg dihasilkan dengan beberapa cara. Proses untuk memperoleh Mg dari

air laut menggunakan tiga jenis reaksi, diantaranya adalah reaksi pengendapan,

reaksi asam-basa, dan reaksi redoks. Pada reaksi pengendapan, air laut yang

mengandung MgCl2 direksikan dengan kalisum hidroksida (Ca(OH)2), sehingga

dihasilkan endapan yang mengandung magnesium hidroksida (Mg(OH)2).

Endapan ini disaring kemudian direaksikan dengan asam klorida (HCl), sehingga

dihasilkan larutan magnesium klorida (MgCl2). Larutan ini diuapkan kemudian

dimasukkan dalam sel elektrolisis. Larutan ini mengandung ion Mg2+ dan ion Cl-.

Dalam proses elektrolisis dialirkan arus listrik ke dalam sel, sehingga dapat

mereduksi ion Mg2+ dan mengoksidasi ion Cl-. Lelehan Mg yang dibebaskan pada

katode mengapung ke permukaan dan diambil secara berkala. Gas klorin yang

(32)

dihasilkan asam klorida yang dapat digunakan kembali untuk reaksi asam-basa

pada proses ini. Kerapatan magnesium lebih kecil daripada alumunium. Karena

sifat ini magnesium digunakan dalam alloy dengan alumunium untuk menurunkan

kerapatan alumunium dan memperbaiki ketahanannya terhadap korosi pada

kondisi basa.

2.3.3. Kalsium (Ca)

Kalsium adalah logam putih perak yang agak lunak. Kerak bumi

mengandung sekitar 3,4% massa kalsium. Kalsium terdapat pada batu kapur

(CaO), kalsit (CaCO3), gipsum (CaSO4.2H2O), dan dolomit (CaMg(CaCO3)2).

Kalsium melebur pada temperatur 845°C. Kalsium dapat bereaksi dengan

oksigen atmosfer dan udara lembab. Pada reaksi ini terbentuk kalsium oksida

dan/atau kalsium hidroksida. Kalsium menguraikan air dengan membentuk

kalsium hidroksida dan hidrogen. Kalsium membentuk kation Ca2+ dalam larutan

air. Garam-garamnya biasanya berupa bubuk putih dan membentuk larutan yang

tidak berwarna, kecuali bila anionnya berwarna.

Penggunaan logam kalsium masih terbatas. Sebagian besar kalsium

digunakan sebagai alloy logam alumunium dan tembaga. Kalsium digunakan

dalam pengolahan logam berilium dari senyawa-senyawanya. Kalsium klorida

padat bersifat higroskopis dan sering digunakan sebagai zat pengering dalam

(33)

2.4. Zeolit

2.4.1. Teori Zeolit

Kata zeolit berasal dari kata Yunani, zeinyang berarti membuih dan lithos

yang berarti batu. Nama ini sesuai dengan sifat zeolit yang akan membuih bila

dipanaskan pada suhu 100°C. Zeolit pertama kali ditemukan pada tahun 1756 oleh

Axel Cronstedt seorang ahli mineral dari Swedia. Jenis mineral yang ditemukan

adalah stilbit (Na2Ca4[Al10Si26O72].34H2O). Menurut penelitian yang dilakukan

Cronstedt, mineral ini akan mendidih apabila dipanaskan, hal ini disebabkan oleh

proses dehidrasi dari mineral tersebut. Di Indonesia zeolit ditemukan pada tahun

1985 oleh Pusat Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM) Bandung dalam

jumlah besar. Penyebaran zeolit terdapat di beberapa daerah, terutama di pulau

Sumatera dan Jawa.

2.4.2. Struktur Zeolit

Si Al

-Atom O

Gambar 1. Struktur Kerangka Penyusun Zeolit

Kerangka dasar struktur zeolit terdiri dari unit-unit tetrahedral [AlO4]- dan

[SiO4] yang saling berhubungan melalui atom O (Barrer, 1987). Struktur kristal

zeolit membentuk suatu kerangka tetrahedron berantai dalam bentuk tiga dimensi.

(34)

Al, sedangkan atom-atom oksigen berada pada sudut-sudutnya. Rumus empiris

komposisi zeolit dapat dinyatakan sebagai berikut:

Mx/n[(AlO2)x(SiO2)y].wH2O

M = Kation alkali/alkali tanah

n = Valensi kation M (alkali/alkali tanah)

x, y = Jumlah tetrahedral per unit sel

w = Jumlah molekul air per unit sel

Kedudukan atom Al dalam posisi tetrahedra memerlukan tambahan

muatan positif sebagai penetral muatan listrik, seperti kation logam alkali atau

alkali tanah. Keadaan seperti ini yang menyebabkan zeolit dapat bersifat sebagai

penukar kation. Sedangkan pori-pori yang terdapat di dalam struktur kristal zeolit

diisi oleh molekul air. Pada umumnya pori-pori tersebut mencapai 20 – 30% dari

total volume kristalnya. Secara garis besar, struktur zeolit dibangun dalam tiga

bagian utama, yaitu:

a. Unit bangun primer (TO4), yaitu tetrahedron dari empat oksigen dengan atom

pusat tetrahedron (T) adalah Si4+ dan Al3+. Semua atom oksigen berada di

antara dua tetrahedron.

b. Unit bangun sekunder, yaitu susunan tetrahedron yang membentuk cincin,

seperti cincin tunggal berbentuk segi empat, segi enam, segi delapan, atau

kubus, prisma heksagonal, atau gabungan dari dua cincin segi empat.

(35)

2.4.3. Sifat – sifat Zeolit

a) Dehidrasi

Sifat dehidrasi zeolit berpengaruh terhadap sifat serapannya. Keunikan

zeolit terletak pada struktur porinya yang spesifik. Pada zeolit alam di dalam

pori-porinya terdapat kation-kation atau molekul air. Pori-pori zeolit akan semakin

terbuka bila zeolit dipanaskan. Keadaan seperti ini akan memungkinkan zeolit

dapat menyerap molekul-molekul yang mempunyai jari-jari lebih kecil dari

pori-pori zeolit tersebut. Kandungan air yang terperangkap di dalam rongga zeolit

biasanya berkisar antara 10 – 35% berat zeolit (Suhala, et al, 1997).

b) Penyerapan

Zeolit digunakan sebagai bahan penyerap karena sifatnya yang selektif dan

mempunyai kapasitas tukar kation yang cukup tinggi. Zeolit dapat memisahkan

molekul-molekul berdasarkan ukuran dan bentuk struktur kristal zeolit. Bila zeolit

dipanaskan maka air yang terkandung di dalamnya akan menguap. Zeolit yang

telah dipanaskan dapat berfungsi sebagai penyerap gas atau cairan (Khairinal,

2000). Jika beberapa molekul memasuki sistem pori zeolit, salah satu molekul

tersebut akan tertahan karena perbedaan kepolarannya. Mekanisme penyerapan

dengan zeolit dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu penyerapan fisik,

penyerapan kimia, atau gabungan dari keduanya (penyerapan fisik dan kimia).

Penyerapan tersebut bergantung kepada sifat unsur yang diserap, keasaman

(36)

c) Penukar Ion

Kation-kation yang terdapat pada rongga zeolit berguna untuk menjaga

kenetralan zeolit. Kation-kation ini dapat bergerak bebas sehingga pertukaran

kation yang terjadi tergantung dari ukuran dan muatan maupun jenis zeolitnya.

Sifat sebagai penukar ion dari zeolit antara lain tergantung dari sifat kation, suhu,

dan jenis anion (Bambang, 1998). Selain sebagai penukar kation, zeolit juga dapat

berfungsi sebagai penukar anion. Dalam hal ini, kedudukan dari gugus hidroksil

(OH-) pada zeolit memegang peranan penting. Gugus hidroksil pada zeolit dapat

dibentuk dengan metode deamonisasi melalui proses pertukaran ion NH4+ pada

zeolit.

d) Katalis

Zeolit sebagai katalis hanya mempengaruhi laju reaksi tanpa

mempengaruhi kesetimbangan reaksi. Katalis berpori dengan ukuran pori-pori

tertentu akan memuat molekul yang lebih kecil tetapi mencegah molekul yang

lebih besar masuk. Sebagai katalis, zeolit mempunyai keistimewaan, yaitu lama

pemakaian yang lebih panjang bila dibandingkan dengan bahan katalis lainnya.

e) Penyaring/pemisah

Zeolit sebagai penyaring molekul maupun pemisah didasarkan atas

perbedaan bentuk, ukuran, dan polaritas molekul yang disaring. Sifat ini

disebabkan karena zeolit mempunyai pori-pori yang cukup besar. Molekul yang

berukuran lebih kecil dari pori-pori zeolit dapat melintas sedangkan yang

(37)

ini disebut molecular sieve yang terdapat dalam substansi zeolit alam (Bambang,

1998). Diameter pori-pori zeolit bervariasi sesuai dengan jenis zeolit, seperti yang

dapat dilihat pada tabel 4.

2.4.4. Jenis-jenis Zeolit

a) Zeolit Alam

Zeolit alam merupakan senyawa alumino silikat terhidrasi, dengan unsur

yang terdiri dari kation alkali dan alkali tanah. Senyawa ini berstruktur tiga

dimensi dan mempunyai pori yang dapat diisi oleh molekul air. Zeolit alam

terbentuk karena adanya perubahan alam (zeolitisasi) dari bahan vulkanik dan

dapat digunakan secara langsung untuk berbagai keperluan, namun daya serap

maupun daya tukar ion zeolit ini belum maksimal. Untuk memperoleh zeolit

dengan daya guna tinggi diperlukan suatu perlakuan yaitu dengan aktivasi.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa zeolit alam mampu

dimanfaatkan sebagai adsorben limbah pencemar dari beberapa industri. Zeolit

mampu menyerap berbagai macam logam, antara lain Ni, Np, Pb, U, Zn, Ba, Ca,

Mg, Sr, Cd, Cu dan Hg (Kosmulski, 2001).

Perbandingan antara atom Si dan atom Al yang bervariasi akan

menghasilkan banyak jenis zeolit yang terdapat di alam. Sampai saat ini telah

ditemukan lebih dari 50 jenis zeolit alam. Namun, mineral pembentuk zeolit

hanya ada 8 besar jenisnya, seperti yang dapat dilihat pada tabel 4. Di Indonesia,

(38)

Tabel 4. Jenis Mineral Zeolit Alam dan Sifat Fisiknya

Jenis Mineral

Zeolit

Rumus Kimia Rasio Si/Al

Zeolit buatan merupakan hasil rekayasa manusia secara proses kimia yang

bisa dimodifikasi sesuai kebutuhan. Sifat zeolit yang dihasilkan tergantung dari

jumlah komponen atom Al dan atom Si dari zeolit tersebut. Salah satu jenis zeolit

buatan yang dihasilkan adalah Zeolit A (Na12[Al12Si12O48]27H2O). Zeolit buatan

lebih murni dan mempunyai kemampuan lebih luas dibandingkan dengan zeolit

alam, terutama sebagai bahan katalis.

2.4.5. Mordenit

Zeolit alam jenis mordenit mempunyai struktur kristal berbentuk

ortorombik, yang terdiri dari cincin 8 dan cincin 12. Cincin 8 dan cincin 12

(39)

dengan ukuran masing-masing 2,6 x 5,7 Å dan 6,7 x 7,0 Å serta mempunyai total

volume rongga 28% (Parikesit, Eko, 2003). Pada umumnya mordernit

mengandung ion Na, Ca dan K. Sifat adsorpsi mordenit ditentukan oleh ukuran

rongga, sehingga hanya molekul-molekul yang berdiameter lebih kecil yang dapat

diserap oleh mordenit terhidrasi (Judawati, Janis, 1993).

Gambar 2. Struktur Stereotip Mordenit

2.4.6. Aktivasi Zeolit

a) Aktivasi dengan Pemanasan

Pemanasan bertujuan untuk menguapkan air yang terperangkap di dalam

pori-pori kristal zeolit, sehingga luas permukaannya bertambah (Khairinal, 2000).

Pemanasan dilakukan selama 2 – 3 jam, tergantung besarnya kandungan unsur

pengotor yang ada serta stabilitas zeolit terhadap panas. Stabilitas ini dipengaruhi

oleh jenis mineral zeolit yang terkandung. Proses pemanasan zeolit dikontrol,

karena pemanasan yang berlebihan kemungkinan akan menyebabkan zeolit

(40)

b) Aktivasi secara Kimia

Aktivasi zeolit secara kimia dilakukan dengan cara perendaman dan

pengadukan zeolit dalam larutan asam (H2SO4 atau HCl) ataupun dalam larutan

basa (NaOH). Aktivasi ini bertujuan untuk membersihkan permukaan pori,

membuang senyawa pengotor dan mengatur kembali letak atom yang dapat

dipertukarkan. Proses aktivasi dengan asam dapat meningkatkan kristalinitas,

keasaman dan luas permukaan zeolit (Hari, 2001). Perlakuan asam telah berhasil

melepaskan alumunium dari kerangka zeolit dan mampu meningkatkan keasaman

zeolit. Peningkatan keasaman zeolit mampu memperbesar kemampuan

penyerapan zeolit. Hal itu terjadi karena banyaknya pori-pori zeolit yang terbuka

dan permukaan padatannya menjadi bersih dan luas (Heraldy, et al, 2003). Zeolit

dapat dimodifikasi menggunakan NaCl untuk menjadi zeolit unikation (Na-zeolit).

Zeolit ini cenderung bersifat netral (pH 6,8). Kondisi yang cenderung netral ini

dapat meningkatkan penyerapan zeolit (Amsiri, 2010).

2.4.7. Zeolit Alam Karangnunggal

Zeolit merupakan salah satu mineral yang banyak terdapat di daerah

sepanjang pantai selatan Provinsi Jawa Barat dan Banten. Salah satu daerah yang

banyak terdapat bijih zeolit adalah Kecamatan Karangnunggal, Kabupaten

Tasikmalaya. Kabupaten Tasikmalaya memiliki penyebaran deposit zeolit di

Karangnunggal, Cipatujah dan Cikalong dengan deposit kurang lebih 39.435.125

ton. Sampai saat ini usaha penambangan zeolit masih didominasi oleh usaha

penambangan tradisional skala kecil, sebagian juga usaha pertambangan skala

(41)

luar Kabupaten Tasikmalaya sehingga nilai tambah zeolit masih rendah. Zeolit

dari Tasikmalaya pada umumnya digunakan untuk keperluan pertanian seperti

bahan pelengkap penyerap pupuk, perikanan udang untuk menetralisir amonia dan

untuk keperluan industri penjernihan air (Sulistiyono, et al, 2009).

Zeolit alam Tasikmalaya berwarna kehijauan dan mempunyai kapasitas

tukar kation 114,5 – 162,2 meq/100g. Hasil analisis kandungan senyawa oksida dan prosentase yang terkandung dalam mineral zeolit alam Karangnunggal

menggunakan XRF dapat dilihat pada tabel 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa

zeolit hijau Karangnunggal merupakan zeolit dengan rasio Si/Al sebesar 5,05.

Hasil analisis lebih lajut menggunakan XRD untuk menentukan karakteristik

batuan zeolit menunjukkan bahwa zeolit hijau Karangnunggal merupakan jenis

mineral mordenit yang merupakan senyawa utama dari sampel ((Na2,Ca, K2) Al2

Si10 O24.7 H2O) (Sulistiyono, et al, 2009).

Tabel 5. Hasil Analisa XRF Zeolit Alam Karangnunggal

Sumber : Sulistiyono, Eko dan Murni Handayani, 2009

Senyawa Jumlah

CaO 1,65 %

Na2O 2,77 %

K2O 0,72 %

SiO2 78,92 %

Al2O3 15,62 %

MgO 0,05 %

(42)

2.5. Scanning Electron Microscopy (SEM)

Morfologi dari suatu material dapat diamati dengan menggunakan SEM.

Alat ini memiliki resolusi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan mikroskop

optik. SEM dan mikroskop optik metalurgi menggunakan prinsip refleksi, yaitu

permukaan spesimen memantulkan berkas media. Daya pisah atau resolusi

dibatasi oleh panjang gelombang media yang digunakan.

Sejak SEM dikembangkan, jauh lebih mudah untuk mempelajari struktur

permukaan secara langsung. Pada dasarnya teknik SEM merupakan pemeriksaan

dan analisis permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari

permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 μm dari permukaan. Gambar

permukaan yang diperoleh merupakan gambar topografi dengan segala tonjolan

dan lekukan permukaan. Gambar topografi permukaan diperoleh dari

penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Kata kunci dari

prinsip kerja SEM adalah scanning yang berarti bahwa berkas elektron

“memindai” permukaan spesimen, titik demi titik dengan pindaian membentuk

baris demi baris, mirip dengan gerakan mata yang membaca. Sinyal elektron

sekunder yang dihasilkannya pun adalah dari titik pada permukaan, yang

selanjutnya ditangkap oleh detektor SEM dan kemudian diolah dan ditampilkan

pada layar CRT (TV). Scanning coil yang mengarahkan berkas elektron

bersinkronisasi dengan pengarah berkas elektron pada tabung layar TV, sehingga

didapatkan gambar permukaan spesimen pada layar TV (Siswosuwarno, 1996).

SEM mempunyai resolusi tinggi bisa mencapai 150.000 kali dan dapat

digunakan untuk mengamati obyek benda berukuran nanometer. Meskipun

(43)

horizontal, sedangkan pemindaian secara vertikal (tinggi rendahnya struktur)

resolusinya rendah. Ini merupakan kelemahan SEM yang belum diketahui

pemecahannya.

Gambar 3. Skema Dasar Scanning Electron Microscopy (SEM)

Perkembangan mutakhir paling berarti adalah perolehan informasi

mengenai komposisi kimia. Mikroskopnya juga menggambarkan sebuah Energy

Dispersive X-ray spectrometer (EDX) yang dapat digunakan untuk menentukan

komposisi unsur dari sampel. Ketika sebuah sampel difoto oleh SEM, sinar

elektron juga diemisikan oleh sinar-X yang dibawa oleh EDX. Emisi sinar-X tiap

unsur khas dalam energi dan panjang gelombangnya, karena itu unit EDX mampu

menentukan tiap unsur yang merespon emisi tersebut. Data ini dapat ditambahkan

pada gambar SEM untuk menghasilkan sebuah peta unsur yang sebenarnya dari

(44)

2.6. Spektroskopi Serapan Atom (Atomic Absorption Spectroscopy/AAS)

Absorpsi atom telah dikenal bertahun-tahun yang lalu. Misalnya

garis-garis gelap pada frekuensi tertentu dalam spektrum matahari, kondisi ini pertama

kali diperhatikan oleh Wollaston dalam tahun 1802. Garis-garis ini ditemukan

ulang dan dipelajari lebih mendalam oleh Joseph van Fraunhover, dan diberi nama

garis-garis Fraunhover. Pentingnya garis-garis ini baru dipahami pada tahun 1859,

ketika Kirchhoff menerangkan asal-usulnya setelah mengamati gejala yang serupa

di laboratorium. Permukaan matahari yang tampak jauh lebih panas daripada

selimut gas yang mengitarinya, dan atom-atom dalam atmosfer itu menyerap

frekuensi-frekuensi yang khas dari dalam kontinum pancaran permukaan yang

lebih panas. Radiasi itu dipancarkan kembali, kalau tidak selimut itu akan menjadi

semakin panas, namun pancaran itu berlangsung ke segala arah. Kirchhoff dan

peneliti lainnya, terutama Bunsen (yang terkenal dengan pembakarnya),

mengidentifikasi sejumlah unsur dalam atmosfer matahari dengan

membandingkan frekuensi garis-garis Fraunhofer dengan frekuensi garis dari

unsur-unsur yang dikenal di laboratorium (Day, RA, 2002).

Sekarang ini AAS merupakan pilihan utama dalam analisis unsur,

terutama unsur logam dengan beberapa alasan, yaitu :

1) Dapat menetapkan kadar logam dari suatu campuran yang sangat kompleks

dengan cepat dan ketepatan tinggi.

2) Dapat menetapkan kadar logam tertentu dengan kepekatan yang sangat kecil

(45)

3) Dapat menetapkan kadar logam tertentu dengan kepekatan yang relatif kecil,

walaupun ada unsur lain yang kepekatannya relatif besar tanpa perlu

dilakukan pemisahan terlebih dahulu.

2.6.1. Prinsip Spektroskopi Serapan Atom

Teknik ini memanfaatkan penyerapan spektroskopi untuk menilai

konsentrasi suatu analit dalam sampel. Perhitungannya menggunakan hukum

Lambert Beer. Singkatnya, elektron suatu atom di dalam sistem atomisasi dapat

dipromosikan ke orbital yang lebih tinggi untuk waktu singkat dengan menyerap

sejumlah energi (cahaya dengan panjang gelombang tertentu). Jumlah energi (atau

panjang gelombang) spesifik untuk transisi elektron tertentu dalam unsur tertentu,

masing-masing mempunyai panjang gelombang sesuai hanya dengan satu unsur.

Teknik ini memberikan selektivitas yang mendasar.

Jumlah energi (daya) yang dimasukkan ke dalam pembakar diketahui, dan

kuantitas yang tersisa di sisi lain (di detektor) dapat diukur, dari hukum Lambert

Beer ada kemungkinan untuk menghitung berapa banyak transisi ini berlangsung,

dan dengan demikian mendapatkan sinyal yang sebanding dengan konsentrasi

unsur yang diukur. Energi yang diserap berbanding lurus dengan energi yang

diperlukan untuk eksitasi atom. Hubungan penyerapan sinar dengan konsentrasi

dinyatakan dalam hukum Lambert Beer, yaitu :

(46)

Keterangan :

A = Absorbansi

IO = Intensitas cahaya awal (c/s)

IC = Intensitas cahaya setelah diadsorb oleh sampel (c/s)

ε = Koefisien Ekstingsi molar (L/mol.cm) d = Tebal media (cm)

C = Konsentrasi atom analit dalam sampel (mol/L)

Hubungan antara serapan yang dialami oleh sinar dengan konsentrasi

analit dalam larutan standar biasa dipakai untuk menganalisa larutan sampel yang

tidak diketahui konsentrasinya. Yaitu dengan mengukur serapan yang diakibatkan

oleh larutan sampel tersebut terhadap sinar yang sama.

2.6.2. Instrumentasi Spektroskopi Serapan Atom

(47)

a) Sumber Cahaya

Terdiri dari lampu katoda berongga (hollow cathode lamp) yang di

dalamnya terdapat anoda Tungsen, katoda analit, dan unsur gas mulia seperti

argon atau neon. Sumber cahaya digunakan untuk memancarkan radiasi resonans

yang spesifik untuk setiap unsur dan menghasilkan cahaya monokromatik pada

panjang gelombang yang sesuai dengan elemen analit.

b) Sistem Atomisasi

Sistem pengatoman dengan nyala terdiri dari pengabut (nebulizer) yang

berfungsi untuk mengubah sampel larutan menjadi butir-butir halus (kabut),

pembakar (burner) yang berfungsi untuk mengubah kabut uap suatu unsur

menjadi atom-atom normal di dalam nyala, dan pengatur aliran gas serta kapiler.

c) Monokromator

Sistem pemilih panjang gelombang berfungsi untuk memisahkan radiasi

yang tidak diserap oleh populasi atom (yang berasal dari lampu katoda berongga)

dari radiasi-radiasi lain yang tidak diperlukan dan akan mengganggu pengukuran

intensitas radiasi yang diperlukan. Sistem monokromator terdiri dari gabungan

cermin, lensa, prisma atau kisi (grating), dan celah (slit). Hanya cahaya dengan

panjang gelombang tertentu yang diteruskan melalui celah (slit). Sistem

monokromator ini ada yang menggunakan saluran tunggal (single beam) dan

(48)

d) Detektor

Berfungsi untuk mendeteksi radiasi gelombang elektromagnetik yang akan

diukur dengan mengubah energi cahaya menjadi energi listrik di dalam

photomultifier untuk memudahkan pengukuran.

e) Sistem Pengolahan

Berfungsi untuk mengolah kuat arus yang dihasilkan oleh detektor

menjadi besaran daya serap atom transmisi yang selanjutnya diubah menjadi

besaran konsentrasi.

f) Pencatat (recorder)

Berfungsi untuk mencatat hasil yang dikeluarkan oleh sistem pengolahan.

(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI, Gedung 470 Kawasan PUSPIPTEK Serpong, Tangerang 15314. Penelitian dilakukan dari tanggal 8 Maret 2010 sampai dengan tanggal 9 Juli 2010.

3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan

Pasir kuarsa dari daerah Samboja, Samarinda, Kalimantan Timur. Natrium karbonat (Na2CO3), zeolit hijau dari daerah Cidadap Karangnunggal, Tasikmalaya, Jawa Barat. Aquades, asam sulfat (H2SO4) 1 N, larutan standar logam Fe, larutan standar logam Mg, larutan standar logam Ca.

3.2.2. Alat

(50)

3.3. Prosedur Kerja

3.3.1. Pemanggangan Pasir Kuarsa

Pasir kuarsa yang digunakan adalah pasir yang berasal dari daerah Samboja, Kalimantan Timur. Pasir dicuci dengan menggunakan air bersih sampai hilang kotoran berupa humus maupun lumpur. Setelah bersih, ditandai dengan filtrat yang sudah jernih. Campuran dikeringkan dalam oven pada temperatur 110°C selama 1 jam. Pasir yang sudah kering ditimbang sebanyak 165 gram dan dicampur dengan 135 gram natrium karbonat (Na2CO3), kemudian dicampur sampai merata dalam mixer. Setelah merata, campuran dimasukkan ke dalam krusibel tanah liat dan tanur diatur pada temperatur 1200°C. Setelah tercapai temperatur 1200°C, campuran ditahan dalam tanur selama 2 jam. Setelah itu, campuran dikeluarkan dalam kondisi cair dan dituangkan di tempat yang telah disediakan. Lelehan (natrium silikat) didinginkan pada temperatur ruang. Setelah dingin, natrium silikat digrinding sehingga menjadi bubuk.

3.3.2. Preparasi Larutan Natrium Silikat 10%

(51)

3.3.3. Preparasi Zeolit

Zeolit alam yang digunakan pada penelitian ini berasal dari daerah Cidadap, Karangnunggal. Zeolit yang digunakan berwarna hijau. Zeolit diperkecil ukurannya kurang lebih 2-3 cm, kemudian digrinding sampai menjadi serbuk. Setelah itu disaring dengan penyaring ayakan berukuran lubang 50 mesh.

3.3.4. Aktivasi Zeolit

Menurut (Rustam, 2001) dan (Yuhelda, 2004), aktivasi zeolit dilakukan dengan pemanasan dan secara kimia. Pertama oven diatur pada temperatur 300°C. Setelah tercapai temperatur yang diinginkan, 50 gram zeolit berukuran –50 mesh dimasukkan dan ditahan dalam oven selama 1 jam, kemudian zeolit didinginkan dalam desikator. Tahap selanjutnya zeolit hasil pemanasan dicampur ke dalam 500 ml H2SO4 dengan konsentrasi 1 N, dan diaduk pada temperatur ruang selama 1 jam. Zeolit kemudian dicuci dengan aquades sampai pH filtrat sama dengan pH aquades. Tahap akhir zeolit disaring dengan kertas saring Whatman No 40 dan dikeringkan dalam oven pada temperatur 105°C selama 2 jam. Zeolit hasil pengeringan didinginkan dalam desikator dan siap untuk digunakan.

3.3.5. Analisa SEM

Sampel yang telah bersih dan kering ditempelkan pada sample holder

(52)

3.3.6. Percobaan Batch

Percobaan batch dilakukan untuk mengetahui adsorpsi Fe3+, Mg2+, dan Ca2+. Percobaan dilakukan dengan menambahkan zeolit (yang sudah diaktivasi) ke dalam larutan natrium silikat. Percobaan dilakukan dengan beberapa parameter untuk mengetahui kondisi optimum adsorpsi zeolit.

3.3.6.1. Analisa Fe3+

3.3.6.1.1. Variasi Waktu Kontak

Sebanyak 1 gram zeolit yang sudah diaktivasi dicampur ke dalam 50 ml larutan natrium silikat (Na2SiO3) 0,03% dengan pH = 3. Kemudian diaduk pada temperatur 30°C dengan waktu yang berbeda (15, 30, 60, 90, 120, 150 menit). Setelah itu campuran disaring dengan kertas saring Whatman No 40. Filtrat yang dihasilkan dianalisa menggunakan AAS Analytic Jena novAA 300 untuk mengetahui penyerapan zeolit.

3.3.6.1.2. Variasi Massa Zeolit

(53)

3.3.6.1.3. Variasi pH

Sebanyak 3 gram zeolit yang sudah diaktivasi dicampur ke dalam 50 ml larutan natrium silikat (Na2SiO3) 0,03% dengan pH yang berbeda (2, 3, 4, 5, 6, 7, 8). Kemudian diaduk pada temperatur 30°C selama 60 menit. Setelah itu campuran disaring dengan kertas saring Whatman No 40. Filtrat yang dihasilkan dianalisa menggunakan AAS Analytic Jena novAA 300 untuk mengetahui penyerapan zeolit.

3.3.6.1.4. Variasi Temperatur

Sebanyak 3 gram zeolit yang sudah diaktivasi dicampur ke dalam 50 ml larutan natrium silikat (Na2SiO3) 0,03% dengan pH = 3. Kemudian diaduk pada temperatur yang berbeda (30, 40, 50, 60, 70, 80°C) selama 60 menit. Setelah itu campuran disaring dengan kertas saring Whatman No 40. Filtrat yang dihasilkan dianalisa menggunakan AAS Analytic Jena novAA 300 untuk mengetahui penyerapan zeolit.

3.3.6.1.5 Isoterm Adsorpsi

(54)

3.3.6.2. Analisa Mg2+ dan Ca2+ 3.3.6.2.1. Variasi pH

Sebanyak 2,5 gram zeolit yang sudah diaktivasi dicampur ke dalam 50 ml larutan natrium silikat (Na2SiO3) 0,1% dengan pH yang berbeda (2, 3, 4, 6, 8, 10). Kemudian diaduk pada temperatur 30°C selama 60 menit. Setelah itu campuran disaring dengan kertas saring Whatman No 40. Filtrat yang dihasilkan dianalisa menggunakan AAS Analytic Jena novAA 300 untuk mengetahui pada pH berapa penyerapan optimum zeolit.

3.3.6.2.2. Variasi Massa Zeolit

Zeolit yang sudah diaktivasi dengan massa yang berbeda (1, 3, 5, 7 gram) dicampur ke dalam 50 ml larutan natrium silikat (Na2SiO3) 0,1% dengan pH = 10. Kemudian diaduk pada temperatur 30°C selama 60 menit. Setelah itu campuran disaring dengan kertas saring Whatman No 40. Filtrat yang dihasilkan dianalisa menggunakan AAS Analytic Jena novAA 300 untuk mengetahui penyerapan optimum zeolit.

3.3.6.2.3. Variasi Waktu Kontak

(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efisiensi dan kapasitas penyerapan zeolit alam Karangnunggal terhadap unsur pengotor dalam larutan natrium silikat. Untuk mengetahuinya, maka peneliti mencari hubungan antara kemampuan penyerapan unsur pengotor oleh zeolit alam Karangnunggal dengan variasi waktu kontak, massa, pH dan temperatur.

4.1. Karakterisasi dan Identifikasi Pasir Kuarsa

Bahan baku yang digunakan adalah pasir kuarsa dari daerah Samboja, Samarinda, Kalimantan Timur. Pasir yang digunakan haruslah kuarsa yang hampir murni. Untuk itu dilakukan karakterisasi pasir kuarsa menggunakan SEM dan AAS. Hasil analisa menggunakan SEM dengan perbesaran 500 kali menunjukkan morfologi permukaan pasir kuarsa. Dari gambar 5 dapat dilihat bahwa hasil analisa ini identik dengan kuarsa komersil.

100 µm100 µm100 µm100 µm100 µm

(56)

Analisa menggunakan AAS juga dilakukan. Analisa ini dilakukan untuk mengetahui senyawa-senyawa pengotor apa saja yang terdapat di dalam pasir kuarsa. Hasil analisa AAS dapat dilihat pada tabel 6. Berdasarkan analisa AAS diketahui bahwa senyawa pengotor terbesar adalah Fe2O3 sebesar 0,19 %.

Tabel 6. Hasil Analisa XRF Pasir Kuarsa Samboja

Senyawa Jumlah (%)

SiO2 99,2

Fe2O3 0,19

Al2O3 0,063

TiO2 0,048

CaO 0,008 MgO 0,008

K2O 0,023

Na2O 0,020

LOI 0,39 Sumber : Laboratorium Pengujian tekMIRA, Bandung

4.2. Preparasi Larutan Natrium Silikat

Pasir kuarsa direaksikan dengan natrium karbonat (Na2CO3). Pasir kuarsa dan natrium karbonat (Na2CO3) akan melebur membentuk natrium silikat pada temperatur di atas 1200°C. Selanjutnya leburan didinginkan dengan cepat agar kristal yang diperoleh dapat larut dalam air dengan mudah, reaksi yang terjadi adalah :

(57)

Natrium karbonat (Na2CO3) ditambahkan ke dalam krusibel yang sebelumnya diisi dengan pasir silika, kedua bahan akan berdisosiasi menghasilkan natrium silikat dengan melepaskan karbon dioksida (CO2). Akhirnya, setelah proses peleburan dan degassing pada temperatur mencapai 1200°C, cairan didinginkan hingga temperatur kamar. Ion natrium terperangkap di dalam jaringan dan mengurangi jumlah jembatan/ikatan antar tetrahedra, seperti diperlihatkan pada gambar 6. Kation Na+ ini berpengaruh pada ukuran lubang/rongga dan diperkirakan terjadinya pembentukan klaster dan kation Na+ tidak terdistribusi secara acak dalam jaringan. Namun meskipun berfungsi sebagai fluks, natrium oksida sendiri menyebabkan gelas dapat larut dalam air (Smallman, et al, 2000).

Gambar 6. Struktur Ikatan Natrium Silikat

Titik leleh natrium silikat adalah sekitar 900°C, dan keadaan berkaca dihasilkan jika pendinginan melewati suhu tersebut dilakukan dengan cepat. Produknya, yang disebut “kaca-air” bersifat larut air. Natrium silikat yang dihasilkan kemudian dilarutkan dengan air mendidih. Hanya silikat logam-logam alkali larut dalam air. Zat-zat ini terhidrolisis dalam larutan air dan karenanya menghasilkan larutan basa, reaksi yang terjadi adalah :

(58)

Larutan natrium silikat ini kemudian direaksikan dengan zeolit untuk menghilangkan unsur pengotor yang terkandung di dalamnya. Proses adsorpsi dilakukan dengan metode batch.

4.3. Aktivasi Zeolit

Zeolit alam pada umumnya mempunyai ukuran pori-pori yang tidak sama. Aktivitas katalitik zeolit alam cenderung rendah dan banyak mengandung pengotor. Oleh karena itu, zeolit alam perlu diaktivasi dan dimodifikasi terlebih dahulu untuk meningkatkan manfaat dan kemampuannya (Pardoyo, et al, 2009).

Temperatur aktivasi zeolit mempengaruhi adsorpsi ion logam dalam larutan natrium silikat. Pemanasan zeolit bertujuan untuk menguapkan air yang terdapat pada permukaan zeolit sampai ke seluruh rongga atau pori-pori zeolit. Hal ini juga berfungsi untuk menguraikan senyawa-senyawa organik yang terdapat di dalam rongga atau pori-pori zeolit (Parikesit, 2003). Penguapan molekul-molekul air yang terperangkap di dalam pori-pori zeolit menghasilkan jumlah pori dan luas permukaan spesifik zeolit bertambah sehingga zeolit menjadi lebih efektif mengadsorpsi ion-ion logam (Susatyo, et al, 2009).

(59)

pori-pori zeolit yang terbuka dan permukaan padatannya menjadi bersih dan luas (Heraldy, et al, 2003).

Zeolit alam Karangnunggal yang sudah diaktivasi dan akan digunakan untuk proses selanjutnya dianalisa menggunakan SEM. Hasil analisa SEM dapat dilihat pada gambar 7. Hasil analisa menggunakan SEM dengan perbesaran 1000 kali menunjukkan morfologi permukaan zeolit. Dari gambar 7 dapat dilihat bahwa zeolit yang sudah diaktivasi permukaannya lebih bersih dari pengotor. Selain itu, zeolit yang sudah diaktivasi mempunyai ukuran partikel yang lebih kecil dan hampir sama. Semakin kecil ukuran partikel maka akan semakin efektif untuk menyerap unsur pengotor dalam larutan natrium silikat.

 

 

 

 

 

 

   

30 µm30 µm30 µm30 µm30 µm 30 µm30 µm30 µm30 µm30 µm

Zeolit Tanpa Aktivasi Zeolit yang Sudah Diaktivasi

Gambar 7. Morfologi Zeolit Alam Karangnunggal

 

(60)

Emisi sinar-X setiap unsur khas dalam energi dan panjang gelombangnya, karena itu unit EDX mampu menentukan setiap unsur yang merespon emisi tersebut. Data ini dapat ditambahkan pada gambar SEM untuk menghasilkan sebuah peta unsur yang sebenarnya dari permukaan sampel (Nuryadi, 2006).

Tabel 7. Hasil Analisa EDX Zeolit Alam Karangnunggal Unsur Zeolit Tanpa Aktivasi

(% massa)

Zeolit yang Sudah Diaktivasi (% massa)

C 33,54 31,42

O 42,91 41,70

Na 0,50 -

Al 2,92 3,35

Si 17,21 21,84

K 0,80 0,71

Ca 0,98 0,99

Cu 1,14 -

(61)

dealuminasi (lepasnya Al dari struktur zeolit). Zeolit yang diaktivasi dengan H2SO4 akan membentuk H-zeolit.

4.4. Penentuan Kondisi Optimum 

4.4.1. Analisa Ion Logam Fe3+

4.4.1.1. Hubungan Waktu Kontak dengan Penyerapan Fe3+

0

Gambar 8. Persentase ion logam Fe3+ yang diserap dari larutan natrium silikat dengan waktu kontak yang berbeda (massa zeolit 1 gr, pH = 3, temperatur 30°C, volume 50 ml, konsentrasi 0,03%).

Waktu kontak mempengaruhi adsorpsi ion logam Fe3+ dalam larutan natrium silikat. Dari gambar 8 dapat dilihat bahwa adsorpsi optimum dihasilkan pada larutan natrium silikat yang direaksikan dengan zeolit selama 60 menit, yaitu sebesar 53,64 %.

(62)

adsorpsi sudah lewat jenuh sehingga terjadinya pelepasan kembali ion-ion logam Fe3+ yang sudah terikat pada zeolit. Kemungkinan lain adalah pada proses adsorpsi yang relatif lama menyebabkan pori-pori adsorben mengalami penyusutan kembali (Kadarwati dan Bagus Setyo, 2009). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan Isoterm Langmuir dan Freundlich dapat diketahui bahwa proses adsorpsi yang terjadi adalah adsorpsi fisika. Sehingga ikatan yang terjadi merupakan ikatan lemah.

4.4.1.2. Hubungan Massa Zeolit dengan Penyerapan Fe3+

70

Gambar 9. Persentase ion logam Fe3+ yang diserap dari larutan natrium silikat dengan massa zeolit yang berbeda (pH = 3, temperatur 30°C, waktu kontak 60 menit, volume 50 ml, konsentrasi 0,03%).

(63)

Gambar 9 menunjukkan bahwa adsorpsi optimum dihasilkan pada larutan yang direaksikan dengan 3 gram zeolit, yaitu sebesar 81,81 %. Larutan yang direaksikan dengan massa zeolit kurang dari 3 gram belum optimal. Hal ini dikarenakan kurangnya sisi aktif dan rongga-rongga zeolit untuk menyerap ion logam Fe3+. Larutan yang direaksikan dengan massa zeolit lebih dari 3 gram juga tidak optimal. Hal ini kemungkinan dikarenakan dengan semakin banyaknya jumlah zeolit yang digunakan, larutan natrium silikat menjadi semakin asam. Kondisi pH larutan yang semakin asam memungkinkan terjadinya reaksi pelepasan ion Fe3+ kembali. Massa yang digunakan harus seminimal mungkin agar aplikasinya ekonomis pada skala lapangan.

4.4.1.3. Hubungan pH dengan Penyerapan Fe3+

0

(64)

Kemampuan penyerapan suatu sorben dapat dipengaruhi oleh pH larutan. Hal ini berhubungan dengan protonasi atau deprotonasi permukaan sisi aktif dari sorben (Nurhasni, 2002). Keasaman dan kebasaan larutan natrium silikat mempengaruhi adsorpsi ion logam Fe3+. Dari gambar 10 dapat dilihat bahwa adsorpsi optimum dihasilkan pada larutan natrium silikat dengan pH 3, yaitu sebesar 76,05 %. Adsorpsi ion logam Fe pada larutan natrium silikat dengan pH kurang dari 3 tidak optimal. Hal ini dikarenakan konsentrasi H+ yang terlalu besar, sehingga terjadi kompetisi antara H+ dengan alkali dan alkali tanah yang terdapat di dalam kerangka zeolit. Kompetisi ini mengakibatkan terganggunya proses pertukaran ion dan penyerapan terhadap ion logam Fe3+.

Reaksi antara H+ dengan logam alkali dan alkali tanah pada kerangka zeolit ditunjukkan oleh reaksi di bawah ini :

(M+)z + (H+)l (M+)l + (H+)z M : alkali / alkali tanah

Z : padatan Zeolit l : Fase Larutan

Gambar

Tabel 2. Hasil Analisa XRF Komposisi Kimia Pasir Kuarsa Indonesia ...........    10
gambaran tentang adsorpsi zat terlarut dari larutan oleh zat padat.
Tabel 1. Perbedaan Isoterm Adsorpsi Langmuir dan Freundlich
Tabel 2. Hasil Analisa XRF Komposisi Kimia Pasir Kuarsa Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

berdasarkan pada data yang telah diperoleh pada saat kegiatan riset, atau bisa. juga disesuaikan dengan storyboard yang telah dirancang pada

Dari persamaan yang terbentuk diketahui bahwa nilai koefesien regresi untuk variabel locus of control eksternal dengan nilai koefesien regresi sebesar 0,831 dengan

Salah satu cara termudah untuk melihat normal residual adalah dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara data observasidengan distribusi yang

Sistem informasi terbentuk dari komponen-komponen perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan perangkat manusia (brainware), dalam teori manajemen untuk

pada tahun 2009 dalam penelitiannya menyatakan bahwa resistensi dapat terjadi karena penggunaan obat yang tidak tepat dan tidak teratur, sehingga menimbulkan

[r]

adalah suatu metode untuk menaksir waktu akan digunakan dalam suatu pekerjaan. Tugas manajer operasional selanjutnya adalah mengukur waktu dari satu pekerjaan,

Dalam rangka ini maka Kelompok Kerja Ekuin diharapkan dapat merinci hal-hal apakah yang perlu diperhatikan agar baik peraturan Hukum maupun berbagai organisasi dan lembaga hukum