• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pangaruh akal terhadap istinbat (penetapan) hukum Islam ;studi komperatif Imam Syafi'i dan Imam Ja'far

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pangaruh akal terhadap istinbat (penetapan) hukum Islam ;studi komperatif Imam Syafi'i dan Imam Ja'far"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH AKAL TERHADAP ISTINBAT (PENETAPAN) HUKUM ISLAM

(Studi Komparatif Imam Syafi’i dan Imam Ja’far)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : BAROZI NIM : 204043203073

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HDAYATULLAH JAKARTA

(2)

PENGARUH AKAL TERHADAP ISTINBAT (PENETAPAN) HUKUM

ISLAM

(Studi Komparatif Imam Syafi’i dan Imam Ja’far)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Islam (SHI)

Oleh:

BAROJI NIM : 2040 43203073

Di Bawah Bimbingan

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HDAYATULLAH JAKARTA

1431 H / 2010 M

Pembimbing I

Prof. Dr. Jaenal Aripin,M.Ag NIP : 197210161998031004

Pembimbing II

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul Pengaruh Akal Terhadap Istinbat (Penetapan) Hukum Islam telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 10 februari 2011 skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada jurusan Perbandingan Hukum.

Jakarta 10 februari 2011 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., MA., MM. Nip. 1955051982031012

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag (...) Nip 196404121994031004

Sekretaris : Syafi’i, SE.I (...) Nip.

Pembimbing I : Dr. Jaenal Arifin M.Ag (...) Nip. 197210161998031004

Pembimbing II : Dedy Nursamsi, SH., M.HUM (...) Nip. 196111011993031002

Penguji I : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. (...) Nip. 195703121985031003

(4)

KATA PENGANTAR

ﻢﻴﺣﺮﻟﺍ ﻦﲪﺮﻟﺍ ﷲﺍ ﻢﺴﺑ

Alhamdulillahrabbil’alamin, segala puji hanya bermuara kepadan-Nya sang Khaliq penggenggam setiap jiwa, yang menjadikan diri ini tetap tegar dalam setiap ikhtiar dalam melanjutkan penulisan skripsi ini hingga selesai. Dengan segena keridhoan-Nya, penulis senantasa mendapat kemudahan baik dari segi teknis, materi, tenaga, waktu maupun pikiran.

Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasul yang merentas jalan cahaya di masa jahiliyah yang senantiasa gigih berjuang dan tidak pernah letih memperjuangkan syari’at Islam.

Selama penyusuan skripsi ini, tidak ada sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami penulis. Penulis menyadari skrpsi ini bukanlah suatu ukuran atau acuan dalam penyusunan karya ilmiah, tetapi masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membantu selalu penulis harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut.

Suksesnya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atas usaha penulis pribadi namun juga karena bimbingan, bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,. MA,. MM. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. Djawahir Huzziey,. SH,. MA. Dan Drs,.H. Ahmad Yani, MAg sebagai Ketua

(5)

3. Dr. Jaenal Arifin dan Dedy Nursamsi selaku pembimbing dalam penyusunan skripsi ini, beliau dengan sabar melayani, membantu dan meluangkan waktunya untuk penulis

4. bapak kepala dan staf perpustakaan fakultas syariah dan hukum yang telah mengijinkan penulis untuk membaca dan meminjamkan buku dalam pengumpulan data.

5. rekan – rekan yang telah memotivasi dan membantu dalam menelesaikan skripsi ini.

6. kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu hingga terselesainnya skripsi ini.

Kepada para pihak di atas, penulis mendo’akan semoga amal baik dan keikhlasannya dalam membantu penulis diterima Allah SWT. Sehingga mendapatkan imbalan yang berlipat ganda.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan-kesalahan yang menuntut perbaikan serta bimbingan, untuk itu penyusun mengharapkan saran dan kritik guna untuk mendekati kesempurnaan di masa yang akan datang. Dan semua kekeliruan dan kesalahan yang terdapat adalah tanggung jawab penulis.

Akhirnya penulis harapkan mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, 10 februari 2011

(6)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah ………..…1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...8

D. Metode Penelitian ………...9

E. Preview Penelitian ………....11

F. Sistematika Penulisan ………...13

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG SUMBER HUKUM ISLAM A. Tinjauan Sumber Hukum Islam Yang It’ipak (Sepakat)……….………..…15

1. Al-Qur’an………..………….17

2. Sunnah (Hadist)……….…………....22

B. Tinjauan Sumber Hukum Islam Yang Ikhtilaf (Pertentangan)………..….………..….36

1 Ijma ……….……….27

2 Qiyas………..…………....31

3 Istihsan………..……….35

4 Maslahah Mursalah………..…..37

(7)

BAB III : PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM JA’FAR TENTANG PERAN AKAL TERHADAP ISTINBAT HUKUM ISLAM

A. Biografi Imam Syafi’i……….………...……….40 B. Biografi Imam Ja’far Ash-Siddiq………...46 C. Pendapat Imam Syafi’idan Imam Ja’far Dalam Peran Akal Terhadap

Istimbat Hukum Islam………51

BAB IV : KOMPARASI PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM JA’FAR TENTANG PERAN AKAL TERHADAP ISTINBAT HUKUM ISLAM

A. Persamaan dan Perbedaan Dalam penggunaan Dalil ………. …….60 B. Analisa Komfarasi dan Implikasi ………..………. 69

BAB V : PENUTUP

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Arab sebelum Islam adalah komunitas tradisional atau suku-suku yang dipimpin oleh kepala keluarga atau sesepuh. Mereka saling mengenal, mengetahui asal-usul dan kebiasaan sosial masing-masing, inilah yang disebut masyarakat tatap muka. Masyarakat Arab kemudian berubah peradabannya menjadi sistem pemerintahan kerajaan. Contoh terbaik dari jenis peradaban seperti kerajaan Umayyah dan Abbasiyah. Selama pemerintahan Abbasiah, masyarakat tengah berusaha mempelajari berbagai naskah tentang filsafat logika, etimologi, karya sastra dari berbagai penjuru dan bahkan karya-karya dari luar dunia Islam.1

Dengan masuknya karya-karya dari luar ke dunia Islam maka sedikit demi sedikit perkembangan dunia Islam mulai terlihat, hal ini tidak bisa dipungkiri. Masyarakat mulai menggunakan logika sebagai alat untuk mencari suatu hukum yang memang belum ada dalam nash, dan bentuk argumen yang terpenting dikelompokkan dalam Qiyas tentu Anologi, yang merupakan pola dasar dari semua argumen hukum, dalam pikiran sebagian teolog dan fuqaha, menjadi pola dasar dari semua argumen logis.2

Berpikir atau berfilsafat penting sekali dalam mempelajari agama, oleh karena itu manusia telah banyak melakukan kekeliruan-kekeliruan dalam berpikir, maka ia telah

1

A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukun Allah (Syariah), (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2002), Cet, Pertama, h.96.

2

(9)

dapat pula mengadakan macam-macam cara atau metode untuk menghindarkan diri mereka dari kekeliruan-kekeliruan dan mereka mulai melakukan penerjemahan.

Kegiatan menerjemahkan itu semarak pada zaman Al-Ma’mun, beliaulah yang telah berusaha meningkatkan penerjemahan yang sistematis dan menentukan dengan cara mendirikan Bait Al-Hikmah, yaitu suatu lembaga tempat diadakannya penerjemahan dan penelitian yang lengkap, dengan perpustakaan yang menyimpan buku-buku karya para ilmuwan.

Dengan kegiatan penerjemahan itu sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, Platinus karangan dalam ilmu kedokteran dan ilmu pengetahuan lainnya dibaca oleh para ulama-ulama yang tersebar, tidak hanya di Baghdad tetapi di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Dalam bidang filsafat muncullah para filosof seperti Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Rasyid, pemikiran filsafat Yunani, yang mempengaruhi pemikiran mereka adalah yang berasal dari pemikiran Aristoteles, Plato.3

Terlebih lagi, setelah terjadinya penerjemahan buku-buku dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, maka filsafat Yunani, menjadi tidak asing lagi di kalangan para ulama maupun di kalangan para akademisi muslim. Dengan bahasa lain, tradisi filsafat Yunani banyak memberikan pengaruh dalam cabang-cabang keilmuan islam dan adanya unsur-unsur Yunani ini bukan berarti semua hukum Islam itu merupakan hasil adopsi dari Yunani, melainkan hanya beberapa sisi saja, yaitu unsur-unsur yang tidak didapatkan secara tegas dalam sumber hukum islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah), dan itupun bila tidak bertentangan dengan semangat Islam, seperti konsep qiyas yang berada dalam ushul fiqih.

3

(10)

Qiyas secara umum diartikan sebagai analogi baik menganalogikan kepada hukum, alam ataupun kepada benda-benda lainnya, dengan diartikannya qiyas sebagai analogi sehingga :

1) Keempat aliran hukum (Islam) sepakat bahwa semua masalah yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an, Sunnah maupun Ij’ma, hukumnya dapat disimpulkan dari apa yang telah didasarkan pada tiga otoritas ini dengan menggunakan qiyas, yang secara umum diterjemahkan dengan analogi. Seperti ulama Hanafiah mendefinisikannya sebagai perluasan hukum dari nash asli ke dalam proses yang digunakan pada suatu kasus tertentu dengan memakai illat umum, yang tidak dapat diketahui jika hanya dengan menafsirkan bahasa yang dipakai oleh nash.4

2) Al-Mazani mengatakan bahwa para ahli fiqh pada zaman Rasulullah SAW, sampai zaman sekarang dan seterusnya nenpergunakan qiyas dalam berbagai permasalahan fiqih, mereka sepakat bahwa sesuatu yang setara dengan kebenaran adalah kebenaran, dan yang setara dengan kebatilan adalah kebatilan. Maka, tidak diperkenankan bagi siapapun untuk mengingkari qiyas, dimana Qiyas sebagai perumpamaan dengan beberapa perkara dan mengambil simpel-simpel (contoh-contoh) yang sesuai dengannya.5

3) Tetapi menurut pandangan Syi’ah adalah bahwa karena Qiyas (analogi) merupakan dugaan dan terkaan murni, dan karena jumlah keseluruhan apa yang telah diterima oleh Nabi, dan para Imam memadai untuk tanggung jawab

4

Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan System Hukum Islam, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana), h.107.

5

(11)

semua, perujukan pada analogi dilarang keras.6 Jadi di sini aliran Syi’ah tidak menggunakan Qiyas sebagai sumber hukum setelah ijma tetapi menggunakan akal, bahkan mereka melarang dalam penggunaan analogi (Qiyas).

Definisi di atas menunjukan kepada fakta bahwa ada dua golongan yang berbeda dalam menentukan atau menetapan (isthinbat) sumber hukum Islam setelah ijma, yang satu menggunakan Qiyas sebagai sumber hukum Islam dan yang satu lagi melarang menggunakan Qiyas sebagai sumber hukum.

Kata Isthinbat berasal dari bahasa Arab, fi’il madinya nabatha artinya keluar, sedangkan fi’il amarnya adalah istimbat mengikuti wajan istap’ala yang mengandung arti menetapkan atau mengeluarkan.7 Penetapan yang dimaksud disini adalah menetapkan berdasarkan ijtihad.

Fiqih Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist, namun memahami maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis itu berbeda-beda, dan disamping itu tentunya para Imam Mazhab berbeda-beda juga kemampuan dan lingkungan yang mempengaruhi mereka berpikir.

Selain itu tolak ukur mempunyai corak dan bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan prinsip-prinsip profesi, ilmu, dan kaidahnya. Misalnya, tolak ukur para ahli fiqih tidak serupa dengan tolak ukur para dokter, tolak ukur para ahli astronomi berbeda dengan tolak ukur ahli nahwu dan ahli ilmu kalam, serta tolak ukur ahli filsafat dan mantiq tidak sama dengan tolak ukur tukang debat, demikian pula tolak ukur mereka dalam masalah-masalah fisika dan ketuhanan berbeda-beda. sesuai dengan perbedaan

6

Murtadha Murthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Zahra, 2003), Cet, Pertama, h.18.

7

(12)

orientasi ilmiah masing-masing, walaupun obyek kajian mereka sama, maka akan tetap terjadi perbedaan diantara mereka karena masing-masing berpikir dengan metode ilmiah yang berbeda.8

Perbedaan pendapat yang timbul dari fakto-faktor di atas, bukanlah berarti menunjukan kelemahan, bahkan adalah sebagai pertanda ketinggian dan kematangan mereka berpikir.

Begitulah para fukaha pada masa yang lampau apabila terdapat perbedaan pendapat diantara mereka dalam suatu masalah dan tidak mungkin mempertemukan semua pendapat itu, maka tiap-tiap orang berpegang pada pendapatnya masing-masing dan selalu menghormati pendapat orang lain, dengan tanggapan kemungkinan pendapat yang dikiranya benar itu salah dan kemungkinan pendapat yang dikiranya salah itu benar.9 Seperti perbedaan pendapat tentang metode (cara) yang digunakan dalam penggalian hukum Islam walau mereka (fuqaha) sepakat bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai sumber hukum Islam yang paling utama. Akan tetapi, dalam perkembangannya, terdapat perbedaan pendapat antara aliran Sunni dan Syi’ah dalam menentukan sumber hukum Islam setelah ijma.

Kategori ulama Madzhab Sunni jauh sekali perbedaannya dengan ulama Mazdhab Syi’ah. Ulama Mazdhab Sunni mendudukkan Qiyas pada urutan ketiga setelah Al-Qur’an, dan Al-Hadis, sedangkan Ulama Mazdhab Syi’ah setelah Al-Hadist ditempati dengan akal. Untuk itu, Dengan adanya ungkapan di atas maka penulis merasa perlu sekali untuk membahas serta meneliti tentang pengaruh akal dalam menentukan sumber hukum Islam yang sangat berbeda antara Imam Syafi’i dan Imam Ja’far, keduanya dari

8

Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: PT. Logos, 1996), Cet pertama, h.2-3.

9

(13)

aliran yang berbeda, Imam As-Syafi’i itu dari aliran Sunni sedangkan Imam Ja’far Ash-Siddiq itu dari aliran Syi’ah, serta bagaimana konsep akal yang digunakan oleh kedua imam tersebut .

Bagi penulis ini semua adalah sebagai upaya pengetahuan dan perkembangan dalam bidang ilmu serta hukum yang dipakai oleh kedua imam tersebut yang memang alirannya berbeda.

B. Pembatasan Perumusan masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah pokok yang hendak diteliti dan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana jalan yang ditempuh oleh Imam Syafi’i ketika masalah tersebut tidak ada dalam nash, sunnah, sedangkan bagaimana pula dengan Imam Ja’far ?

Dengan melihat dua pandangan yang berbeda antara Imam Syafi’i dengan Imam Ja’far tentang akal maka akan timbul beberapa pembatasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut :

a. Perbedaan dan persamaan menentukan Sumber Hukum Islam

b. Akal dalam isthimbat (penetapan) hukum islam menurut Imam Syafi’i dan Imam Ja’far

2. Perumusan Masalah

(14)

a. Bagaimana pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ja’far terhadap peran akal dalam istinbat (penetapan) Hukum Islam?

b. Apa sajakah dalil yang di gunakan Imam Syafi’i dan Imam ja’far dalam menggunakan akal untuk Istinbat (penetapan) Hukum Islam? dan

c. Bagaimanakah analisis komparasi pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ja’far tentang peran akal terhadap istinbat (penetapan) Hukum Islam?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Fakultas Syariah dan Hukum, sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui dasar perbedaan pendapat terhadap peran akal dalam isthimbat (penetapan) Hukum Islam

b. Mengetahui persamaan dan perbedaan dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i dan imam Ja’fa dalam pengunaan akal untuk isthimbat (penetapan) Hukm Islam.

c. menganalisa pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ja’far dalam isthimbat (penetapan) Hukum Islam

2. Manfaat Penelitian

(15)

a. Penulis sendiri dan mahasiswa UIN pada khususnya b. Dan untuk memperkaya khazanah pengetahuan islam. D. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif analisis. Data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tema-tema yang akan dibahas, serta data-data tersebut dipaparkan secara sistematis dan dilengkapi dengan analisis, kritik, kesimpulan dan saran.

Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dan deskriptif komperatif. Terhadap data kualitatif dalam hal ini dilakukan dalam hal data yang berupa informasi, uraian dalam bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapat kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya, sehingga dapat memperoleh suatu gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dan juga sebaliknya.10 Sedangkan analisis dalam deskriptif-komparatif data yang diperoleh kemudian dianalisis selanjutnya ditarik kesimpulan dan diperbandingkan dengan kedua analisis tersebut.

Sedangkan teknik pengumpulan data, penulis menggunakan cara studi dokumentasi yakni dengan cara mengumpulkan dokumen yang telah ada serta memiliki kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas.

Adapun jenis data yang digunakan dalam peneitian ini adalah :

1. Bahan hukum primer : sumber-sumber yang digunakan sebagai acuan utama pada penulisan skripsi ini. Berupa Al-Qur’an, Hadist, dan Kitab-kitab, adapun buku yang jadi patokan antara lain :

10

(16)

Abi Abdullah Muhammad Ibn Idris Assyafi’i, Al-Umm, Muhammad bin Idris bin Syafi’i, Al-Umm,Ringkasan kitab Al-Umm karangan Husain Abdul Hamid Abu Nasir Nail , Hasyiatul Bajuri karangan Syah Ibrahim Al-Bajuri, Latoipul Isyaroh karangan Imam Syaripudin Yahya Al-Imriti, Khasiatul Addamyati A’la Syarhil Waroqot karangan Syah Ahmad bin Muhammad Addamyati, Sedangkan buku yang diambil dari imam Jafar adalah Ja’far Shadiq Sang Maha Guru karangan The Ahlul Bayt Word Asembly, Pengantar Ilmu-ilmu Islam karangan Murthadha Muthahhari, Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Syiah Al-Imamiyah karangan Sayyid Muhbbuddin Al-Khatib, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah karangan Dr.Jaenal Aripin, MA, Ushul Fiqih Mazhab Aristoteles karangan Muhammad Roy dan didukung oleh buku-buku Ushul Fiqih, Filsafat dan sejarah lainnya.

2. Bahan hukum sekunder : sumber-sumber yang digunakan sebagai penjelasan atau pendukung dari bahan primer dan dapat membantu, menganalisa dan memahami bahan hukum primer

3. Bahan hukum tersier : sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari bahan sekunder dan primer untuk memberikan deskripsi yang lebih rinci terhadap kajian yang menjadi objek penelitian yang meliputi bibliografi, kamus dan ensiklopedi dan lain sebagainya.

(17)

Setelah diperoleh data dari berbagai sumber (primer dan sekunder) yang berkaitan dengan objek penelitian, maka selanjutnya adalah dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh tersebut.

` Adapun teknik penulisannya, penulis berpedoman kepada buku pedoman penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

E. Preview Studi Terdahulu

Penelitian akal sudah menjadi tema umum yang mudah ditemukan, namun untuk tema yang berkenaan dengan pengaruh akal terhadap istimbat hukum belum penulis temukan akan tetapi untuk bahan rujukan penulis, ada beberapa skripsi yang membahas tentang akal :

1. Peranan Qiyas Dalam Menetapkan Hukum Islam Studi Banding Pemikiran Sunni dan Syi’ah. Oleh : Ismail Marjuki, SJPMH, Tahun 2003

2. Metode Ijtihad Imam Malik dan Imam Daud Ad-Dhahiri, Suatu Perbandingan Terhadap Konsep Qiyas Imam Malik dan Konsep Dalil Imam Ad-Dhahiri. Oleh : Ahmad Humaidi, SJPMH, Tahun 2003

(18)

Qiyas menurut mazhab Sunnni dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum islam dan mempunyai peranan penting dalam mengistimbatkan hukum islam. Akan tetapi mengambil metode qiyas setelah dida lam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ditemukan suatu hukum yang jelas. Dasar hukum yang mereka gunakan berdasarkan kepada ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pendapat berbagai sahabat Rasulullah SAW. Pengaruh dari kedua golongan tersebut sangat berbeda akan tetapi pengaruh dari pemikirannya mempunyai peranan yang sangat besar dan jelas serta dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana diketahui bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para fuqaha itu berbeda dalam menggunakan metodenya yang berkisar pada permasalahan atau suatu kejadian yang tidak terdapat dalam nash, salah satunya metode Qiyas yang digunakan sebagai metode pemecahannya, bukanlah penulis meniadakan metode qiyas tapi disinilah letak permasalahannya : seperti Imam Malik ketika tidak terdapat dalam nash dan sunnah beliau menggunakan Qiyas sebagai metode ijtihadnya, sedangkan Imam Ja’far menggunakan akal.

Dalil akal adalah salah satu metode ijtihad yang digunakan Imam Ja’far dan dijadikan sebagai sumber hukum islam setelah ijma, keberadaanya merupakan sebuah reaksi sebagai suatu penolakan terhadap qiyas.

F. Sistematika Penulisan

(19)

Bab I : Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalahan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (Review) kajian terdahulu, kerangka teori dan kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Bab ini berisi tentang tinjauan sumber hukum islam menurut Imam Syafi’i dan Imam Ja’far.

Bab III : Pada bab ini penulis akan membahas mengenai biografi Imam Syafi’ dan Imam Ja’far, . Pendapat Imam Malik dan Imam Ja’far Dalam Peran Akal Terhadap Istimbat Hukum Islam.

Bab IV : Pada bab ini penulis akan membahas mengenai Analisa Terhadap Dalil-dalil Yang Digunakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ja’far Serta Persamaan dan Perbedaannya, Analisa Komfarasi Pendapat Imam Maliki dan Imam Ja’far Tentang Peran Akal Terhadap Istimbat Hukum Islam, dan Implikasi Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ja’far Terhadap Penetapan Hukum.

(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG SUMBER HUKUM ISLAM DAN AKAL

A. Tinjauan Sumber Hukum Islam Yang Ikhtifak

Pada uraian ini, penulis akan mencoba menguraikan tentang kajian usul fiqh yang mengajarkan, perintah-perintah dan metode penyimpulan hukum syariat yang tepat dan valid dari sumber yang sahih. Sekarang penulis akan mempelajari apa sumber-sumber itu, dan berapa banyak sumber-sumber-sumber-sumber itu, serta apakah semua mazhab dan aliran dalam islam mempunyai pandangan yang sama tentang masing-masing detail sumber-sumber hukum Islam itu atau apakah mereka mempunyai pandangan yang berlainan. Jika memang ada perbedaan-perbedaan pendapat, para ulama terdahulu itu merasa bahagia dengan adanya perbedaan pendapat, karena berbeda dalam kesatuan, sesuatu ummat akan maju, pikirannya akan berkembang dan ajaran agamanya akan tetap up to date serta dapat menjawab semua tuntutan perkembangan dunia dalam bidang hukum.

Oleh karena itu, para ulama terdahulu telah mengungkapkan sikap dan pikirannya terhadap masalah ikhtilaafaatun fiqhiyatun ini. Berikut ini penulis kutipkan diantaranya:

1) Abu Na’iim meriwayatkan bahwa Imam Sofyan Ats-Stauri mengatakan’ apabila kamu melihat seseorang berbuat sesuatu masalah ikhtilafiyah yang berbeda dengan yang kamu lakukan maka janganlah kamu melarangnya’. (Abi Na’iim,)

(21)

3) Almawarzy meriwayatkan, bahwa Imam Ahmad mengatakan, ‘tidak pantas bagi seorang faqqih untuk menggiring umat, guna memilih suatu mazdhab, apabila memaksakannya,’ (Ibnu Muflih, Al Aadaabusy Syar’iyyah, j. 1, h. 186)

4) Ibnu Rajab Al-Hambaly meriwayatkan bahwa Abu Ya’laa mengatakn ‘kemungkaran yang wajib dibasmi adalah kemungkaran yang telah di ijma’i ummat, sedangkan kemungkaraan yang bersifat ikhtilafiyah, maka tidak wajib disanggah bila dilakukan oleh mujtahid, ataupun oleh orang-orang yang lain,’ (Abi Ya’laa, Al Ahkaamus Sulthaaniyah, h.297)11

Apakah perbedaan-perbedaan yang ada dalam sumber hukum Islam itu?

Pertama, penulis akan membahas sumber-sumber hukum Islam yang disepakati seraya menjelaskan masing-masing sumber itu, yang kedua sumber-sumber hukum Islam yang ikhtilaf. Adapun sumber hukum Islam yang ithifak (disepakati) adalah :

1. Al-qur’an

Al-qur’an merupakan sumber hukum Islam yang primer pertama ataupun dalil fiqh yang paling agung dan utama, ia adalah kitab Allah atau kumpulan firman Allah yang tidak datang kepadanya kebatilan. baik dari depan ataupun dari belakang.12

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, bagi muslim Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini, di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dan mencapai kebahagian hidup baik di dunia maupun di akhirat.

11

Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, (Jakarta: Erlangga 1989), h.40.

12

(22)

Al-Qur’an adalah sumber hukum yang sekaligus sebagai dalil hukum yang utama dan pertama terdapat dalam wahyu Allah SWT, yaitu kitab suci Qur’an nama dari Al-Qur’an seperti yang disebutkannya sendiri bermacam-macam, dan masing-masing nama itu mengandung arti dan makna tertentu, antara lain :

a. Al-Kitab, artinya buku atau tulisan arti itu untuk mengingatkan kaum muslimin supaya membukukannya menjadi buku, atau kitab suci, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :

َذِﻟ

َﻚ

ْﻟا

ِﻜَﺘ

ُﺐ

َﻻ

َر

ْﯾ

َﺐ

ِﻓْﯿ

ِﮫ

ُھ

ًﺪ

ِﱢﻟ ي

ْﻠُﻤ

ﱠﺘِﻘ

ْﯿ

َﻦ

)

هﺮﻘﺒﻟا

:

(

Artinya : ”Kitab[a] (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi

mereka yang berbakti”, (QS, Al-Baqarah : 2) 13

b. Al-Qur’an artinya bacaan, arti ini untuk mengingatkan supaya ia dipelihara atau dihapal bacaannya diluar kepala. atau bacaan yang mulia, sebagaimana firman Allah SWT :





)

ﺔﻣﺎﯿﻘﻟا

:

(

Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”. (QS. Al-Qiyamah : 17-18).

Al-Furqan, artinya pemisah atau pembeda, arti ini mengingatkan supaya dalam mencari garis pemisah antara kebenaran dan kebathilan, yang baik dan buruk

13

(23)

haruslah dari padanya atau mempunyai rujukan padanya, sebagaimana disebutkan antara lain dalam













)

نﺎﻗﺮﻔﻟا

(

Artinya : “Maha banyak kebaikan (Tuhan) yang telah turunkan Al-Fur’qan (b)

atas hambanya supaya ia (c) jadi pengancam bagi alam”

(QS,al-Furqan. 25 : 1)14

c. Huda, artinya petunjuk, arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan padanya.

d. Al-Zikr, artinya ingat, arti ini menunjukan bahwa ia berisikan peringatan dan agar selalu diingat tuntutannya dalam melakukan setiap tindakan. Sebagaimana Allah berfirman :







)

ﺮﺠﺤﻟا

(:

Artinya : Sesungguhnya kamilah yang turunkan peringatan ini dan sesungguhnya kamilah penjaga baginya”.(Al-Hidjr, 15:9)

menurut para ulama nama lain terhadap Qur’an antara lain Mubin, Al-Karim, dan An-Nur

Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dalam bahasa Arab, riwayatnya mutawatir. Oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an tidak

14

(b) Al-Fur’qan : Pembeda, maksud disini adalah Al-Qur’an.

(24)

disebut Al-Qur’an dan orang yang mengingatkannya baik secara keseluruhan maupun bagian rinciannya, dipandang kafir.15 Dan para ulama memberi definisi tentang al-Qur’an yang mengandung mu’jizat di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dalam bahasa Arab yang diriwayatkan secara mutawatir, terdapat dalam mushaf dan membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.16

Dia (Al-Qur’an) merupakan sendi fundamental dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at, merupakan undang-undang dasar, sumber dari segala sumber dan dasar dari semua dasar, hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama Islam. Jadi sudah jelas bahwa para ulama sudah sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum islam yang tertinggi dan tidak ada lagi di atasnya. Dan dalam kandungan atau isi Al-Qur’an itu sendiri ada yang bersifat qhat’y dan ada yang bersifat zhonny.

Tidak ada keraguan bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum dan peraturan islam yang pertama. Tentu saja, ayat-ayat atau surah-surah dalam Al-Qur’an tidak terbatas pada hukum dan peraturan. Dalam Al-Qur’an, ratusan jenis permasalahan telah dimasukkan.

Al-Quran turun dalam dua periode, yaitu pertama periode Makkah sebelum Rasulah hijrah ke Madinah dan ayat yang diturunkan pada periode ini dikenal dengan ayat-ayat Makkiyah, dan periode kedua setelah Rasulah hijrah ke Madinah yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyah, ayat-ayat di Makkah pada umumnya yang menjadi inti pembicaraannya adalah tentang masalah-masalah keyakinan (akidah), dalam rangka meluruskan keyakinan umat di masa Jahiliyah dan menanamkan ajaran tauhid. Mengapa

15

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Permasalahan dan Fleksibilitasnya), (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), cet, I, h.9-10.

16

(25)

ajaran akidah yang harus lebih dahulu ditanamkan, tanpa itu syariat islam belum akan diterima oleh umat misalnya firman Allah











Artinya : “Dan tidak Kami utus sebelummuseorang Rasul melainkan kami wahyukan kepadanya : bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan (yang sebenarnya) melainkan aku, oleh yang demikian berbaktilah padaku (Qs. Al-Annbiya; 21 : 25)

)

ءﺎﯿﺒﻧﻻا

(

Untuk sampai kepada akidah yang benar ayat-ayat Makkiyah mendorong umat manusia untuk menggunakan akal yang sehat untuk memikirkan alam nyata disekitarnya sebagai bukti atas wujud dan kekuasaannya misalnya firman Allah :











(26)

gunung-gunung bagaimna ditegakkan ? dan melihat kepada bumi bagaimana dihamparkan ? (Qs. Al-Ghasiyah ; 88 : 17-20)17 (ﺔﯿﺷ ﺎﻐﻟا)

2. Sunnah

Sunnah adalah sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Sebagian para ulama berpendapat bahwa ada empat istilah di pandang dari segi bahasa :

 Sunnah = jalan yang ditempuh

 Hadist = baru / pembicaraan

 Khabar = berita /pemberitahuan

 Atsar = sisa / peninggalan

Keempat istilah diatas adalah sinonim, mempunyai arti yang sama, yaitu, ucapan perbuatan, dan pernyataan (taqrir) yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan sebagian ulama ada yang membedakan sebagai berikut :

a) Kalau hadist adalah khusus menyangkut ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad SAW, maka sunnah lebih luas, mencakup juga sifat-sifat lahiriyah maupun batiniyah, kebiasaan dan semua perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, baik sesudah kenabiannya ataupun sebelumnya.

b) Kalau hadits adalah sesuata yang datang dari Nabi muhammad SAW, maka khabar adalah yang datang selain dari nabi.

17

(27)

c) Atsar adalah sama dengan khabar dalam pengertian seperti di atas itu, tetapi ada pula pendapat yang menyatakan atsar sebagai sesuatu yang datang dari kalangan sahabat.18

Sedangkan pengertian Sunnah menurut Prof. Drs. H. Suparman Usman, SH. Adalah : Pengertian secara etimologis, dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :

ِﺬْﻨُﻤﻟا ْﻦَﻋ

َﻢّﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا ﻲﻠَﺻ ُﷲا َلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ َلﺎَﻗ ِﮫْﯿِﺑَا ْﻦَﻋٍﺮْﯾِﺮَﺟ ِﻦْﺑ ِر

ْنَا ِﺮْﯿَﻏ ْﻦِﻣ ُهَﺪْﻌَﺑ ﺎَﮭِﺑ َﻞِﻤَﻋ ْﻦَﻣُﺮْﺟَاَو ﺎَھُﺮْﺟَا ُﮫَﻠَﻓ ًﺔَﻨَﺴَﺣ ًﺔﱠﻨُُﺳ ِمِﻼْﺳِﻻا ْﻲِﻓ ﱠﻦََﺳ ْﻦَﻣو

ا ﻲِﻓ ﱠﻦَﺳ ْﻦَﻣَو ٌﺊْﯿَﺷ ْﻢِھِرْﻮُﺟُا ْﻦِﻣ َﺺَﻘْﻨَﯾ

ﺎَھُرْزِو ِﮫْﯿَﻠَﻋ َنَﺎﻛ ًﺔَﺌﱢﯿَﺳ ًﺔﱠﻨُﺳ ِمَﻼْﺳِﻻ

ٌﺊْﯿَﺷ ْﻢِھِراَزْوَا ْﻦِﻣ َﺺَﻘْﻨَﯾ ْنَا ِﺮْﯿِﻏ ْﻦِﻣ ِهِﺪْﻌَﺑ ْﻦِﻣ ﺎَﮭِﺑ َﻞِﻤَﻋ ْﻦَﻣُرْزِوَو

)

ﺢﺤﺻ

ﻢﻠﺴﻣ

(

19

Artinya : Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sesudahnya, dan barang siapa yang membiasakan sesuatu yang buruk, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengikuti sesudahnya. (HR. Muslim) Secara terminilogis (dalam istilah syari’ah), sunnah dapat dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu hadits, ilmu fiqh, dan ilmu ushul fiqh.

Sunnah menurut para ahli hadits identik dengan hadits, yaitu :

ْﯾِﺮْﻘَﺗْوَا ًﻼْﻌِﻓ ْوَا ًﻻْﻮَﻗ ْﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا ﻲِﻠَﺻ ِّﻲِﺒﱠﻨﻠِﻟ َﻒْﯿِﺿُا ﺎَﻣ

ﺎَھَﻮْﺤَﻧْوَا اًﺮ

18

Ardani, Qur’an-hadits, (Jakarta, Depertemen Agama RI, 1986) h. 31

19

(28)

Artinya : Seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan ataupun yang sejenisnya (sifat keadaan atau himmah).

Sunnah menurut ahli Ushul Fiqh adalah ”segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum”.

Sedangkan sunnah menurut ahli ushul fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan salah satu hukum taklifi, yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa (tidak berdosa)”.20

Mengenai definisi sunnah ini, telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa tidak ada perbedaan pendapat dan tidak ada ulama yang menentangnya dan sunnah itu selain menjadi sumber hukum islam setelah al-Qur’an sunnahpun mempunyai fungsi terhadap al-Qur’an.

Di antara fungsi sunnah terhadap al-Qur’an adalah :

- Sunnah menguatkan atau mengukuhkan hukum yang ada dalam al-Qur’an, seperti hukum mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, haji ke Baitullah, telah ditunjukkan oleh ayat-ayat al-qur’an lalu dikuatkan lagi oleh Sunnah Rasul.

20

(29)

- Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau bayan, memerinci yang mujmal dan yang mengkhususkan yang umum, seperti tata cara shalat, wasiat dengan sepertiga harta, beberapa barang yang wajib dizakati disebutkan dalam sunnah. Seperti disebutkan dalam firman Allah SWT :

















)

ﻞﺤﻧا

(

Artinya : “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (QS. An-Nahl 16:44)

- Sunnah terkadang memberi hukum sendiri yang tidak terdapat secara eksplisit dalam Al-Qur’an, seperti keharaman memakan binatang yang bertaring dan bercakar, sebagaimana disebutkan dalam hadits :

ﱠﻲِﺒﱠﻨﻟا ْﻦَﻋ َةَﺮْﯾَﺮُھ ْﻲِﺑَأ ْﻦَﻋ

ْﻦِﻣ ِبﺎَﻧ ْيِذ ﱡﻞُﻛ َلﺎَﻗ َﻢﱠﻠﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا ﻲﱠﻠَﺻ

ٌماَﺮَﺣ ُﮫُﻠْﻛَﺄَﻓ ِعﺎﱠﺒَﺴﻟا

)

ﻲِﺋﺎَﺴَﻨﻟا ُهاَوَر

(30)

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda semua jenis binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka hukum memekannya adalah haram (HR. An-Nasa’i). 21

Semua hukum-hukum yang terdapat dalam sunnah pada dasar dan pokoknya terdapat dalam Al-Qur’an, oleh karena itu tidak mungkin terjadi pertentangan antara hukum-hukum dalam sunnah dengan hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an, dikarenakan sunnah sendiri itu untuk menjelaskan Al-Qur’an seperti terdapat dalam hukum positif bahwa itu semua harus hierarki artinya hukum atau landasan yang kedua itu tidak boleh keluar dari yang pertama dan disipun sudah menunjukan bahwa sunnah tidak keluar dari Al-Qur’an. Namun disini ada perbuatan-perbuatan Rasul yang khusus baginya dalam arti perbuatannya (Rasul) tidak boleh dilakukan oleh umatnya, seperti beristeri lebih dari empat yang tidak bisa dijadikan landasan atau dasar hukum.

B. Tinjauan Sumber Hukum Islam Yang Ikhtilaf

Di atas telah dijelaskan sumber-sumber hukum Islam yang ithifak, sekarang penulis akan menguraikan sumber-sumber hukum Islam yang ikhtilaf diantaranya adalah:

1. Ijma

Lafad ijma pengertian menurut bahasa ialah azm (cita-cita) seperti dalam firman Allah SWT :

21

Saifudin Nur, Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam), (Bandung: Tafakur,2007). h.42.

(31)





...

ﺢﻟا

)

ﺲﻧﻮﯾ

(

Artinya : Tetapkanlah urusan kamu dan sekutu-sekutu kamu, (QS. Yunus. 10:71)

Sedangkan ijma menurut ulama ushul (ushuliyin) ialah kesepakatan semua mujtahidin di antara ummat islam pada suatu massa setelah kewafatan Rasulallah SAW, atas hukum syari mengenai suatu kejadian / kasus.

Maka apabila terjadi suatu kejadian dan diharapkan kepada semua mujtahid ummat islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma, dan dianggaplah ijma mereka atas suatu hukum mengenai suatu kejadian.22

Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, dalam buku Satria Efendi yang berjudul Usul Fiqh, mengatakan bahwa ijma adalah sah dijadikan sebagai dalil hukum. Sungguhpun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat dianggap sebagai ijma yang mengikat umat islam. Menurut mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal dengan ijma ahl al-Madinah. 23

22

Abdul Wahab Khalap, Kaidah-Kaidah Hukum Islam(Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada), Cetakan Keenam, h.63-64.

23

Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Medi Group, 2005), Cet, II.

(32)

Definisi di atas sudah jelas bahwa ijma adalah kesepakatan dengan suara bulat dari para ulama muslim (ulama mujtahid). Dengan disepakatinya ijma sebagia sumber hukum islam yang ketiga setelah sunnah, berarti ijma merupakan suatu hukum yang kuat dalam sistem hukum islam dan mungkinkah dalam kontek sekarang ijma terjadi?

Pengertian sebagai mana dimaksud tidak mungkin terjadi lagi, kecuali pada masa ke khalifahan Abu Bakar dan utsman, karena pada masa itu para ulama masih sedikit dan mereka berkumpul pada suatu tempat, Sebaliknya, pada zaman sekarang para ulama dan mujtahid telah banyak dan terpencar di seluruh pelosok bumi yang sukar sekali untuk mengetahui bahwa mereka tahu tentang masalah yang akan di ijmakan tersebut, lagi pula faktor-faktor yang melatarbelakangi masyarakat mereka tidak sama, hal lain yang tidak memungkinkan terjadinya ijma menurut pengertian di atas adalah kesukaran dalam menentukan mana yang mujtahid dan mana yang bukan.

Namun, jumhur ulama berpendapat bahwa ijma tersebut mungkin terjadi, dan kenyataannya, ini terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar seperti haramnya minyak babi, nenek mendapat seperenam dalam warisan, dan terhijabnya cucu laki-laki dalam warisan.24

Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam, pada negara-negara tersebut walau penduduknya minoritas, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat islam. Misalnya : India, mayoritas penduduknya beragama hindu, hanya sebagian kecil

24

(33)

yang beragama Islam, tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemetintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika kesepakatan para mujtahid India itu dikatakan sebagai ijma, maka ada kemungkinan akan terjadinya ijma pada masa Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma lokal.

Dengan demikian ijma akan terjadi kalau para mujtahid yang ada di seluruh dunia itu dikumpulkan di suatu tempat oleh pemerintah (ulil amri) untuk mewakili negaranya dan disitu mereka diberi hak untuk membuat undang-undang yang mengatur kepentingan bersama.

Sedangkan dalam pengumpulan itu para mujtahid harus memenuhi syarat-syaratnya diantaranya adalah :

a) Memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an

b) Mumiliki pengetahuan tentang Sunnah

c) Menguasai bahasa Arab dan maqasid Al-Syariah.

2. Qiyas

(34)

qiyas untuk menemukan suatu hukum yang belum ada dalam nash tetapi dihubungkan kepada peristiwa hukum yang sudah ada dalam nash.

Qiyas secara lugot ialah mengira-ngirakan sesuatu kepada sesuatu masalah yang lain, sedangkan menurut istilah ialah dua asal (Al-Qur’an dan cabang) menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain di dalam hukum, seperti menyandarkannya perasan anggur kepada khammer di dalam haramnya dengan kumpulnya sesuatu yang memabukkan.25

Qiyas menurut ulama usul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam dua illat hukumnya.26

Sedangkan qiyas menurut Imam Syarifuddin Yahya adalah membalikkan cabang kepada asal di dalam hukum sohih yang syar’i karena ada illat yang kumpul di dalam hukum.27 Dan Menurut Syekh Ahmad bin Muhammad Ad-Damyati ialah mengembalikan cabang kepada asal dengan ill’at yang mengumpulkan antara asal dan cabang di dalam hukum seperti qiyasnya tanaman kepada gandum.28

Qiyas sebagai salah satu metode penerapan hukum yang disistematisasikan ternyata mengalami perubahan makna dan fungsi secara signifikan, sebelum adanya pembakuan oleh Asyafi’i dan Al-Risalah, qiyas belum dalam formulasi yang baku, ia

25

Syeh Ibrahim Al-Bajury, Khosyiatul Bajury A’la Matan Sulam, (Semarang: Sarkatun Nu,r Asia), h.58.

26

Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 1996), Cet Keenam. h.76.

27

Imam Syarifuddin Yahya al-Imriti, Lathoipul Isyarohj

28

(35)

masih dalam bentuknya yang bebas suatu penalaran liberal, spekulatif dan dinamis dalam menentukan masalah. Qiyas sebagai penalaran hukum (legal reasoning) ini lazim disebut juga dengan istilah penalaran (ra’y), ia berlaku mulai pada masa Rasulallah sebagai embrionya dan semakin matang pada masa Abu Hanifah.29

As-syafi’i adalah sebagai pendiri atau pencetus qiyas karena dari beliaulah qiyas mulai memakai aturan dan tidak liberal lagi.

Adapun unsur atau rukun qiyas adalah :

a) Ashl, yakni sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi sandaran qiyas. Disebut juga dengan Al-Maqis Alayh atau Al-Musyabbahbih. Ashl ini harus berupa nash Al-Qur’an, Sunnah atau Ijma. Disamping itu ia juga harus mengandung ill’at hukum.

b) Far’u (cabang), sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya, yakni yang diqiyaskan, disebut juga dengan al-maqis atau dengan al-musabbah. Untuk cabang ini harus memenuhi syarat :

1. Cabang ini tidak mempunyai hukum yang tersendiri,

2. Illat hukum yang ada pada cabang harus sama dengan yang ada pada ashl.

3. Cabang tidak lebih dahulu ada daripada ashl,

4. Hukum cabang harus sama dengan hukum ashl.

29

(36)

c) Hukum ashl, yakni hukum syara yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang. Untuk hukum ashl harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Hukum ashl harus merupakan hukum yang amaliyah,

2. Huku ashl maknanya harus logis atau rasional,

3. Hukum ashl bukan hukum yang khusus,

4. Hukum ashl masih tetap berlaku, apabila sudah tidak berlaku lagi seperti sudah dimansukh, maka tidak bias dijadikan hukum ashl.

d) Illat hukum, yakni suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan dengan ada dan tidak adanya hukum. Illat hukum harus memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Illat itu harus merupakan sifat yang nyata seperti memabukan dapat diinderai adanya pada khamar.

2. Illat harus merupakan sifat tegas dalam arti dapat dipastikan wujudnya pada cabang,

(37)

4. Illat bukan hanya terdapat pada ashl, sebab jika sifat itu hanya terbatas pada ashl tidak mungkin dianalogikan, seperti kakhususan Rasulullah tidak bias diqiyaskan kepada orang lain, dan

5. Illat tidak berlawanan dengan nash, jika berlawanan maka nash yang didahulukan.30

3. Istihsan

Dalam bahasa Arab istihsan berarti menganggap sesuatu itu baik, adapun term yang dipakai oleh ulama ushul adalah meninggalkan hukum suatu hal atau peristiwa yang bersandar pada dalil syara menuju kepada hukum lain yang bersandar pada dalil syara pula, karena ada suatu dalil syara yang mengharuskan untuk meninggalkan dalil tersebut.

Dalam istihsan ada dua dalil dalam menetapkan hukum suatu hal atau peristiwa :

1) Dari segi dalil yang di tinggalkan dan dalil yang dipakai

a) Dari qiyas jaliy menuju qiyas khafry

Misalnya : menurut qiyas, hak pengairan dan jalan lintas yang ada dalam tanah pertanian yang diwakafkan, tidak termasuk yang diwakafkan jika tidak disebutkan dengan jelas

Menurut qiyas jaliy itu disamakan dengan jual beli, dalam jual beli, hak jalan lintas dan pengairan tidak termasuk dan begitu pula dalam wakaf.

30

(38)

Sedangkan dalam qiyas khafiy itu disamakan dengan sewa menyewa, dalam sewa menyewa tanah pertanian hak jalan lintas dan pengairan itu termasuk karena tujuannya tidak untuk memiliki, begitu juga dengan wakaf.

b) dari hukum yang umum kepada hukum pengecualian

Misalnya : orang yang dititipi barang lalu barang tersebut hilang dengan kelalainnya maka orang tersebut harus menggantinya. Kecuali sang ayah dititipi oleh sang anak.

2) Dari segi sandaran istihsan, yaitu :

a) Dasar yang berupa qiyas, seperti contoh di atas.

b) Dasar berupa nash, seperti larangan menjual barang yang belum jelas atau tidak ada, tetepi dalam istihsan itu diperbolehkan untuk salam (memesan) terlebih dahulu.

c) Dasar yang berupa kebiasaan, seperti pemesanan barang, yang seharusnya tidak sah, karena barangnya belum ada, akan tetapi menurut istihsan itu diperbolehkan.

(39)

4. Mashlahah Mursalah

Mashlahah mursalah adalah kebaikan (kemaslahatan) yang tidak disinggung-singgung syara secara jelas untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan apabila dikerjakan akan membawa manfaat. Dalam mashlahah mursalah diharuskan syarat-syarat sebagai berikut :

a). Hanya berlaku dalam bidang mu’amalah, karena persoalan ibadah tidak berubah.

b). Tidak berlawanan dengan maksud syariat atau salah satu dalilnya.

c). Mashlahah ada karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.

Imam Malik adalah seorang faqih yang paling banyak menggunakan mashlahah mursalah, beliau beralasan bahwa Tuhan mengutus Rasulnya untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.

Contoh dari mashlahah mursalah :

- Dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak ada nash yang melarang mengumpulkan al-Qur’an dari hafalan kedalam tulisan, meskipun demikian para Sahabat di zaman Abu Bakar untuk menulis dan mengumpulkannya untuk kemashlahatan ummat yang saat itu Sahabat yang hafal al-Qur’an banyak yang meninggal.

(40)

5. `Urf

’Urf adalah apa yang biasa dilakukan orang, baik ucapan maupun perbuatan, dengan kata lain adalah adat kebiasaan. Seperti kebiasaan dalam ucapan walad yang biasanya diartikan untuk anak laki-laki.

Secara garis besar ’urf di bagi menjadi dua :

1). ’Urf yang benar (shahih), yakni adat kebiasaan yang tidak menyalahi ketentuan syara seperti membayar mahar (maskawin) di muka.

2). ’Urf yang rusak (fasid), yakni adat kebiasaan yang berlawanan dengan ketentuan syara, atau membawa kerusakan seperti membiasakan transaksi-transaksi yang bersifat riba.

Ada beberapa alasan pengambilan ’Urf, yaitu :

a. Syariat Islam dalam menetapkan hukum juga mempertahankan kebiasaan yang berlaku pada bangsa Arab, seperti syarat kafa’ah dalam perkawinan.

(41)

BAB III

PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM JA’FAR TENTANG PERAN AKAL TERHADAP ISTIMBAT HUKUM ISLAM

A. Biografi Imam Syafi’i Nasab Imam Syafi,i

Ayahnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Abid bin Abduyazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdul Manaf bin Qusha bin Kilab bin Murrah, nasabnya dengan Rasulah bertemu pada Abdu Manaf bin Qushai.

Ibunya adalah Fathimah binti Abdullah bin Hasan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiyah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi’i, istrinya Hamidah binti Nafi bin Usman bin Affan.

Imam Muhammad Idris Asy-Syafi’i asal keturunan Quraisy, Ia dilahirkan pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Ia dilahirkan di Ghazzah, wilayah Palestina pada jum’at akhir pada bulan Rajab. Tatkala umurnya mencapai dua tahun, ibunya memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Keduanyapun menetap disana. Namun ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun, ibunya memindahkannya ke Makkah karena khawatir akan melupakan nasabnya. .31

31

Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2005). h. 3-9

Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandug: PT. Al-Ma’arif, 1981), Cet, Kedua, h.50.

(42)

Imam Syafi’i sejak kecil hidup dalam kemiskinan. Ketika beliau diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak mendapatkan upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran. Namun setiap kali seorang guru menajarkan sesuatu kepada murid-muridnya, terlihat Syafi’i kecil dengan ketajaman akal yang dimilikinya sanggup menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya untuk meninggalkan tempatnya, Syafi’i mengajarkan lagi apa yang didengar dan dipahaminya kepada anak-anak yang lain, sehingga dari apa yang dilakukannya ini Syafi’i mendapatkan upah. Setelah menginjak umur yang ketujuh, Syafi’i telah menghafal seluruh Al Qur’an dengan baik.

Syafi’i bercerita, “ketika saya mengkhatamkan Al Qur’an dan memasuki masjid, saya duduk di majelis ulama. Saya menghafal hadits-hadits dan masalah-masalah fikih. Pada saat itu, rumah kami berada di Makkah. Keadaan saya sangat miskin, dimana saya tidak memiliki uang untuk membeli kertas, namun saya mengambil tulang-tulang sehingga dapat saya gunakan untuk menulis.”

Ketika menginjak umur 13 tahun, ia juga memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang di Masjidil Harram, ia memiliki suara yang sangat merdu.

Hakim mengeluarkan hadits dari riwayat Bahhar bin Nasr, ia berkata, “apabila kami ingin menangis, kami mengatakan kepada sesama kami”, pergilah kepada pemuda kahfi!” apabila kami telah sampai kepadanya, ia mulai membuka dan membaca Al-Qur’an sehingga manusia yang ada di sekelilingnya banyak yang berjatuhan dihadapannya karena kerasnya menangis. Kami terkagum-kagum dengan kemerduan

Lihat juga : Abi Abdullah Muhammad Ibn Idris Assyafi’i, Al-Umm, (Bairut Libanon, Darul Fikr, 2009M/1429H), Zuz Awal, h. 4

(43)

suara yang dimilikinya, sedemikian tingginya ia memahami Al-Qur’an sehingga banyak terkesan bagi para pendengarnya.”

Ia kemudian mulai belajar menghapal banyak hadits, untuk itu, ia turut serta belajar pada guru-guru tafsir dan guru-guru ahli di bidang ilmu hadist. Pada masa itu harga kertas sangat mahal, untuk mencatat pelajaran, ia mengumpulkan kepingan-kepingan tulang yang lebar dan besar, di atas tulang belulang itulah ia menulis catatan-catatannya. Bila tak ditemukan tulang, ia pergi ke Diwan (tempat masyarakat mencatatkan berbagai urusannya dalam kehidupan sehari-hari, semacam kantor) untuk mengumpulkan buangan kertas yang bagian belakangnya masih dapat digunakan untuk menulis catatan pelajaran.

Sulit baginya untuk dapat memperoleh kertas, karena itu ia lebih menghandalkan ingatan melalui cara menghapal. Karena kebiasaan itulah As-Syafi’i memiliki daya ingat yang amat kuat, sehingga dapat menghapal semua pelajaran yang diterima dari guru-gurunya.32

Guru-Guru Imam Syafi’i

1. Muslim bin Khalidaz-Zanji Mufti Mekkah tahun 180 H yang bertepatan dengan tahun 760M, ia adalah Maula (budak) Bani Makzum.

2. Sufyan bin Uyai’inah Al-Hillali yang berada di Mekkah, ia adalah salah seorang yang terkenal ke-Tsiqahannya (jujur dan adil).

3. Ibrahim bin Yahya, salah seorang Madinah.

32

(44)

4. Malik bin Annas. Syafi’i pernah membaca kitab Al-Muattho’ kepada Imam Malik setelah ia menghapalnya diluar kepala, kemudian ia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat tahun 179 H, bertepatan dengan tahun 795 M.

5. Waki’ bin Jarrah bin Malik Al Kuf’i 6. Hammad bin Utsama al Hasyimi Al Kufi 7. Abdul Wahab bin Abdul Majid Al Bassri33 8. Muhammad bin Syafi’i paman beliau sendiri 9. Abbas kakeknya Imam As-Syafi’i

10.Fudhail bin Iyadl,

11.Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslamy Al-Madany 12.Muhammad bin Hasan

Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman diantaranya : 1. Mutharif bin Mazin

2. Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi

Di dalam Ar-Risalah beliau menerangkan bahwa dasar-dasar tasyri yang dipeganginya, ialah :

a) Al-qur’an menurut Dhahirnya, b) As Sunnah walaupun ahad c) Ijma dan

d) Qiyas

As-Syafi’i telah dapat mengumpulkan antara Tariqhat Ahlul Ra’yi dengan Thariqhat Ahlul Hadits, lantaran itu menjadilah mazhabnya tidak terlalu cenderung

33

(45)

kepada ahlul hadits dan tidak terlalu cenderung kepada ahlul ra’yi. Beliau menerima Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma, Qiyas dan Al-Istidlal. Tetapi menolak Istihsan yang dipegang oleh Abu Hanifah dan maslahah Mursalah yang dipegang oleh Malik. Diantara kitab As-Syafi’i yang terpenting yang sampai kepada kita adalah : Ar Risalah, dalam bidang Ushul Fiqh, Al Umm dalam bidang Fiqh, Mukhtaliful Hadits dan Musnad dalam bidang Hadits.

Sahabat-sahabat As-Syafi’i dan pengembang-pengembang madzhabnya.

Pengikut-pengikut As-Syafi’i banyak tersebar di Hijaz, Irak, Mesir dan di daerah-daerah lain.

Diantara sahabat-sahabatnya yang terkenal di mesir ialah : - Abu Ya’qub Yusuf ibn Yahya Al Buwaithi

- Abu Ibrahim Isma’il ibn Yahya Al Muzani (wafat 264 H)

- Ar Rabi’ ibn Sulaiman ibn Abdil Jabbar Al Muradi (wafat 270 H) - Ar Rabi’ ibn Sulaiman Al Jizi (wafat 256 H)

Kemudian madzhab beliau dikembangkan oleh beberapa ulama terkenal, diantaranya :

- Abu Ishaq Al Fairuzzabidi (476 H) - Abu Hamid Al Ghazali (505 H) - Abdul Qasim Ar Rafi’i (623 H) - Izuddin ibn Abdis Salam 9660 H) - Muhyiddin An Nawawi (676 H) - Ibnu Daqiqil Id (702 H)

(46)

Persia dan Yaman yang sunni bermadzhab dengan madzhab As-Syafi’i sekitar 100 juta ummat islam menganut madzhab As-Syafi’i. 34

Imam Syafi’i adalah murid Imam Malik yang paling disayang, sehingga beliau tinggal di rumah Imam Malik dan kehidupan beliau pun dibiayai oleh Imam Malik. Sampai beliau kembali ke Mekkah tahun 181 H, beliau dipandang sebagai penganut mazdhab Maliki, karena selama beliau berada di Irak, Syiria, Palestina yaitu di kota Ramlah beliau masih mengajarkan kitab muwaththa’ karangan Imam Malik. Terus beliau mempelajari fiqh Irak sebagai bahan pengembangan mazdhab Hanafi dan beliau langsung belajarnya kepada ulama besar yaitu Muhammad bin Hasan, dari kedua mazdhab yang beliau kuasai ternyata masih terdapat kekurangan, dari kekurangan-kekurangan itulah beliau langsung mengadakan analisa dan sintesa antara kedua pendapat itu. Kemudian beliau menetapkan pokok-pokok pikirannya dalam mengistimbatkan hukum.35

Pokok-pokok pikiran beliau ini terbentuk setelah beliau kembali ke Mekah tahun 181 H , kemudian dikembangkan di Bagdad dan Mesir. Beliau mengarang atau menilis buku-bukunya itu merupakan kumpulan dari pokok-pokok pikiran beliau sehingga sangatlah mudah dalam mencari bahan-bahan dalam mempelajari mazhabnya.

34

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,1999), h.123-125.

35

(47)

B. Biografi Imam Ja’far As-Siddiq Nasab Imam Ja’far As-Siddiq

Ja’far Ash Shiddiq adalah Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Ibunya adalah Ummu Farwah binti Al-Qasin bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Siddiq, pada beliaulah terdapat perpaduan darah Nabi Muhammad SAW, dengan Abu Bakar Ash-Siddiq RA.

Dilahirkan pada hari senin 17 Rabi’ul Awwal tahun 80 Hijriah di Madinah, pada tahun yang sama dengan kelahiran pamannya, Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin dan Imam Abu Hanifah.

Imam Ja’far lahir dengan rumah tangga ilmu, rumah tangga yang menjadi cermin bagi ilmu pengetahuan di kota Madinah. Semua keluarga Nabi pada masa itu menjauhi arena politik dan lebih mengutamakan keilmuan.

Kakek beliau adalah Ali Zainal Abidin , ia adalah seorang imam di Madinah sedangkan ayah beliau adalah Muhammad Al-Baqir adalah pengganti ayahnya dalam bidang ilmu yang menjadi tumpuhan para ulama disetiap daerah. Beliau dikunjungi oleh ulama-ulama syi’ah, ahli sunnah, ahli hadits dan ahli fiqh. Diantaranya Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan Ibn Uyainah dari ahli hadist, dan Abu Hanifah dari ahli fiqh. Beliau juga dikenal sebagai seorang mufassir al-qur’an dan mufassir hadist yang menyelami hikmah awamir dan nawahi serta. Dengan demikian Imam Ja’far memperoleh hikmah-hikmah ilmu yang ditangkap oleh ayahnya. Al-Baqir yang wafat pada tahun 114 hijriyah

(48)

Ayah tertua ja’far adalah Al-Qassim ( W. 180 H). besar dalam keadaan Ummul mukminin Aisyah Al-Qassim sering meriwayatkan hadits-hadits Aisyah, ia termasuk dalam golongan fuqh Sab’ah (tujuh ahlu fuqh) yang mengembangkan ilmu-ilmu Madinah kepada para ulama yang datang sesudahnya, yang kemudian ditampung oleh Imam Malik, Al-Qasimpun terkenal sebagai seorang ahli naqad, pandai menilai riwayat dan sannad hadist.36

Imam Ja'far Shadiq adalah Imam Keenam dalam hirarki dua belas Imam Maksum. Panggilannya adalah Abu Abdillah dan gelarnya yang masyhur adalah As-Shadiq, Al-Fadil dan At-Tahir. Imam Shadiq adalah putra Imam Baqir, Imam Kelima, dan ibunya adalah putri dari Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar.

Imam Ja'far Shadiq dibesarkan oleh datuknya, Imam Zainal Abidin di Madinah selama dua belas tahun dan dilanjutkan oleh lindungan kasih ayahandanya Imam Muhammad Baqir selama sembilan belas tahun.

Setelah Syahadah ayahandanya pada tahun 114 H, Imam Ja'far Shadiq menjadi Imam Keenam menggantikan ayahandanya, dan misi suci Islam dan bimbingan ruhani dilimpahkan ke atas pundaknya dari Rasulullah SAW, melalui suksesi para Imam sebelumnya.

Beliau berguru langsung dengan ayahnya, Muhammad Al-Baqir disekolah ayahnya, yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama besar islam, Ja’far adalah ulama besar dalam banyak bidang ilmu seperti, ilmu filsafat, ilmu tasawuf, ilmu fiqh, ilmu kimia, dan ilmu kedokteran. Beliau adalah mazhab yang keenam dari dua belas (12) imam dalam mazhab syiah imamah.

36

(49)

Ahli sunnah berpendapat bahwa Ja’far adalah seorang mujtahid dalam ilmu fiqh yang mana beliau sudah mencapai ketingkat laduni, beliau dianggap sufi ahli sunnah dikalangan syekh-syekh mereka yang besar, serta padanyalah tempat puncak pengetahuan dan darah Nabi Muhammad SAW yang suci.

Imam Abu Hanifah berkata : saya tidak dapati orang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad.37

Demikian mashurnya Imam Ja’far dalam masa hidupnya, sehingga Al-Mansyur, Khalifah Abbasyiah kedua, selalu mengundangnya dengan hormat ke Istana, memuliakannya, menanyakan pikiran-pikirannya, nasihatnya dan beberapa petunjuk. Abu Muslim Al-Khurasani, pencipta kerajaan Abbasyiah, pernah menawarkan kedudukan khalifah kepada Imam Ja’far Ash-Siddiq, tetapi ditampiknya.

Selanjutnya Zaid bin Ali menerangkan, bahwa Imam Ja’far banyak meninggalkan tulisannya yang dapat membersihkan ibadat syiah, ia orang yang terpilih dalam kebajikan dan ahli hadits dalam golonganya. Ad-Dawaniqi menerangkan, bahwa ia tiap mengunjungi imamah Ja’far selalu menemuinya dalam tiga hal, dalam sembahyang, dalam puasa atau dalam membaca al-qu’an dan bahwa

Referensi

Dokumen terkait