• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG SUMBER HUKUM ISLAM

B. Tinjauan Sumber Hukum Islam Yang Ikhtilaf

1 Ijma

Lafad ijma pengertian menurut bahasa ialah azm (cita-cita) seperti dalam firman Allah SWT :

21

Saifudin Nur, Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam), (Bandung: Tafakur,2007). h.42.

Lihat juga, Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana prenada Medi Group, 2005), Cet, II. h.124-125.































...

ﺢﻟا

)

ﺲﻧﻮﯾ

(

Artinya : Tetapkanlah urusan kamu dan sekutu-sekutu kamu, (QS. Yunus. 10:71)

Sedangkan ijma menurut ulama ushul (ushuliyin) ialah kesepakatan semua mujtahidin di antara ummat islam pada suatu massa setelah kewafatan Rasulallah SAW, atas hukum syari mengenai suatu kejadian / kasus.

Maka apabila terjadi suatu kejadian dan diharapkan kepada semua mujtahid ummat islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma, dan dianggaplah ijma mereka atas suatu hukum mengenai suatu kejadian.22

Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, dalam buku Satria Efendi yang berjudul Usul Fiqh, mengatakan bahwa ijma adalah sah dijadikan sebagai dalil hukum. Sungguhpun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat dianggap sebagai ijma yang mengikat umat islam. Menurut mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal dengan ijma ahl al-Madinah. 23

22

Abdul Wahab Khalap, Kaidah-Kaidah Hukum Islam(Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada), Cetakan Keenam, h.63-64.

23

Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Medi Group, 2005), Cet, II.

Definisi di atas sudah jelas bahwa ijma adalah kesepakatan dengan suara bulat dari para ulama muslim (ulama mujtahid). Dengan disepakatinya ijma sebagia sumber hukum islam yang ketiga setelah sunnah, berarti ijma merupakan suatu hukum yang kuat dalam sistem hukum islam dan mungkinkah dalam kontek sekarang ijma terjadi?

Pengertian sebagai mana dimaksud tidak mungkin terjadi lagi, kecuali pada masa ke khalifahan Abu Bakar dan utsman, karena pada masa itu para ulama masih sedikit dan mereka berkumpul pada suatu tempat, Sebaliknya, pada zaman sekarang para ulama dan mujtahid telah banyak dan terpencar di seluruh pelosok bumi yang sukar sekali untuk mengetahui bahwa mereka tahu tentang masalah yang akan di ijmakan tersebut, lagi pula faktor-faktor yang melatarbelakangi masyarakat mereka tidak sama, hal lain yang tidak memungkinkan terjadinya ijma menurut pengertian di atas adalah kesukaran dalam menentukan mana yang mujtahid dan mana yang bukan.

Namun, jumhur ulama berpendapat bahwa ijma tersebut mungkin terjadi, dan kenyataannya, ini terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar seperti haramnya minyak babi, nenek mendapat seperenam dalam warisan, dan terhijabnya cucu laki-laki dalam warisan.24

Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam, pada negara-negara tersebut walau penduduknya minoritas, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat islam. Misalnya : India, mayoritas penduduknya beragama hindu, hanya sebagian kecil

24

yang beragama Islam, tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemetintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika kesepakatan para mujtahid India itu dikatakan sebagai ijma, maka ada kemungkinan akan terjadinya ijma pada masa Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma lokal.

Dengan demikian ijma akan terjadi kalau para mujtahid yang ada di seluruh dunia itu dikumpulkan di suatu tempat oleh pemerintah (ulil amri) untuk mewakili negaranya dan disitu mereka diberi hak untuk membuat undang-undang yang mengatur kepentingan bersama.

Sedangkan dalam pengumpulan itu para mujtahid harus memenuhi syarat-syaratnya diantaranya adalah :

a) Memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an

b) Mumiliki pengetahuan tentang Sunnah

c) Menguasai bahasa Arab dan maqasid Al-Syariah.

2. Qiyas

Sebenarnya qiyas merupakan bentuk utama yang dipakai oleh para mujtahid dalam upaya mereka berijtihad menemukan hukum dari peristiwa-peristiwa yang hukumnya tidak disebabkan oleh nash secara tegas, dalam arti para ulama melakukan

qiyas untuk menemukan suatu hukum yang belum ada dalam nash tetapi dihubungkan kepada peristiwa hukum yang sudah ada dalam nash.

Qiyas secara lugot ialah mengira-ngirakan sesuatu kepada sesuatu masalah yang lain, sedangkan menurut istilah ialah dua asal (Al-Qur’an dan cabang) menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain di dalam hukum, seperti menyandarkannya perasan anggur kepada khammer di dalam haramnya dengan kumpulnya sesuatu yang memabukkan.25

Qiyas menurut ulama usul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam dua illat hukumnya.26

Sedangkan qiyas menurut Imam Syarifuddin Yahya adalah membalikkan cabang kepada asal di dalam hukum sohih yang syar’i karena ada illat yang kumpul di dalam hukum.27 Dan Menurut Syekh Ahmad bin Muhammad Ad-Damyati ialah mengembalikan cabang kepada asal dengan ill’at yang mengumpulkan antara asal dan cabang di dalam hukum seperti qiyasnya tanaman kepada gandum.28

Qiyas sebagai salah satu metode penerapan hukum yang disistematisasikan ternyata mengalami perubahan makna dan fungsi secara signifikan, sebelum adanya pembakuan oleh Asyafi’i dan Al-Risalah, qiyas belum dalam formulasi yang baku, ia

25

Syeh Ibrahim Al-Bajury, Khosyiatul Bajury A’la Matan Sulam, (Semarang: Sarkatun Nu,r Asia), h.58.

26

Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 1996), Cet Keenam. h.76.

27

Imam Syarifuddin Yahya al-Imriti, Lathoipul Isyarohj

28

Syeh Ahmad bin Muhammad Ad-Damyati, (Syarah Waroqot), (Semarang: Putra Semarang), h.22.

masih dalam bentuknya yang bebas suatu penalaran liberal, spekulatif dan dinamis dalam menentukan masalah. Qiyas sebagai penalaran hukum (legal reasoning) ini lazim disebut juga dengan istilah penalaran (ra’y), ia berlaku mulai pada masa Rasulallah sebagai embrionya dan semakin matang pada masa Abu Hanifah.29

As-syafi’i adalah sebagai pendiri atau pencetus qiyas karena dari beliaulah qiyas mulai memakai aturan dan tidak liberal lagi.

Adapun unsur atau rukun qiyas adalah :

a) Ashl, yakni sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi sandaran qiyas. Disebut juga dengan Al-Maqis Alayh atau Al-Musyabbahbih. Ashl ini harus berupa nash Al-Qur’an, Sunnah atau Ijma. Disamping itu ia juga harus mengandung ill’at hukum.

b) Far’u (cabang), sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya, yakni yang diqiyaskan, disebut juga dengan al-maqis atau dengan al-musabbah. Untuk cabang ini harus memenuhi syarat :

1. Cabang ini tidak mempunyai hukum yang tersendiri,

2. Illat hukum yang ada pada cabang harus sama dengan yang ada pada ashl.

3. Cabang tidak lebih dahulu ada daripada ashl,

4. Hukum cabang harus sama dengan hukum ashl.

29

c) Hukum ashl, yakni hukum syara yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang. Untuk hukum ashl harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Hukum ashl harus merupakan hukum yang amaliyah,

2. Huku ashl maknanya harus logis atau rasional,

3. Hukum ashl bukan hukum yang khusus,

4. Hukum ashl masih tetap berlaku, apabila sudah tidak berlaku lagi seperti sudah dimansukh, maka tidak bias dijadikan hukum ashl.

d) Illat hukum, yakni suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan dengan ada dan tidak adanya hukum. Illat hukum harus memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Illat itu harus merupakan sifat yang nyata seperti memabukan dapat diinderai adanya pada khamar.

2. Illat harus merupakan sifat tegas dalam arti dapat dipastikan wujudnya pada cabang,

3. Illat hukum mempunyai kaitan dengan hikmah hukum, dalam arti illat merupakan penerapan hukum untuk mencapai tujuan syari’at, seperti memabukkan ada kaitannya dengan keharaman khamar.

4. Illat bukan hanya terdapat pada ashl, sebab jika sifat itu hanya terbatas pada ashl tidak mungkin dianalogikan, seperti kakhususan Rasulullah tidak bias diqiyaskan kepada orang lain, dan

5. Illat tidak berlawanan dengan nash, jika berlawanan maka nash yang didahulukan.30

3. Istihsan

Dalam bahasa Arab istihsan berarti menganggap sesuatu itu baik, adapun term yang dipakai oleh ulama ushul adalah meninggalkan hukum suatu hal atau peristiwa yang bersandar pada dalil syara menuju kepada hukum lain yang bersandar pada dalil syara pula, karena ada suatu dalil syara yang mengharuskan untuk meninggalkan dalil tersebut.

Dalam istihsan ada dua dalil dalam menetapkan hukum suatu hal atau peristiwa :

1) Dari segi dalil yang di tinggalkan dan dalil yang dipakai

a) Dari qiyas jaliy menuju qiyas khafry

Misalnya : menurut qiyas, hak pengairan dan jalan lintas yang ada dalam tanah pertanian yang diwakafkan, tidak termasuk yang diwakafkan jika tidak disebutkan dengan jelas

Menurut qiyas jaliy itu disamakan dengan jual beli, dalam jual beli, hak jalan lintas dan pengairan tidak termasuk dan begitu pula dalam wakaf.

30

Saifudin Nur, Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam), (Bandung: Tafakur,2007), h.51-52.

Sedangkan dalam qiyas khafiy itu disamakan dengan sewa menyewa, dalam sewa menyewa tanah pertanian hak jalan lintas dan pengairan itu termasuk karena tujuannya tidak untuk memiliki, begitu juga dengan wakaf.

b) dari hukum yang umum kepada hukum pengecualian

Misalnya : orang yang dititipi barang lalu barang tersebut hilang dengan kelalainnya maka orang tersebut harus menggantinya. Kecuali sang ayah dititipi oleh sang anak.

2) Dari segi sandaran istihsan, yaitu :

a) Dasar yang berupa qiyas, seperti contoh di atas.

b) Dasar berupa nash, seperti larangan menjual barang yang belum jelas atau tidak ada, tetepi dalam istihsan itu diperbolehkan untuk salam (memesan) terlebih dahulu.

c) Dasar yang berupa kebiasaan, seperti pemesanan barang, yang seharusnya tidak sah, karena barangnya belum ada, akan tetapi menurut istihsan itu diperbolehkan.

Golongan Hanafiah istihsan dijadikan hujjah atau dalil hukum, begitu juga sebagian besar golongan Malikiyah dan Hanabilah menggunakan istihsan dalam menetapkan suatu hukum. Adapun Imam Syafi’i mengingkari istihsan sebagai hujjah dan barang siapa yang beristihsan berarti ia telah mengadakan syariat sendiri, sedangkan yang berhak mengadakannya hanyalah Allah dan Rasul-nya.

4. Mashlahah Mursalah

Mashlahah mursalah adalah kebaikan (kemaslahatan) yang tidak disinggung-singgung syara secara jelas untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan apabila dikerjakan akan membawa manfaat. Dalam mashlahah mursalah diharuskan syarat-syarat sebagai berikut :

a). Hanya berlaku dalam bidang mu’amalah, karena persoalan ibadah tidak berubah.

b). Tidak berlawanan dengan maksud syariat atau salah satu dalilnya.

c). Mashlahah ada karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.

Imam Malik adalah seorang faqih yang paling banyak menggunakan mashlahah mursalah, beliau beralasan bahwa Tuhan mengutus Rasulnya untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.

Contoh dari mashlahah mursalah :

- Dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak ada nash yang melarang mengumpulkan al-Qur’an dari hafalan kedalam tulisan, meskipun demikian para Sahabat di zaman Abu Bakar untuk menulis dan mengumpulkannya untuk kemashlahatan ummat yang saat itu Sahabat yang hafal al-Qur’an banyak yang meninggal.

- Pencatatan perkawinan dalam surat yang resmi menjadi maslahat untuk sahnya gugatan dalam perkawinan, waris dan lain-lain.

5. `Urf

’Urf adalah apa yang biasa dilakukan orang, baik ucapan maupun perbuatan, dengan kata lain adalah adat kebiasaan. Seperti kebiasaan dalam ucapan walad yang biasanya diartikan untuk anak laki-laki.

Secara garis besar ’urf di bagi menjadi dua :

1). ’Urf yang benar (shahih), yakni adat kebiasaan yang tidak menyalahi ketentuan syara seperti membayar mahar (maskawin) di muka.

2). ’Urf yang rusak (fasid), yakni adat kebiasaan yang berlawanan dengan ketentuan syara, atau membawa kerusakan seperti membiasakan transaksi-transaksi yang bersifat riba.

Ada beberapa alasan pengambilan ’Urf, yaitu :

a. Syariat Islam dalam menetapkan hukum juga mempertahankan kebiasaan yang berlaku pada bangsa Arab, seperti syarat kafa’ah dalam perkawinan.

b. Apa yang biasa dilakukan orang, baik ucapan maupun perbuatan, menjadi pedoman hidup yang dibutuhkan selama mengandung kebaikan dan kemaslahatan.

BAB III

PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM JA’FAR TENTANG PERAN AKAL TERHADAP ISTIMBAT HUKUM ISLAM

A. Biografi Imam Syafi’i Nasab Imam Syafi,i

Ayahnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Abid bin Abduyazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdul Manaf bin Qusha bin Kilab bin Murrah, nasabnya dengan Rasulah bertemu pada Abdu Manaf bin Qushai.

Ibunya adalah Fathimah binti Abdullah bin Hasan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiyah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi’i, istrinya Hamidah binti Nafi bin Usman bin Affan.

Imam Muhammad Idris Asy-Syafi’i asal keturunan Quraisy, Ia dilahirkan pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Ia dilahirkan di Ghazzah, wilayah Palestina pada jum’at akhir pada bulan Rajab. Tatkala umurnya mencapai dua tahun, ibunya memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Keduanyapun menetap disana. Namun ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun, ibunya memindahkannya ke Makkah karena khawatir akan melupakan nasabnya. .31

31

Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2005). h. 3-9

Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandug: PT. Al-Ma’arif, 1981), Cet, Kedua, h.50.

Mahmud Salthut, Terjemahan Dari Kitab Muqaranatulmazdhab Fil Fiqh, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000),Cet. Kesatu h.17.

Imam Syafi’i sejak kecil hidup dalam kemiskinan. Ketika beliau diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak mendapatkan upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran. Namun setiap kali seorang guru menajarkan sesuatu kepada murid-muridnya, terlihat Syafi’i kecil dengan ketajaman akal yang dimilikinya sanggup menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya untuk meninggalkan tempatnya, Syafi’i mengajarkan lagi apa yang didengar dan dipahaminya kepada anak-anak yang lain, sehingga dari apa yang dilakukannya ini Syafi’i mendapatkan upah. Setelah menginjak umur yang ketujuh, Syafi’i telah menghafal seluruh Al Qur’an dengan baik.

Syafi’i bercerita, “ketika saya mengkhatamkan Al Qur’an dan memasuki masjid, saya duduk di majelis ulama. Saya menghafal hadits-hadits dan masalah-masalah fikih. Pada saat itu, rumah kami berada di Makkah. Keadaan saya sangat miskin, dimana saya tidak memiliki uang untuk membeli kertas, namun saya mengambil tulang-tulang sehingga dapat saya gunakan untuk menulis.”

Ketika menginjak umur 13 tahun, ia juga memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang di Masjidil Harram, ia memiliki suara yang sangat merdu.

Hakim mengeluarkan hadits dari riwayat Bahhar bin Nasr, ia berkata, “apabila kami ingin menangis, kami mengatakan kepada sesama kami”, pergilah kepada pemuda kahfi!” apabila kami telah sampai kepadanya, ia mulai membuka dan membaca Al-Qur’an sehingga manusia yang ada di sekelilingnya banyak yang berjatuhan dihadapannya karena kerasnya menangis. Kami terkagum-kagum dengan kemerduan

Lihat juga : Abi Abdullah Muhammad Ibn Idris Assyafi’i, Al-Umm, (Bairut Libanon, Darul Fikr, 2009M/1429H), Zuz Awal, h. 4

suara yang dimilikinya, sedemikian tingginya ia memahami Al-Qur’an sehingga banyak terkesan bagi para pendengarnya.”

Ia kemudian mulai belajar menghapal banyak hadits, untuk itu, ia turut serta belajar pada guru-guru tafsir dan guru-guru ahli di bidang ilmu hadist. Pada masa itu harga kertas sangat mahal, untuk mencatat pelajaran, ia mengumpulkan kepingan-kepingan tulang yang lebar dan besar, di atas tulang belulang itulah ia menulis catatan-catatannya. Bila tak ditemukan tulang, ia pergi ke Diwan (tempat masyarakat mencatatkan berbagai urusannya dalam kehidupan sehari-hari, semacam kantor) untuk mengumpulkan buangan kertas yang bagian belakangnya masih dapat digunakan untuk menulis catatan pelajaran.

Sulit baginya untuk dapat memperoleh kertas, karena itu ia lebih menghandalkan ingatan melalui cara menghapal. Karena kebiasaan itulah As-Syafi’i memiliki daya ingat yang amat kuat, sehingga dapat menghapal semua pelajaran yang diterima dari guru-gurunya.32

Guru-Guru Imam Syafi’i

1. Muslim bin Khalidaz-Zanji Mufti Mekkah tahun 180 H yang bertepatan dengan tahun 760M, ia adalah Maula (budak) Bani Makzum.

2. Sufyan bin Uyai’inah Al-Hillali yang berada di Mekkah, ia adalah salah seorang yang terkenal ke-Tsiqahannya (jujur dan adil).

3. Ibrahim bin Yahya, salah seorang Madinah.

32

Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), h.383.

4. Malik bin Annas. Syafi’i pernah membaca kitab Al-Muattho’ kepada Imam Malik setelah ia menghapalnya diluar kepala, kemudian ia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat tahun 179 H, bertepatan dengan tahun 795 M.

5. Waki’ bin Jarrah bin Malik Al Kuf’i 6. Hammad bin Utsama al Hasyimi Al Kufi 7. Abdul Wahab bin Abdul Majid Al Bassri33 8. Muhammad bin Syafi’i paman beliau sendiri 9. Abbas kakeknya Imam As-Syafi’i

10.Fudhail bin Iyadl,

11.Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslamy Al-Madany 12.Muhammad bin Hasan

Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman diantaranya : 1. Mutharif bin Mazin

2. Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi

Di dalam Ar-Risalah beliau menerangkan bahwa dasar-dasar tasyri yang dipeganginya, ialah :

a) Al-qur’an menurut Dhahirnya, b) As Sunnah walaupun ahad c) Ijma dan

d) Qiyas

As-Syafi’i telah dapat mengumpulkan antara Tariqhat Ahlul Ra’yi dengan Thariqhat Ahlul Hadits, lantaran itu menjadilah mazhabnya tidak terlalu cenderung

33

kepada ahlul hadits dan tidak terlalu cenderung kepada ahlul ra’yi. Beliau menerima Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma, Qiyas dan Al-Istidlal. Tetapi menolak Istihsan yang dipegang oleh Abu Hanifah dan maslahah Mursalah yang dipegang oleh Malik. Diantara kitab As-Syafi’i yang terpenting yang sampai kepada kita adalah : Ar Risalah, dalam bidang Ushul Fiqh, Al Umm dalam bidang Fiqh, Mukhtaliful Hadits dan Musnad dalam bidang Hadits.

Sahabat-sahabat As-Syafi’i dan pengembang-pengembang madzhabnya.

Pengikut-pengikut As-Syafi’i banyak tersebar di Hijaz, Irak, Mesir dan di daerah-daerah lain.

Diantara sahabat-sahabatnya yang terkenal di mesir ialah : - Abu Ya’qub Yusuf ibn Yahya Al Buwaithi

- Abu Ibrahim Isma’il ibn Yahya Al Muzani (wafat 264 H)

- Ar Rabi’ ibn Sulaiman ibn Abdil Jabbar Al Muradi (wafat 270 H) - Ar Rabi’ ibn Sulaiman Al Jizi (wafat 256 H)

Kemudian madzhab beliau dikembangkan oleh beberapa ulama terkenal, diantaranya :

- Abu Ishaq Al Fairuzzabidi (476 H) - Abu Hamid Al Ghazali (505 H) - Abdul Qasim Ar Rafi’i (623 H) - Izuddin ibn Abdis Salam 9660 H) - Muhyiddin An Nawawi (676 H) - Ibnu Daqiqil Id (702 H)

Pada masa sekarang ini madzhab Syafi’i berkembang di Palestina, Yordania, Libanon, Syria, Irak, Pakistan, India, Indonesia, dan Jazirah Indo Cina. Juga orang-orang

Persia dan Yaman yang sunni bermadzhab dengan madzhab As-Syafi’i sekitar 100 juta ummat islam menganut madzhab As-Syafi’i. 34

Imam Syafi’i adalah murid Imam Malik yang paling disayang, sehingga beliau tinggal di rumah Imam Malik dan kehidupan beliau pun dibiayai oleh Imam Malik. Sampai beliau kembali ke Mekkah tahun 181 H, beliau dipandang sebagai penganut mazdhab Maliki, karena selama beliau berada di Irak, Syiria, Palestina yaitu di kota Ramlah beliau masih mengajarkan kitab muwaththa’ karangan Imam Malik. Terus beliau mempelajari fiqh Irak sebagai bahan pengembangan mazdhab Hanafi dan beliau langsung belajarnya kepada ulama besar yaitu Muhammad bin Hasan, dari kedua mazdhab yang beliau kuasai ternyata masih terdapat kekurangan, dari kekurangan-kekurangan itulah beliau langsung mengadakan analisa dan sintesa antara kedua pendapat itu. Kemudian beliau menetapkan pokok-pokok pikirannya dalam mengistimbatkan hukum.35

Pokok-pokok pikiran beliau ini terbentuk setelah beliau kembali ke Mekah tahun 181 H , kemudian dikembangkan di Bagdad dan Mesir. Beliau mengarang atau menilis buku-bukunya itu merupakan kumpulan dari pokok-pokok pikiran beliau sehingga sangatlah mudah dalam mencari bahan-bahan dalam mempelajari mazhabnya.

34

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,1999), h.123-125.

35

Muslim Ibrahim, M.A, Pengantar Fiqih Muqaaran, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 1991), Cet. II h. 94.

B. Biografi Imam Ja’far As-Siddiq Nasab Imam Ja’far As-Siddiq

Ja’far Ash Shiddiq adalah Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Ibunya adalah Ummu Farwah binti Al-Qasin bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Siddiq, pada beliaulah terdapat perpaduan darah Nabi Muhammad SAW, dengan Abu Bakar Ash-Siddiq RA.

Dilahirkan pada hari senin 17 Rabi’ul Awwal tahun 80 Hijriah di Madinah, pada tahun yang sama dengan kelahiran pamannya, Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin dan Imam Abu Hanifah.

Imam Ja’far lahir dengan rumah tangga ilmu, rumah tangga yang menjadi cermin bagi ilmu pengetahuan di kota Madinah. Semua keluarga Nabi pada masa itu menjauhi arena politik dan lebih mengutamakan keilmuan.

Kakek beliau adalah Ali Zainal Abidin , ia adalah seorang imam di Madinah

Dokumen terkait