• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jawara Banten: sebuah kajian sosial, politik dan budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jawara Banten: sebuah kajian sosial, politik dan budaya"

Copied!
202
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2

JAWARA BANTEN

Sebuah Kajian Sosial, Politik dan

Budaya

Fahmi Irfani, MA.Hum

YPM Press

(3)

3

Perpustakaan Nasional Katalog dalam Penerbitan (KDT)

IRFANI, Fahmi

JAWARA BANTEN: Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya

1. Jawara 2. Sosial, Politik dan Budaya 3. Banten

Penulis : Fahmi Irfani, MA.Hum Jakarta Selatan: YPM Press, 2011

Editor : Jajat Burhanuddin

Layout : Fazlul Rahman, Qustulani ZH.

Penerbit:

YPM Press (Young Progressive Muslim) Komunitas Ujung Ciputat

Wisma Safira No 1-2, Jl. Pisangan Barat I Cirendeu Ciputat Timur 15419, Jakarta Selatan, Tlp 02140991556.

ISBN : 978-602-99996-0-0 Cetakan Pertama September 2011

16,25 x 24 cm, 196 halaman

Dilarang keras memproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini, dalam bentuk apapun, atau dengan cara apapun, serta memperjual belikanya tanpa izin tertulis dari penerbit.

(4)

4

Daftar Isi ... i

Pengantar Penulis ... iv

BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan ... 1

Awal Lahirnya Jawara... 5

Definisi Pengertian Jawara Banten... 10

Pengklasifikasian Jawara... 16

Jawara Aliran Putih ... 18

Jawara Aliran Hitam... 21

Permasalahan ... 25

Penelitian Terdahulu... 25

BAB II AKAR BUDAYA KEKERASAN JAWARA Sejarah Singkat Kekerasan di Banten ... 28

Konstruk Kekerasan ... 38

Paguron Padepokan Persilatan ... 44

Silat Aliran Terumbu ... 47

Silat Aliran TTKDH ... 49

Permainan Debus Banten ... 53

Magis di Pesantren ... 55

(5)

5

Ziyad, Jeblag, Jurujud ... 61

Wafaq ... 61

Hizib ... 62

BAB. III PROFIL HISTORIS SOSIOLOGIS JAWARA BANTEN Peranan Jawara Pada Masa Penjajahan ... 66

Munculnya Jawara Sebagai Bandit Sosial ... 72

Profil Tokoh Jawara ... 78

Kiyai Wasyid dan Geger Kalong ... 78

Mas Jakaria ... 80

Pola Hubungan Relasi Antara Ulama dan Jawara ... 81

Antara Guru Dengan Murid ... 83

Sebagai Tentara Kiyai ... 87

Kepemimpinan dan Kharisma ... 94

BAB IV JAWARA DI MASA ORDE BARU Relasi Hubungan Antara Jawara dan Rezim Orde Baru ... 107

Orde Baru, Masa Pemberdayaan Jawara ... 121

Masuknya Jawara Kedalam Satkar Ulama Banten ... 127

(6)

6

BAB V JAWARA BANTEN DAN ERA REFORMASI

Jawara dan Pemerintah Lokal di Era Reformasi ... 137

Dominasi Jawara Dalam Aspek Politik ... 142

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Perdana ... 146

Dominasi Jawara Dalam Aspek Ekonomi ... 159

Praktek Premanisme Proyek ... 164

Pengaruh “Tokoh Jawara” Dalam Komunitas Jawara...167

H. Tubagus Chasan Sohib / The Godfather ... 168

BAB VI PENUTUP Kesimpulan ... 174

Glosarium... 177

Daftar Pustaka ... 182

(7)

7

PENGANTAR PENULIS

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt, atas izinNya-lah karya tulis yang berjudul Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, dapat diselesaikan dalam waktu kurun, satu tahun lebih satu bulan. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw.

Karya tulis ini pada awalnya adalah sebuah Tesis, yang berjudul Perkembangan Jawara dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Banten pada masa Orde Baru - era reformasi, dan bertujuan dalam meraih gelar S2 MA. Hum (Magister Agama bidang Humaniora), konsentrasi Sejarah dan Peradaban Islam di Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. Atas masukan dari Prof. Azra, agar buku ini lebih menarik di baca maka judul ini pun berubah menjadi, Jawara Banten Sebuah Kajian, Sosial, Politik, dan Budaya. Selain itu, atas ketentuan dan kebijakan dari pihak Pasca, maka Tesis ini dapat dipublikasikan.

Berbicara tentang Banten maka mindset yang ada dipikiran kebanyakan orang adalah, kiyai, jawara, Ilmu kesaktian, debus, teluh, silat, dan lain sebagainya. Lantaran muncul dan berkembangnya pemikiran demikian, karena secara realita kita dapat dengan mudah menemui hal-hal diatas, banyaknya pondok-pondok salaf yang berkembang di Serang, Pandeglang, Labuan, dan Tangerang yang mengajarkan ilmu-ilmu hikmah dan silat kanuragan. Panasnya iklim cuaca di Serang dan wilayah plosok Banten, tidak menyurutkan penulis untuk terus menelisik jauh tentang dunia jawara dan kehidupan sosial di Banten.

(8)

8

tidak hanya meliputi sebatas jaro, guru ilmu magis, atau penjaga keamanan. Pada Era Reformasi kini, banyak Jawara yang beralih profesi menjadi, pegusaha, pejabat dan politikus.

Selain itu, sebagai bentuk syukur penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu riset penelitian ini, membimbing, dan memberikan kemudahan dalam penyelesaian buku ini. Tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang terkait, riset penelitian ini belum tentu akan selesai dan dapat dipublikasikan.

Kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Serta Prof. Dr. Suwito, M.A, Dr. Fuad Jabali, M.A, Dr. Yusuf Rahman, M.A. Serta seluruh pihak dosen yang telah mengajar dan staf akademik yang melayani keperluan baik akademik, maupun surat riset penelitian penulis. Kepada Dr. Jajat Burhanuddin, M.A selaku pembimbing Tesis. Ditengah kesibukannya, menyempatkan diri untuk membimbing penulis dalam riset penelitian selama satu tahun lebih satu bulan, dengan penuh kesabaran dan ketelitian dalam mengoreksi tulisan ini. Selain itu, memberikan masukan baik secara metodologi maupun tekhnik terjun dilapangan, dalam mengumpulkan sumber-sumber. Kepada Pihak Komunitas Ujung Ciputat /YPM Press, terimakasih telah bersedia menerbitkan hasil penelitian ini, semoga komunitas intlektual ini terus berkembang dan melebarkan sayap pemikiran-pemikarannya. Tak lupa penulis mengucapkan rasa terimaksih kepada Mas Suaedy, Dr. Ali Munhanif, dan Prof. Dr. Didin Saefuddin, yang telah bersedia memberikan komentar dan kritisinya atas terbitnya buku ini.

(9)

9

dede, kabeh sadayana duduluran, hatur nuhun atas samangat sareng nasehatna.

Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada para nara sumber dan sahabat, rekan-rekan Jawara PPPSBBI, para Kiyai, para peneliti, para tokoh politik dan para ustad ; Kang Mamed, Khatib Mansur, Kang Azwar, Hudaeri, Abdul Hamid, Aa Hera, H. Embang, KH. Uci, KH. Nur Alam, Abuya Muhtadi, Kang Gofur Kadu. Dan nara sumber lainnya, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, tanpa mengurangi rasa hormat. Rekan-rekan sahabat Komunitas Ujung Ciputat alias YPM Young Progressive Muslim, Fazlul Rahman, Qustulani, Fuad, Fauzi, mbk Mala, mbk Iswatin, mbk Eti, Falah, H. Rizal, Ust. Indra, mas Darsito, Uda Agus, mang Mu’an, yang selau setia menemani dan meanghadirkan canda tawa, diskusi di kosan pak Azra, semanggi, dan warung kopi. Harapan penulis semoga karya ini mendapatkan perhatian baik dari kalangan akademisi, politisi, dan pemerintah, agar menjadikan bahan rujukan.

Fahmi Irfani

(10)

10

BAB I

PENDAHULUAN

Banten adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di bagian barat penduduk pulau jawa.1 Sebagaian besar penduduk yang mendiami wilayah ini menganut agama Islam sebagai kepercayannya, walaupun masih terdapat sedikit yang menganut kepercayaan nenek moyang (Orang Baduy). Berbicara tentang Banten, maka setiap orang akan berasumsi bahwa daerah tersebut adalah daerah para Ulama, Kiyai dan Jawara. Sterio tipe tersebut muncul lantaran kuatnya Islam mengakar dalam setiap individu masyarakatnya baik secara tradisi, kultural, maupun ritual. Selain itu pun daerah ini dikenal dengan daerah magis tempat mencari ilmu kanuragan, kesaktian, Debus dan sebagainya. Pada abad ke-16 M, Islam menyebar di wilayah Banten sampai puncaknya yang ditandai dengan berdirinya Kesultanan Banten Girang (1520-1820 M). Kesultanan Banten sendiri berdiri pada tahun 1552, yang diprakarsai oleh pangeran Sabakingking putra sunan Gunung Djati, dengan melakukan pemberontakan dan menaklukan Banten Girang.

Sebagai bekas Kerajaan Islam (Banten), posisi Ulama di wilayah ini tentu sangat kuat dan memiliki hirarki sosial yang signifikan di dalam struktur masyarakat Banten. Hal ini dikarenakan kedudukan Ulama adalah perpanjangan tangan dari Sultan dalam proses Islamisasi di daerah pedesaan yang mendorong munculnya lembaga pesantren yang dipimpin oleh kiyai sebagai figure kepemimpinan. Kiyai sebagai

1

(11)

11

guru yang mentransmisikan ilmu keislaman kepada santri-santrinya di pesantren.2

Kiyai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama, tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik, sehingga kekuasaanya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal elit pemerintahan.3 Kedudukan ini terus berlangsung walaupun Kesultanan telah dihapus oleh Daendels pada tahun 1808 M dan dikuasai oleh pemerintahan kolonial Belanda. Kelestarin kepemimpinan Kiyai sebagai tokoh masyarakat ini pun nampaknya didukung penuh oleh element masyarakat Banten. Para tokoh Kiyai inilah yang telah berhasil memimpin mobilisasi massa untuk memberontak, seperti halnya pemberontakan petani Banten yang terjadi pada tahun 1888 dan pemberontakan komunis 1926 di Banten.4

Disamping dikenal sebagai daerah Kiyai, Bantenpun dikenal sebagai tempatnya para Jawara. Tihami mendeskripsikan perbedaan makna dan peran antara Kiyai, Santri, dan Jawara. Dalam masyarakat Banten Kiyai adalah tokoh sentral dalam komunitasa ini, sedangkan Jawara dan santri adalah murid dari Kiyai. Perbedaan antara Jawara dan santri terletak pada ketekunan mereka ketika berguru. Santri lebih menekuni ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan Jawara lebih menekuni bidang yang

2

Menurut pendapat Dhofier tentang pandangan hidup Kiyai, ia mendefinisikan konsep Kiyai sebagai elemen penting dari suatu pesantren,sekaligus Kiyai merupakan pemberian gelar terhadap Ulama dari kelompok Islam tradisional yang memiliki pesantren. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren , Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1985).

3

Hal tersebut senada seperti yang diungkapkan oleh Turmudi, bahwasanya hubungan Kiyai dengan masyarakatnya diikat dengan emosi keagamaan yang membuat kekuasaan sahnya semakin berpengaruh. Kharisma yang menyertai aksi-aksi Kiyai pun, menjadikan hubungan tersebut penuh dengan emosi. Lihat, Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiyai dan Kekuasaan

(Yogyakarta: LKiS, 2004). 4

(12)

12

terkait dengan pengolahan raga dan batin5. Eksponen-eksponen inilah yang mewarnai masyarakat Banten.

Terdapat semacam image bahwa sebagian masyarakat Banten memiliki watak keras dan tutur bahasa yang kasar. Bahkan sebagian lainya berpendapat jika orang-orang Banten lekat dengan sifat keberanian, kekuatan fisik, menguasai magis ataupun mistik6, patuh kepada kiyai (sebagai guru) dan hal-hal lainnya yang menandai sosok keperibadian Jawara. Mereka yang mengakui akan adanya eksistensi para Jawara tidak hanya terdiri dari masyarakat awam, termasuk kalangan akademis yang pernah meneliti tentang Banten, seperti Kartodirdjo (1984), Martin Van Bruinessen, Nina H Lubis, Williams dan Tihami (1992).

Dengan pengakuan atas keperibadiannya itu tak heran jika Jawara dianggap pemimpin oleh segolongan tertentu masyarakat lokal. Para Jawara tersebut turut berperan serta dengan para Kiyai dalam memobilisasi pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Banten, sebut saja peristiwa pemberontakan petani Banten 1888 yang dimotori oleh kiyai Washid, pemberontakan komunis di Banten 1926 (Kiyai Achmad Chatib), dan peristiwa Banten Girang. Eksistensi Jawara di Banten tak bisa lepas dari sosok Kiyai, Jawara adalah muridnya Kiyai. Pada masa kolonial, Jawara berfungsi sebagai tentara fisik yang bersama Kiyai melakukan perlawanan terhadap tentara kolonial.

Dalam studinya Tihami menjelaskan bahwasanya Kiyai memiliki dua varian murid, di antara muridnya tersebut ada yang memiliki kecenderungan bakat pada ilmu pengetahuan agama. Tapi, adapula di antara muridnya yang memiliki kecenderungan kearah perjuangan. Pada

5

Disini Kiyai berperan sebagai golongan yang berkemampuan mewujudkan magis dan menjadi sumber dari mantra-mantra tersebut, sedangkan Jawara adalah golongan yang menerima kemampuan magis dari kiyai. Lihat MA Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten, Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang, Banten” (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992), 4.

6

(13)

13

akhirnya murid yang cenderung pada ilmu agama disebut santri, sedangkan yang cenderung pada kekuatan fisik dan bernuansa magis adalah Jawara.7 Maka dahulu posisi Jawara merupakan pengawal para Kiyai. Pada masa-masa sulit Jawara banyak membantu peran para Kiyai terutama dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat. Kekuatan fisik, magis dan kharisma para Jawara diperoleh langsung dari Kiyai.

Lain halnya dengan Kartodirdjo, ia mendefinisikan kelompok Jawara sebagai orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan sering melakukan perbuatan kriminal, dan cenderung di golongkan kedalam kelompok bandit sosial. Kedua golongan inilah yang memiliki peran kekuasan politik informal di daerah Banten, bahkan hal tersebut berlangsung sampai saat ini. Kedua golongan inilah yang disebut oleh Kartodirdjo sebagai golongan yang menembus batas-batas hirarki masyarakat Banten.8

Orang yang menyandang gelar Kiyai dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa dan legitimate berdasarkan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, gelar Kiyai merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukanlah suatu gelar akademis yang diperoleh dalam pendidikan formal. Sementara itu, Jawara adalah sekelompok yang memiliki kekuatan fisik dan memiliki ilmu kesaktian, sehingga bagi sebagian orang dapat membangkitkan rasa hormat, kagum, takut bahkan benci. Oleh karena itu, Jawara dapat menjadi seorang tokoh kharismatik di Banten. Berbeda halnya dengan para Kiyai, peranan sosial Jawara lebih cenderung kepada kepada pengolahan kekuatan yang berujung kepada premanisme dan kekuasaan.

Sampai saat ini terdapat beberapa perbedaan kapan jelasnya Jawara itu muncul dan lahir. Sebagian sarjana berpendapat, bahwa Jawara muncul pada abad ke-19, ketika tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar, sehingga memunculkan konflik dan berakibat kepada pemberontakan yang

7

MA Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten,Studi tentang Agama, Magi”..., 21.

8

(14)

14

dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya Kiyai. Dari kondisi seperti inilah muncul Jawara, sementara itu Kartodirdjo mengungkapkan Jawara muncul akibat dari hancur dan ambruknya tatanan sosial masyarakat akibat dihapusnya Kesultanan oleh Dandles pada masa kolonial, sehingga memunculkan perilaku kriminal dan bandit sosial.9 Jawara dalam pandangan masyarakat Banten dianggap pemimpin oleh segolongan tertentu masyarakat lokal, dan membentuk kultur dan kebudayaan tersendiri di daerah Banten.

Awal Lahirnya Jawara

Banten merupakan daerah yang unik dengan tradisi dan kultur budaya lokalnya. Para antropolog mencoba mendefinisikan bermacam-macam pengertian budaya. Definisi budaya menurut Clyde Kluckhohn berbeda dengan Kuntowijiyo, walaupun demikian terdapat persamaan substansi. Budaya sendiri terbentuk dari suatu komunitas masyarakat, yang memiliki pemikiran dan menciptakan warisan tradisi serta kultur budaya terhadap komunitas itu sendiri10.

9

Pendapat ini diperkuat oleh Nina H lubis Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, dan Jawara, Sartono Kartodirdjo Pemberontakan Petani Banten 1888 dan Williams, Sickle and Crescent, The Communist Revolt of 1926 in Banten

10

(15)

15

Kultur budaya Banten yang sangat erat dengan nilai-niai budaya Islam telah menciptakan budaya tersendiri yang dapat dikatakan sebagai sebuah asimilasi budaya, dan sebuah diffusonis budaya antara kultur budaya lokal dengan Islam. Sedangkan menurut Ankerman, kombinasi antara suatu kultur kebudayaan (Islam) dengan kultur kebudayaan setempat dinamakan kompleks kebudayaan (kumpulan kebudayaan), sedangkan lingkungan tempat unsure kebudayaan itu terdapat dinamakan lingkaran kebudayaan kulturkreise11.

Kedudukan peran dan jaringan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarkat Banten, sehingga jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki norma, nilai dan pandangan hidup yang khas. Inilah yang disebut sebagai subkultur komunitas jawara Banten, yang berbeda dari komunitas lokal daerah lainnya.12 Bahkan lebih dari hal demikian, kata Jawara sendiri telah dikenal dalam kamus bahasa Indonesia. Dengan demikian terdapat indikasi bahwa kata Jawara menurut terminologi budaya, telah masuk kedalam domain nasional dan telah dikenal luas dalam bahasa sehari-hari masyarakat Indonesia.

Selanjutnya adalah, karakter yang dimiliki oleh para jawara merupakan hasil suatu rekonstruksi kultur budaya yang ditanamkan melalui interaksi sosial antar budaya. Dalam proses interaksi tersebut terjadi penanaman dan pewarisan nilai-nilai kultur tradisi budaya kejawaraan. Untuk menjadi sosok seorang

11

C.H.M. Palm,Sejarah Antropologi Budaya. (Bandung: Jemmars, 1984), 45.

12

(16)

16

jawara yang berkharisma dan disegani dibutuhkan proses pelatihan yang panjang dan cukup berat, baik dari aspek fisik dan mental batin. Maka tidak heran jika seorang jawara tidak hanya cakap secara fisik, melainkan secara rohaniah spiritual batin telah siap. Dalam proses pelatihanya jawara harus menempa diri dengan latihan panjang ilmu-ilmu bela diri atau persilatan yang banyak berkembang di wilayah provinsi Banten. Selain itu ia pun harus menempuh latihan spiritual, dengan melaksanakan puasa yang cukup panjang dan bervariasi, ada puasa empat hari, tujuh hari, empat puluh hari dan seterusnya. Sedangkan tingkatan panjangnya puasa yang dijalankan seorang jawara, merupakan lapisan yang membedakan level kesaktian para jawara.

Terdapat beberapa versi tentang lahir atau awal munculnya jawara di Banten, akan tetapi secara historis kapan lahirnya jawara Banten tidak diketahui secara tepat. Sebagian data sumber diperoleh dari folklore masyarakat Banten, akan tetapi peranan jawara dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Banten dapat ditelusuri hingga pada masa Kesultanan Banten. Peranan jawara dalam kehidupan masyarakat Banten mulai muncul ke permukaan terjadi pada masa akhir keruntuhan Kesultanan Banten, dan kekuasaan kolonial sudah lagi tidak efektif pada abad ke 19 M. Pasca dihapusnya pemerintahan Kesultanan Banten oleh Dandles, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar sehingga memunculkan konflik di masyarakat. Di sejumlah wilayah Banten terjadi kekosongan pemerintah yang menyebabkan kekacauan, dari konflik dan kekacauan inilah berakibat pada pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya para kiyai.

Dari kondisi seperti inilah jawara muncul dan tampil bersama para kyai sebagai pemimpin informal masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena jawara memiliki keterampilan beladiri, silat, ilmu magis sebagai keterampilan untuk menghadapi situasi yang kacau dalam menghadapi pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda13. Selain itu posisi jawara sebagai murid khodam kiyai dianggap relevan dalam membantu perjuangan kiyai. Lain halnya dengan Kartodirdjo, jawara muncul

13

(17)

17

akibat dari hancur dan ambruknya tatanan sosial masyarakat akibat dihapusnya Kesultanan, sehingga memunculkan perilaku kriminal dan bandit sosial14. Selain itu para jawara memiliki paguron (padepokan silat) dan jaringan antar paguron, yang kemudian menjadi basis sosial utamanya. Sebagai pemimpin informal, jawara berupaya untuk memulihkan keadaan, tidak sedikit diantara mereka kemudian ada yang berprofesi sebagai jaro, baik pada masa kolonial, pasca kemerdekaan, orde baru, bahkan sampai saat ini.

Sumber lain menyebutkan bahwa jawara lahir tak luput dari peran dan eksistensi para kiyai Banten. Di mana pada saat itu aneksasi pemerintahan kolonial Belanda yang tejadi pada abad 19 M. telah memunculkan kiyai sebagai tokoh sentral pemberontakan. Kiyai sendiri memiliki dua varian murid, diantara muridnya tersebut ada yang memiliki kecenderungan bakat pada ilmu pengetahuan agama. Tetapi di lain pihak, adapula murid yang kurang begitu memahami pendalaman agama melainkan memiliki bakat silat dan kecenderungan kearah perjuangan. Pada akhirnya murid yang cenderung pada ilmu agama disebut santri, sedangkan yang memiliki bakat kekuatan fisik (silat) dan bernuansa magis adalah jawara15. Disini kiyai berperan sebagai sumber kekuatan magis bagi para jawara, lewat kiyai lah ilmu kesaktian, sepertihalnya kanuragan, brajamusti, kebal dan magis ditransform kepada jawara. Hubungan emosional antara murid dengan guru yang dialami oleh kiyai dan jawara, terjalin sangat erat di antara kedu belah pihak.

Tidak heran jika para akademisi memunculkan spekulasi anggapan bahwa awal lahirnya komunitas jawara ditengarai pada

14

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), 83.

15

(18)

18

masa pemberontakan yakni pada abad 19 M. Karena pada masa itulah komunitas jawara mulai dikenal, dan secara tidak langsung dimunculkan oleh Kartodirdjo dan Williams16 dalam penelitiannya yang ditinjau dalam aspek historis. Penelitian yang dilakukan oleh Kartodirdjo maupun William, belum tentu dapat dibenarkan perihal lahir dan munculnya komunitas jawara di Banten.

Selain ada yang mengatakan bahwa jawara Banten muncul pada abad ke 19 M, ada pendapat yang mengatakan bahwa kata “jawara” muncul di dunia persilatan di Banten. Tidak heran jika ada sebagian pendapat yang mengemukakan hal demikian, selain daerah Banten dikenal dengan basis Islamnya yang kuat daerah ini pun dikenal dengan daerah persilatan. Sejarah dunia persilatan di Banten sendiri memiliki akar yang panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah seekitar gunung karang , Pandeglang.

Pada masa lalu tradisi persilatan di Banten nampaknya menjadi suatu kebutuhan bagi individu-individu tertentu untuk mempertahankan keehidupan dirinya dan kelompoknya. Hidup di daerah terpencil dan rawan dari tindakan-tindakan kriminal dari pihak lain, tentunya membutuhkan keberanian dan memiliki kekuatan fisik yang baik. Kondisi seperti ini nampaknya mendorong setiap individu untuk membekali dirinya dengan kemampuan bela diri dengan belajar di persilatan. Dalam dunia persilatan sendiri terdapat turnamen-turnamen, dimana para

16

Penelitian yang dilakukan oleh Kartodirdjo dan Williams, sebenarnya tidak concern membahas awal lahir dan munculnya subkultur Jawara di Banten, melainkan hanya mencantumkan eksistensi jawara dalam proses pemberontakan-pemberontakan di Banten pada abad ke 19 M secara historis. Penelitian Kartodirdjo dan Williams nampaknya dijadikan rujukan oleh beberapa kalangan akademisi dalam menentukan kemunculan jawara, hal ini dapat dilihat dari karya Nina H lubis, Atu Karomah, Andi Rahman Alamsyah dan Ahmad Abrori. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta : Pustaka Jaya, 1984), Michael C Williams,

(19)

19

pesilat bertarung untuk menjajal kemampuan bela diri mereka. Dapat dimungkinkan bahwa istilah jawara sendiri nampaknya muncul dari kondisi tersebut. Jawara yang juga dapat dimaknai “juara” atau “pemenang” mengindikasikan makna bahwa orang yang telah berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Seorang jawara yang terkenal dan ditakuti oleh lawan maupun kawan, dapat dipastikan karena memiliki keunggulan dalam hal keberanian dan menaklukan lawan-lawanya. Kemempuan tersebut ditunjang oleh keahlian dalam ilmu persilatan atau bela diri serta dalam memainkan senjata khas yang dimiliki oleh jawara yakni sebuah golok.

Definisi Pengertian Jawara Banten

Selanjutnya adalah, apa sebenarnya definisi dan pengertian dari jawara itu sendiri. Terdapat stigma yang negative dari kebanyakan masyarakat Indonesia tentang memaknai definisi dan pengertian dari Jawara itu sendiri. Jawara kerap kali diartikan sebagai orang yang memiliki kekuatan fisik yang kuat, mahir dalam berkelahi, berwatak kasar, sering menggunakan kekerasan, serampangan, jagoan dan sampai kepada kesimpulan sebagai bandit lokal. Pandangan dan stigma masyarakat terhadap makna pengertian dari jawara itu sendiri tidak lepas dari beberapa aspek antara lain; aspek tempat daerah dimana jawara itu hadir, aspek historis dimana jawara itu lahir, dan aspek kultur kebudayaan lokal masyarakat dimana jawara itu berada. Oleh karena itu daerah dan orang Banten selain dikenal sebagai basis daerah Islam tradisional yang kuat, selain itu oleh sebagian masyarakat Indonesia, Banten dikenal sebagai daerah yang kasar, pemberani, lekat dengan magis dan ilmu-ilmu mistik. Hal tersebut terkait tentang keberadaan dan eksistensi para jawara di Banten.

Eksistensi Jawara di Banten turut berkontribusi atas image dan pandangan masyarakat terhadap Banten itu sendiri. Menurut Boas daerah-daerah kebudayaan yang memiliki ciri kelompok corak-corak kebudayaan yang khas seperti Banten inilah, disebut dengan “cultur are”.17 Banten sebagai tempat dearah Jawara di

17

(20)

20

lahirkan, telah membentuk karakter sifat dan budaya sebagian masyarakat Banten yang sering menggunakan instrument kekerasan dalam setiap keadaan-keadaan tertentu. Hal ini tidak terlepas dari sudut pandang historis perkembangan Banten itu sendiri, dalam pergolakan pemberontakan dalam melawan penjajahan masa lalu.

Sejauh ini terdapat beberapa akademisi yang meneliti tentang keberadaan Jawara Banten, baik dari kalangan dalam negeri maupun luar negeri. Hadirnya kajian dari beberapa peneliti ini, turut memberikan definisi pengertian-pengertian yang berbeda tentang Jawara itu sendiri. Kata “Jawara” di daerah asalnya (Banten) sendiri umumnya dikenal untuk menunjukan seorang laki-laki berpenampilan sangar, berpakaian serba hitam, celana pangsi, baju silat, barangbang semplak (ikat kepala) atau menggunakan peci hitam, kumis panjang melintang, mata merah, tangan penuh dengan cincin dan akar bahar, membawa golok, ikat pinggang yang lebar, dan beserta sarung yang diselempangkan di pundaknya. Setidaknya inilah gambaran jawara dalam artian keseharian mereka, sedangkan pada umumnya kepandaian seorang jawara dinilai dari sisi bela diri dan dianggap lebih tinggi dari pada yang lain sehingga yang lain takluk kepadanya.akan tetapi pengertian seperti yang di sebutkan diatas, hanyalah salah satu dari sekian banyak pengertian dan definisi jawara.

Sebagian besar orang menginterpretasikan jawara berasal dari kata “juara” yakni orang yang menang dalam suatu kompetisi, atau dapat diartikan sebagai orang pilihan nomor satu. Sedangkan mengenai pengertian definisi makna Jawara, banyak para akademisi baik dari kalangan sejarawan maupun budayawan telah mencoba menyusun berbagai definisi-definisi pengertian tentang jawara itu sendiri. Berikut adalah definisi pengertian dan deskripsi tentang jawara menurut para kalangan:

Dalam bukunya Communism, Religion, and Revolt ini Banten, Williams mendeskripsikan jawara sebagai kelompok

(21)

21

orang yang mengangkat sumpah janji (oath-taking) dan ketaatan tegas kepada sang pemimpin. Kelompok ini bertujuan membangun kekuatan supranatural dengan cara mengembangkan unsur-unsur mistis dan magis selanjutnya diformulakan kedalam amalan-amalan ataupun sejenis jimat, rajah dan wafak18. Kekuatan tersebut bersumber dari seorang guru kepada muridnya, guru disini merupakan seorang pemimpin dari sebuah padepokan persilatan ataupun seorang kiyai.

Kekuatan magis yang dimiliki oleh para jawara, merupakan proses transfromasi oleh seorang guru (kiyai) kepada muridnya, proses kepemilikan ilmu kedigjayaan magis ataupun kanuragan hanya berhak dipergunakan oleh si murid yang menerimanya. Kepemilikan ilmu tersebut tidak bisa untuk diturunkan atau dimiliki oleh orang lain, terkecuali jika diberi oleh sang guru (kiyai) tersebut kepada orang lain. Selain itu jawara memiliki jaringan-jaringan yang membentuk suatu kelompok yang dipersatukan dalam suatu ikatan, dengan memiliki kultur dan budaya tersendiri, seperti halnya mereka mengenakan pakaian serba hitam sebagai kostum ciri khasnya. Pandangan Williams tentang jawara lebih didominasi oleh pandangan negative, yakni lebih memosisikan jawara yang erat dengan dunia hitam, mistis, kekebalan tubuh dan kemaskulinannya. Sehingga melupakan unsur-unsur kesantrian dan keislaman, yang semestinya lekat dengan kultur budaya mereka.

Adapun Sartono Kartodirdjo salah seorang sejarawan indonesia, yang turut memberikan deskripsikan Jawara dalam karyanya Pemberontakan Petani Banten 1888 M, ia menggambarkan jawara dengan citra negative. Definisi pengertianya tentang jawara yang digambarkan sebagai elit pedesaan di Banten yang menembus batas-batas hirarki sosial. Jawara merupakan pimpinan non formal dalam kultur budaya masyarakat Banten. Umumnya mereka para jawara terdiri dari orang-orang yang tidak memilki pekerjaan tetap, cenderung membangkang, tidak mempunyai tempat tinggal tetap, hidup

18

(22)

22

diluar hukum dan seringkali melakukan kegiatan-kegiatan kriminal, dan digolongkan kedalam kelompok bandit sosial19.

Pandangan Kartodirdjo tentang jawara dapat dikatakan keliru, karena mendeskripsikan jawara secara tidak lengkap. Penelitianya tentang Banten hanya difokuskan tentang gejala-gejala aspek pemberontakan sosial yang terjadi di Banten. Ia tidak meneliti lebih lanjut kultur historis Jawara dalam budaya di Banten, justru sebaliknya Jawara dalam pandangan masyarakat saat itu, diposisikan sebagai pahlawan dan membela orang-orang lemah. Pada masa ini posisi jawara di gambarkan sebagai Si Pitung (tokoh legendaris dari Betawi), mereka melakukan perbuatan kriminal dengan merampok para pejabat, pegawai kolonial Belanda atau para saudagar kaya, dan membagikan hasilnya kepada rakyat miskin. Perbuatan tindakan yang mereka lakukan, merupakan ekses dari tekanan pihak kolonial Belanda terhadap warga Banten.

Sedangkan Tihami seorang antropologis Indonesia dalam karyanya kiayi dan jawara Banten, ia menggunakan kajian Loze dan Meijer tentang jawara. Loze mendefinisikan pengertian Jawara dari segi negative, dan ia mendeskripsikan jawara sebagai sosok yang jahat. Lain halnya dengan Meijer, ia mendefinisikan karakteristik jawara sebagai seorang pemberani yang dapat dipercaya untuk menjadi pengawal keamanan pribadi dan umum. Selain itu jawara inipun terorganisasi dalam sebuah jaringan, sehingga memiliki pengikut yang disebut anak buah, dan kepala jawara yang disebut Abah (kepala jawara). Adapun yang kerap melakukan tindakan kejahatan adalah para anak buah, sedangkan pimpinan jawara sendiri duduk dan mengamati sebagai tokoh mengatur dari kejauhan. Walaupun demikian keduanya tetap disebut sebagai bandit.

Lain halnya dengan Williams, Loze maupun Meijer, Tihami mendefinisikan Jawara adalah sebagai seorang pendekar, kesatria dan menjadi pembela orang-orang yang lemah. Selain itu jawarapun termasuk orang yang saleh, karena ia merupakan murid dari kiayi yang mendalami ilmu-ilmu kanuragan dan magis. Selain itu jawara merupakan sosok pahlawan Banten, yang

19

(23)

23

bersama dengan kiyai melakukan pemberontakan terhadap pihak kolonial Belanda.20 Muncul dan berkembangnya image buruk jawara sebagai pemberontak lebih di dominasi persoalan politik pada masa penjajahan dan pasca kemerdekaan, hal ini karena tekanan-tekanan pihak kolonial kepada rakyat Banten, dan sulitnya pendapatan di sektor ekonomi. Menurut Tihami jawara pada masa sekarang cenderung menjadi symbol kelompok yang ingin turut berkontribusi dalam peran kemasyarakatan dengan memiliki skill keberanian dan kekuatan fisik.

Definisi selanjutnya datang dari Nina Lubis yang meneliti tentang jawara di lihat dari aspek historis (Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara menurutnya). Menurutnya, jawara saat ini diartikan dengan berbagai perilaku negative, seperti halnya kata jawara sendiri dikonotasikan sebagai “jalema wani rampog” (orang yang berani merampok) atau “jalema wani ruhul” (orang yang berani berbohong atau menipu). Pencitraan jawara sebagi sosok yang negative dan kriminil terus terbawa hingga sampai abad ke 20 M, bahkan sampai saat ini citra negative jawara sebagai sosok bandit lokal terus dikenal. Padahal pada masa lalu, jawara dikenal sebagai pahlawan yang berjuang melawan penjajahan kolonial Belanda, dan membela orang-orang lemah. Akan tetapi makna pengertian jawara saat ini telah mengalami pergeseran sosial, hal ini dikarenakan perbuatan sebagaian oknum jawara yang telah berbuat kekacauan, dan pada akhirnya pengertian jawara sendiri terkontaminasi dengan perilaku premanisme.21

Sedangkan menurut Abrori, terdapat perbedaan antara Jawara dengan pendekar, walaupun keduanya memiliki persamaan makna dalam kaca mata masyarakat Banten. Jawara didefinisikan sebagai seorang pahlawan Banten yang memiliki kekuatan fisik dan keberanian yang luar biasa karena kemampuannya dalam mengolah ilmu silat dan magis. Sedangkan pendekar lebih dipahami sebagai orang-orang yang dengan

20

M.A. Tihami, Kiyai dan Jawara di Banten : Studi Tentang Agama, Magi dan Kepemimpinan di Desa Pesanggrahan Serang Banten (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992).

21

(24)

24

keberanianya dapat menguasai ilmu-ilmu silat, kekebalan tubuh, dan berusaha berpartisipasi dalam pembangunan dan keamanan Banten saat ini22. Lebih dari itu, jawara untuk saat ini menjadi pemimpin sosial dan memiliki sumber-sumber ekonomi, inilah yang gambaran jawara kontemporer. Dimana peran sosial jawara tidak hanya sebatas sebagai jaro, lurah, guru silat, dan pemimpin tradisional, melainkan menjadi pengusaha dan patron kekuasaan.

Disinilah terdapat perubahan dalam struktur sosial jawara, akan tetapi walau bagaimanapun kultur budaya dan tradisi yang melekat dalam jawara tidaklah berubah. Kebudayaan bukan saja gejala etis, astetis, ataupun simbolis, akan tetapi kebudayaanpun masuk kedalam gejala sosial. Perubahan sosiokultural yang terjadi dalam dunia jawara, sama halnya dengan kasus yang di kaji oleh Kuntowijoyo pada masyarakat priyayi Jawa.23 Perbedaanya terletak pada perubahan sosiokultural di Jawa yang diikuti pula oleh berubahnya kultur budaya priyayi dari keraton ke pemerintahan kolonial, sedangkan jawara tidak mengalami hal yang demikian. Jawara tetap lekat dengan kultur tradisinya, sebagai pemimpin non formal dalam kultur budaya masyarakat Banten.

Dari berbagai definisi-definsi tentang pengertian jawara yang diungkapkan oleh berbagai kalangan akademisi, terdapat beberapa perbedaan antara satu sama lain. Terdapat penilaian yang menyudutkan posisi peranan jawara dalam masyarakat Banten, dilain pihak ada yang mendeskripsikan kelompok jawara dari sisi positif dan negatifnya. Tetapi yang lebih penting dari hal

22

Ahmad Abrori, Perilaku Politik jawara Banten dalam Proses Politik di Banten (Depok: Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2003).

23

(25)

25

di atas, terdapat perubahan peranan sosial para jawara dikalangan masyarakat Banten. Dari beberapa definisi pengertian di atas, penulis memberikan definisi pengertian tentang jawara; bahwa jawara adalah, salah satu murid dari kiyai yang memiliki keberanian dan kemampuan bela diri dalam mengolah tubuh dan tenaga dalam, seperti halnya ilmu kekebalan tubuh, ilmu brajamusti, kanuragan, kekuatan magis dan kewibawaan kharisma, selain itu ia melakukan aktivitas kegiatan sosial dengan spirit perjuangan, membela rakyat lemah dan semangat heroisme. Kekuatan yang diperoleh dari jawara baik magis ataupun fisik bersumber dari kiyai sebagai guru. Jawara sendiri bertumpu pada segi keberanian mereka, dengan mengoptimalisasikan kekuatan dan kemampuan bela diri mereka berani menegakan keadilan dan kebenaaran dengan semangat juang memberantas sesuatu yang dinilai zhalim. Selain itu yang perlu dicermati adalah terjadinya perubahan peranan sosial dalam kelompok jawara, dahulu jawara berperan dalam lingkup pemimpin tadisional (informal) menjadi jaro, lurah atau guru silat, saat ini banyak dari kalangan kelompok jawara berprofesi sebagai (pemimpin formal) anggota dewan, pengusaha, dan pejabat pemerintah.

Pengklasifikasian Jawara

Dalam dunia Jawara terdapat beberapa pengklasifikasian dan pelapisan struktur kelompok jawara. Kelompok jawara tidak hanya memiliki satu varian melainkan terdapat dua jenis varian jawara. Yakni jawara yang beraliran putih dan jawara yang beraliran hitam. Pengklasifikasian tersebut berdasarkan dari sumber magis yang diperoleh para jawara. Sumber magis Jawara aliran putih biasanya didapati dari ajaran Islam, sumber-sumber magis tersebut biasanya bersumber dari tarekat-tarekat yang popular dan sebagian lain dari tradisi animisme. Sedangkan sumber magis yang berasal dari tradisi animisme inilah yang digunakan oleh jawara aliran ilmu hitam.

(26)

26

Sejumlah penilaian, sikap, dan perlakuan masyarakat Sunda terhadap mantra semakin berkembang24. Dapat dicermati bahwa mantra putih di antaranya bertujuan untuk menguasai jiwa orang lain, agar diri dalam keunggulan, agar disayang, agar maksud berhasil dengan baik, agar perkasa dan awet muda, berani, agar selamat, untuk menjaga harta benda, mengusir hantu atau roh halus, menaklukan binatang, menolak santet, untuk menyembuhkan orang sakit. Adapun kategori mantra hitam diantaranya bertujuan untuk mencelakai orang agar sakit atau mati, membalas perbuatan jahil orang lain, dan memperdayakan orang lain karena sakit hati.

Sedangkan proses munculnya pengklasifikasian dalam suatu tempat kebudayaan, seperti halnya yang terjadi antara Jawara. Dapat di tinjau dari sudut pandang aspek antropologis yang terkait dengan kultur historis. Menurut Evon Vogt dan Thomas F O’dea, terdapat perbedaan kebudayaan dalam masyarakat yang ekologinya memperlihatkan kesamaan. Telah menunjukan hipotesa pokok yaitu bahwa orientasi nilai-nilai memainkan peranan penting dalam bentuk pranata sosial yang diamati. Orientasi nilai-nilai disini adalah, makna pandangan-pandangan hidup dalam memberikan defininsi arti kehidupan manusia atau “situasi kehidupan manusia”25. Hal ini menunjukan kasus

24

Ada sebagian masyarakat yang begitu mengikatkan secara penuh maupun sebagian dirinya terhadap mantra dalam kepentingan hidupnya. Sebagian masyarakat lainnya secara langsung atau tidak langsung menolak kehadiran mantra dengan pertimbangan bahwa menerima mantra berarti melakukan perbuatan syirik. Pada bagian masyarakat yang disebutkan pertama dapat digolongkan ke dalam masyarakat penghayat atau pendukung mantra, sedangkan bagian masyarakat yang lainnya digolongkan ke dalam masyarakat bukan penghayat mantra. Artinya mereka menganggap bahwa mantra ini berdaya magis seolah mantra ini adalah sebagai alat komunikasi antara manusia dengan kosmos-Nya agar sang makrokosmos mengabulkan atau memberi kemudahan Lihat, Jakob Sumardjo, Estetika paradoks. (Bandung: Sunan Ambu press, 2006), 5.

25

(27)

27

pengklasifikasian Jawara aliran putih dan jawara aliran hitam, memperlihatkan adanya adanya perbedaan kebudayaan dalam masyarakat yang sama. Dimana pandangan-pandangan hidup jawara aliran putih dan jawara aliran hitam yang berbeda, orientasi nilai jawara aliran putih bersumber dari ajaran Islam dan kiyai, sedangkan orientasi nilai pandangan hidup yang dipegang oleh jawara aliran hitam bersumber dari animisme sepenuhnya.

1. Jawara Aliran Putih

Seperti yang disebutkan diatas berdasarkan klasifikasi sumber magis yang diperoleh para Jawara. Jawara beraliran ilmu putih adalah, mereka yang memiliki kesaktian magis yang berasal dari sumber-sumber agama Islam, khususnya mereka yang mendalami kelompok tarekat. Jawara yang beraliran putih dipandang dekat dengan kiyai, bahkan lebih dari itu mereka berafiliasi dengan para kiyai. Sumber magis yang mereka dapat berasal dari kiyai sebagai mentor ataupun gurunya, selain itu amalan-amalan ritual yang dijalankan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa ritual yang terlihat paling penting adalah amalan dan puasa. Kedua bentuk ritual ini memiliki pengaruh yang sangat besar. Puasa merupakan latihan pengendalian diri menahan hawa nafsu. Puasa dalam ritual ini bukan seperti puasa ramadhan yang lazim dilaksanakan, sedangkan puasa dalam ritual ini merupakan upaya pengolahan bathin dengan tetap mengingat Allah. Sedangkan jumlah puasa yang dijalankan oleh seorang murid dapat dilakukan selama 3-7 hari bahkan ada yang sampai 40 hari, perbedaan kuantitas tersebut bergantung pada kelompok yang ia ikuti.

(28)

28

Begitu pula tentang hal-hal perbuatan yang dilarang dalam menjalani norma kehidupan, ataupun dalam bahasa mereka yang lebih dikenal dengan “pantangan” biasanya bersumber dari Islam dan sesuai dengan ajaran syariat-syariat Islam. Seperti halnya dilarang mencuri, tidak boleh sombong, tidak boleh meninggalkan sholat, dilarang main perempuan dan sebagainya. Kekuatan magis yang bersumber dari kiyai, merupakan suatu kebutuhan bagi para jawara aliran putih, sebagai legitimasi kepemimpinan dalam masyarakat Banten26.

Salah satu contoh pertunjukan seni kebudayaan setempat yang dimainkan oleh para jawara aliran putih, antara lain adalah seni kebudayaan Debus. Akulturasi debus dengan Islam merupakan bentuk sakralisasi kebudayaan, sehingga dikatakan bahwa hubungan debus dengan Islam seperti mata uang yang tidak memiliki arti jika salah satu bagiannya hilang. Konsep ini dapat dipahami bahwa hanya muslimlah yang dapat mempelajari permainan debus. Debus bukan semat permainan pertunjukan kekebalan tubuh terhadap benda-benda tajam, namun lebih dari itu debus merupakan sikap kepasrahan, totalitas kepada Allah27.

26

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa peran Ulama dalam masyarakat Banten memiliki peranan signifikan, baik dalam aspek kehidupan sosial keagamaan maupun kepemimpinan. Oleh karena itu legitimasi dari kiyai dianggap penting sebagai sumber kekuatan magis yang diperoleh jawara aliran putih, untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat. Lihat, Yanwar Pribadi, The Background to the Emergence of Jawara in the Erly Nineteenth Century Banten. (Serang: Al Qalam, Jurnal Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan. Vol. 25, No.3 September-Desember, Lembaga Penelitian IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten, 2008), 412.

27

(29)

29

Adapun tarekat yang populer dan berafiliasi di kalangan Jawara Banten aliran ilmu putih adalah antara lain, tarekat Qodariyah, Rifa’iyya^h dan Samma^niyah. Tarekat-tarekat inilah yang berkembang luas dikalangan masyarakat Banten dan banyak dipergunakan oleh para jawara yang gemar mengamalkan praktik magis dengan menggunakan teknik-teknik dan doa-doa dari tarekat tersebut. Doa-doa tersebut biasanya berbahasa arab, karena sumber tersebut diambil dari Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu para jawara sendiri mendeklarasikan, bahwa ilmu kesaktian yang mereka peroleh didapati dan bersumber dari para kiyai khususnya para murshyid tarekat masing-masing. Seorang jawara yang menjadi guru ilmu-ilmu magis ataupun hikmah biasanya telah dikenal kesaktianya didalam kalangan jawara dan masyarakat lokal setempat. Berdasarkan ilmu kesaktian magis yang diperoleh jawara dan banyaknya jumlah pengikut anak buahnya, masyarakat lokal setempat sering menggunakan istilah jawara “gede” dan jawara “teri”28

2. Jawara Aliran Hitam

Jawara yang beraliran ilmu hitam adalah mereka yang mempergunakan sumber-sumber kesaktian dari tradisi pra Islam. Adapun doa atau mantra yang mereka gunakan sebagai sumber magis dan kesaktian berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme, disebut dengan Jangjawokan. Bahasa mantra yang digunakan biasanya berasal dari bahasa Jawa kuno dan Sunda kuno, yang terkadang sulit untuk dipahami lagi, termasuk orang yang mengamalkannya. Ilmu tersebut dianggap berasal bukan sumber ajaran dan tradisi dari Islam, masyarakat sering menyebutnya dengan elmu Rawayan. Sumber elmu Rawayan

28

(30)

30

sendiri berasal dari masyarakat Baduy yang mendiami daerah lebak, dan sering mempraktekanya dalam hal mistis29.

Para jawara yang memiliki ilmu seperti ini sering dianggap sebagai jawara yang jahat, minimal mereka dianggap kurang taat dalam menjalankan dan melaksanakan ajaran-ajaran perintah Islam. Karena dipandang ilmu-ilmu yang dipergunakannya itu bertentangan dengan ajaran Islam, seperti halnya mengadakan ritual yang berbau animisme dan dinamisme, seperti memberikan persembahan ataupun sesajen kepada benda-benda tertentu, antara lain seperti halnnya keris, golok ataupun benda-benda yang dianggap keramat. Oleh karena itu jawara ini disebut dengan jawara aliran hitam, hal ini dikarenakan perbedaan sumber magis yang mereka dapat.

Adanya pembagian antara mantra putih white magic yang digunakan oleh jawara aliran putih dan mantra hitam black magic perwakilan jawara aliran hitam. Sebenarnya sulit untuk diukur dalam pengertian tidak ada pembeda secara nyata di antara keduanya, karena sering terjadi penyimpangan tujuan dari mantra putih ke mantra hitam tergantung kepada siapa dan bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh magic tersebut. Meskipun demikian, dapat dibedakan jika jawara aliran hitam sepenuhnya menggunakan elmu rawayan. Pada umumnya sebagian jawara Banten, mecampur adukan eklektik terhadap kedua sumber magis tersebut. Sehingga dapat dijumpai praktek-praktek magis yang diawali dengan pembacaan dua kalimah syahadat atau ayat-ayat suci al-Quran kemudian dibarengi dengan membaca mantra-mantra sejenis jangjawokan.

Perkembangan Jawara sendiri mengalami perubahan dari waktu ke waktu, pada masa awal Jawara disegani karena dianggap sebagai pembela kaum lemah selanjutnya Jawara dikonotasikan negative “jalma wani rampog” (orang yang berani merampok). Kemudian citra ini terus

29

(31)

31

terbawa hingga abad ke 20 karena alas an-alasan tertentu. Selain itu Jawara terbagi menjadi dua bagian Jawara ilmu putih dan Jawara ilmu hitam.30

Saat ini peranan penguasaan politik di Banten tidak dapat dipisahkan dari kelompok Jawara, kelompok elit lokal (Jawara) ini masih berpengaruh di dalam menentukan orientasi politik masyarakat di provinsi ujung bagian barat pulau ini. Terdapat pergeseran dan mobilitas sosial yang cukup cepat dalam kelompok Jawara. Jika dahulu peranan tradisional yang sering dimainkan para Jawara hanya sebatas menjadi jaro, guru silat dan satuan–satuan pengamanan.31 Maka berbeda pada masa ini terjadi pergeseran nilai dalam kelompok Jawara itu sendiri, mereka adalah elit masyarakat karena di antara mereka ada yang menyibukan diri di bidang ekonomi sebagai pengusaha, ada yang mendalami ilmu agama sebagai Kiyai dan ada yang mengabdikan diri ke dunia politik sebagai birokrat.

Pengelompokan kepemimpinan di dalam tubuh kelompok Jawara sendiri menunjukan adanya pengikut ataupun anak buah yang mengakui pimpinannya masing-masing. Pada setiap daerah di Banten khususnya daerah Serang, dapat ditemui perguruan-perguruan persilatan disamping mengajarkan aliran persilatan, juga mengajarkan kemampuan olah batin yang dijadikan sarana untuk memperoleh beberapa jenis kemampuan, di antaranya ilmu kekebalan. Dapat dikatakan bahwa ilmu olah batin dan ilmu kekebalan masih banyak diminati oleh masyarakat Banten. Di dalam komunitas perguruan persilatan inilah kelompok Jawara terorganisir dalam sebuah kepemimpinan.

30

Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, dan Jawara...,128.

31

(32)

32

Setiap pemimpin diakui pengikutnya baik itu Jawara kelompok pengusaha, Kiyai ataupun politisi. Meski pengelompokan pemimpin dan pengikut tersegmentasi, tetapi tetap ada garis koordinasi yang sangat kuat antar Jawara karena mereka tergabung dalam sebuah organisasi bernama Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) yang didirikan pada tahun 1973. Ikatan inilah yang menjadi pemersatu para Jawara, perlu diketahui bahwa ikatan emosional kelompok Jawara sangat erat sekali antara guru dengan murid, antara beda perguruan yang memunculkan istilah satu guru satu elmu.32 Ikatan tersebut merupakan ikatan emosional kekeluargaan di dalam kelompok Jawara, sehingga memunculkan rasa as’abiah33 dan solidaritas tinggi antar Jawara, sehingga mempermudah mereka dalam gerak politik.

Masa Orde Baru merupakan era merekonstruksi peranan dan pemberdayaan Jawara. Pada masa inilah kelompok Jawara dirangkul dan dikooptasi oleh para penguasa, hal ini ditandai dengan dimasukanya kelompok Jawara kedalam organisasi Satuan Karya (Satkar) Ulama pada tahun 1970, yang mana saat itu menjadi mesin politik Golkar. Penyatuan Jawara dalam satu payung organisasi tersebut kemungkinan mempunyai latar belakang politis. Semenjak itu peran Jawara sangat signifikan di Banten, terutama dalam mendukung perolehan suara Golkar, dan melaksanakan program pembangunan lokal pada masa pemerintahan Orde Baru. Politik akomodasi dan kooptasi yang dilakukan oleh Orde Baru terhadap entitas Jawara, membawa kelompok tersebut kestrata sosial yang lebih atas dan mengalami mobilitas vertikal secara drastis.

32

Istilah ”satu guru satu elmu” dalam masyarakat Banten, merupakan jargon bagi para pendekar/Jawara Banten, yang memiliki makna ikatan persaudaraan yang kuat dan tidak boleh saling mengganggu antara perguruan satu dengan perguruan yang lainya.

33

(33)

33

Kekuasaan sendiri adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan sosial yang ada, termasuk dengan kekuatan.34 Pada masa Orde Baru posisi Jawara berhasil ditempatkan dan diberdayakan sebagai kelompok yang tergantung pada pemerintah dan mesin politiknya, dilain hal kelompok inipun diberi peran peran ekonomi yang setrategis di Banten.35 Oleh karena itu perannya bergeser menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang penting dan patron bagi pengusaha-pengusaha lokal.

Kini peranan Jawara dalam masyarakat Banten semakin penting setelah Banten menjadi Provinsi sendiri. Peranan Jawara tidak hanya mendominasi dalam aspek budaya dan ekonomi bahkan masuk kedalam ranah politik lokal. Tumbuh dan berkembangnya elit lokal informal leader disuatu wilayah, merupakan akibat dari terjadinya pelapukan fungsi dari institusi formal Negara. Hal ini dapat dapat dilihat dari gejala perubahan yang dialami oleh informal leader, di tengah perubahan sosial dan politik di suatu Negara. Dominasi politik dan ekonomi di Banten telah dikuasai oleh para elit lokal (Jawara), dan lembaga pemerintah baik eksekutif maupun legeslatif tersandera oleh kepentingan elit (Jawara) tersebut. Selain itu, elit lokal tersebut sampai kini masih tetap berpengaruh dalam menentukan orientasi politik masyarakat Banten.

Permasalahan

34

Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), 70-71.

35

(34)

34

Permasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini ialah bagaimana keberadaan eksistensi Jawara secara historis, kehidupan sosial dan budaya mereka, kedudukan dan peranan Jawara dalam masyarakat lokal, kapan mulai diberdayakannya Jawara, pola hubungan ulama dan Jawara baik dari aspek sosial dan kultural, serta bagaimana hubungan mereka sebagai elit sosial dalam masyarakat Banten dengan Pemerintahan lokal saat ini.

Sebagai sebuah kelompok yang bersumber dari tradisi (lokal), komunitas Jawara mencerminkan budaya yang berbeda dari daerah-daerah lain di Indonesia. Dahulu peranan tradisional yang sering dimainkan para Jawara hanya sebatas menjadi jaro, guru silat dan satuan–satuan pengamanan, saat ini bergeser kearah level yang lebih atas, bahkan membentuk organisasi (yang mencerminkan budaya modern). Kelompok jawara memiliki kesekertariatan keanggotaan yang terstruktur dan terorganisir secara rapih, dan memiliki hubungan yang intens dengan pemerintahan setempat.

Penelitian Terdahulu

Karya tulis ataupun penelitian mengenai Banten, baik dari aspek kajian historis, budaya antropologi, dan kajian sosial maupun aspek politik, telah dilakukan oleh beberapa kalangan akademisi baik dalam negeri maupun luar negeri, bahkan kajian tersebut terkesan terfragmentasi dalam aspek historis. Oleh karena itu tidak heran jika kita menemukan adanya disparitas dalam penulisan tentang sejarah Banten itu sendiri.

Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca Orde Baru.36 Dalam karyanya, menjelaskan tentang pengaruh dan dominasi kelompok Jawara dalam aspek kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Banten. kelompok Jawara

36

(35)

35

memiliki peranan signifikan dalam percaturan politik di Banten, khususnya pada masa Reformasi, pasca runtuhnya Orde Baru dan Banten menjadi provinsi tersendiri. Jawara yang lekat dengan kultur Islam tradisional dan berfungsi sebagai pemimpin tradisional informal leader, digambarkan sebagai bayang-bayang yang membelut demokrasi politik di Banten.

Sedangkan dalam penelitian tentang Banten bidang antropologi terdapat Tihami, dengan karyanya yang berjudul, “Kiyai dan Jawara Banten : Studi Tentang Agama, Magi dan Kepemimpinan Di Desa Pesanggrahan Serang Banten”. Tesis, Antropologi UI. Jakarta, 1992. Menjelaskan definisi dari Kiyai dan Jawara itu sendiri dalam konteks lokal, bahkan kedua kelompok ini merupakan kelompok elit masyarakat Banten, yang memiliki kekuasaan informal dengan kharisma dan kekuatan magis yang mereka miliki. Berbeda halnya Kartodirdjo yang medefinisikan Jawara sebagai suatu yang negative, tetapi walau bagaimanapun pada masa tersebut kekuasaan Jawara tetap berada di bawah ulama. Sedangkan Tihami berpendapat Jawara merupakan murid dari Kiyai dan terdapat hubungan simbiosis mutualisme antara keduanya.37

Dari aspek politik, terdapat William Reno, dalam Corruption and State Politics in Sierra Leone yang memiliki kesimpulan bahwa intervensi kebijakan oleh suatu elit terhadap pemerintahan formal mengisyaratkan bahwa praktek informal market telah terjadi, bersamaan dengan lemahnya peran pemerintah itu sendiri, atau yang kemudian disebut sebagai shadow state. Hal ini lah yang terjadi di Banten, Jawara sebagai elit lokal informal leader mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat, baik itu politik maupun ekonomi. Praktek shadow state

yang terjadi di Banten diperankan oleh para Jawara, hal tersebut terjadi dikarenakan absennya negara dalam menangani para elit lokal tersebut.

37

(36)

36

Sedangkan Menurut Nina Lubis dalam karyanya, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, dan Jawara. Adapun sejarah awal munculnya Jawara terjadi pada abad ke 19, pasca dihapusnya pemerintahan Kesultanan Banten oleh Dandles. Perkembangan Jawara sendiri mengalami perubahan dari waktu ke waktu, pada masa awal Jawara disegani karena dianggap sebagai pembela kaum lemah selanjutnya Jawara dikonotasikan negative “jalma wani rampog” (orang yang berani merampok). Kemudian citra ini terus terbawa hingga abad ke 20 karena alas an-alasan tertentu. Selain itu Jawara terbagi menjadi dua bagian Jawara ilmu putih dan Jawara ilmu hitam.38

BAB II

AKAR BUDAYA KEKERASAN JAWARA

Banten merupakan daerah yang unik dengan tradisi dan kultur budaya lokalnya. Kultur budaya Banten yang sangat erat dengan nilai-niai budaya Islam, dan telah menciptakan budayanya tersendiri. Salah satu komunitas yang merupakan produk dari kultur masyarakat Banten adalah, jawara Banten. Jawara Banten merupakan sosok fenomenal dalam tataran masyarakat lokal. Bahkan lebih dari itu komunitas ini dianggap sebagai elit yang menembus batas-batas sosial.39 Sebagai elit, peranan jawara dianggap signifikan dalam aspek kehidupan masyarakat Banten. Pada Bab ini penulis, akan membahas tentang akar-akar kekerasan dalam budaya jawara. Dimulai dari pergumulan sejarah singkat kekerasan yang terjadi di Banten. Akar budaya kekerasan dalam kelompok jawara ini muncul yang salah satunya diperoleh dari dunia pesantren, dan padepokan paguron. Dimana para

38

Nina H lubis Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, dan Jawara. (Jakarta: LP3S, 2003).

39

(37)

37

jawara mempelajari praktek-praktek ilmu magis, kesaktian, ziyad, kebal dan lain sebagainya. Selain itu, akan dijelaskan kemunculan praktek magis dalam dunia pesantren dan paguron padepokan di Banten. Salah satu akar kekerasan yang terjadi dalam budaya jawara Banten dan masyarakat pada umumnya, adalah fenomena teluh dan tenung. Sihir Teluh dan tenung yang berkembang di Masyarakat, merupakan salah satu representasi dari ilmu hitam di Banten, akar budaya kekerasan ini pun akan dijelaskan dalam bab ini.

A.Sejarah Singkat Kekerasan di Banten

Banten merupakan salah satu daerah yang cukup dikenal, bukan hanya tempat pariwisata pantai anyer, suku Baduy ataupun badak bercula satu yang menjadi land mark andalan pariwisata provinsi ini. Lebih dari itu Banten dikenal karena budaya masyarakat lokal yang unik dan berbeda dari daerah lainnya, walaupun setiap suku masyarakat yang mendiami daerah-daerah lain di Indonesia memiliki kutur budaya mereka tersendiri. Identitas budaya masyarakat lokal inilah yang disebut Ali Fadillah sebagai kearifan lokal, disinilah nilai-nilai budaya, tradisi, adat istiadat yang bersumber dari ascriptive ataupun atavistic selalu dipegang oleh masyarakat Banten di dalam melestarikan dan menjaga kebudayaan mereka.40

Secara geografis Banten sendiri salah satu provinsi yang terletak di ujung barat pulau Jawa Indonesia, di sebelah barat provinsi ini langsung menghadap ke selat sunda, di sebelah timur berbatasan dengan provinsi DKI Jakarta, di sebelah utara ia berbatasan dengan laut jawa, di sebelah selatan provinsi ini langsung menghadap ke laut pasifik. Dari segi letak geografis provinsi ini memegang peranan perekonomian yang cukup

40

(38)

38

strategis, provinsi ini sendiri merupakan jalur transit yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera, sekaligus menjadi wilayah alternative dan wilayah penyangga hinterland bagi DKI Jakarta, dan memiliki bandara udara internasional (Soekarno-Hatta) sebagai jalur akses dunia luar. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 penduduk Banten berjumlah 8.096.809 jiwa, dan pada tahun 2003 meningkat 8.956.229 jiwa, dengan komposisi 4.563.563 jiwa laki-laki dan 4.392.666 jiwa perempuan. Sebagian besar penduduk Banten berpendidikan rendah, khususnya yang terletak di wilayah serang, lebak dan pandeglang.

Masyarakat Banten dimata orang luar dikenal dengan daerah yang keras, baik dari gaya bicaranya, bahasanya, dan tindakannya. Sehingga menimbulkan image bahwa tindakan kekerasan seolah-olah telah melekat dalam kehidupan masyarakatnya. Untuk memahami kondisi sosial dan budaya kekerasan pada masyarakat Banten tersebut, dapat dilihat dari aspek historis dimana peristiwa-peristiwa kekerasan telah terkonstruk pada masa awal berdirinya Kesultanan Banten. Jika dilihat dari aspek sosial dan budaya, Banten dikenal dengan salah satu daerah berbasis Islam tradisionalis dan fanatik di kepulauan Jawa. Maka tak heran jika ketika seseorang membicarakan Banten, ia akan berasumsi bahwa daerah ini adalah daearah para Kiayi, Jawara, magis dan debus. Pandangan ini sendiri muncul lantaran kuatnya Islam mengakar dalam setiap aspek kehidupan masyarakatnya, baik secara taradisi, kultur dan Budaya. Selain itu Banten juga dikenal dengan tingkat religiusitas masyarakatnya yang cukup tinggi.41 Identitas budaya tradisi masyarakat Banten inilah yang lebih dikenal luas oleh sebagian masyarakat Indonesia, baik masyarakat awam maupun akademik. Selain itu

41

(39)

39

kultur dan budaya lokal Banten dianggap memiliki nilai jual marketable dikalangan para peneliti ataupun dunia pariwisata.

Daerah Banten pada masa awal merupakan sebuah daerah terpencil yang diapit oleh berbagai sungai diantaranya, CiBanten, Cisadane, dan Cidurian. Sejarah Banten sendiri lebih dikenal ketika penetrasi Islam masuk ke wilayah ini dan membentuk sebuah sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan oligarki. Pada abad ke-16 M Islam telah menyebar di wilayah ini sampai kepada puncaknya yang diatandai dengan berdirinya kesultanan Banten Girang pada tahun 1525 M. Adapun tentang keberadaan ataupun masukknya Islam di Banten, sekitar tahun 1512 M telah di temukan komunitas Islam di daerah Cimanuk kota pelabuhan dan batas kerajaan Sunda Hindu dengan Cirebon. Hal ini berarti menunjukan bahwa pada abad 15 M di wilayah kerajaan Sunda Hindu Padjajaran telah terdapat masyarakat yang memeluk Islam.42

Penetrasi Islam di wilayah ini mulai menyebar secara signifikan ketika datangnya Syarif Hidayatulah (Sunan Gunung Djati) dan putranya pangeran Sabakingking (Maulana Hasanuddin) yang mulai menyebarkan Islam di wilayah ini. Dalam proses menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk pribumi, Maulana Hasanuddin mempergunakan cara-cara yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat yakni dengan mengadu kesaktian. Dengan metode seperti inilah Maulana Hasanuddin berhasil menaklukan Pucuk Umun yakni punggawa dari Padjajaran beserta 800 ajar melalui adu kesaktian, dan bersedia memeluk agama Islam dan menjadi pengikut Hasanuddin. Dengan takluknya Pucuk Umun terhadap Hasanuddin, hal ini telah menandakan berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan Sunda Hindu Padjajaran atas wilayah Banten.43

Sekitar tahun 1525 M. wilayah Banten secara teritorial dapat dikuasai penuh oleh pasukan Sultan Maulana Hasanuddin, yang kemudian lebih dikenal dengan gelar Panembahan

42

Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten (Serang: Saudara Serang, 1993), 50.

43

(40)

40

Surosowan. Dengan berdirinya kesultanan Islam di wilayah Banten, telah menandai peralihan kekuasaan dari penguasa Hindu saat itu, yaitu Pucuk Umun kepada Sultan Maulana Hasanuddin sebagai penguasa dengan pemerintahan Islam yang berkedudukan di Cirebon. Banten Girang pada saat itu menjadi pusat kegiatan pemerintahan Kesultanan Banten, tetapi atas intruksi dari Sunan Gunung Djati pusat Ibu Kota pemerintahan Kesultanan Banten di pindahkan dari Banten Girang menuju teluk Banten (1526-1820 M) yang kemudian disebut Surosowan. Daerah ini menjadi pusat kegiatan Kesultanan Banten, kerajaan yang bercorak Islam terbesar di ujung barat pantai utara pulau Jawa, selama kurang lebih empat abad 16-19 M.

Setidaknya tercatat 19 orang Sultan yang pernah memimpin Kesultanan Islam terbesar di ujung barat pulau Jawa ini. Walaupun kerajaan ini berlandaskan Islam, asas kerukunan toleransi dan pluralisme beragama terbuka bagi masyarakat. Kesultanan Banten merupakan kesultanan yang egaliter dan terbuka bagi semua golongan dan agama, setidaknya sampai saat ini kita dapat melihat klenteng Tionghoa yang didirikan pada masa Sunan Gunung Djati sampai saat ini masih terawat dengan baik dan menjadi situs cagar budaya nasional. Kejayaan Kesultanan Banten tetap terus bertahan setelah Sultan Maulana Hasanuddin wafat (1570 M). Adapun para Sultan yang menggantikan beliau seperti halnya; Maulana Yusuf (1570-1580 M), Maulana Muhammad (1580-1596 M), sampai kepada Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672 M), berhasil mempertahankan kejayaan dan terus berusaha memperluas wilayah teritorial Kesultanan Islam Banten.

(41)

41

Kerajaan Padjajaran.44 Meskipun Kesultanan Banten sedang berada pada masa puncak kejayaan, tak berarti Kesultanan ini bebas dari konflik-konflik, baik internal maupun eksternal. Pada masa kekuasan Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M) konflik internal pernah dialami oleh Kesultanan Banten pada saat itu, bahkan Kesultanan ini sempat goyah karena adanya persaingan internal antara sesama pangeran keturunan Sultan yang ingin berkuasa dengan memperebutkan tahta. Pada saat situasi seperti inilah kapal-kapal dagang Belanda Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) mulai berdatangan di kawasan wilayah perairan Nusantara, termasuk wilayah Banten dan sempat berhasil menguasai wilayah Jayakarta (Batavia).

Kesultanan Banten merupakan Kerajaan yang berlandaskan asas syariat Islam, secara otomatis perkembangan Islam pada masa ini berkembang pesat. Perkembangan Islam yang signifikan pada masa ini diperoleh dengan dukungan politik pemerintah yang berkuasa saat itu. Seperti halnya menurut Thomas Aquinas, agama rakyat menuruti agama raja (penguasanya).45 Teori seperti ini nampaknya berlaku pada masyarakat Banten pada masa tersebut. Perkembangan pesat tersebut ditandai dengan tumbuh dan bermunculanya kelompok tarekat-tarekat, pesantren-pesantren di pedesaan-pedesaan di wilayah Banten, serta kultur masyarakat yang memegang teguh agama dan tradisi budaya mereka. Sebagai Kerajaan Kesultanan Islam (Banten) tentunya posisi Ulama ataupun Kiyai memiliki peran yang signifikan, dan menduduki struktur sosial teratas setelah Sultan dalam masyarakat Banten. Para Kiyai merupakan perpanjangan tangan dari Sultan dalam proses Islamisasi di pedesaan-pedesaan, bahkan peran Kiyai lebih dari sekedar orang kepercayaan Sultan, mereka menjadi guru spiritual para Sultan dan memberikan masukan serta restu. Sebagai sosok tokoh agama islam, para kiyai memiliki kewajaiban untuk memberikan nasehat-nasehat Mau’izatul

44

Ota Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West Java, Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830 (Leiden Netherland: Brill, 2006), 5.

45

Teori ini dikenal dengan teori teokratis, dimana negara dibentu oleh Tuhan dan pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan. Thomas Aquinas merupakan salah satu pengusung teori ini. Lihat, F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik

(42)

42

hasanah lil mu’minin baik terhadap Sultan maupun masyarakat Banten pada umumnya.46

Dengan mulai berdatanganya kapal-kapal dagang Belanda yang berlabuh di wilayah Jawa dan pelabuhan Karangantu, Kesultanan Banten secara bertahap mengalami fase kemunduran. Perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang kemudian mendirikan markas besarnya di pantai utara Jayakarta berusaha melakukan monopoli perdagangan dengan berbagai cara. Masuknya Belanda dalam teritori Banten mengancam stabilitas keamanan dan perekonomian Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa pada masa itu (1651-1672 M) telah melakukan beberapa kali konfrontasi penyerangan secara langsung ke Batavia, namun selalu mengalami kegagalan. Bahkan sebaliknya pihak kolonial Belanda dapat mematahkan penyerangan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dan menjebloskanya ke dalam penjara. Salah satu taktik yang digunakan Belanda dalam menangkap Sultan Ageng Tirtayasa, adalah dengan menggunakan taktik adu domba devide et impera antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya Sultan Haji. Dengan taktik tersebut Belanda berhasil menguasai wilayah Banten.47

Pada tahun 1808 M, atas instruksi dari Dandels Keraton Surosowan Kesultanan Banten dihancurkan oleh penguasa kolonial Belanda. Banten dijadikan wilayah keresidenan dan Serang menjadi regentschap di bawah struktur pemerintahan Hindia Belanda. Pusat pemerintahan Kesultanan Banten yang dahulu terletak di Surosowan di pindahkan ke Keraton Kaibon. Pada masa ini dapat dikatakan Kesultanan tidak memiliki kekuasan dalam memerintah, dan menentukan kebijakan.

Dihapus dan berakhirnya Kesultanan Banten pada tahun 1816 M. berakibat kepada hancur dan ambruknya tatanan sosial masyarakat. Selain itu tekanan pemerintah kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar, sehingga

46

Syeikh Muhammad Jamaluddin Qosim Addimsyiq, Mau’iz}atul Mu’mini>n min ihya’ulumuddin (Beirut: Darunnafais, 1981), 40.

47

(43)

43

menimbulkan perilaku kriminal di dalam kalangan pribumi.48 Tidak hanya perilaku kriminal dan perampokan saja yang terjadi di masyarakat, lebih dari itu konflik antara pemerintah kolonial Belanda berakibat kepada pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya Kiyai. Aneksasi Kesultanan Banten oleh Deandles tersebut menimbulkan kebencian masyrakat terhadap pemerintah kolonial. Ingatan masyarakat Banten tentang kejayaan Banten masa dahulu tetap hidup dalam pikiran masyarakat, oleh karena itu perlawanan rakyat terhadap pihak kolonial Belanda tidak pernah padam. Hampir setiap dasa warsa terjadi pemberontakan rakyat yang menuntut kebebasan dan dikembalikannya kekuasaan Kesultanan Banten.

Selain itu Kiyai memandang hina kekuasaan pemerintah kolonial karena mereka dipandang sebagai orang kafir yang telah merebut kekuasaan dari tangan umat muslim. Lebih dari itu kebebasan beragama pun di batasi oleh pihak kolonial, pelarang ibadah Haji menuju ke Mekah bagi warga Banten.49 Intervensi pihak kolonial Belanda terhadap aspek agama, ditenggarai menambah memperkeruh keadaan politik di Banten.

Dengan kedudukan Kiyai sebagai tokoh pemimpin masyarakat, para kiyai memiliki peranan penting dalam melangsungkan pemberontakan. Dukungan penuh mengalir dari elit-elit sosial lainya, antara lain para Jawara, dan para bangsawan yang bersama-sama melakukan pemberontakan. Setidaknya tercatat lebih dari 6 kali pemberontakan besar yang terjadi di Banten, mulai dari perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa, pemberontakan pandeglang (1811 M) peristiwa geger Cilegon

48

Ota Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West Java, Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830 (Leiden Netherland: Brill, 2006),153.

49

Gambar

Gambar 1.2, Silat aliran Trumbu sedang melakukan latihan pada malam hari
Gambar 1.3                                                  Gambar 1.4
Gambar 1.5, salah satu jenis wafak untuk melariskan dagangan
Tabel 1 : Perbedaan Antara Jawara dan Kiyai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Orang Banjar generasi awal, yang tinggal di perkampungan mereka sendiri (kampung Banjar) hidup sebagai petani sara diri (subsistence farmer), tentu saja membawa

Dengan demikian dari tiga komponen Program Keluarga Harapan (PKH) ada peran Program Keluarga Harapan di bidang Pendidikan, berbeda dengan kesehatan peran Program

Atau, lebih mungkin lagi, orang yang kompeten barangkali memiliki lebih banyak hal positif tentang diri mereka sendiri untuk diungkapkan ketimbang orang-orang yang

Dalam hal ini apabila remaja HKBP Ambarawa kurang mendapatkan bimbingan untuk menunjukkan kepeduliaanya terhadap sesama di luring maka tidak menutup kemungkinan mereka akan

mahasiswa maka hal tersebut dapat menjadi bahan evaluasi bagi perpustakaan untuk melakukan pengembangan atau pengadaan koleksi perpustakaan di masa yang akan datang. Seiring

namun tidak mereka lihat di negeri sendiri. Semangat gerakan massa di Tunisia dan Mesir pun menyebar ke negara-negara Timur Tengah lainnya. Kata kunci dalam penyebaran tersebut

Mereka juga membagi diri kebeberapa devisi yang sudah di susun oleh kelembagaan mereka sehingga semua keperluan-keperluan pada saat bencana terjadi dapat di

Pada waktu tiba di danau tersebut mereka tidak mengurus diri masing-masing tetapi mereka mempunyai “ketua” sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka sudah membangun