• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Banten adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di bagian barat penduduk pulau jawa.1 Sebagaian besar penduduk yang mendiami wilayah ini menganut agama Islam sebagai kepercayannya, walaupun masih terdapat sedikit yang menganut kepercayaan nenek moyang (Orang Baduy). Berbicara tentang Banten, maka setiap orang akan berasumsi bahwa daerah tersebut adalah daerah para Ulama, Kiyai dan Jawara. Sterio tipe tersebut muncul lantaran kuatnya Islam mengakar dalam setiap individu masyarakatnya baik secara tradisi, kultural, maupun ritual. Selain itu pun daerah ini dikenal dengan daerah magis tempat mencari ilmu kanuragan, kesaktian, Debus dan sebagainya. Pada abad ke-16 M, Islam menyebar di wilayah Banten sampai puncaknya yang ditandai dengan berdirinya Kesultanan Banten Girang (1520-1820 M). Kesultanan Banten sendiri berdiri pada tahun 1552, yang diprakarsai oleh pangeran Sabakingking putra sunan Gunung Djati, dengan melakukan pemberontakan dan menaklukan Banten Girang.

Sebagai bekas Kerajaan Islam (Banten), posisi Ulama di wilayah ini tentu sangat kuat dan memiliki hirarki sosial yang signifikan di dalam struktur masyarakat Banten. Hal ini dikarenakan kedudukan Ulama adalah perpanjangan tangan dari Sultan dalam proses Islamisasi di daerah pedesaan yang mendorong munculnya lembaga pesantren yang dipimpin oleh kiyai sebagai figure kepemimpinan. Kiyai sebagai

1

Adapun penduduk etnik terbesar yang mendiami wilayah ini adalah suku sunda, sebagian besar mendiami wilayah Banten selatan sedangkan wilayah Banten utara didiami oleh suku jawa yang bermigrasi dari wilayah Cirebon, sedangkan bahasa Sunda yang digunakan oleh masyarakat Banten termasuk kedalam bahasa Sunda Kuno. Lihat, Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan Cet-24, 2004), 17.

11

guru yang mentransmisikan ilmu keislaman kepada santri-santrinya di pesantren.2

Kiyai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama, tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik, sehingga kekuasaanya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal elit pemerintahan.3 Kedudukan ini terus berlangsung walaupun Kesultanan telah dihapus oleh Daendels pada tahun 1808 M dan dikuasai oleh pemerintahan kolonial Belanda. Kelestarin kepemimpinan Kiyai sebagai tokoh masyarakat ini pun nampaknya didukung penuh oleh element masyarakat Banten. Para tokoh Kiyai inilah yang telah berhasil memimpin mobilisasi massa untuk memberontak, seperti halnya pemberontakan petani Banten yang terjadi pada tahun 1888 dan pemberontakan komunis 1926 di Banten.4

Disamping dikenal sebagai daerah Kiyai, Bantenpun dikenal sebagai tempatnya para Jawara. Tihami mendeskripsikan perbedaan makna dan peran antara Kiyai, Santri, dan Jawara. Dalam masyarakat Banten Kiyai adalah tokoh sentral dalam komunitasa ini, sedangkan Jawara dan santri adalah murid dari Kiyai. Perbedaan antara Jawara dan santri terletak pada ketekunan mereka ketika berguru. Santri lebih menekuni ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan Jawara lebih menekuni bidang yang

2

Menurut pendapat Dhofier tentang pandangan hidup Kiyai, ia mendefinisikan konsep Kiyai sebagai elemen penting dari suatu pesantren,sekaligus Kiyai merupakan pemberian gelar terhadap Ulama dari kelompok Islam tradisional yang memiliki pesantren. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren , Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1985).

3

Hal tersebut senada seperti yang diungkapkan oleh Turmudi, bahwasanya hubungan Kiyai dengan masyarakatnya diikat dengan emosi keagamaan yang membuat kekuasaan sahnya semakin berpengaruh. Kharisma yang menyertai aksi-aksi Kiyai pun, menjadikan hubungan tersebut penuh dengan emosi. Lihat, Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiyai dan Kekuasaan

(Yogyakarta: LKiS, 2004). 4

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). Lihat pula, Michael C Williams, Sickle and Crescent, The Communist Revolt of 1926 in Banten (Ohio University: Centre for International Studies, 1990).

12

terkait dengan pengolahan raga dan batin5. Eksponen-eksponen inilah yang mewarnai masyarakat Banten.

Terdapat semacam image bahwa sebagian masyarakat Banten memiliki watak keras dan tutur bahasa yang kasar. Bahkan sebagian lainya berpendapat jika orang-orang Banten lekat dengan sifat keberanian, kekuatan fisik, menguasai magis ataupun mistik6, patuh kepada kiyai (sebagai guru) dan hal-hal lainnya yang menandai sosok keperibadian Jawara. Mereka yang mengakui akan adanya eksistensi para Jawara tidak hanya terdiri dari masyarakat awam, termasuk kalangan akademis yang pernah meneliti tentang Banten, seperti Kartodirdjo (1984), Martin Van Bruinessen, Nina H Lubis, Williams dan Tihami (1992).

Dengan pengakuan atas keperibadiannya itu tak heran jika Jawara dianggap pemimpin oleh segolongan tertentu masyarakat lokal. Para Jawara tersebut turut berperan serta dengan para Kiyai dalam memobilisasi pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Banten, sebut saja peristiwa pemberontakan petani Banten 1888 yang dimotori oleh kiyai Washid, pemberontakan komunis di Banten 1926 (Kiyai Achmad Chatib), dan peristiwa Banten Girang. Eksistensi Jawara di Banten tak bisa lepas dari sosok Kiyai, Jawara adalah muridnya Kiyai. Pada masa kolonial, Jawara berfungsi sebagai tentara fisik yang bersama Kiyai melakukan perlawanan terhadap tentara kolonial.

Dalam studinya Tihami menjelaskan bahwasanya Kiyai memiliki dua varian murid, di antara muridnya tersebut ada yang memiliki kecenderungan bakat pada ilmu pengetahuan agama. Tapi, adapula di antara muridnya yang memiliki kecenderungan kearah perjuangan. Pada

5

Disini Kiyai berperan sebagai golongan yang berkemampuan mewujudkan magis dan menjadi sumber dari mantra-mantra tersebut, sedangkan Jawara adalah golongan yang menerima kemampuan magis dari kiyai. Lihat MA Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten, Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang, Banten” (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992), 4.

6

Pada awal perkembangan Islam di sekitar pantai-pantai Nusantara dipengaruhi penyebaran mistik, hal inipun terjadi diwilayah Banten dan sampai saat ini mistik menjadi kebudayaan bagi orang-orang Banten, hal ini dapat dilihat dengan berkembangnya kesenian Debus di Banten. Lihat. Lihat Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia ..., 25.

13

akhirnya murid yang cenderung pada ilmu agama disebut santri, sedangkan yang cenderung pada kekuatan fisik dan bernuansa magis adalah Jawara.7 Maka dahulu posisi Jawara merupakan pengawal para Kiyai. Pada masa-masa sulit Jawara banyak membantu peran para Kiyai terutama dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat. Kekuatan fisik, magis dan kharisma para Jawara diperoleh langsung dari Kiyai.

Lain halnya dengan Kartodirdjo, ia mendefinisikan kelompok Jawara sebagai orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan sering melakukan perbuatan kriminal, dan cenderung di golongkan kedalam kelompok bandit sosial. Kedua golongan inilah yang memiliki peran kekuasan politik informal di daerah Banten, bahkan hal tersebut berlangsung sampai saat ini. Kedua golongan inilah yang disebut oleh Kartodirdjo sebagai golongan yang menembus batas-batas hirarki masyarakat Banten.8

Orang yang menyandang gelar Kiyai dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa dan legitimate berdasarkan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, gelar Kiyai merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukanlah suatu gelar akademis yang diperoleh dalam pendidikan formal. Sementara itu, Jawara adalah sekelompok yang memiliki kekuatan fisik dan memiliki ilmu kesaktian, sehingga bagi sebagian orang dapat membangkitkan rasa hormat, kagum, takut bahkan benci. Oleh karena itu, Jawara dapat menjadi seorang tokoh kharismatik di Banten. Berbeda halnya dengan para Kiyai, peranan sosial Jawara lebih cenderung kepada kepada pengolahan kekuatan yang berujung kepada premanisme dan kekuasaan.

Sampai saat ini terdapat beberapa perbedaan kapan jelasnya Jawara itu muncul dan lahir. Sebagian sarjana berpendapat, bahwa Jawara muncul pada abad ke-19, ketika tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar, sehingga memunculkan konflik dan berakibat kepada pemberontakan yang

7

MA Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten,Studi tentang Agama, Magi”..., 21.

8

14

dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya Kiyai. Dari kondisi seperti inilah muncul Jawara, sementara itu Kartodirdjo mengungkapkan Jawara muncul akibat dari hancur dan ambruknya tatanan sosial masyarakat akibat dihapusnya Kesultanan oleh Dandles pada masa kolonial, sehingga memunculkan perilaku kriminal dan bandit sosial.9 Jawara dalam pandangan masyarakat Banten dianggap pemimpin oleh segolongan tertentu masyarakat lokal, dan membentuk kultur dan kebudayaan tersendiri di daerah Banten.

Awal Lahirnya Jawara

Banten merupakan daerah yang unik dengan tradisi dan kultur budaya lokalnya. Para antropolog mencoba mendefinisikan bermacam-macam pengertian budaya. Definisi budaya menurut Clyde Kluckhohn berbeda dengan Kuntowijiyo, walaupun demikian terdapat persamaan substansi. Budaya sendiri terbentuk dari suatu komunitas masyarakat, yang memiliki pemikiran dan menciptakan warisan tradisi serta kultur budaya terhadap komunitas itu sendiri10.

9

Pendapat ini diperkuat oleh Nina H lubis Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, dan Jawara, Sartono Kartodirdjo Pemberontakan Petani Banten 1888 dan Williams, Sickle and Crescent, The Communist Revolt of 1926 in Banten

10

Menurut Kluckhohn, kebudayaan adalah sebagai keseluruhan cara hidup manusia, yaitu warisan sosial yang diperoleh seseorang dari kelompoknya, atau kebudayaan bisa dianggap sebagai lingkungan yang diciptakan manusia. Lihat Clyde Kluckhohn, Mirror for Man, dalam Pasurdi Suparlan, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. (Jakarta: Rajawali, 1984), 69. Lain halnya dengan Kuntowijoyo, menurutnya budaya adalah sebuah system yang memiliki kohersi yang meliputi, bentuk-bentuk symbol yang berupa kata, benda, laku, mite, lukisan, nyanyian, music, kepercayaan yang memiliki kaitan erat dengan konsep-konsep epistimologi dari system pengetahuan masyarakatnya. Lihat Kuntowijoyo, Budaya dan Masyaraka., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987), xi pengantar. Pengertian tentang budaya diatas, merupakan hanya sebagian kecil dari bayaknya definisi-definisi tentang budaya. oleh karena itu penulis mendefinisikan budaya seperti halnya diatas, agar mudah dipahami dan tidak lepas dari makna substansi dari budaya itu sendiri.

15

Kultur budaya Banten yang sangat erat dengan nilai-niai budaya Islam telah menciptakan budaya tersendiri yang dapat dikatakan sebagai sebuah asimilasi budaya, dan sebuah diffusonis budaya antara kultur budaya lokal dengan Islam. Sedangkan menurut Ankerman, kombinasi antara suatu kultur kebudayaan (Islam) dengan kultur kebudayaan setempat dinamakan kompleks kebudayaan (kumpulan kebudayaan), sedangkan lingkungan tempat unsure kebudayaan itu terdapat dinamakan lingkaran kebudayaan kulturkreise11.

Kedudukan peran dan jaringan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarkat Banten, sehingga jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki norma, nilai dan pandangan hidup yang khas. Inilah yang disebut sebagai subkultur komunitas jawara Banten, yang berbeda dari komunitas lokal daerah lainnya.12 Bahkan lebih dari hal demikian, kata Jawara sendiri telah dikenal dalam kamus bahasa Indonesia. Dengan demikian terdapat indikasi bahwa kata Jawara menurut terminologi budaya, telah masuk kedalam domain nasional dan telah dikenal luas dalam bahasa sehari-hari masyarakat Indonesia.

Selanjutnya adalah, karakter yang dimiliki oleh para jawara merupakan hasil suatu rekonstruksi kultur budaya yang ditanamkan melalui interaksi sosial antar budaya. Dalam proses interaksi tersebut terjadi penanaman dan pewarisan nilai-nilai kultur tradisi budaya kejawaraan. Untuk menjadi sosok seorang

11

C.H.M. Palm,Sejarah Antropologi Budaya. (Bandung: Jemmars, 1984), 45.

12

Walaupun di setiap daerah di nusantara terdapat kultur budaya kekerasan yang mirip dengan jawara Banten, seperti halnya di daerah Betawi yang dikenal dengan “jago” atau “buaya” dan Madura yang dikenal dengan budaya “Carok”nya. Lain halnya dengan jawara, komunitas jawara Banten dianggap sebagai pemimpin non formal dikalangan masyarakat pedesaan Banten. walaupun terdapat persamaan dalam segi kebudayaan sebagai suatu kultur kekerasan, sama sekali tidak terkait dengan diffusionisme budaya. Nampaknya teori Ratzel tentang gejala kebudayaan itu menyebar dari tempat asalnya keberbagai jurusan, dan persamaan kebudayaan bukan disebabkan oleh perkembanganya, melainkan hampir selamanya disebabkan oleh pengambilan dan penyebaran budaya, itu keliru. Karena hal ini tidak Nampak terjadi dalam kasus kultur kekerasan dan kepemimpinan daaerah-daerah lokal. Lihat C.H.M. Palm, Sejarah Antropologi Budaya. (Bandung: Jemmars,1980),45.

16

jawara yang berkharisma dan disegani dibutuhkan proses pelatihan yang panjang dan cukup berat, baik dari aspek fisik dan mental batin. Maka tidak heran jika seorang jawara tidak hanya cakap secara fisik, melainkan secara rohaniah spiritual batin telah siap. Dalam proses pelatihanya jawara harus menempa diri dengan latihan panjang ilmu-ilmu bela diri atau persilatan yang banyak berkembang di wilayah provinsi Banten. Selain itu ia pun harus menempuh latihan spiritual, dengan melaksanakan puasa yang cukup panjang dan bervariasi, ada puasa empat hari, tujuh hari, empat puluh hari dan seterusnya. Sedangkan tingkatan panjangnya puasa yang dijalankan seorang jawara, merupakan lapisan yang membedakan level kesaktian para jawara.

Terdapat beberapa versi tentang lahir atau awal munculnya jawara di Banten, akan tetapi secara historis kapan lahirnya jawara Banten tidak diketahui secara tepat. Sebagian data sumber diperoleh dari folklore masyarakat Banten, akan tetapi peranan jawara dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Banten dapat ditelusuri hingga pada masa Kesultanan Banten. Peranan jawara dalam kehidupan masyarakat Banten mulai muncul ke permukaan terjadi pada masa akhir keruntuhan Kesultanan Banten, dan kekuasaan kolonial sudah lagi tidak efektif pada abad ke 19 M. Pasca dihapusnya pemerintahan Kesultanan Banten oleh Dandles, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar sehingga memunculkan konflik di masyarakat. Di sejumlah wilayah Banten terjadi kekosongan pemerintah yang menyebabkan kekacauan, dari konflik dan kekacauan inilah berakibat pada pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya para kiyai.

Dari kondisi seperti inilah jawara muncul dan tampil bersama para kyai sebagai pemimpin informal masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena jawara memiliki keterampilan beladiri, silat, ilmu magis sebagai keterampilan untuk menghadapi situasi yang kacau dalam menghadapi pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda13. Selain itu posisi jawara sebagai murid khodam kiyai dianggap relevan dalam membantu perjuangan kiyai. Lain halnya dengan Kartodirdjo, jawara muncul

13

Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca-Orde Baru. (Jakarta: Dian Rakyat, 2010),65.

17

akibat dari hancur dan ambruknya tatanan sosial masyarakat akibat dihapusnya Kesultanan, sehingga memunculkan perilaku kriminal dan bandit sosial14. Selain itu para jawara memiliki paguron (padepokan silat) dan jaringan antar paguron, yang kemudian menjadi basis sosial utamanya. Sebagai pemimpin informal, jawara berupaya untuk memulihkan keadaan, tidak sedikit diantara mereka kemudian ada yang berprofesi sebagai jaro, baik pada masa kolonial, pasca kemerdekaan, orde baru, bahkan sampai saat ini.

Sumber lain menyebutkan bahwa jawara lahir tak luput dari peran dan eksistensi para kiyai Banten. Di mana pada saat itu aneksasi pemerintahan kolonial Belanda yang tejadi pada abad 19 M. telah memunculkan kiyai sebagai tokoh sentral pemberontakan. Kiyai sendiri memiliki dua varian murid, diantara muridnya tersebut ada yang memiliki kecenderungan bakat pada ilmu pengetahuan agama. Tetapi di lain pihak, adapula murid yang kurang begitu memahami pendalaman agama melainkan memiliki bakat silat dan kecenderungan kearah perjuangan. Pada akhirnya murid yang cenderung pada ilmu agama disebut santri, sedangkan yang memiliki bakat kekuatan fisik (silat) dan bernuansa magis adalah jawara15. Disini kiyai berperan sebagai sumber kekuatan magis bagi para jawara, lewat kiyai lah ilmu kesaktian, sepertihalnya kanuragan, brajamusti, kebal dan magis ditransform kepada jawara. Hubungan emosional antara murid dengan guru yang dialami oleh kiyai dan jawara, terjalin sangat erat di antara kedu belah pihak.

Tidak heran jika para akademisi memunculkan spekulasi anggapan bahwa awal lahirnya komunitas jawara ditengarai pada

14

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), 83.

15

Perbedaan antara jawara dan santri terletak pada ketekunan mereka ketika berguru, santri lebih menekuni ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan jawara lebih menekuni bidang yang terkait dengan pengolahan raga dan bathin. Kiyai berperan sebagi tokoh yang berkemampuan mewujudkan magis dan menjadi sumber dari mantra-mantra tersebut, kekuatan magis tersebut ditransform kepada jawara untuk memiliki kemampuan tersebut. Lihat MA. Tihami, Kiyai dan Jawara di Banten, Studi Tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang Banten. (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992), 21.

18

masa pemberontakan yakni pada abad 19 M. Karena pada masa itulah komunitas jawara mulai dikenal, dan secara tidak langsung dimunculkan oleh Kartodirdjo dan Williams16 dalam penelitiannya yang ditinjau dalam aspek historis. Penelitian yang dilakukan oleh Kartodirdjo maupun William, belum tentu dapat dibenarkan perihal lahir dan munculnya komunitas jawara di Banten.

Selain ada yang mengatakan bahwa jawara Banten muncul pada abad ke 19 M, ada pendapat yang mengatakan bahwa kata “jawara” muncul di dunia persilatan di Banten. Tidak heran jika ada sebagian pendapat yang mengemukakan hal demikian, selain daerah Banten dikenal dengan basis Islamnya yang kuat daerah ini pun dikenal dengan daerah persilatan. Sejarah dunia persilatan di Banten sendiri memiliki akar yang panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah seekitar gunung karang , Pandeglang.

Pada masa lalu tradisi persilatan di Banten nampaknya menjadi suatu kebutuhan bagi individu-individu tertentu untuk mempertahankan keehidupan dirinya dan kelompoknya. Hidup di daerah terpencil dan rawan dari tindakan-tindakan kriminal dari pihak lain, tentunya membutuhkan keberanian dan memiliki kekuatan fisik yang baik. Kondisi seperti ini nampaknya mendorong setiap individu untuk membekali dirinya dengan kemampuan bela diri dengan belajar di persilatan. Dalam dunia persilatan sendiri terdapat turnamen-turnamen, dimana para

16

Penelitian yang dilakukan oleh Kartodirdjo dan Williams, sebenarnya tidak concern membahas awal lahir dan munculnya subkultur Jawara di Banten, melainkan hanya mencantumkan eksistensi jawara dalam proses pemberontakan-pemberontakan di Banten pada abad ke 19 M secara historis. Penelitian Kartodirdjo dan Williams nampaknya dijadikan rujukan oleh beberapa kalangan akademisi dalam menentukan kemunculan jawara, hal ini dapat dilihat dari karya Nina H lubis, Atu Karomah, Andi Rahman Alamsyah dan Ahmad Abrori. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta : Pustaka Jaya, 1984), Michael C Williams,

Communism, Relegions, and Revolt in Banten. (Ohio : Ohio University Press, 1990), Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama, Jawara. (Jakarta: LP3S, 2003), Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca-Orde Baru. (Jakarta: Dian Rakyat, 2010).

19

pesilat bertarung untuk menjajal kemampuan bela diri mereka. Dapat dimungkinkan bahwa istilah jawara sendiri nampaknya muncul dari kondisi tersebut. Jawara yang juga dapat dimaknai “juara” atau “pemenang” mengindikasikan makna bahwa orang yang telah berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Seorang jawara yang terkenal dan ditakuti oleh lawan maupun kawan, dapat dipastikan karena memiliki keunggulan dalam hal keberanian dan menaklukan lawan-lawanya. Kemempuan tersebut ditunjang oleh keahlian dalam ilmu persilatan atau bela diri serta dalam memainkan senjata khas yang dimiliki oleh jawara yakni sebuah golok.

Definisi Pengertian Jawara Banten

Selanjutnya adalah, apa sebenarnya definisi dan pengertian dari jawara itu sendiri. Terdapat stigma yang negative dari kebanyakan masyarakat Indonesia tentang memaknai definisi dan pengertian dari Jawara itu sendiri. Jawara kerap kali diartikan sebagai orang yang memiliki kekuatan fisik yang kuat, mahir dalam berkelahi, berwatak kasar, sering menggunakan kekerasan, serampangan, jagoan dan sampai kepada kesimpulan sebagai bandit lokal. Pandangan dan stigma masyarakat terhadap makna pengertian dari jawara itu sendiri tidak lepas dari beberapa aspek antara lain; aspek tempat daerah dimana jawara itu hadir, aspek historis dimana jawara itu lahir, dan aspek kultur kebudayaan lokal masyarakat dimana jawara itu berada. Oleh karena itu daerah dan orang Banten selain dikenal sebagai basis daerah Islam tradisional yang kuat, selain itu oleh sebagian masyarakat Indonesia, Banten dikenal sebagai daerah yang kasar, pemberani, lekat dengan magis dan ilmu-ilmu mistik. Hal tersebut terkait tentang keberadaan dan eksistensi para jawara di Banten.

Eksistensi Jawara di Banten turut berkontribusi atas image dan pandangan masyarakat terhadap Banten itu sendiri. Menurut Boas daerah-daerah kebudayaan yang memiliki ciri kelompok corak-corak kebudayaan yang khas seperti Banten inilah, disebut dengan “cultur are”.17 Banten sebagai tempat dearah Jawara di

17

Boas memberikan interpretasi tentang muncul dan lahirnya suatu kebudayaan, bahwa segi kebudayaan itu harus ditinjau dari rangka seluruh kebudayaan, selain itu ia memperhatikan pula pengaruh masa lampau terhadap

20

lahirkan, telah membentuk karakter sifat dan budaya sebagian masyarakat Banten yang sering menggunakan instrument kekerasan dalam setiap keadaan-keadaan tertentu. Hal ini tidak terlepas dari sudut pandang historis perkembangan Banten itu sendiri, dalam pergolakan pemberontakan dalam melawan penjajahan masa lalu.

Sejauh ini terdapat beberapa akademisi yang meneliti tentang keberadaan Jawara Banten, baik dari kalangan dalam negeri maupun luar negeri. Hadirnya kajian dari beberapa peneliti ini, turut memberikan definisi pengertian-pengertian yang berbeda tentang Jawara itu sendiri. Kata “Jawara” di daerah asalnya (Banten) sendiri umumnya dikenal untuk menunjukan seorang laki-laki berpenampilan sangar, berpakaian serba hitam, celana pangsi, baju silat, barangbang semplak (ikat kepala) atau menggunakan peci hitam, kumis panjang melintang, mata merah, tangan penuh dengan cincin dan akar bahar, membawa golok, ikat pinggang yang lebar, dan beserta sarung yang diselempangkan di

Dokumen terkait