• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontrak Baku Pada Asuransi Syariah Dalam Persfektif Hukum Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kontrak Baku Pada Asuransi Syariah Dalam Persfektif Hukum Perlindungan Konsumen"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

ABDUL KARIM MUNTHE NIM : 1611048000023

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

i

KONTRAK BAKU PADA ASURANSI SYARIAH DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

ABDUL KARIM MUNTHE NIM : 1611048000023

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)
(4)
(5)
(6)

v

ABSTRAK

ABDUL KARIM MUNTHE, NIM: 1611048000023, KONTRAK BAKU

PADA ASURANSI SYARIAH DALAM PERSFEKTIF HUKUM

PERLINDUNGAN KONSUMEN. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. xi +81.

Perkembagan asuransi syariah tidak dapat dielakkan seiring dengan perkembagan masyarakat itu sendiri. Usaha asuransi syariah yang berlandaskan pada

good faith dari peserta dan perusahaan. Sebab, yang diusahakan adalah jasa. Dasar dari itu semua adalah kontrak yang telah dibakukan oleh perusahaan. Oleh karena itu perlu diteliti apakah kontrak yang dibuat perusahaan telah sesuai dengan perlindungan konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan polis baku yang dikelaurkan oleh perusahaan asuransi syariah telah sesuai dengan prinsip perlindungan konsumen.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu dpreskriptif analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan data sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Polis yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi syariah masih ditemukan pencantuman klausula pengalihan tanggung jawab atau kewajiban perusahaan kepada konsumen, penenolakan pengembalian uang, memberi kuasa untuk melakukan tindakan sepihak, pemberian kewenangan untuk mengurangi kegunaan produk atau layanan, menyatakan tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak, pencantuman klausula yang sulit dipahami, dan penafsiran force majeure yang sangat luas, yang dilarang oleh perundang-undangan. (2) Menurut hukum Islam pencantuman kontrak baku tidak dilarang sebagaimana halnya juga dalam peraturan perundang-undangan tidak melarang menggunakan kontrak baku. menurut peraturan perundang-undangan kontrak baku dapat digunakan selama tidak melanggar UUPK pasal 18 dan juga POJK-PKSJK pasal 22. Dalam persfektif hukum Islam kontrak baku harus mencantumkan hal-hal yang telah difatwakan oleh DSN-MUI dan PMK Nomor 18/PMK.010/2010. Serta menjunjung tinggi asas kesetaraan dan keadilan. (3) dalam sebuah kontrak baku harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana halnya perjanjian pada umumnya harus memenuhi ketentuan pasal 1320 KUH Perdata ditambah dengan ketentuan UUPK dan POJK-PKSJK.

Kata kunci : Asuransi Syariah, Kontrak Baku, Perlindungan Konsumen.

(7)

vi

pantas kecuali pujian yang terus dilafalkan oleh lisan dan tidak ada perbuatan baik

dan perbuatan ketaatan kecuali tertuju hanya kepada-Nya. Hanya Dia lah yang pantas

dipuji dan hanya Dia lah yang pantas disembah, kepada-Nya pula hamba memohon

pertolongan, sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Sholawat serta salam kepada legislator yang tidak ada tandingannya,

membuat hukum dengan kemaslahatan yang mengelilinginya, menegakkan hukum

dengan penuh kebersihan akal dan jiwa sehingga setiap keputusan sesuai tidak ada

yang menentangnya. Semoga sholawat dan salam menolong hamba pada saat

penghakiman di akhirat kelak, serta memberikan atsar semangat dan keteguhan dalam perjuangan penulis dalam menegakkan hukum di kehidupan sehari-hari hamba.

Penulisan skripsi ini bukanlah akhir dari studi dari penulis lakukan

mudah-mudahan penulis akan terus melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi lagi. Itu semua

penulis persembahkan kepada Ibunda tercinta (Alm.) Lamsariah Sipahutar, moga

Allah swt, memberikan kasih sayangnya serta melapangkan kubur mu dan

menjauhkan dari siksa nereka. Kepada Ayahanda dan Ibunda moga Allah swt,

memelihara serta memberikan nikmat terbaikNya. Kepada kakak-kakak, abang dan

adik penulis tercinta mudah-mudahan Allah swt, melancarkan semua urusan kita.

Amiin.

Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang

turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat:

1. Dr. H. JM. Muslimin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharli, MA., Ketua Program Doeble Degree. Bapak

(8)

vii

3. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., MH. Sebagai pembimbing skripsi,

terimakasih tak terhingga atas masukan dan dukungannya dalam penulisan

skripsi ini.

4. Dr. Al Fitra, SH., M.Hum dan H. M. Yasir, SH., MH. Sebagai penguji

pertama dan kedua. Mudah-mudahan segala masukan dan nasihatnya

dapat memberi dampak positif pada penulis.

5. Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya qub, MA., Pengasuh Pondok Pesantren

International Institute For Hadith Sciences Darus-Sunnah yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu dalam

konsentrasi Ilmu Hadis;

6. Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah

banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di

Kampus Hijau ini;

7. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Pustakawan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Universitas Indonesia,

yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyediakan

referensi dalam penulisan skripsi ini;

8. Kawan-kawan seperjuangan di konsentrasi Pengadilan Agama dan

Administrasi Keperdataan Islam, kawan-kawan Double Degree dan Ilmu

Hukum angkatan 2009, mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah

penulis perbuat kepada kalian;

9. Seluruh pengurus BEM Fakultas Syariah dan Hukum periode 2012-2013,

mohon maaf jikalau selama sebagai wakil Presiden tidak bisa memuaskan

kawan-kawan semua;

10. Keluarga besar HMI Cab. Ciputat, LKBHMI Ciputat, FKADU Jakarta,

HIMLAB Jakarta Raya, KMSU Jakarta, ISDAR, LSO Rasionalika, yang

telah memberikan ilmu dalam diskusi-diskusi dan kematangan dalam

(9)

viii

bersama-sama penulis berjuang dalam melanjutkan studi di perguruan

tinggi di ibu kota ini.

13. Teman-teman kos white house Zuki, Zullisan, Azhar, Azmi, Idham,

Eka, Azhar, Azmi dan spesial kepada Ibu Kos yang terus memotivasi

untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi penulis;

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak

dapat penulis tuliskan, semoga doa dan harapan kita semua dikabulkan-Nya, Amiin.

Jakarta, 06 Mei 2014

Penulis

(10)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

PERSETUJUAN PEMBIMBING .. ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .. iii

LEMBAR PERNYATAAN . iv

ABSTRAK . v

KATA PENGANTAR .. vi

DAFTAR ISI . ix

BAB I PENDAHULUAN . 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah . 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian . 7

E. Kajian Terdahulu ... 8

F. Metode Penelitian . 11

G. Sistematika Penulisan 14

BAB II ASURANSI SYARIAH DALAM SISTEM

HUKUM INDONESIA .. 16

A. Landasan Hukum Asuransi Syariah .. 16

B. Prinsip-prinsip Asuransi Syariah 19

(11)

x

A. Kontrak Baku . 34

1. Pengertian Kontrak Baku .. 34

2. Dasar Hukum Kontrak Baku . 35

3. Keabsahan Kontrak Baku .. 37

4. Prinsip-prinsip Kontrak Baku 39

5. Pencantuman Klausul Eksemsi .. 41

6. Force Majeure 42

B. Perlindungan Konsumen 45

1. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen . 45

2. Asas-asas Perlindungan Konsumen 46

3. Hak dan Kewajiban Konsumen .. 50

4. Perlindungan Konsumen dalam Kontrak Baku .. 52

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KONTRAK BAKU

ASURANSI SYARIAH . 54

A. Analisis Isi Kontrak Baku Menurut Prinsip Syariah 54

B. Analisis Isi Kontrak Baku Persfektif Perlindungan Konsumen . 65

BAB V PENUTUP .. 76

(12)

xi

B. Saran-saran . 77

(13)

1

Semakin pesatnya perkembangan ekonomi, teknologi, dan pengetahuan modern menggiring masyarakat agraris ke arah masyarakat modern1 yang selalu diiringi dengan tingkat kewaspadaan yang terus meningkat dalam segala bidang, bisnis, sosial, politik atau dalam interaksi lainnya. Dalam hal berbisnis, setiap orang pribadi atau badan hukum tidak ingin menanggung resiko berat apalagi resiko tersebut sampai pada kondisi yang dapat merugikan atau membebani kelancaran kehidupannya. Dalam hal ini asuransi adalah salah satu solusi untuk menghindari kondisi tersebut. Asuransi diharapkan mampu untuk mengurangi atau memperkecil resiko yang diakibatkan resiko tersebut.2

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi biasanya selalu diiringi dengan meningkatnya pertumbuhan asuransi. Asuransi sebagai jalan keluar dari kesulitan yang tidak diduga-duga sering kali menjadi acuan para pelaku usaha atau pada orang pribadi untuk menjamin kelangsungan hidup seperti kesehatan, property, pendidikan, jiwa, dan lain-lain, sebab, asuransi ditujukan untuk membantu menyelesaikan masalah yang tidak dapat diduga.3 Atas tujuan itu pula banyak

1

Mohammad Muslehuddin, Insurance and Islamic Law, 2nd Edition, (Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1995), h.ix.

2

Abbas Salim, Asuransi dan Menejemen Resiko, Edisi 2. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), h.9-11.

3

(14)

2

masyarakat yang ikut serta dalam mengasuransikan dirinya atau yang dia miliki kepada asuransi baik itu asuransi syariah atau asuransi konvensional.

Asuransi syariah dan asuransi kovensional memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Di antara perbedaan tersebut adalah bahwa asuransi konvensional dilakukan untuk memindahkan resiko yang akan ditanggung oleh si tertanggung kepada si penanggung.4 Sedangkan asuransi syariah tidak demikian, si penanggung hanya sebagai perantara daripada tertanggung. Dalam hal ini yang menanggung resiko adalah para tertanggung sendiri atau lebih dikenal dengan konsep ta’âwun (tolong menolong), dengan landasan konsep al-mudhârobah,5

atau dalam bentuk kontrak yang lain.

Walaupun demikian, kedua sistem asuransi di atas tetap terfokus kepada konsumen atau tertanggung. Konsumen adalah tulang punggung perusahaan asuransi, berjalan atau tidaknya perusahaan asuransi tergantung pada pelayanan perusahaan terhadap konsumen mereka. Dalam hal ini menjadi penting pembahasan konsumen di perusahaan asuransi syariah.

Pelayanan kepada konsumen menjadi promosi paling ampuh untuk mengembangkan usaha asuransi. Meningkatkan pelayanan kepada konsumen adalah bentuk dari perlindungan konsumen. Walaupun demikian perusahaan tetap lebih mengutamakan kepentingan perusahaan dengan terus meningkatkan keuntungan. Terkadang perusahaan untuk meningkatkan keuntungan tersebut

4

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1994), h.1. 5Mohd Ma’sum Billah,

(15)

memanfaatkan posisi konsumen untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan konsumen.6

Posisi tawar konsumen yang lemah dimanfaatkan perusahaan untuk mengambil keuntungan dengan mencederai kepentingan konsumen. Modus ini dilakukan dengan berbagai cara seperti mengalihkan resiko yang akan ditanggung perusahaan apabila terjadi suatu kejadian, menolak untuk mempertanggung jawabkan yang seharusnya dipertanggung jawabkan sebagaimana yang banyak ditemui pada kartu parkir, menambah aturan tanpa sepengetahuan konsumen dan beberapa modus lainnya.

Lemahnya daya tawar konsumen dimanfaatkan oleh perusahaan termasuk asuransi di dalamnya untuk mencantumkan hal-hal yang dapat merugikan konsumen dalam sebuah kontrak atau polis yang dikenal dengan kontrak baku. Walaupun demikian nasabah masih tetap menerima kontrak baku yang ditawarkan oleh perusahaan karena kondisi sosial mereka yang lemah.7

Berbagai masalah pun kemudian bermunculan, banyak gugatan dan keluhan dari konsumen atas perlakuan perusahaan seperti ini.8 Harusnya dengan

6

(16)

4

adanya perjanjian permasalahan yang dapat merugikan kedua belah pihak dapat dihindari dan menyelesaikan masalah.9 Di sinilah pentingnya good faith atau iktikad baik dalam kontrak baku. sebagaimana dikatakan oleh Mariam Darus dalam acara Dies Natalis fakultas hukum USU bahwa iktikad baik adalah asas untuk mencari sebuah keadilan.10

Kontrak baku menjadi pilihan utama para pengusaha demi efisiensi dan efektifitas dalam menjalankan usahanya. Walaupun demikian kontrak baku tetap menjadi perdebatan kebolehannya. Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian akan tetapi hanya sebatas undang-undang swasta

(legio particuliere wetgever). Pittlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract).11

Stein mencoba untuk memberikan solusi atas permasalahan ini dengan mengatakan bahwa perjanjian baku dapat diterima berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen). Asser Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung gugat pada isi dan apa yang ditanda tanginanya. Bahkan Hondius dalam

Sriwiyani v PT. Adira Dinamika Multy Finence, Tbk., yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Pekalongan dengan Nomor 42/Pdt.G/2011/PN PKL.

9

Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Peruhaan Asuransi, cet. Ke-2. (Malang: Bayu Media, 2007), h.132.

10

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52d150ceef12a/profesor-fh-usu-bedah-definisi-asas-iktikad-baik akses, 13 Januari 2014, pukul 14:18 wib.

11

(17)

disertasinya menyatakan perjanjian baku mempunyai kekuatan yang mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang hidup di bisnis.12

Untuk mengontrol perbuatan perusahaan yang seperti itu. Pemerintah mengambil sikap dengan disahkannya Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Pada prinsipnya kontrak baku tidak dilarang dalam UU ini, akan tetapi sudah dibatasi dengan mencantumkan beberapa aturan yang dilarang dicantumkan dalam kontrak baku, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 18 UUPK.

Tidak sampai di sana, Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) sebagai lembaga baru yang salah satu tugasnya adalah pengawasan lembaga keuangan yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan konsumen juga mengatur hal yang sama berkaitan dengan kontrak baku. OJK mengeluarkan peraturan dengan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK) yang diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 yang berlaku bagi seluruh perusahaan keuangan.

Atas dasar pertimbangan di atas penulis tertarik untuk meneliti kontrak baku yang berlaku di beberapa perusahaan asuransi syariah, dengan judul “Kontrak Baku Pada Asuransi Syariah Dalam Persfektif Hukum Perlindungan Konsumen”.

12

(18)

6

B. Indentifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan perlindungan konsumen?

2. Apa yang harus dilakukan konsumen ketika haknya tidak dilindungi?

3. Bagaimana pandangan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan terhadap kontrak baku Asuransi Syariah?

4. Apakah polis yang di atur oleh perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia telah sesuai dengan peraturan perlindungan konsumen?

5. Bagaimana peran negara dalam melindungi konsumen? C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini maka penulis membatasi masalah yang diteliti hanya terfokus pada kontrak baku yang terdapat pada perusahaan asuransi syariah dalam tinjauan, Fatwa Dewan Syariah Nasional (selanjutnya disebut DSN), UUPK dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan konsumen.

2. Perumusan Masalah

(19)

UUPK. Untuk mempermudah menjawab rumusan masalah tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pandangan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan terhadap kontrak baku asuransi syariah?

b. Apakah kontrak baku yang dibuat oleh perusahaan asuransi syariah di Indonesia telah sesuai dengan peraturan pelindungan konsumen?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk menjawab beberapa permasalahan di atas yaitu: a. Mengetahui pandangan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan

terhadap penerapan kontrak baku asuransi syariah.

b. Mengetahui kontrak baku yang dibuat oleh perusahaan asuransi syariah telah sesuai peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen. 2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menemukan keadaan polis yang berlaku dibeberapa perusahaan asuransi syariah. Sehingga dapat menjadi acuan bagi perusahaan asuransi syariah untuk membentuk kontrak baku yang sesuai dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta memenuhi hak-hak setiap konsumen.

(20)

8

agar lebih ketat dalam mengawasi produk dan kontrak yang ditawarkan kepada konsumen asuransi syariah.

Kepada masyarakat umum penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan yang cukup untuk mengetahui hak-hak dan menilai kontrak asuransi yang akan dipilih terkait kedudukannya sebagai konsumen asuransi syariah.

Manfaat terakhir yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah meningkatnya kinerja Lembaga Pengawas Syariah (selanjutnya disebut LPS) dalam mengawasi produk yang dikeluarkan asuransi syariah, tidak hanya pada aspek kesyariahaanya tapi juga aspek perlindungan konsumen dalam persfektif hukum Islam dan UUPK.

E. Kajian Terdahulu

Perkembangan kajian perlindungan konsumen di lembagan keuangan syariah telah banyak dilakukan penelitia baik dalam bentuk penelitian sampai pada penelitian skripsi, tesis maupun disertasi. Berikut penelitian yang pernah dilakukan di beberapa universitas yang penulis temukan.

Irjayanti Mardin skripsi S 1 dengan judul Analisis Perbandingan Perlindungan Debitur Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank

Konvensional X dan Akad Pembiayaan al-Mudharabah (KPR Syariah) Bank

(21)

Syariah dan Bank Konvensional. Penelitian yang menggunakan metode yuridis-normatif dan didukung dengan data wawancara menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaan adalah sistem bunga dan keuntungan, sedangkan untuk akad KPR di Bank Syariah maupun Bank Konvensional sama-sama menggunakan akad baku, yang tentunya lebih memberatkan posisi debitur. Gista Lastersia dengan judul

Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam Transaksi Derivatif yang ditulis pada tahun 2009 di Universitas Indonesia.

Melli Meilany Skripsi S 1 dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Ditinjau Dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, yang ditulis pada tahun 2008 di Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini menggunaka penelitian lapangan mengambil sample PT. Bank Sumut Syariah yang dipadu dengan studi kepustakaan. Destri Budi Nugraheni dengan judul Penerapan Perlindugan Nasabah Produk Pembiyaan KPR BTN Syariah Cabang Yogyakarta, tesis S 2 yang ditulis pada tahun 2007 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggunkan metode kualitatif dengan penyajian deskriftif interpretatif terhadap produk pembiyaan KPR BTN Syariah dengan responden adalah nasabah pembiayaan KPR BTN Syariah dan staf Financing Officer. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa tidak semua hak-hak nasabah belum semuanya diterapkan sesuai dengan UUPK, PBI dan Hukum Ekonomi Islam.

(22)

10

perlindungan nasabah Bank Syariah terhadap produk dan jasa Bnak Syariah, yang ditulis pada tahun 2007 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Andi Syafrani, skripsi dengan judul, Perlindungan konsumen dalam perspektif hukum Islam: Tinjauan Terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, yang ditulis pada tahun 2002 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ahmad Daenuri, skripsi S 1 dengan judul, Perlindungan Konsumen Pada Transaksi Internet Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Yuridis

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang ditulis pada tahun 2009 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ridwan, skripsi S 1 dengan judul, Perlindungan Konsumen Perspektif Hukum Islam: Analisa Terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, yang ditulis pada tahun 2010 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Abdul Hafid Nur, Skripsi S 1 dengan judul, Aplikasi kontrak musyarakah Bank Syariah X ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen, yang ditulis pada tahun 2010 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hafid Nur Abdul, skripsi dengan judul,

Aplikasikontrakmusyarakah Bank Syariah X ditinjaudari UU No.8 Tahun 1999

tentangperlindungankonsumen, yang ditulis pada tahun 2010. Dalam penelitiannya ternyata masih mencantumkan hal-hal yang dilarang oleh pasal 18 UUPK dalam kontrak baku bahkan ada juga yang tidak sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.

(23)

lembaga keuangan asuransi syariah belum ada penelitian yang menganalisis perlindungan konsumen dalam kontrak baku yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi syariah.

F. Metode Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan dari rumusan masalah yang telah penulis kemukakan di atas diperlukan metode penelitian sehingga jawaban dari setiap rumusan di atas dapat dipertanggungjawabkan dan bernilai akademis. Sehingga dapat diterapkan oleh semua kalangan.

1. Jenis penelitian

Penerapan kontrak baku asuransi syariah dikaitkan dengan perlindungan konsumen adalah isu utama yang diteliti dalam skripsi ini. Dengan demikian penelitian yang cocok untuk tema ini adalah penelitian hukum yang bersifat normatif (dogmatic).13 Suatu penelitian yang menganalisis hukum posistif maupun asas-asas hukum, dengan melakukan penjelasan secara sistematis ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah kategori hukum tertentu, menganilisis hubungan antara ketentuan hukum, menjelaskan dan memprediksi pengembangan kedepan.

2. Pendekatan masalah

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsep, perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus. Pendekatan

13

(24)

12

konsep dilakukan untuk melihat kesesuaian konsep dengan aplikasi yang berlaku di asuransi syariah. Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk menyingkap konsep kontrak dalam sistem hukum di Indonesia. untuk tujuan tersebut akan dikaji beberapa peraturan perundang-undangan terkait. Sedangkan untuk pendekatan kasus dilakukan untuk melihat pelanggaran klausula kontrak dengan konsep atau teori dan perundang-undangan di lembaga asuransi syariah.

3. Bahan hukum

Sesuai dengan sifat penelitian hukum normatif, bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Selain itu dimungkinkan juga untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder bahan non hukum.

Bahan hukum primer berupan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Usaha Perasuransian, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, PMK No. 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah.

(25)

dan karya ilmiah lainnya, serta dokumen-dokumen kontrak di lembaga asuransi syariah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisis data

Data atau informasi yang diperoleh dalam penelitian ini akan disajikan secara kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analitif dan perskriptif-analitis. Analisa data dilakukan secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan, metode yang demikian ditempuh mengingat penelitian ini tidak mementingkan kuantitas datanya, akan tetapi lebih mementingkan pada kesesuaian prosedur dan isinya dengan teori, fatwa DSN dan peraturan perundang-undangan.

Teknik analisis dimulai dengan menghimpun bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dan asuransi syariah. Bahan hukum tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan, buku-buku (treatises) hukum, artikel, jurnal hukum, internet, hasil seminar dan lain-lain.

(26)

14

Adapun teknik penulisan dalam penelitian ini menggunakan pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyusunnya dalam lima bab yaitu: Bab pertama yang berisi pendahuluan yang menjabarkan latar belakang permasalahan penulisan skripsi ini yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah rumusan penelitian yang layak dengan menjelaskan metode penelitian dan terakhir dijabarkan sistematika penulisan.

Bab kedua mebahas asuransi syariah dalam sistem hukum Indonesia, dengan sub pembahasan yaitu: landasan hukum asuransi syariah, prinsip-prinsip asuransi syariah, Akad-akad Asuransi Syariah, Produk Asuransi Syariah.

(27)

Bab keempat membahas analisis kontrak baku yang terdapat asuransi syariah dalam pandangan fatwa DSN dan terutama dalam prespektif perlindungan konsumen.

(28)

16 BAB II

ASURANSI SYARIAH DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA A. Landasan Hukum Asuransi Syariah

Asuransi syariah muncul seiring dengan usaha syariah lainnya seperti perbankan syariah. Pada dasarnya munculnya asuransi syariah ditujukan atas kegelisahan usaha asuransi konvensional yang penuh dengan ketidakadilan, karena dipenuhi dengan unsur gharar, riba, maisir, atau zalim.

Dalam literatur hukum Islam, asuransi dapat diartikan dalam dua istilah yaitu dhaman dan al-kafâlah1 ada juga yang menggunakan istilah ta’mîn.2

Sedangkan di Indonesia atas rekomendasi Majlis Ulama Indonesia (selanjutnya disebut MUI) pada tahun 2001 sebaiknya istilah yang digunakan adalah Asuransi Syariah.3 Pada dasarnya ketiga istilah di atas tidak terdapat perbedaan yang memberikan dampak pada pemahaman. Perbedaannya terletak pada kebiasaan orang Arab dalam memadankan kata tersebut.

Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (selanjutnya disebut UU Asuransi) pasal 1 menjelaskan, Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian tertanggung karena kerugian,

1

Ali al-Khafîf, al-Dhomân fi al-Fiqh al-Islâmî, (Qâhirah: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 2000), h.8. 2

Musthafa Dib al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah (Menjalin Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam), Penerjemah, Fakhri Ghafur. (Jakarta: Al-hikmah, 2010), h.83.

3

Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Persfektif Kewenangan Peradilan Agama,

(29)

kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang dadasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Lembaga asuransi syariah sebagai wadah tanggung menanggung antar sesama anggota asuransi belum memiliki undang-undang khusus sebagaimana perbankan syariah. Akan tetapi bukan berarti usaha asuransi syariah illegal. Asuransi syariah berjalan sesuai dengan peraturan asuransi pada umumnya yang berlaku di Indonesia selama belum diatur lebih lanjut.4

Asuransi syariah di atur di berbagai aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait, seperti:

1. Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. 2. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).

3. Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2008 Tentang Perubahan. Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 Tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah.

4

(30)

18

5. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2012 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

8. KMK 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Reasuransi

Selain itu aspek hukum Islam juga mendukung akan adanya usaha asuransi yang bersifat sosial dalam Quran, Hadis dan Fatwa Ulama dalam hal ini diwakili oleh DSN-MUI yang diberi otoritas oleh negara dalam mengeluarkan fatwa tentang kesyariahan usaha asuransi syariah. Berikut ayat yang memberikan legitimasi usaha asuransi syariah.

1

Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan

dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan

mukmin dengan mukmin lainnya laksana bangunan, satu bagian menguatkan bagian lainnya.”

5

(31)

3. Fatwa DSN-MUI NO: 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.

B. Prinsip-prinsip asuransi syariah

Prinsip sebagai kebenaran yang menjadi pokok berfikir dan bertindak6 pada umumnya perusahaan asuransi berprinsip sama. Banyak pakar yang menjelaskan tentang prinsip-prinsip asuransi. Gemala Dewi mengatakan bahwa ada tiga prinsip utama asuransi syariah yaitu: 1. Saling bertanggung jawab; 2. Saling bekerja sama atau saling membantu; 3. Saling melindungi penderitaan satu sama lainnya.7

Muhammad Syakir Sula8 menjelaskan ada sebelas (11) prinsip asuransi syariah yaitu:

1. Prinsip berserah diri dan ikhtiar.

Sebagai makhluk Allah swt yang beragama Islam berserah diri adalah makna dari Islam itu sendiri. Segala tindakan dan keputusan harus diserahkan kepada keputusan dan ketetapan Allah swt akan tetapi tidak berarti harus berserah apa adanya tanpa ada usaha yang mengiringi. Ikhtiar dan tawakkal adalah dua hal yang harus beriringan tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. 2. Prinsip tolong-menolong.

6

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Cet. Ke-4. (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.

7

Lihat bukunya, Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia,h.167. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Abdul Manan, lihat Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, h.264-268.

8

(32)

20

Ada banyak nas Quran dan Hadis yang menganjurkan untuk meningkatkan hubungan sesama masyarakat, salah satu bentuk untuk meningkatkan hubungan tersebut adalah dengan tolong menolong atau dalam bahasa Arab ta’awun dalam setiap kesulitan yang dihadapi.

Prinsip ini menjadi dasar seluruh asuransi dalam hal life insurance dan

general insurance. Prinsip tolong menolong adalah fondasi dasar dalam menegakkan asuransi syariah, sekaligus juga yang menjadi dasar kebolehan asuransi syariah.

3. Prinsip saling bertanggung jawab.

Prinsip saling bertanggung jawab antara satu sama lain tidak bisa dipisahkan dari asuransi syariah. Sebab, hal ini lah yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Asuransi konvensional dengan

trasnfer of sharing, sedangkan asuransi syariah berlandaskan share of sharing.9

Asuransi konvensional yang bertanggung jawab adalah perusahaan, sedangkan dalam asuransi syariah seluruh pihak, perusahaan dan sesama anggota asuransi harus bertanggung jawab sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing.

4. Prinsip saling kerjasama dan bantu-membantu.

9

(33)

Agama Islam mengajarkan kerjasama dalam segala hal, termasuk dalam mengelola resiko. Abu Zahroh menjalaskan bahwa kerja sama umat muslim telah dijelaskan dalam berbagai hal, seperti zakat. Atas dasar ini pula KH. Sahal Mahfud mengkampanyekan fikih sosial, untuk mengatasi permasalahan masyakat.10

5. Prinsip saling melindungi dari berbagai kesusahan. 6. Prinsip kepentingan terasuransikan (insurable interest).

Benda yang menjadi objek asuransi tertanggung harus memiliki kepentingan dengan benda tersebut. Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam pasal 268 KUHD adalah yang dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh suatu bahanya, dan tidak dikecualikan oleh undang-undang.11

Ada lima hal yang dapat menimbulkan kepentingan yaitu: (1) hubungan keluarga; (2) hubungan bisnis; (3) kepemilikan; (4) kuasa orang lain; (5) karena undang-undang;12

7. Prinsip iktikad baik (utmost good faith).

Asuransi sebagai usaha yang bermodalkan jasa, iktikad baik bagi penanggung dan tertanggung adalah suatu hal yang mutlak harus dimiliki, sebab, usaha ini sangat rentan terhadap terjadinya kecurangan baik dari perusahaan, seperti yang banyak terjadi dalam kontrak baku. Kecurangan yang

10Jamal Ma’mur Asmani,

Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi,

(Surabaya: Khalista, 2007), h.50. 11

R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab undang Hukum Dangang dan Undang-undang Kepailitan, Cet. Ke-23. (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003), h.77.

12

(34)

22

dilakukan oleh anggota asuransi sendiri seperti melakukan penipuan terhadap klaim. Jika prinsip ini dilanggar terutama tertanggung dapat mengakibatkan pertanggungan menjadi batal.13

8. Prinsip ganti rugi (indemnity).

Sebagaimana pada dasarnya asuransi ditujukan untuk menghilangkan atau meringankan resiko yang diderita oleh tertanggung karena terjadi peristiwa yang tak terduga.

9. Prinsip penyebab dominan (proximate cause).

Ada juga yang memberi istilah sebab aktif.14 Peristiwa yang ditanggung dan dijamin oleh asuransi selama sesuai dengan apa yang diisi dalam perjanjian polis dan tidak dikecualikan dalam polis. Kejadian tersebut tidak ada intervensi suatu kekuatan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan indpenden.15

10.Prinsip subrogasi.

Jika tertanggung mengalami musibah, misalnya gedungnya terbakar, pihak ketiga yang melakukan pembakaran tersebut harus melakukan ganti rugi sebagaimana dalam hukum tanggung gugat dan membayar ke perusahaan, dan tertanggung tidak boleh lagi menerima ganti rugi dari pelaku tersebut.

11.Prinsip kontribusi (contribution/al-muhasamah).

13

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.263. 14

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.263. 15

(35)

Al-muhasamah adalah bentuk kerjasama di mana tiap-tiap anggota menanamkan modalnya dan akan memperoleh kompensasi atas saham sesuai dengan modal yang dia tanamkan.

Selain dari sebelas prinsip yang dikemukakan di atas ada satu prinsip lagi yang penting dalam usaha asuransi syariah. Prinsip yang halal. Halal dari aspek akad, berarti bebas dari unsur: riba, gharar;16 zalim, maysir (judi), bukan terhadap barang yang diharamkan, tidak ada unsur maksiat, dan tidak ada risywah;17

C. Akad-akad Asuransi Syariah

Sebagai sebuah mu’amalat, usahan asuransi berjalan berdasarkan akad yang dilakukan oleh penanggung dengan tertanggung, akad tersebut lazim disebut dengan polis. Akad sebagai ikatan antara para pihak diharuskan dalam sebuah perbuatan bisnis. Sebab, asuransi sebagai usaha harus didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak atau dalam bahasa lain dikenal dengan keridhoan yang ditunjukkan dengan adanya ijabdankabul.

16

Gharar dalam pengertiannya adalah sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, seperti membeli ikan yang masih di dalam kolam. Praktek seperti ini diharamkan oleh ulama dengan pertimbangan hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim, Tirmizi, Abu Daud, Nasai yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah, yang mengatakan Rasulullah saw melarang jual beli gharar. Musthafa Dib Bugha mengatakan bahwa ulama fikih membagi gharar kedalam tiga bagian, yaitu, pertama, gharar katsîr, kedua, gharar yasîr, dan ketiga, gharar mutawassith. (Musthafa Dib Bugha, Buku Pintar transaksi Syariah), h. 89. Sedangkan ulama Malikiah menjelaskan bahwa tidak semua gharar itu diharamkan ada yang masih dimaafkan sebagaimana dijelaskan oleh Husain hamid Hisan, apabila ada tiga unsur berikut, yaitu: 1) gharar-nya yasir; 2) tidak diniatkan/tidak dimaksudkan; 3) dalam keadaan darurat. Lihat Nandi Ramhman, Asuransi Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Lembaga Pers Bekasi, 2003), h. 8

17

Lihat, Fatwa Dewan Syari'ah Nasional NO: 21/DSN-MUI/X/2001, Tentang Pedoman

(36)

24

Akad sebagai media yang menghubungkan penanggung dan tertanggung menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Usaha asuransi secara umum dijalankan berdasarkan dua bentuk akad. Akad tijari dan akad tabarru’. Akad tijari ditujukan kepada kontrak yang bersifat komersial. Sedangkan akan

tabarru’ ditujukan kepada akad non-komersial.

Dalam penjelasan ini penulis akan membagi kedua akad di atas menjadi bermacam-macam akad sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Kementrian Keuangan Nomor. 18/PMK.010/2010.

1. Akad tijari

Asuransi tidak hanya terbatas pada akad yang bersifat sosial yang berdasarkan tolong menolong antar sesama anggota asuransi akan tetapi juga diperlukan keuntungan dari investasi sehingga dapat menarik keinginan masyarakat.

a. Mudharabah

Mudharabah (istilah ini digunakan oleh mazhab Hanafi dan Hanbali) ada juga yang menggunakan istilah al-Qirâdh (istilah ini

digunakan oleh mazhab Maliki dan Syaf’i),18 secara etimologi berarti

bahwa al-qath’ yang berarti memotong. Sedangkan terminologi berarti

18

(37)

penyerahan modal kepada orang lain untuk diinvestasikan yang keuntungannya dibagi kepada pemilik modal dan pengelola modal.19

Afzalurrahman mengatakan mudharabah adalah kontrak kemitraan yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya kepada orang lain untuk melakukan usaha dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama.20

Pengertian mudharabah ditegaskan dalam PMK Nomor 18/PMK.010/2010 sebagai berikut:

Akad Mudharabah adalah Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada Perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi Dana Tabarru ’ dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya telah disepakati sebelumnya.

b. Mudharabah musytarakah

Akad mudharabah musytarakah adalah kelanjutan dari akad

mudharabah di atas. yang membedakan kedua akad ini terletak pada penanaman modalnya. Pada akad mudharabah modal hanya dari penanam modal sedangkan pengelola tidak ikut serta dalam menanamkan modalnya. Sedangkan mudharabah musytarakah pengelola dan penanam modal sama-sama menanamkan modal mereka.

19

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, dalam Abdullah al-‘Abâdî,

Syarh Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, h.1829. 20

(38)

26

Pengertian ini diatur dalam PMK Nomor 18/PMK.010/2010 pasal 1 angka 11:

Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada Perusahaan sebagai

mudharib untuk mengelola investasi Dana Tabarru ’ dan/atau Dana Investasi Peserta, yang digabungkan dengan kekayaan Perusahaan, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya ditentukan berdasarkan komposisi kekayaan yang digabungkan dan telah disepakati sebelumnya.21

Hal-hal yang harus dicantumkan dalam akad mudharabah musytarakah sekurang-kurangnya sebagai berikut:

a. Hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dan/atau Peserta secara individu sebagai shâhibul mâl (pemilik dana);

b. Hak dan kewajiban Perusahaan sebagai mudhârib (pengelola dana) termasuk kewajiban Perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan;

c. Investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan;

d. Batasan wewenang yang diberikan Peserta kepada Perusahaan;

e. Cara dan waktu penentuan besar kekayaan Peserta dan kekayaan Perusahaan;

f. Bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian hasil investasi;

21

(39)

Sebagai sebuah akad dalam asuransi syariah konsekuensi yang diterima dalam memilih akad ini adalah apabila terjadi kerugian pada saat investasi dana tersebut maka kedua belah pihak menanggung kerugian tersebut secara bersama-sama. Inilah yang membedakan akad ini dengan

wakalah bil ujrah sebagaiaman dijelaskan di bawah.

Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI22 bahwa pembagian hasil keuntungan investasi dapat dilakukan melalui dua alternatif sebagai berikut:

Alternatif pertama:

1) Hasil investasi dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai mudhârib) dengan peserta (sebagai shâhibul mâl) sesuai dengan nisbah yang disepakati.

2) Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan para peserta sesuai dengan porsi modal atau dana masing-masing.

Alternatif kedua:

1) Hasil investasi dibagi secara proporsional antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan peserta berdasarkan porsi modal atau dana masing-masing.

22

(40)

28

2) Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dibagi antara perusahaan asuransi sebagai mudharib dengan peserta sesuai dengan nisbah yang disepakati.

c. Wakalah Bil Ujrah

Secara bahasa wakalah berarti al-hifz (menjaga) (Qs. Ali Imran [3]: 173). Secara etimologis wakalah diartikan sebagai tafwîdh al-tashorruf, wal hifzh ila al-wakîl23 yang berarti pengalihan pemilikan kepada orang lain untuk diinvestasikan dan dipelihara oleh wakil. Kata “ujrah” dapat

diartikan sebagai “fee”. Dengan demikian yang dimaksud dengan wakalah

bil ujrah adalah penyerahan modal kepada pihak kedua untuk diinvestasikan dengan imbalan.

Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI wakalah bil ujrah

adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk

mengelola dana peserta dengan imbalan pemberian ujrah (fee).24

Pemberian wewenang kepada perusahaan asuransi syariah untuk mengelola dana dikenakan biaya-biaya. Dalam fatwa DSN-MUI menjelaskan bahwa yang dapat dijadikan objek wakalah bil ujrah pada tujuh objek, yaitu: a. kegiatan administrasi; b. pengelolaan dana; c. pembayaran klaim; d. underwriting; e. pengelolaan portofolio risiko; f.

pemasaran; g. investasi;

23

Abdullah al-‘Abâdî,Syarh Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, h.1967. 24

(41)

Dalam akad Wakalah bil Ujrah hal-hal yang harus disebutkan

sekurang-kurangnya adalah:

a. Objek yang dikuasakan pengelolaannya;

b. Hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dan/atau Peserta secara individu sebagai muwakkil (pemberi kuasa);

c. Hak dan kewajiban Perusahaan sebagai wakil (penerima kuasa) termasuk kewajiban Perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan risiko dan/atau kegiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan;

d. Batasan kuasa atau wewenang yang diberikan Peserta kepada Perusahaan;

e. Besaran, cara, dan waktu pemotongan ujrah (fee);25

Sebagai sebuah akad antara perusahaan dengan nasabah tetunya ada konsekuensi-konsekuensi apabila akad ini yang dipilih. Perusahaan dalam akad ini tidak akan mendapatkan keuntungan apapun dari hasil investasi yang dia lakukan, kecuali hanya sebatas fee yang telah disepakati dalam polis. Atas dasar itu pula perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang dialami selama itu dilakukan secara profesional. Perusahaan baru bertanggung jawab atas terjadinya kerugian apabila dia

25

(42)

30

menginvestasikan modal tersebut tidak secara profesional dan wanprestasi.26

2. Akad tabarru’

Kata tabarru’ berasal dari kata barra’a yang berarti memberikan tanpa mengharapkan apapun atau pemberian cuma-cuma, dapat juga diartikan sebagai pemberian yang tidak diwajibkan untuk dikembalikan.27 Akad tabarru’ dalam usaha asuransi syariah adalah “ruh” dalam usaha asuransi

syariah, dengan akad ini para tertanggung saling memberikan bantuan apabila terjadi evenemen sebagaimana yang telah ditetapkan oleh perusahaan asuransi dalam polis.

Dana tabarru’ hanya boleh digunakan untuk hal-hal yang langsung berkaitan dengan nasabah, seperti klaim, cadangan tabarru’ dan reasuransi syariah.28 Inilah yang membedakannya dengan akad tijari yang boleh dialihkan fungsikan menjadi akad hibah.

Kebolehan penggunaan akad tabarru’ telah difatwakan DSN-MUI dengan Nomor 53/DSN-MUI/III 2006 tentang Akad Tabarru’ Pada Asuransi Syariah yang disahkan pada tanggal 23 Maret 2006 yang berisi tujuh ketetapan.

Dalam akad tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:

26

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah.

27Sa’idi Abu Hubaib,

al-Qâmûs al-Fiqhî Lughotan wa Ishtilahan, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1988), h.37.

28

(43)

a. Kesepakatan para Peserta untuk saling tolong menolong (ta’awuni);

g. Hak dan kewajiban masing-masing Peserta secara individu; h. Hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dalam kelompok; i. Cara dan waktu pembayaran kontribusi dan santunan/klaim;

j. Ketentuan mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kembali oleh Peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh Peserta;

k. Ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian Surplus Underwriting;29

Sebagian akad yang termasuk dalam kelompok akad tabarru’ adalah hibah, kafalah dan takaful.30

D. Produk Asuransi Syariah

Dennis W. Goodwin (1992) mengatakan bahwa produk adalah semua yang diterima oleh konsumen.31 Produk asuransi syariah terbagi ke dalam berbagai macam, sesuai dari sudut pandang kita melihatnya. Dilihat dari dana, produk asuransi syariah terbagi dua, yaitu: produk yang memiliki unsur tabungan. Kedua, produk yang tidak memiliki unsur tabungan.32 Sedangkan jika melihat dari pembuatannya ada dua jenis. Produk standar, yaitu produk yang dipasarkan sesuai dengan surat keputusan direksi, mengenai manfaat, premi, maupun

29

Lihat Peraturan Mentri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 pasal 8 ayat (1). 30

Muhammad Luthfi, Asuransi Dalam Pandangan Islam, (Jakarta:Lembaga Pers Bekasi, 2003), h.97.

31

Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), h.81. 32

(44)

32

syarat penutupannya sudah diatur terperinci. Kedua, produk tidak standar (tailor made). Produk ini dibuat berdasarkan permintaan konsumen.33

Berikut ini beberapa contoh produk asuransi dengan unsur tabungan: 1. Program dana pendidikan.34

2. Program dana haji35 3. Program unit link.36

Merupakan program asuransi jiwa unit link yang memberikan santunan kepada orang yang berhak apabila pesarta mengalami musibah, sebagaimana diakadkan dalam polis.

Produk non tabungan. Maksud asuransi non tabungan adalah jenis produk yang tidak memiliki unsur tabungan karena premi yang dibayar oleh peserta hanya dimasukkan ke dalam rekening khusus, yaitu rekening tabarru’. Sebagai dana yang diniatkan untuk saling menolong apabila ada peserta lain yang terkena musibah.37

1. Program kecelakaan diri38 2. Program kecelakaan siswa.39

3. Program kecelakaan diri perkumpulan.40 Program ini ditujukan untuk perusahaan atau organisasi berbadan hukum yang ingin menyediakan

33

Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.83. 34

Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.83. 35

Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.86. 36

Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.87. 37

Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.89. 38

Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.89. 39

(45)

santunan bagi karyawan/anggotanya apabila mengalami musibah karena kecelakaan. Program ini biasanya disyaratkan diikuti minimal 25 orang. 4. Program asuransi falah. Program ini merupakan produk yang dirancang

secara khusus untuk peserta yang menginginkan manfaat asuransi secara luas atau menyeluruh. Maksudnya mencakup segala sisi kebutuhan peserta guna memperoleh proteksi dari kerugian financial akibat musibah yang menimpa.41

5. Program asuransi kesehatan kumpulan.42 Ditujukan pada karyawan perusahaan atau anggota organisasi.

Dua jenis produk, yaitu: takaful jiwa (life insurance) dan takaful kerugian (general insurance).43 Jenis takaful jiwa terdiri dari empat jenis produk yaitu: takaful dana siswa, takaful dana investasi, takaful dana haji, dan takaful khairat.

Jenis takful kerugian terdiri dari tiga jenis yaitu: takaful kebakaran, takaful kendaraan, takaful kecelakaan.

40

Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.90. 41

Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.94. 42

Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.95. 43

(46)

34 BAB III

ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KONTRAK BAKU ASURANSI SYARIAH

A. Kontrak Baku

1. Pengertian Kontrak Baku

Sebagaimana pada umumnya kontrak baku atau perjanjian baku sama halnya dengan perjanjian pada umumnya. Perikatan sebagai ikatan yang menghubungkan antara dua pihak.1 Sebagaimana dijelaskan dalam KUH Perdata pasal 1313 perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dririnya terhadap satu orang lain atau lebih.

Kontrak baku, kontrak standard atau kontrak adhesi adalah beberapa istilah yang digunakan terhadap perjanjian yang seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau minta perubahan.2

Perjanjian baku pada umumnya telah tercetak (boilerplate) sehingga pihak lain tidak memiliki kesempatan untuk menegosiasi, pilihan yang ada adalah mengambil kontrak tersebut atau meninggalkannya,3 hal yang senada

1

Soebekti, Hukum Perjanjian, cet. Ke-19. (Jakarta: Intermasa, 2002), h.1. 2

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), h.66.

3

(47)

juga diutarakan oleh Hondius.4 Yang belum dibakukan hanya terkait beberapa hal yaitu seputar objek yang ditransaksikan dan besaran biaya yang harus ditanggung.5

Di tengah bisnis yang semakin pesat diperlukan kontrak yang baku untuk mengefisiensikan biaya, tenaga, dan waktu6 dalam perjalanan bisnis. Banyak contoh perjanjian yang bisa kita lihat penggunaan kontrak baku seperti tiket pesawat, kredit bank, jual beli, asuransi, dan lain-lain.

Ciri-ciri kontrak baku menurut Mariam Badrulzaman, yaitu:

a. Isi ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;

b. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;

c. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu;

d. Bentuknya tertulis;

e. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.7 2. Dasar Hukum Kontrak Baku

Secara khusus keberadaan kontrak baku tidak diatur dalam perundang-undangan dan juga tidak dilarang oleh undang-undang. Kontrak baku telah

4

Salim HS, dkk., Perancangan Kontrak dan Momerandum of Understanding (MoU),

(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.70. 5

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.66. 6

Salim HS, dkk., Perancangan Kontrak, h.73. 7

(48)

36

ada dan eksis sejak ribuan tahun yang lalu dalam dunia bisnis.8 Pengaturan kontrak baku dapat kita temukan pada beberapa peraturan perundang-undangan berikut.

a. Pasal 6.5.1.2 dan pasal 6.5.1.3 NBW Belanda.

b. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 Priciples of international Commercial Contract (Prinsip UNIDROIT). Prinsip ini mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak.

c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

d. Undang-undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen. UUPK menjelaskan secara khusus pengertian pasal 1 angka 10 kemudian menjelaskan ketentuan yang tidak boleh dicantumkan dalam kontrak baku di dalam pasal 18.

e. Rancangan Undang-undang tentang Kontrak. Kontrak ini dijelaskan dalam pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22.9

f. Peraturan Otoritas Jasa Keungan Nomor: 1/POJK.07/2013 yang diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 yang berlaku bagi seluruh perusahaan keuangan, termasuk di dalamnya perusahaan Asuransi Syariah. Peraturan ini memuat ketentuan yang tidak boleh dicantumkan

8

Salim HS, dkk., Perancangan Kontrak, h.72. 9

(49)

dalam sebuah kontrak baku dalam pasal 22. Pada dasarnya ketentuan yang dilarang dicantumkan dalam kontrak baku yang diatura dalam peraturan OJK ini tidak jauh berbeda dengan UUPK yang dijelaskan dalam pasal 18.

3. Keabsahan Kontrak Baku

Keabasahan kontrak baku sebenarnya tidak perlu dipersoalkan lagi, sebab, kontrak baku telah ada sejak 80 tahun yang lalu.10 Walaupun demikian perdebatan tentang keabsahan kontrak baku tidak bisa dilupakan begitu saja, sebab, hal ini berkaitan dengan perbaikan peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan penggunaan kontrak baku.

Ahli hukum berbeda pandangan dalam menilai keabsahan kontrak baku. Negara yang umumnya bersistem Eropa Kontinental berbeda pandangan dalam menilai keabsahannya dengan argumentasinya masing-masing. Sluijter mengatakan bahwa kontrak baku bukan perjanjian. Baginya kontrak yang dibuat oleh perusahaan adalah undang-undang swasta. Dengan bahasa yang berbeda Pitlo mengatakan kontrak baku adalah perjanjian paksa.11

Bagi yang mendukung sahnya kontrak baku berdasarkan alasan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang mengikatkan dirinya pada kontrak

10

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.70. 11

(50)

38

baku tertsebut, pendapat ini diutarakan oleh Stein.12 Pendapat lain yang mendukung keabsahan kontrak baku diutarakan oleh Hondius yang berpendapat bahwa kontrak baku telah menjadi kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan lalu lintas bisnis.13

Asser Ruten mengatakan bahwa setiap kontrak yang ditanda tanganinya maka ia terikat dengan kontrak tersebut.14 Kalau pendapat ini yang digunakan bagaimana kalau perjanjian tersebut tidak dibubuhi tanda tangan? Seperti kontrak yang ada pada tiket pesawat. Pada dasarnya tidak ada ketentuan yang mengharuskan suatu kontrak itu ditanda tangani, bahkan kontrak yang hanya disepakati dengan syarat saja sudah dapat dikatakan kontrak yang sah.15

Negara dengan sistem common law sebagaimana di Amerika berpandangan bahwa hakim di sana berpendapat bahwa kontrak baku (adhesi) tidak dapat diterapkan, hal ini disimpulkan oleh Whitman dan Gergacz.16 Walaupun demikian ini tidak berjalan lama. Pada tahun 1960-an pendapat ini mulai ditinggalkan. Hal ini ditandai dengan mulai diawasi penggunaan kontrak baku.17 Walaupun demikian mereka tetap berpegang

12

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.69. 13

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.69. 14

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.69. 15

Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.92. 16

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.70. 17

(51)

teguh pada prinsip Cevat Emptor (Let the Buyer beware), yang berarti pembelilah yang harus hati-hati.18

4. Prinsip-prinsip Kontrak Baku

Sebagai sebuah instrumen hukum yang mengikat debitur dengan kreditur serta mengatur kewajiban dan hak masing-masing pihak, kontrak baku harus mendapat perhatian khusus terkait dengan prinsip-prinsip penting yang berpotensi untuk dilanggar oleh karenanya ini harus mendapatkan perhatian dalam kontrak baku.

Munir Fuadi menjelaskan ada empat (4)19 prinsip yang harus diperhatikan dalam kontrak baku yaitu:

a. Prinsip kesepakatan kehendak dari para pihak

Kesepakatan sebagai dasar sahnya perikatan tetap menjadi penentu sah atau tidaknya kontrak tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan perjanjian yang sah adalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.

Walaupun kontrak baku dibuat oleh salah satu pihak saja, unsur kesepakatan harus dapat dipenuhi dalam kontrak baku tersebut. Kesepakatan itu dapat ditandai dengan ditanda tanganinya kontrak tersebut20 atau dengan cara serah terima barang yang ditransaksikan.

18

Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.86. 19

Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.84-85. 20

(52)

40

b. Prinsip asumsi risiko dari para pihak.

Adanya asumsi resiko dalam perjanjian tidak dilarang. Artinya apabila salah satu pihak bersedia menanggung resiko tersebut, ketika resiko tersebut terjadi maka yang menyatakan bersedia tersebut harus menanggung resiko tersebut.21

c. Prinsip kewajiban membaca (duty to read).

Prinsip kewajiban membaca oleh konsumen yang dianut oleh sistem negara common law seperti Amerika juga harus diperhatikan konsumen yang ada di Indonesia. Disiplin ilmu hukum juga mengajarkan bahwa setiap pihak wajib membaca kontrak yang mereka tanda tangani. Tanda tangan yang dibubuhkan dalam kontrak tersebut adalah tanda kalau mereka telah membaca sepenuhnya kontrak yang mereka sepakati.22

d. Prinsip kontrak mengikuti kebiasaan.

Kontrak sebagai role yang mengatur apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan para pihak bukan berarti apa yang tidak dicantumkan dalam kontrak boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Ada prinsip kebiasaan juga yang mengikat para pihak dalam perjanjian.23

Pasal 1339 mengatakan bahwa:

21

Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.84. 22

Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.85. 23

(53)

Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Ketentuan pasal ini ditujukan untuk memenuhi rasa keadilan di samping kepastian hukum.

5. Pencantuman Klausul Eksemsi

Perbuatan curang sering diselipkan dalam kontrak dengan dicantumkanya klausula ekesemsi. Istilah eksemsi terjemahan dari istilah inggris exemtion clouse. Selain itu ada juga istilah lain seperti klausula eksonerasi istilah ini digunakan oleh Mariam Badurlzaman.24 Terlepas dari perbedaan penggunaan istilahnya. Yang dimaksud dengan klausul eksemsi adalah klausula yang berisi pembatasan pertanggungan jawab dari kreditur.25

Kumar memberikan pengertian exclution clouse sebagai berikut:

Clouse of contract which purports to protect the proferens absolutely or in a limited manner against liability, for breach of contract, or damages, or exclude his liability if the action is brought after the stipulated time.26

Sutan Remi Sjahdeini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan klausul esksemsi adalah:

Klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.27

24

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.72. 25

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.74. 26

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.74. 27

(54)

42

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa klausul eksemsi ditujukan oleh salah satu pihak untuk menghindari tanggung jawab dari perbuatan wanprestasi yang harusnya ditanggung olehnya.28 Biasanya hal ini dicantumkan dalam perluasan makna force majeure, walaupun harus diakui bahwa force majeure adalah hal yang normal. Menghindari tanggung jawab tersebut dapat berupa menghindari seluruhnya tanggung jawab atau hanya sebagiannya saja.29

UUPK tidak membolehkan perbuatan ini dilakukan oleh pengusaha. Ketidak bolehan hal tersebut dijelaskan dalam pasal 18 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk mencantumkan pengalihan tanggung jawab.

6. Force majeure

Force majeure dapat diartikan sebagai keadaan yang memaksa. Dalam kontrak baku penafsiran force majeure dilakukan, bahkan ada yang terlihat seperti ingin mengelak dari tanggung jawab. Hal ini terjadi KUH Perdata tidak memberikan perincian yang jelas tentang pengertian force majeure, sehingga terjadi penafsiran yang luas.

Pasal 1244 KUH Perdata menjelaskan tentang Force majeure:

Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan Force majeure

tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak sudah dapt menduga sebelumnya akan adanya peristiwa

28

Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.98. 29

(55)

tersebut, maka seyogianya hal tersebut harus sudah dinegosiasikan di antara para pihak.

Dari penjelasan pasal tersebut maka terjadinya Force majeure

disebabkan oleh tiga hal: (1) Force majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga; (2) force majeure karena keadaan memaksa; (3) force majeure

karena perbuatan tersebut terlarang.30

Dari segi praktek yang berjalan force majeure dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Force majeure yang objektif dan yang subjektif

Yang dimaksud dengan force majeure yang objektif adalah kejadian yang menimpa benda tersebut sehingga tidak dapat dilakukan transaksi sebagaimana yang disepakati dalam kontrak, tanpa ada unsur kesengajaan dari pihak debitur. Misalnya benda tersebut terbakar.31 Sedangkan force majeure yang subjektif berkaitan dengan debitur itu sendiri, misalnya dia tidak mampu lagi membayar karena sakit berat.32

b. Force majeure yang absolut dan yang relatif.

Force majeure yang obsolut adalah kejadian yang menyebabkan debitur sama sekali tidak mampu lagi melanjutkan kontrak tersebut.

30

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), cet. Ke-2. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), h.115.

31

Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.115. 32

(56)

44

Sedangkan force majeure relatif adalah pemenuhan prestasi masih mungkin untuk dilakukan.33

c. Force majeure permanen dan temporer

Force majeure yang permanen jika sama sekali sampai kapan pun prestasi tidak mungkin sama sekali untuk dilakukan. Sedangkan temporer masih mungkin dilakukan setelah peristiwa yang menyebabkan force majeure tersebut telah selesai.34

Ilmu hukum dalam menyikapi keadaan ini terdapat dua teori terhadap pemenuhan prestasi apabila terjadi force majeure. Teori pertama adalah teori tradisional. Mengajarkan bahwa walaupun pelaksanaan kontrak memerlukan tenaga, waktu atau biaya ekstra besar, selama kontrak tersebut masih dapat dilaksanakan maka kontrak tersebut harus dilaksanakan dan force majeure

belum berlaku.35

Teori kedua adalah teori modern. Mengajarkan walaupun pelaksanaan kontrak tersebut masih mungkin untuk dilakukan, akan tetapi, dia akan memerlukan pengorbanan yang besar. Teori ini memberi kesempatan suatu kejadian yang menghalangi untuk melakukan prestasi karena alasan force majeure. Alasan rasionalnya bahwa dimaafkannya pelaksanaan prestasi

33

Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.116. 34

Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.117. 35

Referensi

Dokumen terkait

Demikian laporan pertanggung jawaban pengurus KPRI Bina Citra Husada periode tutup buku 2018, semoga laporan kami dapat membuka wawasan dan pandangan anggota

& Dinas Kesehatan Lumajang Page 164 Diantara seluruh poli di RSUD Pasirian, poli fisioterapi memperoleh nilai kepuasan yang paling rendah pada semua unsur. Hal ini

Bidang Pemberdayaan Sosial mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan dan data serta petunjuk teknis dalam rangka penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pengkoordinasian,

Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta selain mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

Radiasi surya yang diintersepsi tanaman tergantung pada radiasi surya yang datang yaitu yang sampai pada permukaan tajuk tanaman, indeks luas daun, kedudukan atau

Pelaksanaan Tugas tersebut juga dilaksanakan dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa Pengadilan Agama sebagai Pengadilan yang mandiri yakni dengan meningkatkan kemampuan

Dari keseluruhan harapan pegawai dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap variabel yang mempengaruhi kepuasan kerja pegawai sangat penting ditingkatkan untuk mencapai kepuasan kerja

Persamaan diferensial biasa yaitu suatu persamaan diferensial yang memuat turunan satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas suatu fungsi.. Persamaan