DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH
MUHAMMAD ANANG FIRMANSYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, M.Sc
Ketua
Dr. Ir. Sri Djuniwati, M.Sc
Anggota
Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc
Anggota
Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc
Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Dr. Ir. H. Komaruddin Idris, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2007 Tanggal Lulus:
Judul Disertasi
Nama
NRP
Program Studi
: Karakterisasi dan Resiliensi Tanah Terdegradasi di Lahan Kering
Kalimantan Tengah
: Muhammad Anang Firmansyah
: A261020031
ABSTRACT
Muhammad Anang Firmansyah. Characterization and Resilience of Degraded
Upland Soils in Central Kalimantan (under supervision of SUDARSONO as
Chairman, HIDAYAT PAWITAN, SRI DJUNIWATI, and GUNAWAN
DJAJAKIRANA as members).
Soil degradation is an important issue for land management and sustainable
environment quality. Soil degradation can be rehabilitated if the characteristic of its
resilience is known. The objectives of this research were 1) to characterize and to
classify degraded upland soil in Central Kalimantan, based on land quality (LQ),i.e.:
water availability, w; nutrient availability, n; Al toxicity, t; resistancy to soil erosion,
e; flood, f; and soil deterioration of anthropogenic, d; which determine land suitability
class for various Land Utilization Types (LUT), i.e local rice, rice-rice-soybean;
rubber, and oil palm with the three pattern of production and fertilization, and 2) to
find indicators which influence soil degradation and soil resilience. The classification
of land suitability was based on land index obtained from the commodity production
of each LUT according to LQ. The study results showed that Alfisol had the highest
potency was that was indicated by higher land index than others soil for oil palm
LUT. The main indicator of soil degradation and resilience was LQ of nutrient
availability. The high soil potential did not indicate the resilience capability; on the
contrary, the low soil potential was prone to soil degradation. Soil resistancywas
generally high, except Spodosol was low resistant and slow resilience. Soil taxa were
not able to show the different of degradation and resilience in upland Central
Kalimantan.
---
RINGKASAN
Muhammad Anang Firmansyah. Karakterisasi dan resiliensi tanah terdegradasi di
lahan kering Kalimantan Tengah (dibawah bimbingan SUDARSONO sebagai Ketua
Komisi Pembimbing, HIDAYAT PAWITAN, SRI DJUNIWATI, dan GUNAWAN
DJAJAKIRANA masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
pada beberapa periode (5 – 20 tahun), di mana indeks lahan pada tanah di unit lahan
tidur tersebut minimal sama dengan besarnya indeks lahan di tanah di lahan hutan.
Tingkatan resiliensi tanah terbagi kedalam tiga kelas, yaitu: 1) Resiliensi lambat (R1),
apabila resiliensi terjadi lebih dari 10 tahun lahan tidur, 2) Resiliensi sedang (R2),
jika resiliensi terjadi pada 10 tahun lahan tidur, dan 3) Resiliensi cepat (R3) jika
resiliensi tanah terjadi pada kurun waktu 5 tahun lahan tidur. Hasil berdasarkan
model pendugaan produksi, indeks kualitas lahan dan indeks lahan menunjukkan
bahwa tanah-tanah di lahan kering Kalimantan Tengah memiliki potensi lebih baik
untuk mendukung LUT berbasis tanaman perkebunan dibandingkan LUT berbasis
tanaman pangan. Umumnya untuk LUT berbasis tanaman perkebunan memiliki
kelas kesesuaian lahan agak sesuai (S2) hingga sangat sesuai (S1), sedangkan LUT
berbasis tanaman pangan umumnya sesuai marjinal (S3) hingga agak sesuai (S2).
Berdasarkan pola LUT, maka pola C dan pola B cenderung mendukung potensi tanah
lebih tinggi dibandingkan pola A. Faktor penghambat utama umumnya adalah LQ
ketersediaan hara (n). Berdasarkan tingkatan degradasi, maka umumnya degradasi
tanah di lokasi penelitian adalah rendah (D1) hanya pada Spodosol memiliki
tingkatan degradasi berat (D3). Rendahnya tingkatan degradasi tanah menunjukkan
bahwa tanah-tanah di lahan kering Kalimantan Tengah memiliki resistensi tinggi.
Ditinjau dari resiliensi, maka umumnya Ultisol untuk LUT berbasis tanaman
perkebunan memiliki resiliensi cepat (R3), begitu juga pada Entisol Barito Selatan
pada seluruh LUT pola A. Sebaliknya pada Spodosol ternyata seluruh LUT yang
dikaji memiliki tingkat resiliensi lambat. Dengan demikian Spodosol memiliki sifat
tanah yang sangat sensitif, resistensi rendah, dan resiliensi lambat, artinya Spodosol
mudah sekali menjadi terdegradasi jika digunakan untuk penggunaan lahan baik
tanaman pangan maupun perkebunan, dan begitu terdegradasi maka tanah ini sangat
sulit untuk pulih kembali seperti semula. Rekomendasi penerapan LUT yang dikaji
terbagi tiga macam, yaitu: direkomendasikan, direkomendasikan bersyarat, dan tidak
direkomendasikan. Umumnya tanah-tanah dilahan kering sebagian termasuk
direkomendasikan dan direkomendasikan bersyarat, hanya pada Spodosol maka tanah
ini tidak direkomendasikan untuk seluruh LUT yang dikaji. Berdasarkan penelitian
ini, juga diperoleh hasil, bahwa tidak ada pola khusus bahwa satu jenis tanah lebih
tahan terdegradasi dan lebih cepat teresilensi dibandingkan tanah lainnya. Sehingga
taksa tanah tidak mampu menunjukkan hal tersebut, sehingga hipotesis yang
diajukan Eswaran (1994) bahwa tanah-tanah memiliki kemampuan untuk menahan
degradasi dan memiliki resiliensi lebih cepat dari jenis tanah yang satu dengan
lainnya tidak berlaku di tanah di lahan kering Kalimantan Tengah.
---
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini Saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:
“Karakterisasi dan
Resiliensi Tanah Terdegradasi di Lahan Kering Kalimantan Tengah”
adalah
benar merupakan hasil karya Saya sendiri dengan pengarahan Komisi Pembimbing,
dan belum pernah diajukan sebagian atau keseluruhan dari penelitian ini untuk
memperoleh gelar akademik di lembaga pendidikan manapun. Semua data dan
informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Bogor, Agustus 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 22 Pebruari 1968, Ayahandanya bernama
Drs. H. Ahmad Muqaddis, SH. dan Ibundanya bernama Hj. Nur Sutartik, penulis
merupakan anak sulung dari empat bersaudara.
Penulis menyelesaikan Sarjana pada Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
UPN ‘Veteran” Jawa Timur tahun 1992, dilanjutkan menempuh pendidikan di
Jurusan Ilmu Tanah pada Program Pascasarjana IPB Bogor dan lulus tahun 1997.
Mulai Agustus 2002 penulis dipercaya untuk tugas belajar di Program Studi Ilmu
Tanah pada Sekolah Pascasarjana IPB Bogor guna menyelesaikan program S3.
Sejak meraih gelar Magister Sains, penulis bekerja sebagai peneliti pada Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah.
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas Rahmad dan
Hidayah-Nya maka tulisan ini dapat diselesaikan. Tidak lupa Penulis mengucapkan Shalawat
serta Salam kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta Keluarganya. Topik tulisan
ini merupakan pengembangan dari sinopsis yang diajukan saat mendaftarkan diri di
SPS IPB, dan merupakan masalah yang ditemui secara luas di Kalimantan Tengah.
Degradasi lahan akan tetap terjadi di Kalimantan Tengah apabila dikelola
tanpa memperdulikan kelestarian sumberdaya alam dan hanya mementingkan segi
ekonomi yang bersifat jangka pendek.
Atas terselesaikannya penyusunan disertasi ini, Penulis merasa telah banyak
didukung dan dibantu oleh berbagai pihak, dan dengan tulus Penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya. Berikut ini ucapan terimakasih kepada berbagai
pihak yang dapat disebutkan namanya, antara lain :
2.
3.
4.
5.
Ucapan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc., karena
Beliaulah maka Penulis lebih memahami ilmu Hidrologi yang dinamis. Begitu
pentingnya aspek Hidrologi, sehingga sebagian besar waktu banyak tersita
untuk memahami dan menganalisis data-data yang terkait tentang kebutuhan air
untuk tanaman.
Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Ibu Dr. Ir. Sri Djuniwati, M.Sc.
Beliau penuh kesabaran dan rasa kasih sayangnya menjadikan kekuatan bagi
penulis untuk tidak putus asa saat menghadapi berbagai perubahan dan koreksi
yang sangat berat selama penulisan disertasi. Pertanyaan Beliau tidak
panjang-panjang, namun jawabannya selalu tidak sederhana. Semoga Allah SWT
memberikan Rahmad dan Hidayah kepada Beliau dan Keluarganya. Amiin.
Ucapan terimakasih ditujukan kepada Bapak Dr. Ir. Gunawan Djajakirana,
M.Sc. Beliau adalah Komisi Pembimbing yang luar biasa, bukan hanya sifat
terus-terangnya saja tetapi juga kepiawaian penguasaan teori dan pengalaman
lapangnya sehingga dapat disebut “bintangnya ilmu tanah”, “kamus berjalan”,
serta “orang lapangan”. Dari Beliau sangat banyak Penulis memperoleh
manfaat dan mengambil hikmah. Saran dan kritikan pedas menjadi indah sebab
ketulusan Beliau menginginkan muridnya menjadi peneliti berkualitas. Dan
pelajaran berharga yang selalu Beliau ulang-ulang adalah “Jangan berpatokan
pada teori saja tetapi lihat data lapangan”. Penulis merasa bangga Beliau
menjadi pembimbingnya.
6.
7.
8.
atas ilmu yang diajarkan kepada Penulis dan juga hikmah yang sangat berharga
yang penulis rasakan, sehingga Penulis wajib mengubah adab murid kepada
gurunya. Kebaikan hati beliau dan wawasan keilmuan yang disampaikan
dengan cerdas selalu menggugah ide-ide baru bagi Penulis untuk diterapkan di
daerah. Semoga Allah SWT memberikan Rahmad dan Hidayah kepada Beliau
dan Keluarganya. Amiin.
Ucapan terimaksih disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono,
M.Sc selaku Penguji Luar Komisi dan Ketua Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan. Pertanyaan dan telaah yang cermat serta kebaikan hati
Beliau sangat Penulis rasakan telah membantu penyelesaian studi. Semoga
Allah SWT memberikan Rahmad dan Hidayah kepada Beliau dan Keluarganya.
Amiin.
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS
selaku Ketua Program Studi Ilmu Tanah yang telah banyak memberikan
kelancaran dan kemudahan selama Penulis melaksanakan studi. Semoga Allah
SWT memberikan Rahmad dan Hidayah kepada Beliau dan Keluarganya.
Amiin.
9.
10.
11.
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. H. Muhrizal Sarwani,
MSc, selaku Kepala Balai BPTP Kalimantan Tengah (14 Juli 2004 – 17 Januari
2007), yang memberikan dukungan dan kemudahan bagi Penulis saat
pengambilan contoh tanah di Kalimantan Tengah. Beliau sekaligus sebagai
Penguji Luar Komisi dalam Ujian Terbuka Penulis. Semoga Allah SWT
memberikan Rahmad dan Hidayah kepada Beliau dan Keluarganya. Amiin.
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Masganti, MS, selaku
Kepala Balai BPTP Kalimantan Tengah (17 Januari 2007 – sekarang), yang tak
henti-hentinya memberikan perhatian dan bantuan dana yang tidak sedikit.
Semoga amalan baik Beliau mendapatkan balasan kebaikan berlipat-lipat dari
Allah SWT. Dan semoga Allah SWT memberikan Rahmad dan Hidayah
kepada Beliau dan Keluarganya. Amiin.
12.
13.
14.
SWT membalas budi baik kepada Beliau atas amalannya dalam menyebarkan
ilmu. Amiin.
Ucapan terimakasih ditujukan kepada Ibunda dan Ayahanda, yang tak lelah
mendoakan Penulis menghadapi kesulitan selama menyelesaikan studi. Penulis
juga selalu meminta ridho Beliau, karena
Ridlollohi fiiridlol waalidayni
wasukhthullohi fii sukhthil waalidayni
(Ridho Allah tergantung kepada kerelaan
kedua orang tua, dan murka Allah tergantung kepada kemarahan kedua orang
tua. HR Turmudzi). Semoga Allah SWT memberikan nikmat Iman dan nikmat
Islam kepadanya hingga akhir hayatnya. Amiin.
Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Bapak dan Ibu Mertua Penulis yaitu
KHM Cholil Asy’ari (Almarhum) dan Hj Siti Aisyah, atas segala dukungan dan
doanya bagi Penulis selama ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan
Rahmad dan Hidayah kepada Beliau. Amiin.
Ucapan terimakasih ditujukan kepada Adik-adik: Abi, Era, Lusi, dan Cici.
Kepada Isteri dan anak-anak, juga diucapkan terimakasih, dan semoga ilmu ini
membawa berkah dan dapat lebih mendekatkan Kita kepada Allah SWT.
Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada berbagai pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu, namun nama-namanya selalu melekat di hati dan ingatan
penulis. Penulis mohon maaf apabila dalam penulisan ini baik seting maupun
substansinya ditemui ketidak sempurnaan, sebab sebagai insan maka Penulis tidak
akan lepas dari lupa dan lalai.
Bogor, Agustus 2007
KARAKTERISASI DAN RESILIENSI TANAH TERDEGRADASI
DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH
MUHAMMAD ANANG FIRMANSYAH
Disertasi
sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Ilmu Tanah dalam bidang Evaluasi Lahan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………
DAFTAR
GAMBAR………
DAFTAR LAMPIRAN………
PENDAHULUAN Latar
Belakang………...
Tujuan………. Manfaat.………... TINJAUAN PUSTAKA
xvi
xxi
xxiii
1 12 12
Pengertian Degradasi
Tanah………...
Pengertian Resiliensi Tanah..………..
Evaluasi Lahan Berdasarkan Kualitas
Lahan……….
13 16 20
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian………
Bahan Penelitian dan Pengambilan Contoh Tanah………
Tahapan
Penelitian………..
Klasifikasi Degradasi dan Resiliensi
Tanah...……….
23 24 26 51
xvi
Keadaan
Iklim...………..
Keadaan Lahan dan Usahatani………....………...
Karakterisasi Jenis Tanah………..……….
Kondisi Periode Pertumbuhan………
LQ Ketersediaan Air………...
LQ
Genangan...………..………...
LQ Ketersediaan Hara………
LQ Toksisitas Aluminium………..
LQ Ketahanan Tanah terhadap Erosi……….
LQ Deteriorasi Tanah Antropogenik...
Indeks Lahan dan Kelas Kesesuaian Lahan...
Karakterisasi Degradasi dan Resiliensi Tanah..……….
Rekomendasi Penggunaan Lahan...
Faktor Degradasi dan Resiliensi Tanah………...
56 57 63 65 75 89 91 116 120 126 127 139 143 147
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan...
Saran...
150 150
DAFTAR
PUSTAKA………...
LAMPIRAN………...
152
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Lokasi Penelitian Berdasarkan Sebaran Jenis Tanah, Luasan SPT, dan Skala Peta……...……...………
Metode Analisis Sifat Fisik, Kimia Tanah, dan Mineralogi Fraksi
Pasir……….………
Atribut LUT Padi Lokal Pola A, B, dan
C……….
Atribut LUT Padi-Kedelai Pola A, B, dan
C……….
Atribut LUT Padi-Padi-Kedelai Pola A, B, dan
C………....
Atribut LUT Karet Pola A, B, dan
C………...………..
Atribut LUT Kelapa Sawit Pola A, B, dan
C……….
Data Penelitian Degradasi dan Resiliensi Tanah untuk Setiap
Land Quality………....
Kondisi CHE, 50% CHE, 90% CHE pada Beberapa Lokasi
Penelitian di Kalimantan Tengah ...
Persamaan Regresi Pendugaan Produksi Berdasarkan Land Quality Ketersediaan Air pada Berbagai Komoditas LUT ..……
Dosis Pemupukan Anjuran Masing-masing Komoditas LUT...
Jumlah Hara Pemupukan Preskripsi Berdasarkan Komoditas LUT, Jenis Tanah dan Lokasi di Kalimantan Tengah...
Persamaan Regresi Pendugaan Produksi Komoditas Padi, Kedelai, Karet, dan Kelapa Sawit Berdasarkan Jumlah Hara
Tanah dan Pupuk (N, P2O5, K2O, dan
MgO)………...
23
26
29
30
31
32
33
34
38
40
43
44
45
49
50
52
xviii
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
Penetapan Nilai C Komoditas Berdasarkan LUT dan Waktu
Penggunaan dalam Setahun……….
Nilai P Berdasarkan LUT dan Tingkat Lereng………..
Kelas Kesesuaian Lahan (KKL) Berdasarkan Indeks Lahan …..
Kondisi Curah Hujan dan Suhu Udara Rata-Rata Bulanan
di Lokasi Penelitian Kalimantan Tengah………...
Panjang Periode Pertumbuhan pada Berbagai Lokasi di Kalimantan
Tengah...
Kondisi Air Tersedia Profil Rata-rata Bulanan pada Berbagai LUT Berbasis Tanaman Pangan pada Berbagai
Land Unit dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah……...
Dugaan Produksi LUT Berbasis Tanaman Pangan Berdasarkan Air Tersedia Profil Rata-rata Bulanan pada Berbagai Land Unit dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah ………...
Indeks LQ Ketersediaan Air LUT Berbasis Tanaman Pangan Berdasarkan Dugaan Produksi pada Berbagai Land
Unit dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah
………...
Kondisi Ketersediaan Air Profil Tanah dan ETc Rata-rata Bulanan pada LUT Karet pada Berbagai Land Unit dan Jenis
Tanah di Kalimantan Tengah …...
Dugaan Produksi LUT Karet Berdasarkan Air Tersedia Profil dan ETc Rata-rata Bulanan pada Berbagai Land Unit
dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah…....………....
Indeks LQ Ketersediaan Air LUT Karet Berdasarkan Dugaan Produksi pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan
Tengah………...
67
76
80
81
82
83
84
85
88
88
90
90
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
Kondisi Defisit Air Tersedia Profil Tahunan LUT Kelapa Sawit pada Berbagai Land Unit dan Jenis Tanah di Kalimantan
Tengah………...
Dugaan Produksi LUT Kelapa Sawit Berdasarkan Jumlah Defisit Air Tersedia Profil Tahunan pada Berbagai Land Unit
dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah………...
Indeks LQ Ketersediaan Air LUT Kelapa Sawit Berdasarkan Dugaan Produksi pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis
Tanah di Kalimantan Tengah………...
Kondisi Genangan pada Berbagai Land Unit dan Jenis
Tanah di Kalimantan Tengah………...
Indeks LQ Genangan pada Berbagai Land Unit dan Jenis
Tanah di Kalimantan Tengah ………
Jumlah Hara pada LUT Padi Lokal pada Berbagai Pola,
Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah…...
Dugaan Produksi LUT Padi Lokal Berdasarkan Jumlah Hara pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan
Tengah………...
Indeks LQ Ketersediaan Hara LUT Padi Lokal pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah...
Jumlah Hara Tanah pada Komoditas Kedelai LUT Padi-Kedelai pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan
Tengah………...
Dugaan Produksi Kedelai LUT Padi-Kedelai Berdasarkan Jumlah Hara pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis
Tanah di Kalimantan Tengah………
Indeks LQ Ketersediaan Hara LUT Padi-Kedelai pada
95
97
99
101
103
104
106
108
110
112
114
116
117
xx
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah...
Indeks LQ Ketersediaan Hara LUT Padi-Padi-Kedelai pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah...
Jumlah Hara LUT Karet pada Berbagai Pola, Land Unit,
dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah……...……….
Dugaan Produksi LUT Karet Berdasarkan Jumlah Hara pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan
Tengah………...
Indeks LQ Ketersediaan Hara LUT Karet pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah...
Jumlah Hara LUT Kelapa Sawit pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah ………...
Dugaan Produksi LUT Kelapa Sawit Berdasarkan Jumlah Hara pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis Tanah di
Kalimantan Tengah ………...
Indeks LQ Ketersediaan Hara LUT Kelapa Sawit pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah……...
Kejenuhan Al pada LUT Berbasis Tanaman Pangan pada Berbagai Land Unit dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah...
Dugaan Persentase Produksi Padi dan Kedelai Akibat Kejenuhan Al pada Berbagai Land Unit dan Jenis Tanah
di Kalimantan Tengah………
Indeks LQ Toksisitas Al pada LUT Berbasis Tanaman Pangan pada Berbagai Pola, Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan
Tengah………...
Tebal Tanah yang Hilang Akibat Erosi pada LUT, Land
119
121
123
125
127
128
129
130
131
132
133
135
136
59.
60.
61.
.
Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan
Tengah…………...…..
Penurunan Produktivitas (%) Akibat Kehilangan Tanah pada Berbagai Komoditas LUT, Land Unit, dan Jenis Tanah
di Kalimantan Tengah...
Indeks LQ Ketahanan Tanah terhadap Erosi pada Berbagai Komoditas LUT, Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah……...
Indeks LQ Deteriorasi Tanah Antropogenik pada Berbagai
Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah...
Indeks Lahan LUT Padi Lokal pada Berbagai Pola, Land Unit,
dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah………...
Kelas Kesesuaian Lahan LUT Padi Lokal pada Berbagai Pola,
Land Unit, Jenis Tanah, dan Lokasi di Kalimantan Tengah…...
Indeks Lahan LUT Padi-Kedelai pada Berbagai Pola, Land Unit, Jenis Tanah, dan Lokasi di Kalimantan Tengah………...
Kelas Kesesuaian Lahan LUT Padi-Kedelai pada Berbagai Pola, Land Unit, Jenis Tanah, dan Lokasi di Kalimantan Tengah...
Indeks Lahan LUT Padi-Padi-Kedelai pada Berbagai Pola,
Land Unit, Jenis Tanah, dan Lokasi di Kalimantan Tengah………...
Kelas Kesesuaian Lahan LUT Padi-Padi-Kedelai pada Berbagai Pola, Land Unit, Jenis Tanah, dan Lokasi di Kalimantan
Tengah…...
Indeks Lahan LUT Karet pada Berbagai Pola, Land Unit,
Jenis Tanah, dan Loksi di Kalimantan Tengah…...
Kelas Kesesuaian Lahan LUT Karet pada Berbagai Pola,
Land Unit, Jenis Tanah, dan Lokasi di Kalimantan Tengah…...
138
142
xxii
Indeks Lahan LUT Kelapa Sawit pada Berbagai Pola, Land Unit, Jenis Tanah, dan Lokasi di Kalimantan Tengah…...
Kelas Kesesuaian Lahan LUT Kelapa Sawit pada Berbagai Pola, Land Unit, Jenis Tanah, dan Lokasi di Kalimantan Tengah…...
Tingkatan Degradasi, Resiliensi Alami (Rm) dan Resiliensi Antropogenik (Rt) Melalui Periode Lahan Tidur pada Berbagai LUT, Jenis tanah, dan Lokasi di Kalimantan Tengah...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Kerangka pemikiran penelitian. ...
Lokasi penelitian di Kalimantan Tengah. ...
Kondisi lahan berdasarkan land unit Ultisol-2 Gunung Mas (a) dan Entisol Palangka Raya (b), pada lahan hutan (1), lahan tidur 10 tahun (2), dan lahan pertanian (3)………
Kondisi lahan berdasarkan land unit Spodosol Gunung Mas (a) dan Inceptisol Kotawaringin Barat (b), pada lahan hutan (1), lahan tidur 10 tahun (2), dan lahan pertanian (3)………...
Beberapa jenis tanah lokasi penelitian: Ultisol-1 Gunung Mas (a)
Spodosol Gunung Mas (b), Inceptisol Kotawaringin Barat (c), dan
Entisol Palangka Raya (d), lahan hutan (1) dan lahan pertanian
(2)………..
Kondisi periode pertumbuhan di LUT padi lokal, CHE, 50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Ultisol-1 LT 20 tahun
Barito Utara dan Barito Selatan………...
Kondisi periode pertumbuhan di LUT padi-kedelai, CHE, 50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Ultisol-1 LT 20 tahun di
Barito Utara dan Barito Selatan…...………...
Kondisi periode pertumbuhan di LUT padi-padi-kedelai, CHE, 50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Ultisol-1 LT 20 tahun di Barito Utara dan Barito Selatan………
Kondisi periode pertumbuhan di LUT karet, CHE, 50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Ultisol-1 LT 20 tahun di
Barito Utara dan Barito Selatan……….
10
24
60
61
64
68
68
69
69
69
70
xxiv
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Kondisi periode pertumbuhan di LUT kelapa sawit, CHE, 50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Ultisol-1 LT 20 tahun di Barito Utara dan Barito Selatan………
Kondisi periode pertumbuhan di LUT padi lokal, CHE, 90% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Entisol LT 10 tahun Palangka
Raya...
Kondisi periode pertumbuhan di LUT padi-kedelai, , CHE, 90% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Entisol LT 10
tahun Palangka Raya………...
Kondisi periode pertumbuhan di LUT padi-padi-kedelai, CHE, 90% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Entisol LT 10
tahun Palangka Raya………...
Kondisi periode pertumbuhan di LUT karet, CHE ,90% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Entisol LT 10 tahun Palangka Raya...
Kondisi periode pertumbuhan di LUT kelapa sawit, CHE, 90% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Entisol LT 10 tahun Palangka
Raya………...
Kondisi periode pertumbuhan di LUT padi lokal, CHE ,50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Ultisol LT 10 tahun Gunung Mas..
Kondisi periode pertumbuhan di LUT padi-kedelai, CHE, 50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Ultisol LT 10 tahun Gunung
Mas………... .
Kondisi periode pertumbuhan di LUT padi-padi-kedelai, CHE, 50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Ultisol LT 10 tahun Gunung
Mas………..
Kondisi periode pertumbuhan di LUT karet, CHE, 50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Ultisol LT 10 tahun Gunung Mas…….
Kondisi periode pertumbuhan di LUT kelapa sawit, CHE,
70
71
71
71
72
72
72
73
73
73
74
74
50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Ultisol LT 10 tahun Gunung
Mas……… …
Kondisi periode pertumbuhan di LUT padi lokal, CHE ,50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Inceptisol LT 20 tahun Kotawaringin
Barat………...
Kondisi periode pertumbuhan di LUT padi-kedelai, CHE, 50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Inceptisol LT 20 tahun Kotawaringin
Barat………...
Kondisi periode pertumbuhan di LUT padi-padi-kedelai, CHE, 50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Inceptisol LT 20 tahun Kotawaringin Barat………...
Kondisi periode pertumbuhan di LUT karet, CHE ,50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Inceptisol LT 20 tahun Kotawaringin
Barat………. .
Kondisi periode pertumbuhan di LUT kelapa sawit, CHE, 50% CHE dan air tersedia profil (ATP) di Inceptisol LT 20
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Curah Hujan Rata-rata Bulanan pada Berbagai Lokasi
Penelitian di Kalimantan Tengah ...………...
Suhu Udara Rata-rata Bulanan pada Berbagai Lokasi Penelitian
di Kalimantan Tengah………...……
Penetapan ETp Berdasarkan Metode Blaney-Cridle pada Berbagai Lokasi Penelitian di Kalimantan Tengah...
Kadar Air Tanah pada Kapasitas Lapang, Titik Layu Permanen, dan WHC untuk Tanaman Pangan per 7,5 cm dan Tanaman Perkebunan per 15 cm Lapisan Tanah Lokasi Penelitian Kalimantan Tengah ...
Kondisi Ketersediaan Air Bulanan LUT Padi Lokal pada Berbagai Land Unit dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah…………...
Kondisi Ketersediaan Air Bulanan LUT Padi-Kedelai pada Berbagai Land Unit, dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah ...
Kondisi Ketersediaan Air Bulanan LUT Padi-Padi-Kedelai pada Berbagai Land Unit dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah ...
Kondisi Ketersediaan Air Bulanan LUT Karet pada Berbagai
Land Unit dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah
161
162
163
164
169
171
173
176
179
11.
12.
13.
14.
15.
16.
…..………...
Produksi Rata-rata Karet Kering Bulanan Berdasarkan Ketersediaan Air pada LUT Karet pada Berbagai Land Unit dan
Jenis Tanah di Kalimantan Tengah………...
Kondisi Ketersediaan Air Bulanan LUT Kelapa Sawit pada Berbagai Land Unit dan Jenis Tanah di Kalimantan Tengah ………...
Mineral Fraksi Pasir pada Berbagai Land Unit dan Jenis Tanah
di Kalimantan Tengah...……….
Penentuan Dosis Pupuk Metode Preskripsi pada Berbagai LUT
Pola C di Kalimantan Tengah...
Sifat Fisik dan Kimia Tanah Lokasi Penelitian untuk Penentuan LQ Ketersedian Hara dan LQ Toksisitas Al pada Berbagai Land
Unit dan Jenis Tanah di Kalimantan
Tengah...……….
Dugaan Produksi Padi dan Kedelai pada Berbagai LUT Akibat Kejenuhan Al pada Berbagai Land Uni, dan Jenis Tanah di Kalimantan
Tengah...
Nilai Erosivitas Hujan Bulanan (R) Lokasi Penelitian di Kalimantan
Tengah...………
Sifat-sifat Tanah untuk Perhitungan LQ Ketahanan Tanah terhadap Erosi di Berbagai Land Unit dan Jenis Tanah di Kalimantan
Tengah...
182
183
186
190
191
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini
terkait dengan aspek ketahanan pangan dan kualitas lingkungan. Degradasi tanah
menyebabkan penurunan LQ (land quality = kualitas lahan) dan kesesuaiannya untuk penggunaan tertentu. Tanah merupakan salah satu faktor penyusun lahan
yang rentan terhadap proses degradasi. Menurut FAO (1977) degradasi tanah
merupakan satu atau lebih proses terjadinya penurunan kemampuan tanah secara
aktual atau potensial untuk memproduksi barang dan jasa.
Karakteristik dan klasifikasi tanah terdegradasi yang dikenal secara umum
adalah GLASOD atau Globall Assessment of Current Status of Human-induced Soil Degradation (Oldeman 1994a). GLASOD merupakan metode pengkajian degradasi tanah akibat pengaruh manusia dalam skala global dengan penekanan
faktor eksternal erosi air dan angin, serta faktor internal memburuknya sifat kimia
dan fisik tanah. Kajian degradasi tanah yang menggunakan metode GLASOD di
tingkat regional Asia Selatan dan Asia Tenggara dikenal sebagai ASSOD atau
Assessment of the Status of Human-induced Soil Degradation in South and Southeast Asia (Lynden dan Oldeman 1997).
Tipe degradasi tanah yang digunakan sebagai dasar kajian GLASOD
maupun ASSOD masih secara umum menggunakan sifat-sifat tanah dan belum
menekankan pada LUT (Land Utilization Type = tipe penggunaan lahan) tertentu. Klasifikasi degradasi tanah di Indonesia juga telah dilakukan dan tidak jauh dari
ASSOD, namun setiap klasifikasinya berbeda-beda berdasarkan tujuan yang ingin
Menurut Suwardjo et al. (1996) klasifikasi degradasi tanah di sektor kehutanan lebih menekankan pada aspek hidrologi lahan didasarkan pada tingkat
penutupan lahan dan kurang menekankan pada kondisi tanahnya. Sektor
transmigrasi lebih menekankan melihat degradasi tanah sebagai lahan marjinal,
yaitu lahan yang pernah dibuka dan digunakan untuk pertanian namun saat ini
produksinya sangat rendah. Lahan marjinal umumnya menjadi lahan tidur
bervegetasi semak belukar, rumput-rumputan, dan wilayah ladang berpindah.
Sektor pertanian mengartikan degradasi tanah sebagai lahan kritis dengan
berbagai tingkatan yang mempengaruhi produktivitas tanah tersebut.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 150/2000 tentang
pengendalian kerusakan tanah untuk biomassa, menggunakan istilah degradasi
tanah sebagai kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Kerusakan tanah
untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah melampaui kriteria
baku kerusakan tanah. Kriteria baku kerusakan tanah tingkat nasional yang
terlampir pada peraturan pemerintah tersebut tidak bersifat komprehensif dan
sangat umum, sedangkan kriteria baku kerusakan tanah tingkat daerah umumnya
belum tersusun. Kondisi ini sangat memprihatinkan, dilain pihak pada
tahun-tahun terakhir ini bencana alam yang terkait degradasi tanah seringkali terjadi.
Ekologis umumnya membagi degradasi dalam dua aspek terhadap
kondisi perubahan lingkungan dalam penelitian-penelitian ekosistem, yaitu: 1)
3
Hal tersebut sesuai yang diungkapkan Tengberg dan Stocking (2001)
bahwa degradasi tanah memiliki tingkatan yang beragam, tergantung daya dukung
tanah bersangkutan, yaitu sensitivitas atau kerapuhan/fragilitas tanah serta
resiliensi. Menurut Szabolcs (1994) resiliensi yaitu kemampuan tanah untuk
memperbaharui (renewable) atau melakukan regenerasi dirinya sendiri setelah berbagai macam pemburukan (deterioration) dan degradasi telah hilang.
Resiliensi tanah merupakan hal baru yang memerlukan
penelitian-penelitian jangka panjang. Resiliensi dapat diketahui melalui penetapan
indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan tanah untuk
berfungsi kembali (restore) atau pulih (recovery) (Seybold et al. 1999). Indikator-indikator tentang degradasi maupun resiliensi lahan yang saat ini
banyak digunakan umumnya masih menggunakan sifat-sifat tanah, yaitu: sifat
fisik, kimia, maupun biologi atau dikenal sebagai LC (land characteristic) atau karakteristik lahan. Pengertian LC adalah atribut lahan yang dapat diukur dan
diperkirakan. Jika LC digunakan secara langsung dalam evaluasi lahan, maka
akan timbul masalah yang terkait adanya interaksi antar LC tersebut.
Kelemahan LC yang digunakan sebagai indikator penilaian degradasi dan
resiliensi saat ini juga disebabkan tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan
spesifik penggunaan lahan. Akibatnya indikator-indikator tersebut yang saat ini
digunakan kurang dapat menjelaskan tingkatan produksi atau manfaat yang akan
diperoleh dari suatu LUT tertentu. Maka perlu disusun indikator degradasi
Penggunaaan lahan tentu tergantung kepada atribut LUT yang memiliki
tujuan khusus. Setiap atribut penyusun LUT memiliki kriteria tertentu, satu saja
atribut dari salah satu atribut penyusun LUT berbeda, maka akan memberikan
perbedaan terhadap produksi atau manfaat yang dihasilkan. Berdasarkan hal
tersebut, maka nilai besaran indikator-indikator untuk mengklasifikasikan
tingkatan degradasi dan resiliensi lahan akan berubah sesuai dengan atribut
LUT-nya.
Tanah-tanah yang menyusun lahan kering umumnya marjinal, bereaksi
masam, kandungan basa-basa rendah, kadar aluminium tinggi, serta peka erosi.
Tanah-tanah tersebut saat ini merupakan tumpuan produksi biomassa, baik
sebagai sumber pangan maupun sumber energi yang dapat diperbaharui.
Penggunaan tanah-tanah di lahan kering yang melampaui daya dukung lahan
akibat penggunaan lahan yang tidak berbasis konservasi dan kesesuaian
penggunaan lahan akan mempercepat dan meningkatkan terjadinya proses-proses
degradasi tanah.
Di Provinsi Kalimantan Tengah degradasi tanah yang mengakibatkan
lahan kritis mencapai 1,76 juta hektar pada awal tahun 1999/2000 (BPS 2001).
Degradasi tersebut umumnya terjadi pada lahan kering yang meliputi 4,78 juta
hektar atau 31,34% dari luas Kalimantan Tengah (Puslittanak 1995). Penggunaan
lahan umumnya selain untuk tanaman pangan juga digunakan untuk pengusahaan
tanaman perkebunan.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka diperlukan penelitian mengenai
karakteristik degradasi tanah berdasarkan kemampuan tanah untuk memproduksi
5
berbagai LUT sebagai parameter degradasi tanah ditujukan untuk mengetahui
faktor yang berhubungan dengan kesesuaian lahan serta produksi yang dihasilkan
masing-masing LUT. Selain itu diperlukan juga penelitian tentang resiliensi
tanah berdasarkan restorasi LQ yang terdegradasi melalui lama pemberaan.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan klasifikasi
degradasi tanah yang sudah ada adalah belum menggambarkan besarnya
penurunan kemampuan tanah yang mengalami degradasi terutama terhadap
produksi biomassa.
Permasalahan yang lain adalah klasifikasi degradasi tanah yang sudah ada
selain tidak mampu menunjukkan besarnya penurunan produksi biomassa pada
tanah yang mengalami degradasi, juga belum dapat menunjukkan penurunan
produksi apabila tanah yang terdegradasi digunakan untuk berbagai jenis
penggunaan lahan yang berbeda. Hal ini didasarkan bahwa tipe penggunaan lahan
yang berbeda-beda akan membutuhkan persyaratan (requirement) yang berbeda pula.
Permasalahan lainnya pada klasifikasi degradasi tanah yang sudah ada
adalah klasifikasi tersebut kurang logis, karena menganggap bahwa tanah tidak
memiliki keragaman dalam sifat-sifatnya. Hal itu dikarenakan klasifikasi
degradasi tanah masih bersifat umum, dan akan sangat fatal apabila digunakan
untuk mengklasifikasikan jenis tanah yang secara alami memiliki sifat tanah yang
kurang baik. Sebagai contoh adalah Spodosol walaupun tidak terdegradasi namun
yang digunakan oleh klasifikasi degradasi tanah yang sudah ada, maka tanah
tersebut masuk dalam tanah terdegradasi.
Terkait dengan resiliensi, maka klasifikasi resiliensi tanah hingga saat ini
secara nasional belum dikenal. Ketiadaan informasi faktor-faktor utama resiliensi
berdampak pada kurang tepatnya upaya penggunaan dan pengelolaan lahan untuk
berbagai peruntukan pertanian dan non pertanian, serta upaya pemulihan tanah
terdegradasi melalui proses alami maupun antropogenik. Diketahuinya faktor
yang memberikan pengaruh resiliensi akan mempercepat dan lebih memberikan
peluang keberhasilan upaya rehabilitasi tanah terdegradasi.
Kerangka Pemikiran
Tanah yang mengalami degradasi umumnya digolong-golongkan
berdasarkan penurunan sifat-sifat lahannya (LC), namun penggunaan indikator
LC tersebut tidak mampu menunjukkan sejauh mana degradasi yang terjadi
menimbulkan penurunan produksi barang (komoditas) maupun jasa. Salah satu
upaya agar klasifikasi degradasi tanah mampu menunjukkan besarnya penurunan
produksi maka digunakan kualitas lahan (LQ), karena LQ berhubungan erat
dengan LUT dan dapat digunakan menduga besarnya produksi komoditas lebih
tepat dibandingkan LC. Menurut Sys et al. (1991a,b) keuntungan penggunaan LQ antara lain: 1) LQ berkaitan langsung terhadap kebutuhan
spesifik penggunaan lahan, 2) LQ dapat menghitung interaksi antara faktor-faktor
lingkungan, 3) jumlah keseluruhan LQ lebih rendah dibandingkan LC. Kondisi
LQ yang mengalami penurunan sangat berpengaruh terhadap penggunaan lahan,
sebab LQ untuk penggunaan yang berbeda akan memiliki kepekaan yang berbeda
7
Klasifikasi degradasi tanah hendaknya mampu menunjukkan penurunan
produksi biomassa, jika dibandingkan kemampuan tanah alaminya memproduksi
biomassa pada penggunaan lahan yang sama. Klasifikasi degradasi tanah dapat
menjawab pertanyaan tersebut apabila menggunakan tolok ukur penurunan
produksi melalui penggunaan LQ, dan juga berdasarkan LUT. Dengan demikian
akan diketahui jenis penggunaaan lahan yang berdampak besar dan jenis
penggunaan lahan yang berdampak kecil pada degradasi tanah.
Penggunaan tolok ukur yang umum pada klasifikasi degradasi tanah yang
sudah ada tidak menggambarkan keragaman jenis tanah, maka sebaiknya
digunakan tolok ukur spesifik berdasarkan jenis tanah yang sama dengan jenis
tanah yang akan diklasifikasikan. Tolok ukur setiap jenis tanah didasarkan pada
tanah yang tidak terdegradasi atau belum terdegradasi, maka tolok ukur
didasarkan pada tanah yang diambil di unit lahan hutan dengan asumsi tanah
tersebut belum atau tidak mengalami degradasi. Konsekuensi penggunaan tolok
ukur ini adalah bahwa setiap jenis tanah akan memiliki tolok ukur sendiri-sendiri.
Karena keragaman sifat-sifat tanah disebabkan berbagai aspek faktor
pembentuk tanah antara lain kondisi iklim, bahan induk, vegetasi, topografi, dan
waktu, maka klasifikasi degradasi tanah secara lateral dibatasi selama ada
kesamaan faktor-faktor pembentukan tanah.
Aspek penting yang perlu diperhatikan adalah perlu digunakannya asas
penggunaan yang lestari atau berkelanjutan, lestari diartikan bahwa tanah dapat
digunakan terus-menerus tanpa mengalami penurunan sifat atau kualitas lahannya,
atau diartikan bahwa penggunaan tanah oleh generasi sekarang untuk mencukupi
akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dari penggunaan tanah. Dengan
demikian jenis penggunaan tanah yang lestari dan berkelanjutan tidak hanya
memperhatikan keuntungan ekonomi jangka pendek, namun juga berdasarkan
asas kelestarian sumberdaya tanah.
Pengetahuan tentang resistensi dan resiliensi tanah hingga saat ini masih
banyak berupa konsep dan hipotesis, sehingga perlu dilakukan penelitian yang
mendalam untuk keberhasilan upaya rehabilitasi tanah terdegradasi.
Blaikie dan Brookfield (1987 dalam Barrow 1991) menyatakan bahwa lahan dengan sensitivitas tinggi/resiliensi rendah umumnya terdapat di wilayah
tropika dan subtropika akibat perubahan radikal seperti konversi hutan menjadi
lahan tanaman pangan, dibandingkan konversi hutan untuk tanaman perkebunan.
Penelitian resiliensi tanah yang umum dilakukan merupakan penelitian
jangka panjang, dan pada lokasi yang sama yang diamati secara periodik. Dalam
penelitian ini digunakan cara untuk memperpendek jangka waktu penelitian
tersebut, yaitu melalui penggunaan contoh tanah dari jangka waktu tertentu pada
lahan yang diberakan atau lahan yang ditelantarkan. Lahan tersebut oleh
masyarakat dikenal sebagai lahan tidur, yaitu lahan yang pernah dibuka untuk
diusahakan penanaman tanaman kemudian dibiarkan kembali.
Umumnya pemberaan lahan dalam jangka panjang (lahan tidur)
merupakan upaya revegetasi secara alami. Pemberaan lahan setelah digunakan
untuk pertanian tanaman pangan berfungsi untuk mencapai kondisi keseimbangan
sumberdaya lahan. Pemberaan umumnya mampu memperbaiki ketersediaan hara
melalui penyerapan perakaran dalam oleh tanaman belukar hingga tegakan
9
yang berasal dari lapisan tanah dalam. Selain itu penyerapan hara tanaman
selama periode bera tidak setinggi tanaman pertanian, bahkan pemupukan pada
tanaman pertanian akan menyebabkan tanaman tersebut menyerap hara tanah
lebih intensif dan memicu pelepasan hara meningkat. Dampaknya cadangan hara
pada tanah akan banyak terkuras. Melalui pemberaan maka penyerapan hara tidak
sekuat tanaman pertanian, sehingga pelepasan hara mampu menyediakan
kebutuhan hara vegetasi dalam periode bera. Dan pada akhirnya pemberaan
meningkatkan kualitas lahan. Namun, jika proses-proses diatas tidak dapat
dipenuhi, maka pemberaan akan gagal meningkatkan kualitas lahan.
Jangka waktu lahan tidur yang digunakan dijenjang lima tahunan, diawali
dari lahan hutan sebagai titik nol, kemudian dilanjutkan pada jangka waktu lahan
tidur 20 tahun, 15 tahun, 10 tahun, 5 tahun dan lahan yang baru saja digunakan
untuk pertanian. Penggunaan lahan pertanian diperlukan untuk melihat degradasi
lahan seperti asumsi yang berlaku umum. Jenjang waktu pengamatan berjangka
lima tahunan diharapkan mampu menunjukkan apakah telah terjadi resiliensi dan
dapat diketahui waktu elastisitasnya yaitu kecepatan lahan untuk pulih kembali
seperti kondisi semula setelah terganggu akibat aktivitas manusia dalam
mengusahakan lahan.
Penelitian terhadap resiliensi tanah didasarkan kepada lama pemberaan
dan juga terhadap berbagai jenis tanah akan memberikan informasi yang berharga
bagi pengelolaan lahan kering. Upaya penggunaan lahan secara lestari dan
mencegah degradasi akan lebih baik jika mengetahui resistensi dan resiliensi
lahan, terutama LQ yang menjadi faktor penentu dominan (Gambar 1). Kualitas
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian.
Kelestarian Sumberdaya Lahan
Ketahanan Pangan
Menurun Meningkat
LUT
Atribut LQ
Produce Teknologi w f n t e d
Produksi dugaan
Indeks LQ
Indeks Lahan
KKL
Tanah Unit Lahan Hutan Sebagai Tolok Ukur
Tanah Unit Lahan Pertanian/Bun LUT yang diklasifikasikan
- Degradasi
11
sekaligus mempengaruhi kondisi tanah adalah: LQ ketersediaan air (LQw), LQ
genangan (LQf), LQ ketersediaan hara (LQn), LQ toksisitas aluminium (LQt), LQ
ketahanan tanah terhadap erosi (LQe), dan LQ deteriorasi tanah secara
antropogenik (LQd).
Jenis penggunaan lahan di tanah-tanah di lahan kering Kalimantan Tengah
yang perlu dikaji antara lain untuk menjawab pertanyaan penting, yaitu:
Bagaimana pengunaan lahan saat ini, dan apa akibatnya bila penggunaan lahan
saat ini tidak mengalami perubahan. Perbaikan apa saja yang perlu dilakukan
dalam tindakan pengelolaan saat ini. Apakah penggunaan lahan selain lahan yang
ada saat ini memungkinkan dilakukan secara fisik, dan relevan secara ekonomi
dan sosial. Apakah penggunaaan lahan tersebut memungkinkan untuk mencapai
produksi dan manfaat-manfaat lain secara berkelanjutan. Selain itu untuk
menentukan faktor pemicu degradasi, atau mencapai resiliensi pada tanah yang
digunakan untuk budidaya komoditas yang umum diusahakan di Kalimantan
Tengah, yaitu: padi, kedelai, karet, dan kelapa sawit. Komoditas yang digunakan
mewakili tanaman pangan dan tanaman perkebunan, sehingga dapat dilihat
dampak penggunaan lahan untuk tanaman tersebut terhadap degradasi ataupun
resiliensi di tanah di lahan kering Kalimantan Tengah.
Novelty
Klasifikasi resiliensi tanah belum tersusun di Indonesia, sehingga
penelitian ini sebagai awal untuk menetapkan klasifikasi resiliensi tanah
berdasarkan indeks lahan. Klasifikasi resiliensi didasarkan pada penggunaan
kualitas lahan dan tipe penggunaan lahan tertentu yang akan menunjukkan
Selain itu juga menetapkan indikator-indikator untuk mengenal resiliensi tanah
pada berbagai jenis tanah dan lokasi penyebarannya.
Tujuan
1. Karakterisasi dan klasifikasi tanah terdegradasi di lahan kering Kalimantan
Tengah berdasarkan penurunan indeks lahan dan kelas kesesuaian lahan
pada LUT padi lokal, LUT padi-kedelai, LUT padi-padi-kedelai, LUT karet, dan LUT kelapa sawit.
2. Menetapkan jenis tanah dan jenis penggunaan lahan yang berpotensi
terdegradasi dan teresiliensi, serta indikator utama resiliensi jenis tanah.
Manfaat
1. Klasifikasi tanah terdegradasi dengan menggunakan kriteria penurunan LQ
memberikan manfaat untuk upaya perbaikan lahan terdegradasi didasarkan
atas perbaikan LQ yang memburuk.
2. Klasifikasi tanah terdegradasi dapat memberikan pedoman pengelolaan
wilayah untuk pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota agar lebih
TINJAUAN PUSTAKA
Bahasan mengenai degradasi dan resiliensi (resilience) merupakan hal penting, karena terkait dengan sistim penggunaan lahan secara lestari. Bahasan
tersebut merupakan salah satu kesimpulan dari AGENDA 21, bahwa resiliensi
sumberdaya alam merupakan landasan untuk restorasi ekosistem. Agenda 21
adalah program kerja yang dihasilkan pada KTT Bumi di Brasilia pada tahun
1992.
Pengertian Degradasi Tanah
Degradasi tanah umumnya menyebabkan memburuknya sifat-sifat tanah
antara lain: memicu memburuknya sifat fisik dan kimia tanah (Armanto 2001;
Driessen et al. 1976; Handayani 1999; Tian 1998), juga memacu hilangnya keragaman hayati tanah (Elliot dan Lynch 1994; Lavelle et al. 1994; Tian 1998) dan menyebabkan penurunan produksi tanaman (McAlister et al. 1998; Eswaran
et al. 2001).
Degradasi tanah adalah suatu proses penurunan kemampuan potensial
tanah saat ini untuk menghasilkan barang dan jasa (FAO 1977). Sedangkan
pengertian degradasi lahan menurut Wood (1983 dalam FAO 1992) adalah suatu proses yang mengakibatkan pemburukan (deterioration) melalui penurunan ketebalan atau kualitas tanah sebagai akibat aksi air, angin, gravitasi, dan suhu
yang ditunjukkan melalui penurunan produktivitas vegetasi sebagai pendukung
lahan baik secara kualitas dan kuantitas pada masa sekarang atau akan datang.
Penelitian-penelitian yang dilakukan umumnya menunjukkan bahwa
pertanian akan menurunkan sifat-sifat tanah, baik secara fisik, kimia maupun
biologi tanah (Islam dan Weil 2000; Lal 1997; McAlister et al. 1998; Tian et al. 2001).
Klasifikasi degradasi lahan yang digunakan Lanya (1996) juga
menekankan kepada faktor eksternal yaitu pengelolaan lahan secara terus menerus
pada wilayah transmigrasi, semakin lama lahan diusahakan maka tingkatan
degradasi akan semakin besar. Hal ini juga dipengaruhi oleh pola pengelolaan di
wilayah transmigrasi yang umumnya teknologi rendah dan tanpa input.
Faktor eksternal penyebab degradasi tanah umumnya terdiri dari lima
faktor yaitu: deforestasi dan kehilangan vegetasi alami, penggembalaan
berlebihan, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan terhadap vegetasi untuk
keperluan rumah tangga, dan aktivitas industri (Dent 1993; Lal 1986; Lynden dan
Oldeman 1997; Oldeman 1994a,b).
Menurut Suwardjo dan Neneng (1994), lokasi degradasi lahan di Indonesia
kebanyakan terdapat di areal pertanian lahan kering, dengan alasan utama erosi
tanah dan pengelolaan lahan yang tidak tepat. Lahan terdegradasi di Indonesia
dikenal juga sebagai lahan kritis, beberapa ciri-ciri yang mudah dilihat antara lain:
lahan berlereng curam (> 45%), vegetasi belukar, rumput, alang-alang hingga
bongkor, terjadinya erosi dalam berbagai tingkatan.
Lahan pertanian kritis Kalimantan Tengah berdasarkan data Direktorat
Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1993 dalam Puslittanak1997) luas keseluruhan mencapai 233.700 ha yang seluruhnya termasuk tingkat kritis. Selain
15
Tingkatan lahan kritis yang seperti dijumpai di Kalimantan Tengah
memiliki ciri-ciri: 1) lahan mengalami erosi berat, di mana tingkat erosi umumnya
erosi parit (gully erosion), 2) kedalaman tanah sedang sampai dangkal (kurang dari 60 cm), dengan ketebalan horison A umumnya kurang dari 5 cm, 3)
persentase tutupan lahan (vegetasi permanen) antara 25-50 persen, 4) kemiringan
lereng antara 15 – 30 persen, 5) kesuburan tanah rendah (Puslittanak, 1997).
Tudingan penyebab degradasi di Kalimantan Tengah umumnya diarahkan
kepada pembukaan lahan dengan pembakaran, terutama pada aktivitas pembukaan
lahan untuk perladangan. Namun saat ini tuduhan pembakaran lahan juga
diarahkan kepada perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri.
Pembakaran lahan untuk perladangan berpindah pada dasarnya merupakan
pertanian yang berwawasan ekologis, apabila masa bera untuk pemulihan cukup
lama sehingga lahan yang telah dibuka dapat kembali lagi menjadi lahan hutan.
Namun karena siklus bera makin pendek maka degradasi lahan tidak dapat
dihindari. Degradasi pada lahan tersebut akan mencapai puncaknya saat tiba
musim hujan. Hujan yang turun pada lahan yang habis terbakar mampu
menimbulkan erosi cukup besar.
Penelitian Garcia et al. (2000) menunjukkan bahwa kebakaran lahan intensif menyebabkan erosi sebanyak 4.077 kg ha-1, kebakaran sedang sebesar
3.280 kg ha-1 dan lahan tidak terbakar hanya 73 kg ha-1. Bahan organik dan unsur
hara yang hilang sebanding dengan tingkat intensitas kebakaran. Meskipun
demikian, kehilangan terbanyak adalah N-NH4+ dan N-NO3- melalui erosi pada
Pengertian Resiliensi Tanah
Resiliensi secara umum diartikan sebagai kemampuan lahan untuk toleran
terhadap agen-agen cekaman (stress) atau perubahan yang menyebabkan memburuknya sifat-sifat tanah ataupun lahan. Agen-agen cekaman yang
menurunkan atau menyebabkan memburuknya sifat-sifat tanah dikenal sebagai
proses degradasi tanah.
Resiliensi juga diartikan sebagai kemampuan tanah untuk menuju
pemulihan kembali baik secara struktural maupun fungsional tanah setelah
mengalami perubahan yang bersifat buruk (Lal 1995; Eswaran 1994; Lal 1997).
Selain itu menurut Seybold et al. (1999) konsep resiliensi tanah berhubungan dengan kualitas tanah (soil quality) yang merupakan kunci unsur kelestarian.
Resiliensi berasal dari literatur ekologi yang diadopsi di ilmu tanah pada
tahun 1990-an, bertujuan untuk keberlanjutan sumberdaya tanah dan melawan
degradasi tanah. Resiliensi seringkali diartikan sebagai laju pemulihan kembali
(recovery) dan kadang-kadang digunakan juga sebagai petunjuk seberapa banyak waktu yang diperlukan suatu sistem dapat pulih setelah mengalami gangguan atau
dikenal juga sebagai elastisitas (elasticity) (Westman 1985 dalam Barrow 1991). Pemulihan tanah terdegradasi umumnya dilakukan melalui upaya
rehabilitasi, dengan demikian pengetahuan tentang sensitivitas, resistensi dan
resiliensi tanah merupakan faktor penting bagi restorasi tanah terdegradasi. Lal
(2000) menyatakan bahwa dengan mengetahui sifat-sifat resiliensi tanah, maka
restorasi tanah terdegradasi dapat dilakukan dengan baik.
Daya resiliensi tanah setelah mengalami cekaman tentunya berbeda-beda.
17
Lal (1994) faktor internal atau endogenous factors berhubungan erat dengan sifat-sifat yang melekat pada tanah tersebut, sedangkan faktor eksternal yang disebut
exogenous factors berhubungan dengan faktor di luar sifat tanah yang melekat tersebut.
Beberapa faktor internal di antaranya: kedalaman tanah, rejim
kelembaban, tekstur tanah, iklim mikro dan iklim meso, bahan induk, keragaman
biota tanah, sedangkan faktor eksternal yaitu: sistem pertanian dan penggunaan
lahan, penerapan teknologi, input, dan manajemen.
Klasifikasi resiliensi tanah ternyata tidak jauh berbeda dengan klasifikasi
degradasi tanah, yaitu dari persoalan siapa yang mengeluarkan klasifikasi
tersebut, kriteria yang digunakan, dan tujuan yang ingin dicapai. Dengan
demikian klasifikasi resiliensi lahan wajar apabila banyak ragamnya.
Rozanov (1994 dalam Seybold et al. 1999) mendasarkan resiliensi kepada penggunaan tanah secara kontinyu. Klasifikasi resiliensi tanah tersebut dibagi
menjadi dua golongan besar yaitu resiliensi secara umum dan resiliensi khusus.
Resiliensi umum tersebut berhubungan dengan penggunaan tanah secara kontinyu
pada suatu tanah, sedangkan resiliensi khusus menekankan kepada proses-proses
tertentu yang terjadi pada tanah. Kelas resiliensi umum terbagi empat kelas, yaitu:
1) tanpa resiliensi, yaitu tanah yang terpengaruh sangat berat setelah penggunaan
kontinyu; 2) resiliensi ringan, yaitu tanah yang terpengaruh berat setelah
penggunaan kontinyu; 3) resiliensi sedang, yaitu tanah yang dipengaruhi secara
sedang setelah penggunaan lahan secara kontinyu; 4) resiliensi tinggi, yaitu tanah
yang tidak atau sedikit terpengaruh oleh penggunaan kontinyu. Klasifikasi
tiga jenis, yaitu: 1) resiliensi tanah terhadap salinisasi, 2) resiliensi tanah terhadap
sodifikasi, 3) resiliensi tanah terhadap asidifikasi. Masing-masing jenis resiliensi
khusus tersebut terbagi ke dalam empat kelas seperti halnya klasifikasi resiliensi
tanah umum, yaitu: tanpa resiliensi, resiliensi ringan, resiliensi sedang, dan
resiliensi tinggi.
Blaikie dan Brookfield (1987 dalam Barrow 1991) mengklasifikasikan tanah secara sederhana berdasarkan sensitivitas dan resiliensi. Klasifikasi
resiliensi tersebut dibagi ke dalam empat kelas, yaitu: 1) Tanah dengan
sensitivitas rendah/resiliensi tinggi. Tanah ini hanya terdegradasi di bawah
kondisi pengelolaan sangat buruk, umumnya baik untuk produksi tanaman
pangan atau tanaman lainnya; 2) Tanah dengan sensitivitas tinggi/resiliensi tinggi.
Degradasi Tanah akan terjadi dengan mudah, namun responnya sangat baik
terhadap pengelolaan yang tepat/upaya rehabilitasi; 3) Tanah dengan sensitivitas
rendah/resiliensi rendah. Tanah mula-mula tahan terhadap degradasi, namun
sekali terdegradasi maka akan sulit untuk upaya pengelolaan guna merestorasi
kembali; dan 4) Tanah dengan sensitivitas tinggi/resiliensi rendah. Tanah mudah
terdegradasi dan tidak respon terhadap pengelolaan/upaya rehabilitasi. Umumnya
terdapat pada tanah tropika dan subtropika akibat perubahan radikal seperti
konversi hutan menjadi lahan padi, dibandingkan konversi hutan untuk tanaman
perkebunan. Setiap jenis tanah memiliki tingkatan resistensi dan resiliensi yang
berbeda-beda, tergantung kepada sifat tanah dan juga faktor lingkungan.
Berdasarkan pengertian sensitivitas di atas, maka dapat dihubungkan
dengan pengertian resistensi yang umum digunakan ekologis. Resistensi dapat
19
dengan sensitivitas rendah, begitu pula sebaliknya pada resistensi rendah setara
dengan sensitivitas tinggi.
Eswaran (1994) menyusun suatu konsep resiliensi tanah berdasarkan
perkembangan profil dan penampakannya, dari empat jenis tanah yang digunakan
ternyata Mollisol lebih tinggi resiliensinya, diikuti Vertisol, Alfisol dan terendah
Oxisol. Waktu yang dibutuhkan Oxisol untuk mencapai resiliensi dibandingkan
Mollisol adalah tiga kali lebih lama. Seperti halnya resiliensi berdasarkan ordo
tanah, maka klasifikasi resiliensi tanah hingga saat ini juga masih berupa konsep
atau hipotesis.
Pendekatan nyata dari resiliensi tanah dapat dilakukan melalui pengamatan
terhadap waktu pemberaan tanah (revegetasi alami) yang telah mengalami
degradasi. Di lingkungan tropika basah, waktu pemberaan pada siklus ladang
berpindah merupakan upaya pemulihan daya dukung tanah atau meningkatkan
produktivitas tanah. Praktek pemberaan ladang berpindah di Kalimantan Timur
dicirikan dengan revegetasi lahan yang telah digunakan untuk padi ladang hingga
ditumbuhi pohon berdiameter rata-rata 10,2 cm dengan tinggi 13 m. Pemulihan
vegetasi tersebut merupakan ciri bahwa tanah telah pulih kembali. Pada tanah
subur kondisi revegetasi tersebut dicapai pada kurun waktu 4 tahun, sedangkan
pada tanah tidak subur dicapai dalam jangka waktu lebih lama yaitu 8 tahun
(Lahjie 1989). Umumnya periode kultivasi sebelum masa pemberaan pada
ladang berpindah adalah 2 – 3 tahun (Brady 1994). Di Kalimantan Tengah,
umumnya satu musim tanam padi diikuti oleh palawija ketika gulma dan hama
Hasil penelitian masa bera berdasarkan diameter dan tinggi pohon di
Kalimantan Timur tersebut ternyata sesuai dengan masa bera yang dibutuhkan
agar pengelolaan ladang berpindah dapat berkelanjutan. Uexkull (1996)
menyatakan bahwa periode pemberaan lahan kering terdegradasi akibat
perladangan berpindah agar dapat berkelanjutan adalah 10 hingga 15 tahun. Hal
ini juga sejalan dengan pendapat Sanchez (1976) bahwa akumulasi unsur hara
akibat pemberaan menjadi hutan (forest fallow) umumnya tidak lebih dari 8 hingga 10 tahun yang diperlukan untuk serapan unsur hara menjadi meningkat
hingga tingkatan maksimum. Hasil penelitian Islam dan Weil (2000) menyatakan
bahwa reforestasi atau periode bera dapat memperbaiki kualitas tanah dan
memulihkan tanah terdegradasi; sedangkan Elliot dan Lynch (1994) secara tegas
menyatakan bahwa penggunaan hutan untuk meningkatkan bahan organik tanah
merupakan salah satu metode resiliensi tanah.
Evaluasi Lahan Berdasarkan Kualitas Lahan
Penelitian terhadap evaluasi lahan pada umumnya menggunakan
karakteristik lahan dibandingkan kualitas lahan. Hal tersebut dikarenakan
penggunaan karakteristik lahan lebih mudah dan cukup hanya menggunakan data
sifat-sifat tanah dari hasil survai tanah. Sebaliknya, penggunaan kualitas lahan
dalam kegiatan evaluasi lahan umumnya terkendala kompleknya perhitungan
karena menggunakan satu atau lebih karakteristik lahan sehingga diperlukan
pengolahan kembali data-data yang diperoleh dari survai tanah.
Ditinjau dari ketepatannya, penggunaan kualitas lahan dalam kegiatan
evaluasi lahan jelas lebih baik, karena kualitas lahan merupakan atribut lahan
21
FAO (1976) penggunaan karakteristik lahan untuk kegiatan evaluasi lahan akan
menimbulkan masalah yaitu meningkatnya interaksi di antara karakteristik lahan
yang digunakan, sehingga FAO merekomendasikan penggunaan kualitas lahan
(LQ) untuk kegiatan evaluasi lahan sejak tahun 1976.
Sys (1978) membagi kualitas lahan ke dalam dua golongan. Pertama
adalah kualitas lahan internal, yaitu kualitas lahan yang terutama terkait terhadap
karakteristik lahan bawah tanah termasuk kelengasan tanah dipengaruhi oleh
curah hujan dan evapotranspirasi. Terdapat empat kualitas lahan internal yaitu:
ketersediaan air, ketersediaan oksigen, ketersediaan tempat akar berjangkar, dan
ketersediaan hara. Kedua adalah kualitas lahan eksternal, yaitu kualitas lahan
yang hanya berhubungan terhadap kondisi lingkungan pada permukaan tanah.
Termasuk kualitas lahan ini antara lain: rejim temperatur terkoreksi, ketahanan
tanah melawan erosi, kemampuan untuk lay out perencanaan pertanian, dan kemudahan kerja.
Khusus aspek hidrologi yaitu ketersediaan air bagi tanaman merupakan
aspek penting, sebab kondisi ketersediaan air yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan tanaman akan mengakibatkan gagal panen. Dengan demikian
memperhitungkan neraca air pada bidang evaluasi lahan adalah penting dan tidak
hanya menggunakan sifat-sifat tanah secara umum. Menurut Suharsono (1989)
neraca air sangat penting dan dapat diterapkan pada berbagai segi, yaitu: 1)
melengkapi gambaran umum suatu daerah, terutama curah hujan, evapotranspirasi
potensial, kandungan dan perubahan kelengasan tanah; 2) sebagai model untuk
menyelidiki hubungan curah hujan dan limpasan permukaan; 3) menilai
kebutuhan air irigasi; 4) menguji hubungan iklim dengan hasil tanaman; 5)
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret 2004 – September 2006.
Lokasi penelitian dilakukan di lahan kering pada beberapa jenis tanah didasarkan
perbedaan terjadinya degradasi serta kemampuan resiliensi tanah. Sebaran jenis
tanah yang digunakan untuk penelitian ini diacu dari peta tanah pada skala semi
[image:50.612.108.509.321.670.2]detil hingga detil yang tersedia di Provinsi Kalimantan Tengah (Tabel 1).
Tabel 1. Lokasi Penelitian Berdasarkan Sebaran Jenis Tanah, Luasan SPT, dan Skala Peta
Jenis Tanah
SPT
Luas SPT (ha)
Skala Peta Tanah
Lokasi Penelitian
Entisol
Entisol
Alfisol
2.873
1.281
1.904
1:50.000
1:5.000
1:50.000
Non UPT. Dusun Ngurit, Desa Patas 1, Kecamatan Gunung Bintang Away, Kabupaten Barito Selatan (P3MT 1983).
UPT Sei Gohong, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangka Raya (DTP3T 1996).
Non UPT. Dusun Ngurit, Desa Patas 1, Kecamatan Gunung Bintang Away, Kabupaten Barito Selatan (P3MT 1983).
Inceptisol
Ultisol
Inceptisol
Ultisol
2.730
7.510
510
432
1:50.000
1:50.000
1:10.000
1:10.000
Non UPT. Desa Sikuy, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara (P3MT 1984). Non UPT. Desa Sikuy, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara (P3MT 1984). UPT Bereng Belawan SP1, Kecamatan
Manuhing, Kabupaten Gunung Mas (P3T 1992).
UPT Bereng Belawan SP2, Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas (P3T 1994).
Spodosol - - Non UPT. Desa Bereng Belawan, Kecamatan
Manuhing, Kabupaten Gunung Mas.
Oxisol 7.614 1:50.000 UPT Kumai Kondang Ie/SP3, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat (P3MT 1982).
Gambar 2 . Lokasi penelitian di Kalimantan Tengah
Bahan Penelitian dan Pengambilan Contoh Tanah
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peta tanah, peta
vegetasi dan penggunaan lahan, dan peta rekomendasi garis besar penggunaan
lahan untuk pertanian. Masing-masing peta memiliki skala 1:50.000 untuk lokasi
Muara Teweh
Pangkalan Bun
Sampit
Palangka Raya
Kuala Kapuas Kuala Kurun
Buntok
Barut
Barsel Gumas
PKY Kobar
T. K u m a i
T. S a m p i t
L A U T J A W A
U
Lokasi Penelitian
KALBAR
KALSEL
25
non UPT di Barito Utara-Barito Selatan, dan UPT di Kotawaringin Barat. Jenis
tanah sesuai SPT, berturut-turut: Ultisol dan Inceptisol di Barito Utara, Alfisol
dan Entisol di Barito Selatan, dan Oxisol di Kotawaringin Barat. Untuk lokasi
UPT digunakan di Gunung Mas dengan jenis tanah Ultisol, Inceptisol dan
Spodosol berdasarkan peta skala 1:10.000. Lokasi UPT lainnya yaitu Sei Gohong
di Palangka Raya digunakan peta berskala 1:5.000 untuk tanah Entisol. Peta-peta
tersebut digunakan untuk mengetahui kondisi awal lokasi penelitian dan
pengambilan contoh tanah.
Titik pengambilan contoh tanah dilakukan pada land unit bervegetasi alami atau hutan sekunder, lahan tidur 20, 15, 10, 5 tahun, dan lahan pertanian, kecuali
pada lokasi Palangka Raya dan Gunung Mas contoh tanah diambil dari lahan
hutan primer dan lahan tidur 10, 5 tahun, dan lahan pertanian. Hal ini disebabkan
penempatan pemukiman transmigran untuk sektor tanaman pangan lebih
belakangan dibuka daripada sektor perkebunan.
Pengambilan berbagai contoh tanah pada berbagai land unit berdasarkan jangka waktu lahan tidur dimaksudkan untuk melihat apakah waktu pemberaan
akan dapat mencapai kondisi resiliensi tanah melalui peningkatan kualitas lahan.
Pengambilan contoh tanah hingga kedalaman perakaran tanaman tahunan
(