APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN
TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETATION
(STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN)
AYURANI PRASETIYO
E14101023
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
AYURANI PRASETIYO. Aplikasi Klasifikasi Knowledge Based dengan Teknik Fuzzy pada SPOT 4 Vegetation (Studi Kasus di Pulau Kalimantan). Di bawah bimbingan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, yang salah satunya berupa hutan. Ketergantungan yang sangat besar terhadap hutan membawa dampak negatif terhadap kelestariannya. Untuk dapat menyusun kebijakan yang dapat mewujudkan kelestarian hutan maka diperlukan data yang akurat serta tepat waktu mengenai kondisi hutan alam tropis. Kegiatan pengumpulan data dan informasi tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh satelit. Keberadaan satelit sumberdaya alam dengan resolusi spasial yang relatif rendah serta mudah diperoleh seperti SPOT Vegetation akan mempermudah pengumpulan informasi untuk areal yang luas, seperti Pulau Kalimantan. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung tingkat akurasi klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy dalam mengklasifikasikan penutupan lahan di wilayah Pulau Kalimantan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah citra satelit SPOT 4 Vegetation periode perekaman Juli 2001 dan 2004. Selain itu digunakan data pendukung berupa citra satelit Landsat ETM+ serta Peta Vektor Pulau Kalimantan. Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai September 2005. Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Perencanaan Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Metode penelitian meliputi 3 tahap utama. Tahap pertama adalah pengolahan awal citra yang terdiri atas kegiatan import data, layer stack, koreksi geometrik (image to map rectification), koreksi radiometrik, cropping, penghilangan awan, dan interpretasi visual citra satelit. Tahap berikutnya adalah pengolahan citra yang meliputi kegiatan pengenalan pola spektral dan klasifikasi knowledge based yang diikuti tahap terakhir yaitu evaluasi hasil klasifikasi.
Interpretasi visual pada SPOT 4 Vegetation menghasilkan 5 kelas penutupan lahan, yaitu kelas hutan alam, vegetasi non hutan alam, areal terbuka, badan air, dan awan. Pengenalan pola spektral dilakukan dengan membuat training area pada kelas penutupan lahan selain awan.
Pada penelitian ini, klasifikasi knowledge based diturunkan dari pengetahuan interpreter mengenai karakteristik reflektansi spektral dari kelas penutupan lahan hasil interpretasi visual serta fungsi keanggotaan dari setiap kelas penutupan lahan tersebut. Parameter yang dipergunakan untuk menyusun fungsi keanggotaan fuzzy berasal dari nilai dijital piksel dari training area. Nilai tersebut akan diposisikan sesuai dengan konsep logika fuzzy, di mana setiap piksel yang berada pada rentang spektral tiap band untuk suatu penutupan lahan akan memiliki derajat keanggotaan yang bernilai 1 sedangkan untuk nilai lain akan memiliki derajat keanggotaan antara 0 sampai 1.
Klasifikasi dengan rule yang sama dilakukan pada citra tahun 2004 untuk memperbaiki kemampuan dari rule tersebut dalam mengklasifikasikan penutupan lahan pada citra multitemporal. Hasil klasifikasi pada citra tahun 2001 memperlihatkan beberapa penutupan lahan yang tidak dapat diklasifikasikan dengan baik. Sebagai contoh, kondisi tersebut ditemukan pada penutupan hutan alam yang terletak di wilayah Kalimantan Tengah. Piksel hutan alam tidak dapat diklasifikasikan dengan baik karena pada wilayah tersebut terdapat awan atau kabut tipis (haze). Sedangkan pada hasil klasifikasi tahun 2004, daerah tersebut diklasifikasikan sebagai hutan alam. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap luasan hutan alam hasil klasifikasi, di mana luas hutan alam tahun 2004 menjadi lebih besar daripada luasnya pada tahun 2001. Secara temporal, suatu daerah yang pada tahun lebih muda merupakan penutupan hutan alam, maka pada tahun yang lebih tua juga masih berupa penutupan yang sama. Atas dasar pengetahuan tersebut, maka daerah yang tertutup haze pada tahun 2001 akan diklasifikasikan sebagai hutan alam
Analisis akurasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar ketepatan metode yang digunakan untuk klasifikasi dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Nilai overall accuracy mencapai 92,36% yang berarti telah memenuhi persyaratan tingkat keakuratan klasifikasi yang dapat diterima. Nilai akurasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh melalui penelitian pada lokasi yang sama dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing seperti maximum likelihood dan fuzzy classification.
APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN
TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETATION
(STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN)
AYURANI PRASETIYO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETATION
(STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN) Nama : AYURANI PRASETIYO
NIM : E14101023 Departemen : Manajemen Hutan Program Studi : Manajemen Hutan
Menyetujui: Dosen Pembimbing
(Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS) NIP. 131 284 620
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan
(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) NIP. 131 430 799
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 6 Agustus 1983 sebagai putri tunggal dari pasangan Bapak Susetiyo Setiyawan dan Ibu Prapti Eko Lestari.
Penulis telah mengenyam pendidikan formal di TK Seruni 1 Purworejo (1988-1989). Pendidikan selanjutnya penulis dapatkan di SD Pangengudang Purworejo antara tahun 1989 sampai dengan tahun 1995. Selanjutnya penulis mengikuti pendidikan di SMPN 1 Purworejo. Setelah lulus pada tahun 1998, penulis melanjutkan studi ke SMUN 1 Purworejo sampai dengan lulus pada tahun 2001.
Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah mengikuti Praktek Pengenalan Hutan di KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah serta Praktek Pengelolaan Hutan Jati di KPH Ngawi, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada bulan Juli sampai Agustus 2004. Selain itu, pada kurun waktu April sampai Mei 2005, penulis melakukan Praktek Kerja Lapangan di HPHTI PT Wirakarya Sakti, Jambi.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun judul yang dipilih adalah Aplikasi Klasifikasi Knowledge Based dengan Teknik Fuzzy pada SPOT 4 Vegetation (Studi Kasus di Pulau Kalimantan).
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan berupa petunjuk, saran maupun fasilitas yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
2. Bapak Dr. Ir. I Wayan Darmawan, MS selaku wakil dari Departemen Hasil Hutan serta Bapak Dr. Ir. Sambas Basuni, MS selaku wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas kesediaannya untuk menjadi dosen penguji komprehensif.
3. Bapak dan Ibu serta keluarga di Purworejo atas kasih sayang, doa dan segala pengorbanannya.
4. Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc yang telah membantu memberikan data satelit.
5. Teman-teman Manajemen Hutan 38 atas kebersamaan dan persahabatan selama hampir lima tahun terakhir ini.
6. Wira Fitria dan Lukmanul Hakim, teman seperjuangan penelitian atas kerjasama dan bantuannya.
7. Agung Monang Bahari atas perhatian, kesabaran dan dukungan yang selalu dicurahkan kepada penulis.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Desember 2005
Klasifikasi Knowledge Based ... 23
Penampakan visual hasil klasifikasi... 27
Evaluasi akurasi hasil klasifikasi ... 30
Luas Penutupan Lahan di Pulau Kalimantan ... 31
KESIMPULAN DAN SARAN ... 33
Kesimpulan ... 33
Saran ... 33
DAFTAR PUSTAKA... 34
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Spesifikasi SPOT 4 Vegetation ... 5
2 Spesifikasi Landsat ETM+ ... 6
3 Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra Landsat ETM+ pada kombinasi band 4-3-2 di Pulau Kalimantan ... 12
4 Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra SPOT 4 Vegetation pada kombinasi band 4-3-2 di Pulau Kalimantan ... 12
5 Nilai dijital piksel pada training area ... 24
6 Matriks konfusi klasifikasi citra tahun 2001 ... 30
7 Keadaan penutupan vegetasi di Kalimantan tahun 1999-2000 ... 31
APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN
TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETATION
(STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN)
AYURANI PRASETIYO
E14101023
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
AYURANI PRASETIYO. Aplikasi Klasifikasi Knowledge Based dengan Teknik Fuzzy pada SPOT 4 Vegetation (Studi Kasus di Pulau Kalimantan). Di bawah bimbingan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, yang salah satunya berupa hutan. Ketergantungan yang sangat besar terhadap hutan membawa dampak negatif terhadap kelestariannya. Untuk dapat menyusun kebijakan yang dapat mewujudkan kelestarian hutan maka diperlukan data yang akurat serta tepat waktu mengenai kondisi hutan alam tropis. Kegiatan pengumpulan data dan informasi tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh satelit. Keberadaan satelit sumberdaya alam dengan resolusi spasial yang relatif rendah serta mudah diperoleh seperti SPOT Vegetation akan mempermudah pengumpulan informasi untuk areal yang luas, seperti Pulau Kalimantan. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung tingkat akurasi klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy dalam mengklasifikasikan penutupan lahan di wilayah Pulau Kalimantan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah citra satelit SPOT 4 Vegetation periode perekaman Juli 2001 dan 2004. Selain itu digunakan data pendukung berupa citra satelit Landsat ETM+ serta Peta Vektor Pulau Kalimantan. Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai September 2005. Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Perencanaan Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Metode penelitian meliputi 3 tahap utama. Tahap pertama adalah pengolahan awal citra yang terdiri atas kegiatan import data, layer stack, koreksi geometrik (image to map rectification), koreksi radiometrik, cropping, penghilangan awan, dan interpretasi visual citra satelit. Tahap berikutnya adalah pengolahan citra yang meliputi kegiatan pengenalan pola spektral dan klasifikasi knowledge based yang diikuti tahap terakhir yaitu evaluasi hasil klasifikasi.
Interpretasi visual pada SPOT 4 Vegetation menghasilkan 5 kelas penutupan lahan, yaitu kelas hutan alam, vegetasi non hutan alam, areal terbuka, badan air, dan awan. Pengenalan pola spektral dilakukan dengan membuat training area pada kelas penutupan lahan selain awan.
Pada penelitian ini, klasifikasi knowledge based diturunkan dari pengetahuan interpreter mengenai karakteristik reflektansi spektral dari kelas penutupan lahan hasil interpretasi visual serta fungsi keanggotaan dari setiap kelas penutupan lahan tersebut. Parameter yang dipergunakan untuk menyusun fungsi keanggotaan fuzzy berasal dari nilai dijital piksel dari training area. Nilai tersebut akan diposisikan sesuai dengan konsep logika fuzzy, di mana setiap piksel yang berada pada rentang spektral tiap band untuk suatu penutupan lahan akan memiliki derajat keanggotaan yang bernilai 1 sedangkan untuk nilai lain akan memiliki derajat keanggotaan antara 0 sampai 1.
Klasifikasi dengan rule yang sama dilakukan pada citra tahun 2004 untuk memperbaiki kemampuan dari rule tersebut dalam mengklasifikasikan penutupan lahan pada citra multitemporal. Hasil klasifikasi pada citra tahun 2001 memperlihatkan beberapa penutupan lahan yang tidak dapat diklasifikasikan dengan baik. Sebagai contoh, kondisi tersebut ditemukan pada penutupan hutan alam yang terletak di wilayah Kalimantan Tengah. Piksel hutan alam tidak dapat diklasifikasikan dengan baik karena pada wilayah tersebut terdapat awan atau kabut tipis (haze). Sedangkan pada hasil klasifikasi tahun 2004, daerah tersebut diklasifikasikan sebagai hutan alam. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap luasan hutan alam hasil klasifikasi, di mana luas hutan alam tahun 2004 menjadi lebih besar daripada luasnya pada tahun 2001. Secara temporal, suatu daerah yang pada tahun lebih muda merupakan penutupan hutan alam, maka pada tahun yang lebih tua juga masih berupa penutupan yang sama. Atas dasar pengetahuan tersebut, maka daerah yang tertutup haze pada tahun 2001 akan diklasifikasikan sebagai hutan alam
Analisis akurasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar ketepatan metode yang digunakan untuk klasifikasi dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Nilai overall accuracy mencapai 92,36% yang berarti telah memenuhi persyaratan tingkat keakuratan klasifikasi yang dapat diterima. Nilai akurasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh melalui penelitian pada lokasi yang sama dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing seperti maximum likelihood dan fuzzy classification.
APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN
TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETATION
(STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN)
AYURANI PRASETIYO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETATION
(STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN) Nama : AYURANI PRASETIYO
NIM : E14101023 Departemen : Manajemen Hutan Program Studi : Manajemen Hutan
Menyetujui: Dosen Pembimbing
(Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS) NIP. 131 284 620
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan
(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) NIP. 131 430 799
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 6 Agustus 1983 sebagai putri tunggal dari pasangan Bapak Susetiyo Setiyawan dan Ibu Prapti Eko Lestari.
Penulis telah mengenyam pendidikan formal di TK Seruni 1 Purworejo (1988-1989). Pendidikan selanjutnya penulis dapatkan di SD Pangengudang Purworejo antara tahun 1989 sampai dengan tahun 1995. Selanjutnya penulis mengikuti pendidikan di SMPN 1 Purworejo. Setelah lulus pada tahun 1998, penulis melanjutkan studi ke SMUN 1 Purworejo sampai dengan lulus pada tahun 2001.
Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah mengikuti Praktek Pengenalan Hutan di KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah serta Praktek Pengelolaan Hutan Jati di KPH Ngawi, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada bulan Juli sampai Agustus 2004. Selain itu, pada kurun waktu April sampai Mei 2005, penulis melakukan Praktek Kerja Lapangan di HPHTI PT Wirakarya Sakti, Jambi.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun judul yang dipilih adalah Aplikasi Klasifikasi Knowledge Based dengan Teknik Fuzzy pada SPOT 4 Vegetation (Studi Kasus di Pulau Kalimantan).
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan berupa petunjuk, saran maupun fasilitas yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
2. Bapak Dr. Ir. I Wayan Darmawan, MS selaku wakil dari Departemen Hasil Hutan serta Bapak Dr. Ir. Sambas Basuni, MS selaku wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas kesediaannya untuk menjadi dosen penguji komprehensif.
3. Bapak dan Ibu serta keluarga di Purworejo atas kasih sayang, doa dan segala pengorbanannya.
4. Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc yang telah membantu memberikan data satelit.
5. Teman-teman Manajemen Hutan 38 atas kebersamaan dan persahabatan selama hampir lima tahun terakhir ini.
6. Wira Fitria dan Lukmanul Hakim, teman seperjuangan penelitian atas kerjasama dan bantuannya.
7. Agung Monang Bahari atas perhatian, kesabaran dan dukungan yang selalu dicurahkan kepada penulis.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Desember 2005
Klasifikasi Knowledge Based ... 23
Penampakan visual hasil klasifikasi... 27
Evaluasi akurasi hasil klasifikasi ... 30
Luas Penutupan Lahan di Pulau Kalimantan ... 31
KESIMPULAN DAN SARAN ... 33
Kesimpulan ... 33
Saran ... 33
DAFTAR PUSTAKA... 34
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Spesifikasi SPOT 4 Vegetation ... 5
2 Spesifikasi Landsat ETM+ ... 6
3 Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra Landsat ETM+ pada kombinasi band 4-3-2 di Pulau Kalimantan ... 12
4 Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra SPOT 4 Vegetation pada kombinasi band 4-3-2 di Pulau Kalimantan ... 12
5 Nilai dijital piksel pada training area ... 24
6 Matriks konfusi klasifikasi citra tahun 2001 ... 30
7 Keadaan penutupan vegetasi di Kalimantan tahun 1999-2000 ... 31
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram alir penelitian ... 15
2 Piksel hutan alam ... 21
3 Piksel non hutan alam ... 21
4 Piksel areal terbuka ... 21
5 Piksel badan air ... 21
6 Posisi Landsat ETM+ untuk pengenalan pola spektral ... 22
7 Grafik pola spektral penutupan lahan ... 22
8 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 1 ... 25
9 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 2 ... 25
10 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 3 ... 25
11 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 4 ... 25
12 Hasil klasifikasi knowledge based citra tahun 2004 ... 28
13 Hasil klasifikasi knowledge based citra tahun 2001 ... 28
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, yang salah satunya berupa hutan. Menurut Suhendang (2002), kekayaan hutan Indonesia, diperkirakan hutan alam tropis merupakan hutan yang memiliki keanekaragaman tertinggi kedua di dunia, setelah hutan tropika di Brazilia. Kenyataan tersebut menyebabkan sektor kehutanan turut memegang peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian nasional. Selain memberikan manfaat ekonomi, hutan juga memberikan manfaat ekologi bahkan sosial.
Ketergantungan yang sangat besar terhadap hutan membawa dampak negatif terhadap kelestariannya. Seiring dengan pertambahan penduduk, tekanan terhadap sektor kehutanan semakin bertambah terutama dalam hal manfaat ekonomi. Geist dan Lambin (2002) menyatakan bahwa deforestasi di hutan tropika merupakan salah satu penyebab utama perubahan lingkungan global. Deforestasi hutan tropika dipengaruhi berbagai faktor utama seperti ekonomi, institusi dan kebijakan nasional, kependudukan, serta teknologi dan kebudayaan.
Berdasarkan data dari Forest Watch Indonesia (FWI) tahun 2002, tingkat kerusakan hutan rata-rata mencapai kurang lebih 1 juta hektar per tahun pada pertengahan 1980-an yang meningkat menjadi kurang lebih 1,7 juta hektar per tahun pada awal tahun 1990-an. Sejak tahun 1996, deforestasi meningkat menjadi kurang lebih rata-rata 2 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia.
Berbagai masalah yang menyangkut kelestarian hutan harus diselesaikan secepatnya dengan melakukan pembenahan terutama pada level kebijakan dalam kegiatan pengelolaan hutan. Untuk dapat menyusun kebijakan yang dapat mewujudkan kelestarian hutan maka diperlukan data yang akurat serta tepat waktu di antaranya data terbaru mengenai kondisi hutan alam tropis. Kegiatan pengumpulan data dan informasi tersebut dapat dilakukan melalui inventarisasi. Inventarisasi dapat dilakukan secara konvensional, yaitu melalui kegiatan lapang atau terestris atau dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh.
pengguna dalam memanfaatkan tiap produknya. Keberadaan satelit sumberdaya alam dengan resolusi spasial yang relatif rendah seperti SPOT Vegetation mempermudah pengumpulan informasi untuk areal yang luas, seperti Pulau Kalimantan. Menurut Jaya (2002b), untuk kegiatan monitoring skala regional dan global, data satelit adalah sarana yang sangat potensial misalnya untuk monitoring reforestasi, deforestasi, kebakaran hutan, laju perladangan berpindah dan sebagainya.
Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Penginderaan Jauh
Manual of Remote Sensing (1983) mendefinisikan penginderaan jauh dalam pengertian luas, pengukuran atau pemerolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek yang dikaji. Lebih lanjut Howard (1996) menyatakan secara umum, penginderaan jauh saat ini tidak hanya terbatas sebagai alat pengumpul data mentah, tetapi pemrosesan data mentah secara manual dan terotomatisasi, dan analisis citra serta penyajian hasil informasi yang diperoleh.
Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji.
Sedangkan menurut Lo (1995), penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Tujuan dari penginderaan jauh ialah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Informasi tentang obyek disampaikan ke pengamat melalui energi elektromagnetik yang merupakan pembawa informasi dan sebagai penghubung komunikasi.
Penutupan Lahan
Aldrich (1981) dalam Lo (1995) menyatakan bahwa lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan (situs), yang diartikan berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi, dan biologi.
Karakteristik Reflektansi Spektral
Menurut Purwadhi (2001), karakteristik atau ciri spektral (spectral signature) dalam penginderaan jauh adalah karakteristik objek dalam menyerap dan memantulkan tenaga yang diterimanya
Jaya (2002b) menyatakan bahwa radiasi yang dideteksi oleh sistem penginderaan jauh umumnya :
1. Refleksi cahaya (energi) matahari
2. Panas yang dipancarkan oleh setiap obyek yang mempunyai suhu lebih besar dari 0°K
3. Refleksi gelombang mikro
Pantulan spektral untuk vegetasi sehat berdaun hijau dipengaruhi oleh pigmen yang terkandung di dalam daun tumbuhan. Klorofil misalnya banyak menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat pada sekitar 0,45 µm dan 0,6 µm. Berdasarkan hal itu mata kita menangkap vegetasi sehat berwarna hijau disebabkan oleh besarnya penyerapan energi pada spektrum hijau.
Tanah mempunyai pantulan yang meningkat secara monoton terhadap peningkatan panjang gelombang. Penurunan pantulan terjadi pada panjang gelombang 1,4 µm, 1,9 µm, dan 2,7 µm karena pengaruh kelembaban tanah, tekstur tanah kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi, dan kandungan bahan organik. Karakteristik yang paling mencirikan pantulan spektral air ialah sifat penyerapan tenaga pada spektrum inframerah pantulan (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Citra Satelit SPOT 4 Vegetation
SPOT atau Systeme Probatoire d’Observation de la Terre merupakan sistem satelit milik Perancis. Satelit SPOT 1 diluncurkan pada tanggal 21 Februari 1986. Pada satelit SPOT 4, ditambahkan sensor VMI (Vegetation Monitoring Instrument) yang berguna di dalam pemantauan untuk wilayah yang luas. Sensor tersebut diluncurkan pada 24 Maret 1998. Vegetation merupakan program satelit yang dimiliki secara bersama oleh Perancis, Italia, Belgia, Komisi Eropa, dan Swedia.
inframerah dekat (near infrared), dan 1 band inframerah gelombang pendek (short wave infrared).
Tabel 1 Spesifikasi SPOT 4 Vegetation
Band Panjang gelombang
(µm)
Kegunaan/aplikasi
1
BLUE
0,43 – 0,47 Penetrasi tubuh air dengan baik sehingga baik
untuk pemetaan perairan pantai, pembedaan
tanah dan vegetasi, analisa tanah dan air, dan
pembedaan tumbuhan berdaun lebar dan konifer.
2
RED
0,61 – 0,68 Diskriminasi vegetasi yang berguna untuk
pembedaan jenis tumbuhan. Puncak penyerapan
klorofil pada panjang gelombang 0,665µm
sehingga baik untuk inventarisasi vegetasi dan
penilaian kesuburan.
3
NIR
0,78 – 0,89 Reflaktansi vegetasi maksimal pada band ini yang
pada dasarnya berhubungan dengan struktur
kanopi dan presentase penutupan vegetasi di
permukaan bumi. Saluran ini penting untuk
pemisahan kelas vegetasi dan memperkuat
kontras antara penampakan vegetasi dan non
vegetasi.
4
SWIR
1,58 – 1,75 Saluran yang peka terhadap akumulasi biomassa
vegetasi. Identifikasi jenis tanaman dan
memudahkan pembedaan tanah dan tanaman
serta lahan dan air.
Sumber : http://www.free.vgt.vito.be/overview.html (2000)
Citra Satelit Landsat ETM+
Landsat merupakan satelit sumberdaya alam yang diluncurkan pertama kali pada tahun 1972 oleh Pemerintah Amerika Serikat. Pada sistem satelit Landsat 7 yang diluncurkan pada 15 April 1999 ditambahkan sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus).
(Thermal Infrared/TIR). Perbedaan terdapat dengan ditambahkannya band pankromatik pada sistem ETM+.
Tabel 2 Spesifikasi Landsat ETM+
Band Panjang gelombang (µm) Resolusi spasial (m)
1. biru/blue 0,45-0,515 30 x 30
2. hijau/green 0,525-0,605 30 x 30
3. merah/red 0,63-0,69 30 x 30
4. inframerah dekat/NIR 0,75-0,90 30 x 30
5. inframerah sedang/MIR 1,55-1,75 30 x 30
6. inframerah termal/TIR 10,40-12,50 60 x 60
7. inframerah sedang/MIR 2,09-2,35 30 x 30
8. pankromatik 0,52-0,90 15 x 15
Sumber : http://www.agrecon.canberra.edu.au (2002)
Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan teknik klasifikasi secara manual. Analisis visual (interpretasi citra) merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi obyek-obyek permukaan bumi yang tampak pada citra, baik potret udara maupun citra satelit, dengan cara mengenalinya atas dasar karakteristik spasial, spektral, dan temporal (Jaya, 2002b).
Lebih lanjut Jaya (2002b) menyatakan bahwa elemen-elemen diagnostik dalam analisis visual yang umum digunakan adalah tone atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, dan bayangan.
Di dalam Lo (1996) juga disebutkan bahwa tingkat awal interpretasi dikenal sebagai deteksi. Tahap identifikasi tentu saja menuntun ke arah tingkat identifikasi dan pengenalan di mana penafsir harus menggunakan tingkat rujukan lokal, khusus, dan untuk mengelaskan obyek ke dalam kategori tertentu. Di dalam identifikasi dan pengenalan, karakteristik non geometrik citra atas rona atau warna, tekstur, pola, bentuk, bayangan, ukuran, dan situasi umumnya merupakan kunci pengenalan.
Klasifikasi Knowledge Based (Knowledge Classification)
(knowledge based classification). Teknik klasifikasi dicirikan dengan penyusunan rule atau aturan oleh interpreter.
Dalam Erdas Field Guide (2001) dijelaskan bahwa sistem klasifikasi expert merupakan sebuah hirarki aturan, atau sebuah pohon keputusan, yang menjelaskan keadaan di bawah seperangkat informasi tingkat rendah yang diabstraksikan menjadi kelas-kelas informasi tingkat tinggi. Informasi tersebut tersusun atas variabel yang ditentukan oleh pengguna dan meliputi citra raster, vektor, model spasial, eksternal program, dan skalar sederhana. Sebuah aturan merupakan pernyataan persyaratan, atau daftar dari pernyataan-pernyataan persyaratan, mengenai nilai-nilai variabel data dan/atau atribut yang menentukan komponen informasi atau hipotesis.
Richards (1993) telah menjelaskan bahwa klasifikasi dengan metode knowledge based dapat memadukan dua sumber data numerik dengan perbedaan karakteristik (contoh: data multispektral dan data radar). Pengetahuan yang digunakan antara lain pengetahuan mengenai karakteristik reflektansi spektral, pengetahuan mengenai respon radar, dan juga teknik mengkombinasikan informasi dari dua atau lebih sumber data tersebut. Analisa sistem berdasarkan rule adalah cara yang efektif untuk menangani data citra multiresolusi, sebagai contoh, rule dapat diaplikasikan sebagai awal untuk melihat apakah terdapat pengakuan dari label yang tersedia pada piksel-piksel data citra dengan resolusi rendah. Jika ada maka sumber data dengan resolusi spasial tinggi tidak diperlukan, dan waktu untuk proses data dapat dihemat. Namun analisa sistem berdasarkan rule hanya dapat memberi dukungan yang lemah terhadap label yang tersedia dalam basis data resolusi rendah, sehingga kemudian harus digabung dengan sumber data yang beresolusi tinggi untuk melihat apakah ada piksel-piksel yang lebih kecil yang dapat diberi label dengan tingkat kepastian yang lebih tinggi.
Teknik Fuzzy
Pada klasifikasi knowledge based diperlukan suatu teknik untuk kuantifikasi dalam pengambilan keputusan mengenai kepastian keanggotaan suatu piksel. Fungsi keanggotaan tersebut dapat ditentukan dengan menggunakan teknik fuzzy. Teknik ini telah banyak diterapkan dalam pengenalan pola data matematik. Dalam Suartana (2002), dijelaskan bahwa gugus fuzzy merupakan
memberikan nilai 1 atau 0, tapi nilai yang berada pada suatu selang tertentu, biasanya dalam selang [0,1], sehingga suatu elemen dapat memiliki derajat keanggotaan 0, 0.82 atau 1. Nilai yang diberikan oleh fungsi keanggotaan disebut derajat keanggotaan (degree of membership).
Aplikasi teknik fuzzy pada data penginderaan jauh telah dilakukan oleh Brown (1998) yang menyatakan bahwa identifikasi dengan menggunakan klasifikasi fuzzy sangat cocok untuk data yang :1) atributnya ambigu dan 2) spasial yang samar. Atribut yang ambigu terjadi ketika anggota kelas terbagi atau tidak jelas. Ambiguitas merupakan masalah yang biasa terjadi di dalam beberapa data penginderaan jauh seperti fotografi udara yang diinterpretasikan secara tidak konsisten. Kesamaran spasial terjadi ketika resolusi sampling tidak cukup baik untuk menyertakan batas lokasi, pada saat transisi terjadi di antara kelas-kelas atau pada saat terdapat beberapa data dengan lokasi yang tidak jelas.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis
Pulau Kalimantan atau sering disebut Borneo merupakan pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan New Guinea. Pulau ini terletak ± 350 km sebelah utara Pulau Jawa. Luas keseluruhannya ± 751.000 km², dengan 2/3 dari
keseluruhan pulau atau seluas 539.000 km² termasuk wilayah Indonesia,
sedangkan sisanya termasuk wilayah Malaysia dan Kesultanan Brunei
Darussalam. Luas bagian pulau yang termasuk wilayah Indonesia merupakan
28% dari daratan Indonesia.
Secara astronomis, pulau ini terletak pada 7° LU - 4° LS dan 109° - 119°
BT. Secara geografis, Pulau Kalimantan berbatasan dengan :
- Sebelah utara : Laut Cina Selatan dan Laut Sulu
- Sebelah selatan : Selat Karimata dan Laut Jawa
- Sebelah barat : Laut Cina Selatan
- Sebelah timur : Laut Sulawesi dan Selat Makasar
Sedangkan secara administratif, Pulau Kalimantan terbagi menjadi 4
propinsi, yaitu :
- Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda
- Kalimantan Selatan dengan ibukota Banjarmasin
- Kalimantan Tengah dengan ibukota Palangkaraya
- Kalimantan Barat dengan ibukota Pontianak
Topografi
Pulau Kalimantan berbentuk pesisir yang rendah dan memanjang serta
berupa dataran sungai, terutama di bagian selatan. Lebih dari setengah pulau ini
berada di bawah ketinggian 150 m dan air pasang dapat mencapai 100 km ke
arah pedalaman.
Pulau Kalimantan tidak memiliki gunung berapi tetapi jajaran pegunungan,
utamanya semula merupakan gunung berapi. Rangkaian pegunungan utamanya
melintasi bagian tengah pulau, seperti trisula terbalik dari utara ke selatan,
dengan tiga mata tombaknya bercabang di bagian selatan. Puncak tertinggi yaitu
Gunung Kinibalu (4.101 m), terdapat di Malaysia. Sedangkan Gunung Raya
(2.778 m) merupakan puncak tertinggi di Kalimantan yang termasuk dalam
Di bagian selatan, terdapat areal luas dengan pantai yang rendah dan
sungai yang datar. Sungai Kapuas, Sungai Barito, dan Sungai Mahakam
merupakan contoh sungai besar di pulau ini. Sungai-sungai ini merupakan jalur
masuk utama ke pedalaman pulau dan daerah pegunungan tengah. Semakin ke
hulu, sungai lebih sempit. Sungai tersebut mengalir melalui hutan-hutan
perbukitan, berarus deras, dan airnya jernih.Beberapa sungai besar mempunyai
sistem pengeluaran (outlet) berupa danau.
Kebanyakan sungai-sungai utama di Kalimantan terdapat di jajaran
pegunungan tengah. Sungai-sungai itu semakin lebar dan semakin besar
volumenya menuju ke laut karena ada tambahan air dari anak-anak sungainya.
Sungai utama akan mengalirkan air dari daerah aliran sungai yang luas. Debit air
bervariasi menurut musim. Kecepatan arus, kedalaman air, dan komposisi
substrat bervariasi menurut panjang aliran dan lebar sungai, dan ini
mempengaruhi biota yang dapat hidup di dalamnya.
Tanah
Jenis tanah yang tersebar di seluruh Pulau Kalimantan adalah jenis
histosol. Jenis ini banyak ditemukan di hampir semua dataran rendah di pulau ini.
Jenis lain yaitu ultisol, inceptisol, dan entisol banyak tersebar di daerah
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Jenis spodosol
berada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Jenis ini merupakan
penyusun ekosistem hutan kerangas (heath forest). Untuk tanah alfisol terdapat di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sedangkan jenis oksisol
ditemukan di daerah bebatuan di Sabah dan Pegunungan Meratus di Kalimantan
Selatan (Sumber : http://www.kalsel.go.id, 2005).
Iklim
Secara umum, wilayah Pulau Kalimantan beriklim tropis dengan rata-rata
curah hujan tahunan > 254 cm/tahun. Hal tersebut mengakibatkan iklim musim
yang panjang, yaitu dari bulan November sampai dengan Mei. Bulan kering
umumnya terjadi antara bulan Mei sampai Oktober, sedangkan bulan basah
pada bulan November sampai April. Kondisi suhu udara relatif tetap, berkisar
antara 25° – 35° C di daerah dataran rendah. Sedangkan suhu rata-rata tahunan
Vegetasi
Borneo terletak di kawasan bercurah hujan konstan dan bersuhu tinggi
sepanjang tahun. Oleh karena itu, pulau ini memiliki beberapa habitat tropis
tersubur di muka bumi dan memiliki hutan basah tropis terluas di kawasan
Indomalaya. Hutan di pulau ini memiliki lebih dari 3.000 jenis pohon, termasuk
267 jenis Dipterocarpaceae, yang merupakan kelompok pohon kayu
perdagangan terpenting di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, pulau ini memiliki
lebih dari 2.000 jenis Anggrek dan 1.000 jenis Pakis.
Di sepanjang garis pantai ditumbuhi hutan mangrove maupun rawa. Untuk
Hutan mangrove, jenis vegetasi yang mendominasi adalah Avicenia sp,
Rhizophora sp, dan Bruguiera sp. Untuk hutan rawa didominasi oleh jenis Nyatoh (Palagium sp), Terentang (Campnosperma sp), Kempas (Koompassia sp),
Pelawan (Tristania sp), Lanan/Meranti Rawa (Shorea sp) dan Nipah (Nypa
frutican). Sedangkan untuk hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan dataran tinggi, didominasi oleh famili Dipterocarpaceae yang terdiri dari jenis-jenis
Meranti (Shorea sp), Keruing (Dipterocarpus sp) dan Kapur (Dryobalanops sp).
Jenis-jenis spesifikasi yang ada selain dari jenis tersebut ialah Ulin
(Euisideroxylon zwageri), Agathis (Agathis sp), dan Kayu Kuku (Pericopsis moniana) (Sumber : http://www.kalsel.go.id, 2005).
Satwa
Fauna Borneo menggambarkan sejarah geologi dan hubungannya dengan
daratan purba. Banyak fauna Borneo yang serupa dengan fauna daratan Asia
dan pulau Sunda lainnya, tetapi keserupaan dengan Sulawesi dan
pulau-pulau di sebelah timur hanya sedikit. Jenis satwa yang terdapat di pulau-pulau ini
antara lain orangutan, rusa, buaya. Beragam jenis monyet dan ular juga
mendominasi satwa di pulau ini. Kekayaan sumberdaya alam dilindungi dengan
didirikannya kawasan perlindungan seperti cagar alam dan suaka margasatwa
(Sumber : http://www.walhi.or.id, 2005).
Penduduk
Pulau Kalimantan dihuni oleh aneka ragam suku bangsa, seperti Melayu
dan Dayak sebagai suku bangsa pribumi yang mula-mula mendiami daratan
Kalimantan. Pada umumnya, mereka tinggal di daerah-daerah aliran sungai di
Etnis Dayak sendiri terbagi menjadi ± 200 etnik dengan Dayak Iban
sebagai etnis terbesar. Etnis ini mendiami wilayah sekitar Sungai Kapuas. Selain
itu, terdapat juga suku bangsa pribumi pendatang antara lain Bugis, Jawa,
Madura, Minangkabau, Sunda, Batak, serta etnis Cina-Indonesia sebagai bangsa
imigran dari Tiongkok/RRC.
Kalimantan berperan penting dalam pengembangan ekonomi Indonesia
dan merupakan salah satu penghasil devisa utama. Kekayaan ini bukan berasal
dari produk industri, juga bukan dari hasil pertanian dan perkebunan, melainkan
karena besarnya cadangan sumber daya alam berupa hutan, minyak, gas, batu
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Februari sampai dengan bulan
September 2005. Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium
Perencanaan Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Satelit SPOT 4
Vegetation hasil perekaman bulan Juli tahun 2001 dan 2004 dengan periode komposit 10 harian yang meliputi seluruh wilayah Kepulauan Asia. Data
pendukung lain berupa :
1. Citra Landsat ETM+ path 116 row 061 hasil perekaman tanggal 13
5. Peta vektor Pulau Kalimantan.
Sedangkan peralatan yang digunakan yaitu seperangkat PC (Personal
Computer) dengan perangkat lunak pengolah citra ERDAS Imagine 8.5, Arc View
3.2, ER Viewer 7.0 dan Microsoft Office.
Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap utama, yang terdiri dari kegiatan,
pengolahan awal citra (pre-image processing), pengolahan citra (image
processing), dan evaluasi hasil klasifikasi.
Pengolahan awal citra (pre-image processing)
Import data. Kegiatan ini dilakukan untuk mengubah format awal data mentah menjadi format yang dapat diolah oleh software pengolah citra. Proses
Sedangkan untuk data Landsat ETM+ dapat langsung menggunakan fungsi
import data pada ERDAS Imagine 8.5.
Layer stack. Pada tahap ini dilakukan pengintegrasian saluran spektral
dari tiap citra satelit. Kegiatan ini tidak mengubah karakteristik dari tiap band
yang digabungkan. Hasil dari tahap ini adalah citra dengan jumlah layer sesuai
dengan band yang diintegrasikan.
Koreksi geometrik. Koreksi geometri dilakukan untuk membetulkan koordinat peta karena adanya pergeseran obyek bumi akibat efek panoramik,
lengkung dan perputaran bumi (Harjadi, 2003). Teknik koreksi geometrik
dilakukan dengan rektifikasi. Atas dasar acuan yang digunakan, rektifikasi dapat
dibedakan atas :
a. Rektifikasi citra-ke-citra (image-to-image rectification)
b. Rektifikasi citra-ke-peta (image-to-map rectification)
Sedangkan teknik yang digunakan dalam mengoreksi kesalahan geometrik
adalah dengan menggunakan sejumlah titik kontrol lapangan (Ground Control
Point/GCP). Pendekatan ini adalah teknik yang sudah banyak dibuktikan keandalannya dan dapat mencapai ketelitian lebih kecil dari 1 piksel (Jaya,
2002b).
Koreksi radiometrik. Menurut Jaya (2002b), koreksi radiometrik dilakukan
untuk mengoreksi kesalahan yang terkait dengan nilai dijital (Brightness
Value/BV). Kesalahan ini dapat terjadi karena faktor internal yaitu kesalahan respon detektor ataupun faktor eksternal yaitu pengaruh atmosfer. Masalah
pengaruh atmosfer akan tampak apabila kita ingin membandingkan respon
spektral pada suatu lokasi yang direkam pada waktu yang berbeda. Dua teknik
koreksi radiometrik adalah pembetulan histogram (histogram adjustment) dan
pembetulan regresi (regression adjustment).
Penyekatan areal penelitian (cropping). Penyekatan ini dilakukan untuk membatasi wilayah yang menjadi areal penelitian yaitu Pulau Kalimantan.
Kegiatan ini dilakukan karena dalam satu scene citra tersebut meliputi areal
seluas 2250 km x 2250 km. Luasan tersebut meliputi keseluruhan wilayah
Kepulauan Asia, terbentang dari Semenanjung Malaya sampai Papua Nugini.
Penghilangan awan. Menurut Harjadi (2003), citra satelit dapat dipakai di Indonesia dan sangat jelas kenampakan obyek karena daerah tropika
pencahayaan matahari intensitasnya maksimal sepanjang tahun, kecuali pada
Kondisi tersebut bertentangan dengan kebutuhan citra satelit yang
dipergunakan untuk monitoring yaitu citra yang bebas dari gangguan awan.
Salah satu cara untuk mengurangi pengaruh gangguan tersebut adalah dengan
menggunakan komposit citra time series dari band asli sehingga diperoleh citra
yang relatif bersih dari penampakan awan.
Dalam Kartikasari (2004), tingkat keawanan pada komposit citra sepuluh
harian bervariasi, yaitu antara 90% sampai dengan 20% dan cenderung sangat
tinggi. Tingkat penutupan awan yang tinggi dijumpai terutama pada bulan basah
(Oktober-Februari) dengan rata 67,33% dan menjadi rendah dengan
rata-rata 37,15% pada bulan kering (Maret-September). Pembuatan komposit periode
bulanan mampu mengurangi penutupan awan dari 82,5% pada komposit 10 hari
menjadi 72,5%. Penggunaan metode komposit time series dalam setahun
terbukti mampu mengurangi penutupan awan hingga 5%.
Interpretasi visual citra satelit. Karakteristik spasial citra SPOT 4
Vegetation kurang detil apabila digunakan untuk mengenali kelas penutupan lahan di Pulau Kalimantan. Dalam Kartikasari (2004) disebutkan bahwa di dalam
citra satelit SPOT 4 Vegetation pada kombinasi 1-2-3-4 (all bands), hanya bisa
dikenali 3 kelas penutupan, yaitu air, awan, dan non keduanya. Oleh karena itu,
diperlukan kombinasi band yang dapat memperjelas visual kelas penutupan
lahan sehingga benar-benar dapat dibedakan satu sama lainnya. Komposit yang
digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah kombinasi band 4-3-2 yang
penampakan visualnya sama dengan Landsat ETM+ pada kombinasi 5-4-3 dan
perbedaan antar kelas penutupan menjadi lebih jelas. Kegiatan interpretasi visual
pada citra dilakukan berdasarkan overlay kelas penutupan lahan dari citra
Tabel 3 Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra Landsat ETM+ pada
kombinasi band 4-3-2 di Pulau Kalimantan
No Jenis kelas penutupan Ciri-ciri visual
1. Hutan dataran rendah
(lowland forest)
Berwarna merah kehitaman. Umumnya ditemukan di
sepanjang pantai.
4. Areal penanaman
(plantations)
Berwarna merah, mempunyai bentuk yang teratur.
5. Semak belukar (shrub) Berwarna merah muda dan bentuknya tidak teratur.
6. Areal terbuka
(open area)
Berwarna putih kehijauan, biasanya mempunyai
bentuk yang teratur dan luas.
7. Badan air
(water)
Berwarna biru sampai hitam.
8. Awan (cloud) Berwarna putih sampai putih kebiruan.
Sumber : Kartikasari, 2004
Tabel 4 Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra SPOT 4 Vegetation pada
kombinasi band 4-3-2 di Pulau Kalimantan
No Jenis kelas penutupan Ciri-ciri visual
1. Hutan dataran rendah (lowland forest) Berwarna hijau
2. Hutan rawa (swamp forest) Berwarna hijau tua
3. Hutan mangrove (mangrove forest) Berwarna hijau tua
4. Areal penanaman (plantations) Berwarna hijau muda hingga kekuningan
5. Semak belukar (shrub) Berwarna hijau muda
6. Areal terbuka (open area) Berwarna merah muda
7. Badan air (water) Berwarna biru
8. Awan (cloud) Berwarna putih
Sumber : Kartikasari, 2004
Pengolahan citra (image processing)
Pengenalan pola spektral. Dalam Purwadhi (2001) dijelaskan bahwa
pengenalan pola spektral (spectral pattern recognition) adalah mengevaluasi
informasi obyek berdasarkan ciri spektral yang disajikan oleh citra penginderaan
jauh. Pengenalan pola spektral dilakukan dengan bantuan komputer agar
Setiap kelas penutupan lahan memiliki karakteristik spektral khas yang
menjadi dasar klasifikasi. Pengenalan karakteristik dilakukan dengan pembuatan
training area tiap kelas penutupan lahan berdasarkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Menurut Jaya (2002b), training area merupakan prototipe dari sejumlah piksel
yang mewakili dari masing-masing kelas atau kategori yang diinginkan. Kegiatan
ini dilakukan dengan menentukan posisi contoh di lapangan dengan bantuan
citra warna komposit Landsat ETM+ .
Klasifikasi knowledge based. Menurut Jaya (2002b), klasifikasi merupakan pengelompokan piksel-piksel ke dalam kelas-kelas atau
kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value
atau digital number/DN).
Menurut Richards (1993), ada beberapa cara dalam klasifikasi knowledge
based, di antaranya yang paling sederhana adalah dengan penggunaan aturan.
Formula yang digunakan adalah if condition then inference. ‘Condition’ dalam
aturan ini merupakan ekspresi logika yang dapat bernilai benar atau salah.
Logika yang disusun menggunakan prinsip fungsi keanggotaan. Fungsi
keanggotaan diperoleh dengan menggunakan teknik fuzzy. Pada teknik ini, suatu
piksel memiliki kemungkinan untuk masuk lebih dari satu kelas penutupan lahan.
Pengambilan keputusan dalam klasifikasi berdasarkan fungsi keanggotaan
terbesar yang dimiliki oleh suatu piksel. Menurut Chen (2005), pendekatan fuzzy
tidak membutuhkan training area yang bersifat homogen seperti yang dibutuhkan
oleh metode klasifikasi supervised yang bersifat tradisional. Algoritma yang
disusun meliputi 2 langkah utama, yaitu perkiraan mengenai parameter fuzzy dari
training area dan klasifikasi fuzzy pada citra.
Evaluasi hasil klasifikasi
Penetapan akurasi dari klasifikasi citra satelit sangat penting untuk
mengevaluasi kualitas peta yang dikembangkan dari data penginderaan jarak
jauh. Keakuratan klasifikasi diperoleh dari perbandingan antara jumlah piksel
yang dikelaskan secara benar pada setiap kelas dengan jumlah contoh yang
digunakan (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Ukuran akurasi yang dipergunakan adalah overall accuracy, producer’s
accuracy, dan user’s accuracy. Overall accuracy merupakan perbandingan antara jumlah total area (piksel) yang diklasifikasikan dengan benar terhadap
citra hasil klasifikasi. Producer’s accuracy adalah probabilitas/peluang suatu piksel akan diklasifikasikan dengan benar dan secara rata-rata menunjukkan
seberapa baik setiap kelas di lapangan telah diklasifikasi. Sedangkan user’s
Pengenalan pola spektral
Interpretasi visual citra
Penyusunan Rule
Analisis dan uji akurasi
diterima tidak
Analisis multitemporal data Mulai
Penyamaan brightness
Gambar 1 Diagram alir penelitian
tidak Citra SPOT Vegetation
tahun 2004 Pengolahan awal citra
Citra SPOT Vegetation
tahun 2001
Klasifikasi
Selesai Klasifikasi
diterima Citra Landsat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Interpretasi Visual
Interpretasi visual merupakan tahapan pengenalan obyek melalui warna
kompositnya. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan komposit warna
dalam format RGB. Pemilihan kombinasi band yang digunakan berdasarkan
pada kejelasan informasi yang dapat diperoleh dari komposit tersebut. Selain itu,
setiap obyek juga dapat dikenali dari tekstur, bentuk, dan asosiasinya dengan
obyek lain. Jaya (2002b) menyatakan bahwa kombinasi yang digunakan
setidak-tidaknya satu dari band sinar tampak, satu dari inframerah dekat dan satu dari
inframerah sedang dianggap kombinasi yang cukup ideal karena menggunakan
band-band yang korelasi intra band-nya sangat kecil.
Dari penelitian terdahulu oleh Kartikasari (2004), disimpulkan bahwa kelas
penutupan terbaik yang mampu dibuat oleh citra satelit SPOT 4 Vegetation
adalah 5 kelas, yaitu kelas penutupan lahan vegetasi hutan alam, kelas
penutupan lahan vegetasi non hutan alam, kelas penutupan lahan areal terbuka,
badan air, dan awan. Kelas penutupan hutan alam termasuk di dalamnya adalah
hutan mangrove, hutan rawa, dan hutan dataran rendah. Kelas penutupan
vegetasi non hutan alam terdiri atas penutupan areal penanaman dan semak
belukar. Areal terbuka adalah penggabungan dari penutupan areal bekas
tebangan, pemukiman, dan areal terbuka alami. Badan air adalah hasil
Secara visual, kelima kelas penutupan lahan tersebut dapat dikenali
dengan jelas. Visualisasi piksel dari tiap kelas penutupan lahan hutan alam,
vegetasi non hutan alam, areal terbuka dan badan air pada kombinasi band 4-3-2
dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2 Piksel hutan alam Gambar 3 Piksel vegetasi non hutan
alam
Gambar 4 Piksel areal terbuka Gambar 5 Piksel badan air
Pengenalan Pola Spektral
Kegiatan utama dalam mengidentifikasi karakteristik spektral adalah
pembuatan training area dari setiap kelas penutupan lahan hasil interpretasi
visual. Pembuatan training area menggunakan bantuan data pendukung dari
citra satelit dengan resolusi lebih tinggi untuk memudahkan pengenalan secara
spasial. Data pendukung terdiri atas citra satelit Landsat ETM+ path 116 row 061
yang meliputi wilayah Balikpapan; path 117 row 058 yang meliputi wilayah
Tanjung Redeb, keduanya termasuk dalam wilayah Propinsi Kalimantan Timur;
path 119 row 062 yang meliputi wilayah Sampit, Propinsi Kalimantan Tengah;
dan path 120 row 060 yang meliputi wilayah Sintang, Propinsi Kalimantan Barat.
Gambar 6 Overlay citra Landsat ETM+ untuk pengenalan pola spektral
Training area yang telah dibuat di citra pendukung akan di-overlay
terhadap citra SPOT 4 Vegetation. Setiap kelas penutupan lahan akan
membentuk pola yang khas dalam hal nilai dijital pada setiap band.
Gambar 7 Grafik pola spektral penutupan lahan pada citra SPOT 4Vegetation
Dari grafik pada Gambar 7 dapat diketahui bahwa setiap penutupan lahan
akan membentuk pola yang khas pada setiap saluran spektral. Pada band sinar
tampak dapat dibedakan antara kelas penutupan yang bervegetasi dan areal
terbuka. Pada rentang panjang gelombang sinar tampak biru dan merah, 0
20 40 60 80 100
1 2 3 4
Band
N
ila
i D
N
Hutan alam
V egetas i non hutan alam A real terbuk a
penutupan bervegetasi memiliki reflektansi lebih rendah daripada areal terbuka.
Kondisi tersebut terjadi karena pada panjang gelombang 0,45 µm dan 0,65 µm
merupakan pusat penyerapan klorofil (Lillesand dan Kiefer, 1990). Sedangkan pada band inframerah, penutupan vegetasi memiliki reflektansi yang lebih tinggi dibandingkan pada band sinar tampak. Kondisi ini sesuai dengan respon penutupan vegetasi terhadap panjang gelombang inframerah. Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan bahwa pada julat antara 0,7 µm - 1,3 µm daun tetumbuhan memantulkan 50% tenaga yang datang padanya sebagian besar dari 50% energi selebihnya ditransmisikan, karena serapan pada daerah spektral ini minimal. Sebaliknya pada band 1 dan 2, klorofil daun akan menyerap panjang gelombang biru dan merah sehingga vegetasi tampak berwarna hijau.
Dari grafik juga terlihat bahwa penutupan areal terbuka memiliki reflektansi tertinggi apabila dibandingkan dengan ketiga kelas lainnya. Pantulan tanah sendiri dipengaruhi oleh faktor kandungan kelembaban tanah, tekstur tanah (susunan pasir, debu, dan lempung), kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi, dan kandungan bahan organik. Faktor-faktor tersebut sangat kompleks, bervariasi, dan saling berhubungan (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Pada band sinar tampak, reflektansi badan air lebih tinggi dibandingkan pada band sinar inframerah. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Lillesand dan Kiefer (1990) bahwa air jernih menyerap tenaga relatif sedikit pada panjang gelombang kurang dari 0,6 µm. Transmisi yang tinggi menandai panjang gelombang tersebut dan mencapai maksimumnya pada bagian spektrum biru-hijau. Identifikasi dan deliniasi tubuh air pada data penginderaan jauh dapat dilakukan dengan mudah pada panjang gelombang inframerah pantulan.
Klasifikasi Knowledge Based
Klasifikasi dengan metode ini menggunakan pengetahuan interpreter sebagai dasar pengklasifikasian. Pada penelitian ini, klasifikasi knowledge based diturunkan dari pengetahuan interpreter di antaranya pengetahuan mengenai karakteristik reflektansi spektral dari kelas penutupan lahan hasil interpretasi visual serta pengetahuan mengenai fungsi keanggotaan dari setiap kelas penutupan lahan tersebut. Fungsi keanggotaan diperoleh dari konsep logika fuzzy.
mengenali suatu penutupan lahan secara khas. Pengetahuan mengenai band
penentu diperoleh dari Gambar 7. Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa
band 1 (biru) dapat dipergunakan sebagai band penentu untuk penutupan areal
terbuka dan badan air. Band 2 (merah), dapat dipergunakan sebagai band
penentu penutupan hutan alam. Band 3 (NIR) merupakan band penentu untuk
vegetasi non hutan alam, areal terbuka, dan badan air. Sedangkan band 4
(SWIR) dapat dipergunakan sebagai band penentu untuk hutan alam, areal
terbuka, serta badan air.
Parameter yang dipergunakan untuk menyusun fungsi keanggotaan fuzzy
berasal dari nilai dijital piksel dari training area. Nilai dijital dari setiap kelas
penutupan lahan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5 Nilai dijital piksel pada training area
Sample Band Min Max Mean
Nilai yang tercetak tebal pada tabel di atas merupakan nilai pada band
penentu yang akan dipergunakan dalam penyusunan rule. Nilai tersebut akan
diposisikan sesuai dengan konsep logika fuzzy, di mana setiap piksel yang
berada pada rentang spektral pada setiap band untuk suatu penutupan lahan
akan memiliki derajat keanggotaan yang bernilai 1 sedangkan untuk nilai lain
akan memiliki derajat keanggotaan antara 0 sampai 1. Deskripsi fungsi
keanggotaan pada setiap band dapat dilihat pada Gambar 8 sampai dengan
0
Gambar 9 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 2
Gambar 10 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 3
Formula yang dipergunakan dalam penyusunan rule adalah jika derajat keanggotaan pada band penentu bernilai benar atau 1 maka suatu piksel
diklasifikasikan menjadi kelas penutupan lahan yang dimaksud. Selain
menggunakan rule dari band penentu, klasifikasi juga dilakukan dengan
menggunakan fungsi keanggotaan maksimum. Apabila suatu piksel memiliki
jumlah derajat keanggotaan kurang dari jumlah derajat keanggotaan yang
bernilai benar pada band penentu, maka rule disusun berdasarkan derajat
keanggotaan terbesar dari setiap penutupan lahan yang dimiliki piksel tersebut.
Deskripsi rule selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai dengan
Lampiran 4.
Klasifikasi dengan rule yang sama dilakukan pada citra SPOT 4 Vegetation
hasil perekaman tahun 2001 dan 2004. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui
kemampuan dari rule yang telah disusun dalam mengklasifikasikan setiap kelas
penutupan lahan pada tahun yang berbeda. Sebelum dilakukan klasifikasi maka
perlu diamati ada tidaknya perbedaan nilai spektral suatu penutupan lahan pada
citra multitemporal. Perbedaan nilai spektral tersebut dapat terjadi karena kondisi
atmosfer yang berbeda.
Pengaruh atmosfer pada citra yang digunakan untuk monitoring dapat
dikurangi dengan melakukan penyamaan brightness melalui koreksi efek
atmosfer. Harjadi (2003) menyatakan bahwa koreksi relatif efek atmosfer adalah
mengoreksi nilai numerik suatu citra dari dua tanggal pengambilan yang berbeda.
Pengoreksian dilakukan dengan mengasumsikan bahwa kedua citra tersebut
dalam kedudukan yang sama baik secara spasial maupun spektral. Koreksi
radiometrik dilakukan dengan menyamakan kedua citra dari tahun pengambilan
berbeda dengan persamaan linier. Sehingga nantinya untuk citra yang
diperbandingkan akan memiliki nilai radiometri, rerata dan sebaran baru yang
selaras dengan citra yang menjadi bahan bandingan.
Pada penelitian ini, koreksi radiometrik dilakukan pada citra SPOT 4
Vegetation tahun 2004 dengan citra tahun 2001 sebagai pengoreksi. Citra tahun
perekaman 2001 dipergunakan untuk mengoreksi karena rule yang telah disusun
menggunakan nilai dijital training area dari citra tahun 2001. Hasil dari koreksi ini
adalah rentang spektral baru untuk penutupan lahan pada citra tahun 2004 yang
Penampakan Visual Hasil Klasifikasi
Penampakan visual pada hasil klasifikasi yang diperoleh menunjukkan
adanya perbedaan yang jelas. Hasil klasifikasi pada citra tahun 2001
memperlihatkan beberapa penutupan lahan yang tidak dapat diklasifikasikan
dengan baik. Sebagai contoh, kondisi tersebut ditemukan pada penutupan hutan
alam yang terletak di wilayah Kalimantan Tengah. Piksel hutan alam tidak dapat
diklasifikasikan dengan baik karena pada wilayah tersebut terdapat awan atau
kabut tipis (haze). Penggunaan komposit time series bulanan dapat mengurangi
penutupan awan tebal tetapi tidak dapat menghilangkan keberadaan haze pada
citra multitemporal.
Keberadaan haze pada citra satelit dapat mengganggu analisis yang
dilakukan untuk monitoring. Gangguan haze dapat terjadi karena pengaruh
interaksi antara radiasi matahari dengan atmosfer bumi. Jaya (2002b)
menjelaskan bahwa interaksi ini akan menyebabkan distorsi radiometrik
eksternal yang tidak sistematis. Pengaruh dari interaksi tersebut dapat berupa
meningkatnya kecerahan (brigthness) apabila radiasi matahari dipencarkan
(scatttering) sementara apabila radiasi matahari diserap, maka akan
menyebabkan menurunnya brightness.
Hasil klasifikasi pada citra tahun 2001 menunjukkan bahwa pada daerah
yang tertutup haze diklasifikasikan sebagai penutupan selain hutan alam.
Sedangkan pada hasil klasifikasi tahun 2004, daerah tersebut diklasifikasikan
sebagai hutan alam (Gambar 12). Kondisi tersebut berpengaruh terhadap luasan
hutan alam hasil klasifikasi, di mana luas hutan alam tahun 2004 menjadi lebih
besar daripada luasnya pada tahun 2001.
Pada kasus seperti ini maka dilakukan analisis multitemporal untuk
memperbaiki rule yang telah dipergunakan sebagai dasar klasifikasi. Secara
temporal, suatu daerah yang pada tahun lebih muda merupakan penutupan
hutan alam, maka pada tahun yang lebih tua juga masih berupa penutupan yang
sama. Atas dasar pengetahuan tersebut, maka daerah yang tertutup haze pada
tahun 2001 akan diklasifikasikan sebagai hutan alam (Gambar 13). Analisis
Gambar 12 Hasil klasifikasi knowledge based pada citra tahun 2004
Gambar 13 Hasil klasifikasi knowledge based pada citra tahun 2001
Hutan alam
Areal terbuka
Badan air Keterangan
Vegetasi non hutan alam
Keterangan
Hutan alam
Vegetasi non hutan alam
Areal terbuka
Badan air
Berawan/Tidak ada data
Gambar 14 Analisis perubahan rule berdasar multitemporal data
Tahun 2001 Tahun 2001 terklasifikasi
Tahun 2004 Tahun 2004 terklasifikasi
Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi
Selain secara visual, hasil klasifikasi harus dapat dipertanggungjawabkan
secara obyektif. Analisa citra satelit bersifat obyektif karena dapat dikontrol dari
data statistik dengan tingkat ketelitian serta ketepatan klasifikasi (Harjadi,2003).
Pada pengujian akurasi ini digunakan titik-titik referensi berdasarkan hasil
delineasi pada citra referensi sehingga kemungkinan terjadinya konfusi matriks
sangat besar. Konfusi antar kelas penutupan lahan akan sangat mempengaruhi
nilai akurasi klasifikasi seperti yang tercantum pada matriks konfusi pada
Lampiran 7. Hasil analisis akurasi klasifikasi 4 kelas penutupan lahan dapat
dilihat pada matriks konfusi berikut.
Tabel 6 Matriks konfusi klasifikasi citra tahun 2001
Diklasifikasikan sebagai kelas
Producer’s accuracy tertinggi diperoleh pada penutupan areal terbuka
sebesar 100% dan terendah pada penutupan badan air yaitu 71,25%. User’s
accuracy tertinggi diperoleh pada penutupan badan air sebesar 100% dan terendah pada penutupan areal terbuka yaitu 78,3%. Kondisi tersebut terjadi
karena adanya konfusi antar kelas penutupan areal terbuka dengan badan air.
Tingkat akurasi klasifikasi keseluruhan dapat dilihat dari overall accuracy yaitu
sebesar 92,36%. Nilai akurasi di atas 85% berarti hasil klasifikasi dapat diterima
dengan tingkat kesalahan kurang atau samadengan 15%.
Nilai overall accuracy yang diperoleh dengan metode klasifikasi knowledge
based ini lebih tinggi daripada akurasi yang diperoleh dengan metode klasifikasi terbimbing lainnya. Penelitian di lokasi yang sama telah dilakukan oleh
Kartikasari (2004), di mana dari analisis akurasi diketahui bahwa klasifikasi
nilai akurasi sebesar 71,89% sedangkan dengan metode fuzzy classification
menghasilkan nilai akurasi sebesar 76,22%.
Luas Penutupan Lahan di Pulau Kalimantan
Pemantauan perubahan luas penutupan lahan pada suatu areal yang luas,
seperti pulau besar lebih efektif apabila dilakukan dengan menggunakan metode
penginderaan jauh satelit. Penggunaan metode inventarisasi terestris akan
memakan biaya dan waktu yang besar serta tidak dapat menjangkau daerah
dengan topografi yang sulit. Kondisi tersebut dapat diatasi karena adanya
karakteristik citra satelit di antaranya karakteristik spektral, spasial, serta
temporal. Ketiga jenis karakteristik tersebut mampu menyebabkan citra satelit
memberikan data untuk liputan daerah yang luas serta tingkat ketersediaan data
baru yang sangat cepat.
Pemanfaatan citra satelit untuk pemantauan luas penutupan lahan dalam
skala pulau besar telah dilakukan di Pulau Kalimantan. Salah satunya adalah
pemantauan penutupan lahan hutan dan non hutan yang diperoleh dari mosaik
citra satelit Landsat TM tahun 1999-2000. Hasil pemantauan dapat dilihat pada
Tabel 7. Keadaan penutupan vegetasi yang tercantum pada tabel tersebut tidak
memasukkan wilayah Sabah dan Serawak, serta Brunei Darussalam.
Tabel 7 Keadaan penutupan vegetasi di Kalimantan tahun 1999-2000
Luas Penutupan Lahan (ha) No Propinsi
Kalimantan 28.408.000 10.245.000 9.607.000 481.000 3.131.656
Sumber : Badan Planologi Kehutanan (2002)
Kelas penutupan hutan alam merupakan hasil penggabungan dari
mangrove primer, hutan rawa primer, serta hutan rawa sekunder. Kelas
penutupan vegetasi non hutan alam merupakan hasil penggabungan dari
penutupan hutan mangrove sekunder, hutan tanaman, semak/belukar,
perkebunan, belukar rawa, sawah, serta pertanian lahan kering dan pertanian
lahan kering campur semusim. Kelas penutupan areal terbuka merupakan hasil
penggabungan dari penutupan tanah terbuka, pemukiman, transmigrasi,
pertambangan, dan rawa. Sedangkan penutupan badan air merupakan hasil
penggabungan tubuh air dan tambak.
Data pada Tabel 7 dipergunakan sebagai pembanding hasil klasifikasi.
Perbandingan tersebut dilakukan untuk mengetahui ketepatan hasil klasifikasi
karena data yang bersumber dari Badan Planologi diperoleh dari citra satelit
Landsat ETM+ yang memiliki resolusi lebih baik daripada SPOT Vegetation.
Hasil dari perbandingan dipergunakan sebagai faktor koreksi luas setiap
penutupan lahan hasil klasifikasi. Luas setiap penutupan lahan hasil klasifikasi
yang telah dikoreksi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 8 Perkiraan luas penutupan lahan di Pulau Kalimantan
Luas (ha) No Kelas penutupan lahan
Tahun 2001 Tahun 2004
1 Hutan alam 19.697.252 17.521.170
2 Vegetasi non hutan alam 15.635.567 15.106.741
3 Areal terbuka 13.005.497 15.164.308
4 Badan air 360.156 395.339
5 Berawan/Tidak ada data 2.989.616 3.500.530
Dari luas di atas menunjukkan penutupan hutan alam yang konsisten
dibandingkan dengan data dari Badan Planologi. Kondisi ini ditunjukkan oleh
luasan hutan alam yang mengalami pengurangan dari tahun yang berbeda.
Secara umum, penutupan hutan alam dari tahun ke tahun mengalami
kecenderungan luasan yang semakin berkurang. Menurut FWI (2002),
penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun telah
menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Selain
itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala
besar dengan melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh. Pembukaan
hutan menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan