APLIKASI KLASIFIKASI
KNOWLEDGE BASED
DENGAN TEKNIK
FUZZY
PADA SPOT 4 VEGETASI
(STUDI KASUS DI PULAU SUMATERA)
OLEH :
WIRA FITRIA
E14101005
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
APLIKASI KLASIFIKASI
KNOWLEDGE BASED
DENGAN TEKNIK
FUZZY
PADA SPOT 4 VEGETASI
(STUDI KASUS DI PULAU SUMATERA)
WIRA FITRIA
Skripsi
Sebagai salah sat u syarat unt uk memperoleh gelar
Sarjana K ehut anan pada Fakult as K ehuut anan
I nstitut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
Judul Penelitian : APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETASI (STUDI KASUS DI PULAU SUMATERA )
Nama : WIRA FITRIA
NIM : E 14101005
Departemen : Manajemen Hutan Program Studi : Manajemen Hutan
Menyetujui :
Dosen Pembimbing
(Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.)
NIP. 131. 284 620
Mengetahui :
Ketua Departemen Manajemen Hutan
(Dr. Ir. Didik Suhardjito, MS.)
NIP. 132 104 680
RINGKASAN
WIRA FITRIA. Aplikasi Klasifikasi Knowledge Based dengan Teknik Fuzzy pada SPOT 4 Vegetasi (Studi Kasus di Pulau Sumatera). Di bawah bimbingan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.
Keberadaan hutan sangat penting dalam mendukung keberlangsungan hidup di muka bumi. Berbagai faktor dapat mengakibatkan terjadinya perubahan besar terhadap pola penggunaan lahan, termasuk lahan hutan. Monitoring perubahan penutupan dan penggunaan lahan berguna dalam proses pengambilan keputusan untuk perencanaan pembangunan kehutanan. Dalam kaitannya dengan situasi tersebut, pemanfaatan penginderaan jauh diharapkan dapat ditingkatkan untuk mengumpulkan data penting yang diperlukan khususnya yang berkaitan dengan pemantauan perubahan hutan, pemetaan penggunaan lahan dan pemetaan penurunan kualitas lahan hutan. Data citra dengan resolusi rendah seperti SPOT 4 Vegetasi berguna dalam menjelaskan distribusi berbagai tipe penutupan lahan, termasuk perbedaan tipe-tipe hutan untuk daerah yang luas seperti liputan untuk satu pulau besar. Kelebihan citra ini adalah resolusi temporalnya yang tinggi yaitu melakukan perekaman dengan periode harian serta relatif mudah diperoleh. Penggunaan pengetahuan interpreter (sering berupa pengetahuan kualitatif) sangat membantu ana lisis dan metode knowledge based yang lebih sederhana dapat memberikan hasil yang baik (Richard, 1993). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun klasifikasi knowledge based dengan bantuan teknik fuzzy pada SPOT 4 Vegetasi.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah citra satelit SPOT 4 Vegetasi periode perekaman Juni 2001 dan Agustus 2004. Selain itu digunakan data pendukung berupa citra satelit Landsat ETM+ serta peta Vektor Pulau Sumatera. Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai Ma ret 2005 dan dilanjutkan pada bulan Juni sampai September 2005. Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Perencanaan Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Metode penelitian meliputi kegiatan pengolahan awal citra, image processing dan evaluasi hasil klasifikasi penutupan lahan. Pada pengolahan awal citra dilakukan kegiatan import data, layerstack, koreksi geometrik (image to map rectification), cropping, penghilangan awan, dan interpretasi visual citra satelit. Kegiatan pada image processing adalah penge nalan pola spektral citra, klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy dan evaluasi klasifikasi secara kuantitatif.
Pada penelitian ini, klasifikasi knowledge based diturunkan dari pengetahuan interpreter mengenai karakeristik reflektansi spektral serta fungsi keanggotaan yang disusun dengan teknik fuzzy. Kombinasi pengetahuan interpreter dituangkan dalam aturan-aturan (rule s).
Logika yang digunakan dalam penyusunan rule adalah apabila fungsi keanggotaan suatu piksel pada band penentu bernilai benar maka piksel akan masuk pada kelas penutupan lahan yang dimaksud. Sedangkan untuk piksel fuzzy yang berada diluar rentang yakin atau fungsi keanggotaan kurang dari 1, maka klasifikasi dilakukan berdasar fungsi keanggotaan terbesar dari setiap penutupan lahan yang dimiliki oleh piksel tersebut.
Hasil klasifikasi pada citra tahun 2001 menunjukkan bahwa daerah tertutup haze akan diklasifikasikan sebagai awan atau pada kelas penutupan yang salah. Hal ini disebabkan meningkatnya kecerahan pada piksel yang tertutupi haze, sehingga nilai dijital piksel akan menjadi lebih besar. Saat diaplikasikan dengan rule yang sama pada citra tahun 2004, rule dapat menerangkan daerah yang tertutup haze pada citra tahun 2001. Secara temporal, suatu daerah yang pada tahun lebih muda merupakan penutupan hutan alam, maka pada tahun yang lebih tua juga masih berupa penutupan yang sama. Atas dasar pengetahuan tersebut, maka daerah yang tertutup haze pada tahun 2001 dan diklasifikasikan sebagai hutan alam pada 2004 akan diklasifikasikan sebagai hutan alam.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang Lawas pada tanggal 9 juli 1983 sebagai
putri keempat pasangan Bapak Rasul Hamidi YS (alm) dan Ibu Azmaidar.
Penulis menempuh pendidikan formal di SDN 27 Sumpadang Palaluar
dan SDN 04 Ranah Sigading pada tahun 1989 sampai dengan tahun 1995,
kemudian melanjutkan pendidikan pada SMPN 1 Tanjung Ampalu dari tahun
1995 sampai dengan tahun 1998. Setelah itu penulis menempuh pendidikan di
SMUN 1 Sijunjung sampai dengan tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan seleksi masuk IPB
(USMI) pada jurusan Mana jemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama melaksanakan studi di IPB, penulis pernah melakukan praktek
umum pengenalan dan pengelolaan hutan di KPH Banyumas Barat dan di hutan
jati KPH Ngawi, Getas. Selain itu penulis menempuh praktek kerja lapangan di
IUPHHK PT. Andalas Merapi Timber, Kabupaten Solok Selatan, Propinsi
Sumatera Barat.
Sebagai salah satu satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan maka penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan
judul “Aplikasi Klasifikasi Knowledge Based dengan Teknik Fuzzy pada SPOT 4
Vegetasi (Studi Kasus di Pulau Sumatera)” di bawah bimbingan Dr. Ir. M. Buce
KATA PENGANTAR
Data teknologi penginderaan jauh semakin berkembang dalam bentuk
data dijital berupa citra satelit. Data ini semakin mudah diakses oleh berbagai
pihak termasuk untuk bidang kehutanan. Oleh karena itu diperlukan suatu teknik
interpretasi citra yang dapat diaplikasikan untuk tujuan tertentu dengan cara yang
lebih praktis, waktu yang lebih singkat, biaya yang lebih murah, serta keakuratan
yang dapat diterima.
Penelitian ini berusaha untuk mendapatkan teknik interpretasi berupa
klasifikasi menggunakan knowledge based. Knowledge based selalu didasarkan
pada pengetahuan interpreter, dalam hal ini adalah pengetahuan terhadap nilai
spektral pada citra spot 4 vegetasi yang akan diklasifikasi. Knowledge based
digunakan untuk menyusun rule based dengan bantuan teknik fuzzy. Jensen
(1996) menyatakan bahwa fuzzy classification dirancang untuk membantu
pekerjaan dengan data yang tidak mungkin tergolong ke dalam satu kategori
dengan tepat. Kombinasi knowledge based dengan bantuan teknik fuzzy
menghasilkan rule based yang akan mengkelaskan setiap piksel pada citra pada
satu kelas tertentu.
Skripsi ini telah penulis susun dengan sebaik-baiknya, namun disadari
masih terdapat beberapa kekurangan. Semoga ilmu dan informasi yang terdapat
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur hanyalah untuk allah swt atas segala berkah-nya penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar
sarjana kehutanan pada fakultas kehutanan ipb.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih pada :
1. Bapak Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing atas segala
ilmu, nasehat, dan arahan kepada penulis selama penelitian dan penulisan
karya ilmiah ini. Semoga ilmu yang bapak berikan menjadi ilmu yang
berguna.
2. Bapak Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS selaku dosen penguji dari
Departemen Hasil Hutan dan Bapak Ir. Nandi Kosmaryandi, MSc . F selaku
dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata atas arahan dan saran dalam penyempurnaan karya ilmiah ini.
3. Mama dan keluarga tercinta di tanjung ampalu dan bekasi, atas segala doa,
kasih sayang, motivasi dan pengorbanan untuk penulis.
4. Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc yang telah membantu
memberikan data berupa peta dan citra satelit.
5. Kakak kelas yang telah membantu memahami ERDAS (Retna ’36, Tejo
’37, dan Gita ’37)
6. Teman-teman Manajemen Hutan 38 tercinta, atas kebersamaan dan
ketulusan selama berada di fahutan.
7. Ayurani Prasetiyo dan Lukmanul Hakim, teman seperjuangan atas
kerjasama dan bantuannya.
8. Teman-teman di SQ atas segala keceriaan selama hampir 3 tahun bersama.
9. Bapak yang baik hati, untuk segala waktu, semangat dan ’Lentera
Hati’nya.
10. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Bogor, Desember 2005
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI... i
DAFTAR TABEL... iii
DAFTAR GAMBAR... iv
DAFTAR LAMPIRAN... v
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Tujuan... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penginderaan Jauh ... 3
B. Citra Satelit SPOT 4 Vegetasi... 3
C. Citra Satelit Landsat ETM+ ... 4
D. Karakteristik Reflektansi Spektral... 5
E. Klasifikasi Penutupan Lahan... 6
F. Klasifikasi Knowledge Based... 7
G. Perubahan Penutupan Lahan... 8
III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian... 9
B. Alat dan Bahan... 9
C. Metode Penelitian 1. Pengolahan Awal Citra ... 9
a. Import data... 10
b. Layerstack... 10
c. Koreksi geometrik ... 10
d. Penyekatan areal penelitian (cropping) ... 10
e. Penghilangan awan... 10
f. Interpretasi visual citra satelit ... 11
2. Image Processing... 11
a. Pengenalan pola spektral... 11
b. Klasifikasi knowledge based... 12
c. Evaluasi hasil klasifikasi ... 13
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas ... 15
B. Wilayah Administrasi... 15
C. Kondisi Fisik 1.Musim dan Iklim ... 15
2.Topografi... 16
3.Keadaan Tanah... 16
4.Hidrologi ... 17
D. Flora dan Fauna ... 17
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Interpretasi Visual Citra... 18
B. Image Processing... 18
1.Pengenalan Pola Spektral... 18
2.Klasifikasi Knowledge Based... 20
3.Analisis Multitemporal Citra... 23
4.Evaluasi Hasil Klasifikasi... 27
C. Perubahan Penutupan Lahan di Pulau Sumatera ... 27
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan... 30
B. Saran... 30
DAFTAR PUSTAKA... 29
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Karakteristik band pada SPOT 4 Vegetasi ... 4
2 Jenis tanah di pulau Sumatera dan daerah penyebarannya ...16
3 Rekapitulasi nilai dijital setiap kelas penutupan lahan...21
4 Hasil analisis akurasi klasifikasi pada citra tahun 2001 ... 25
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram alir penelitian ... 5
2 Piksel hutan alam ... 18
3 Piksel vegetasi non hutan alam ... 18
4 Piksel areal terbuka ... 18
5 Piksel badan air ...18
6 Posisi Landsat ETM+ untuk pengenalan pola spektral...19
7 Grafik pola spektral penutupan lahan...19
8 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 1 ...22
9 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 2 ...22
10 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 3 ...22
11 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 4 ...22
12 Hasil klasifikasi knowledge based citra tahun 2004...…23
13 Hasil klasifikasi knowledge based citra tahun 2001...…23
14 Perbaikan citra hasil klasifikasi tahun 2001...23
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Rule based penutupan hutan alam ... 33
2 Rule based penutupan vegetasi on hutan alam... 33
3 Rule based penutupan areal terbuka ... 34
4 Rule based penutupan badan air ...34
5 Rule based penggabungan...35
6 Matriks konfusi hasil klasifikasi citra tahun 2001 ...36
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan hutan sangat penting dalam mendukung keberlangsungan
hidup di muka bumi. Hutan memegang peranan dalam pembangunan sosial
ekonomi di banyak negara dengan menyediakan bahan baku bagi berbagai
industri, berupa kebutuhan dasar seperti kayu, serat, dan sebagainya. Bagi
penduduk lokal hutan menjadi tempat menggantungkan hidup dan sumber mata
pencarian utama. Hutan juga memegang peranan penting dalam konservasi
keanekaragaman hayati, perlindungan aliran air, konservasi tanah serta dalam
mempertahankan iklim global.
Berbagai faktor dapat mengakibatkan terjadinya perubahan besar
terhadap pola penggunaan lahan, termasuk lahan hutan. Sejalan dengan tingginya
pertumbuhan penduduk, usaha untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka
peningkatan kemakmuran juga semakin meningkat. Di samping itu, adanya
permintaan terhadap lahan yang sangat besar untuk sektor non kehutanan
mengakibatkan berubahnya penggunaan lahan dari hutan menjadi non hutan.
Bencana alam yang besar dapat mengakibatkan terjadinya perubahan penutupan
lahan secara permanen sehingga penggunaannya juga harus dialihkan.
Monitoring perubahan penutupan dan penggunaan lahan berguna dalam
proses pengambilan keputusan untuk perencanaan pembangunan. Dalam
kaitannya dengan situasi tersebut, pemanfaatan penginderaan jauh diharapkan
dapat ditingkatkan untuk mengumpulkan data penting yang diperlukan khususnya
yang berkaitan dengan pemantauan perubahan hutan, pemetaan penggunaan lahan
dan pemetaan penurunan kualitas lahan hutan. Informasi yang diperoleh tidak
terbatas pada inventarisasi hutan, tetapi data yang berkaitan dengan masukan
dalam pengelolaan dan perencanaan hutan.
Satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk memperoleh secara
cepat informasi yang agak umum tentang kebijakan kehutanan pada tingkat
nasional, memberikan rekaman visual yang permanen tentang bentang lahan dan
untuk pemantauan perubahan hutan pada tingkat benua atau regional untuk suatu
telah meningkat dengan cepat. Hal ini juga dipercepat dengan adanya peningkatan
minat dalam studi menggunakan satelit lingkungan yang mempunyai resolusi
sangat rendah tetapi periode ulang sangat baik.
Data citra dengan resolusi rendah seperti SPOT 4 Vegetasi berguna
dalam menjelaskan distribusi berbagai tipe penutupan lahan, termasuk perbedaan
tipe-tipe hutan. Kelebihan citra ini adalah resolusi temporalnya yang tinggi yaitu
melakukan perekaman dengan periode harian serta relatif mudah diperoleh.
Pengklasifikasian penutupan lahan dari citra ini dapat digunakan sebagai data
pendukung dalam proses pengambilan keputusan.
Pengklasifikasian dapat dilakukan secara kualitatif dengan lebih banyak
melibatkan interpreter dan secara kuantitatif dengan menggunakan device
tertentu. Klasifikasi secara kuantitatif umumnya membutuhkan perhitungan
algoritma yang kompleks namun dapat dilakukan secara mudah dengan perangkat
lunak yang telah diprogram untuk pengolahan data penginderaan jauh. Adopsi
’expert system’ atau metode ‘knowledge based’ menjanjikan dalam hal ini.
Penggunaan pendekatan tertentu dapat dipandu oleh pilihan individu dan
perangkat lunak yang tersedia. Penggunaan pengetahuan interpreter (sering berupa
pengetahuan kualitatif) sangat membantu analisis. Metode knowledge based yang
lebih sederhana dapat memberikan hasil yang baik, sehingga dapat dipilih untuk
tujuan tertentu (Richard, 1993).
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun teknik klasifikasi
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena
yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Penginderaan jauh saat ini tidak hanya
terbatas sebagai alat pengumpulan data mentah, tetapi juga mencakup pemrosesan
data mentah secara manual dan otomatis, dan analisis citra serta penyajian hasil
yang diperoleh.
Menurut Lintz Jr. dan Simonett (1976) dalam Lo (1995), dalam
pengenalan obyek yang tergambar pada citra terdapat tiga rangkaian kegiatan,
yaitu :
1. deteksi, yaitu pengamatan atas adanya suatu obyek
2. identifikasi, yaitu upaya mencirikan obyek yang telah dideteksi dengan
menggunakan keterangan yang cukup
3. analisis, yaitu pengumpulan data lebih lanjut
Menurut Jaya (2002), berdasarkan perkembangan teknologi platform dan
sensor, penginderaan jauh dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu
penginderaan jauh pesawat (airborne remote sensing, ARS) dan penginderaan
jauh satelit, sedangkan berdasarkan sifat sumber energi elektromagnetik yang
digunakan penginderaan jauh dibedakan atas:
1. penginderaan jauh pasif
adalah suatu sistem yang menggunakan sumber energi yang telah ada (
reflektansi energi matahari / radiasi dari obyek secara langsung)
2. penginderaan jauh aktif
adalah suatu sistem yang menggunakan sumber energi buatan
(microwave).
B.Citra Satelit SPOT 4 Vegetasi
SPOT atau Systeme Probatoire d’Observation de la Terre merupakan
Monitoring Instrument) yang berguna di dalam pemantauan untuk wilayah yang
luas. Vegetation merupakan program satelit yang dimiliki secara gabungan oleh
Perancis, Komisi Eropa, Belgia, Italia dan Swedia. Komponen satelit atau sensor
ini diluncurkan pada bulan Maret 1998 diatas satelit SPOT 4. Sensor satelit ini
didesain untuk melakukan perekaman dengan periode harian dan mempunyai
resolusi 1 km2. Sensor tersebut menggunakan 4 saluran yang meliputi 2 band sinar
tampak biru dan merah (blue dan red), 1 band infra merah dekat (NIR, Near Infra
Red), dan 1 band infra merah gelombang pendek (SWIR, Short Wave Infrared)
Tabel 1 Karakteristik band pada SPOT 4 Vegetasi
Band Panjang
gelombang (µ m)
Kegunaan
1. Blue 0.43-0.47 Penetrasi tubuh air dengan baik sehingga baik untuk pemetaan perairan pantai, pembedaan tanah dan vegetasi, analisa tanah dan air dan pembedaan tumbuhan berdaun lebar dan konifer
2. Red 0.61-0.68 Diskriminasi vegetasi yang berguna untuk pembedaan jenis tumbuhan. Puncak penyerapan klorofil pada panjang gelombang 0.665 ìm sehingga baik untuk inventarisasi vegetasi dan penilaian kesuburan
3. Near Infra
Red
0.78-0.89 Reflektansi vegetasi maksimal terjadi pada band ini yang pada dasarnya berhubungan dengan struktur kanopi dan persentase penutupan vegetasi di permukaan bumi. Saluran ini penting untuk pemisahan kelas vegetasi dan memperkuat kontras antara penampakan vegetasi dan non vegetasi
4. Short Wave Infrared
1.58-1.75 Saluran yang peka terhadap akumulasi biomassa vegetasi. Identifikasi jenis tanaman dan memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air Sumber : Vegetation Overview (2000)
C.Citra Satelit Landsat ETM +
ETM + (Enhanced Thematic Mapper +) adalah sensor yang ditambahkan
pada satelit Landsat 7. Sensor satelit ini mempunyai karakteristik band yang
hampir sama dengan Landsat TM (Thematic Mapper) yaitu : 3 band sinar tampak
serta terdapat tambahan band pankromatik pada sensor satelit ini. Satelit ini
mempunyai resolusi spasial yang lebih tinggi daripada SPOT 4 Vegetasi.
D.Karakteristik Reflektansi Spektral
Menurut Howard (1996), spektrum matahari untuk tujuan praktis dapat
dianggap mempunyai panjang gelombang antara 0.30 µm dan 3.0 µm; tetapi
untuk penginderaan jauh pasif batasan spektrum tersebut dapat lebih jauh. Batas
untuk penginderaan jauh pasif dalam kehutanan adalah pada spektrum infra merah
tengah, dengan adanya intensitas rendah untuk irradiasi matahari pada permukaan
bumi, dikombinasikan dengan penurunan daya pantul spektral vegetasi dan
saluran yang terjadi penyerapan air secara kuat, yaitu sekitar 2.3 µm - 2.4 µm.
Dalam studi biologi, penting untuk membedakan antara pantulan spektral
dan daya pantul spektral untuk menghindari kesalahan dalam melakukan
interpretasi data (Howard, 1966). Pengukuran daya untuk tanah, dan lain-lain
menghasilkan pembacaan yang tetap dengan mengabaikan ketebalan dari contoh
benda yang diukur. Berbeda dengan itu, daun/tajuk hutan memberikan
pengukuran yang bervariasi dengan indeks luas daun dan faktor lainnya yang
berkaitan dengan adanya tampalan vegetasi (Howard, 1996)
Menurut Jaya (2002), radiasi yang dideteksi oleh sistem penginderaan
jauh umumnya :
1. refleksi cahaya atau energi matahari
2. panas yang dipancarkan oleh setiap obyek yang mempunyai suhu lebih
besar dari 0 K
3. refleksi gelombang mikro
Air jernih memantulkan sekitar 10 % pada berkas sinar biru dan hijau,
hanya sedikit sekali pada berkas sinar merah, dan tidak ada sama sekali pada infra
merah. Tanah mempunyai reflektansi yang mendekati monotonikal terhadap
panjang gelombang 1,4 µm, 1,9 µm dan 2,7 µm yang tampak banyak ditentukan
oleh pigmentasi tumbuh-tumbuhan. Band penyerap klorofil terletak pada daerah
sinar biru dan merah.
Pantulan spektral untuk vegetasi sehat berdaun hijau dipengaruhi oleh
menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat pada sekitar 0.4 µm dan
0.6 µm. Berdasarkan hal itu maka kita menangkap vegetasi sehat berwarna hijau
disebabkan oleh besarnya penyerapan energi pada spektrum hijau. Apabila suatu
tumbuhan mengalami beberapa bentuk gangguan, yang mempengaruhi proses
pertumbuhan dan produksinya yang normal, maka hal itu akan mengurangi atau
mematikan produksi klorofil. Akibatnya terjadi penurunan serapan oleh klorofil
pada saluran biru dan merah. Sering pantulan pada spektrum merah bertambah
hingga kita lihat tumbuhan tampak berwarna kuning, gabungan antara hijau dan
merah.
Mendekati spektrum infra merah, pantulan vegetasi sehat meningkat pada
rentang 0.7 µ m-1.3 µm, pada rentang ini daun tumbuhan memantulkan 50 %
tenaga yang datang padanya dan sebagian besar dari 50 % energi selebihnya
ditransmisikan, karena serapan pada daerah spektral ini minimal. Pantulan
tumbuhan pada panjang gelombang 0.7 µm-1.3 µm terutama dihasilkan oleh
struktur internal tumbuhan tersebut. Pengukuran pantulan pada panjang
gelombang ini memungkinkan untuk melakukan pemisahan spesies tumbuhan
karena struktur internal banyak berbeda untuk berbagai spesies tumbuhan
(Lillesand dan Kiefer, 1979).
E. Klasifikasi Penutupan Lahan
Klasifikasi diartikan sebagai proses mengelompokkan piksel-piksel ke
dalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai
kecerahan (brightness value/BV atau digital number/DN) piksel yang
bersangkutan (Jaya, 2002).
Lahan merupakan material dasar dari suatu lingkup (situs), yang
diartikan berkaitan dengan jumlah karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah,
topografi, hidrologi dan biologi (Aldrich, 1981 dalam Lo, 1995).
Menurut Lo (1995), tiga kelas data yang mencakup dalam penutupan
lahan secara umum adalah :
1. struktur fisik yang dibangun oleh manusia
2. fenomena biotik vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan bentang
F. Knowledge Based Classification
Knowledge based classification dicirikan dengan adanya penyusunan
rule (aturan) oleh interpreter. Dalam Richard (1993) dijelaskan bahwa analisa
sistem berdasarkan rule adalah cara yang efektif untuk menangani data citra multi
resolusi, sebagai contoh, rule dapat diaplikasikan sebagai awal untuk melihat
apakah terdapat pengakuan dari label yang tersedia pada piksel-piksel data citra
dengan resolusi rendah. Jika ada maka sumber data dengan resolusi spasial tinggi
tidak diperlukan, dan waktu untuk proses data dapat dihemat. Namun sistem
berdasarkan rule hanya dapat memberi dukungan yang lemah terhadap label yang
tersedia dalam basis data resolusi rendah, sehingga kemudian harus digabung
dengan sumber data yang beresolusi tinggi untuk melihat apakah ada piksel-piksel
yang lebih kecil yang dapat diberi label dengan tingkat kepastian yang lebih
tinggi. Hal seperti ini dapat menjadi contoh kasus pada daerah urban dimana
piksel-piksel dengan resolusi rendah akan susah diklasifikasikan karena
merupakan campuran dari vegetasi dan bangunan.
Untuk menyusun rule dalam pengklasifikasian citra dapat digunakan
teknik fuzzy. Menurut Zadeh, 1966 dalam Pal dan Majumder (1986), teori
kumpulan fuzzy merupakan alat matematik dan teknik yang cocok dalam
menganalisis sistem-sistem yang kompleks dan proses keputusan yang
ketidaktentuan polanya disebabkan variabilitas bawaan dan/atau samaran
(kefuzzian) daripada keacakan (randomness). Tidak terdapat batasan yang tepat
disebabkan kefuzzian bawaan daripada keacakan dalam pola -pola. Dengan cara
yang sama, karena sebuah grey tone gambar memiliki beberapa ambiguitas di
dalam piksel disebabkan tingkat kecemerlangan berharga ganda yang mungkin,
jelaslah diterapkan konsep dan logika kumpulan fuzzy daripada teori kumpulan
biasa terhadap sebuah masalah pemrosesan citra. Dengan kenyataan ini dalam
sebuah citra dapat dianggap sebagai deretan (array) singleton fuzzy, yang
setiapnya memilih sebuah harga fungsi keanggotaan yang menyatakan tingkat
G. Perubahan Lahan
Perubahan lahan terdiri dari perubahan yang bersifat tetap (land use) dan
bersifat sementara (land cover). Perubahan yang bersifat tetap artinya perubahan
dari satu jenis penggunaan menjadi penggunaan lahan jenis lain, sedangkan
perubahan sementara artinya yang berubah hanya penutupan lahannnya, jenis
penggunaan lahannya tetap (Lo, 1981).
Sunar, 1996 dalam Sumantri (2004) menyatakan bahwa dalam
pemantauan perubahan secara digital, respon spektral suatu piksel pada dua waktu
akan berbeda jika penutupan lahan berubah dari satu penutupan lahan ke
penutupan lahan yang lain. Band yang sensitif terhadap perubahan dapat
ditentukan dengan karakteristik reflektansi spektral masing-masing band terhadap
vegetasi, tanah dan air. Analisis perubahan lahan dapat dilakukan dengan
beberapa metode diantaranya : image overlay, diferensiasi citra (image
differencing), analisis komponen utama (principa l component analysis), dan
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan sejak bulan Januari sampai Maret 2005,
dan dilanjutkan pada bulan Juni sampai Agustus 2005. Pengolahan data
dilaksanakan di laboratorium Perencanaan Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah :
1. Citra satelit SPOT 4 Vegetasi untuk wilayah Asian Island, dengan resolusi
spasial 1 km x 1 km.
2. Citra satelit landsat ETM path 123 row 064 tahun 2001, path 126 row 060
tahun 2001, path 126 row 061, path 128 row 060, path 127 row 059, path
127 row 060 dan path 131 row 057.
3. Peta Vektor wilayah Sumatera.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Seperangkat komputer pribadi (personal computer) dengan software
ERDAS IMAGINE ver 8.5 sebagai pengolah data citra, ER Viewer 7.0e, dan
Microsoft Office (Microsoft Word, Microsoft Excel).
C. Metode Penelitian 1. Pengolahan Awal Citra
Relief permukaan bumi yang begitu kompleks tidak bisa direkam secara
sempurna oleh sensor penginderaan jauh. Oleh karena itu data yang direkam pada
umumnya masih mengandung distorsi yang dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas data/c itra yang diperoleh. Maka untuk menghilangkan
kesalahan data sebelum dilakukan analisa lebih lanjut, perlu dilakukan pra
pengolahan citra yang nantinya akan menghasilkan citra yang telah dikoreksi
secara geometrik.
Sebelum data diolah lebih lanjut, sebelumnya harus dilakukan beberapa
a. Import data
Import data dilakukan untuk merubah format data citra awal yang
tersedia ke dalam format data yang dapat diolah oleh komputer.
b. Layerstack
Layer stack merupakan tahapan pengintegrasian saluran-saluran spektral
pada data citra (blue, red, near infrared, short wave infrared) untuk disusun
menjadi satu tumpukan / lapisan/ layer saluran spektral data citra satelit.
c. Koreksi geometrik
Rektifik asi adalah teknik koreksi geometris untuk memproyeksikan data
pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan peta. Koreksi
ini dilakukan untuk memudahkan pengecekan obyek citra di lapangan,
memudahkan penggabungan citra dengan sumber data lain agar tidak mengalami
distorsi luas sehingga memungkinkan dilakukan perbandingan piksel demi piksel
(Jaya,2002).
Atas dasar acuan yang digunakan, rektifikasi dapat dibedakan atas :
1. rektifikasi citra ke citra (image to image rectification)
2. rektifikasi citra ke peta (image to map rectification)
Koreksi geometrik dimulai dengan memilih sejumlah titik -titik kontrol
lapangan (ground control point, GCP). GCP adalah suatu titik pada permukaan
bumi yang diketahui koordinatnya baik pada citra (kolom/piksel dan baris)
maupun pada peta (yang diukur dalam lintang bujur feet atau meter). Syarat
pemilihan GCP adalah tersebar merata di seluruh citra dan relatif permanen atau
tidak berubah dalam kurun waktu yang pendek (seperti jalan, jembatan, sudut
bangunan dan sebaga inya) (Jaya, 2002).
d. Cropping
Cropping atau pemotongan citra dilakukan dengan membatasi areal
penelitian, cropping dilakukan untuk mendapatkan data citra satu pulau Sumatera.
e. Penghilangan awan
Preproceed data yang tersedia yaitu perekaman tiga kali dalam sebulan
mengandung banyak tutupan awan (Vegetation Overview, 2000). Untuk dapat
mengoptimalkan kegiatan pengidentifikasian kelas penutupan lahan maka sedapat
Salah satu cara menghilangkan penampakan awan adalah dengan
memanfaatkan data time series dari band asli sehingga diperoleh citra yang relatif
bersih dari awan. Beberapa time series data dikomposit dengan fungsi Statistical
Nilai Minimum. Pemilihan metode ini disebabkan nilai digital penutupan awa n
yang lebih tinggi dibandingkan nilai digital penutupan non awan pada semua band
sehingga dengan menggunakan komposit nilai minimum diharapkan akan
menghasilkan komposit citra time series yang mengandung sedikit penutupan
awan.
f. Interpretasi visual citra
Analisis visual (interpretasi secara visual citra satelit) merupakan suatu
kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi obyek-obyek yang ada di
permukaan bumi yang tampak pada citra dengan mengenalinya atas dasar
karakteristik spasial, spektral dan temporal. Pendekatan ini melibatkan
analis/interpreter untuk mendapatkan informasi yang terekam pada citra dengan
cara interpretasi visual. Keberhasilan ini sangat bergantung pada analis di dalam
mengeksploitir secara selektif obyek-obyek yang tampak pada citra. Interpretasi
visual dilakukan pada citra satelit Landsat ETM + dan SPOT 4 Vegetasi untuk
mengidentifikasikan sebaran dan jumlah kelas penutupan lahan yang terdapat di
areal penelitian sehingga mempermudah dalam menentukan kelas penutupan yang
akan diklasifikasikan. Oleh karena itu dipilih kombinasi 3 saluran dalam format
RGB yang mempunyai karakteristik khusus untuk memperoleh warna komposit
yang paling jelas pada setiap jenis penutupan.
2. Image Processing
a. Pengenalan pola spektral
Dari penelitian terdahulu didapatkan bahwa citra SPOT 4 Vegetasi dapat
membedakan 5 kelas penutupan lahan yaitu hutan alam, vegetasi non hutan alam,
areal terbuka, badan air dan awan. Identifikasi nilai spektral citra dilakukan
dengan pembuatan training area dalam menentukan penciri kelas (class
signature). Training area merupakan suatu kegiatan mengidentifikasi prototipe
dari sejumlah piksel yang mewakili dari masing-masing kelas atau kategori yang
di lapangan dengan bantuan citra warna komposit Landsat ETM+ sebagai citra
referensi dan peta vegetasi untuk setiap kelas penutupan lahan.
Untuk pembuatan training area digunakan data citra satelit Landsat
ETM+ pada 7 wilayah Sumatera, meliputi Aceh (path 131 row 057), Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Riau dan Jambi (path 126 row 060 tahun 2001, path 126
row 061, path 128 row 060, path 127 row 059,dan path 127 row 060), serta
daerah Lampung (path 123 row 064 tahun 2001).
b. Klasifikasi knowledge based
Ada beberapa cara yang dapat ditangkap dan dicatat oleh para ahli untuk
penggunaan sistem analisa dengan knowledge based. Yang paling sederhana dan
yang paling umum adalah dengan menggunakan aturan-aturan (rules) (Richard,
1993).
Pembuatan aturan dalam knowledge based classification dimulai dengan
menentukan membership function bagi tiap piksel pada citra. Dalam Pal dan
Majumder (1986) diterangkan bahwa sebuah kumpulan fuzzy (A) dalam sebuah
ruangan titik -titik X = {x} ialah sebuah kelas kejadian (class of events) dengan
sebuah mutu keanggotaan kontinu (grade of membership) dan ditandai oleh
sebuah fungsi keanggotaan µA (x) yang dihubungkan dengan setiap titik dalam X
oleh sebuah bilangan real dalam interval [0,1] dengan nilai µA (x) pada x
menyatakan mutu keanggotaan x dalam A. Secara formal, sekumpulan fuzzy A
dengan sejumlah penyokong hingga x1, x2, …, xn didefinisikan sebagai kumpulan
pasangan yang diurutkan :
A = {(µA(xi), xi), i= 1, 2, …, n}
Dimana penyokong A adalah subkumpulan X yang didefinisikan sebagai
S(A) = {x, xåX dan µA(x) > 0}
µi, mutu keanggotaan xi dalam A, menyatakan tingkat yang sebuah kejadian xi
boleh menjadi anggota A atau kepunyaan A. Fungsi karakteristik ini ternyata
dapat dipandang sebagai suatu koefisien pembobotan yang merefleksikan
ambiguitas dalam sebuah kumpulan dan jika ia mencapai harga satu, mutu
Menurut Jaya (1997), klasifikasi merupakan proses pengelompokan
piksel-piksel ke dalam kelas-kelas atau kategori-kategor i yang telah ditentukan
berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/BV atau digital number/DN) yang
bersangkutan. Pada penelitian ini klasifikasi dilakukan berdasarkan aturan yang
didapat berdasar knowledge based dengan teknik fuzzy.
Klasifikasi dilakukan berdasarkan aturan yang dihasilkan. Peneliti
memegang peranan utama dalam memberikan pertimbangan. Pada setiap langkah
dalam proses ini, suatu kesimpulan dapat memiliki pertimbangan yang valid dan
kebalikannya. Hal ini memungkinkan untuk menduga label yang paling
mendukung untuk penentuan kelas. Aturan ini disebut endorsement (pengesahan)
(Richard, 1993).
Aturan yang dihasilkan diaplikasikan pada tahun yang berbeda. Hal ini
dimaksudkan untuk memperbaiki rule yang telah dihasilkan.
c. Evaluasi hasil klasifikasi
Akurasi klasifikasi dapat dievaluasi dengan cara membuat matriks contingency
atau biasa disebut confusion matrix (matriks konfusi). Ukuran akurasi yang dapat
dihitung berdasarkan matriks ini adalah overall accuracy, producer’s accuracy,
dan user’s accuracy.
Overall accuracy merupakan perbandingan antara jumlah total area (piksel) yang
diklasifikasikan dengan benar terhadap jumlah total area (piksel) observasi.
Akurasi ini menunjukkan tingkat kebenaran citra hasil klasifikasi. Producer’s
accuracy adalah probabilitas suatu piksel akan diklasifikasikan dengan benar dan
secara rata-rata menunjukkan seberapa baik setiap kelas di lapangan telah
diklasifikasi. Ukuran ini juga dapat digunakan untuk menduga rata -rata dari
kesalahan omisi (omission error), yang terjadi jika suatu area di lapangan tidak
diklasifikasi pada kelas yang benar. User’s accuracy adalah probabilitas rata-rata
suatu piksel dari citra yang telah terklasifikasi secara aktual mewakili kelas-kelas
tersebut di lapangan. Ukuran ini dapat digunakan untuk menduga rata -rata dari
kesalahan komisi (commission error), yang terjadi jika suatu area diklasifikasikan
Gambar 1. Diagram alir penelitian Mulai
Pengolahan awal citra tahu n 2001
Pengolahan awal citra tahun 2004
Interpretasi visual citra
Pengenalan pola spektral pada SPOT 4 Veget asi
Penyusunan
rule based
Klasifikasi
Citra tahun 2001
Analisis uji akurasi
diterima
Citra tahun 2004
Evaluasi rule Citra
Landsat ETM+
Selesai
tidak
Analisis multitemporal
IV. KEADAAN UMUM LOKASI
A.Letak Geografis dan Luas.
Pulau Sumatera terletak antara 95ºBT-103ºBT dan 6ºLU-10ºLS dengan
luas area 475.605 km2 atau mewakili 25 % dari keseluruhan luas wilayah
Indonesia. Pulau ini berbatasan dengan Samudera Hindia di sebelah Barat, dengan
Selat Sunda yang membatasi dengan Pulau Jawa di sebelah Tenggara, dengan
Selat Karimata yang membatasi dengan Pulau Kalimantan di sebelah Timur dan
dengan Selat Malaka yang membatasi dengan Semenanjung Malaya di bagian
Utara (Sumber : http.www. wikipedia/sumatera)
B. Wilayah Administrasi
Sumatera terbagi ke dalam 10 propinsi yaitu : Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi,
Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, dan Bangka Belitung.
C.Kondisi Fisik 1. Musim dan Iklim
Musim yang terdapat di pulau Sumatera sama seperti umumnya yang
terjadi di Indonesia. Di Indonesia, hanya dikenal dua musim, yaitu musim
kemarau dan penghujan. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin
berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga
mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan
Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudra
Pasifik terjadi musim hujan. Keadaan seperti itu terjadi setiap setengah tahun
setelah melewa ti masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-November.
Pulau Sumatera mempunyai iklim tropis dan basah. Setiap bulannya
hujan cenderung turun, sementara bulan November merupakan bulan dengan
curah hujan paling banyak. Suhu Sumatera pada tahun 2003 me nunjukkan variasi
2. Topografi
Secara geografis wilayah Sumatera dapat dibagi dalam 4 subwilayah,
yaitu:
1. dataran rendah di pantai timur
2. pegunungan di bagian tengah
3. dataran rendah yang sempit di pantai barat
4. pulau-pulau di bagian barat dan bagian timur.
Di pantai Timur tanahnya terdiri dari rawa-rawa dan payau yang
dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasinya berupa tumbuhan palmae dan kayu
rawa (bakau). Sedikit makin ke barat merupakan dataran rendah yang
luas. Lebih masuk ke dalam wilayah barat semakin daerahnya bergunung-gunung
dan ini merupakan rangkaian dari Bukit Barisan yang terdapat di bagian barat
pulau Sumatera pada sumbu terpanjangnya.
3. Keadaan Tanah
Secara garis besar keadaan tanah di pulau Sumatera dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Jenis tanah di pulau Sumatera dan daerah penyebarannya
Jenis Tanah Daerah Penyebaran
Organosol dan Klei Humus Sepanjang pantai dan dataran rendah
Litosol Pinggiran pegunungan terjal sepanjang bukit barisan Alluvial Sepanjang sungai dan punggunng Bukit Barisan
Hidromorf Dataran rendah
Regosol Sekeliling pantai timur
Andosol Semua kerucut vulkan tua dan muda, umumnya jenis tanah ini ditemui di wilay ah dengan ketinggian lebih 100 meter di atas permukaan laut
Latosol U mumnya terdapat di wilayah tanah kering
4. Hidrologi
Di pantai timur terdapat aliran sungai-sungai terbesar di Sumatera,
seperti Wampu, Siak, Indragiri, Kampar, Batanghari dan Musi. Semua sungai ini
dapat dilayari sampai jauh ke pedalaman (Sumber : www.bps.go.id).
D. Flora dan fauna
Kekayaan flora di pulau Sumatera terdiri dari bermacam-macam jenis.
Pada hutan dataran rendah pulau ini kaya akan beragam jenis Dipterocarpaceae,
selain itu juga terdapat pinus Sumatera (Pinus merkusii) dan beragam kayu jenis
komersil yang tumbuh di berbagai tipe hutan seperti ramin (Gonystilus bancanus)
di hutan rawa yang saat ini dilindungi. Di pulau ini juga terdapat jenis unik seperti
raflesia dan bermacam jenis anggrek.
Fauna di pulau Sumatera antara lain : Gajah (Elephas maximimus
sumatranus), Badak (Dicerorhinos sumatrensis), Harimau (Panthera tigris
sumatrae), Beruang (Helarctos malayanus), bermacam primata (Presbitis sp.,
Hylobates sp., dan Symphalangus sp.), Rusa (Cervus unicolor), Kijang
(Muntiacus muntjak), Ayam Hutan (Lophura ignita), Kambing Hutan
(Capricornus sumatrensis) , Babi (Sus sp.), Buaya (Crocodilus porosus), Tapir
(Tapirus indicus) dan lain -lain (Sumber : www. info_indo.com).
E. Demografi
Jumlah penduduk pulau Sumatera berdasar sensus penduduk tahun 2000
adalah 39,2 juta orang atau sebesar 20,7 % dari total penduduk Indonesia.
Kepadatan penduduk sekitar 85 orang per km2. Wilayah dengan populasi besar
adalah pada Sumatera Utara dan bagian tengah dataran tinggi di Sumatera Barat,
sedangkan pusat urban utama pulau ini adalah Medan dan Palembang..
Penduduk pulau ini umumnya merupakan suku Melayu yang terbagi ke
dalam suku-suku berbeda, dengan bahasa dan logat yang berbeda, namun masih
terdapat beberapa kesamaan dan budaya yang masih berhubungan. Di Sumatera
bagian utara terdapat suku Batak dan di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
V. PEMBAHASAN
A. Interpretasi Visual Citra
Interpretasi visual dilakukan terhadap kelas penutupan lahan yang dapat
dibedakan dengan baik oleh citra SPOT 4 Vegetasi. Dalam Kartikasari (2004)
disimpulkan bahwa kelas penutupan terbaik yang dapat dibedakan adalah 5 kelas,
yaitu hutan alam, vegetasi non hutan alam, areal terbuka, badan air dan awan.
Penampakan visual kelas penutupan ini dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2 Piksel hutan alam Gambar 3 Piksel Areal Terbuka
Gambar 4 Piksel badan air Gambar 5 Piksel vegetasi non hutan alam
B. Image Processing
1. Pengenalan Pola Spektral
Pengenalan pola spektral pada SPOT 4 Vegeta si dilakukan dengan
membuat area contoh (training sample) pada tiap kelas penutupan lahan untuk
setiap band. Untuk keperluan pembuatan training area digunakan data citra satelit
Sumatera Barat, Riau dan Jambi, serta daerah Lampung. Lokasi ini dapat dilihat
pada Gambar 6.
Gambar 6 Lokasi pengambilan training area untuk penentuan pola spektral
Dari training area yang dibuat, diidentifikasi nilai dijital hutan alam,
vegetasi non hutan alam, areal terbuka dan badan air. Rekapitulasi nilai spektral
setiap kelas penutupan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Rentang Spektral Kelas Penutupan Lahan pada Tiap Band
Gambar 7 Rentang spektral kelas penutupan lahan pada tiap band
Panjang gelombang sinar tampak (band biru dan band merah)
memperlihatkan pola pembedaan rentang spektral untuk kelas penutupan
bervegetasi dan tanpa vegetasi. Kelas penutupan bervegetasi memiliki reflektansi
rendah pada panjang gelombang sinar tampak. Dalam Lillesand dan Kiefer (1979) Landsat path 127 row059
Landsat path 126 row 061 Landsat path 127 row 060
Landsat path 128 row 060
Landsat path 126 row 060
telah dijelaskan bahwa klorofil banyak menyerap energi pada panjang gelombang
yang terpusat pada sekitar 0.45 µm dan 0.65 µm (panjang gelombang sinar
tampak) . Penyerapan ini menyebabkan reflektansi vegetasi menjadi rendah.
Pada band inframerah dekat dan band inframerah sedang reflektansi
spektral setiap kelas penutupan lahan menjadi tinggi. Dalam Lillesand dan Kiefer
(1979) diterangkan bahwa mulai dari spektrum tampak ke arah inframerah
pantulan kira-kira pada 0.7 µm, pantulan vegetasi sehat meningkat dengan cepat.
Pada panjang gelombang antara 0.7 µ m-1.3 µm, daun memantulkan 50 % tenaga
yang datang dan selebihnya ditransmisikan, karena serapan pada daerah spektral
ini minimal.
Berdasar rentang spektral terlihat bahwa band inframerah sedang dapat
membedakan kelas penutupan areal terbuka, hutan alam, dan badan air. Menurut
Lillesand dan Kiefer (1979), setelah panjang gelombang 1.3 µm, tenaga yang
datang pada vegetasi pada dasarnya akan diserap atau dipantulkan, dan tidak ada
atau sedikit ditransmisikan. Penurunan pantulan terjadi pada panjang gelombang
1.4 µm, 1.9 µm, dan 2.7 µm karena air yang terdapat di daun kuat sekali
serapannya pada panjang gelombang ini.
2. Klasifikasi Knowledge Based
Klasifikasi knowledge based dilakukan berdasar pengetahuan interpreter
terhadap pola spektral dengan bantuan teknik fuzzy. Fungsi keanggotaan
masing-masing kelas penutupan lahan bernilai benar apabila termasuk ke dalam rentang
spektral yang telah diidentifikasi. Fungsi keanggotaan untuk nilai spektral
dibawah atau diatas rentang tersebut dihitung dengan menggunakan rumus
sehingga didapatkan fungsi keanggotaan antara 0 sampai 1 yang merupakan piksel
fuzzy.
Nilai yang digunakan untuk menyusun fungsi keanggotaan fuzzy berasal
dari nilai dijital piksel yang didapatkan dari training area. Nilai dijital dari setiap
kelas penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan pengetahuan terhadap nilai dijita l piksel didapatkan band
penentu yang berbeda untuk setiap kelas penutupan lahan. Kelas penutupan hutan
Spektral kelas penutupan vegetasi non hutan alam berbeda dengan kelas
penutupan lain pada band inframerah dekat, sehingga band ini menjadi band
penentu. Kelas penutupan areal terbuka menggunakan band penentu dari band
biru dan band inframerah sedang. Badan air menggunakan band penentu dari band
biru, inframerah dekat dan inframerah sedang.
Tabel 3 Rekapitulasi nilai dijital setiap kelas penutupan lahan
Kelas Band Minimum Mean Maximum
Nilai pada band penentu dipergunakan dalam menyusun rule dengan
bantuan teknik fuzzy. Rule disusun dengan menggunakan fungsi conditional.
Formula yang dipergunakan secara umum menggunakan logika berdasarkan
fungs i keanggotaan fuzzy dari setiap kelas penutupan lahan. Logika tersebut
adalah jika fungsi keanggotaan pa da band penentu bernilai benar untuk suatu
penutupa n lahan maka suatu piksel diklasifikasikan menjadi kelas penutupan yang
dimaksud. Deskripsi fungsi keanggotaan pada setiap band dapat dilihat pada
Gambar 8 sampai Gambar 11.
Aplikasi rule menghasilkan piksel yang telah diyakini sebagai suatu
penutupan lahan serta piksel yang masih bersifat fuzzy atau belum yakin
keanggotaannya. Untuk piksel fuzzy, maka pengambilan keputusan berdasarkan
derajat keanggotaan terbesar dari tiap penutupan lahan yang dimiliki piksel
tersebut. Deskripsi rule selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai
0 1
1 6 11 16 21 26 31 36 41
Nilai Piksel
Derajat Keanggotaan
areal terbuka
badan air
Gambar 8 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 1
0 1
1 2 3 4 5
Nilai Piksel
Derajat Keanggotaan
hutan alam
Gambar 9 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 2
0 1
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56
Nilai Piksel
Derajat Keanggotaan
vegetasi non huttan badan air
Gambar 10 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 3
0 1
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81
Nilai Piksel
Derajat Keanggotaan
hutan alam badan air areal terbuka
3. Analisis M ultitemporal Citra
Aplikasi rule untuk citra multitemporal dilakukan pada citra tahun 2004.
Hasil klasifikasi pada tahun 2004 memperlihatkan bahwa rule dapat digunakan
untuk analisis multitemporal dengan beberapa batasan. Batasan tersebut adalah
kondisi re flektansi citra harus sama atau tidak terdapat bias spektral. Apabila
terdapat bias nilai spektral, citra harus dikoreksi secara radiometrik. Salah satu
cara untuk koreksi radiometrik adalah dengan menggunakan image to image
contrast matching (Richard, 1993). Pada citra SPOT 4 Vegetasi wilayah pulau
Sumatera untuk kedua tahun ini tidak terdapat perbedaan nilai spektral, sehingga
rule dapat langsung diaplikasikan.
Dengan mengganti input pada model, citra tahun 2004 dapat
diklasifikasikan dengan menggunakan rule seperti yang digunakan pada tahun
2001. Hasil klasifikasi tahun 2001 dan 2004 dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13.
Penampakan visual hasil klasifikasi tahun 2001 menunjukkan adanya
kelas penutupan yang tidak sesuai dengan training area yang diambil. Kondisi ini
ditemukan pada daerah Sumatera bagian utara. Pada daerah tertentu tidak dapat
diklasifikasi dengan baik karena pada wilayah tersebut terdapat awan tipis (haze).
Adanya haze (awan tipis) pada beberapa daerah untuk tahun 2001 menyebabkan
meningkatnya reflektansi kelas penutupan (Gambar 15).
Hasil klasifikasi citra pada tahun 2001 menunjukkan bahwa pada daerah
yang tertutup haze diklasifikasikan sebagai awan. Sedangkan pada tahun 2004,
daerah tersebut diklasifikasikan sebagai hutan alam. Hal ini terjadi karena kondisi
citra pada tahun 2004 cenderung lebih bersih dari haze untuk daerah tersebut
(Gambar 13). Koreksi yang dilakukan adalah dengan mengasumsikan kelas
penutupan hutan alam pada tahun 2004 tetap menjadi hutan alam pada tahun
2001, terutama pada daerah citra yang tertutup haze (Gambar 14).
Penggunaan komposit time series bulanan dapat mengurangi penutupan
awan tebal tetapi tidak dapat menghilangkan haze pada citra multitemporal.
Kondisi tersebut dapat terjadi karena tingkat penutupan dan leta knya tidak sama
antar periode waktu yang digunakan. Gangguan haze dapat terjadi karena
pengaruh interaksi antara radiasi matahari dengan atmosfer bumi. Jaya (2002)
yang tidak sistematis. Pengaruh dari interaksi tersebut dapat berupa meningkatnya
kecerahan (brightness) apabila radiasi matahari dipencarkan (scattering),
sedangkan apabila radiasi diserap akan menyebabkan menurunnya brightness.
Secara temporal, diasumsikan bahwa semua kelas yang terklasifikasi
sebagai hutan alam pada tahun 2004 juga merupakan hutan alam pada tahun 2001,
atau kelas penutupan vegetasi non hutan alam pada 2001 dapat berubah menjadi
hutan alam pada tahun 2004. Berdasarkan asumsi ini diambil beberapa sampel
nilai dijital pada daerah yang seharusnya merupakan hutan alam pada tahun 2001.
Nilai dijital ini dimaksudkan untuk memperbaiki rule sehingga dapat
mengklasifikasikan kelas penutupan dengan benar. Hasil pengambilan sampel ini
menunjukkan semua nilai dijital telah termasuk ke dalam rule awal sehingga tidak
Gambar 12 Aplikasi rule pada tahun 2001
Gambar 13 Aplikasi rule pada tahun 2004
Gambar 14 Perbaikan citra hasil klasifikasi tahun 2001 Keterangan
Hutan alam
Vegetasi non hutan alam
Areal terbuka
Badan air
Keterangan Hutan alam
Vegetasi non hutan alam
Areal terbuka
Badan air
Keterangan
Hutan alam
Vegetasi non hutan alam
Areal terbuka
Tahun 2001 Tahun 2001 terklasifikasi
Tahun 2004 Tahun 2004 terklasifikasi
Tahun 2001 Tahun 2004
4. Evaluasi Hasil Klasifikasi
Keakuratan hasil klasifikasi dapat dihitung secara kuantitatif untuk
mendukung evaluasi secara visual. Analisa citra satelit bersifat obyektif karena
dapat dikontrol dari data statistik dengan tingkat ketelitian serta ketepatan
klasifikasi (Harjadi, 2003).
Penampakan visual hasil klasifikasi di-overlay dengan citra referensi
dalam melihat akurasi hasil klasifikasi dengan knowledge based. Kuantifikasi
hasil klasifikasi diukur dengan producer’s accuracy, user’s accuracy, dan overall
accuracy yang dihitung dari matriks konfusi berdasar overlay hasil klasifikasi
dengan citra referensi (Lampiran 7) . Producer’s accuracy yang paling tinggi
adalah pada kelas penutupan hutan alam sebesar 94.80 % dan paling rendah pada
kelas penutupan areal terbuka sebesar 75.74 %. Sedangkan user’s accuracy paling
tinggi adalah pada kelas areal terbuka sebesar 98.70 % dan paling rendah pada
kelas penutupan vegetasi non hutan alam sebesar 75.68 %. Nilai overall accuracy
untuk klasifikasi knowledge based adalah 86.84 % (Tabel 3).
Tabel 4 Hasil analisis akurasi klasifikasi pada citra tahun 2001
Kelas Penutupan Lahan Nilai Akurasi (%) Hutan alam Vegetasi non
hutan alam
Areal terbuka Badan air
Producers’
accuracy
94.8 88.94 75.74 87.59
User’s accuracy 88.15 75.68 98.70 96.62
Overall accuracy 86.84
C. Perubahan Penutupan Lahan di Pulau Sumatera
Pemanfaatan citra satelit untuk pemantauan luas penutupan lahan telah
dilakukan untuk seluruh wilayah Indonesia oleh Badan Planologi Kehutanan.
Salah satunya adalah pemantauan penutupan lahan hutan dan non hutan yang
diperoleh dari mosaik citra Landsat TM tahun 1999-2000. Klasifikasi dilakukan
dengan lebih detail dibanding klasifikasi pada SPOT 4 Vegetasi. Untuk itu
dilakukan klasifikasi ulang agar didapat kelas penutupan yang sama. Kelas
adalah hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer
dan hutan mangrove primer. Vegetasi non hutan alam terdiri dari hutan rawa
sekunder, hutan mangrove sekunder, hutan tanaman, belukar, belukar rawa,
perkebunan, pertanian lahan kering, dan pertanian lahan kering campuran. Areal
terbuka terdiri dari tanah terbuka, daerah transmigrasi, pertambangan, pemukiman
dan rawa. Badan air terdiri dari sawah, tambak dan tubuh air lainnya.
Secara visual terlihat kekonsistenan perubahan penutupan lahan dari
tahun 1999-2000 ke tahun 2001. Perubahan hutan alam banyak terjadi di pesisir
timur Sumatera dan berubah menjadi areal terbuka. Perubahan yang logis juga
terjadi pada penutupan hutan alam di sepanjang Bukit Barisan. Hal ini didukung
dengan data luas penutupan pada Tabel 4. Luas penutupan hutan alam menjadi
lebih kecil dibanding tahun 1999-2000. Resolusi spasial SPOT 4 Vegetasi lebih
kecil dibanding Landsat TM, maka luasan yang diperoleh adalah perkiraan untuk
kelas yang tidak detail.
Tabel 5 Keadaan penutupan vegetasi di Sumatera
Perkiraan Luas (ha) No Kelas Penutupan
Lahan
Luas Penutupan Lahan
tahun 1999-2000 (ha) Tahun 2001 Tahun 2004
1 Hutan alam 10.2 30.000 8.490.902 7.541.450
2 Vegetasi non hutan alam
26.431.000 31.163.613 30.991.750
3 Areal terbuka 1.782.000 2.677.880 4.220.837
4 Badan air 849.000 1.843.957 1.601.372
5 Awan 6.337.000 1.452.648 1.273.590
Hasil klasifikasi tahun 2001 dan 2004 menunjukkan kekonsistenan
dalam perubahan penutupan lahan yang terjadi. Hutan alam menunjukkan
kecenderungan menurun dari tahun ke tahun. Menurut penelitian Critical
Ecosystem Partnership Fund tentang Sumatera Forest Ecosystem of the
Sundaland Biodiversity Hotspot terdapat beberapa hal yang menjadi ancaman
penyebab semakin berkurangnya penutupan hutan di pulau Sumatera. Diantaranya
adalah pemerintah daerah yang masih kurang siap dalam otonomi daerah. Belum
terdapat deskripsi yang jelas untuk kekuasaan dan tanggung jawab pemerintah
areas). Hal ini memicu terjadinya illegal logging di berbagai kawasan dilindungi.
Selain itu juga terdapat illegal logging di kawasan hutan produksi yang dilakukan
oleh masyarakat desa sekitar hutan dan dimodali oleh para ’cukong kayu’ yang
berasal dari luar daerah. Faktor lain yang menyebabkan semakin berkurangnya
penutupan hutan adalah maraknya pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa
sawit da n pertambangan. Di Sumatera juga terjadi kasus pembangunan jalan yang
melewati kawasan lindung seperti terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser dan
Taman Nasional Kerinci Seblat.
Dengan rule yang sederhana, tingkat akurasi yang dapat diterima dan
kemudahan mendapat data, maka SPOT 4 Vegetasi dapat digunakan untuk
melihat perubahan penutupan lahan meliputi area yang luas. Selain itu
pemantauan dapat dilakukan dalam waktu sesering mungkin sesuai kebutuhan
karena data ini tersedia dalam periode harian atau dalam komposit 10 harian.
Dengan tujuan yang sama untuk melihat perubahan hutan secara umum,
apabila dibandingkan dengan citra yang memiliki resolusi spasial tinggi seperti
Landsat maka biaya yang diperlukan akan jauh lebih rendah. Faktor kemudahan
menangani data juga menyebabkan citra dengan resolusi spasial rendah dapat
dipilih untuk tujuan tersebut. Permasalahan yang muncul karena banyak terdapat
awan dan haze dapat diatasi dengan memanfaatkan multi temporal data atau citra
lain yang memiliki resolusi spas ial dan temporal yang sama, seperti NOAA
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Rule disusun berdasarkan band penentu bagi setiap kelas penutupan lahan.
Band biru dapat digunakan untuk mengidentifikasi areal terbuka dan badan
air, band merah pada SPOT Vegetasi dapat mengidentifikasi kelas
penutupan hutan alam, band inframerah dekat dapat mengidentifikasi
vegetasi non hutan alam dan badan air, serta band inframerah sedang dapat
mengide ntifikasi hutan alam, areal terbuka dan badan air.
2. Fungsi keanggotaan fuzzy dapat dipergunakan untuk kuantifikasi klasifikasi
knowledge based. Secara umum, logika yang dipergunakan adalah apabila
fungsi keanggotaan piksel pada band penentu bernilai benar maka piksel
akan masuk kelas penutupan lahan yang dimaksud. Pada piksel yang masih
overlap, maka klasifikasi dilakukan berdasar fungsi keanggotaan terbesar
dari setiap kelas penutupan lahan yang dimiliki piksel tersebut.
3. Analisis perubahan rule dengan citra multitemporal pada tahun 2004
memperlihatkan bahwa rule awal telah benar dan tidak perlu dilakukan
perubahan.
4. Aplikasi klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy di Pulau Sumatera
memberikan nilai akurasi sebesar 86.84 %.
5. Rule dapat dipakai untuk citra pada tahun berbeda, dengan tingkat akurasi
yang dapat diterima, citra SPOT 4 Vegetasi dapat digunakan untuk
monitoring perubahan lahan dalam areal yang luas dan waktu yang
berdekatan.
B. Saran
SPOT 4 Vegetasi dengan klasifikasi menggunakan metode knowledge
based dapat dipakai untuk monitoring perubahan tutupan hutan di Indonesia,
keberadaan awan dan haze dapat diatasi menggunakan data time series dari citra
satelit yang sama atau dari citra satelit lain yang memiliki resolusi spasial dan
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2000. Vegetation Overview. http://www.free.vgt. vito.be/ overview.html [ 26 Januari 2005].
_________. 2002. Landsat ETM+. http://www.agrecon.canberra.edu.au [11 Agustus 2005].
Brule, James.F. 1985. Fuzzy System - A Tutorial.
http://www.austinlinks.com/fuzzy/tutorial.html [9 Agustus 2005].
Critical Ecosystem Partnership Fund. 2001. Sumatera Forest Ecosystems of the Sundaland Biodiversity Hotspot. CEPF, Jakarta
Erdas Inc. 1999. Erdas Field Guide. Fifth Edition. Erdas Inc. Georgia, Atlanta
________. 2001. Expert Classifier Overview. Erdas, Inc. Atlanta, Georgia
________. 2001. Erdas Field Guide. Erdas, Inc. Atlanta, Georgia
Geist and Lambin. 2002. Proximate Causes and Underlying Driving Forces of Tropical Deforestation. http://www.giscenter.isu.edu [10 April 2004].
Harjadi, Beny. 2000. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. BP2TPDAS. Surakarta
Howard, J.A. 1996. Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya Hutan : Teori dan Aplikasi. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
http://www.bps.go.id , 2005
http://www.mediawiki/sumatera, 2005.
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/INTAG/Peta%20Tematik/PL_Veg/Veg_2
002/Vaceh.gif, 15 September2005
http://www. info_indo.com/geography/sumatra.htm. Januari 2005
Jaya, I. N. S. 2002. Penginderaan Jauh Satelit Untuk Kehutanan. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Kartikasari, R. 2004. Klasifikasi Penutupan Lahan dengan Teknik Maksimum Likelihood dan Fuzzy pada SPOT 4 Vegetation (Studi Kasus di Pulau Kalimantan) [skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Lillesand, T. M. and R. W. Kiefer. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation. Third Edition. John Wiley and Sons, Inc. New York
_______________________________. 1990. Penginderaan Jauh dan
Interpretasi Citra.Terjemahan dari: Remote Sensing and Image
Interpretation. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Lo C.P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Universitas Indonesia Press. Jakarta
Lupo, F. And Reginster. 2000. Land Cover Change in West Africa : Multi Temporal Change Vector Analysis at A Coarse Scale and Change Process Categorisation with SPOT Vegetation Data. Vito
Mather, P.M. 1999. Land Cover Classification Revisited. Di dalam: Peter M. Atkinson and Nicholas J. Tate, editor. Advances in Remote Sensing and GIS. Selected papers from a meeting held at the university of Southampton, July 25, 1996. John Wiley& Sons, Inc. New York
Pal, Sankar dan Dwijesh K. Majumder. 1989. Fuzzy Pendekatan Matematik Untuk
Pengenalan Pola. Sardy S, penerjemah. Terjemahan dari: Fuzzy
Mathematical Approach to Pattern Recognition. Universitas Indonesia Press. Jakarta
Purwadhi. 2001. Interpretasi Citra Dijital. Grasindo. Jakarta
Prabowo, A.E. 2000. Penggunaan Model Kurva Fuzzy Nonlinear dan Metode Defuzifikasi Maximum Output pada Prototipe Spela Tabutro [skripsi]. Jurusan Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Richards, J.A. 1993. Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction. Springer-verlag. Berlin
Suartana, N.N. 2002. Pengembangan Basis Data Relasional Fuzzy untuk Pengukuran Tingkat Kemiskinan Penduduk [skripsi]. Jurusan Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sumantri, B. 2004. Identifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Satelit dengan Teknik Klasifikasi Pendekatan Piksel dan Obyek : Studi Kasus di Daerah Sekitar Aliran Sungai Way Besai, Sumberjaya, Lampung [skripsi]. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Lampiran 1. Rule based penutupan hutan alam keanggotaan piksel = 1(piksel bernilai benar)
Jika nilai band 1 lebih besar dari 1 dan
kecil dari 4 maka dihitung menggunakan rumus fuzzy
Jika DN band 1 lebih besar dari 4 maka dihitung menggunakan rumus fuzzy
CONDITIONAL { ($n1_060101(2) > 0 && $n1_0601 01(2) <= 1) 1 , ($n1_060101(2) > 1 && $n1_060101(2) < 4 == (4 - 41 maka fungsi keanggotaan piksel = 1(piksel bernilai benar)
Jika DN band 2 lebih kecil dari 16 maka
dihitung dengan menggunakan rumus fuzzy
Jika nilai band 1 lebih besar dari 41 maka
dihitung dengan menggunakan rumus fuzzy
CONDITIONAL { ($n1_060101(4) >= 16 && $n1_060101(4) <= 41) 1 ,
Jika penjumlahan fungsi keanggotaan pada band penentu sama dengan 2 maka fungsi keanggotaan piksel =1
Jika penjumlahan fungsi keanggotaan pada band penentu lebih kecil dari 2 maka
fungsi keanggotaan pada citra adalah nilai penjumlahan semua band itu sendiri dibagi dengan 2
CONDITIONAL { ( $n7_hab2 == 1 AND $n9_hab4 == 1) 1, ($n7_hab2 + $n9_hab4 < 2)($n7_hab2 + $n9_hab4) / 2
Lampiran 2. Rule based penutupan vegetasi non hutan alam
No Variabel Rule based Aplikasi rule based pada ERDAS
1 Band 3
Jika DN band 3 lebih besar sama dengan 55 maka fungsi keanggotaan piksel = 1(piksel bernilai benar)
Jika nilai band 3 lebih besar dari 13 dan lebih kecil dari 55 maka
dihitung dengan menggunakan rumus fuzzy (Conditional 2)
Jika DN band 3 lebih kecil dari 13 maka dihitung dengan menggunakan rumus fuzzy