• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaan, Kriteria Seleksi Dan Stabilitas Hasil 25 Genotipe Terung (Solanum Melongena L ) Di Tiga Lokasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaan, Kriteria Seleksi Dan Stabilitas Hasil 25 Genotipe Terung (Solanum Melongena L ) Di Tiga Lokasi"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAAN, KRITERIA SELEKSI DAN STABILITAS HASIL

25 GENOTIPE TERUNG (

Solanum melongena

L.)

DI TIGA LOKASI

FARADILA DANASWORO PUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaan, Kriteria Seleksi dan Stabilitas Hasil 25 Genotipe Terung (Solanum melongena L.) di Tiga Lokasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Faradila Danasworo Putri

(4)

RINGKASAN

FARADILA DANASWORO PUTRI. Keragaan, Kriteria Seleksi dan Stabilitas Hasil 25 Genotipe Terung (Solanum melongena L.) di Tiga Lokasi. Dibimbing oleh SOBIR, MUHAMAD SYUKUR dan AWANG MAHARIJAYA.

Keanekaragaman tanaman serta pemuliaan tanaman memainkan peran penting dalam meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman, termasuk tanaman sayuran. Terung (Solanum melongena L.) merupakan sayuran yang bernilai ekonomis tinggi dan dapat menunjang kesehatan manusia sekaligus menunjang pangan di masa depan. Informasi mengenai genotipe yang sesuai di suatu lingkungan maupun di berbagai lingkungan diperlukan untuk program pemuliaan tanaman terung. Tanaman dengan daya hasil stabil dan keragaan relatif terbaik di setiap lokasi dapat diseleksi sebagai genotipe yang berpenampilan stabil dan beradaptasi luas. Penelitian ini mencakup (1) evaluasi keragaan 25 genotipe terung, (2) pendugaan kriteria seleksi terung berdaya hasil tinggi dan (3) analisis stabilitas 25 genotipe terung di tiga lingkungan dengan menggunakan pendekatan parametrik dan non parametrik.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan kesimpulan : (1) Terdapat interaksi genotipe dengan lingkungan yang sangat berbeda nyata untuk semua karakter pengamatan. Genotipe yang memiliki produktivitas tinggi dan stabil menurut konsep stabilitas statis dan dinamis secara berurutan adalah G18 dengan produktivitas setara 13.18 ton ha-1 dan G15 dengan produktivitas setara 24.99 ton ha-1. (2) Bobot buah, diameter buah dan jumlah buah per tanaman dapat dijadikan kriteria seleksi yang efektif untuk merakit terung berproduksi tinggi. Karakter tinggi tanaman, umur berbunga, umur berbuah, panjang buah, dan ukuran calyx dapat digunakan sebagai karakter seleksi tidak langsung terhadap karakter daya hasil. (3) Dalam metode stabilitas parametrik, G7 dan G24 adalah genotipe stabil menurut konsep statis dengan metode Eberhart-Russel dan Francis-Kannenberg. Genotipe G4, G13, G15 dan G25 adalah genotipe stabil menurut konsep dinamis dengan metode Wricke, Shukla dan Finlay-Wilkinson. (4) Genotipe G3, G5, G6, G13 dan G15 memiliki frekuensi kestabilan tertinggi pada metode stabilitas non-parametrik. Metode Nassar-Huehn dan Thennarasu merupakan metode stabilitas non parametrik yang bersifat statis, namun pada penelitian ini memiliki hasil yang setara dengan konsep stabilitas yang bersifat dinamis.

(5)

SUMMARY

FARADILA DANASWORO PUTRI. Performance, Selection Criteria and Yield Stability Result of 25 Eggplant (Solanum melongena L.) Genotypes in Three Location. Supervised by SOBIR, MUHAMAD SYUKUR and AWANG MAHARIJAYA.

Plant diversity and plant breeding plays an important role in increasing crop production and productivity, including vegetable productivity. Eggplant (Solanum melongena L.) is a vegetable with a high economic value. This crop can support human's health as well as support future food supply. Information about appropriate genotype in different environments are required for an effective eggplant plant breeding program. Plants with a stable yield and good relative performance in each location can be selected as a stable and adaptable genotype. This study include activities such as (1) performance evaluation of 25 eggplant genotypes eggplant, (2) estimation of selection criteria for high yielding eggplant and (3) stability analysis of 25 eggplant eggplant in three environments using parametric and non-parametric approaches.

Based on the conducted research, it can be concluded that: (1) There are significant genotype x environment interactions for all observed characters. Genotypes that have high productivity and stable according to the concept of static and dynamic stability are is G18 with a productivity of 13.18 ton ha-1 and G15 with a productivity of 24.99 ton ha-1 respectively. (2) Fruit weight, fruit diameter and number of fruits per plant can be used as an effective selection criteria for assembling high yielding eggplant. Plant height, days to flowering, days to harvest, fruit length, and calyx size can be used for an indirect selection to obtain high yielding eggplants. (3) According to the parametric stability method, G7 and G24 are stable genotypes according to static concept using Eberhart-Russell and Francis-Kannenberg methods. Genotype G4, G13, G15 and G25 are stable genotypes according to the dynamic concept using Wricke, Shukla and Finlay-Wilkinson methods. (4) Genotypes G3, G5, G6, G13 and G15 have the highest frequency stability in the non-parametric stability methods. The Nassar-Huehn method and Thennarasu method that belongs to the non parametric stability were considered to have a static stability concept. However, result from this study showed that those two methods had similar results with the dynamic stability concept.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

KERAGAAN, KRITERIA SELEKSI DAN STABILITAS HASIL

25 GENOTIPE TERUNG (

Solanum melongena

L.)

DI TIGA LOKASI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah stabilitas, dengan judul Keragaan, Kriteria Seleksi dan Stabilitas Hasil 25 Genotipe Terung (Solanum melongena L.) di Tiga Lokasi .

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Sobir MSi, Prof. Dr. M. Syukur, SP, MSi dan Dr. Awang

Maharijaya, SP, MSi selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, kritik, saran, masukan, kesabaran dan motivasi selama penelitian hingga penulisan tesis ini.

2. Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS, selaku penguji pada ujian akhir tesis, atas arahan, kritik, saran, dan masukan untuk perbaikan.

3. Dr. Dewi Sukma, SP, MSi ,selaku perwakilan dari Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman pada ujian akhir tesis, atas masukan dan arahannya untuk perbaikan tesis.

4. Staf PKHT, Bapak Milin, Bapak Awang, Ibu Ade, Bapak Nana, Bapak Dani, Bapak Sarwo, Yohanes Bayu dan semua pihak yang sudah membantu melancarkan pelaksanaan penelitian di lapangan.

5. Prof. Dr. Ir. Anas D. Susila, MSi (Bapak), Ir. Dinarini Kisworo (Mama), dan Fidelia Danasworo Putri (adik) yang tiada hentinya selalu mendoakan, memberikan kasih sayang, motivasi, dan semangat selama masa studi.

6. Arga Wisnu Pradana, SP atas bantuan, motivasi, dukungan, doa dan pengertiannya

7. Keluarga besar Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman, teman-teman AGH angkatan 2012 serta teman-teman PBT angkatan 2013 atas bantuan, dukungan, kebersamaan dan kekompakannya selama ini

8. Semua pihak yang membantu menyelesaikan masa studi dan penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Botani Tanaman Terung 5

Pemuliaan Tanaman Terung 6

Analisis Korelasi dan Analisis Lintas 7

Analisis Stabilitas 8

3 KERAGAAN KOMPONEN HASIL DAN HASIL 25 GENOTIPE

TERUNG (Solanum melongena L.) DI TIGA LINGKUNGAN 10

Pendahuluan 11

Bahan dan Metode 11

Hasil dan Pembahasan 14

Simpulan 25

4 KRITERIA SELEKSI UNTUK PERAKITAN TERUNG (Solanum

melongena L.) BERDAYA HASIL TINGGI 26

Pendahuluan 27

Bahan dan Metode 27

Hasil dan Pembahasan 29

Simpulan 33

5 STABILITAS PARAMETRIK HASIL 25 GENOTIPE TERUNG

(Solanum melongena L.) DI TIGA LINGKUNGAN 34

Pendahuluan 35

Bahan dan Metode 36

Hasil dan Pembahasan 38

Simpulan 43

6 STABILITAS NON PARAMETRIK HASIL 25 GENOTIPE TERUNG

(Solanum melongena L.) DI TIGA LINGKUNGAN 45

Pendahuluan 46

Bahan dan Metode 46

Hasil dan Pembahasan 48

Simpulan 52

(12)

8 SIMPULAN UMUM DAN SARAN 60

Simpulan 60

Saran 60

DAFTAR PUSTAKA 61

LAMPIRAN 69

(13)

DAFTAR TABEL

1. Asal-usul genotype terung yang digunakan dalam penelitian 12 2. Sidik ragam pengaruh genotipe di setiap lokasi berdasarkan Singh

dan Chaudhary (1979) 14

3. Sidik ragam gabungan berdasarkan Syukur et al. (2012) 14 4. Rekapitulasi nilai F-hitung dan koefisien keragaman karakter

tanaman terung 15

5. Tinggi tanaman dan diameter batang 25 genotipe terung di 3

lokasi 16

6. Umur berbunga dan umur berbuah 25 genotipe terung di 3 lokasi 17 7. Panjang buah dan diameter buah 25 genotipe terung di 3 lokasi 18 8. Panjang tangkai dan lebar bekas putik 25 genotipe terung di 3

lokasi 20

9. Ukuran calyx 25 genotipe terung di 3 lokasi 21 10.Bobot buah 25 genotipe terung di 3 lokasi 22 11.Jumlah buah per tanaman dan bobot buah per tanaman 25

genotipe terung di 3 lokasi 23

12.Rekapitulasi komponen ragam dan heritabilitas 12 karakter terung 29 13.Koefisien korelasi antar karakter pada terung 30 14.Nilai pengaruh langsung dan tidak langsung karakter komponen

hasil dan karakter agronomis terhadap bobot buah per tanaman 31 15.Analisis ragam gabungan bobot buah per tanaman terung 38 16.Analisis stabilitas Wricke, Finlay-Wilkinson dan Eberhart-Russel

pada 25 genotipe terung di tiga lingkungan 40

17.Analisis stabilitas Shukla dan Francis-Kannenberg pada 25

genotipe terung di tiga lingkungan 41

18.Korelasi Pearson parameter stabilitas parametrik terhadap bobot buah per tanaman 25 genotipe terung di tiga lingkungan 42 19.Analisis stabilitas non parametrik metode Nassar-Huehn dan

metode Kang pada 25 genotipe terung di tiga lingkungan 49 20.Analisis stabilitas non parametrik metode Fox dan metode

Thennarasu pada 25 genotipe terung di tiga lingkungan 50 21.Korelasi Pearson parameter stabilitas non parametrik terhadap

bobot buah per tanaman 25 genotipe terung di tiga lingkungan 51 22.Rangking analisis stabilitas 25 genotipe terung pada tiga

lingkungan 56

23.Kategori stabilitas 25 genotipe terung pada tiga lingkungan

berdasarkan 10 model analisis 57

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram alir kegiatan penelitian 4

2. Dendogram hasil analisis gerombol 25 genotipe terung 24 3. Diagram lintasan pengaruh beberapa karakter terhadap bobot

buah terung 32

(14)

5. Biplot pengaruh interaksi model AMMI2 pada bobot buah per tanaman 25 genotipe terung di tiga lingkungan 43 6. Kondisi lapangan (ki-ka) KP Cikabayan, KP Tajur dan KP Pasir

Sarongge 53

7. Kerusakan pada buah (ki-ka) akibat udara dingin, akibat penggerek buah (Leucinodes orbonalis), dan akibat hawar

Phomopsis (Phomopsis vexan). 54

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data iklim di tiga lokasi pengujian 71

2. Peta lokasi KP Cikabayan, KP Tajur dan KP Pasir Sarongge 71

3. Deskripsi genotipe terung TUP (G1) 72

4. Deskripsi genotipe terung THP (G2) 74

5. Deskripsi genotipe terung Bruno (G3) 76

6. Deskripsi genotipe terung Pulus (G4) 78

7. Deskripsi genotipe terung Hijo (G5) 80

8. Deskripsi genotipe terung Ronggo (G6) 82

9. Deskripsi genotipe terung Sriti (G7) 84

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lebih dari 800 juta orang di dunia terancam kelaparan sehingga pasokan pangan dan kebutuhan nutrisi menjadi suatu hal yang penting, mengingat penduduk dunia meningkat secara cepat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, produksi pangan di lahan produktif harus ditingkatkan dan lahan marginal perlu dimanfaatkan. Keanekaragaman tanaman serta pemuliaan tanaman memainkan peran penting dalam meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman, termasuk tanaman sayuran (Bebeli & Mazzucato 2008).

Terung (Solanum melongena L.) merupakan sayuran yang bernilai ekonomis tinggi dan dapat menunjang kesehatan manusia. Terung merupakan komoditas yang mempunyai produktivitas tinggi sehingga dapat menunjang pangan di masa depan. Tanaman ini juga mempunyai kandungan vitamin dan antioksidan tinggi dan dipercaya mengandung zat antikanker (Hedges & Lister 2007; Daunay & Janick 2007). Terung merupakan sayuran yang sangat sehat. Terung kaya akan nutrisi dan memiliki nilai kalori yang rendah. Buah ini memiliki kandungan air yang sangat tinggi dan mempunyai kandungan kalsium, fosfor, kalium, serat, asam folat, natrium, vitamin B dan vitamin C (Choudhary & Gaur 2009).

Tanaman ini telah dibudidayakan secara luas di daerah tropis dan subtropis. (Sathappan et al. 2012). Indonesia menempati urutan ke-6 di Asia dalam produksi terung setelah Cina, India, Iran, Mesir dan Turki pada tahun 2012. FAOSTAT (2013) menyatakan bahwa produksi tanaman terung di Indonesia adalah sebesar 509 380 ton. Hasil ini masih jauh dibawah Cina dengan produksi sebanyak 356 juta ton dan India dengan 179 juta ton. Produktivitas tanaman terung di Indonesia adalah sebesar 10.97 ton ha-1, jauh dibawah rata-rata produktivitas terung di dunia sebesar 17 ton ha-1.

Solanum melongena dipercaya Vavilov berasal dari daerah Indo-Cina. Domestikasi dan seleksi untuk mendapatkan kultivar maju telah dilakukan di daerah Malaysia-Indonesia sehingga terdapat sumber daya genetik terung yang potensial untuk pengembangan varietas unggul (Lester & Hasan 1991; Daunay & Hazra 2012). Namun produktivitas terung pada kawasan Asia Tenggara tergolong rendah meskipun kawasan tersebut memiliki keragaman tanaman terung yang tinggi. Salah satu alasan daya hasil terung rendah adalah pemakaian varietas hibrida yang seragam secara luas dan tidak diperhatikannya kultivar yang cocok untuk kondisi ekologi lokal. Hal ini menunjukkan bahwa dibutuhkan perbaikan produksi terung di Asia Tenggara yang dapat beradaptasi baik (Arias 2009).

(16)

2

Suatu program pemuliaan untuk menghasilkan varietas berdaya hasil tinggi bergantung kepada keragaman genotipe yang tersedia. Namun, perbaikan daya hasil secara langsung merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Daya hasil merupakan karakter kompleks yang sangat dipengaruhi oleh karakter komponen hasil dan karakter agronomi lainnya. Peningkatan daya hasil pada tanaman dapat dilakukan melalui seleksi karakter-karakter tersebut (Shekar et al. 2013). Analisis hubungan antar karakter harus dilakukan untuk menentukan kriteria seleksi yang efektif. Kunci keberhasilan suatu seleksi ditentukan oleh kriteria seleksi yang sesuai. Analisis sidik lintas (path analysis) adalah metode yang digunakan untuk menentukan kriteria seleksi berbagai tanaman seperti pisang (Wirnas et al. 2005), cabai (Syukur et al. 2010), tomat (Hidayatullah et al. 2008), terung (Bansal & Mehta 2008) dan lainnya. Parameter yang digunakan untuk menentukan karakter yang dapat dijadikan kriteria seleksi adalah nilai heritabilitas, ragam genetik, ragam fenotipe dan koefisien keragaman genetik (KKG) (Yunianti et al. 2010).

Genotipe unggul harus menunjukkan performa daya hasil yang baik di berbagai kondisi lingkungan. Tanaman dengan daya hasil stabil dan keragaan relatif terbaik di setiap lokasi dapat diseleksi sebagai genotipe yang berpenampilan stabil dan beradaptasi luas (De Vita et al. 2010; Trustinah & Iswanto 2013). Analisis stabilitas dapat mencirikan keragaan sekaligus memberikan informasi mengenai kesesuaian genotipe di berbagai lingkungan. Analisis tersebut dapat membantu pemulia untuk memilih genotipe yang stabil.

Analisis stabilitas dan adaptabilitas genotipe telah dikembangkan dengan pendekatan parametrik dan non-parametrik. Pendekatan parametrik menggunakan perhitungan parameter stabilitas seperti koefisien keragaman, koefisien regresi dan sejenisnya untuk menganalisis stabilitas genotipe. Pendekatan dapat digunakan jika beberapa asumsi statistik dapat dipenuhi. Sementara pendekatan non-parametrik tidak memerlukan syarat asumsi statistik. Pendekatan ini menggunakan rangking genotipe di masing-masing lingkungan untuk menganalisis stabilitas. Beberapa kelebihan pendekatan non-parametrik adalah (1) mengurangi bias yang disebabkan oleh data pencilan, (2) tidak memerlukan asumsi penyebaran data serta (3) parameter stabilitas yang berbasis rangking lebih mudah digunakan dan diinterpretasikan. Sebagian besar program pemuliaan tanaman menggunakan kedua pendekatan tersebut untuk menganalisis stabilitas genotipe (Huehn 1990; Becker & Leon 1988). Stabilitas dapat digolongkan menjadi dua konsep yaitu stabilitas statis dan stabilitas dinamis. Stabilitas statis (stabilitas biologis) adalah stabilitas genotipe tanpa tergantung oleh genotipe lain. Stabilitas dinamis (stabilitas agronomis) adalah stabilitas genotipe dengan menggunakan pengukuran kontribusi dari genotipe lain. (Lin et al. 1986; Mut et al. 2010).

Sebuah genotipe yang beradaptasi luas (broad adaptation) atau stabil adalah genotipe yang memiliki performa baik di berbagai macam lingkungan. Genotipe beradaptasi sempit (spesific adaptation) atau spesifik lingkungan hanya menunjukkan performa baik di lingkungan tertentu. Analisis multivariat dengan

Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI) terbukti mampu

(17)

3 genotipe terhadap lingkungan. Hal ini dapat digunakan dalam proses pemilihan genotipe yang sesuai bagi lingkungan sehingga dapat memberikan produksi yang optimal (Kusumah 2010).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendapatkan informasi mengenai keragaan 25 genotipe terung di tiga lokasi (Cikabayan, Tajur dan Pasir Sarongge).

2. Mendapatkan informasi mengenai kriteria seleksi yang sesuai untuk pemuliaan terung berdaya hasil tinggi.

3. Mendapatkan informasi kestabilan genotipe terung yang diuji dengan menggunakan beberapa metode analisis stabilitas parametrik.

4. Mendapatkan informasi kestabilan genotipe terung yang diuji dengan menggunakan beberapa metode analisis stabilitas nonparametrik.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1. Terdapat perbedaan keragaan antara 25 genotipe terung di tiga lokasi 2. Terdapat kriteria seleksi yang sesuai untuk pemuliaan terung berdaya

hasil tinggi.

3. Terdapat metode analisis stabilitas parametrik yang sesuai untuk menganalisis stabilitas hasil genotipe terung

4. Terdapat metode analisis stabilitas nonparametrik yang sesuai untuk menganalisis stabilitas hasil genotipe terung

Ruang Lingkup Penelitian

(18)

4

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian 25 genotipe terung

UDH KP Tajur

UDH KP Cikabayan UDH KP Pasir Sarongge

Analisis Data

Keragaan 25 Genotipe Terung

Kriteria Seleksi untuk Terung

Analisis Stabilitas

Pendekatan Parametrik Pendekatan Non-parametrik

Francis-Kannenberg (1978) Finlay-Wilkinson (1963) Wricke Ecovalence (1962) Shukla Stability Variance (1972) Eberhart-Russel (1966)

AMMI (1998)

Kang (1988) Nassar-Huehn (1987) Thennarasu (1995) Fox (1990)

(19)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Terung

Terung, aubergine atau brinjal (Solanum melongena L.) adalah tanaman sayur yang berasal dari famili Solanaceae. Terung merupakan tanaman diploid (2n=2x=24) dan berasal dari kawasan Dunia Lama dan memiliki beberapa lokasi

center of diversity yaitu di India, Indo-Burma, Indochina dan Asia Tenggara (Sekara et al. 2007; Wang et al. 2008).

Martin and Rhodes (1979) menyatakan bahwa Choudhury menkategorikan terung menjadi tiga kultivar botani berdasarkan bentuk buah yaitu (1) S.

melongena var. esculentum Dunal (Nees) untuk terung yang berbentuk bulat, oval atau menyerupai telur, (2) S. melongena var. serpentinum L. untuk terung yang berbentuk panjang dan kurus, dan (3) S. melongena var. depressum L. untuk terung yang berbentuk kecil dan berbuah cepat. Pembagian kategori buah terung selain berdasarkan bentuk dan warna, dapat pula berdasarkan daerah asal. Beberapa pengkategorian terung yang kerap digunakan dalam pustaka popular maupun professional adalah:

1. Terung ungu gelap (terung barat) adalah jenis yang umum di Amerika dan Eropa yang kemudian diperkenalkan ke wilayah Asia. Tanaman kurang vigor namun sangat produktif. Buah memiliki dua bentuk, yaitu oval atau memanjang. Warna buah adalah ungu, putih, hijau, merah muda dan variasi lainnya dengan kobinasi guratan warna yang berbeda. Bobot buah sekitar 200-600 g.

2. Terung miniatur (terung Itali, terung baby atau terung telunjuk) memiliki buah berukuran kecil dan berbentuk panjang atau oval. Secara umum, terung ini lebih manis dan empuk dibandingkan varietas yang lain. Buah terung juga memiliki kulit yang tipis dan biji yang lebih sedikit.

3. Terung oriental adalah terung yang berasal dari Asia tropis. Terung ini sangat terkenal di negara-negara Asia seperti Jepang Cina, India dan negara lainnya. Tanaman berbuah cepat dan memiliki vigor yang baik. Buah dapat berbentuk bulat atau panjang dengan warna ungu, hijau atau guratan warna. Buah empuk dan manis. Di Asia Tenggara, terdapat banyak varietas yang dibudidayakan, termasuk jenis dengan buah yang hijau dan kecil. Terdapat beberapa sub kategori menurut Seedquest, yaitu:

a. Terung Cina: sebagian besar buah berbentuk panjang dan berwarna ungu, jumlah benih sedikit, empuk, manis dan tanaman vigor.

b. Terung Jepang: buah lebih berat dan lebih keras, manis, berwarna ungu hingga ungu tua dan memiliki bentuk panjang atau lonjong. c. Terung Thai: terdiri dari dua grup, yaitu tanaman dengan (1) buah

berbentuk kecil, bulat, menyerupai tomat dan memiliki bobot 40-80 g, atau (2) buah sangat panjang. Buah memiliki kulit yang tebal, banyak benih, manis dan kadang sedikit pahit.

(20)

6

Terung termasuk dalam kelompok tanaman menyerbuk sendiri, namun dalam kondisi hangat pada penanaman di lapang sering terjadi penyerbukan silang. Penyerbukan silang pada tanaman terung lebih sering terjadi pada terung yang mempunyai struktur bunga dimana putik lebih panjang daripada benang sari. Penyerbukan silang tersebut disebabkan oleh serangga dan dilaporkan dapat mencapai 70% (Frary et al. 2007).

Terung merupakan komoditas yang tumbuh di area hangat, dimana suhu optimum untuk pembentukan buah adalah 21° hingga 29°C. Tanaman ini tidak tahan terhadap suhu dingin, dimana suhu malam yang kurang dari 16°C dapat menghambat pertumbuhan bibit. Kondisi lahan yang tepat untuk pertumbuhan adalah lahan berpasir lempung dan liat yang subur, mempunyai irigasi baik, dengan pH 5.5 hingga 6.8 dan tinggi bahan organik (Chen & Li 1996).

Waktu yang diperlukan bagi buah terung untuk mencapai tahap siap panen adalah selama 3-4 minggu setelah penyerbukan. Buah dapat dipanen ketika warnanya mengkilap (Chen & Li 1996). Benih akan terbentuk ketika buah berubah warna dan mencapai tahap masak fisiologis. Buah terung tidak memiliki shelf life yang panjang dan harus segera dipasarkan setelah masa panen. Kualitas buah terung selama masa penyimpanan yang panjang akan menurun. Buah akan mengalami kerusakan dan chilling injury pada suhu rendah (<10 ° C). Menyimpan buah terung yang bersih di dalam sebuah kantung polyethylene (PE) memungkinkan buah untuk disimpan pada suhu 8°C selama lebih dari tiga minggu tanpa mengalami kerusakan parah (Fallik et al. 1995).

Pemuliaan Tanaman Terung

Pemuliaan tanaman merupakan usaha memperbaiki sifat tanaman dengan lebih cepat dibandingkan perbaikan melalui seleksi alam (Poespodarsono 1988). Program pemuliaan terdiri dari beberapa tahapan. Langkah awal bagi program pemuliaan adalah koleksi berbagai genotipe yang dapat dijadikan sebagai sumber keragaman. Setelah dilakukan koleksi, tanaman tersebut diseleksi sesuai dengan karakter yang diinginkan. Apabila seleksi sudah dilakukan dan genotipe-genotipe harapan sudah terpilih, langkah berikutnya adalah uji daya hasil pendahuluan, uji daya hasil lanjutan dan uji multilokasi. Jika pengujian sudah dilakukan maka genotipe dapat dilepas menjadi varietas sesuai peraturan (Syukur et al. 2015).

Program pemuliaan terung sudah berkembang secara intensif di negara yang telah membudidayakan terung dalam skala besar, seperti negara-negara di wilayah Eropa Barat, Turki, India, Cina dan Jepang. Program pemuliaan terung di Indonesia belum berkembang dengan pesat bila dibandingkan dengan komoditas sayuran lain dalam satu famili seperti cabai, tomat dan kentang. Beberapa tujuan program pemuliaan untuk tanaman terung antara lain ada untuk menghasilkan varietas yang resisten terhadap cekaman biotik, resisten terhadap cekaman abiotik, berdaya hasil tinggi, berkualitas tinggi, memiliki nilai nutrisi yang tinggi dan yang memenuhi keinginan pasar dan konsumen (Sekara et al. 2007).

(21)

7 of Plant Genetic Resources (NBPGR) (Mao et al. 2008; Kumar et al. 2008). Beberapa genebank lain yang menyimpan sumber daya genetik terung adalah National Institute and Agrobiological Resources di Jepang, AVRDC di Taiwan, Vavilov Institute di Rusia dan USDA Beltsville Research Station di Amerika Serikat (Bebeli & Mazzucato 2008).

Kualitas buah dan preferensi konsumen merupakan faktor yang menentukan permintaan pasar serta arah program pemuliaan terung. Bentuk dan warna buah merupakan faktor utama yang dilihat oleh konsumen. Pemilahan buah terung juga dilakukan berdasarkan warna, bentuk, ukuran, diameter dan bobot buah. Peningkatan permintaan terhadap jenis tertentu merupakan salah satu alasan pentingnya mengetahui aksi gen dan pola pewarisan. Pengetahuan mengenai aksi gen dan pola pewarisan karakter ekonomis akan menghasilkan program pemuliaan tanaman yang efektif (Prasad et al. 2010).

Teknik pemuliaan konvensional untuk perbaikan tanaman terung dapat dilakukan melalui introduksi, seleksi massa, seleksi galur murni, seleksi pedigree,

single seed descent (SSD), metode bulk dan metode backcross. Dalam beberapa program pemuliaan, kombinasi metode-metode diatas terbukti dapat menghasilkan varietas yang unggul (Chen & Li 1996). Solieman et al. (2012) menyatakan program seleksi massa lebih banyak memberi kesempatan bagi genotipe untuk melakukan perbaikan pada seleksi lanjut dibandingkan dengan metode selfing yang dilakukan bersamaan dengan seleksi. Meskipun demikian, metode selfing yang dilakukan bersamaan dengan seleksi dapat membentuk galur murni lebih cepat. Pessarakli & Dris (2004) menambahkan bahwa metode pemuliaan tanaman secara in-vitro metode telah memainkan peran yang sangat penting dalam pemuliaan tanaman terung. Teknik in-vitro teknik kultur antera dan serbuk sari berhasil mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan galur murni tetua persilangan hibrida. Berbagai penelitian mengenai kemampuan persilangan terung dengan tipe liar sudah dilakukan dengan menggunakan metode variasi somaklonal, hibridisasi somatik dan transformasi genetik.

Analisis Korelasi dan Analisis Lintas

Sebelum memulai program pemuliaan tanaman dan seleksi, penting bagi seorang pemulia untuk mengetahui hubungan antara komponen hasil dan pengaruhnya terhadap daya hasil (Thangamani & Jansirani 2012). Pengetahuan mengenai hubungan antara daya hasil dengan karakter komponen hasil maupun hubungan antar karakter komponen hasil, serta kontribusi langsung dan tidak langsung terhadap daya hasil penting untuk peningkatan produksi dan produktivitas tanaman (Patel et al. 2004). Analisis korelasi memberikan informasi tentang derajat hubungan antara sifat-sifat tanaman penting. Analisis ini juga merupakan indeks yang baik untuk memprediksi respon daya hasil dalam kaitannya dengan perubahan karakter tertentu (Shekar et al. 2013). Faktor yang mempengaruhi korelasi adalah koefisien korelasi dan banyaknya sampel (Sambas, 2007). Mattjik dan Sumertajaya (2006) menyatakan bahwa analisis ini hanya berfungsi memperlihatkan pola hubungan antar karakter.

(22)

8

analisis korelasi ini mempunyai kemungkinan pengujian dua arah. Jika nilai r mendekati +1 atau -1 maka peubah X dan Y memiliki korelasi linier yang tinggi. Jika nilai r = +1 atau r = -1 maka peubah X dan Y memiliki korelasi linier yang sempurna. Sebaliknya, jika nilai r adalah 0, maka peubah X dan Y tidak memiliki hubungan linear (Sudjana 1996; Usman & Akbar, 2000). Kelemahan analisis korelasi adalah sering menimbulkan salah penafsiran karena adanya efek multikolinearitas antar karakter (Istiqlal 2014).

Ketika jumlah variabel yang digunakan dalam korelasi banyak, maka analisis hubungan menjadi lebih rumit. Penggunaan analisis lintas (path analysis) lebih tepat dilakukan karena menggambarkan hubungan langsung dan tidak langsung serta dapat mengidentifikasi karakter yang paling menentukan peningkatan daya hasil (Dewey & Lu 1959). Metode analisis lintas dikembangkan pertama kali oleh Wright (1921) dengan menjelaskan hubungan kausal dalam genetika populasi mengunakan analisis tersebut. Analisis lintas dapat memisahkan efek langsung dan efek tidak langsung dengan membagi koefisien korelasi genotipe (Thangamani & Jansirani 2012). Pemanfaatan analisis sidik lintas dalam pengembangan kriteria seleksi sudah banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman.

Analisis Stabilitas

Stabilitas suatu genotipe adalah kemampuan genotipe untuk hidup dalam berbagai lingkungan yang beragam, dimana fenotipenya tidak mengalami banyak perubahan pada lingkungan lain. Stabilitas fenotipe disebabkan oleh kemampuan tanaman untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang beragam sehingga sifat fisiknya tidak mengalami banyak perubahan (Alberts 2004).

Seorang pemulia tanaman harus membuat percobaan pada beberapa lingkungan (lokasi) dan beberapa musim agar yakin telah memilh genotipe yang berdaya hasil tinggi dan berpenampilan stabil (Kusumah 2010). Singh dan Chaudhary (1979) menambahkan bahwa untuk menduga adaptabilitas dan stabilitas fenotipik seperti hasil, pengujian berulang pada berbagai lingkungan tumbuh yang bervariasi dapat dilakukan.

Suatu genotipe dapat dibagi menjadi empat klasifikasi berkaitan dengan kemampuannya dalam beradaptasi di lingkungan. Menurut Roy (2000) klasifikasi tersebut adalah (1) genotipe tidak responsif yaitu genotipe yang tidak menunjukkan perbedaan penampilan dibandingkan dengan genotipe lain meskipun lingkungan tumbuh sudah diperbaiki, (2) genotipe toleran, yaitu genotipe yang menunjukkan sedikit atau tidak ada perubahan penampilan dibandingkan dengan genotipe lain meskipun lingkungan tumbuh menjadi lebih jelek, (3) genotipe stabil, yaitu genotipe yang menunjukkan sedikit atau tidak ada perubahan penampilan dibandingkan dengan genotipe lain walaupun lingkungan berubah drastis dan tidak bisa dikontrol (seperti perubahan cuaca), dan (4) genotipe adaptasi luas (fleksibel), yaitu genotipe yang menunjukkan sedikit atau tidak ada perbedaan penampilan dibandingkan dengan genotipe lain ketika ditanam pada agroklimat yang berbeda.

(23)

9 kecil. Tipe II adalah suatu genotipe dianggap stabil jika responnya terhadap lingkungan sejalan dengan rata-rata respon semua genotipe yang diuji. Tipe III adalah suatu genotipe dianggap stabil jika sisa kuadrat tengah dari model regresi lingkungan kecil. Syukur et al. (2012) menyatakan bahwa penyebab stabilitas hasil suatu genotipe adalah adanya mekanisme penyangga individu (individual buffering) dan populasi (population buffering) yang menyebabkan genotipe dengan hasil tinggi dan stabil akan berpenampilan baik di semua lingkungan.

Terdapat dua konsep stabilitas, yaitu stabilitas statis dan dinamis. Stabilitas statis sering disebut sebagai stabilitas biologis. Stabilitas ini menyatakan keragaan suatu genotipe yang relatif sama dari suatu lokasi ke lokasi lainnya (homeostatis). Genotipe tersebut tidak memiliki penyimpangan dari penampilan yang seharusnya sehingga ragam antar lingkungannya kecil bahkan tidak ada. Stabilitas dengan konsep ini tidak tergantung pada genotipe lain. Sementara stabilitas dinamis atau stabilitas agronomis menyatakan rata-rata suatu genotipe di semua lokasi. Stabilitas dilihat dari respon genotipe yang tidak menyimpang dari respon rata-rata semua genotipe yang ditanam di lingkungan uji. Stabilitas dengan konsep ini menggunakan pengukuran kontribusi genotipe lain (Becker & Leon 1988, Syukur

et al. 2012). Stabilitas statis biasanya berkaitan dengan daya hasil yang rendah sehingga konsep stabilitas statis lebih direkomendasikan untuk mengevaluasi daya hasil. Simmonds (1991) menambahkan bahwa stabilitas statis akan lebih berguna dibandingkan dengan stabilitas dinamis di negara berkembang.

Metode yang dapat dilakukan untuk menganalisi stabilitas antara lain adalah menggunakan analisis stabilitas parametrik, analisis stabilitas non parametrik dan metode peubah ganda atau multivariat (Alberts 2004). Analisis stabilitas parametrik pertama kali diajukan oleh Yates dan Cochran (1938) sementara metode non parametrik diajukan oleh Huehn (1990). Pendekatan parametrik berdasarkan asumsi sebaran genotipe, lingkungan dan pengaruh G x E. Pendekatan parametrik sangat baik dilakukan jika memenuhi asumsi statistik seperti galat menyebar normal dan pengaruh interaksi dapat terpenuhi dengan baik. Jika asumsi statistik tidak dapat dipenuhi, maka alternatif lain adalah dengan menggunakan pendekatan non parametrik. Pendekatan non parametrik atau cluster analitik adalah pendekatan yang menghubungkan antara lingkungan dan fenotipe relatif terhadap faktor-faktor lingkungan biotik atau abiotik tanpa membuat asumsi model spesifik (Syukur et al. 2012).

Metode lain yang dapat menjelaskan interaksi genotipe dengan lingkungan serta menganalisis kestabilan adalah metode multivariat. Salah satu metode multivariat adalah metode Additive Main Effect Multiplicative Interaction

(AMMI). Metode ini menggabungkan pengaruh aditif pada analisis ragam dan pengaruh multiplikasi pada analisis komponen utama (Mattjik 2005). AMMI merupakan analisis yang memiliki keunggulan diatas model Genotype x

Environment Interaction (GGE) dan model Principal Components Analysis (PCA)

(24)

10

3

KERAGAAN KOMPONEN HASIL DAN HASIL 25

GENOTIPE TERUNG (

Solanum melongena

L.)

DI TIGA LINGKUNGAN

Abstrak

Indonesia memiliki koleksi sumberdaya genetik terung yang beragam. Informasi mengenai keragaan sumberdaya genetik merupakan hal yang penting dalam program pemuliaan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan 25 genotipe terung yang ditanam di tiga lokasi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2014 hingga Agustus 2015 di Kebun Percobaan (KP) Cikabayan, KP Tajur dan KP Pasir Sarongge. Sebanyak 12 karakter diamati pada 25 genotipe terung yang digunakan. Terdapat interaksi genotipe dengan lingkungan yang sangat berbeda nyata untuk karakter tinggi tanaman, diameter batang, umur berbunga, umur berbuah, panjang buah, diameter buah, panjang tangkai, lebar bekas putik, ukuran calyx, bobot buah, jumlah buah per tanaman dan bobot buah per tanaman. G16 memiliki umur berbunga dan umur berbuah yang paling cepat. G2 memiliki panjang buah terbesar sementara G6 memiliki diameter buah terbesar. G6 dan G8 memiliki bobot buah terbesar. G7 dan G19 memiliki jumlah buah per tanaman paling banyak. G2, G9, G10, G16 dan G21 memiliki produktivitas rata-rata diatas 1 kg per tanaman. Analisis gerombol yang dilakukan mengelompokkan 25 genotipe ke dalam 4 kelompok.

Kata kunci: analisis gerombol, daya hasil, multilokasi,

Abstract

Indonesia has a diverse collection of eggplant genetic resources. Information on the performance of genetic resources is essential in the breeding program. This study aims to determine the performance of 25 eggplant genotypes grown in three locations. The study was conducted from May 2014 until August 2015 at the Experimental Field Cikabayan, Experimental Field Tajur and Experimental Field Pasir Sarongge. A total of 12 characters were observed in the 25 eggplant genotypes used. There is significant genotype by environment interaction in plant height, stem diameter, days to flowering, days to harvest, fruit length, fruit diameter, stem length, former pistil length on fruit, calyx size, fruit weight, number of fruits per plant and fruit weight per plant. G16 has the fastest days to flowering and days to harvest. G2 has the largest fruit length while the G6 has the largest fruit diameter. Both G6 and G8 has the largest fruit weight. G7 and G19 has the highest number of fruits per plant. G2, G9, G10, G16 and G21 have an average fruit productivity of over 1 kg per plant. Cluster analysis was conducted and showed that we can categorize 25 eggplant genotype used into four groups.

(25)

11

Pendahuluan

Terung (Solanum melongena L.) merupakan tanaman sayur yang telah dibudidayakan secara luas daerah tropis maupun subtropis Asia. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman sayur penting dan memiliki hasil produksi global sebanyak lebih dari 32 juta ton. Beberapa negara produsen terbesar antara lain adalah Cina, India, Mesir, Turki dan Indonesia (Begum et al. 2013). Dengan berkembangnya populasi dan kebutuhan untuk meningkatkan produksi sayuran di negara Asia, pemulia tanaman sayur tertarik untuk mengembangkan genotipe terung (Kumar et al. 2013).

Perbedaan morfologi yang beragam terdapat pada tanaman terung. Perbedaan yang mencolok pada terung terdapat pada variasi bentuk buah, ukuran buah, warna buah dan rasa (Frary et al. 2007). Indonesia memiliki koleksi sumberdaya genetik terung yang beragam. Informasi mengenai keragaan sumberdaya genetik merupakan hal yang penting dalam program pemuliaan tanaman. Keragaan suatu genotipe dapat digunakan sebagai alat untuk karakterisasi dan petunjuk dalam memilih calon tetua potensial dalam suatu persilangan (Furini & Wunder 2004).

Kegiatan karakterisasi sangat penting untuk mendeskripsikan dan membedakan suatu genotipe dengan genotipe lainnya. Karakterisasi juga merupakan titik awal dari analisis keragaman terung dan analisis hubungan gen dengan fenotipe. Dewasa ini, terdapat kebutuhan untuk menganalisis kembali keragaan sumberdaya genetik tanaman terung yang tersedia. Hal ini dilakukan agar sumberdaya genetik tersebut dapat digunakan secara optimal dan untuk mencegah varietas lokal dan landrace dari kepunahan (Naujeer 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan 25 genotipe terung dari varietas komersil dan hasil eksplorasi di tiga lokasi.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2014 hingga Agustus 2015 di tiga kebun percobaan yang berbeda milik University Farm dan Pusat Studi Hortikultura Tropis (PKHT), Institut Pertanian Bogor. Tiga kebun percobaan tersebut adalah Kebun Percobaan (KP) Cikabayan (6°55'13.23'' S, 106°71'53.6'' E) dengan ketinggian 160 m di atas permukaan laut, KP Tajur (6°63'62.4'' S, 106°82,34'' E) dengan ketinggian 340 m di atas permukaan laut dan KP Pasir Sarongge (6°76'64.07'' S, 107°04'96.09'' E) dengan ketinggian 1.105 m di atas permukaan laut. Bahan genetik yang digunakan untuk percobaan ini adalah 25 genotipe terung yang tertera di Tabel 1.

(26)

12

Pengolahan lahan dan pembuatan bedengan dilakukan dua minggu sebelum pindah tanam. Pengolahan lahan dilakukan dengan pembajakan serta pembuatan petakan/bedengan berukuran lebar 5 m x 1 m untuk satu satuan percobaan. Penaburan pupuk kandang sebanyak 20 kg dan kapur 0.5 kg dilakukan diatas bedengan dan dicampur dengan merata. Bedengan kemudian ditutup dengan mulsa plastik hitam perak. Lubang tanam dibuat dengan jarak 50 cm x 50 cm di dalam bedengan. Penanaman bibit di lahan dilakukan saat bibit memiliki daun 4-6 helai atau berumur lima minggu. Penanaman dilakukan pada sore hari dengan jumlah tanaman satu tanaman per lubang tanam. Penyulaman bibit dilakukan satu minggu setelah tanam.

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman, pemupukan, pemberian pestisida, dan penyiangan gulma. Penyiraman dilakukan pada pagi dan sore hari jika tidak terjadi hujan. Pemupukan dilakukan setiap satu minggu sekali setelah tanaman berumur satu minggu setelah tanam (1 MST). Pemupukan dilakukan dengan cara fertigasi menggunakan pupuk NPK (16:16:16) dengan konsentrasi 10 g l-1 sebanyak 250 ml untuk setiap tanaman. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara mekanis dan kimiawi sementara pengendalian gulma akan dilakukan secara mekanis. Pemasangan ajir dilakukan ketika tanaman berumur 14 hari. Kegiatan penghilangan tunas samping (pewiwilan) dilakukan sampai dengan cabang dikotomus.

Tabel 1 Asal-usul genotipe terung yang digunakan dalam penelitian

Kode Genotipe Keterangan

G1 TUP Galur murni koleksi PKHT

G2 THP Galur murni koleksi PKHT

G3 Bruno Galur murni Benih Unggul Jawara, CV Enno & Co Seed G4 Pulus Galur murni Benih Unggul Bintang Asia - Benih Citra Asia G5 Hijo Galur murni Benih Unggul Bintang Asia - Benih Citra Asia G6 Ronggo Galur murni Benih Unggul Bintang Asia - Benih Citra Asia G7 Sriti Galur murni Benih Unggul Bintang Asia - Benih Citra Asia G8 2013-057-1 Genotipe hasil eksplorasi PKHT dari Jawa Timur

(27)

13 Pemanenan buah dilakukan secara manual. Panen dilakukan ketika ukuran buah maksimum dengan warna buah masih mengkilat serta buah sudah tidak terlalu lunak sehingga benih belum terbentuk di dalam daging buah. Periode pemanenan berlangsung dari umur panen hingga 7 minggu setelah umur panen.

Percobaan dilakukan dengan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) di setiap lokasi. Terdapat 25 genotipe terung yang diulang sebanyak 3 ulangan. Bedengan merupakan satuan percobaan yang digunakan sehingga terdapat 20 tanaman setiap satuan percobaan. Sebanyak 10 tanaman dalam setiap petak percobaan digunakan sebagai tanaman contoh.

Karakter yang diamati mengacu pada pedoman untuk tanaman terung yang dibuat oleh PPVT Departemen Pertanian Indonesia (2007). Karakter kuantitatif yang diamati pada tanaman terung adalah:

1. Panjang buah (PB) diperoleh dengan mengukur panjang dari pangkal hingga ujung buah tanaman contoh yang diambil secara acak pada saat panen.

2. Diameter buah (DB) diperoleh dengan mengukur diameter bagian tengah buah tanaman contoh yang diambil secara acak pada saat panen.

3. Bobot buah (BB) diperoleh dari buah tanaman contoh yang diambil secara acak pada saat panen.

4. Tinggi tanaman (TT) diperoleh dengan mengukur tinggi dari permukaan tanah sampai cabang daun paling atas pada saat 2 minggu setelah panen (MSP)

5. Diameter batang (DBT) diperoleh dengan mengukur diameter batang setinggi 10 cm diatas permukaan tanah pada saat 2 MSP

6. Panjang tangkai buah (PT) diukur pada saat panen

7. Ukuran calyx (UC) diperoleh dari mengukur panjang sepal yang terdapat pada bagian atas buah terung pada saat panen

8. Lebar bekas putik (LBP) diperoleh dari mengukur bekas putik yang berada di dasar buah pada saat panen

9. Umur berbunga (UBN) dihitung dari saat pindah tanam hingga 50% populasi berbunga

10.Umur berbuah (UB) dihitung dari saat pindah tanam hingga 50% populasi memiliki buah yang siap panen

11.Jumlah buah per tanaman (JBT) diperoleh dengan menghitung jumlah buah yang dipanen dari masing-masing tanaman contoh

12.Bobot buah per tanaman (BBT) diperoleh dengan menimbang semua buah yang dipanen dari masing-masing tanaman contoh

Pengolahan data dilakukan mengunakan metode analisis ragam (ANOVA) (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Apabila genotipe maupun lingkungan menunjukkan pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut pada taraf 5% dengan uji DMRT (Duncan Multi Range Test). Analisis ragam dianalisis untuk masing-masing lokasi maupun untuk gabungan lokasi. Model linear untuk RKLT faktor tunggal satu lokasi dan analisis sidik ragam tiap lokasi adalah :

(28)

14

Keterangan :

Yij : Pengamatan pada genotipe ke-i dan ulangan ke-j µ : Rataan umum

i : Pengaruh genotipe ke-i

βj : Pengaruh ulangan ke-j

ij : Pengaruh acak pada genotipe ke-i dan ulangan ke-j

Model linier untuk analisis RKLT gabungan dari semua lokasi pengujian serta analisis sidik ragam gabungan semua lokasi adalah :

Yijk = µ + αi + βj/k + k + (α )ik + ijk i = 1, 2, 3, ... 25; j = 1, 2, 3; k = 1, 2, 3 Keterangan :

Yijk : Pengamatan pada genotipe ke-i, ulangan ke-j, lokasi ke-k µ : Rataan umum

αi : Pengaruh genotipe ke-i

βj/k : Pengaruh ulangan ke-j dalam lokasi ke-k k : Pengaruh lokasi ke-k

(α )ik : Interaksi genotipe ke-i dengan lokasi ke-k

ijk : Pengaruh acak pada genotipe ke-i, ulangan ke-j, lokasi ke-k

Hasil dan Pembahasan

Keragaan 25 Genotipe Terung di Tiga Lokasi

Rekapitulasi nilai F hitung pada semua karakter yang diamati disajikan pada Tabel 4. Data pada karakter yang diamati mempunyai ragam yang homogen untuk semua lokasi pengujian, sehingga analisis dapat dilanjutkan ke analisis ragam gabungan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor lingkungan sangat Tabel 2 Sidik ragam pengaruh genotipe di setiap lokasi berdasarkan Singh dan

Chaudhary (1979)

Sumber Keragaman db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F

Ulangan r-1 JK 3 M3 = JK 3/(r-1) M3/M1

Genotipe g-1 JK2 M2=JK2/(g-1) M2/M1

Galat (r-1)(g-1) JK1 M1=JK1/(r-1)(g-1)

r = banyaknya ulangan; g = banyaknya genotipe; JK3 = jumlah kuadrat ulangan; JK2 = jumlah kuadrat genotipe; JK1 = jumlah kuadrat galat; M3 = kuadrat tengah ulangan; M2 = kuadrat tengah genotipe; M1 = kuadrat tengah galat

Tabel 3 Sidik ragam gabungan berdasarkan Syukur et al. (2012)

Sumber Keragaman db Kuadrat Tengah Nilai F

Lokasi (

l

-1) M5 M5/M4

Ulangan/Lokasi

l

(r-1) M4 -

Genotipe (g-1) M3 M3/M1

Genotipe*Lokasi (g-1)(

l

-1) M2 M2/M1

Galat

l

(r-1)(g-1) M1 -
(29)

15 berpengaruh nyata untuk semua karakter kecuali lebar bekas putik dan ukuran calyx. Faktor genotipe berpengaruh nyata untuk semua karakter. Terdapat interaksi antara genotipe dan lingkungan yang nyata pada semua karakter. Koefisien ragam dari karakter yang diamati berkisar antara 4.20% hingga 36.73%.

Pengaruh genotipe yang nyata menunjukkan bahwa performa genotipe bervariasi. Pengaruh lingkungan yang signifikan menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang berbeda mempengaruhi performa genotipe (Datta & Jana 2014). Estimasi interaksi GxE yang sangat signifikan di semua karakter menunjukkan bahwa keragaan karakter berfluktuasi seiring dengan perubahan lingkungan (Lodhi et al. 2015). Koefisien keragaman yang cukup tinggi pada beberapa karakter menunjukkan bahwa data yang didapat adalah heterogen. Hal ini disebabkan oleh perbedaan lokasi dan performa tanaman. Hartati et al. (2012) menyatakan bahwa karakter yang memiliki keragaman tinggi berpotensi untuk dimanfaatkan dalam program perbaikan bahan tanaman.

Pengamatan Karakter Vegetatif

Pengamatan karakter vegetatif yang dilakukan adalah pengamatan pada tinggi tanaman dan diameter batang. Pengamatan tinggi tanaman dan diameter batang di semua lokasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata diantara genotipe. Tanaman yang ditanam di KP Pasir Sarongge memiliki tinggi tanaman dan diameter batang tertinggi diantara lokasi lainnya. Data mengenai rata-rata tinggi tanaman dan diameter batang disajikan pada Tabel 5. Rata-rata tinggi tanaman terung berkisar antara 67.06 - 94.39 cm. Genotipe yang memiliki rata-rata tinggi tanaman tertinggi di masing-masing lokasi adalah G19 di KP Cikabayan, G22 di KP Tajur dan G9 di KP Pasir Sarongge. Sementara G1, G6 dan G25 memiliki tinggi tanaman terrendah berturut-turut di KP Cikabayan, KP Tajur dan KP Pasir Sarongge. Tinggi tanaman dianggap sebagai salah satu Tabel 4 Rekapitulasi nilai F-hitung dan koefisien keragaman karakter tanaman terung

Peubah Nilai F-hitung Koefisien

Keragaman (%) Lingkungan Genotipe GxE

Karakter vegetatif

Tinggi tanaman 619.59** 10.14** 3.91** 8.99 Diameter batang 1180.72** 6.31** 3.35** 7.04 Karakter Generatif

Umur berbunga 1339.13** 15.00** 2.29** 4.74

Umur berbuah 95.89** 22.01** 2.42** 4.20

Panjang buah 90.53** 107.72** 4.37** 14.16

Diameter buah 103.03** 42.82** 4.72** 10.01 Panjang tangkai 24.89** 53.99** 2.89** 11.09 Lebar bekas putik 0.85tn 20.42** 2.56** 36.73

Ukuran calyx 2.04tn 18.86** 1.94** 12.94

Bobot buah 242.14** 89.21** 9.67** 19.10

Jumlah buah per tanaman 220.30** 19.04** 2.19** 29.59 Bobot buah per tanaman 311.25** 15.68** 4.99** 30.32

(30)

16

karakter yang sangat dipengaruhi oleh daya tumbuh dan vigor umum tanaman (Aminifard et al. 2010). Terung menunjukkan pertumbuhan yang lambat jika ditanam di lingkungan dengan suhu tinggi. Hal ini dapat menghentikan pertumbuhan dan mengakibatkan tanaman yang kerdil (Chen & Li 1996).

[image:30.595.47.483.146.585.2]

Rata-rata diameter batang 25 genotipe terung berkisar antara 14.31 - 18.34 mm. G22 merupakan genotipe dengan rata-rata diameter batang terbesar di KP Cikabayan dan KP Tajur, sedangkan G8 merupakan genotipe dengan diameter batang terbesar di KP Pasir Sarongge. G25, G1 dan G19 memiliki rata-rata diameter batang terkecil di masing-masing lokasi. Perbedaan tinggi tanaman dan diameter batang dalam satu genotipe yang sama di lokasi yang berbeda mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh lingkungan untuk pertumbuhan karakter tersebut.

Tabel 5 Tinggi tanaman dan diameter batang 25 genotipe terung di 3 lokasi

Genotipe

Tinggi tanaman (cm) Diameter batang (mm)

Cikabayan Tajur Pasir

Sarongge Rata-rata Cikabayan Tajur

Pasir

Sarongge Rata-rata

G1 45.87cd 71.53h 84.67ghi 67.36fg 10.84b-f 14.37f 19.24b-e 14.82c

G2 54.00bcd 89.27c-g 89.73d-h 77.67b-g 10.97b-f 16.19c-f 18.48c-h 15.22c

G3 58.64a-d 73.13gh 87.53e-h 73.10c-g 10.85b-f 15.08def 18.59b-h 14.84c

G4 52.18bcd 73.33gh 85.33f-i 70.28efg 11.74a-d 16.39c-f 19.60bcd 15.91bc

G5 59.29a-d 76.27e-h 93.27d-h 76.28b-g 11.17b-f 15.75c-f 19.41b-e 15.44c

G6 66.51ab 70.87h 87.67e-h 75.02b-g 11.39b-f 15.39c-f 20.54bc 15.77c

G7 58.81a-d 93.60cd 85.13f-i 79.18a-g 10.21c-f 16.03c-f 16.68hi 14.31c

G8 55.89bcd 100.13bc 95.67c-f 83.90a-f 12.46ab 19.28ab 23.29a 18.34a

G9 62.91abc 96.47cd 112.33a 90.57ab

12.13abc 17.65bcd 19.90bcd 16.56abc

G10 57.14a-d 91.40cde 98.80bcd 82.45a-g 11.07b-f 17.36b-e 19.46b-e 15.96bc

G11 52.76bcd 71.47h 90.08d-h 71.44d-g 11.49b-e 15.73c-f 19.02b-g 15.42c

G12 58.37a-d 95.73cd 108.87ab 87.66a-d 11.42b-f 17.03b-e 17.46e-i 15.30c

G13 65.44ab 88.60c-g 105.73abc 86.59a-e 9.57ef 17.37b-e 18.61b-h 15.18c

G14 53.41bcd 81.27d-h 82.47hij 72.38c-g 10.16def 17.14b-e 17.04ghi 14.78c

G15 53.90bcd 71.53h 75.73ij 67.06g 11.19b-f 14.40f 18.81b-g 14.80c

G16 58.47a-d 80.20d-h 96.50cde 78.39a-g 11.47b-e 14.95ef 17.19f-i 14.54c

G17 62.48abc 90.00c-f 96.93cde 83.14a-g 11.79a-d 17.27b-e 20.39bc 16.49abc

G18 64.33ab 114.07ab 96.50cde 91.63ab 11.17b-f 19.18ab 17.87d-i 16.07bc

G19 71.94a 99.93bc 93.07d-h 88.31abc 11.53bcd 20.78a 16.43hi 16.25abc

G20 56.57a-d 74.00fgh 95.50c-g 75.36b-g 10.64b-f 16.26c-f 20.56b 15.82c

G21 53.13bcd 82.87d-h 97.27cde 77.76a-g 10.81b-f 17.85bc 19.17b-f 15.94bc

G22 68.00ab 128.45a 86.73e-h 94.39a 13.45a 21.19a 19.88bcd 18.17ab

G23 65.20ab 96.67cd 99.47bcd 87.11a-d 10.51c-f 16.11c-f 18.25d-i 14.96c

G24 65.31ab 102.36bc 90.53d-h 86.07a-e 11.79a-d 17.62bcd 19.50b-e 16.30abc

G25 48.49cd 83.20d-h 73.67j 68.45fg

9.51f 16.92b-f

16.66hi 14.36c

Rata-rata 59.13C 89.50B 93.97A 11.19C 17.04B 18.72A

(31)

17

Pengamatan Karakter Generatif

Pengamatan karakter generatif yang dilakukan adalah pengamatan umur berbunga, umur berbuah, panjang buah, diameter buah, panjang tangkai, lebar bekas putik, ukuran calyx, bobot buah, jumlah buah per tanaman dan bobot buah per tanaman.

Genotipe dan lingkungan memiliki peran yang penting dalam waktu berbunga dan waktu panen tanaman terung. Waktu berbunga pada terung merupakan karakter yang dikendalikan oleh aksi gen non-additive dan dapat berkisar dari 45 hari hingga 90 hari setelah waktu pindah tanam (Kumar et al.

[image:31.595.115.502.188.602.2]

2013). Pada penelitian ini, rata-rata umur berbunga 25 genotipe terung berkisar antara 46-58 hari setelah pindah tanam (HST). Lokasi KP Cikabayan memiliki waktu berbunga yang lebih cepat dibandingkan dengan lokasi lainnya. Genotipe G21 merupakan genotipe dengan waktu berbunga yang paling singkat di KP Cikabayan dan G17 memiliki waktu berbunga yang paling singkat di KP Tajur. Tabel 6 Umur berbunga dan umur berbuah 25 genotipe terung di 3 lokasi

Genotipe

Umur berbunga (HST) Umur berbuah (HST)

Cikabayan Tajur Pasir Sarongge

Rata-rata Cikabayan Tajur

Pasir Sarongge

Rata-rata

G1 43ef 45cd 56b-e 48bcd 55g 70hi 80hij 68h

G2 42ef 47bcd 56b-e 48bcd 58c-g 75e-i 87b-g 73c-h

G3 43def 46bcd 54de 48bcd 54g 72ghi 84d-i 70gh

G4 43def 49bc 55cde 49bcd 56fg 74e-i 80g-j 70f-h

G5 44c-f 48bc 56b-e 50bcd 56fg 73f-i 81f-j 70gh

G6 46cde 50b 59bc 52b 57efg 77c-f 85c-h 73c-h

G7 44c-f 46bcd 57bcd 49bcd 56g 70i 86b-h 70f-h

G8 56a 60a 59b 58a 66ab 84ab 90bcd 80b

G9 43def 45cd 56b-e 48bcd 57fg 77c-g 87b-g 73c-h

G10 41ef 46bcd 54de 47cd 56g 75d-h 82e-i 71e-h

G11 52b 58a 65a 58a 70a 87a 97a 85a

G12 45cde 47bcd 56b-e 49bcd 58d-g 77c-f 75j 70gh

G13 46cde 45cd 59bc 50bcd 63b-e 75c-h 87b-f 75b-g

G14 45cde 46bcd 57b-e 49bcd 58d-g 72ghi 90bcd 73c-h

G15 43def 48bc 55b-e 49bcd 57fg 75c-h 84d-i 72d-h

G16 42ef 44cd 52e 46d 57fg 71hi 77ij 69h

G17 45cde 42d 54de 47cd 58c-f 74e-i 88b-e 73c-h

G18 48c 48bc 55cde 50bc 64bcd 79b-e 86b-h 76bcd

G19 44c-f 46bcd 52e 47cd 57fg 78c-f 82e-i 72d-h

G20 44c-f 45cd 56b-e 48bcd 64bc 79c-f 84c-h 76b-f

G21 40ef 48bc

57bcd 48bcd 54g 80bcd

86b-h 74c-g

G22 47cd 46bcd 56b-e 50bcd 63b-e 86a 91bc 80b

G23 42ef 47bcd 55b-e 48bcd 59c-g 74e-i 82e-i 72d-h

G24 45c-f 47bcd 56b-e 49bcd 62b-f 80bc 93ab 78bc

G25 42ef 46bcd 59bcd 49bcd 58c-f 78c-f 92ab 76b-e

Rata-rata 45C 47B 56A 59C 77B 85A

(32)

18

G16 dan G19 merupakan genotipe dengan waktu berbunga paling singkat di KP Cikabayan. Genotipe dengan waktu berbunga terlama adalah G8 dan G11 di ketiga lokasi.

[image:32.595.45.499.148.683.2]

Pada penelitian ini, rata-rata umur berbuah 25 genotipe terung berkisar antara 68 – 85 HST di tiga lokasi. Genotipe dengan umur berbuah paling cepat Tabel 7 Panjang buah dan diameter buah 25 genotipe terung di 3 lokasi

Genotipe

Panjang buah (cm) Diameter buah (mm)

Cikabayan Tajur Pasir Sarongge

Rata-rata Cikabayan Tajur

Pasir Sarongge

Rata-rata

G1 21.09abc 23.92b-e 29.07b 24.69ab 42.66e-j 44.72h-k 54.02f-i 47.13f-k

G2 24.82a 26.86abc 36.74a 29.47a 38.79h-k 39.54jk 44.45ijk 40.92jkl

G3 21.96abc 20.43def 25.59cd 22.66bc 45.27d-j 52.30d-h 58.46e-h 52.01d-k

G4 23.86a 28.09ab 29.95b 27.30ab 41.19f-k 42.09ijk 51.79ghi 45.02h-k

G5 19.65a-d 21.81c-f 26.75bcd 22.74bc 49.89c-i 50.25e-i 63.29d-g 54.48d-j

G6 12.38e-i 13.96gh 15.13i 13.83de 92.20a 92.72a 98.69a 94.54a

G7 2.60j 2.28m 2.53k 2.47i 29.99k 27.62l 28.16l 28.59l

G8 13.05efg 17.84fg 18.12gh 16.34d 53.14c-f 74.63b 107.97a 78.58b

G9 13.69ef 19.55def 24.29de 19.18cd 43.85d-j 56.10c-g 67.05cde 55.67c-i

G10 16.13c-f 18.25fg 20.35fg 18.24cd 53.33 51.15e-i 59.92d-h 54.80d-j

G11 11.45e-i 19.05efg 17.14hi 15.88d 58.41c-f 56.67c-g 77.40bc 64.16cde

G12a 6.79hij 9.39hij 9.45j 8.54e-h 39.66g-k 52.37d-h 52.71ghi 48.25f-k

G12b 7.19g-j 11.04hi 10.78j 9.67ef 46.23d-j 54.35c-h 57.36e-h 52.65d-j

G12c 7.35g-j 11.04hi 9.45j 9.28efg 42.04e-j 52.37d-h 52.71ghi 49.04f-k

G13 17.13b-e 18.85efg 18.63fgh 18.20cd 54.11cde 62.77c 62.50d-g 59.80c-g

G14 14.74edf 17.97fg 19.41fgh 17.37cd 55.10cd 59.68cde 70.44cd 61.74c-f

G15 16.07c-f 19.02efg 21.62ef 18.90cd 46.10d-j 47.25g-k 58.67e-h 50.67d-k

G16a 19.98a-d 24.84a-d 36.90a 27.24ab 50.59c-h 48.33f-k 70.82cd 56.58c-i

G16b 22.15ab 23.30b-f 36.90a 27.45ab 52.24c-f 47.69f-k 70.82cd 56.92c-i

G17 19.49a-d 21.99c-f 26.95bcd 22.81bc 43.02d-j 47.63f-k 57.34e-h 49.33f-k

G18a 6.91hij 7.80i-l 8.40j 7.70f-i 43.70d-j 46.06h-k 49.30hij 46.35g-k

G18b 6.72hij 7.80i-l 8.40j 7.64f-i 41.68f-j 46.06h-k 49.30hij 45.68g-k

G19b 3.18j 3.46lm 3.25k 3.29hi 34.10jk 39.27k 39.48jk 37.62kl

G20 12.57e-h 18.19fg 19.93fgh 16.90d 51.55c-g 61.51cd 81.66b 64.91cd

G21a 23.30a 29.21a 28.49bc 27.00ab 45.73d-j 46.21h-k 84.50b 58.81c-h

G21b 20.55a-d 23.21b-f

39.49a 27.75ab 42.83e-j 51.34e-i 53.93f-i 49.37f-k

G22 3.95ghi 4.46j-m 4.54k 4.32f-i 69.09b 74.78b 64.89def 69.59bc

G23a 10.49f-i 7.42i-m 8.57j 8.83e-h 46.15d-j 49.21f-j 54.45f-i 49.94e-k

G23b 6.49ij 8.97h-k 8.41j 7.96f-i 43.30d-j 57.19c-f 49.70hij 50.06e-k

G24a 7.78g-j 8.97h-k 3.17k 6.64f-i 48.53c-i 49.21f-j 34.29kl 44.01ijk

G24b 4.21j 3.67klm 3.17k 3.68ghi 38.23ijk 39.66jk 34.29kl 37.39kl

G25 25.15a 26.79abc 29.93b 27.29ab 41.71f-j 48.03f-k 44.29ijk 44.68h-k

Rata-rata 13.84C 16.23B 18.80A 47.64C 52.15B 59.52A

(33)

19 adalah G3 dan G21 di KP Cikabayan, G7 di KP Tajur dan G12 di KP Pasir Sarongge. G11 memiliki umur berbuah yang paling lama di semua lokasi.

Qiao et al. (2011) menyatakan bahwa bentuk buah terung merupakan karakter kuantitatif dan dikendalikan oleh banyak gen. Panjang buah, diameter buah, panjang tangkai, lebar bekas putik dan ukuran calyx adalah beberapa karakter yang diamati pada buah. Panjang buah dan diameter buah di KP Pasir Sarongge paling besar dibandingkan di lokasi lain. Namun untuk panjang tangkai, lokasi KP Tajur memiliki nilai yang tertinggi. Lebar bekas putik dan ukuran calyx tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara ketiga lokasi.

Pada penelitian ini, meskipun terdapat 25 genotipe, terdapat lebih dari 25 jenis buah yang yang diamati. Hal ini disebabkan oleh genotipe yang digunakan merupakan genotipe hasil eksplorasi dan bersari bebas. Genotipe-genotipe tersebut berpeluang untuk melakukan penyerbukan silang pada generasi sebelumnya. Hal tersebut memungkinkan adanya perbedaan ekspresi fenotipe dalam satu genotipe, seperti yang terjadi pada genotipe G12, G16, G18, G21, G23 dan G24 pada penelitian ini.

Nilai panjang buah dan diameter buah disajikan di Tabel 7. Rata-rata panjang buah terung memiliki nilai bervariasi yang berkisar antara 2.47 - 29.47 cm. Genotipe G7 memiliki panjang buah yang terkecil di semua lokasi. Sementara genotipe G25 memiliki panjang buah terpanjang di KP. Cikabayan. G21a dan G21b secara berurutan memiliki panjang buah terpanjang di KP. Tajur dan KP. Pasir Sarongge. Rata-rata diameter buah genotipe terung yang diamati juga memiliki nilai bervariasi yang berkisar antara 28.59 - 94.54 mm. G6 adalah genotipe dengan diameter buah terlebar di KP. Cikabayan dan KP. Tajur sementara untuk KP. Pasir Sarongge, G8 adalah genotipe dengan diameter buah terlebar. G7 memiliki diameter buah terkecil di ketiga lokasi pengujian.

Domestifikasi tanaman terung menyebabkan pergeseran bentuk buah terung. Bentuk buah terung liar relatif bulat sementara bentuk buah terung budidaya cenderung memanjang (Doganlar et al. 2002). Pada penelitian ini, terdapat beberapa genotipe yang memiliki bentuk buah yang bulat. Genotipe tersebut adalah G7, G12 (a-c), G 18 (a-b), G22, G23 (a-b) dan G24 (a-b). Sementara genotipe lainnya merupakan tipe terung yang memanjang. Hal ini yang menyebabkan perbedaan yang sigfinikan antara panjang dan diameter antar genotipe.

Nilai rata-rata panjang tangkai dan lebar bekas putik disajikan di Tabel 8. Rata-rata panjang tangkai yang diamati berkisar antara 3.51 - 7.54 cm. G9 memiliki buah dengan panjang tangkai terpanjang di KP. Cikabayan dan KP. Tajur. G10 memiliki panjang tangkai terbesar di KP. Pasir Sarongge. Sementara G7, G22 dan G6 memiliki panjang tangkai terkecil di ketiga lokasi.

(34)

20

[image:34.595.34.499.92.607.2]

Hasil pengamatan ukuran calyx disajikan pada Tabel 9. Ukuran calyx pada buah berkisar antara 1.94 - 5.93 cm. Kumar et al. (2013) menyatakan bahwa ukuran calyx yang pendek adalah ukuran yang diharapkan. Prabhu (2005) menambahkan bahwa ukuran calyx yang pendek memiliki hubungan dengan berkurangnya serangan penggerek buah. Pada penelitian ini, genotipe dengan ukuran calyx terkecil adalah G7 untuk lokasi KP. Cikabayan dan KP. Tajur, serta G19 untuk lokasi Pasir Sarongge. G7 dan G19 merupakan genotipe dengan penampakan buah kecil dan bulat, yang kerap disebut sebagai terung lalap. Tabel 8 Panjang tangkai dan lebar bekas putik 25 genotipe terung di 3 lokasi

Genotipe

Panjang tangkai (cm) Lebar bekas putik (cm)

Cikabayan Tajur Pasir

Sarongge Rata-rata Cikabayan Tajur

Pasir

Sarongge Rata-rata

G1 4.50ghi 4.98i-l 4.01ef 4.50g-j 0.29cde 0.25j-m 0.21fg 0.25e

G2 6.57b 6.79d-g 4.50b-f 5.95b-e 0.17f 0.18lm 0.15g 0.17e

G3 5.58c-e 5.83g-j 3.95ef 5.12e-i 0.37c-f 0.46e-k 0.43c-g 0.42de

G4 4.81e-i 5.62 4.26b-f 4.90e-i 0.31c-f 0.34f-m 0.54c-g 0.39de

G5 5.05e-h 5.94f-j 3.82ef 4.94e-i 0.59b-f 0.57d-g 0.51c-g 0.56cde

G6 4.21hij 4.53jkl 3.38f 4.04ij

1.39a 1.09b

0.78c 1.09b

G7 3.13k 3.74lm 3.65ef 3.51j 0.61bcd 0.54d-i 0.59c-f 0.58cde

G8 6.43bc 6.44f-i 4.86b-f 5.91b-e 1.59a 0.62def 1.46b 1.22ab

G9 7.48a 9.60a 5.53a-d 7.54a 0.60b-e 0.51d-k 0.49c-g 0.53cde

G10 6.58b 8.41abc 6.47a 7.15a 0.41c-f 0.45e-l 0.42c-g 0.43de

G11 5.34d-g 6.55e-h 4.70b-f 5.53c-g 0.96b 0.93bc 0.75cd 0.88bc

G12a 4.17hij 5.17kl 4.00ef 4.45h-i 0.27cde 0.27h-m 0.24fg 0.26

G12b 4.30hij 4.24h-i 4.16c-f 4.23g-j 0.29cde 0.43e-l 0.25fg 0.32de

G12c 3.88ijk 4.24h-i 3.82ef 3.98g-j 0.30def 0.43e-l 0.17fg 0.30de

G13 6.78ab 8.17bcd 5.51a-d 6.82ab 0.37c-f 0.59d-g 0.29efg 0.42de

G14 5.63cde 6.85d-g 4.85b-f 5.77b-f 0.58c-f 0.52d-j 0.45c-g 0.52cde

G15 4.20hij 4.47jkl 3.46f 4.04ij 0.29 0.26i-m 0.23fg 0.26e

G16a 4.74e-i 5.97f-j 5.00b-e 5.23e-i 0.38c-f 0.56d-g 0.36d-g 0.43de

G16b 4.73e-i 5.79g-j 5.00b-e 5.17e-i 0.44c-f 0.46e-k 0.36d-g 0.42de

G17 5.03e-h 6.36f-i 4.65b-f 5.35d-h 0.47c-f 0.41e-m 0.34d-g 0.41de

G18a 4.17hij 4.61jkl 4.00ef 4.26h-i 0.19ed

0.15m 0.14g 0.16e

G18b 4.17hij 4.61jkl 4.00ef 4.26h-i 0.19ed 0.15m 0.14g 0.16e

G19 3.40jk 4.00l 3.45f 3.62j 0.56c-f 0.62de 0.53c-g 0.57cde

G20 6.70ab 9.14ab 4.98b-e 6.94ab 0.51c-f 0.55d-h 0.52c-g 0.53cde

G21a 5.62cde 6.89d-g 4.89b-f 5.80b-f 0.36c-f 0.24klm 0.70fg 0.43de

G21b 6.23bc 7.92b-e 5.60abc 6.58abc 0.42c-f 0.34f-m 0.24cde 0.33de

G22 4.53ghi 2.59m 3.40f 3.51j 0.52c-f 2.04a 2.09a 1.55a

G23a 4.69f-i 4.78jkl 4.50b-f 4.66f-j 0.41c-f 0.33g-m 0.33d-g 0.36de

G23b 4.09ij 5.10h-i 4.08def 4.42g-j 0.46c-f 0.44e-l 0.41c-g 0.43de

G24a 5.09ij 4.58jkl 4.44b-f 4.70g-j 0.71bc 0.77cd 0.58c-f 0.69cd

G24b 4.04e-h 4.58jkl 4.44b-f 4.35f-j 0.71 0.77cd 0.58c-f 0.69cd

G25 6.18bcd 7.41c-f 5.69ab 6.43a-d 0.32c-f 0.34f-m 0.22fg 0.29de

Rata-rata 5.06B 5.81A 4.47C 0.50 0.52 0.48

(35)

21 Genotipe yang memiliki ukuran calyx terbesar adalah G25, G21a dan G11 secara berurutan untuk lokasi KP. Cikabayan, KP. Tajur dan KP. Pasir Sarongge. Ketiga genotipe tersebut adalah genotipe yang berukuran besar dan panjang.

[image:35.595.96.516.155.671.2]

Hasil pengamatan bobot buah disajikan pada Tabel 10. Karakter bobot buah merupakan karakter yang menunjukkan sifat dominan parsial pada tanaman terung (Prasad et al. 2010). Terdapat kisaran bobot buah yang sangat bervariasi pada penelitian ini. Rata-rata bobot buah 25 genotipe terung di tiga lokasi berkisar

Tabel 9 Ukuran calyx 25 genotipe terung di 3 lokasi Genotipe

Ukuran calyx (cm)

Cikabayan Tajur Pasir Sarongge Rata-rata

G1 4.28d-h 4.81c-f 5.39c-f 4.82c-f

G2 4.62b-f 4.69c-g 5.07def 4.79c-f

G3 4.46c-g 4.34d-h 4.83efg 4.54def

G4 3.93f-j 4.73c-g 5.15def 4.60def

G5 5.21abc 5.27b-e 5.65b-e 5.38a-e

G6 5.01a-e 5.67bc 5.52c-f 5.40a-d

G7 2.09p 1.87l 1.85jk 1.94j

G8 5.27abc 4.72c-g 4.90efg 4.96a-f

G9 4.22e-h 3.74g-j 4.81efg 4.26gf

G10 4.87a-e 5.35bcd 5.49c-f 5.24a-f

G11 4.93a-e 5.25b-e 6.97a 5.72abc

G12a 2.51m-p 3.51hij 3.59hi 3.20hi

G12b 2.72l=p 3.18ijk 3.29hi 3.06hi

G12c 2.92k-o 3.18ijk 3.14hi 3.08hi

G13 5.19abc 5.31b-e 6.38abc 5.63abc

G14 4.19e-i 4.28e-h 4.64fg 4.37gf

G15 4.16e-i 3.94f-i 4.76efg 4.29gf

G16a 5.11a-d 5.00b-e 5.42c-f 5.18a-f

G16b 4.92a-e 5.34bcd 5.42c-f 5.23a-f

G17 5.38ab 5.99b 6.04a-d 5.81abc

G18a 3.30j-m 2.75jkl 3.04i 3.03hi

G18b 3.30j-m 2.75jkl 3.04i 3.03hi

G19 2.21p 2.17l 1.65jk 2.01j

G20 3.60h-k 5.15b-e 6.05a-d 4.93b-f

G21a 4.54abc 7.92a 5.44c-f 5.97a

G21b 5.15b-g 5.96b 6.26abc 5.79abc

G22 3.70g-k 2.25kl 2.62ij 2.86hij

G23a 3.32j-m 3.17ijk 3.27hi 3.26hi

G23b 3.13j-n 3.54hij 4.08gh 3.58gh

G24a 3.38i=l 2.49kl 2.61ij 2.82hij

G24b 2.34nop 2.49kl 2.61ij 2.48ij

G25 5.50a 5.68bc 6.60ab 5.93ab

Rata-rata 4.05 4.26 4.55

(36)

22

anatara 10.08 - 394.36 g. Hal ini disebabkan oleh beragamnya genotipe yang digunakan. Sebagian besar genotipe yang digunakan merupakan terung besar panjang, sementara beberapa genotipe merupakan genotipe bulat kecil seperti terung lalap.

Pada penelitian ini, lokasi dengan rata-rata bobot buah paling tinggi adalah KP. Pasir Sarongge. Sementara itu, rata-rata bobot buah di lokasi KP. Cikabayan dan KP. Tajur tidak berbeda nyata. Genotipe dengan bobot buah terbesar adalah G6 dan G8 untuk lokasi KP. Cikabayan. G6, G8 dan G11 merupakan genotipe dengan bobot buah terbesar di KP. Tajur. Di lokasi KP. Pasir Sarongge, G16 memiliki bobot buah terbesar. Di semua lokasi, genotipe G7 memiliki bobot buah terkecil yang berkisar antara 8.67 - 11.82 g.

[image:36.595.96.489.252.684.2]

Jumlah buah dan bobot buah per tanaman disajikan di Tabel 11. Daya hasil terung berkaitan erat dengan jumlah buah per tanaman, sehingga diperlukan

Tabel 10 Bobot buah 25 genotip

Gambar

Gambar 1  Diagram alir kegiatan penelitian
Tabel 1  Asal-usul genotipe terung yang digunakan dalam penelitian
Tabel 2  Sidik ragam pengaruh genotipe di setiap lokasi berdasarkan Singh dan
Tabel 4  Rekapitulasi nilai F-hitung dan koefisien keragaman karakter tanaman terung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu para peserta menyatakan bahwa melalui pelatihan tersebut, mereka memperoleh manfaat yang banyak terkait penambahan pengetahuan animasi flash, penguasaan teknik

Berangkat dari teori diatas, kehancuran di Negara kita memang disebabkan oleh orang-orang yang berakhlak buruk, baik orang tua maupun anak remaja. Faktanya, banyak kita

Badan Hisab Dan Rukyah Departemen Agama., 1981, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam.. Bukhari (al), abu Abdillah Muh}amma&gt;d bin

Pola penanaman pendidikan moral anak di Dusun Taman Roja Desa Batara Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep dilakukan orang tua dengan cara membiasakan anak dalam

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian kulit ari biji kedelai hasil fermentasi dengan Aspergillus niger sebagai pengganti jagung dan bungkil

Pengamatan untuk ekstrak metanolik menghambat perkembangan embrio pada perlakuan setelah fertilisasi hanya memperlambat perkembangan embrio bulu babi sedangkan untuk

Hakbang sa Pagbasa ayon kay Gray Ikaapat na Hakbang Integrasyon (pagsasama ng bagong ideya sa personal na karanasan) Unang Hakbang Pagkilala sa salita Ikatlong Hakbang