• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Terung (Solanum melongena L.) merupakan tanaman sayuran yang memiliki kandungan vitamin, mineral dan fitokimia yang tinggi. Upaya dalam meningkatkan produktivitas terung dapat dilakukan dengan memperoleh verietas unggul. Varietas unggul dapat diperoleh dari genotipe-genotipe yang memiliki keragaan baik, daya hasil baik serta tergolong sebagai genotipe stabil. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi kestabilan 25 genotipe terung di tiga lokasi dengan menggunakan metode analisis stabilitas parametrik. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2014 hingga Agustus 2015 di tiga Kebun Percobaan (KP) dengan ketinggian tempat yang berbeda yaitu KP Cikabayan, KP Tajur dan KP Pasir Sarongge. Sebanyak 25 genotipe terung diuji di ketiga lokasi dan diamati karakter bobot buah per tanaman. Karakter bobot buah per tanaman memiliki interaksi G x E yang nyata dan memenuhi asumsi statistik sehingga dapat dilakukan analisis stabilitas parametrik. Terdapat genotipe-genotipe yang stabil di antara 25 genotipe terung yang diuji. Genotipe yang stabil menurut pendekatan parametrik dengan konsep stabilitas statis adalah G7 dan G24. Genotipe yang stabil dengan konsep stabilitas dinamis dalam pendekatan parametrik adalah G4, G15, G13, G25 dan G17. Genotipe G4, G13, G15 dan G25 merupakan genotipe yang stabil di ketiga lokasi menurut analisis multivariat AMMI. Genotipe yang adaptif spesifik lokasi adalah G19 di KP Cikabayan, G12 dan G14 di KP Tajur serta G1, G3 dan G8 di KP Pasir Sarongge.

Kata kunci: AMMI, daya hasil, multilokasi, stabilitas statis, stabilitas dinamis

Abstract

Eggplant (Solanum melongena L.) is a vegetables that has high vitamins, minerals and phytochemical content. Efforts to improve the productivity of eggplant can be done by obtaining a superior, high yielding variety. High yielding varieties can be obtained from genotypes that have good performance, high yield and classified as a stable genotype. This research aimed to obtain information about the stability of 25 eggplant genotypes in three locations using parametric stability analysis. The research was conducted in May 2014 until August 2015 in three experimental field stations with an altitude difference. The experimental field stations are Cikabayan, Tajur and Pasir Sarongge. As many as 25 eggplant genotipes were planted in the three locations and its fruit weight per plant was observed. The characters of fruit weight per plant has a significant G x E interaction and meet the statistical assumptions. Thus further parametric stability analysis can be done. There were stable genotypes among 25 eggplant genotypes tested. Genotypes that were stable according to the parametric approach in the static stability concept are G7 and G24. Genotypes that were stable with the dynamic concept in the parametric approach are G4, G15, G13, G25 and G17. According to AMMI multivariate analysis, genotypes G4, G13, G15 and G25 are

35

stable genotypes in all three location. Genotypes are adaptive in a specific location are G19 in Cikabayan, G12 and G14 in Tajur and G1, G3 and G8 in Pasir Sarongge.

Keywords: AMMI, dinamic stability, multilocation static stability, yield

Pendahuluan

Terung (Solanum melongena L.) merupakan tanaman sayuran yang memiliki kandungan vitamin dan mineral yang tinggi serta kandungan fitokimia yang baik untuk aktivitas antioksidan (Dias 2012). Meningkatnya kesadaran akan manfaat sayur-sayuran dalam memenuhi gizi keluarga menyebabkan permintaan terhadap terung terus meningkat. Terung juga merupakan tanaman yang memiliki potensi yang menjanjikan di masa depan, sehingga upaya meningkatkan produktivitas terung terus dilakukan (Jumini dan Marliah 2009; Suge et al. 2011).

Upaya dalam meningkatkan produktivitas terung dapat dilakukan dengan memperoleh verietas unggul. Varietas unggul dapat diperoleh dari genotipe- genotipe yang memiliki keragaan dan daya hasil baik. Dewasa ini, diperlukan varietas unggul yang berdaya hasil baik di suatu lokasi spesifik maupun di berbagai lokasi. Genotipe dengan keragaan relatif terbaik pada berbagai lokasi dapat digolongkan sebagai genotipe yang berpenampilan stabil. Genotipe stabil adalah genotipe yang memiliki peringkat tinggi pada berbagai kondisi lingkungan dan tidak memberikan respons terhadap perlakuan (Trustinah & Iswanto 2013).

Analisis stabilitas dapat mencirikan keragaan sekaligus memberikan informasi mengenai kesesuaian suatu genotipe di berbagai lingkungan. Salah satu metode analisis stabilitas adalah dengan menggunakan pendekatan parametrik. Pendekatan parametrik menggunakan perhitungan parameter stabilitas seperti koefisien keragaman, koefisien regresi dan sejenisnya untuk menganalisis stabilitas genotipe. Teknik analisis ini mensyaratkan data menyebar mengikuti distribusi normal (Huehn 1990). Beberapa metode dalam pendekatan parametrik antara lain adalah metode Wricke, Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russel, Shukla dan Francis-Kannenberg

Berdasarkan tujuan pemuliaan dan karakter yang diamati, terdapat dua jenis konsep stabilitas yaitu konsep stabilitas statis dan konsep stabilitas dinamis. Konsep stabilitas statis menyatakan suatu genotipe tergolong stabil jika daya hasilnya konstan di setiap lingkungan. Sementara suatu genotipe tergolong stabil dalam konsep dinamis apabila genotipe tersebut tidak menyimpang jauh dati rata- rata respon terhadap lingkungan uji (Leon 1985; Becker & Leon 1988). Informasi mengenai genotipe yang stabil menurut masing-masing konsep dapat menjadi bahan pertimbangan pemilihan genotipe unggul.

Analisis multivariat dapat digunakan untuk menganalisis stabilitas. Analisis multivariat yang digunakan adalah metode Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI) (Gauch, 1988). Analisis AMMI dikembangkan dari gabungan pengaruh aditif pada analisis ragam dengan pengaruh multiplikatif pada analisis komponen utama. Analisis AMMI dapat meningkatkan keakuratan dugaan respon interaksi galur dengan lingkungan (Widyastuti et al. 2013). Penelitian ini

36

bertujuan untuk mendapatkan informasi kestabilan 25 genotipe terung di tiga lokasi dengan menggunakan metode analisis stabilitas parametrik.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2014 hingga Agustus 2015 di tiga kebun percobaan yang berbeda milik University Farm dan Pusat Studi Hortikultura Tropis (PKHT), Institut Pertanian Bogor. Tiga kebun percobaan tersebut adalah Kebun Percobaan (KP) Cikabayan dengan ketinggian 160 m di atas permukaan laut, KP Tajur dengan ketinggian 340 m di atas permukaan laut dan KP Pasir Sarongge dengan ketinggian 1.105 m di atas permukaan laut.

Bahan genetik yang digunakan untuk percobaan ini adalah 25 genotipe terung yaitu TUP (G1), THP (G2), Bruno (G3), Pulus (G4), Hijo (G5), Ronggo (G6) dan Sriti (G7), 2013-057-1 (G8), 2014-040 (G9), 2014-033 (G10), 2014-013 (G11), 2014-052 (G12), 2014-032 (G13), 2014-024 (G14), 2014-029 (G15), 2014-067 (G16), 2014-080 (G17), 2014-050 (G18), 2014-044 (G19), 2014-034 (G20), 2014-054 (G21), 2014-008 (G22), 2014-047 (G23), 2014-077 (G24) dan 2014-071 (G25).

Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan faktor tunggal. Terdapat 3 ulangan untuk masing-masing genotipe sehingga di setiap lokasi terdapat 75 satuan percobaan. Sebanyak 10 dari 20 tanaman di masing-masing satuan percobaan dipilih untuk pengamatan karakter bobot buah per tanaman (g). Pemanenan dilakukan secara manual ketika buah sudah tidak terlalu lunak sehingga benih belum terbentuk di dalam daging buah. Periode pemanenan berlangsung dari umur panen hingga 7 minggu setelah umur panen.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel, SAS dan PBTools IRRI. Karakter yang diamati dianalisis menggunakan

analisis ragam gabungan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji F (α=5% dan α=1%). Analisis stabilitas dilakukan dengan menggunakan pendekatan parametrik. Pendekatan parametrik dilakukan dengan menggunakan metode Wricke ecovalence (1962), Finlay-Wilkinson (1963), Eberhart-Russel (1966), Shukla (1972) dan Francis-Kannenberg (1978). Uji korelasi Pearson dilakukan pada masing-masing parameter stabilitas untuk melihat keeratan hubungan. Sementara analisis multivariat yang digunakan adalah metode Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI).

Metode Wricke (1962)

Metode Wricke menggunakan ecovalence (Wi2) sebagai parameter stabilitas. Ecovalence merupakan pengukuran kontribusi masing-masing genotipe terhadap kuadrat total interaksi genotipe dengan lingkungan. Perhitungan yang digunakan adalah :

Metode Finlay-Wilkinson (1963)

Metode Finlay-Wilkinson menggunakan koefisien regresi sebagai parameter stabilitas. Koefisien regresi (bi) yang dianalisis merupakan hasil rata-rata semua

37 genotipe dengan rata-rata umum semua genotipe yang diuji di semua lingkungan. Genotipe dapat memiliki nilai koefisien regresi sebesar >1, 1 dan < 1 yang berarti genotipe tersebut memiliki stabilitas di bawah rata-rata, sama dengan rata-rata dan di atas rata-rata secara berturut-turut. Perhitungan yang digunakan adalah :

∑ ∑( ) ⁄ Metode Eberhart-Russel (1966)

Metode Eberhart-Russel menggunakan deviasi dari regresi ( 2) and koefisien regresi (bi) sebagai parameter stabilitas. Perhitungan yang digunakan dalam metode ini adalah :

[∑ ∑ ] Metode Shukla (1972)

Metode Shukla menggunakan ragam stabilitas ( 2i) sebagai parameter stabilitas. Ragam stabilitas adalah perbedaan antara dua jumlah kuadrat, sehingga nilai tersebut dapat bernilai negatif. Perhitungan yang digunakan adalah :

Metode Francis-Kannenberg (1978)

Metode Francis-Kannenberg mengukur stabilitas genotipe dengan menggunakan koefisien keragaman (CVi) dan ragam genotipe (Si2) sebagai parameter stabilitas. Perhitungan yang digunakan dalam metode ini adalah :

Dimana adalah kuadrat tengah genotipe ke-i, dan adalah nilai rata-rata genotipe ke-i pada seluruh lingkungan.

Metode Additive Main Effect Multiplicative Interation (AMMI)

Metode Additive Main Effect Multiplicative Interation dapat digunakan untuk menganalisis hasil uji multilokasi. Asumsi yang harus dipenuhi dalam AMMI antara lain adalah galat harus menyebar normal dan ragam homogen. (Syukur et al. 2015). Tahapan analisis AMMI adalah (1) melihat pengaruh aditif galur dan lokasi melalui analisis ragam, (2) menyusun matriks pengaruh interaksi galur dan lokasi, kemudian (3) melakukan penguraian bilinier terhadap matriks tersebut melalui analisis komponen utama.

38

Gambar 4. Bobot buah per tanaman 25 genotipe terung pada tiga lingkungan

Hasil dan Pembahasan

Keragaan genotipe terong merupakan indikator penting untuk melihat stabilitas di lingkungan yang berbeda. Analisis ragam gabungan untuk bobot buah per tanaman terung disajikan di Tabel 15. Sidik ragam menunjukkan hasil yang sangat signifikan pada beberapa sumber keragaman. Lingkungan dan genotipe memiliki perbedaan yang sangat nyata sementara sumber keragaman ulangan dalam lingkungan tidak menunjukkan hasil yang nyata. Terdapat interaksi yang sangat nyata antara genotipe dengan lingkungan.

Pengaruh genotipe yang nyata menunjukkan bahwa performa genotipe bervariasi. Pengaruh lingkungan yang signifikan menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang berbeda mempengaruhi performa genotipe (Datta & Jana 2014). Estimasi interaksi GxE yang sangat signifikan menunjukkan bahwa keragaan karakter berfluktuasi seiring dengan perubahan lingkungan (Lodhi et al. 2015).

Tabel 15 Analisis ragam gabungan bobot buah per tanaman terung

Sumber db JK KT F-hitung KK (%) Lingkungan 2 35334904.54 17667452.27 311.25** 30.32 Ulangan/Lingkungan 6 736498.36 122749.73 2.16tn Genotipe 24 21360995.68 890041.49 15.68** Genotipe*Lingkungan 48 13604035.43 283417.4 4.99** Galat 142 8060299.74 56762.67 Total 222 79812005.81

39 Bobot buah per tanaman 25 genotipe terung yang diuji di tiga lokasi ditampilkan pada Gambar 4. Dari ketiga lokasi pengujian, dapat dilihat bahwa rata-rata bobot buah per tanaman meningkat di lokasi KP. Pasir Sarongge. Lokasi KP. Cikabayan merupakan lokasi dengan bobot buah per tanaman paling rendah. G16 memiliki bobot buah per tanaman tertinggi di KP Cikabayan dengan 647.68 g per tanaman. G10 memikili bobot buah per tanaman tertinggi di KP Tajur dengan 1027.54 g per tanaman. G9 adalah genotipe dengan bobot buah per tanaman tertinggi di KP Pasir Sarongge dengan 2208.63 g per tanaman. G9 memiliki rata-rata produksi yang paling tinggi dibandingkan dengan rataan umum di KP. Pasir Sarongge. Namun, produksi G9 di KP. Cikabayan dan KP. Tajur menurun tajam dan mendekati rataan umum. Genotipe dengan rata-rata bobot buah per tanaman terrendah adalah G22 sebanyak 101.03 g per tanaman di KP Cikabayan dan G24 di dua lokasi lainnya yaitu KP Tajur dengan produksi 170.44 g per tanaman dan KP Pasir Sarongge sebanyak 141 g per tanaman. Nilai bobot buah per tanaman yang berbeda antar genotipe di tiga lokasi serta memiliki interaksi GxE yang nyata telah memenuhi syarat dilakukannya analisis stabilitas. Hal ini dilakukan untuk menjelaskan pengaruh interaksi.

Salah satu pendekatan analisis stabilitas adalah secara parametrik. Teknis analisis stabilitas secara parametrik berkembang cukup pesat sehingga terdapat sembilan metode statistik yang dapat digunakan untuk menganalisis stabilitas genotipe (Sitaresmi 2012). Beberapa metode yang dianalisis pada penelitian ini adalah metode Wricke, Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russel, Shukla dan Francis- Kannenberg. Pendekatan parametrik sangat baik digunakan jika asumsi statistik dapat terpenuhi dengan baik (Syukur et al. 2015). Karakter bobot buah dapat dianalisis menggunakan pendekatan parametrik karena memenuhi asumsi statistik, yaitu terdapat pengaruh interaksi dan galat menyebar normal.

Hasil analisis stabilitas untuk metode Wricke, Finlay-Wilkinson dan Eberhart-Russel disajikan di Tabel 16. Wricke (1962) menggunakan ecovalence sebagai parameter stabilitas. Ecovalence mengukur kontribusi masing-masing genotipe dengan total interaksi seluruh genotipe dengan lingkungan. Maka dari itu, metode ini merupakan metode untuk menganalisis stabilitas dinamis. Genotipe dengan nilai ecovalence yang kecil memiliki fluktuasi hasil yang lebih kecil di semua lingkungan, sehingga genotipe tersebut tergolong dalam genotipe stabil (Fikere et al. 2014). Analisis stabilitas Wricke menyatakan bahwa G4, G15, G13, G25 dan G17 secara berurutan merupakan genotipe yang paling stabil. Sementara G9, G24, G7, G2 dan G22 merupakan genotipe yang paling tidak stabil.

Metode Finlay-Wilkinson (1963) menggunakan koefisien regresi (bi) sebagai parameter stabilitas. Koefisien regresi (bi) = 1.0 merupakan rata-rata stabilitas. Nilai bi>1.0 menunjukkan stabilitas dibawah rata-rata, sementara nilai bi<1.0 menunjukkan stabilitas diatas rata-rata atau adaptif. Genotipe yang mendekati stabilitas rata-rata adalah G4, G17 dan G25. Genotipe tersebut tergolong ke dalam konsep stabilitas dinamis karena mengikuti respon rata-rata dari seluruh genotipe yang diujikan di masing-masing lingkungan.

Meskipun metode Finlay-Wilkinson merupakan metode analisis stabilitas konsep dinamis, namun metode Eberhart-Russel tergolong kedalam analisis stabilitas konsep statis menurut Lin et al. (1986). Eberhart-Russel (1966) menambahkan bahwa semakin rendah nilai bi (dibawah 1.0) menunjukkan bahwa genotipe lebih baik dikembangkan untuk lingkungan sub-optimal. Semakin tinggi

40

nilai bi (diatas 1.0) menunjukkan bahwa genotipe lebih baik dikembangkan untuk lingkungan optimal. Genotipe dengan stabilitas di bawah rata-rata yang cocok dibudidayakan di lingkungan optimal adalah G2 dan G9. Genotipe dengan stabilitas diatas rata-rata dan dapat dikembangkan di lingkungan sub-optimal adalah G7 dan G24. Parameter stabilitas juga dapat dilihat dari nilai i2 dan βi2. Apabila kedua nilai tersebut rendah, maka genotipe tersebut tergolong genotipe yang stabil. Namun apabila nilai-nilai tersebut tinggi, maka genotipe termasuk tidak stabil.

Hasil analisis stabilitas 25 genotipe terung untuk metode Shukla dan Francis-Kannenberg disajikan di Tabel 17. Metode Shukla (1972) menggunakan

ragam stabilitas ( 2

i) sebagai parameter stabilitas, dimana genotipe dengan nilai 2

i yang kecil menunjukkan genotipe yang stabil. G4, G15, G13, G25 dan G17 Tabel 16 Analisis stabilitas Wricke, Finlay-Wilkinson dan Eberhart-Russel

pada 25 genotipe terung di tiga lingkungan

Genotipe Y (g tan-1) Wricke Ecovalence Finlay- Wilkinson Eberhart-Russel W2i bi i2 βi2 G1 887.456 76532.05 1.38 857928.22 0.14 G2 1056.069 413647.24 1.84 1370486.98 0.70 G3 954.849 67108.84 1.35 833919.82 0.12 G4 905.391 7138.12 1.03 522559.87 0.00 G5 1128.969 88354.05 1.41 887969.54 0.17 G6 1150.482 117386.39 1.49 961976.58 0.24 G7 164.414 440186.78 0.05 -438377.25 0.91 G8 854.630 67760.30 1.34 827092.31 0.12 G9 1001.319 669352.63 2.07 1636795.56 1.15 G10 1088.631 119119.51 1.43 934223.97 0.19 G11 557.212 165766.10 0.46 -7660.52 0.29 G12 592.791 125610.13 0.58 123112.42 0.17 G13 832.412 17823.62 1.16 644834.74 0.03 G14 743.258 73717.37 0.73 265851.61 0.07 G15 937.332 16305.96 1.14 625697.10 0.02 G16 1125.754 184306.48 1.50 1034126.43 0.25 G17 902.866 33966.87 1.02 538103.08 0.00 G18 494.413 259075.37 0.31 -154984.34 0.48 G19 275.974 242753.78 0.30 -192954.13 0.49 G20 904.601 66010.16 1.22 740917.55 0.05 G21 1120.602 318181.17 1.72 1249481.62 0.52 G22 200.362 386320.61 0.12 -363183.27 0.78 G23 718.370 112027.02 0.53 36746.35 0.22 G24 145.875 481673.94 0.00 -479656.22 0.99 G25 786.472 25249.95 0.81 305964.56 0.04 Rata-rata 781.220

Y= rataan umum,W2i = Wricke ecovalence, bi danβi

2= koefisien regresi, i

2

= deviasi dari regresi

41 tergolong genotipe yang paling stabil sementara G9 merupakan genotipe yang tidak stabil. Hasil yang sama didapatkan pada analisis metode Wricke. Hal ini sejalan dengan pernyataan Becker and Léon (1988) yang menyatakan bahwa metode Shukla merupakan konsep stabilitas dinamis yang hasilnya menyerupai metode Wricke. Nilai 2i padaG4 bernilai negatif, namun nilai yang negatif dapat dianggap 0.

Metode Francis-Kannenberg (1978) adalah salah satu dari beberapa metode yang digunakan dalam analisis stabilitas statis. Metode ini menggunakan variasi dalam suatu genotipe untuk mengukur tingkat stabilitas. Suatu genotipe dikatakan stabil apabila memiliki nilai koefisien ragam (CVi) yang rendah serta nilai ragam genotipe (Si2) yang rendah.

Dari data yang dihasilkan, genotipe G7 dan G24 tergolong stabil menurut metode Francis-Kannenberg. Genotipe tersebut memiliki nilai CVi dan Si2 yang

Tabel 17 Analisis stabilitas Shukla dan Francis-Kannenberg pada 25 genotipe terung di tiga lingkungan

Genotipe Y

(g tan-1)

Shukla Stability Variance Francis-Kannenberg

2 i Si2 CV G1 887.456 112347.44 463339.72 76.70 G2 1056.069 661991.77 854634.13 87.54 G3 954.849 96983.51 447147.60 70.03 G4 905.391 -794.84 261526.99 56.48 G5 1128.969 131622.43 484232.15 61.64 G6 1150.482 178957.76 539600.26 63.85 G7 164.414 705262.75 728.14 16.41 G8 854.630 98045.66 441746.83 77.77 G9 1001.319 1078902.73 1096780.60 104.59 G10 1088.631 181783.52 512992.98 65.79 G11 557.212 257837.74 65690.12 46.00 G12 592.791 192366.05 103524.72 54.28 G13 832.412 16627.17 328556.74 68.86 G14 743.258 107758.28 150136.88 52.13 G15 937.332 14152.73 317452.28 60.11 G16 1125.754 288066.62 578259.03 67.55 G17 902.866 42947.69 269148.24 57.46 G18 494.413 409972.41 37724.69 39.28 G19 275.974 383361.12 23181.07 55.17 G20 904.601 95192.18 382200.10 68.34 G21 1120.602 506340.56 749678.45 77.27 G22 200.362 617437.48 7445.23 43.06 G23 718.370 170219.66 71497.80 37.22 G24 145.875 772904.86 507.37 15.44 G25 786.472 28735.32 161932.20 51.17 Rata-rata 781.220

Y= rataan umum, Si2 = nilai ragam genotipe, CVi = koefisien keragaman, 2i = ragam

42

paling rendah dibandingkan genotipe lain. Selain itu, kedua genotipe tidak menunjukkan perubahan performa yang berarti di lingkungan yang berbeda. G9 merupakan genotipe yang paling tidak stabil dengan nilai CVi dan Si2 yang tertinggi. Hal ini juga dapat dilihat dari berfluktuasinya nilai rata-rata produksi G9 di ketiga lokasi.

Lin et al. (1986) menyatakan suatu genotipe dikatakan stabil apabila (1) memiliki keragaman dalam lingkungan yang kecil, (2) respon terhadap lingkungannya sebanding dengan respon rata–rata seluruh genotipe yang diujikan atau (3) kuadrat tengah sisa dari indeks regresi lingkungannya kecil. Berdasarkan pendekatan parametrik, genotipe yang stabil menurut konsep statis adalah G7 dan G24. Sementara genotipe yang stabil menurut konsep dinamis adalah G4, G15, G13, G25 dan G17.

Hasil korelasi Pearson, pada Tabel 18, menunjukkan bahwa rata-rata bobot buah per tanaman memiliki korelasi yang sangat nyata dan positif dengan parameter stabilitas Finlay-Wilkinson (Si2 dan CVi), Finlay-Wilkinson (bi), dan Eberhart-Russel ( i2).. Keempat parameter tersebut juga memiliki korelasi positif yang sangat nyata terhadap satu sama lain. Hal serupa dikemukakan pada penelitian Kılıç (2012) untuk gandum, dimana nilai Si2, CVi, dan bi juga saling berkorelasi positif antara satu sama lain. Sementara parameter βi2 menunjukkan korelasi yang nyata dan negatif terhadap rata-rata bobot buah per tanaman

Parameter W2i dan 2i memiliki nilai korelasi 1 dan nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perhitungan 2i dalam perhitungan Shukla sama dengan perhitungan W2i dalam metode Wricke. Parameter βi2 juga memiliki korelasi positif yang mendekati nilai 1 terhadap karakter W2i dan 2i. Hal yang sama juga ditemukan dalam korelasi antara i2 dan bi.

Analisis AMMI dapat menjelaskan interaksi genotipe dengan masing- masing lokasi (Mattjik & Sumertajaya 2006). Kontribusi keragaman pengaruh interaksi yang mampu diterangkan oleh komponen AMMI1, AMMI2, dan AMMI3 masing–masing adalah sebesar 91.5%, 8.5% dan 0%. Berdasarkan nilai kontribusi, terlihat bahwa dua komponen pertama memiliki peran yang dominan dalam menerangkan keragaman pengaruh interaksi. Dari hasil tersebut, model AMMI yang dapat dipertimbangkan adalah komponen 1 dan komponen 2.

Tabel 18 Korelasi Pearson parameter stabilitas parametrik terhadap bobot buah per tanaman 25 genotipe terung di tiga lingkungan

Y Si2 CVi W2i 2i bi i2 Si2 0.788** CVi 0.762** 0.884** W2i -0.366 0.231 -0.027 2 i -0.366 0.231 -0.027 1* bi 0.921** 0.953** 0.914** -0.074 -0.074 i2 0.915** 0.960** 0.918** -0.048 -0.048 0.999** βi2 -0.420* 0.127 -0.135 0.988** 0.988** -0.176 -0.155 *= berkorelasinyata pada α = 5%, **= berkorelasinyata pada α = 1%, Y = rataan umum, Si

2

= nilai ragam genotipe, CVi = koefisien keragaman, W2i = Wricke ecovalence, 2i = ragam

43

Gambar 5 Biplot pengaruh interaksi model AMMI2 pada bobot buah per tanaman 25 genotipe terung di tiga lingkungan

Gambar 3 menunjukkan biplot AMMI antara komponen yang terpilih (AMMI1 dan AMMI2) untuk karakter bobot buah per tanaman. Biplot AMMI merupakan visualisasi dari analisis AMMI yang dapat digunakan untuk melihat genotipe yang stabil di seluruh lokasi atau genotipe yang spesifik pada lokasi tertentu. AMMI dan grafik biplot AMMI mampu memberikan lebih banyak informasi tentang interaksi GxE dibandingkan dengan metode ANOVA yang biasa dilakukan (Hadi & Sa'diyah 2004).

Posisi genotipe di dalam biplot menunjukkan keeratan hubungan antara genotipe dengan lingkungan. Semakin pendek garis atau semakin dekat suatu genotipe dengan titik pusat, maka semakin tinggi tingkat kestabilan genotipe. Sehingga genotipe tersebut dapat dikatakan stabil untuk semua lokasi pengujian. Sedangkan genotipe spesifik lokasi merupakan genotipe yang jauh dari titik pusat tapi letaknya berdekatan dengan garis lokasi (Widyastuti et al. 2013; Mattjik & Sumertajaya 2006). Gambar biplot AMMI disajikan pada Gambar 5. Biplot menunjukkan bahwa G4, G13, G15 dan G25 merupakan genotipe yang memiliki adaptasi luas (broad adaptation) atau stabil di ketiga lokasi. Genotipe G19

merupakan genotipe yang adaptif spesifik lokasi di KP. Cikabayan, sementara G12 dan G14 merupakan genotipe yang adaptif spesifik lokasi di KP. Tajur. Genotipe G1, G3 dan G8 adaptif spesifik lokasi di KP. Pasir Sarongge.

Simpulan

1. Berdasarkan konsep stabilitas statis menggunakan metode Eberhart-Russel dan Francis-Kannenberg, genotipe yang tergolong stabil adalah G7 dan G24.

KP. Cikabayan KP. Tajur

44

2. Berdasarkan konsep stabilitas dinamis menggunakan metode Wricke, Shukla dan Finlay-Wilkinson, genotipe yang tergolong stabil adalah G4, G15, G13, G25 dan G17.

3. G4, G13, G15 dan G25 merupakan genotipe yang stabil di ketiga lokasi pengujian menurut AMMI.

4. Genotipe yang adaptif spesifik lokasi adalah G19 di KP. Cikabayan, G12 dan G14 di KP. Tajur serta G1, G3 dan G8 di KP. Pasir Sarongge menurut AMMI.

45

6

STABILITAS NON PARAMETRIKHASIL 25 GENOTIPE

TERUNG (Solanum melongena L.) DI TIGA LINGKUNGAN

Abstrak

Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu sayuran utama di dunia yang dapat dimanfaatkan buah, daun dan bahkan akar untuk dikonsumsi maupun diolah menjadi obat-obatan. Seiring dengan meningkatnya populasi, terdapat kebutuhan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman terung. Suatu genotipe dapat tergolong unggul apabila memiliki potensi untuk menghasilkan daya hasil yang tinggi dalam berbagai macam lingkungan dan juga stabil. Analisis stabilitas non parametrik memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode parametrik yaitu dapat memperkecil bias yang disebabkan oleh pencilan serta tidak memerlukan asumsi sebaran dan ragam homogen. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2014 hingga Agustus 2015 di tiga Kebun Percobaan (KP) dengan ketinggian tempat yang berbeda yaitu KP Cikabayan, KP Tajur dan KP Pasir Sarongge. Karakter bobot buah per tanaman diamati untuk 25 genotipe terung untuk selanjutnya dilakukan analisis stabilitas non parametrik. Genotipe G3, G13, G15 dan G5 tergolong stabil menurut metode Nassar-Huehn. Sementara G3, G5, G6, dan G10 stabil menurut metode Kang. Metode Fox menemukan bahwa genotipe G6 dan G21 stabil di ketiga lingkungan sementara genotipe yang stabil menurut metode Thennarasu adalah G13, G15 dan G25.

Kata kunci: daya hasil, multilokasi, stabilitas statis, stabilitas dinamis,

Abstract

Eggplant (Solanum melongena L.) is one of the important vegetables in the world. Its fruit, leaves and even roots can be used for consumption or processed into medicine. Along with the increasing population, there is a need to increase the production and productivity of eggplant. A genotype can be classified as a superior genotype if it has a potentially high productivity in different environments and stable. Non-parametric stability analysis has advantages over the parametric method in which it is able to minimize bias caused by outliers and do not require statistical assumption of homogeneous distribution and variance. The research was conducted in May 2014 until August 2015 in three experimental station with an altitude difference. Those experimental stations are Cikabayan KP, Tajur and Pasir Sarongge. The characters fruit weight per plant were observed for 25 genotypes of eggplant. Further non-parametric stability analysis was done. Genotype G3, G13, G15 and G5 was relatively stable according to the Nassar-Huehn method. G3, G5, G6, and G10 was stable according to Kang method. Fox method found that genotype G6 and G21 was stable in all three

Dokumen terkait